You are on page 1of 268

SEMINAR HUBUNGAN INTERNASIONAL

Melakukan publikasi bagi insan akademis adalah sebuah


keniscayaan, seperti kata pepatah “publish or perish”, bahwa
hanya dengan berkarya insan akademis akan hadir. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa publikasi memiliki kerumitan
tersendiri dibandingkan dengan melakukan oral, pidato.
Publikasi dalam bentuk tulisan membutuhkan keahlian
mentransformasi gagasan menjadi dokumen yang tertuang
secara sistematis, apik, ilmiah, dan obyektif. Di sinilah demi
tata penulisan menjadi sangat penting untuk dipelajari,
diresapi dan dituangkan.
Banyak mahasiswa mengalami kegamangan tatkala memasuki
fase akademik untuk melakukan publikasi sebagai media MENULIS ARTIKEL POPULER, ARTIKEL
menyampaikan gagasan kepada orang lain. Ada kekhawatiran
dengan melakukan publikasi justru menunjukan ILMIAH DALAM JURNAL, KONFERENSI
ketidakcakapan dalam menyampaikan gagasan, yang justru DAN TUGAS AKHIR
akan mempermalukan diri sendiri.
Menulis publikasi akan menjadi sangat menyenangkan, tatkala
menulis menjadi ruang artikulasi diri insan akademik. Menulis
bukan menjadi beban di pundak yang tak terpikul. Buku ini
mengajak para mahasiswa Hubungan Internasional di semua
jenjang kependidikan, untuk mencoba menulis dan menulis,
dan menjadikannya sebagai kebiasaan (habits) akademik.
Sejumlah template tulisan dalam format artikel popular di

SURWANDONO
surat kabar secara sederhana disajikan, termasuk juga
template artikel ilmiah dalam Jurnal maupun Konferensi, serta
template proposal penulisan tugas akhir.
Semoga bermanfaat.

2016
SEMINAR HUBUNGAN
INTERNASIONAL:
MENULIS ARTIKEL POPULER,
ARTIKEL ILMIAH DALAM JURNAL,
KONFERENSI DAN TUGAS AKHIR

DR. Surwandono

i
SEMINAR HUBUNGAN INTERNASIONAL:
MENULIS ARTIKEL POPULER, ARTIKEL ILMIAH DALAM JURNAL,
KONFERENSI DAN TUGAS AKHIR

Penulis:
Dr. Surwandono
Desain Cover
Muhammad Faqih Jihan Insani
Tata Letak:
Jihan Art
Cetakan 1, September2016
Penerbit
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL,UMY
Jl. Lingkar Selatan Tamantirto Bantul Yogyakarta,
55183
Telp: (0274) 397656 (122)
Dan CV Kamajaya Yogyakarta

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa tercurah untuk Alloh SWT atas
segala karunia berupa kenikmatan iman, Islam untuk senantiasa meniti
jalan-Nya. Shalawat serta salam senantiasa teruntuk Rasulullah SAW.
Buku ini ini merupakan upaya penulis untuk memperkaya proses
peningkatan kualitas pembelajaran di jurusan IHI khususnya dalam
diskursus peningkatan penulisan publikasi karya mahasiswa dalam
bentuk tulisan artikel popular, artikel jurnal, artikel analisis isi, artikel
konferensi ilmiah, maupun template penulisan ilmiah dalam Skripsi, Tesis
atau bahkan Disertasi.
Buku ini menampilkan sejumlah artikel yang pernah terpublikasikan di
dalam media Koran nasional seperti Republika, Sindo, maupun Koran
Tempo. Artikel jurnal telah terpublikasikan dalam sejumlah jurnal
nasional terakreditasi, Jurnal Hubungan Internasional UMY, maupun
artikel konferensi internasional, seperti dalam AICIS (Association of
International Conference on Islamic Studies), ICONPO (International
Conference on Public Organization), APPTM (Asosiasi Pascasarjana
Perguruan Tinggi Muhammadiyah) maupun dalam URECOL (University
Research Colloqium)
Buku ini akan memandu para mahasiswa semester akhir dalam
melakukan publikasi ilmiah secara mudah, menyenangkan, dan inspiratif.
Publikasi ilmiah bagi mahasiswa merupakan keniscayaan untuk
mempertanggungjawabkan kompetensi akademik, melalui publikasi
ilmiah, para mahasiswa dapat menuangkan gagasan secara terbuka dan
obyektif. Bahkan statemen, keberadaan gagasan yang tersusun dan
dipublikasi sistematis merupakan esensi yang paling mendasar bagi insan
akademik. Publish or Perish, Publikasi atau Punah tak terdengar.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan sejumlah kolega yang
menjadi co-author dalam artikel jurnal dan konferesni, Ibu Dr. Nur
Azizah, maupun Ali Muhammad, Ph.D,
Demikian pula, ucapan terima kasih senantiasa penulis berikan kepada
keluarga, Ummi Dr. Novarina, ananda Muhammad Faqih Jihan Insani,
Jihan Izzatun Nisa, dan Ghaida Azka Fadhilla yang memberikan
kesempatan untuk berkarya. Semoga bermanfaat.
Yogyakarta, 20 September

Dr. Surwandono

i
DAFTAR ISI

BAGIAN I 1
CONTOH PENULISAN ARTIKEL POPULER
Nuklir Iran: Propaganda Yahudi Internasional 6
Media Dan Kontruksi Perang: Humanisme Media Untuk
Mendekonstruksi Perang Iran 10
Nasib Iran Pasca Resolusi 1747 14
Kepentingan Rusia Dan China Dalam Kasus Nuklir Iran 19
Framing Nuklir Iran (Dalam Perspektif Kepentingan Dunia Islam) 23
Nuklir Dan Perimbangan Teror 28
Dialog “Imajiner” Untuk Mr. Bush Dan Mullah Ahmadinejad 32
Masihkah Palestina Akan Tegak ? 36
Hamas Korupsi ? Analisis Politik Embargo As Terhadap Hamas 41
Hamas: Dari Oposisi Menjadi Player 45
Jebakan Politik Israel Terhadap Hamas 51
Diplomasi Arab Saudi 55
Membangun Kepatuhan Negosiasi “Gaza” 59
Masa Depan Perdamaian Israel Palestina 63
Mewaspadai Politisasi Negosiasi Dalam Konflik Kehutanan 68
Meresolusi Pilkada Maluku Utara 72
Lost Commando Dan Sandera 76
Politisasi Hadiah Nobel 80
Diplomasi Kebudayan Arroyo 84
Iraq Pasca Referendum 88

BAGIAN II 91
CONTOH PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Strukturasi Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus Berbasis Islam 97
Dalam Mendiskursuskan Deradikalisasi Pemikiran Politik Dan
Keagamaan

i
Dinamika Konflik Organisasi Keagamaan Islam Dalam Era
Demokratisasi Di Yogyakarta 114
Analisis Isi Tata Kelola Pencegahan Konflik Sosial Di Indonesia 137
Pelembagaan Strategi Diplomasi Indonesia Dalam
Mengartikulasikan Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri 154
Relevansi Pengelolaan Konflik Sosial Keagamaan Melalui Sistem
Informasi; Sebuah Pelajaran Dari Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta 181
206
BAGIAN III
CONTOH PENULISAN PROPOSAL SKRIPSI/TESIS/DISERTASI 209
Contoh Proposal Disertasi
DAFTAR PUSTAKA 255
DAFTAR INDEX 262

v
BAGIAN I
CONTOH PENULISAN
ARTIKEL POPULER

1
Pada bagian I, mengulas tentang tehnik menulis artikel di
Koran secara efektif dan efisien. Secara sederhana, menulis artikel
di Koran membutuhkan kemampuan menulis secara cepat dan
tepat terhadap suatu issue yang sedang diperbincangkan.
Cepat dalam arti dalam hitungan hanya 6 jam saja, untuk
menformulasikan gagasan, dan kemudian menuliskannya, dan
langsung mengirimkan ke alamat redaksi. Jika melakukan respon
lebih dari 6 jam, menurut pengalaman saya, kemungkinan artikel
kita akan dimuat menjadi tipis, karena banyak penulis yang juga
memiliki gagasan yang mirip.
Tepat dalam arti menawarkan opini atau analisis secara
objektif, mudah difahami, dan komprehensi. Dalam banyak
pengalaman, para redaktur di Koran akan melakukan evaluasi
dengan waktu yang sangat singkat, sehingga kemampuan
mengelola gagasan secara efektif dan efisien menjadi salah satu
nilai keunggulannnya.
Penulis memiliki cara sederhana untuk mendapatkan
gagasan yang unik, dan memiliki horizon yang lebar melalui cara
membuat Puzzle Concept. Apa itu puzzle concept? Secara
sederhana adalah proses simulasi untuk merelasikan konsep satu
dengan konsep lainnya secara korespondensi satu satu bahkan
lebih. Andaikan kita memiliki 10 konsep saja, jika kemudian kita
korespondensikan satu sama lain, secara potensial kita akan
memiliki sekitar 210 atau setara dengan 1024 opini. Luar biasa
bukan. Bayangkan jika anda menguasai konsep 50 konsep maka
anda akan punya gagasan milyaran. Jangan terlampau pusing,
maka simulasikan saja 3 sampai 5 konsep yang relevan, dan

2
kemudian pilihlah yang memiliki nilai momentum dan dukungan
fakta yang tersedia.
Setelah mendapatkan gagasan pokok yang sudah jelas,
maka jangan biarkan logika tersebut kembali hilang, langsung
melakukan eksekusi, jangan menunda-nunda. Karena momentum
itu seperti snap shot, jika tidak segera kita raih maka momentum
tersebut akan hilang, dan kita akan kehilangan passion untuk
menulis gagasan kita.
Semua artikel yang pernah dimuat di sejumlah Koran
nasional dalam buku ini sebagian besar menggunakan pola
tersebut. Sebagian besar artikel Koran, saya tulis ketika sedang
menempuh studi doctoral di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Asupan pengetahuan yang diperoleh dalam diskusi di
kampus, pembimbingan dengan promotor, seringkali
mendapatkan gagasan siap saji, yang dapat ditulis. Atau bahkan
sempatkan menonton TV di pagi hari kurang lebih 5 menit saja,
jika terdapat stimulus informasi yang menarik segera difikirkan di
meja makan atau bahkan di kamar mandi sambil menikmati
segarnya air, ataupun lezatnya masakan.
Di saat itulah gagasan tersebut kita simulasikan dalam
fikiran kita, dan kemudian tulislah di depan computer. Tidak perlu
pakai sketch, langsung tulis dan edit di computer. Rata-rata hanya
perlu menulis selama 60 sampai 80 menit untuk menulis tulisan
sepanjang 4 halaman dengan format kuarto dengan spasi 2
Siapkan sejumlah alamat email dari redaksi Koran yang
akan dituju. Dan segeralah dikirim dengan format tanpa model
dilampirkan. Copy paste saja dari file di computer. Kenapa tidak
perlu attachment? Dalam pengalaman penulis, para redaksi tidak
memiliki waktu yang lapang untuk membuka attachment file,
sehingga akan membaca dari

3
scrolling, dan ketika mendapatkan gagasan yang menarik dari
artikel yang masuk, maka probalibilitas artikel kita akan dipublish
akan besar.
Selamat mencoba dan jangan patah semagat.

4
NUKLIR IRAN:

PROPAGANDA YAHUDI INTERNASIONAL

Tulisan ini berawal dari persoalan maraknya issue nuklir Iran


pada tahun 2006, di mana Iran mengalami ancaman sanat serius dari
Amerika Serikat, pasca serangan AMerika Serikat ke Iraq dan
Afghanistan. Dalam analisa penulis, Amerika Serikat sudah kehabisan
energy setelah melakukan serangan secara massif ke Iraq dan
Afghanistan. Namun, ada kecenderungan Amerika Serikat tampak
masih mau ngotot untuk melakukan penyerangan ke Iran. Dari sinilah
penulis mengembangkan analisis bahwa terdapat propaganda dari actor
di luar Amerika Serikat yang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan Amerika Serikat. Siapa lagi kalau bukan kekuatan Yahudi
Internasional? Tulisan ini sudah dimuat dalam harian Republika di
tahun 2006.
Silahkan pembaca menyimaknya.

Debat tentang nuklir Iran telah berlangsung secara intensif


dalam 2 tahun terakhir semenjak Presiden Ahmadinejad menggantikan
tampuk kepemimpinan Muhammad Khatami. Dialektika politik
internasional menunjukkan gejala yang dinamis untuk membawa
persoalan nuklir Iran ke dalam Dewan Keamanan PBB, terutama yang
dipelopori oleh Amerika Serikat dan Inggris. Beberapa sekutu
tradisional Iran, Rusia dan China sampai saat ini masih bersikap abstain
sampai menolak membawa nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB.
Dalam pandangan negara ini, membawa masalah pengembangan nuklir
Iran ke DK PBB bukan menyelesaikan masalah tetapi menambah
masalah yang lebih akut.
Dalam headline Kompas, 25 Januari 2006 kasus Nulir Iran
telah menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat berarti yang ditandai
dengan naiknya harga minyak dunia yang mencapai 70
$US per barrel, apalagi jika kemudian masalah Iran dibawa ke DK

5
PBB dan menjatuhkan sangsi padanya, harga minyak dunia bisa
mencapai 100 US$. Bahkan juga turut mempengaruhi indeks harga
emas dunia yang melambung. Bahkan Republika, 25 Januari 2005
menurunkan wawancara khusus tentang sikap Indonesia terhadap
masalah nuklir Iran, terkait dengan posisi Indonesia sebagai bagian tak
terpisahkan dari negara dengan penduduk muslim terbesar. Tulisan ini
akan menganalisis faktor dinamika hubungan Iran dan Israel dengan
ekskalasi kebijakan internasional untuk memojokan Iran dari komunitas
internasional dan dunia Islam.

Iran dan Israel


Dua negara ini sekarang ini sedang menjalankan perang urat
saraf yang masif. Ahmadinejad dengan bahasa retorika yang amat jelas
melontarkan statemen pedas terhadap watak agresif Israel selama ini,
dengan sebuah istilah “akan memusnahkan” Israel dari kawasan Arab.
Statement ini kemudian memancing reaksi keras dari Israel dan negara-
negara sekutunya. Ahmadinejad dianggap sebagai presiden yang tidak
punya fatsun politik dan diplomasi yang elegan sebagai representasi
kepala negara.
Sebenarnya hubungan Israel Iran dalam 2 dekade terakhir tidak
mengalami konstraksi yang berarti. Setidaknya terdapat dua faktor yang
menyebabkan Israel tidak melakukan tindakan agresif pada Iran.
Pertama, Iran secara psikologis-historis-keagamaan bukanlah wilayah
target idiologis Israel sebagai daerah yang disebut Kanaan. Sehingga
dalam skenario agresi Israel, Iran tidak mendapatkan serangan dari
Israel secara intensif, sangat berbeda dengan negara-negara Timur
Tengah lainnya, yang sempat mengalami konstraksi dengan Israel.
Kedua, selama ini akar masalah Israel dengan negara di Timur
Tengah lebih mengedepankan masalah ashabiyyah qaumiyyah; Arab-
Yahudi . Palestina diyakini sebagai entitas tak terpisahkan dari etnis
Arab, dan Israel mewakili etnis Yahudi yang juga mengklaim pernah
menjadi etnis besar di kawasan Timur

6
Tengah. Artinya, posisi Iran sebagai etnis di luar etnis Arab menjadikan
Israel tidak menjadikan Iran sebagai ancaman aktual. Sederhananya,
musuh etnis utama dari Israel adalah etnis Arab, bukan etnis Persia.
Kalaupun keduanya melakukan konflik secara konfrontatif,
cenderung mempergunakan media kelompok lain, semisal faksi
Hizbullah pro Syi’ah Iran di Lebanon. Terhadap kelompok ini, Israel
teramat sering melakukan serangan dan manuver untuk memarginalisasi
perannya dalam ranah konflik, berupa serangan- serangan udara dan
roket.

Double Scenario Israel


Pasca runtuhnya regim Irak di bawah Saddam Hussein, ada
kecenderungan tidak ada lagi negara berbasis Arab yang secara lantang
menyuarakan menentang eksistensi Israel dengan segala macam
tindakan agresifya. Arab Saudi, Yordania, Suriah, dan Mesir sebagai
negara-negara major power di Timur Tengah mengalami transformasi
kepemimpinan yang mengarah kepada sikap akomodatif nya kepada
Israel. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola yang terbentuk, semakin
keras melakukan perlawanan kepada Israel, maka akan mempengaruhi
investasi asing ke negara tersebut dan akan menganggu pertumbuhan
ekonomi nasional. Pola inilah yang kemudian menyebabkan banyak
negara Arab semakin meninggalkan Palestina dalam proses
memperjuangkan haknya.
Tatkala terdapat kevakuman kepemimpinan Arab yang
mendeklarasikan politik konfrontatif terhadap Israel, maka Iran
mengambil alih peran Iraq. Iran sedemikian rupa berani mengambil
peran ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemampuan Iran pasca
Revolusi Putih 1979 untuk tidak tergantung kepada bantuan dan
investasi asing. Kondisi inilah yang memungkinkan Iran tumbuh
sebagai negara termandiri di dunia. Sehingga stigma memusuhi Israel
akan menyebabkan kolapsnya ekonomi dan politik domestik bagi Iran
hanyalah sebagai mitos belaka.

7
Dan Israel menyadari betul, bahwa posisi politik dan ekonomi
Iran sekarang ini dalam posisi yang stabil, baik dalam interaksinya
dengan negara-negara di Dunia Islam ataupun dengan Gerakan-Gerakan
Islam internasional. Iran juga sebagai negara yang memiliki kartu truff
sebagai negara pengekspor minyak yang tidak tergantung eksplorasi
dengan sekutu besar Israel yakni Amerika Serikat. Sangat berbeda
dengan Arab Saudi dan Kuwait sebagai negara pengekspor minyak yang
sangat tergantung proses eksplorasinya kepada Amerika Serikat.
Artinya dengan posisi yang independen terhadap Amerika Serikat, Iran
akan sangat mungkin mempergunakan kartu truff minyak seperti yang
pernah dilakukan negara minyak di dekade 1970-an. Dan sekarang ini
terbukti dengan membumbungnya harga minyak dan emas dunia atas
ketidakjelasan nasib Iran dalam sistem internasional.
Untuk itu ada kecenderungan Israel menjalankan 2 skenario
dengan mempergunakan kemampuan nuklir Iran sebagai sebuah senjata
untuk memarginalkan peran Iran dalam konteks regional dan
internasional. Pertama, Israel melakukan provokasi diplomatik
terhadap Iran agar Iran melakukan tindakan pembalasan diplomatik
pula. Israel sangat faham betul bagaimana track record seorang
Ahmadinejad yang temperamental. Terbukti provokasi Israel sangat
berhasil, sehingga lahirlah berbagai statemen Ahmadinejad yang sangat
disesalkan oleh komunitas internasional. Maka dalam batas tertentu
Israel akan menggiring publik internasional, bahwa Iran di bawah regim
Ahmadinejad adalah regim yang tidak beradab dalam tata pergaulan
internasional. Sehingga layak kiranya Iran untuk segera dihukum. Rusia
dan China yang selama ini cenderung menolak dengan tegas membawa
nuklir Iran ke DK PBB, akhir-akhir ini mulai menunjukkan sikap netral
dan abstein. Scenario diplomatik ini sedemikian sukses dijalankan oleh
misi diplomatik Israel untuk menjadi Iran sebagai “musuh peradaban
dunia”.
Kedua, sinyal temperamental Ahmadinejad ini kemudian
disublimasikan ke dalam komunitas dunia Islam secara regional

8
bahwa Iran secara ashabiyyah qaumiyyah Arab adalah kompetitor
bahkan musuh bagi negara-negara Arab. Hal ini penting bagi Israel,
karena Iran secara simpatik melakukan pendekatan secara intensif
kepada negara-negara Arab dan terlibat dalam berbagai program
kemanusiaan terhadap berbagai bencana yang melanda dunia islam.
Skenario bahwa Iran sebagai komunitas Syi’ah yang secara idiologis
memiliki perbedaan yang substantif dengan mayoritas Sunni Arab,
kemudian dibongkar dan diungkit kembali dengan masif. Hal ini
kemudian ditandai dengan bagaimana khawatirnya para pemimpin Arab
terhadap proses politik di Iraq yang dimenangkan oleh kelompok
Syi’ah, dengan ditunjukkannya sikap yang mendua kepada pengakuan
regim baru di Iraq bahkan cenderung “membiarkan” kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok perjuangan Sunni Iraq.
Sebagai sebuah makar, tampak sekali makar yang dilakukan
Israel sedemikian rupa canggih dengan mempergunakan multilateral
dan pimpong diplomasi untuk memojokkan Iran. Namun, wa makaru
wamakaralloh. Wallahu Khairul Maakiriin. Wallohu A’lam

9
MEDIA DAN KONTRUKSI PERANG

Humanisme Media Untuk Mendekonstruksi Perang Iran

Tulisan ini telah dimuat di Harian Tempo. Ide awal tulisan ini
adalah mencoba mencari relasi antara media dan perang. Penulis
mengembangkan argument bahwa sesungguhnya dalam batas tertentu
media turut terlibat meskipun secara tidak langsung dalam proses
pengambilan keputusan tentang perang. Perang difahami sebagai berita
yang bersifat hot news, di mana public terdongkrak rasa ingin tahunya
terhadap dinamika perang. Situasi psikologis massa inilah yang
kemudian dikelola media untuk menaikan rating ataupun tiras
penjualan. Untuk mengetahui lebih dalam struktur analisisnya, kami
persilahkan para pembaca untuk menikmatinya.

Batas ultimatum yang diberikan AS melalui Dewan Keamanan


PBB terhadap Iran tinggal menunggu hitungan hari. Banyak kalangan
berharap-harap cemas terhadap ekskalasi kekerasan di Teluk Persia
setelah sebelumnya parade genderang perang telah ditabuh oleh AS
terhadap Afghanistan dan Iraq. Belum mengeringnya luka akibat perang
di Afghanistan dan Iraq seakan akan ditambah lagi sebuah episode
perang "baru" atas nama pelanggaran kepemilikan nuklir.
Tulisan ini akan memberikan analisis kritis terhadap pola media
dalam proses pemberitaan berita tentang perang ataupun konflik seputar
nuklir Iran. Urgensi dari tulisan ini adalah agar media massa sebagai
pengemas berita untuk melakukan aktivitas de-eskalasi sehingga para
pembuat keputusan tentang perang akan berfikir dengan kepala yang
dingin dalam proses pengambilan keputusan tentang perang.
Konstruksi Media
Kasus nuklir Iran sebenarnya masalah yang klasik. Kemampuan
nuklir Iran mengalami perkembangan yang sangat

10
signifikan dalam 5 tahun terakhir. Namun persoalan nuklir Iran sebagai
sebuah ancaman telah dikonstruksi oleh AS melalui kekuatan media
internasional seperti ABC ataupun CNN yang kemudian banyak dikutip
dan disebarluaskan oleh media massa secara masif.
Hal yang paling menonjol adalah kontruksi seputar diplomasi
nuklir yang "panas" yang dijadikan hot news oleh media massa yang
dikemas bombastis. Statement pedas dan provokatif dari Ahmadinejad,
George Bush dan perdana menteri Israel, Olmert telah mewarnai
pemberitaan hampir dalam 4 bulan terakhir. Perang statement ini telah
menjadikan suhu komunikasi antar fihak yang bersengketa cenderung
memanas dan temperamental. Proses dokumentasi media dalam
melakukan framing berita seputar nuklir Iran justru malah memperbesar
situasi konflik konflik yang terjadi. Bahkan sedemikian rupa menggeser
issue nuklir Korea Utara yang sebelumnya sudah akan segera dieksekusi
oleh DK PBB dan AS. Bola panas eksekusi justru semakin mengarah ke
Iran dibandingkan ke nuklir Korea Utara ataupun India.
Artinya, dalam batas tertentu media telah mampu mengubah
setting konflik nuklir Iran dari berita biasa menjadi sebuah berita besar.
Yang tidak menutup kemungkinan, jangan- jangan meletus atau
tidaknya perang di Iran berada di tangan media massa. Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa dengan adanya perang dengan segala bentuk
kengeriannya memiliki hubungan positif dengan kemungkinan naiknya
tiras ataupun rating penjualan pemberitaan media. Berita perang akan
menjadi darah baru bagi media untuk mengembangkan sayapnya.
Bahkan banyak media massa menjadi hidup dan berjaya setelah
melakukan peliputan perang secara intensif. CNN adalah contoh terbaik
bagaimana suatu media bisa berkembang pesat dan mendunia karena
kemampuannya memberitakan perang teluk ke II secara eksklusif dari
medan perang.
Kasus perang terhadap Afghanistan oleh AS ternyata banyak
diyakini pengamat media disebabkan oleh desakan media

11
dalam pemberitaan 11 September 2001 yang menyulut amarah dan
kebencian masyarakat AS dan dunia terhadap regim di Afghanistan.
George Bush seakan merasa terdukung oleh media untuk melakukan
aksi brutal dengan secara "tergesa-gesa" dalam menjatuhkan palu untuk
berperang kepada Afghanistan.
Masyarakat internasional tentunya sangat tidak sepakat jika
dekade awal abad 21 justru akan dinodai perang yang sebenarnya tidak
perlu terjadi. Artinya masyarakat tidak ingin keputusan perang terhadap
Iran adalah keputusan yang tergesa- gesa ataupun malah terjebak oleh
konstruksi media yang tidak bertanggung jawab.

Humanisme Media
Media ibarat sebagai dewa Janus dalam mitologi Yunani yang
memiliki banyak wajah memiliki potensi besar untuk mendekontruksi
terhadap kemungkinan perang atas nama pelanggaran nuklir kearah de-
eskalasi perang di tengah kemacetan diplomasi di tingkat negara DK
PBB ataupun desakan dunia Islam agar kasus nuklir diselesaikan secara
damai.
Media yang humanis akan cenderung memilih untuk melakukan
framing besar untuk mendeskripsikan sebagai kemungkinan terburuk
yang akan timbul akibat perang berkepanjangan. Eksploatasi derita
korban perang yang sangat menyayat dan memilukan dari media akan
menjadi nurani diplomasi baru guna merubah persepsi dari aktor-aktor
yang sedang berkonflik.
Dalam pengamatan penulis terhadap media di Indonesia dalam
memberitakan seputar konflik nuklir Iran dalam 10 hari terakhir
cenderung tidak mengembangkan etis humanisme media. Berita yang
disodorkan terhadap pembaca adalah cenderung menggambarkan proses
persiapan dan kesiapan masing-masing fihak untuk menjalankan mesin-
mesin pembunuh. Berbagai scenario perang yang akan dilancarkan oleh
AS dan sekutunya serta berbagai skenario Iran untuk menghadapi
perang secara gagah berani. Seakan-akan media mempertontonkan
bahwa

12
perang Iran adalah sebuah pertandingan yang sangat menghibur, enak
untuk ditonton dan dilakukan secara enjoy tanpa perlu diiringi dengan
deraian tangis dan air mata yang tertumpah.
Artinya harus dibangun sebuah aliansi anti perang yang justru
dilakukan media sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Langkah yang
paling sederhana adalah berusaha untuk menskip pemberitaan yang
cenderung menghangat suhu untuk berperang dari masing-masing fihak
namun justru melakukan pemberitaan secara masif terhadap berbagai
aktivitas anti perang dari level yang paling kecil sampai yang paling
besar. Kualisi media ini diharapkan akan menjadi bola salju kekuatan
anti perang yang akan memaksa para pengambil keputusan di negara-
negara yang sedang berkonflik untuk kembali berfikir jernih dan
rasional.
Perang terhadap Iran akan semakin menambah deretan tangis
yang tak tertahankan lagi di seantero dunia. Bagaimana tidak harga
minyak mentah dunia telah melambung tinggi kembali yang mencapai
kisaran 70 US$/barrel. Belum lagi yang akan diiringi dengan kenaikan
harga emas di pasaran internasional yang akan semakin mempersulit
negara dunia ketiga yang selama ini hidup dari infus utang dari negara
donor. Bagaimana rakyat Indonesia justru akan menangis dengan
semakin keras jika kemudian perang berlanjut sehingga harga minyak
dunia mencapai 100 US$/barel seperti yang telah banyak diprekdisikan
banyak pengamat ekonomi. Jangan-jangan hutang yang akan diterima
oleh pemerintah Indonesia oleh World Bank akhir-akhir ini bukan untuk
dipergunakan membangun infra-struktur bagi akselerasi pembangunan
nasional tapi malah untuk membayar bunga pinjaman yang semakin
melambung tinggi. Sebab dalam setiap laga perang, yang menang jadi
arang dan yang kalah aan jadi abu. Tidak ada yang untung dalam
perang, kecuali para opurtunis perang yang mendapatkan keuntungan
dari bergelimpangnya korban perang yang tak berdosa. Semoga

13
NASIB IRAN PASCA RESOLUSI 1747

Pembaca, tulisan ini merupakan makalah yang saya tulis ketika


diundang dalam Diskusi tentang Nuklir Iran di TVRI Yogyakarta. Hal
ini terkait dengan ketidakkonsistenan Indonesia, yang sebelumnya
memberikan apresiasi terhadap program nuklir Iran, pada waktu
kunjungan Ahamadinejad ke Indonesia. Namun dalam posisi
pengambilan keputusan di Dewan Keamanan PBB, di mana Indonesia
berposisi sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB,
Indonesia lebih memilih sikap abstain.
Banyak kalangan pilihan Indonesia ini akan menyebabkan
posisi Iran akan semakin terpuruk. Namun apakah demikian? Penulis
mengembangkan opisi tentang nasib Iran dengan menggunakan variable
pengalaman Iran dalam mengelola tekanan pasca revolusi Iran. Semakin
Negara memiliki pengalaman menghadapi tekanan, semakin Negara
tersebut memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan
Negara yang tidak memiliki pengalaman menghadapi tekanan. Selamat
membaca.

Persoalan nuklir Iran mulai mencapai titik-titik yang


menentukan. Resolusi DK PBB No. 1747 berupa pelarangan ekspor
senjata konvensional dan pembekuan aset ekonomi 28 lembaga
keuangan, industri, tokoh, termasuk Bank Sepah. Bagi DK PBB sanksi
ini diyakini akan efektif untuk mendesak Iran untuk menghentikan
aktivitas pengayaan uraniumnya.
Tulisan ini akan melakukan analisis pemetaan ekskalasi konflik
nuklir, dan mengidentifikasi nasib Iran pasca resolusi, apakah Iran akan
justru semakin terpuruk atau malah mendapatkan keuntungan karena
sikap “kebandelannya” dalam memperjuangkan regime baru nuklir.

14
Regime Nuklir
Iran merupakan negara yang unik tatkala berhadapan dengan
negara yang memusuhinya dan mengucilkannya. Pemerintah dan
masyarakat Iran memiliki daya tahan yang sangat kuat tatkala
menghadapi payung tekanan dan ancaman. Sehingga tekanan dan
ancaman bagi masyarakat Iran bukanlah problem yang harus ditakuti,
namun harus disikapi secara mandiri dan bermartabat. Embargo dari
negara-negara Barat, khususnya AS kepada Iran bukan menghasilkan
degradasi moral dan material bagi Iran, namun justru melahirkan
kreatifitas dan percaya diri. Pengisolasian dari komunitas Arab pasca
revolusi Islam Iran 1979, tidak menjadikan Iran sebagai bangsa
pendendam, karena justru Iran kemudian mampu tampil secara elegan di
komunitas Islam internasional, sehingga Presiden Iran, Muhammad
Khatami dijadikan Ketua Organisasi Konferensi Islam.
Konflik Nuklir Iran dalam batas tertentu adalah konflik antara
kelas penguasa (ruler state) dengan kelas menengah (upper state). AS
sebagai representasi ruler state menghendaki Iran agar tidak
melakukan mobilitas vertikal dalam hal nuklir karena dianggap Iran
tidak memiliki moral nuklir yang memadai. Iran dengan kapasitas
nuklirnya akan membuat situasi dan setting politik di Timur Tengah
akan berubah. AS seakan sebagai penguasa yang bisa menjudgemen
sebuah aktivitas tersebut legal ataupun kriminal.
Di sisi lain, Iran merupakan representasi upper state, di mana
Iran memiliki tingkat independensi yang sangat tinggi terhadap
siapapun termasuk AS. Kekuatan nuklir Iran tumbuh secara alamiah dan
tidak melalui asistensi ataupun hutang budi kepada negara-negara
nuklir. Iran bukanlah klien dari AS, demikian pula Iran tak pernah
mengakui AS sebagai patron. Sehingga Iran dalam konteks konflik
Nuklir jauh memiliki preferensi yang sangat luas dalam memainkan
berbagai skenario diplomasi. Sangat berbeda dengan negara nuklir
lainnya, seperti India, Pakistan dan Korea Utara, cenderung mudah
ditekan dengan pemberian reward and punishment.

15
Dengan kapabilitas yang dimilikinya, Iran menawarkan issue
reformasi regime Nuklir dengan senantiasa mengembangkan asumsi
bahwa nuklir adalah barang legal, boleh dikonsumsi dan diproduksi
secara bertanggungjawab oleh setiap negara. Kapabilitas nuklir sutu
negara tidaklah senantiasa berbanding lurus dengan indeks agresi suatu
negara nuklir terhadap negara non nuklir.
AS sangat tidak menghendaki dalam konteks nuklir terjadi
proses demokratisasi. Nuklir adalah benda terlarang, danmiliki oleh
negara yang memang memiliki kapasitas untuk mengendalikannya.
Pende\mokratisasian nuklir justru dianggap akan menghasilkan konflik
terbuka, yang menjurus kepada aktivitas perang. Sehingga otoriterisme
nuklir dalam pandangan AS justru akan produktif bagi terciptanya
keseimbangan dan perdamaian dunia.

Nasib Iran
Dalam konteks dinamika negosiasi, minimal ada tiga alternatif
yang akan dilakukan Iran dalam upaya menanggapi sanksi DK PBB.
Pertama, Iran akan melakukan tindakan menarik diri (withdrawl)
dengan kemudian menghentikan segala upaya pengembangan nuklirnya.
Alternatif ini jelas tidak menjadi pilihan rasional Iran. Sepanjang sejarah
nuklir, tidak ada satupun negara baru nuklir yang kemudian dianeksasi
dan diamputasi kemampuan nuklirnya karena membandel kepada
regime NPT. Artinya limit ancaman DK PBB hanyalah pada skala
embargo ekonomi dan militer belaka, dan Iran dalam konteks ini telah
memiliki endurance dan experience untuk menghadapi embargo.
Kedua, Iran melakukan tindakan kompromi, artinya Iran
kemudian menegosiasikan ulang tentang program pengembangan
nuklirnya dengan pemberian imbalan atau kompensasi. Iran tidak
menang mutlak, demikian pula pendukung regime NPT dan PBB juga
tidak menang mutlak. Hal ini pernah ditawarkan oleh Uni Eropa pada
tahun 2006 dengan pemberian akses paket insentif pengembangan
nuklir melalui teknologi air.

16
Jika paket itu yang ditawarkan ulang oleh DK PBB, Iran bisa dipastikan
akan menolaknya. Secara logika saja, Iran dipastikan menuntut paket
insentif yang lebih besar, tidak hanya dalam hal transfer of technology
namun juga revisi ulang tentang regime NPT yang mulai tidak relevan.
Ketiga, Iran terus melakukan konfrontasi dengan regime NPT
dan DK PBB. Pilihan konfrontasi memang pilihan yang dilematis bagi
sebagian besar aktor internasional yang mendapat tekanan dari lembaga
internasional. Sebab puncak dari bentuk konfrontasinya suatu negara
terhadap tatanan internasional adalah dengan dicapnya negara tersebut
sebagai negara kriminalis sehingga regime internasional sah melakukan
tindakan aneksasi atas nama prinsip keamanan bersama (collective
security).
Dari tiga pilihan tersebut, Iran dalam analisis penulis cenderung
akan memilih pilihan yang ke 2 atau yang ke 3. Iran dipastikan tidak
mau menempuh pilihan pertama, karena pilihan tersebut adalah pilihan
pengecut. Sedangkan pilihan yang kedua, tampaknya tidak akan dipilih
Iran jika regime NPT dan DK-PBB tidak memiliki political will untuk
mengubah tatanan nuklir internasional, dan tidak ada kompensasi yang
lebih baik kepada Iran secara khusus dan tatanan internasional secara
umum. Artinya bola salju penyelesaian nuklir Iran adalah terletak di
anggota DK PBB untuk mau mereformasi diri bagi terciptanya tatanan
nuklir yang demokratis.
Sedangkan pilihan ketiga, dalam batas tertentu tidak sangat
membahayakan Iran dalam derajat yang tinggi. Regime yang paling
banyak menentang keberadaan nuklir Iran adalah AS dan Inggris yang
notabene dalam konteks politik domestik adalah regim demisioner. Di
samping itu pula, AS dan Inggris sudah teramat dilelahkan dengan
keterlibatan konflik di Afghanistan dan Iraq yang sudah sangat menyita
energi. Teramat sulit bagi AS dan Inggris kembali melakukan aneksasi
ke Iran dengan kekuatan besar-besaran seperti ketika menganeksasi
Afghanistan dan Iraq. Derajat sanksi tertinggi dala regim
internasional terhadap Iran

17
hanyalah embargo. Sehingga dalam pandangan penulis, Iran
sesungguhnya pemegang kartu truff (As) dalam konflik nuklir sekarang
ini, Iran maju akan menang, kompromipun Iran akan menang.

18
KEPENTINGAN RUSIA DAN CHINA

DALAM KASUS NUKLIR IRAN

Persoalan nuklir Iran telah menjadi persoalan dunia yang sangat


masif diperbincangkan dengan segala replika dan peliknya masalah dari
berbagai media. Nuklir Iran sepertinya akan menjadi berita yang berarti
seperti halnya ketika masyarakat Iran melakukan Revolusi di 1979,
hampir semua media massa memperbincangkan dalam bentuk “payung
ketakutan” akan adanya ekspor revolusi.
Yang cukup menarik dalam kasus Nuklir Iran kali ini adalah
dua negara berbasis regim “komunis” yakni Rusia dan China sebagai
negara yang senantiasa memberikan dukungan secara moril dan materiil
terhadap segala upaya internasional untuk “menghukum” Iran. Penulis
sebelumnya di Harian Republika ini telah menulis 2 artikel tentang
Nuklir Iran, baik yang berbasiskan keunikan Nuklir Iran dibandingkan
dengan fenomena Nuklir di luar negara Nuklir yang menandatangani
NPT ataupun melihat beberapa strategi Israel memainkan kasus Nuklir
Iran untuk kepentingan Israel di Timur Tengah. Dalam kaitan ini ada
kecenderungan yang sangat menarik, tatkala dukungan dari komunitas
dunia Islam cenderung “diam”, Rusia dan Cina segera memasang
“badan” untuk Iran, setelah IAEA secara terbuka menyatakan akan
membawa kasus nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB. Tulisan ini akan
mencoba melakukan analisis kepentingan Rusia dan China terhadap
Nuklir Iran, termasuk implikasinya bagi masa depan Iran dan dunia
Islam.

Seorang penulis terkemuka dalam bidang hubungan


internasional, KJ Holsti mendefinisikan aliansi sebagai bentuk orientasi
dan strategi politik luar negeri suatu negara untuk membangun kekuatan
bersama dalam menghadapi persoalan

19
bersama. Dari aliansi ini kemudian muncul sebuah implikasi besar,
“musuh kamu juga musuh saya, musuh saya juga musuh kamu.”
Dalam konteks perang dingin, gejala aliansi ini cenderung
dibakukan dalam bentuk kerjasama intenasional yang terlembagakan.
Sehingga muncullah kerjasama NATO, CENTO, ANZUS, SEATO
sebagai jaringan aliansi militer idiologi yang pro Amerika, sedangkan
WARSAWA sebagai bangunan aliansi pro Soviet. Pasca Perang dingin,
dari 5 organisasi tersebut tinggal satu saja yang dipertahankan yakni
NATO, bahkan Rusia sendiri sebagai “pewaris” tradisi Uni Soviet
dalam Pakta WARSAWA sekarang ini telah masuk dalam struktur
keanggotaan NATO yang dulu menjadi musuh abadinya.
Dalam batas tertentu memang struktur aliansi pada waktu
perang dingin dan pasca perang dingin cenderung berbeda, namun
sebagai sebuah peringkatan tetap menunjukan gejala yang sama yakni
“esprite de corp” dan solidaritas organis. Rusia tampaknya sedang
membangun aliansi “dua kaki” yakni mendekati dunia Islam dan
dengan komunitas negara Barat, sedangkan China juga demikian
halnya, membangun aliansi dua kaki, mendekati negara dunia ketiga,
dan mendekati Amerika Serikat.
Aliansi “dua kaki” ini yang tampaknya merupakan model
terbaru dari negara-negara komunis, baik berlaku di China, Vietnam,
Kuba ataupun Rusia. Sebelumnya kelompok negara komunis dalam
masa perang dingin merupakan negara yang rigid memegang idiloginya.
Tradisi baru inilah yang sepantasnya harus dicermati oleh Iran yang
sekarang ini “tampaknya” sedang dibela oleh dua negara komunis ini.
Dalam aliansi dua kaki sangat mungkin sekali “bangunan
aliansinya” tidak sekokoh aliansi sebelumnya. Dan memang dalam
konteks sekarang ini, Iran secara resmi juga tidak membangun aliansi
secara rigid pula kepada kedua negara tersebut, bangunan kerjasamanya
cenderung melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dalam
konteks transfer tehnologi dalam

20
persenjataan ataupun dalam konteks tukar-menukar informasi bersama.

Kepentingan dan Implikasi


ADa beberapa hal yang menarik untuk dicermati dalam konteks
kepentingan Rusia dan Cina terhadap Iran. Pertama, akses minyak dan
tradisi perlawanan. Dalam konteks minyak, Iran merupakan negara
pengekspor minyak yang relatif mapan dan independen terhadap
kepentingan Barat. Artinya membangun aliansi dengan Iran akan
menjamin suplai bagi proses industrialisasi di ke dua negara tersebut.
Sedangkan dari aspel tradisi perlawanan, Iran merupakan negara yang
sangat konsisten untuk melakukan kritik pedas terhadap hemegon dunia
yakni Amerika Serikat, meskipun posisi Iran dalam konstalasi global
adalah negara yang tidak memiliki power yang memadai kecuali
“semangat dan keyakinan”. Bagi Rusia dan China, semangat dan
keyakinan dari Iran ini perlu dipelajari secara mendalam agar posisi
Rusia dan China sebagai counter-part dari Amerika Serikat bisa tampil
lebih elegan.
Kedua, Rusia dan Cina baru saja kehilangan satu sekutu
tradisionalnya sekaligus negara yang berkapasitas nuklir yang selama
ini sedemikian dekat dengan keduanya yakni India yang telah jatuh
dalam “pelukan” Amerika Serikat. Harian Republika, Kamis, 9 Maret
2006 menurunkan analisis Dibalik Kesepakatan Nuklir AS-India.
Artinya, di area Asia Selatan, dua negara dengan kapasitas nuklir yakni
Pakistan dan India telah berada dalam lingkaran pengaruh AS. Hal ini
akan sangat berpengaruh dalam konstalasi pernukliran dunia dari sisi
kekuatan negara pro Rusia dan Cina.
Demikian pula Korea Utara, sebagai negara yang sangat
berdekatan dengan China dan Rusia juga sedang dalam proses
“akuisisi” oleh kekuatan AS melalui IAEA. Sedangkan di sisi lain
negara yang juga turut memproduksi nuklir secara diam-diam, semisal
Israel yang setali tiga uang dengan regim AS, tidak banyak
dipersoalkan. Artinya secara kalkulatif, hampir semua negara

21
“baru” nuklir adalah negara yang dalam satu garis komando dengan
kepentingan AS.
Dalam konteks inilah, Iran menjadi sangat berarti bagi Rusia
dan China karena potensi nuklir Iran yang sangat besar sekaligus secara
idiologis berjarak bahkan diametral dengan kepentingan AS. Jika Iran
tidak dibela secara mati-matian oleh China dan Rusia, maka dalam
konteks kepentingan nasional keduanya akan membuat struktur
perimbangan nuklir menjadi kacau, bahkan akan bisa berimplikasi
terhadap dicabutnya kesepakatan dalam NPT yang bisa memicu kembali
konflik nuklir yang lebih luas.
Ketiga, perhatian yang sangat kuat dari Rusia dan China dalam
batas tertentu akan menyebabkan Iran akan semakin bersikap lunak
kepada proses kerjasama terhadap keduanya, terutama dalam
penyebaran kembali tradisi komintern (komunisme internasional).
Memang tradisi ini sudah mulai mengendur --tapi tidak menutup
kemungkinan pula partai Tudeh (partai yang berhaluan komunis di Iran
—bisa berkembang lagi dengan menumpang kedekatan Iran dengan dua
negara super power komunis ini.
Namun Iran di bawah regim Ahmadinejad ini merupakan regim
yang sangat konservatif terhadap tradisi revolusioner dari Ayatollah
Khoemeini yang dengan lantang menyatakan semangat “laa syarqiyyah
laa gharbiyyah illa Islam”. Sehingga diharapkan mampu memanagemen
dukungan dan kemungkinan intervensi dibalik dukungan masif tersebut.
Wallohu A’lam

22
FRAMING NUKLIR IRAN

(Dalam Perspektif Kepentingan Dunia Islam)

Perkembangan teknologi nuklir mengalami ekskalasi yang


sangat signifikan. Beberapa negara non nuklir mulai mengembangkan
teknologi nuklir, baik untuk kepentingan militer maupun non militer.
Salah satu negara baru yang sedang dipergunjingkan dunia adalah Iran.
Sebuah negara dengan kultur Syi’ah yang kental dengan semangat
perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni idiologi lain.
Sebelumnya Pakistan di dekade 1980-an telah menjadi negara
nuklir yang mewakili dunia Islam, sehingga media massa internasional
sampai membuat headline tentang “bom Islam”, sebuah framing untuk
mengkontruksi bahwa Pakistan akan merepresentasi Islam untuk
menentang hegemoni dan akan membahayakan idiologi kapitalis
ataupun sosialis. Apalagi pengembangan nuklir di Pakistan kala itu
berada dalam kendali seorang Zia ul Haq. Presiden Pakistan yang
memiliki kepekaan dan cita-cita yang ambisius untuk menerapkan
sistem Islam (nizham al-islam) dalam struktur Pakistan.

Nuklir Iran: Bom Islam II


Dalam studi media, ada kecenderungan media melakukan
proses kontruksi terhadap apa yang disebut fenomena. Dan dalam proses
kontruksi tersebut akan sangat mungkin memiliki makna yang berbeda
bahkan menyimpang dari realitas yang sebenarnya. Fakta yang positif
akan bisa dikontruksi menjadi fenomena negatif atau peyoratif demikian
juga sebaliknya, fakta yang negatif bisa dikontruksi menjadi gejala yang
positif. Aktor konstruksi media tidak hanya datang dari mass media,
namun akan sangat mungkin datang dari negara yang memiliki
kepentingan terhadap perubahan makna terhadap fakta tersebut. Karena
dalam proses kontruksi tersebut terdapat apa yang disebut idiologi dan
kepentingan. (Eriyanto, 2004).

23
Nuklir merupakan sebuah energi alternatif yang memungkinkan
bentuk efisiensi konsumsi energi dunia. Namun setelah tragedi di
Chernobyl 1988, dan beberapa negara kecil menguasai teknologi ini,
setiap frasa yang bernama nuklir akan senantiasa dikonstruksi negatif.
Nuklir senantiasa disamakan dengan persenjataan nuklir, setiap negara
yang menguasai teknologi nuklir dalam konteks sipil senantiasa akan
dicurigai dikembangkan untuk kepentingan militer dan agresi.
Iran merupakan negara Islam kedua yang mendeklarasikan
memiliki kemampuan nuklir baik dalam kebutuhan sipil, maupun dalam
militer. Namun media senantiasa melemparkan issue bahwa Iran sangat
potensial menjadi “Bom Islam II” yang senantiasa bermakna
oposisional terhadap kepentingan Barat, terutama Inggris dan Amerika
Serikat. Apalagi ditambah dengan fakta bahwasannya regim Ahmadijad
yang berkuasa di Iran adalah regim konservatif Iran yang mulai
mendeklarasikan ulang issue “ekspor revolusi.” Bukan hanya itu saja,
Iran oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris telah dimasukkan ke
dalam poros kejahatan.
Konstruksi media Barat ini sedikit banyak akan memberikan
sinyal yang kuat bahwa Iran adalah “musuh aktual peradaban Barat “
bahkan bisa diperluas menjadi “musuh peradaban dunia”. Apalagi di
tengah kemakmuran ekonomi dan teknologi, Iran akan sangat mungkin
memproduksi teknologi nuklir dalam jumlah yang besar, sehingga
dalam batas tertentu, Iran akan menampakkan wajah agresifnya seperti
dalam dekade 1980- an dengan terciptanya perang 8 tahunan dengan
Iraq..

Keunikan Pengembangan Nuklir di Iran


Ada beberapa keunikan pengembangan nuklir di Iran
dibandingkan dengan negara-negara dunia ke 2 dan ke 3 ketika mereka
mengembangkan nuklir, yang dalam batas tertentu kemudian dirubah
menjadi piranti militer. Pertama, Iran dalam 1 dekade terakhir hampir
tidak memiliki musuh aktual regional yang mengharuskan Iran untuk
senantiasa bersiaga penuh dengan

24
menempatkan piranti nuklir sebagai alat untuk balance of power.
Kalaupun Iran pernah konflik dengan Iraq, hal itu sudah terjadi 3
dekade yang lalu. Bahkan sekarang ini, pemerintah Talabani di Iraq
adalah notabene pemerintahan yang berbasis Syi’ah. Ataupun jika
dengan negara Sunni di Timur Tengah, Iran relatif sudah diterima dalam
beberapa negara yang mayoritas Sunni, terbukti Iran dalam 5 tahun
terakhir telah menjadi Ketua OKI. Bagaimana dengan Israel, Iran tidak
pernah melakukan konfrontasi langsung state by state , tidak ada
sengketa wilayah antara Iran dan Israel, bahkan Iran bukanlah masuk
dalam geografi Kannan (tanah yang dijanjikan) bagi Israel.
Kedua, ada kecenderungan proyek nuklir Iran bukanlah proyek
latah dan beraspek “mercusuar” dan gagah-gagahan untuk menutupi
kebobrokan dalam negeri. Hal ini ditandai dengan tidak melemahnya
posisi makro ekonomi Iran dan politik Iran. Sangat berbeda dengan
India dan Pakistan ketika keduanya mengembangkan teknologi nuklir di
dekade 1980-an maka sangat berpengaruh dengan kondisi makro
ekonominya, seperti rendahnya angka harapan hidup yang hanya
mencapai 61-63 tahun bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Sri
Lanka, dengan pendapatan per kapita di bawah 500 US$ di 2003 serta
untuk menutupi “berbagai persoalan domestik”.
Posisi makro ekonomi Iran jauh lebih baik, dalam indikator
angka harapan hidup penduduk Iran mencapai angka 70 tahun, demikian
pula dengan pendapatan per kapita sudah lebih dari 2500 US$, bahkan
dengan kenaikan harga BBM praktis bagi Iran merupakan sebuah
“energi ekonomi baru” karena bisa menjual BBM dengan harga yang
tinggi.
Ketiga, Pengembangan nuklir Iran merupakan sebuah
keniscayaan, di tengah pertumbuhan ekonomi Iran yang semakin
mengesankan dan kemungkinan ancaman “penetrasi” AS dalam 1
dekade ke depan. Ahmadijad sebagai presiden yang berhaluan
konservatif sangat menyadari bahwa Iran merupakan musuh potensial
AS terutama dari kubu Republik, dan bukanlah musuh potensial
negara-negara Arab. Di tengah “kelelahan” AS, Iran

25
sangat peka untuk mengambil inisiatif untuk progresif dan intensif.
Maka pengembangan nuklir bagi Iran adalah sebagai alat bargaining
dalam sistem politik internasional, bukan untuk mengancam negara
tetangganya.
Pengembangan ini juga untuk menunjukkan “izzah” umat
Islam, bukanlah sebagai bangsa yang inferior. Dan Iran sepertinya
sangat berhati-hati dalam manajemen nuklir, sehingga selama proses
pemeriksaan dari IAEA akhir-akhir ini posisi nuklir Iran tidaklah se-
dramatis nuklir Korea Utara yang ‘readiness” untuk agresi . Jika Iran
tidak melakukan manajemen nuklir dengan baik, baik dalam skala
teknologi, penggunaan, metode dan waktu yang tepat, maka sudah bisa
dipastikan Iran akan segera digencet bersama Iraq di tahun 2003.
Keempat, Iran juga sangat menyadari bahwa aset cadangan
minyak di negara petro dollar sudah semakin berkurang. Bahkan Qatar
dalam 1 dekade lagi menurut penelitian dari Dhurarudin Mas’ad
(LIPI,1999), sudah kehabisan deposit minyaknya. Jika negara-negara
petro dollar tidak bisa memanejemen dengan baik, maka dalam hitungan
5 dasa warsa lagi, wilayah Timur Tengah dan Teluk akan menjadi
negara yang mengalami degradasi ekonomi karena hilangnya sumber
devisa. Energi nuklir sebagai energi masa depan yang harus
dipersiapkan secara masif, agar di abad 21 dunia Arab dan Islam tidak
tergantung dalam suplai energi dan teknologi nuklir yang dikuasai oleh
negara Barat.

Probabilitas Aneksasi ke Iran


Setiap upaya dari negara non nuklir untuk menjadi negara nuklir
senantiasa mendapatkan kecaman bahkan ancaman aneksasi dari negara
besar, terutama AS dan Inggris. Namun jika negara tersebut tetap
memaksakan diri, dalam 2 dekade terakhir ancaman aneksasi belumlah
terbukti. India dan Pakistan atau bahkan Israel tidak mendapatkan
tekanan aneksasi. Hanya Korea Utara yang digertak terus oleh AS,
karena di kawasan tersebut

26
terdapat 2 negara sekutu dekat AS di Asia Timur yakni Jepang dan
Korea Selatan.
Artinya jika Iran tetap memaksakan diri, ada kemungkinan
probabilitas terjadinya aneksasi dari AS dan sekutunya tidaklah
mencapai 80%-100%. Hal ini terbukti hanya AS dan Inggris sajalah
yang menyatakan keberatan. Terlebih keadaan ekonomi AS yang
mengalami tekanan yang sangat luar biasa akibat badai Katrina. Perang
atas nama melawan terorisme ternyata membuat para pejabat militer AS
melakukan “kebohongan publik” dengan men-switch dana
kesejahteraan menjadi anggaran militer untuk perang terhadap
terorisme. Mal kebijakan ini membuat alokasi dana untuk mengatasi
masalah badai Katrina menjadi sangat lambat.
Operasi militer AS ke Afghanistan dan Iraq sudah sangat
menyita energi sehingga memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap
kondisi ekonomi nasional. Sepertinya tidak mungkin dalam dekade ini
AS kembali melakukan “operasi militer” ke negara lain. Ada
kecenderungan terdapat siklus bahwa dalam 1 dekade, AS hanya
mampu melakukan aneksasi militer untuk menjatuhkan pemerintah
yang dianggap otoriter pada 2 sasaran. Seperti dalam dekade 1990-an,
Aksi aneksasi AS dilakukan di Iraq dan regim Noriega di Panama.
Dalam dekade ini AS sudah melakukan operasi yang sangat
melelahkan, sudah 3 tahun lebih aksi dilakukan namun tertib sipil dan
sosial di Iraq dan Afghanistan justru tidak terbangun. Mau tidak mau
AS harus tetap “bertanggungjawab” untuk memperlama masa tinggal
para pasukannya di daerah konflik. Hampir dipastikan jika dalam 5
tahuan ke depan tidak ada “tertib sosial dan politik” di Iraq dan
Afghanistan akan muncul doktrin Nixon di tahun 1971 ataupun Bill
Clinton di 1992 di mana ada penarikan besar-besaran pasukan AS dari
daerah konflik, semuanya karena masalah “beban” yang sudah tidak
mungkin ditanggung lagi oleh AS.
Wallohu A’lam.

27
NUKLIR dan PERIMBANGAN TEROR

Perbincangan nuklir semakin hari semakin intensif, dengan uji


coba yang dilakukan Korea Utara di bawah tanah yang kemudian
sempat menimbulkan efek gempa di atas 4 SR. Sedemikian banyak
negara non-nuklir melakukan peruntungan dengan mengembangkan
nuklir sebagai sarana daya tawar terhadap kekuatan negara besar yang
selama ini diyakini berlaku tidak adil. Guns Diplomacy tampaknya
menjadi pilihan paling rasional bagi negara-negara yang sedang
terjepit oleh kekuatan negara besar untuk bisa keluar dari berbagai jerat
dan perangkap.
Fenomena yang cukup menarik adalah negara-negara yang
sedang mengembangkan nuklir jika dipotret akan menyerupai tapal
kuda Asia, bergerak dari Iran, Israel, India, Pakistan dan Korea Utara.
Dari 5 negara tersebut, hanya Israel- lah yang senantiasa melenggang
dan tidak dipersoalkan proses proliferasi nuklirnya oleh kekuatan negara
besar seperti AS dan Inggris.
Tulisan ini akan menyoroti kekuatan nuklir sebagai sarana
bargaining negara-negara yang terpinggirkan sekaligus akan
memetakan peluang terciptanya tata keseimbangan kekuatan yang baru
dalam perspektif balance of terrors.

Nuklir dan Bargaining


5 tahun terakhir negara-negara non nuklir melakukan
pengembangan secara masif terhadap pengayaan uranium yang akan
menghasilkan energi yang efisien dan ramah lingkungan di tengah
melambungnya harga minyak dunia yang bergerak di atas kisaran 50
US$ per barel. Sedangkan sebelum tahun 2000 harga minyak dunia
hanya bergerak antara 20-30 US$ per barel.
Namun pada sisi yang lain, peningkatan kapasitas nuklir ini
justru dikembangkan oleh kekuatan regional yang beradadalam posisi
berseberangan dengan kepentingan AS dan Inggris. Sehingga dengan
sangat pongahnya George Bush melabeli

28
dengan ungkapan yang sangat sarkastik “poros kejahatan” atau “poros
setan” terhadap negara-negara pembangkang.
Pengembangan kapasitas nuklir ini dalam konteks hubungan
internasional merupakan salah satu sarana baru untuk melakukan politik
bargaining terhadap kekuatan negara-negara besar. Pilihan
pengembangan kapasitas nuklir ini diyakini akan meningkatkan power
suatu negara sampai berlipat-lipat. Artinya dengan kemampuan nuklir,
maka suatu negara bisa melakukan lompatan jauh ke depan dalam
politik bargaining.
Negara kecil selama ini diyakini sebagai “keledai” yang bisa
diperintahkan kemana-mana, oleh negara-negara besar. Para “keledai”
ini sekarang ini menjadi kekuatan “Singa”, meskipun masih kecil
namun memiliki daya gertak dengan aumannya. Dan nuklir merupakan
satu-satunya jalan, merubah performa politik “keledai” menjadi politik
“Singa”.

Balance of Terrors
Dalam literasi hubungan internasional, konsep balance of
terrors merupakan sebuah konsep yang mengambarkan proses
menciptakan keseimbangan baru melalui instrumen nuklir. Dengan
kekuatan destruksinya yang sangat masif, nuklir telah menjadi teror
yang sangat mengerikan bagi setiap aktor hubungan internasional.
Menguasai teknologi nuklir secara masif akan mendongkrak kekuatan
suatu negara menjadi negara yang powerful. Setidaknya negara besar
yang selama ini bisa mendikte perilaku politik negara kecil, akan
berfikir dua sampai tiga kali jika negara tersebut menguasai teknologi
nuklir. Sedikit gambarannya saja, kemampuan rudal Korea Utara sudah
dalam kapasitas rudal jarak jauh bahkan antar benua. Jika di hulu ledak
rudal tersebut dipasang senjata nuklir, maka negara AS, Inggris secara
potensial sudah masuk daerah target yang bisa dihancurkan. Konsep
balance of terrors inilah yang tampaknya dipergunakan oleh Korea
Utara untuk menciptakan keseimbangan baru.
Kekuatan bargaining negara di Asia terhadap dominasi
kekuatan negara AS dan Inggris ditunjukkan dengan fenomena

29
yang sangat berbeda dibandingkan dengan tipikal Amerika Latin yang
masih cenderung menggunakan kekuatan retorika dan idiologis.
Memang seorang Erik Morales dan Hugo Chaves merupakan tipikal
pemimpin yang flamboyan dalam menghadapi AS dan sekutu
globalnya. Kritik pedas dan sikap berani berbeda dengan negara lain
menempatkan keduanya sebagai penerus nama besar Fidel Castro dari
Kuba.
Kekuatan pembangkang dari Asia memiliki nilai lebih,
disamping memiliki kekuatan diplomasi wacana namun juga memiliki
guns yang cukup. Kim Jong Il dan Ahmadinejad merupakan tokoh Asia
yang sekarang sedang naik daun karena keberanian, kecerdasan dan
diiringi dengan “kenekatan” yang luar biasa untuk menghadapi
penetrasi barat. Keduanya memang berbeda dengan gaya pemimpin
Pakistan Pervez Musharraf dan PM India, yang cenderung
mempergunakan nuklirnya untuk bargaining dalam persoalan konflik
perbatasan, khususnya masalah Kashmir. Keberanian Korea Utara dan
Iran dalam batas tertentu merupakan cerminan dari kuatnya legitimasi
dua tokoh ini di negaranya masing-masing. Sehingga ketika melakukan
politik luar negeri, meminjam istilah Sukarno –viveri veri colloso”
(menyerempet bahaya), keduanya sedemikian percaya diri.
Dalam konteks menciptakan keseimbangan dan perdamaian,
Iran ternyata lebih maju dibandingkan dengan Korea Utara. Iran yang
sudah hampir saja dieksekusi oleh DK PBB senantiasa bisa
mengkomunikasikan dengan baik, sehingga hasil dari negosiasi tersebut
semakin menguatkan posisi Iran. Alasan yang paling utama adalah
nuklir yang dikembangkan Iran senantiasa bergerak dalam arasy damai,
nuklir Sipil. Sehingga masyarakat Arab (Sunni) tidaklah terlalu khawatir
dengan nuklir Iran, yang senantiasa dipropagandakan AS bahwa dibalik
Nuklir Iran adalah idiologi Syiah, keberhasilan nuklir Iran akan diiringi
dengan ekspor revolusi Syiah ke dunia Islam. Iran mempergunakan
nuklir sebagai balance terrors sebagai upaya membuat keseimbangan
yang lebih fairness dibandingkan dengan

30
keseimbangan dan perdamaian sebelumnya yang diyakini manipulatif.
Namun Korea Utara relatif memiliki masalah dengan negara
sekitarnya, seperti Jepang dan Korea Selatan yang sedemikian agresif
terhadap uji coba nuklir Korea Utara. Pengembangan nuklir Korea
Utara jelas akan semakin merusak harmoni yang selama ini sudah mulai
menuju ke arah momentum yang tepat. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari masih kuatnya pengaruh AS terhadap Korea Selatan, Taiwan dan
Jepang di semenanjung Asia Timur. Korea Utara sedemikian sulit untuk
menjelaskan pada negara serumpunya, bahwa nuklir Korea Utara adalah
untuk menghadapi raksasa besar AS yang telah mempurukkan Korea
dan Asia Timur pada umumnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta
bahwa kemakmuran Korea Selatan, Taiwan dan Jepang tidak bisa
dilepaskan dari asistensi AS. Artinya logika Korea Utara
mempergunakan nuklir sebagai balance terrors sebagai upaya
membuat keseimbangan yang lebih fairness cenderung ditolak oleh
negara tetangganya.

31
DIALOG “IMAJINER” UNTUK MR.

BUSH DAN MULLAH

AHMADINEJAD

Mr Bush, anda telah menjalankan amanah untuk memangku


kekuasan di negara adidaya selama dua periode. Namun tidak disangka,
amanah yang anda peroleh tersebut telah menggoreskan luka yang
sangat menyakitkan di dunia Islam, sebuah kawasan yang sesungguhnya
beremphati kepada kedamaian. Bumi Afghanistan dan Iraq sekarang ini
sedang menjerit dengan sangat kerasnya. Semoga anda mendengar
jeritan tersesebut secara emphatik. Bukan masuk telinga kanan dan
keluar telinga kiri. Yang akan mampu mengiring anda untuk tidak
menumpahkan amarah anda ke negeri Iran, sebuah negeri yang sedang
melakukan upaya untuk naik kelas. Memang Iran adalah negara yang
super aktif, dan cerdas dan berharga diri. Yang kadang-kadang anda
anggap kurang sopan ataupun nakal. Tapi percayalah, Iran adalah
bagian tak terpisahkan dari dunia islam, yang sebenarnya ramah, sopan
dan tahu menempatkan diri.
Amerika Serikat adalah negeri yang beradab. Menjunjung tinggi
hak asasi manusia dengan kilauan demokrasi sebagi pilarnya. Semangat
multi kulturalisme telah menjadi bibit unggul di negeri anda. Namun
mengapa investasi dari para pendahulu anda yang mampu menahan
nafsu berperang selama lebih dari 40 tahun semenjak perang dunia II
mengapa keluarga besar Bush justru menjadi keluarga yang maniak
dengan semangat berperang.
Bukankan abad sekarang ini bukan lagi abad untuk pamer
“muscle”. Ilmuan anda—Alvin Toffler- memberikan nasehat yang
sangat mendalam bahwa abad ini adalah abad “mind” sebagai
panglimanya. Artinya segala sesuatu akan diselesaikan dengan
pemikiran yang cerdas, elegan dan jauh dari paradigma kekerasan.
Amerika Serikat justru akan mulia jika mampu

32
menahan tangan tatkala sedang marah. Bukannya dengan keadidayaan
sekarang ini menjadi ringan tangan untuk menampar fihak lain.
Alasan nuklir untuk memerangi Iran jangan-jangan tidak
terbukti lagi seperti alasan anda menyerang Afghanistan untuk
menangkap Usamah bin Laden yang sampai saat ini juga belum anda
tangkap. Jangan-jangan Usamah tidak berada di Afghanistan ketika
anda sedang melakukan penyerangan, tetapi anda tetap tutup mata-tutup
telingga dari nasehat-nasehat bijak.
Bagaimana halnya dengan alasan anda untuk menyerang Iraq,
ternyata omong kosong dan mengada-ada. Setelah anda menggobok-
obok Iraq dan menimbulkan kekerasan konflik yang tak terperi, senjata
pemusnah massal yang anda jadikan sebagai alibi juga tidak terbukti.
Saya curiga jangan-jangan anda yang sangat berpengaruh di
masyarakat internasional, hanya sebagai boneka dari kalangan military
industrial complex yang memang gila perang. Perang akan menjadi
sarana mengalirnya pundi-pundi uang ke kantong- kantong mereka.
Sebagai presiden yang kredibel dan cerdas, anda memiliki otoritas yang
sangat kuat. Janganlah keperkasaan anda kepada negara kecil seperti
Afghanistan, Iraq dan Iran hanya sebagai kompensasi ketidakmampuan
anda dalam menangani masalah domestik. Masyarakat internasional
akan berdiri di belakang anda untuk menghadapi mafia MIC, jika anda
memang seorang pemuja humanisme universal.
Mr Bush, Amerika Serikat adalah negara besar, dan telah
menjadi magnet bagi arus distribusi barang dan jasa secara sangat masif.
Namun kebesaran anda seringkali direjoki oleh anak angkat anda di
Timur Tengah yakni Israel. Anak angkat anda sepertinya telah menjadi
anak yang telah tumbuh dewasa. Yang sebenarnya sudah saatnya untuk
di”sapih” agar menjadi negara yang mandiri dan bisa bergaul dengan
masyarakat di Timur Tengah secara damai. Menurut saya, anak angkat
anda seringkali melakukan politik “usil” dan “berandal”, mentang-
mentang anak emas dari Amerika Serikat. Namun mengapa Mr Bush,
negara

33
anda terus membela Israel baik benar ataupun salah. Sampai- sampai
keberangan anda terhadap Iran, jangan-jangan sebagai kepanjangan
keberangan Israel kepada Iran.
Mullah Ahmadinejad. Kami kagum kepada kesederhanaan anda
dalam mensikapi hidup dan menjalankan praktik kenegaraan di Iran.
Engkau bawa “sarapan” dari rumah anda untuk bekal dalam dalam
bekerja. Bagaimana mungkin di abad yang penuh dengan hedonisme ini
masih ditemukan seorang presiden yang membawa rantangn untuk
keperluan makan siang. Mungkin hanya anda sendiri seorang pemimpin
yang sederhana.
Kami tahu bahwa tindakan keras anda kepada Amerika Serikat
dan Israel selama ini tidak bisa dilepaskan dari ketidakadilan yang anda
terima dari mereka. Kami juga tahu bahwa doa dan usaha kaum
mustad’afin akan senantiasa dipayungi oleh barakah.
Dedikasi anda dalam memimpin Iran sedang mengalami ujian
yang sangat berat. Usia regim anda masih seumur jagung, meskipun
saya tahu bahwa anda adalah seorang politisi yang sangat faham fatsun
politik sehingga menghantarkan anda dari seorang Wali kota menjadi
seorang presiden. Anda melakukan lompatan besar politik yang sangat
dahsyat.
Nuklir memang seperti buah simalakama dalam regim
anarkhisme internasional. Jika mengembangkan nuklir akan dicurigai
atau bahkan dimusuhi oleh negara dengan kapasitas nuklir yang telah
membentuk sebuah formula NPT. Namun jika tidak mengembangkan
nuklir untuk multi-fungsi, maka deposit energi dari minyak akan sangat
berkurang yang justru akan menganggu roda perekonomian negara
anda.
Sebagai sesama saudara, ada baiknya untuk saling
mengingatkan dan bertausiah. Para Guru kami, Imam Ghazali telah
memberikan wawasan tentang apa yang disebut dengan perlawanan
yang maslakhah. Guru kami menyebutnya dengan “ilmu asy-syaukah”.
Mungkin ada baiknya, mullah Ahmadinejad mulai merenungkan
wasiat dari Imam Ghazali. Meskipun kami

34
sadar bahwa ada beberapa persoalan antara tradisi Sunni dan Syi’ah.
Saya ingin bertanya kepada Mullah Ahmadinejad, apakah benar
telah melakukan hisab secara haqiqi terhadap resiko perang yang akan
terjadi. Apakah tidak ada jalan lain yang bisa ditunjukkan kepada IAEA
atau kepada publik dunia Islam, bahwa tuduhan AS adalah tuduhan
palsu dan zalim. Jika anda sudah tidak percaya kepada IAEA sebagai
bagian dari boneka AS, maka dunia Islam akan membantu persoalan
anda dengan sebaik-baik pertolongan. Jika anda berbagi informasi dan
beban kepada dunia Islam, maka beban yang anda tanggung juga relatif
berkurang. Sehingga jebakan untuk melakukan aksi perang bisa
dieliminasi.
Kami juga ingin bertanya, bagaimanakah pandangan anda
terhadap Rusia dan Cina yang selama ini membela anda. Apakah
mereka akan menjadi maula yang tulus dalam membantu kesusahan
anda atau ada udang di balik batu. Apakah mereka sebagai mitra yang
bisa dipercaya, atau musang berbulu domba.
Kami ingin, agar Mullah Ahmadinejad bisa memilih keputusan
yang paling bijak seperti bijaknya Rasullullah dalam mengambil
keputusan. Ataupun seperti kesabaran Imam Ali dalam menerima
cacian, sang Imam Ali tidak akan menebaskan pedangnya karena marah
ataupun tersinggung secara pribadi. Saya juga berharap anda akan
meneladani sang Imam Ali untuk menjadi pribadi yang mumpuni. Saya
yakin anda mampu membawa bangsa Iran dan masyarakat internasional
dari krisis nuklir. Semoga.

35
MASIHKAH PALESTINA AKAN TEGAK ?

Tulisan ini berawal dari logika sejarah yang berlangsung di


Palestina, di mana terdapat peristiwa politik agendaUpaya Ariel Sharon
untuk menarik mundur pasukan dan pemukim Yahudi dari jalur Gaza
merupakan langkah yang mengejutkan (Republika, 22 Agustus 2005).
Ada kesan Sharon sedemikian rupa akomodatif dan ramah kepada
komunitas Palestina, jauh sekali jika dibandingkan di tahun 2001 ketika
Sharon pertama kali menjadi Perdana Menteri yang melakukan aksi
brutal sepanjang tahun.
Penulis secara pribadi sangat khawatir dengan nasib Palestina,
yang mana dalam analisis time series, tahun 2006 merupakan tahun
menghilangnya Palestina sebagai komunitas negara. Mengapa ? Ada
rentetan fakta yang sangat rigid dan shahih yang mengambarkan
fenomena okupasi Yahudi kepada Palestina secara sistematis semenjak
1906, yang berwatak agenda 10 tahunan. Analisis seperti ini pernah di
kata pengantari oleh Hidayat Nur Wakhid dalam buku Palestina
Nasibmu Kini, yang diedit oleh Abu Ridho tahun 1996.

Agenda 10 tahunan
Langkah okupasi pertama Yahudi terhadap Palestina adalah
dengan pendekatan diplomasi dana kelompok Zionisme kepada Sultan
Hamid II di Turki di 1906. Kaum Yahudi menghendaki agar Palestina
sebagai daerah pemukiman eksklusif Yahudi setelah mengalami
diaspora dengan imbalan Zionisme akan membayar hutang Turki
Utsmani. Namun upaya ini gagal.
Sepuluh tahun kemudian, diplomasi Yahudi dilakukan kepada
salah satu kompetitor Turki, yakni Inggris yang memiliki hak
protektorat terhadap wilayah Palestina. Upaya ini berhasil dengan
sukses dengan dikeluarkannya Balfour Declarations, sebuah kebijakan
yang memberikan mandat bagi orang Yahudi untuk bisa tinggal dan
menetap di Palestina. Piagam ini setali tiga uang dengan adanya
Revolusi Bolshevik di Rusia, yang salah satu implikasi revolusi
tersebut adalah pengusiran orang Yahudi dari

36
Rusia. Upaya mengembalikan orang Yahudi yang terdiaspora mulai
berhasil dengan adanya Balfour Decalaration dan Revolusi Bolsevik.
Sehingga di tahun 1927, mulai ditandai dengan gejala
pendudukan atau okupasi massif secara etnis. Menurut seorang Roger
Geraudy, okupasi Yahudi ini dengan “kolonialisme demografi”, yakni
sebuah upaya untuk memenangkan jumlah penduduk Yahudi dengan
mendatangkan seluruh orang Yahudi (imigrasi) dari segala daerah untuk
masuk ke Palestina. Upaya ini juga sangat serius, sehingga di tahun
1937, menurut Geraudy jumlah populasi Yahudi di Palestina sudah
menggalahkan populasi Arab. Dengan jumlah populasi yang lebih besar
ini memungkinkan komunitas Zionisme di 1948 melakukan deklarasi
negara Israel Raya di 1948.
Tindakan agresif Israel tampak sekali terhadap komunitas Arab
dan Islam, sehingga di 1956 terjadilah perang Arab-Israel I. Sebuah
perang besar yang melibatkan negara Arab dan di luar Arab. Belum
cukup dengan mengobarkan diplomasi militer ini, maka Israel juga
menginisiasi sebuah perang baru yang kemudian dikenal dengan perang
Yon Kippur di 1967. Sebuah perang klimaks yang menyebabkan
komunitas dan negara Arab mulai berfikir ulang untuk melakukan
konfrontasi langsung dengan Israel. Hal ini ditandai di 1978, lahirnya
sebuah Piagam Perdamaian Camp David , sebuah piagam yang
“menggembosi” bentuk-bentuk perlawanan negara-negara Arab kepada
Israel.
Akibatnya adalah di 1987, ketika aksi brutal Israel di Sabra dan
Satilla dan beberapa wilayah Palestina hampir tidak mendapatkan reaksi
emosional dari negara-negara Arab dalam bentuk dukungan politik dan
persenjataan. Bangsa Palestina harus berjuang sendiri menghadapi aksi
brutal Israel dengan lahirnya gerakan Intifadhah. Intifadhah merupakan
bentuk perjuangan otonom bangsa Palestina untuk tegak berdiri, dan
tidak tergantung kepada bantuan negara-negara Arab. Lahirnya
Intifadah ini memungkinakn proses pengorganisasian perlawanan

37
terhadap Israel semakin mengguat dengan lahirnya organisasi semisal
PLO, Hamas, Jihad Islam.
Perkembangan berbagai macam organisasi perlawanan Islam ini
kemudian mengilhami Israel untuk berfikir ulang bagaimana cara
menghadapi perlawanan massif masyarakat Palestina. PLO sebagai
salah satu faksi yang diakui di PBB sebagai representasi masyarakat
Palestina sudah mencanangkan kemerdekaan secara mandiri di 1997.
Namun Israel kembali lagi melakukan aksi yang sangat menarik dengan
melakukan negosiasi, dalam belum perundingan di OSLo, Madrid, Gaza
Jericho First, Why River dan Camp David II. Perundingan- perundingan
ini pada akhirnya menempatkan Palestina semakin tidak berdaya dalam
diplomasi, karena pasca perundingan bukan jalan damai yang diperoleh
namun “pengentalan kekerasan”. Perundingan merupakan jalan
“sukses” Israel untuk menekan Palestina.
Sehingga melihat gelagat ini, penulis sampai pesimis dengan
kemungkinan yang akan terjadi di 2006. Jangan-jangan Palestina sudah
berakhir, karena dalam beberapa program CD Rom tentang Peta dan
Atlas, nama Palestina ketika dientrikan untuk mencari peta Palestina ada
kecenderungan peta tersebut tak ditemukan. Namun jika diketik Israel,
maka akan muncul peta Palestina yang secara eksklusif menjadi bagian
dari Israel dengan definitif dan jelas.
Terlebih dengan upaya serius Israel untuk menghabisi
“eksponen” perlawanan dari masyarakat Palestina. Dimulai dengan
pembunuhan secara tragis kepada pemimpin Jihad Islam Abdullah
Syaqaqi di 1998, dan dilanjutkan pembunuhan secara beruntun kepada
pemimpin Hamas Syeikh Ahmad Yassin dan penggantinya Abdul Aziz
Rantisi, dan disinyalir juga pembunuhan terhadap tokoh PLO Yasser
Araft di tahun 2005. Ariel Sharon meyakini seperti di kutip oleh Mark
Jurgensmeiyer bahwa langkah menciptakan perdamaian dengan cara
membunuhi para pemimpin jihad di Palestina.

38
Yang lebih menyakitkan adalah posisi Yerussalem, yang akan
menggantikan posisi Tel Aviv sebagai ibukota Israel. Hal ini bisa
difahami karena semenjak negosisiasi di Gaza Jericho First salah satu
itemnya adalah Israeal akan memberikan akses bagi warga Arab untuk
bekerja di Gaza dan Jericho, namun Israel akan mendapatkan
penggelolaan Yerusalem secara eksklusif. Sehingga bisa dimaklumi jika
kemudian Israel menolak upaya pemakaman Yasser Arafat di
Yerussalem. Artinya Yerussalem bukan sebagai wilayah eksklusif
Palestina dan Islam.

Hidden Agenda
Ada baiknya semua fihak kembali bercermin. Apakah tawaran
kebijakan Sharon merupakan kebijakan yang ramah (friendly policy)
atau kebijakan kejut bagi infiltrasi dan intervensi yang lebih massif.
Apakah kebijakan tersebut merupakan “pengakuan dosa” Israel
terhadap kesengsaraan Palestina atau malah sebagai “jalan untuk
memancing kembali” kemarahan komunitas Yahudi ekstrim untuk
melakukan tindakam brutal dengan penembakan kepada Jama’ah
Shubuh di masjid Ibrahim 1994 oleh Barouch Goldstein. Ataukah
kebijakan itu sebagai “bentuk kemenangan diplomasi Abbas” setelah
dilantik menggantikan Yasser Arafat, yang tidak dipercaya oleh
masyarakat Palestina karena dianggap pro-Israel.
Yang dikhawatirkan adalah “friendly policy” tersebut adalah
bagian dari kebijakan carrot and stick. Carrot (wortel) yang sengaja
dipasang secara intensif dan dikemas secara menarik untuk mengundang
simpati komunitas Palestina dan dunia Islam sehingga tidak
memperhatikan agenda tersembunyi dibalik itu. Jangan-jangan dibalik
“ranumnya wortel” terdapat “(Stick) tongkat yang sedemikian besar”
untuk sekali pukul jika Palestina melakukan kesalahan atau pelanggaran
terhadap item perdamaian akan dipergunakan sebagai pembenar
tindakan agresi yang lebih masif yang mampu menghilangkan Palestina.
Kebijakan carrot and stick, rentan sekali sebagai kebijakan untuk
mengadu domba komponen masyarakat Palestina. Masyarakat

39
yang apresiatif terhadap Israeal disuruh langsung berhadapan dengan
komunitas Palestina yang tidak apresiatif. Artinya peluang kekerasan
antar masyarakat Palestina akan sangat besar pasca kebijakan ini. Jika
regim Abbas, gagal memanegemn konflik ini, bukan tidak mungkin
Israel yang akan mengambil alih kekuasaan Abbas.
Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut kepada
komunitas Yahudi. Yang pasti, dengan penggusuran 21 pemukiman
Yahudi yang telah dibangun 38 tahun yang lalu merupakan sebuah
“memancing bola api” kekerasan di Israel. Dan jika bola api tersebut
tidak bisa dijinakkan oleh Israel yang kemudian akan menyebabkan
kekerasan yang masif, bukan tidak mungkin Israel akan menerapkan
langkah kebijakan yang kedua yakni scape goat policy (politik
kambing hitam).
Politik kambing hitam ini jelas akan memunculkan konflik
horisontal yang sangat keras antara komunitas Arab dengan Yahudi.
Kekerasan ini justru akan memancing intervensi lebih kekuatan militer
Sharon untuk melakukan kebijakan represif. Artinya friendly policy
Sharon merupakan langkah awal dari represive policy Sharon untuk
mendapatkan secara total wilayah Palestina.

40
HAMAS Korupsi ?

Analisis Politik Embargo AS Terhadap Hamas

Hamas sebagai sebuah regim baru di Palestina mendapatkan


tekanan dan jebakan yang sangat serius. Issue seputar friksi dengan
kelompok Fatah semakin lama semakin memanas, meskipun dalam
konteks ini regim Haniyya berupaya dengan sangat keras agar faksi di
Palestina tidak melakukan tindakan yang justru akan memperlemah
posisi tawar Palestina terhadap Israel. Kasus terakhir yang cukup
menghentak adalah “tuduhan” terhadap juru bicara HAMAS –Sami Abu
Zuhri- diduga melarikan uang Rp. 7,5 milyar bantuan dari masyarakat
internasional, dan kemudian diberitakan dengan sangat lugas bahwa
para petinggi Hamas melakukan korupsi. Tulisan ini akan menganalisis
terhadap seputar probabilitas regim Hamas dalam persoalan korupsi.

Sejarah Hamas
Sebelum menjadi sebuah regim baru di Palestina, Hamas
merupakan LSM atau organisasi sosial-kemasyarakatan yang berkarya
menyantuni problem sosial seperti kesehatan dan pendidikan di
Palestina. Namun publik internasional hanya mengetahui bahwa Hamas
adalah oganisasi para-militer yang mengedepankan prinsip kekerasan
dalam usahanya melawan pendudukan Israel.
Dalam proses penyantunan terhadap problem sosial tersebut,
Hamas banyak mengandalkan pendanaan dari donatur Arab ataupun
jaringan Ikhwanul Muslimin internasional. Sangat berbeda dengan LSM
di negara dunia ketiga yang dalam proses kegiatannya sangat tergantung
penggalangan dana dari lembaga donor negara Barat, seperti USAID,
Ausaid, Ford Foundation, The Asia Foundation, ataupun British
Council. Proses pemberian bantuanpun cenderung mempergunakan
hubungan antar pribadi bukan dengan penggunaan sistem keuangan
yang rigid melalui

41
mekanisme perbankan. Adalah teramat rumit dan mustahil bagi para
donatur Hamas mengirimkan bantuan melalui bank-bank yang ada di
Israel. Jelas bantuan akan bisa distop atau bahkan dirampas, dengan
alasan sebagai transfer dana teroris seperti yang selama ini dituduhkan.
Untuk mengantisipasi problem birokrasi perbankan yang tidak
bersahabat tersebut, bantuan sering diwujudkan dalam bentuk natura
yang dikirim melalui Yordania. Yordania merupakan negara yang relatif
memiliki keterdekatan politik dengan regim Hamas dibandingkan
dengan Arab Saudi.
Sebagaimana yang dimaklumi oleh para donatur , LSM Hamas
dikenal sebagai organisasi yang accountable. Pengelolaan dana
donatur oleh Hamas selama ini tidak pernah dipersoalkan oleh para
donatur setia Hamas meskipun tidak pernah ada audit yang
dipublikasikan secara terbuka sebagai bentuk pertanggung-jawaban.
Tidak dipublikasikan audit tersebut terkait erat dengan persoalan politik
yang selama ini dihadapi oleh Hamas terkait dengan stigma negara
Barat, khususnya AS dan Inggris yang memasukkan Hamas sebagai
organisasi teroris dan bukan karena persoalan tradisi Hamas yang tidak
accountable.
Persoalan menjadi mengemuka bagi Hamas dalam hal
transparasi penggunaan dana bantuan setelah Hamas menjadi sebuah
regim yang resmi di Palestina. Sistem pengelolaan keuangan
sedemikian rupa harus terstandarkan prosedur keluar masuk uang dan
bantuan. Hamas sedari awal cenderung sudah melakukan berbagai
aktivitas pengelolaan dana secara terbuka dan accountable. Lawatan
Ismail Haniyya kepada Rusia, Iran, Malaysia dan negara muslim
lainnya untuk menggalang bantuan bagi pendanaan pengelolaan
pemerintaan Palestina sebagai akibat dihentikannya bantuan dari AS,
Inggris dan Australia serta keengganan Israel untuk membayar pajak
yang selama ini menjadi sumber APBN Palestina. Secara prinsipal
negara yang dikunjungi Hamas memberikan apresiasi yang sangat tinggi
untuk memberikan bantuan pendanaan bagi pengelolaan pemerintahan
Palestina.

42
Politik Embargo AS
Sikap akomodatif negara-negara muslim dan Rusia terhadap
Hamas membuat politik AS terhadap Hamas semakin mengeras yakni
dengan politik embargo. Yang lebih parah lagi politik ini menutup
semua akses lalu lintas peredaran uang yang masuk ke Palestina. Jika
terdapat sebuah lembaga keuangan yang memberikan akses bagi
pengiriman uang kepada regim Hamas, AS tidak segan-segan untuk
segera membekukan lembaga keuangan tersebut. Artinya jalur transaksi
peredaran uang ke pemerintahan Hamas sama sekali macet total jika
tetap mempergunakan jaringan peredaran uang secara resmi. Perbankan
di Israel jelas akan sangat memprotek aliran dana dari luar ke Hamas.
Bahkan jaringan perbankan di negara-negara muslim-pun tidak bisa
dipergunakan oleh para donatur Hamas untuk mengirimkan bantuannya.
Di sisi yang lain, jeritan para pegawai pemerintah Palestian yang sempat
tidak mendapatkan gaji selama 2 bulan harus segera dibayarkan
sebelum terjadi aksi boikot ataupun mogok kerja yang bisa
memperunyam posisi Hamas.
Kondisi inilah yang kemudian Hamas mempergunakan jalur
transfer pendanaan pemerintahan Palestina dengan mempergunakan
jejaring sebelumnya, di mana proses pengiriman dengan menggunakan
kurir yang berbasis orang dan dibawa secara tersembunyi untuk
menghindari deteksi dari fihak- fihak yang bisa menggagalkan
pengiriman uang tersebut. Sehingga tuduhan faksi Fatah bahwa Hamas
sudah melakukan praktik yang tidak transparan dalam pengelolaan
bantuan disanggah dengan sangat keras oleh Ismail Haniyya. Menurut
Haniyya tindakan Abu Zuhri membawa Rp. 7,5 Milyar bantuan adalah
tindakan yang bisa dimaklumi untuk memutus rantai penghambat
jejaring embargo AS, karena tidak diperuntukan untuk pribadinya dan
akan disetor ke kas negara.
Implikasi politik embargo AS tersebut memang telah
menggiring posisi Hamas menjadi semakin sulit dalam proses

43
pengelolaan lalu lintas uang dan distribusi ke masyarakat. Negara
ataupun Organisasi Internasional Islam, yang sebelumnya siap akan
memberikan bantuan ke regim Hamas juga mengalami problem yang
cukup serius bagaimana agar bantuan tersebut bisa sampai ke regim
Hamas tetapi tidak mempersulit posisi Hamas dengan tuduhan-tuduhan
yang tidak perlu terjadi.
Sebagai sebuah regim yang resmi, memang Hamas harus bisa
keluar dari persoalan ini. Upaya pengelolaan bantuan terhadap Palestina
memang harus segera ditata oleh Hamas dengan membentuk
Konsorsium Bantuan dengan menggunakan satu pintu yang tentunya
harus difasilitasi PBB ataupun OKI. PBB dan OKIsebagai lembaga
internasional harus berani bersikap kepada sikap sefihak AS terhadap
Hamas, embargo kepada Hamas bukanlah embargo PBB ataupun
masyarakat internasional. Hanya dengan cara inilah Hamas akan bisa
keluar dari tuduhan-tuduhan yang tidak semestinya terjadi, dan
mengeliminir agen pengirima uang yang berbasis manual dan individual
yang rentan dengan tuduhan korupsi.
Jika memang tidak ada political will dari masyarakat
internasional untuk menembus kebuntuan ini, maka jangan salahkan
Hamas jika masih mengelola managemen bantuan ala LSM, sebagai
satu-satu jalan yang paling efektif untuk menembus benteng embargo
yang masif dari AS. Wallohu A’lam.

44
HAMAS: DARI OPOSISI MENJADI PLAYER

Analisis Akuntabilitas Sebagai Regim

Hamas sebagai sebuah organisasi perlawanan di Palestina telah


menyita perhatian banyak kalangan di Indonesia maupun masyarakat
internasional. Di tingkat nasional, Partai Amanat Nasional secara
apresiatif memberikan dukungan secara masif kepada Hamas dalam
membangun pemerintahan barunya di tengah kegamangan pemerintah
Indonesia dalam memotret masa depan perdamaian Israel Palestina
pasca kemenangan Hamas. Hal ini ditandai dengan upaya Deplu RI
mengadakan workshop panel ahli di Yogyakarta untuk mencari
masukan dari kalangan akademisi bagaimana Indonesia harus bersikap
terhadap Hamas.
Yang juga cukup menarik, Kompas, 21 Februari 2006
memberikan ulasan yang cukup apresiatif dan simpatik terhadap
kepemimpinan Hamas oleh Ismail Haniya yang diyakini akan mampu
membawa Hamas dari organisasi perlawanan radikal menjadi regim
yang akuntabel. Demikian pula Republika, 21 Februari juga secara
lugas mengulas tentang upaya komunitas Islam internasional untuk
memberikan support moral dan materiil terhadap Hamas. Bahkan
negara seperti Yordania, Uni Emirat Arab, Suriah dan Yaman serta Iran
secara masif akan membantu proses pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan oleh Hamas tatkala bantuan dari Amerika Serikat
dihentikan bahkan pemerintah Palestina harus mengembalikan bantuan
hibah menjadi pinjaman atau hutang.
Tulisan ini akan menganalisis tentang berbagai kemungkinan
kepentingan negara atau kelompok masyarakat yang memberikan
dukungan secara masif di tengah kegamangan berbagai fihak.

45
Metamorfosis Hamas
Kemenangan Hamas dalam pemilu parlemen di Palestina
bukanlah sesuatu yang instan. Hamas merupakan fenomena yang tak
bisa dilepaskan dari Palestina. Sedari awal Hamas sebenarnya lebih
mencerminkan diri sebagai kekuatan organisasi sosial amal, yang
banyak menfokuskan kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat
Palestina dengan memberikan jasa pendidikan dan kesehatan. Ranah
kerja Hamas yang langsung bersentuhan dengan problem hidup
masyarakat Palestina menjadikan Hamas sebagai kelompok yang sangat
populer.
Dari organisasi dengan watak interest group ini kemudian
Hamas melakukan metamorfosis menjadi kekuatan penekan atau
pressure goup baik kepada faksi Fatah yang mulai menunjukkan gejala
yang semakin pragmatis dalam mensikapi kebijakan Israel. Daya desak
Hamas selama ini dikenal sangat kuat, bersama dengan organisasi Jihad
Islam. Kekuatan Hamas dalam pandangan Marx Jurgensmeiyer tatkala
melakukan pengamatan langsung dan bertemu dengan Abdul Aziz
Rantisi sebagai wakil dari Sheikh Ahmad Yassin adalah kesolidan
organisasi yang terdukung oleh asas kepercayaan sesama anggota yang
sangat tinggi (tsiqah).
Kinerja Hamas sebagai pressure group sangat diperhitungkan
oleh Israel maupun Amerika Serikat. Sehingga untuk merusak citra
sosial Hamas, maka Israel dan Amerika Serikat mendesak ke PBB
untuk memasukkan Hamas sebagai salah satu organisasi teroris
internasional yang harus diberangus. Namun ada kecenderungan
demonisasi ini gagal, baik di tingkat domestik ataupun internasional.
Sangat berbeda dengan demonisasi terhadap jaringan al-Qaeda yang
sedemikian efektif sehingga gerak langkah jaringan ini menjadi terbatas,
bahkan seorang Osamah bin Laden harus melakukan gerilya untuk
menghindari kejaran Amerika Serikat.
Terbunuhnya tokoh karismatik Hamas, Sheikh Ahmad Yassin
dan penggantinya Abdul Aziz Rantisi tidak menyebabkan organisasi
Hamas collapse , namun justru sebaliknya Hamas tetap

46
exist bahkan memberanikan diri masuk dalam ruang politik yang
terbuka yakni Pemilu. Sangat berbeda dengan Fatah, menjelang
meninggalnya Yasser Arafat roda organisasi Fatah cenderung semakin
melemah, bahkan dalam batas tertentu Fatah telah terkoyak ke dalam
dua kubu, kubu Abbas yang mulai pragmatis dan kubu Arafat yang
kembali ingin menghidupkan perlawanan terhadap Israel.

Berkah Palestina ?
Ada sebuah adagium yang selama ini berkembang bahwa jika
suatu masyarakat ataupun negara memberikan emphati yang sangat
besar kepada kemaslakhatan Palestina maka akan memberikan berkah.
Hal ini ditafsirkan dari surat Al-Isra ayat 1 pertama yang secara jelas
menyatakan bahwa Masjidil Haram sampai Masjidil Aqsha di Palestina
merupakan tanah yang diberkati. Sehingga barang siapa menolong
Palestina, maka Allah juga akan menolong pula kepada orang tersebut,
pengambilan kesimpulan ini kemudian diperkuat dengan dalil ayat Surat
Muhammad ayat 7, maka barang siapa menolong agama Alloh maka
Alloh juga akan menolong orang tersebut dengan mengokohkannya.
Adagium ini sangat dipercaya sehingga banyak negara Arab dan
dunia Islam di dekade 1950-1960-an sedemikian rupa masif membantu
perjuangan Palestina dalam melawan hegemoni Israel. OKI adalah salah
satu bentuk kerja keras dunia Islam untuk menselamatkan Palestina
sebagai tanah wakaf dari Islam dan agama besar dunia; Nasrani dan
Yahudi . Namun adagium ini kemudian mulai tidak dipercayai lagi,
ketika ada pola yang justru berbanding terbalik, semakin menolong
Palestina maka akan menimbulkan masalah nasional. Sehingga sedikit
demi sedikit banyak negara Arab dan Mesir mulai menarik diri dengan
adanya perjanjian Camp David. Masalah menjadi runyam tatkala,
Palestina di bawah Yasser Arafat memberikan dukungan politik
terhadap serangan Iraq ke Kuwait 1991 yang justru mengakibatkan
Palestina semakin ditinggalkan.

47
Iraq adalah negara yang sangat konsisten untuk tetap membantu
Palestina, baik dalam konteks retorika diplomasi sampai bantuan
material kepada PLO. Namun sikap Iraq ini pada akhirnya menjadikan
Amerika Serikat dan Israel sedemikian rupa membuat skenario untuk
menggulingkan regim Saddam yang pro- Palestina. Dan akhirnya di
2003, regim Saddam Hussein tumbang. Lantas dalam konteks
kekinian, apa yang membuat banyak negara dunia Islam
memberikan apresiasi yang positif, sangat berbeda ketika FIS di tahun
1991 memenangkan Pemilu di Aljazair yang kemudian diberangus oleh
regim Benjedid dengan dukungan Amerika Serikat dan Perancis,
tetapi tak ada respon dukungan yang masif terhadap FIS yang
kemudian malah menjadi
gerakan yang semakin radikal.
Pertama, Hamas memenangkan pemilu Parlemen secara bersih
dan fairness. Artinya masyarakat dunia Islam seperti yang disampaikan
Abdullah Badawi sebagai Ketua OKI; tidak ingin kasus FIS terulang di
Hamas. Pemberangusan kemenangan HAMAS oleh Israel dan Amerika
Serikat justru akan menambah kekerasan di Timur Tengah yang
sekarang ini juga masih kuat. Untuk menghindari itu maka harus ada
penguatan dukungan secara masif.
Kedua, Hamas sebagai sayap politik Ikhwanul Muslimin di
Palestina tidak bisa dilepaskan dari jaringan Ikhwanul Muslimin di
Timur Tengah dan internasional. Mengapa Yordania, Emirat Arab,
Yaman dan Suriah sangat respek dengan Hamas, tidak bisa dilepaskan
dari kuatnya faksi-faksi sayap Ikhwanul Muslimin di negara tersebut.
Dukungan Arab Saudi belum begitu tampak, karena secara politis posisi
jaringan Ikhwanul Muslimin di Arab Saudi cenderung berseberangan
dengan berbagai kebijakan regim Arab Saudi. Dalam kasus dukungan
Iran, tidak bisa dilepaskan dari sikap moderat Iran untuk membangun
komunikasi secara intensif dengan kelompok Sunni yang selama ini
cenderung berseberangan. Hamas sebagai representasi kekuatan politik
Sunni yang berpengaruh di Palestina dan Timur Tengah

48
bisa dipergunakan sebagai bridge (jembatan) untuk membangun asas
saling pengertian (tasamuh) antara mazhab Sunni dan Syiah. Ketiga,
fenomena dukungan Malaysia secara artikulatif,
tidak bisa dilepaskan dari posisi Malaysia sebagai ketua OKI dan
sekaligus sebagai kampanye politik UMNO dalam kompetisinya dengan
PAS maupun PKN. Selama ini PAS dan PKN berkecenderungan
memiliki hubungan yang dekat dengan jaringan Ikhwanul Muslimin
dunia. Kepeduliaan UMNO terhadap masalah Palestina dan Hamas akan
bisa dipergunakan untuk menarik dan menambah simpati masyarakat
Malaysia terhadap UMNO dan regim Badawi. Hal ini pula yang tampak
dengan artikulatifnya PAN dalam merespon masalah HAMAS.
Biasanya partai yang sangat artikulatif mempergunakan issue
internasional dan dunia Islam adalah PKS, yang dalam batas tertentu
diyakini banyak fihak memiliki keterdekatan ide dengan Ikhwanul
Muslimin. PAN sebagai partai yang berbasis massa Islam mulai
mengembangkan pola pembangunan issue tidak hanya sebatas issue
lokal, namun juga internasional yang semakin diyakini sebagai faktor
yang signifikan untuk mempengaruhi perilaku memilih konstituen.
Meskipun Pemilu di Indonesia dan Malaysia masih 2 tahun lagi. Namun
sebagai sebuah investasi politik, pola dukungan seperti memang harus
dilakukan.
Keempat, HAMAS diyakini banyak fihak sebagai partai politik
yang accountable jika dilihat dari track record selama ini.Meskipun
Hamas belum pernah membangun regim Palestina secara resmi namun
de facto, HAMAS selama ini telah menjalankan fungsi pemerintahan
Palestina secara masif. Program-program HAMAS di Palestina selama
ini berhimpit dengan program resmi pemerintah Palestina, bahkan
HAMAS menjadi counter part dari regim Palestina. Sangat berbeda
dengan Jihad Islam yang lebih berkonsentrasi ke arah gerakan
perlawanan terhadap Israel saja. Artinya akuntabilitas Hamas sebagai
organisasi yang efektif dalam berbagai bidang sudah bisa menjadi tolok
ukur bahwa Hamas bisa mengelola pemerintahan Palestina secara lebih
baik. Bahkan dalam kasus Israel-Palestina,

49
Hamas dalam batas tertentu lebih memiliki konsep perdamaian yang
lebih mapan dari faksi Fatah, hal ini ditunjukkan oleh Ismail Haniya
yang telah memiliki konsep yang mendasar tentang bagaimana harus
menganyam (crafting) negosiasi dan diplomasi dengan Israel. Wallohu
A’lam.

50
JEBAKAN POLITIK ISRAEL TERHADAP HAMAS

Hamas sebagai sebuah regim memang dikenal selama ini


sebagai kelompok perlawanan yang sering kali mempergunakan hukum
aksi-reaksi terhadap berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan Israel.
Setiap terdapat tindakan kekerasan terhadap masyarakat Palestina, maka
Hamas berkewajiban untuk melakukan pembalasan yang relatif setimpal
kepada Israel. Pola perlawanan Hamas inilah yang oleh banyak
kalangan internasional difahami sebagai sebuah “track” Hamas sebagai
organisasi yang mempercayai penyelesaian masalah di Palestina dengan
cara kekerasan, bukan dengan media politik melalui negosiasi.
Setelah memenangkan pemilu Parlemen, Hamas relatif mulai
melakukan penataan reaksi terhadap berbagai persoalan yang muncul di
dalam konteks konflik Israel-Palestina. Frekuensi aktivitas yang
beraroma kekerasan yang dilakukan anggota dan simpatisan dalam
perlawanannya dengan Israel secara signifikan mengalami penurunan.
Bahkan tatkala menghadapi provakasi Israel melalui penyerangan
terhadap penjara Jericho yang ditinggalkan pengelolaannya oleh AS dan
Inggris, para simpatisan Hamas samasekali tidak melakukan tindakan
kekerasan. Bahkan Hamas mampu memediasi kelompok perlawanan di
luar Hamas yang melakukan penyanderaan terhadap 5 warga negara
asing untuk segera membebaskannya hanya dalam tempo 1 hari saja.
Namun sekarang ini jebakan menjadi lebih serius tatkala tekanan dari
Regim Internasional yang pro-Israel, AS-Inggris-Jerman memobilisasi
dunia untuk melakukan politik embargo kepada regim Hamas di
Palestina. Kondisi yang sangat sulit ini ditambah dengan aksi kelompok
Fatah yang mulai mempertanyakan managemen pengelolaan negara
oleh Hamas yang dianggap kontraproduktif, dengan melakukan aksi
politik yang rentan dengan tindakan kekerasan.
Tulisan ini akan mencoba melakukan analisis perilaku
organisasi Hamas dalam memainkan diplomasinya dalam konflik

51
Israel-Palestina dan mengukur daya tahan Hamas dalam menghadapi
provokasi Israel untuk tidak mempergunakan “syahwat” penyelesaian
dengan instrumen kekerasan .

Hamas dan Sufi


Setting organisasi Hamas tidak bisa dilepaskan dari organisasi
Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak kalangan tidak mengetahui bahwa
Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah organisasi yang sangat
dipengaruhi oleh tradisi sufi Hasafiyah yang dianut oleh sang Maestro
Ikhwanul Muslimin, Hasan al- Banna. Sebagai sebuah tradisi yang
sufistik dalam tingkat tertentu cenderung mengedepankan harmoni
dalam kaitannya dengan persoalan yang berorientasi kepada
keduniawiaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari gejala sufi yang
cenderung sebagai bentuk eskapisme (pelarian diri) terhadap realitas
social dan politik masyarakat, untuk menjamin keselamatan diri dari
godaan kondisi social dan politik yang cenderung destruktif.
Namun dalam batas tertentu, akan terjadi perubahan yang
sangat signifikan perilaku organisasi sufistik tatkala harga diri mursyid-
mursyidnya (guru ataupun ulama) dilecehkan, bahkan tempat sacral
berupa kuburan guru-guru mereka diganggu. Hal ini dijelaskan dengan
sangat baik oleh John Obert Voll yang melakukan analisis terhadap
berbagai bentuk revolusi sufi yang terjadi di Afrika Utara, dari Mesir
sampai ke Aljazair sebagai akibat mis-kalkulasi regim kolonial Inggris
dan Perancis tatkala pelakukan proses perluasan industrialisasi. Agak
mirip kiranya dengan fakta yang pernah terjadi di Kalimantan, tatkala
masyarakat Dayak yang sudah terpinggir akan tetapi karena kebijakan
pemerintah yang cenderung eksploatatif terhadap “tanah sacral”maka
merubah perilaku orang Dayak yang cenderung menerima keadaan
menjadi sangat temperamen.
Demikian pula dengan Hamas, watak kesufian Hamas akan
sangat tampak dalam bentuk hubungan yang sangat dekat antara sesama
anggota dan dengan guru-gurunya. Hal ini tampak dalam konteks
penyebutan para pemimpinnya dengan sebutan

52
khas sufi yakni “mursyid”. Tradisi sufistik yang juga kental dari Hamas
adalah mengembangkan tradisi untuk membangun ikatan (rabithah) di
antara mereka dan kaum muslimin melalui pembacaan kekuatan wirid
yang dikenal dengan al-Ma’tsurat setiap harinya.
Pasca kemenangan Hamas dalam Pemilu Parlemen tampak
sekali, kebijakan organisasi Hamas adalah mensublimasikan kekuatan
sufistik untuk menangkal segala bentuk syahwat melakukan kekerasan
yang kontra produktif dalam membangun citra diri yang masih dicurigai
sebagai aktor kekerasan. Ismail Haniyya dalam setiap kesempatan
menunjukan tata tutur sufistik dalam merespon persoalan Palestina,
perkataannya lembut, tenang dan tidak mengambarkan sebagai
“pemimpin” organisasi yang disebut AS dan Israel sebagai pemimpin
yang temperamental dan mudah marah.

Daya Tahan
Dalam konteks ujian pertama, tampak sekali Hamas lolos dari
jebakan yang dilakukan oleh Ehud Olmert bersama dengan AS dan
Inggris. Sehingga maksud hati untuk merusak citra Hamas bagi
masyarakat internasional malah membuahkan berbagai pujian terhadap
gaya penyelesaian Hamas. Namun pertanyaanya, apakah Hamas akan
lolos dari ujian dan jebakan Israel berikutnya yang bisa jadi lebih
canggih dan memancing emosi kemarahan simpatisan Hamas.
Israel merupakan aktor politik yang cenderung memiliki
segudang pengalaman untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat
internasional. Serangan AS ke Iraq tidak bisa dilepaskan dari provokasi
Israel, demikian pula dengan persoalan nuklir Iran yang dibawa ke DK
PBB juga tidak bisa dilepaskan dari strategi Israel mengucilkan Iran.
Ataupun tindakan provokatif Ariel Sharon ketika masuk ke Jerusalem
dan melakukan tindakan kekerasan yang massif di tahun 2001.
Apakah Hamas akan sanggup untuk menahan diri jika
kemudian Israel melakukan tindakan yang lebih keji lagi terhadap

53
komunitas Palestina bahkan mempergunakan politik adu domba
terhadap faksi-faksi di Palestina? Hamas telah belajar banyak terhadap
pelajaran politik Ikhwanul Muslimin di Mesir, tatkala berada dalam
tapuk dan dekat dengan kekuasaan politik. Intrik politik Nasser di Mesir
telah menyebabkan tragedi yang sangat memilukan bagi Ikhwanul
Muslimin dengan terbunuhnya sang Mursyid Hasan al-Banna. Yang
kemudian menyebabkan reaksi keras anggota Ikhwanul Muslimin untuk
melakukan tindakan kekerasan sehingga masuk dalam jebakan regim
Nasser ataupun Sadat.
Dalam konteks menghadapi “provokasi” Fatah akibat keinginan
regim Haniyya untuk membangun sebuah kesatuan pertahanan yang
banyak dicurigai sebagai fasilitasi sayap militer Hamas, Haniyya
kembali menunjukkan kelas kepemimoinanya untuk mengedepankan
pendekatan kompromi dan ishlah. Bahkan kemudian Haniyya dalam
jajak pendapat tokoh paling berpengaruh 2006, Haniyya termasuk salah
satunya mengalahkan Mahmud Abbas bahkan Ehud Olmert sekalipun.
Dalam menghadapi jebakan terhadap embargo, Hamas
sebelumnya memang telah mendapatkan jaminan dari berbagai
organisasi dan negara Muslim seperti Yordania, Uni Emirat Arab,
Suriah, Yaman, Iran dan Malaysia. Memang sampai saat ini kontruksi
media seakan negara-negara muslim tersebut tak merealisasikan
bantuannya sehingga Hams akan segera kolaps oleh tekanan internalnya
sendiri. Namun tak bisa dipungkiri bahwa mitra Hamas sedemikian
banyak, PKS telah menggalang aspirasi konstituennya untuk melakukan
infaq sebesar 1US$ bagi setiap kader dan simpatisannya.

54
DIPLOMASI ARAB SAUDI

Bangsa Palestina bisa kembali tersenyum. HAMAS dan


FATAH sebagai dua faksi terbesar telah menemukan jalan keluar yang
elegan untuk mengakhiri berbagai konflik. Makkah tampaknya telah
menjadi tempat penyatuan hati dan fikiran dari keduanya untuk saling
mengapresiasi satu sama lain dalam membangun konstruksi baru
Palestina untuk masa depan.
Tulisan ini akan menganalisis dibalik keberhasilan Deklarasi
Makkah dalam men-de-eskalasi konfllik antara faksi HAMAS dan
FATAH yang dibanyak diyakini sudah dalam konflik idiologis dalam
konteks Para Diplomasi. Salah satu contoh model Diplomasi Islam yang
telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbagai
konflik yang dihadapi pada zamannya.

Model Konflik
HAMAS dan PLO merupakan dua organisasi besar yang
memiliki pengaruh di Palestina dalam memperjuangkan proses
pembebasan Palestina. Sedangkan Fatah merupakan salah satu faksi
terkuat di PLO yang selama ini memegang kekuasaan pemerintahan
transisi semenjak perjanjian Oslo 1991. Keduanya memiliki kemiripan
yang khas sebagai organisasi perlawanan yang dilengkapi dengan
kekuatan milisi yang tangguh. Hamas memiliki Brigade Izzudin al-
Qassam sebagai sebuah kekuatan para militer yang sangat disegani baik
oleh faksi Fatah bahkan oleh Israel sekalipun. Fatah juga memiliki faksi
militer Brigade Martir al-Aqsha, sebuah kekuatan para militer yang juga
sangat tangguh dan loyal kepada Fatah.
Para pengamat sebelumnya kebanyakan memandang bahwa
HAMAS merupakan salah satu rekayasa dari Israel untuk
mendelegitimasi PLO yang selama ini menjadi faksi yang diakui
sebagai perwakilan Palestina. Namun berseiring dengan waktu, justru
HAMAS terbukti sebagai faksi mandiri dan tidak ada kaitannya dengan
Israel, sedangkan PLO yang sebelumnya

55
sebagai kelompok perlawanan anti Israel justru semakin mendekat
dengan pola kebijakan Israel.
Dalam kontestasi politik, model konflik antara HAMAS dan
PLO lebih tercermin model konflik Lawan-Lawan. Sebuah model
konflik yang menempatkan fihak lain sebagai lawan mutlak. Sehingga
setiap kebijakan dan aksi lawan senantiasa harus dinetralisir karena
hakekatnya sedang dalam proses mendestruksi terhadap fihak lain.
Periode lawan-lawan ini sangat kental di tahun 1990 sampai tahun 2004,
setiap kebijakan PLO cenderung ditentang oleh Hamas. PLO diyakini
telah terkooptasi oleh kepentingan Israel sehingga telah mengorbankan
kepentingan Palestina. Berbagai perjanjian, dari Oslo, Madrid, Way
River, Camp David II, Road Map, diyakini Hamas sebagai sebuah trap
(jebakan) bagi Palestina.
Sedangkan di fihak PLO, Hamas diyakini juga sebagai duri
dalam daging. Hamas dianggap sebagai kelompok trouble maker dari
upaya pencapaian kemerdekaan Palestina. Sehingga lahirlah kebijakan
represif otoritas PLO terhadap kelompok perlawanan Islam seperti
HAMAS dan Jihad Islam. Selama PLO memegang tampuk kekuasaan,
PLO senantiasa menempatkan HAMAS sebagai lawan lama, dan bukan
sebagai kawan. Berbagai bentrokan fisik dan bersenjata teramat sering
terjadi antar faksi ini. Sehingga terdapat kesan bahwa konflik Palestina
telah bergeser dari konflik terhadap Israel menjadi konflik sesama faksi
di Palestina.
Setelah HAMAS memperoleh kekuasaan di tahun 2005, Hamas
cenderung merubah konflik dengan faksi PLO-Fatah dalam formula
Lawan-Kawan. Hamas tetap melihat bahwa ada perbedaan prinsipal
antara prinsip memperjuangkan Palestina dengan Fatah di bawah
kendali Mahmoed Abbas, namun di sisi lain menempatkan juga sebagai
kawan dengan sedari awal mengajak faksi Fatah untuk membangun
pemerintah bersama. Namun Fatah belum merubah formula konfliknya,
Hamas adalah sebagai lawan-lawan. Mahmoed Abbas senantiasa
melakukan de- legitimasi terhadap otoritas Ismail Haniyya. Bahkan
Abbas justru

56
menyerukan sebuah “kudeta” melalui pemilihan umum dini untuk
memperoleh pemerintah yang baru, dalam upaya mengatasi krisis
politik pemerintahan Palestina akibat diembargo oleh Israel dan sekutu
AS beserta Inggris.

Diplomasi
Meningkatnya ekskalasi konflik HAMAS dan Fatah telah
melahirkan keprihatinan banyak kalangan. Hamas dan Fatah diyakini
telah terjebak dalam permainan politik Israel untuk tetap menjadikan
bangsa Palestina adalah bangsa yang memiliki kepribadian ganda.
Kepribadian yang tidak memungkinkan untuk mengembangkan prinsip
persaudaraan. Sedangkan dalam pandangan Karen Amstrong, Tuhan
telah mendesain situs Palestina sebagai tanah persaudaraan.
Deklarasi Makkah sebuah situs para-diplomasi. Sebuah
diplomasi yang mampu menghantarkan fihak yang berkonflik
mendapatkan hasil-hasil politik yang memuaskan fihak-fihak yang
bersengketa. Ismail Haniyya dan Mahmoed Abbas sedemikian rupa
mengakhiri Deklarasi Makkah dengan melakukan Umrah bersama.
Keberhasilan para diplomasi tidak bisa dilepaskan oleh beberapa hal:
Pertama, konflik antara Hamas dan Fatah sudah dalam titik
kematangan issues. Bangsa Palestina sudah capek melihat konflik antar
keduanya, demikian juga masyarakat Arab dan Islam pada umumnya.
Masifnya upaya diplomasi Makkah ini telah dikonstruksi oleh dunia
Islam, baik OKI, Pemerintah Arab Saudi, Indonesia dan Pakistan . Ini
penting agar inisiatif negosiasi tidak didesain oleh komunitas barat yang
selama ini mendesain proses diplomasi di Timur Tengah. Kematangan
issue ini kemudian mengarahkan konflik lawan-lawan telah menjadi
lawan-kawan, sehingga proses negosiasi menjadi lebih ramah dan
terukur.
Kedua, mediator dalam negosiasi ini mampu men-capture
proses negosiasi secara baik. Pilihan kota Makkah merupakan sebuah
pilihan cerdas, selama ini kota Makkah jarang sekali dipergunakan
sebagai perhelatan diplomasi. Sebelumnya ada dua

57
pilihan utama yakni ke Indonesia, sebagai situs negara dengan
komunitas Islam terbesar dan memiliki keberagaman tradisi Islam, dan
ke Arab Saudi, sebagai negara pemangku Tanah Suci al- Haramain.
Timing pelaksanaan negosiasi juga sangat pas, yakni tatkala Israel
sedang melakukan aktivitas yang membahayakan situs Masjidil Aqsha.
Sebuah issue sensitif yang mampu mengiring faksi di Palestina untuk
memilih sikap yang sama sebagai seorang saudara se-iman terhadap
Israel.
Ketiga, proses negosiasinya pun dikembangkan dalam prinsip
persaudaraan. Sehingga format konfliknya dalam deklarasi Makkah
telah mengubah model konflik lawan-lawan, lawan kawan menjadi
kawan-kawan. Proses pengakhiran konflik dengan melakukan ritual
umrah bersama antara fihak yang bersengketa, menunjukan bahwa
keduanya menerima hasil negosiasi secara sadar dan bertanggungjawab.
Semoga Deklarasi Makkah mampu mempersaudarakan HAMAS dan
Fatah menjadi sebenar-benar Saudara.

58
MEMBANGUN KEPATUHAN NEGOSIASI “GAZA”

Konflik di Gaza sudah menunjukkan titik-titik menuju Mutual


Hurting Stalmate, suatu kondisi di mana kedua belah fihak yang
berkonflik akan mengalami kerusakan yang massif tatkala meneruskan
pilihan untuk berkonflik. Serangan Israel ke Jalur Gaza yang sudah
berlangsung lebih dari 20 yang telah menghabiskan milyaran dollar tapi
tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan, Hamas belum
menunjukkan tanda-tanda akan segera takluk dan menggibarkan
bendera putih. Ini sebuah pertanda bahwa Israel justru akan mengalami
kerugian yang besar jika terus melakukan agresi. Belum lagi citra Israel
yang semakin ambruk, baik di mata public internal Israel yang mulai
mengkritik kebijakan brutal Israel, ataupun hujatan massif terhadap
Israel sampai pemutusan hubungan diplomatic dari Bolivia dan
Venezuella.
Di sisi lain, Hamas, sejatinya juga mengalami kontraksi yang
sangat berarti akibat tekanan massif Israel , meskipun secara psikis
Hamas senantiasa mengklaim memiliki spirit yang tidak pernah tergerus
akibat serangan Israel. Yang tidak bisa dielakkan adalah infra-struktur
di Gaza mengalami kerusakan yang amat parah, di mana secara defacto
sesungguhnya Hamas telah menjadi regim pemerintahan di Gaza, dan
bukan menjadi gerakan bawah tanah dan organisasi social yang bisa
berlepas dari tanggung-jawab. Yang dikhawatirkan adalah jika
propaganda Israel yang selama ini mengkabarkan bahwa Hamas telah
secara sengaja membuat jebakan bagi Israel untuk menghabisi Hamas,
agar kemudian Hamas mendapatkan simpati dari internasional
mendapatkan pembenaran dari public internasional. Maka akan bisa
dipastikan reputasi Hamas akan mengalami kemerosotan yang sangat
tajam, karena menjual darah untuk mendapatkan simpati.
Dua paragraph di atas, dalam konteks studi negosiasi
merupakan titik-titik menuju Ripeness (kematangan) untuk melakukan
negosiasi. Namun yang harus dipastikan adalah

59
jangan sampai negosiasi yang dilakukan fihak-fihak yang berkonflik
hanya sekedar mencari efek samping dari negosiasi, yang kemudian bisa
dipergunakan fihak-fihak yang bernegosiasi untuk mengalahkan secara
absolute terhadap fihak lain. Sudah tidak kurang dari 7, dari Camp
David I 1979 sampai Peta Jalan damai 2003, negosiasi telah dilakukan
untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel, namun senantiasa
negosiasi yang dilakukan tidak efektif dalam menyelesaikan konflik.

Membangun Kepatuhan
Inistiatif untuk melakukan negosiasi sudah mulai banyak
digagas dan ditawarkan fihak ke 3 untuk menyelesaikan krisis Gaza,
atau minimal menghentikan kontak sejata, meskipun untuk tahap awal
Resolusi DK PBB No. 1680 telah ditolak oleh kedua belah. Namun,
inisiatif untuk membangun perdamaian terus diupayakan, agar korban
akibat konflik berkepanjangan ini tidak semakin bertambah banyak,
baik dari masyarakat sipil ataupun combatan. Jika upaya negosiasi
berhasil dilakukan, langkah yang paling substantif untuk dilakukan
adalah mendesain negosiasi yang bisa menjamin derajat kepatuhan atas
kesepakatan yang telah dihasilkan.
Chister J “Onsson dan Jonas Tallberg, telah melakukan studi
terkait dengan membangun kepatuhan dalam negosiasi, yang kemudian
diimplementasikan dalam berbagai bidang negosiasi baik di bidang
ekonomi, perdagangan maupun politik. Menurutnya ada dua pendekatan
besar yang bisa dipergunakan untuk membangun kepatuhan pasca
pelaksanaan negosiasi. Pertama, management school, yang lebih
menfokuskan upaya membangun kepatuhan negosiasi melalui intrumen
assessment managemen, dengan menerapkan serangkaian aktivitas yang
telah disepakati dalam perjanjian dan melaporkannnya kepada fihak-
fihak yang terlibat dalam negosiasi, baik kepada counter- part-nya
dalam negosiasi ataupun kepada fihak ke 3 . Nilai yang paling kritikal
dalam management school adalah akuntabilitas, transparasi dan
fairness. Agar paradigm management school ini

60
bisa berjalan dengan efektif, negosiasi hendaknya dilakukan secara
komprehensif, detil dan terukur, sehingga road map dari implementasi
hasil negosiasi bisa diawasi oleh berbagai kalangan, yang kemudian
fihak yang melakukan negosiasi terkonstruksi untuk patuh. Namun titik
rawan dari management school, untuk kasus Gaza adalah ada
kemungkinan Israel dan Hamas tidak mau membuat kesepakatan
negosiasi sedemikian rigid, di tengah belum terbangunnya iklim mutual
trust satu sama lain.
Kedua, enforcement school, lebih menfokuskan instrument
penegakkan sangsi atas ketidakpatuhan dan pemberian rewards
terhadap kepatuhan. Agar menjadi efektif, desain pemberian sangsi
harus sedemikian terukur, balanced dan disertai dengan jaminan
kapasitas dari fihak yang akan memberikan sangsi ataupun rewards.
Titik paling kritikal dari enforcement di tengah iklim sistem
internasional yang bersifat anarkhis di mata tidak ada struktur
internasional yang selama ini tidak pernah bisa memaksa Israel tatkala
melakukan pelanggaran hukum. Langkah penyesuaian yang bisa
dilakukan untuk menjamin Israel dan Hamas bisa patuh adalah
pemberian desain hukuman psikologis, politik dan ekonomi bukan
dalam bentuk tindakan kekerasan fisik, seperti halnya sering
dipraktekkan AS kepada Negara yang sebut sebagai devil axis.
Hukuman psikologis, politik dan ekonomi bisa berupa tindakan
embargo social, ekonomi, pengucilan, mempersona non gratakan negara
Israel dan Hamas jika tidak mematuhi negosiasi tampaknya bisa lebih
efektif.

Kapabilitas Pihak ke-3


Hal yang juga tak bisa dianggap remeh dalam menjamin
kepatuhan negosiasi adalah kemampuan, profesionalitas dan netralitas
fihak ketiga dalam membangun MEO (Mutual Enticing Oppurtunity).
Dalam banyak negosiasi, ada kecenderungan desaian negosiasi sudah
didesain dengan komprehensif agar kemudian get it done namun
kemudian bisa kollaps karena kapasitas fihak 3 yang kemudian
melemah. Pilihan fihak ke 3, yang sekarang ini banyak diperankan oleh
Mesir sejatinya menimbulkan

61
beragam problematika. Untuk menjamin agar fihak ke 3 benar- benar
capable ada baiknya fihak ke adalah sebuah kaukus yang terdiri dari
negara-negara netral, organisasi internasional, sipil, yang selama ini
memiliki track record yang baik sebagai mediator, ataupun personal-
personal yang selama ini memiliki kapasitas yang sangat baik.
Pemilihan fihak ke 3 dalam negosiasi yang serumit Gaza
memang harus sedemikian prudent, agar fihak ketiganya yang sejatinya
berperan sebagai fasilitator, dan mediator akhirnya justru menjadi
provocator bagi lahirnya konflik yang lebih massif. Pengalaman AS
sebagai fihak ke 3 dalam menyelesaikan konflik Israel Palestina,
cenderung berakhir menjadi provocator dibandingkan sebagai mediator.
Konflik yang lebih keras dan massif justru hadir pasca perjanjian damai.
Mesir, di sementara kalangan di Arab dan Dunia Islam,
memang telah dituduh sebagai provocator konflik tatkala melakukan
perjanjian sefihak dengan Israel dalam Camp David 1979. Namun ada
sisi yang menarik dari Mesir, yakni Mesir punya potensi untuk
mendirigent negosiasi bisa berjalan lebih produktif dan komprehensif,
karena Mesir tidak bisa dipungkiri memiliki pengalaman berinteraksi
dengan Israel maupun Hamas, baik sebagai musuh ataupun kawan. Agar
Mesir menjadi mediator yang baik, maka sudah selayaknya dunia
internasional dan dunia Islam, Arab mendukung dan menfasilitasi Mesir
agar memiliki kapasitas memadahi untuk mengembangan tugas “qaulan
tsaqila” demi tegaknya perdamaian di Palestina. Wallohu A’lam

62
MASA DEPAN PERDAMAIAN

ISRAEL PALESTINA

Baru 4 bulan yang lalu, titik titik perdamaian Israel Palestina


mulai menunjukkan gejala positif tatkala Israel melakukan tindakan
kontroversial menarik diri dari jalur Gaza sebagai sebuah titik balik
kebijakan Ariel Sharon yang sebelumnya sangat agresif. Namun tak
lama berselang, seorang Ariel Sharon kemudian mengalami problem
serius karena terdepak dari partai Likud dan kemudian mengalami
kontraksi kesehatan yang sangat berat yang menyulitkan dirinya untuk
tetap memangku jabatan Perdana Menteri Israel.
Demikian pula dari kubu Palestina, pemilu parlemen telah
memenangkan kelompok HAMAS, sebuah kelompok perlawanan yang
bermetamorfosis menjadi partai politik yang selama ini dikenal sebagai
kelompok yang menolak perdamaian dengan Israel. Tulisan ini akan
menganalisis probabilitas format perdamaian Israel-Palestina setelah
kemenangan HAMAS dan collapse-nya Ariel Sharon, apakah akan
mengalami kontraksi serius dengan peta jalan damai yang selama ini
telah digagas. Atau malah memunculkan format perdamaian Baru yang
lebih kondusif dan prospektif. Terlebih setelah terdapat agresi Israel ke
Palestina dan Lebanon selama 1,5 bulan terakhir secara membabi buta.
Apakah resolusi PBB No. 1701 masih memiliki nilai perdamaian sejati.

Quo Vadis Perdamaian ?


Perdamaian antara Israel Palestina merupakan sesuatu yang
sangat mahal. Konflik yang telah berjalan lebih dari ¾ abad ini masih
belum menunjukkan arah perdamaian yang jernih. Sikap lunak regim
Sharon pada Agustus 2005 yang ditandai dengan ditarik mundurnya
pasukan dan pemukiman Yahudi dari jalu Gaza masih diyakini sebagai
kebijakan yang “mendua”. Banyak analisis di Timur Tengah
menyatakan bahwa Sharon memiliki hidden

63
agenda dibalik kebijakan ramah tersebut, yakni memecah belah faksi
di Palestina setelah hilangnya tokoh kharismatis Arafat dari kelompok
Fatah dan Sheik Ahmad Yasin dari kelompok HAMAS.
Hal ini juga tidak bisa dilepaskan oleh gagasan yang pernah
digulirkan oleh seoranng Yitzak Rabin di dekade 1990-an yang
mengusulkan konsep Land for Peace. Konsep perdamaian inilah yang
kemudian mengilhami perjanjian damai seperti Oslo, Gaza Jericho First,
Madrid ataupun Wye River sampai Camp David II di tahun 1999.
Namun dalam faktanya, skenario perdamaian land for peace ini
semakin meneguhkan posisi Israel sebagai pemilik yang sah terhadap
kota-kota yang krusial seperti Jerusalem. Salah satu implikasi yang jelas
adalah, penolakan masif Israel bagi pemakaman Yaser Arafat di
Jerusalem dan upaya pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke
Jerusalem oleh Ariel Sharon.
Demikian pula dari kubu Palestina, perdamaian juga cenderung
dipergunakan oleh elit politik Palestina sebagai alat untuk memobilisasi
dukungan politik dari publik internasional dan nasional tanpa diiringi
oleh konsepsi yang integral di tingkat nasional. Perjanjian Oslo sebagai
awal perdamaian Israel Palestina juga diyakini sebagai skenario
kelompok Fatah agar dijadikan kelompok utama perwakilan masyarakat
Palestina dalam bentuk regim PLO (Palestine Liberation
Organization) atas kompetitor baru yang sangat efektif seperti
kelompok HAMAS dan Jihad Islam. Dalam konteks internasional, sikap
moderat Fatah dengan PLO-nya menjadikan faksi ini menjadi kelompok
resmi yang diakui oleh publik internasional yang mewakili masyarakat
Palestina.
Di tengah semakin diterimanya kelompok HAMAS dan Jihad
Islam yang menyuarakan agenda perlawanan terhadap Israel oleh
masyarakat Palestina, maka elit di PLO melakukan politik banting stir
yang sangat signifikan dalam perjanjian Gaza dan Jericho First maupun
Wye River dengan mulai memberikan konsesi-konsesi terhadap
pengelolaan kota Suci kepada Israel dengan mendapatkan akses
ekonomi yang lebih longgar di Gaza

64
dan Jericho. Namun politik banting stir ini kemudian banyak ditolak
oleh publik Palestina karena diyakini sebagai alat transaksi antar kota
yang tidak sepadan, sehingga agenda perjanjian Camp David II di 1999
malah menyebabkan posisi Israel semakin kokoh dalam pendudukan
kota Jerusalem.
Merasa gagal dalam konteks diplomasi dengan Israel, maka
Arafat melakukan politik banting stir kembali dengan melakukan aksi
perlawanan kepada Israel setelah tahun 2000 yang kemudian
mengakibat proses penyanderaan dan boikot terhadap Arafat oleh
tentara Israel di Ramallah selama hampir lebih dari 3 bulan. Aksi boikot
ini mendapat kritik dan kecaman dari publik internasional sebagai aksi
yang biadab.
Demikian pula jika dilihat dari sisi regim internasional yang
terlibat dalam berbagai perdamaian, terdapat gejala yang sangat khas
bahwa agenda perdamaian Israel Palestina adalah gagasan dari Amerika
Serikat, bukan dari negara besar seperti Rusia dan China sebagai
kompetitor Amerika Serikat ataupun perwakilan organisasi Islam
semisal Organisasi Konferensi Islam. Artinya Amerika Serikat memiliki
agenda besar dengan format perdamaian Israel Palestina yakni
terjaminnya kepentingan nasional di Timur Tengah, berupa suplai
energi minyak dan menjadikan Timur Tengah sebagai pasar baru bagi
Amerika Serikat setelah Timur tengah sebelumnya sebagai pasar
penjualan senjata Amerika Serikat. Sekarang ini hampir sulit ditemukan
negara-negara Timur Tengah dan Arab yang tidak melakukan kontak
perdagangan dengan Amerika Serikat.

Celah Perdamaian
Israel maupun Palestina sedang dalam proses pemilihan elit
politik baru yang berbasiskan kepada legitimasi rasional. Palestina
sudah mengawalinya dengan kemenangan di fihak HAMAS, sedangkan
Israel juga akan segera melaksanakan pemilu minus tokoh kharismatik
sekaliber Ariel Sahron. Artinya di Israel-pun ada kecenderungan
munculnya orang baru di Israel yang lebih mengedepankan performansi
rasional.

65
Dengan demikian masih terdapat celah yang menarik ditengah
pesimisme berbagai fihak terhadap nasib perdamaian Israel-Palestina ,
bahkan tidak menutup kemungkinan akan tercipta format perdamaian
Israel-Palestina yang lebih baik, sebuah format yang akan mewakili
perdamaian sejati..
Ada beberapa celah positif dibalik perubahan konstalasi politik
di Israel dan Palestina. Pertama, perubahan regim atau aktor diplomasi
perdamaian Israel dan Palestina. Para pelaku perdamaian Israel
Palestina adalah aktor yang sebelumnya terlibat dalam politik
konfrontatif dalam perang Arab Israel I dan II yang kronis. Yitzak
Rabin, Ariel Sharon, Arafat dan Abbas adalah para veteran perang, yang
mengalami masa-masa konfrontatif yang sangat serius satu sama lain.
Dalam konteks psikologi kepribadian elit, sangat sulit ditemukan format
perdamaian yang jernih antar aktor yang pernah berkonflik secara
diametral. Pasti ditemukan manipulasi-manipulasi dan kecurigaan dari
masing- masing fihak yang menyulitkan pelaksanaan perdamaian.
Selama ini ada kecenderungan para aktor negosiasi saling melakukan
manipulasi dalam perdamaian, sehingga ada kecenderungan pasca
perdamaian justru memunculkan konflik yang makin mengeras.
Perdamaian justru dianggap sebagai trigger bagi kekerasan.
Kedua, perubahan setting legitimasi politik aktor. Kemenangan
seorang Rabin dan Sharon dalam konteks domestik politik Israel lebih
disebabkan oleh persoalan legitimasi kharismatik keduanya
dibandingkan dengan program rasional yang ditawarkan. Demikian pula
dari sisi Arafat telah lebih dari 2 dekade menjadi pemimpin Palestina
juga karena persoalan legitimasi kharismatik. Artinya dengan basis
pengalaman historis dan basis legitimasi rasional yang diperoleh oleh
kedua regim memungkinkan keduanya untuk saling bernegosiasi secara
lebih terbuka dan egaliter.
HAMAS sudah memberikan sinyal positif dalam membangun
performansi adalah urusan toleransi. Hal yang sangat mencolok adalah
ketika seorang Pemimpin HAMAS

66
Mahmud Zahar memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat
Nasrani dari ancaman orang Palestina yang marah atas pemuatan Kartun
Nabi Muhammad oleh Media Massa Denmark dan negara Eropa
lainnya.
HAMAS juga memberikan peluang yang besar kepada faksi di
Palestina untuk bergabung dalam pemerintahan kualisi. Artinya
HAMAS selama ini diyakini oleh banyak kalangan ketika mendapatkan
kekuasaan akan menjalankan kekuasan yang rigid dan kaku dengan
manhajnya secara eksklusif menjadi tidak terbukti. Dengan demikian
indeks legitimasi rasional HAMAS semakin lama semakin membaik.
Demikian dalam konteks perdamaian dengan Israel, HAMAS
ada kecenderungan akan mempergunakan argumentasi yang rasional, di
samping argumentasi tradisonalnya. Tuntutan AS, Israel dan Inggris
untuk melakukan peluncutan HAMAS dari sayap militer secara masif
dan dalam waktu yang cepat adalah hal yang tidak rasional. HAMAS
pada hakekatnya adalah organisasi pelayanan sosial, seiring dengan
tertib sipil yang terbangun di Palestina, dengan sendirinya sayap militer
HAMAS bukanlah menjadi motor utama kiprah HAMAS dalam
membangun Palestina yang bermartabat.
Dua peluang besar ini sangatlah tergantung oleh manejemen
crafting (menganyam), kapan Palestina harus mendapatkan haknya, dan
kapan pula Israel mendapatkan haknya. Kapan Palestina harus di atas,
dan kapan pula Israel berada di atas. Publik internasional sepatutnya
tidak melakukan intervensi yang terlalu masif yang malah akan
menganggu munculnya momentum-momentum perdamaian.
Momentum yang akan tercipta adalah sebuah kesempatan yang langka
dan amat mahal bagi bangsa Palestina dan Israel.

67
MEWASPADAI POLITISASI NEGOSIASI

DALAM KONFLIK KEHUTANAN

Bentrokan berdarah perkara sengketa tanah kembali terjadi


di Pasuruan. 4 warga sipil meninggal dunia akibat tembakan dari
aparat TNI AL yang sedang mengamankan jalannya proses
pengerjaan tanah garapan oleh PT Rajawali. Kasus ini kemudian
menghentak sengketa tanah di Meruya yang sempat menyita perhatian
publik nasional dalam 1 bulan terakhir.
Tulisan ini tidak akan menganalisis persoalan hukum dan alasan
terjadinya konflik, namun akan memberikan warning agar dalam
penyelesaian konflik pertanahan tersebut dapat berjalan secara elegan
dan terhormat. Perspektif ini penting untuk disampaikan agar tidak
terjadi korban lagi pasca bentrokan antara warga dengan aparat. Sudah
cukup 4 korban tewas, dan 13 tentara TNI AL untuk menghadapi
persidangan guna mempertanggungjawabkan atas segala perbuatan.
Kondisi yang harus diwaspadai adalah timbulnya politisasi negosiasi
dalam penyelesaian konflik tanah.

Trigger Event
Bentrokan ataupun kekerasan dalam sebuah konflik pada
hakekatnya merupakan kulminasi dari konflik itu sendiri, di mana
masing-masing fihak merasakan tidak kepuasan yang amat sangat
terhadap fihak yang lain. Namun di sisi lain, kekerasan dalam konflik
tidak senantiasa berbentuk garis linier dan kontinum, justru pasca
bentrokan ada kecenderungan garis konflik justru berubah menjadi garis
parabola. Artinya pasca terjadi kulminasi konflik ada kecenderungan
akan diikuti dengan de-eskalasi konflik.
Timbulnya de-eskalasi konflik itu sendiri, bisa disebabkan
karena faktor internal antar fihak yang berkonflik, dari persoalan
kelelahan fisik, ekonomi, sosial, politik, budaya ataupun psikologis.

68
Konflik pada hakekatnya menguras seluruh energi fihak-fihak yang
berkonflik. Selain itu juga disebabkan karena timbulnya eksternalisasi
konflik, artinya fihak eksternal merasa perlu terlibat, apakah karena
dorongan moral, ekonomi, politik, psikologis ataupun budaya.
Kulminasi konflik dianggap fihak yang tidak terlibat dalam konflik
merasa teriritasi oleh konflik tersebut.
Kasus bentrokan antara warga Alas Tlogo Pasuruan dengan
aparat TNI AL, bisa dimaknai sebagai trigger event bagi terciptanya
de-eskalasi konflik. Minimal dalam 5 hari pasca bentrokan tensi konflik
antara masyarakat Alas Tlogo dengan TNI AL tidak termanifestasi
dalam bentuk kekerasan, namun mulai mengarah ke dalam tingkat
debat. Debat yang muncul adalah masing-masing fihak menunjukkan
alat bukti kepemilikan satu sama lain.
Bentrokan ini juga menjadi entry point bagi kalangan eksternal
untuk terlibat dalam proses mediasi, persuasi dan negosiasi konflik
tersebut. Sebelumnya konflik tanah Grati di Pasuruan adalah eksklusif
konflik antara masyarakat Alas Tlogo dengan TNI AL, namun pasca
bentrokan komponen masyarakat Indonesia menjadi terpanggil untuk
terlibat di dalamnya, bahkan diundang oleh fihak-fihak yang berkonflik
untuk turut menselesaikan konflik yang sudah berlangsung hampir ½
abad ini Politisasi Negosiasi
Harold Nicholson merupakan pakar negosiasi yang senantiasa
memperingatkan kemungkinan munculnya politisasi negosiasi pasca
konflik. Dalam kasus konflik tanah di Pasuruan,fihak yang berkonflik
secara langsung ataupun yang tidak berkonflik secara langsung rentan
melakukan politisasi negosiasi. Politisasi negosiasi seringkali muncul
lebih disebabkan oleh ketidaksiapan secara struktural dan psikologis
fihak yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik, sehingga dalam
proses negosiasi tersebut terdapat spasial yang cair, lentur. Spasial
inilah yang rentan untuk dipolitisasi oleh masing-masing fihak.
Keseriusan TNI AL secara spontan untuk menjanjikan relokasi
terhadap warga Alas Tlogo pasca bentrokan seluas

69
kurang lebih 400 Ha, rentan untuk dipolitisasi. Terbukti masyarakat
segera menolak tawaran tersebut, karena dianggap sebagai bagian
strategi politik TNI AL untuk mendapatkan tanah Grati secara eksklusif.
Apalagi statemen yang menyatakan bahwa lahan tanah di Grati
merupakan lahan yang paling potensial untuk menciptakan
profesionalisme personel TNI AL.
Demikian pula di fihak masyarakat Alas Tlogo, ada
kecenderungan pasca bentrokan dipergunakan untuk memperkuat posisi
bargaining dengan TNI AL. Asistensi dari fihak luar, baik DPR,
Komnas HAM, NU memungkinkan posisi warga masyarakat Alas
Tlogo menjadi sangat kuat. Yang akhirnya sangat mudah dipolitisasi
untuk menuntut pengembalian tanah secara absolut.
Yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah
politisasi yang dilakukan oleh fihak yang sebenarnya tidak menjadi
pelaku utama konflik. Kelompok ini rentan menjadi penumpang gelap,
alih-alih turut menyelesaikan masalah malah bisa menambah masalah
menjadi rumit. Dalam level internasional, banyak ditemukan konflik
justru malah membesar pasca keterlibatan fihak eksternal. Contoh yang
paling aktual adalah konflik di Afghanistan, Iraq, Palestina dan
Mindanao di Filipina. Politisasi oleh fihak eksternal seringkali muncul
dengan asumsi terjadi kebuntuan alternatif penyelesaian masalah. Atas
nama pemberian solusi yang fresh dan netral, maka fihak yang
berkonflik kemudian memberikan ruang bagi masuknya agenda
negosiasi secara tidak sadar.

Ikhtiar dan Trust


Proses negosiasi pada hakekatnya juga memerlukan energi yang
banyak seperti halnya konflik kekerasan. Sehingga masing-masing fihak
yang berkonflik harus senantiasa berikhtiar dengan sungguh-sungguh
untuk menyelesaikan masalah sengketa tersebut secara bersama-sama.
Naluri untuk menjadikan situasi ketidakpastian menjadi pembenaran
tindakan kekerasan harus segera dihapus dari memori masing-
masing fihak yang

70
berkonflik. Fihak ketiga yang menfasilitasi negosiasi juga harus
meninggalkan syahwat untuk menjadi entrepreneur konflik, sehingga
keterlibatannya bukanlah semata-mata proyek tetapi merupakan tugas
kemanusian.
Seorang Harold Nicholson mengusulkan untuk mempersiapkan
konsep, metode, agenda negosiasi yang komprehensif dan tidak harus
secepat kilat. Lebih baik mengikhtiarkan bangunan negosiasi secara
komprehensif meskipun agak lama namun akan menghasilkan angka
keberhasilan yang lebih besar daripada membangun regim negosiasi
secara cepat, namun serampangan tapi dengan hasil yang buruk.
Di sisi lain, fihak-fihak yang berkonflik juga harus membangun
perasaan saling percaya (trust) satu sama lain SEBAGAI sebuah
kebutuhan pokok. Bentrokan JANGAN menjadi halangan untuk saling
menjaga jarak, namun bentrokan justru bisa dimaknai sebagai cara baru
untuk saling mengenal. Sikap apatisme masing-masing fihak bisa
dikikis dengan pendekatan kultural dan persuasif. TNI AL tampaknya
mulai menunjukkan pola ini, dengan langsung melakukan kunjungan ke
lokasi kejadian, demikian pula warga masyarakat juga tidak melakukan
pembalasan dendam kepada aparat TNI AL yang melakukan kunjungan
ke lokasi. Bibit inilah yang harus ditanam, sehingga regim negosiasi
akan berjalan secara alamiah guna menemukan keseimbangan baru
antara masyarakat Alas Tlogo dengan TNI AL secara umum. Wallohu
A’lam.

71
MERESOLUSI PILKADA MALUKU UTARA

Konflik pilkada Maluku Utara sudah sangat berlarut-larut,


energy politik, ekonomi, dan kemanusiaan sedemikian rupa telah
tertumpah tanpa makna. Setiap kebijakan untuk meresolusi konflik,
apakah melalui penetrasi kekuatan hokum, baik melalui fatwa MA
ataupun melalui pendekatan kekuatan keamanan dengan mengirimkan
pejabat militer sementara dari pusat, dan penyelesaian melalui politik
dengan bentuk penghitungan suara kembali dan rapar paripurna DPRD
Maluku utara.
Tulisan akan memberikan sumbang saran bagi proses
penyelesaian Pilkada Maluku Utara, khususnya dalam proses
merancang proses negosiasi dalam penyelesaian konflik Maluku.
Penyelesaian melalui mekanisme negosiasi menjadi sangat perlu, di
tengah proses penyelesaian selama ini kurang mengedepankan proses
negosiasi, tetapi lebih mengedepankan proses arbritasi yang justru
semakin memperluas dan memperdalam konflik yang ada. Yang justru
dikhawatirkan akan membawa masyarakat Maluk ke dalam konflik etnis
seperti yang pernah terjadi dalam satu windu terakhir.

Merancang Resolusi Negosiasi


Adalah seorang William Zartman yang mengenalkan negosiasi
sebagai instrument penting dalam penyelesaian konflik. Teori dasar
negosiasi Zartman adalah tentang konsep MHS (mutual hurting
stalemate) sebagai asumsi dasar teori ripeness. Negosiasi menjadi
sebuah kebutuhan jika fihak-fihak yang berkonflik sudah semakin
menyadari bahwa dengan terus melakukan konflik maka masing-masing
fihak akan mengalami kerugian yang sangat besar, kedua-duanya akan
saling terluka bahkan bukan tidak mungkin fihak lain yang justru
mendapatkan keuntungan dari tetap berlangsungnya konflik. Jika
konflik dalam kondisi seperti ini, dalam terminology Zartman (2005)
inilah saat yang paling tepat untuk menawarkan proses negosiasi.

72
Lantas bagaimana cara merancang negosiasi? Hal yang paling
urgen tatkala merancang negosiasi adalah dengan pendekatan apa
negosiasi akan dibangun, apakah mengedepankan aspek komunikasi,
politik ataukah aspek budayanya. Studi yang cukup menarik untuk
dilirik dalam konteks konflik Pilkada di Maluku Utara adalah
penggunaan konsepsi face negotiation yang diajukan oleh Stella Ting-
Toomey (2005). Teori dari Stoomey berangkat dari asumsi dasar bahwa
budaya merupakan modal social yang paling efektif untuk
menyelesaikan konflik etnik-politik.
Dari eksplorasi budaya, Stoomey menemukan 4 model
negosiasi yang bisa dipilih : pertama, face restoration (restorasi wajah),
memberikan kebebasan bagi fihak yang berkonflik untuk melakukan
proteksi terhadap kepentingan-kepentingannya dalam kerangka tertib
social. Kedua, Face saving (menyelamatkan wajah), dengan
menunjukan penghargaan terhadap kebutuhan fihak akan ruang dan
privasinya. Ketiga, Face assertion (menegaskan wajah), melalui upaya
untuk mempertahankan dan melindungi kebutuhan fihak lain dan
keempat Face giving (memberikan wajah) yakni dengan memberikan
ruang bagi masing-masing fihak untuk saling memberikan konsesi dan
pilihan moderat.
Dalam konteks konflik Pilkada, konflik sudah mengalami
ekskalasi sedemikian rupa, dari area konflik yang sebelumnya sebagai
fenomena konflik local telah menjadi konflik nasional, dari konflik elit-
partai telah menjadi konflik di tingkat massa, dari konflik dengan actor
Ghafur- Fabanyo dengan Thaib-Armain telah meluas menjadi konflik
antara KPUD, MA dan KPUD.Yang paling mengkhawatirkan adalah
konflik dalam bentuk mobilisasi massa, yang semakin hari semakin
meluas. Titik ledak inilah yang harus diwaspadai oleh fihak yang
sedang berkonflik , pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Pemerintah dan DPRD jangan sampai lagi saling melempar otoritas
untuk menentukan pemenang Pilkada.

73
Langkah-langkah
Merujuk dari Stoomey, upaya untuk mengurai benang kusut
konflik pilkada Maluku Utara, maka pemerintah diharapkan menyusun
tahap-tahap penyelesain konflik pilkada secara sistematis. Pertama,
pemerintah melakukan inisiasi negosiasi restorasi wajah. Kedua belah
fihak yang berkonflik diharapkan untuk secara bijaksana dan dewasa
untuk menyusun argument- argumen yang kuat, rasional dan bukan
emosional, serta komprehensif sebagai bahan utama dalam pelaksanaan
negosiasi. Tahap kedua, fase menyelamatkan wajah, yakni dengan
memberikan kesempatan bagi fihak lain untuk saling mempelajari
kebutuhan dan kepentingan fihak-fihak yang berkonflik. Fase ini
sesungguhnya sebagai cara untuk menentukan range negosiasi,issue
substantive dan alterantif penyelesaian yang komprehensif, matang
sebagai bahan utama yang akan dinegosiasikan. Langkah ini penting
agar dalam pelaksanaan negosiasi tidak timbul politisasi negosiasi dari
masing-masing fihak yang berkonflik untuk menyusun agenda baru
yang bisa merusak arah pelaksanaan negosiasi.
Tahap ketiga, penegasan wajah. Fase ini merupakan fase yang
sangat krusial karena dalam titik inilah fihak-fihak yang sedang
berkonflik akan memberikan ruang untuk berbagi kepentingan,
konsensi, dan moderasi. Kubu yang berkonflik bisa memilih preferensi
penyelesaian konflik, dari yang bersifat administrative-teknis, sampai
hal yang bersifat substantive politik, yang bisa ditawarkan oleh fihak
fasilitator, mediator, baik pemerintah, DPRD, KPU-KPUD, MA,
Makhamah Konstitusi. Di sinilah letak tanggung jawab social fasilitator
untuk menjadi fasilitator-mediator yang profesional, sebab jika tidak
dilaksanakan dengan hati-hati, maka sangat besar kemungkinan peran
fasilitator-maupun mediator justru akan menjadi provocator konflik.
Kesalahan-kesalahan yang selama ini dibuat oleh sekelompok
fasilitator-mediator, diharapkan tidak diulangi kembali. Tahap ini
mengharuskan fasilitator untuk mendesain sedemikian rupa pelaksanaan
negosiasi yang memberikan ruang kondusif bagi

74
penyelesaian konflik, baik dari tempat, waktu dan setting pelaksanaan
negosiasi.
Dan tahap terakhir adalah pelaksanaan negosiasi untuk
menentukan siapa yang menjadi pemenang dalam pelaksanaan
negosiasi, apakah keduanya menjadi pemenang sehingga perlu ada
mekanisme konvensi Pergantian Antar Waktu (PAW) sebagaimana
fatsun politik di Parlemen, ataukah terdapat pemenang mutlak dan kalah
mutlak sebagai hasil uji dokumentasi dan argumentasi secara fair dan
obyektif, atau bahkan tidak ada pemenang antara kedua, sehingga
menghendaki dilaksanakannya pilkada ulang secara massif atau hanya
terbatas, atau dengan formula yang lain.
Agenda lain terkait dengan Pilkada langsung agar kasus
sengketa Pilkada Maluku Utara tidak menjadi penyakit menular adalah
bagaimana pemerintah dan DPR melakukan reformasi dan kajian yang
mendalam tentang UU yang terkait dengan Pilkada, baik dalam
sinkronisasi aturan main, maupun mekanisme pelaksanaan pilkada dan
tata cara penyelesaian Pilkada secara terlembaga. Hanya dengan
langkah yang rasional, visioner dan dewasalah, bangsa Indonesia akan
dapat menyelamatkan nasib demokrasi. Semoga.

75
LOST COMMANDO DAN SANDERA

Upaya pembebasan 23 sandera warga Negara Korea Selatan


dari penculikan kelompok gerilyawanTaliban sudah memasuki minggu
ketiga. Dua sandera telah ditemukan meninggal dunia sebagai akibat
kegagalan negosiasi yang dilakukan pemerintah Hamid Karzai terhadap
gerilyawan Taliban. Sehingga nasib ke 21 sandera sampai saat ini belum
jelas, apakah masih selamat, sakit, atau sudah dieksekusi. Akhir-akhir
ini Duta Besar Korsel untuk Indonesia meminta bantuan
Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi Islam yang berpengaruh di
Indonesia untuk menfasilitasi proses pembebasan sandera dari
kelompok gerilyawan Taliban.
Menjadi penting kiranya melakukan pemetaan terhadap pola
gerakan dan idiologisasi Taliban dengan segala dinamika yang
berkembang, termasuk di dalamnya adalah keberadaan “lost
commando” (komando yang hilang) dari sayap militer dan politik dari
gerilyawan Taliban. Ada kecenderungan tindakan politik panyanderaan
cenderung dilakukan oleh kelompok yang cenderung bebas dari otoritas
organisasi, apakah karena secara sengaja organisasi membentuk sayap
politik dan militer yang bebas, atau karena terdapat kelompok
“partikelir” yang sebenarnya secara organisatoris tidak terkait dengan
gerakan Taliban.

Beberapa Motif
Panyanderaan sipil sebagai langkah perlawanan politik yang
cenderung kontraproduktif bagi perjuangan pencapaian kepentingan
dari kelompok perlawanan karena panyanderaan justru akan menjadi
rekening negatif bagi kelompok perlawanan untuk mendapatkan
dukungan masyarakat internasional, baik karena alasan moral agama
dan kemanusiaan.
Langkah kontra-produktif ini diambil oleh kelompok
perlawanan cenderung diambil jika kelompok perlawanan semakin

76
terjepit dan termarginalkan posisinya. Keterjepitan kelompok tersebut
biasanya diawali oleh semakin terbatasnya aset financial yang dimiliki
gerakan perlawanan untuk menjalankan operasi politiknya. Gerakan
Abu Sayyaf di Filipina, sebagai salah satu faksi perlawanan di
Mindanao selain kelompok MNLF, dan MILF, dapat dikategorikan
sebagai faksi perlawanan yang kecil. Pola penculikan warga asing sipil
kemudian dijadikan sebagai media untuk mendapatkan tebusan, dan dari
uang tebusan tersebut dapat dipergunakan untuk biaya operasional
gerakan.
Namun dalam batas yang lain, kasus panyanderaan sipil oleh
kelompok gerilyawan tidak selalu perkara ekonomi, seperti misalnya
penyanderaan kelompok perlawanan Sunni Iraq yang sempat
menyandera Mutia Hafidz dan cameramen dari Metro TV, lebih karena
motif publikasi. Publikasi terhadap peringatan hari Asy-Syura dianggap
kelompok gerilyawan Sunni sebagai bentuk dukungan politik media
terhadap kelompok politik Syiah.
Memang sangat berbeda dengan bentuk panyenderaan
kelompok gerilyawan terhadap kalangan militer yang menjadi lawan
konfliknya, semisal panyenderaan tentara Israel oleh kelompok
Hizbullah, faksi perlawanan di Palestina, ataupun panyanderaan tentara
AS oleh gerilyawan Iraq. Ada kecenderungan tuntutan kompensasi yang
diharapkan dari panyanderaan adalah karena persoalan politik, baik dari
kebijakan untuk tukar-menukar tahanan sampai penarikan tentara asing
dari lokasi yang disengketakan.
Bagaimana dengan kasus di Afghanistan akhir-akhir ini ?. Yang
menjadi korban adalah kalangan sipil, namun isi dari tuntatan kelompok
panyandera adalah pembebasan beberapa tokoh politik Taliban yang
ditahan oleh Pemerintah Afghanistan. Ada gejala anomali dalam kasus
ini, apakah motif yang sedang dijalankan oleh kelompok panyandera,
motif politik-kah atau motif ekonomi tapi dibungkus dengan motif
politik , ataukah motif yang lain. Posisi inilah yang harus dipelajari
dengan cermat oleh para negosiator dan fasilitator dalam proses
pembebasan para sandera.

77
Siapa Pelakunya ?
Selama ini media telah mengkonstruksi bahwa pelaku
penyanderaan tersebut adalah kelompok Taliban. Namun yang harus
dicermati adalah bahwa dalam area konflik “aksi melempar batu
sembunyi tangan” adalah sesuatu yang lazim. Dalam pandangan
penulis, ada kecenderungan pelaku penyanderaan 23 warga sipil Korea
Selatan dilakukan oleh “Komando yang hilang” dari gerakan
perlawanan Taliban. Taliban sebagai sebuah organisasi politik dalam
batas tertentu memang mengalami penetrasi yang sangat kuat sehingga
kantong-kantong organisasinya relatif mengalami degradasi yang
signfikan. Namun terlalu naïf bagi sebuah regim yang pernah berkuasa
di Afghanistan, untuk secara langsung “merestui” sebuah penyanderaan
sipil. Sebab, penyanderaan sipil justru akan menyebabkan simpati dan
reputasi Taliban sebagai gerakan perlawanan Islam semakin lama akan
semakin tergerus.
Logika inilah yang sebenarnya tidak tertangkap oleh pemerintah
Afghanistan dan para negotiator yang selama ini berusaha
membebaskan para sandera, yang senantiasa berpandangan bahwa
penculikan warga asing adalah benar-benar dilakukan oleh “the real
Taliban”. Sehingga regim Kabul senantiasa menolak melakukan
negosiasi dengan kelompok penculik karena ditakutkan jika memenuhi
tuntutan kelompok penculik maka akan semakin banyak warga asing di
Afghanistan yang akan menjadi korban penculikan.
Alasan paling substantif kelompok “Komando yang hilang”
adalah, Pertama, kelompok penculik jauh akan mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan akses ekonomi secara lebih banyak
karena memegang kartu truff, baik kepada kelompok Taliban, sandera
ataupun fihak yang mau membebaskan sandera. Membebaskan sandera
sipil harus dibayar dengan tebusan yang sangat tinggi sebagai alat
politisasi kompensasi tidak dibebaskannya tahanan politik Taliban.
Kedua, kelompok komando yang hilang tersebut akan bisa
“memaksa” kelompok Taliban dipinjam benderanya untuk

78
mengakui keberadaan kelompok ini sebagai bagian dari kelompok
perlawanan Taliban, yang mungkin selama ini kelompok penculik sudah
dianggap sebagai outsider bagi Taliban. Artinya kelompok penculik
mengharapkan dari kelompok Taliban untuk meregistrasi kembali
kebaradaan kelompok ini dalam jaringan besar Taliban.
Jika demikian halnya, maka negosiasi pembebasan sandera
justru bisa dilakukan hanya dengan melalui koneksi Taliban jika hendak
menggunakan penyelesaian politik. Dalam hal ini bisa mencontoh
bagaimana Hamas mampu membebaskan dua wartawan Eropa yang
disandera oleh kelompok perlawanan non- Hamas. Dengan
menggunakan koneksi Hamas, akhirnya negosiator Hamas mampu
berkomunikasi dengan para penyandera, yang pada akhirnya sandera
bisa terbebaskan secara elagan.
Dalam pandangan penulis, Taliban secara organisatoris jelas
berkepentingan untuk turut dalam progam pembebasan sandera, karena
dengan dibebaskannya sandera melalui peran Taliban, maka citra
Taliban yang dikontruksi negatif selama ini bisa terkurangi. Namun
yang jadi persoalan maukah pemerintah Karzai menggunakan koneksi
Taliban untuk membebaskan para sandera. Bagi regim Karzai, jelas
pilihan ini seperti buah simalakama, berdekatan dengan Taliban
dianggap sebagai akomodasi terhadap kelompok teroris, namun jika
tidak berkoneksi dengan Taliban, reputasi Aghanistan sebagai daerah
yang aman akan segera sirna.
Sehingga yang harus dilakukan oleh masyarakat internasional
adalah bagaimana menyakinkan Taliban dan regim Hamid Karzai untuk
bersama-sama menselesaikan penyanderaan ini secara elagan dan tidak
saling mengiritasi. Kedua kelompok politik ini harus mulai memikirkan
ulang bagaimana membangun “bumi mujahid” ini menjadi wilayah
yang penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan.

79
POLITISASI HADIAH NOBEL

Sangat menarik tulisan Kishore Mahbubani tatkala


menyampaikan ulasan kritisnya terhadap pemberian hadiah Nobel
kepada Martti Ahtisaari atas upaya menegakkan perdamaian di Aceh.
Kishore Mahbubani melihat adanya kekacauan peta mental yang
digunakan panitia Nobel Norwegia dalam pengambilan keputusan.
Anggota-anggota panitia tampaknya terjerat sebagai tawanan masa lalu
(Koran Tempo, 20 Oktober 2008).
Sejenak kita bisa membandingkan beberapa Hadiah Nobel yang
terkait dengan para aktor di daerah konflik, khususnya di kawasan Asia.
Setidaknya ada sekitar empat nama yang bisa dijadikan referensi
pembanding. Pertama, hadiah sekelas Nobel yang diberikan UNESCO,
The 1997 Felix Houphouet-Boigny Peace Prize, kepada Nur Misuari
dan Presiden Fidel Ramos atas kesediaannya melakukan negosiasi
dalam Final Peace Agreement 1996, yang mengakhiri konflik Mindanao
yang telah berlangsung selama kurang-lebih 30 tahun.
Kedua, Hadiah Nobel Perdamaian juga pernah didapat oleh
Ramos Horta, yang diyakini sebagai aktor yang sangat gigih
memperjuangkan aspirasi politik masyarakat Timor Timur. Ketiga,
Hadiah Nobel juga pernah diterima oleh Muhammad Yunus, seorang
ekonom ekonomi kerakyatan di Bangladesh yang dianggap mampu
mentransformasi energi kekerasan kaum terpinggirkan menjadi energi
ekonomi yang produktif.

Legitimasi politik
Hadiah Nobel merupakan penghargaan yang sangat prestisius.
Sebuah apresiasi dari masyarakat internasional terhadap dedikasi dan
kerja keras seorang individu yang berhasil menciptakan mahakarya
yang bisa dirasakan kemanfaatannya secara luas. Dengan Hadiah Nobel,
seseorang akan menjadi sangat populer, disanjung, bahkan akan
didewakan menjadi

80
"manusia setengah dewa", manusia yang sangat bijak, yang dapat
melintasi zaman dan ruang.
Kondisi ini sangat menarik dianalisis dalam perspektif elite.
Sederhananya, Hadiah Nobel merupakan sebuah jalan tol yang sangat
mulus yang akan mampu mendongkrak legitimasi seorang elite menjadi
elite top. Hadiah Nobel diyakini memiliki korelasi positif dengan
bangunan legitimasi yang akan diterima seseorang. Setidaknya, kita bisa
membaca dari beberapa fenomena di atas. Pertama, Hadiah The 1997
Felix Houphouet-Boigny Peace Prize, yang diterima Nur Misuari dan
Presiden Fidel Ramos, digunakan sedemikian rupa untuk meningkatkan
legitimasinya yang semakin melorot. Nur Misuari mempergunakan
hadiah ini untuk berkompetisi dengan elite politik di Mindanao, baik di
dalam lingkup internal Moro National Liberation Front (MNLF)
maupun dengan kompatriotnya di MILF, yakni Salamat Hashim, dan
mempertahankan eksistensi politiknya sebagai Gubernur ARMM. Fidel
Ramos juga mempergunakannya untuk bisa bertahan menjadi kandidat
dalam pemilihan presiden 1998 melalui upayanya melakukan proses
amendemen konstitusi terkait dengan perpanjangan kesempatan menjadi
presiden.
Kedua, kondisi ini juga serupa dengan yang dilakukan oleh
Ramos Horta tatkala memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian, sebuah
hadiah yang kala itu diyakini publik Indonesia sebagai hadiah yang
kontroversial, terkait dengan stigma bahwa Ramos Harto lebih
merupakan seorang provokator ketimbang peacemaker. Terlepas dari
masalah tersebut, Horta mampu memanfaatkan momen tersebut untuk
mendongkrak legitimasinya guna bersaing dalam proses politik di
Timor Leste dengan Al- Katiri. Sehingga, dalam proses politik
berikutnya, posisi politik Horta melambung dari hanya seorang menteri
luar negeri menjadi seorang perdana menteri, dan akhirnya menjadi
presiden di Timor Leste.
Ketiga, hal serupa juga terjadi pada Muhammad Yunus. Yunus
sebelumnya seorang ekonom murni, yang lebih tertarik pada bagaimana
mendesain sebuah sistem perbankan yang

81
ramah terhadap kaum miskin. Dari ide inilah Yunus kemudian
mendirikan Grameen Bank, sebuah inisiasi untuk memberdayakan kaum
miskin. Namun, setelah mendapat Nobel Perdamaian, Muhammad
Yunus kemudian mulai tertarik masuk bursa politik di Bangladesh.
Ada sebuah pelajaran yang menarik dari tiga Hadiah Nobel
yang pernah diterima oleh para elite politik yang sedang melakukan
proses pembangunan legitimasi. Nalar ini tampaknya yang juga dipakai
oleh Panitia Nobel untuk lebih memilih seorang Martti Ahtisaari,
seorang pengusaha kayu dan mantan Presiden Finlandia, dibandingkan
dengan Muhammad Jusuf Kalla (JK) ataupun Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Baik JK maupun SBY adalah elite politik yang
sekarang ini juga akan bertarung kembali dalam kompetisi politik dalam
Pemilu 2009 maupun pemilihan presiden 2008.
Kishore Mahbubani menyatakan, ada kemaslahatan lain apabila
hadiah itu diberikan kepada orang Indonesia. Hadiah Nobel Perdamaian
untuk SBY-JK akan menunjukkan kepada Barat bahwa muslim bisa
menjadi penegak perdamaian dan, sama pentingnya, hadiah ini akan
menyampaikan pesan harapan kepada muslim di seluruh dunia yang
telah menyaksikan harga diri mereka tergerus oleh cerita kegagalan
demi kegagalan yang mereka alami. Aceh merupakan kisah
keberhasilan muslim yang spektakuler.
Nalar yang dibangun oleh Kishore Mahbubani sangat menarik,
namun yang juga harus dicermati adalah lebih fair jika Hadiah Nobel
Perdamaian tak hanya diberikan kepada elite atau individu semata,
namun juga bisa diberikan kepada masyarakat secara luas untuk
mengurangi ruang politisasi Hadiah Nobel. Hadiah Nobel kepada
masyarakat Aceh tampaknya akan jauh lebih bermakna dibanding jika
diberikan kepada seorang individu semata. Nobel Perdamaian bagi
masyarakat Aceh adalah sebuah pengakuan bahwa, untuk mendapatkan
kesadaran kritis tentang makna terdalam dari kata damai, masyarakat
Aceh harus rela mengorbankan jiwa, harta, dan kemanusiaan yang tidak
terkira.

82
Pilihan terhadap Martti Ahtisaari pun sebenarnya juga telah
melahirkan kekhawatiran yang sangat besar bagi publik Indonesia, dan
Aceh khususnya. Sebagaimana diketahui, Martti Ahtisaari adalah
pengusaha besar perkayuan. Kayu bagi masyarakat Finlandia adalah
sesuatu yang sangat penting, dan sebagai modal yang sangat berharga.
Pemberian Hadiah Nobel kepada Martti janganlah kemudian diikuti
oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan akses yang luas dan
khusus bagi Martti guna bisa mengembangkan bisnis perkayuan di
Indonesia. Sebab, jika hal ini terjadi, sebenarnya partisipasi Martti
dalam menjalankan misi perdamaian tersebut karena dorongan ekonomi
ketimbang dorongan kemanusiaan.
Untuk itu, adalah sebuah kenaifan jika Hadiah Nobel justru
lebih sering dipolitisasi untuk kepentingan elite dan bisnis semata.
Masyarakat Aceh memerlukan sebuah bangunan kesadaran kritis bahwa
Hadiah Nobel Perdamaian sejatinya untuk memperkuat daya tahan
masyarakat di daerah berkonflik, seperti halnya Aceh, untuk mulai
mengapresiasi nilai perdamaian serta membangun komunikasi lintas
budaya dan politik secara ramah. Semoga. *

83
DIPLOMASI KEBUDAYAN ARROYO

Regim Arroyo dalam 2 minggu terakhir mengalami tekanan


yang sangat serius akibat berbagai demonstrasi dan percobaan kudeta
oleh kelompok militer sehingga melahirkan kebijakan pemberlakuan
darurat militer (martial law). Namun dalam tingkat tertentu pula Arroyo
menunjukan ketenangan yang luar biasa dalam menghadapi berbagai
desakan internal dengan justru menjadi tuan rumah pelaksanaan event
internasional di Filipina.
Sebelumnya di tahun 2005, setelah diguncang oleh berbagai
rentetan demokrasi dan kudeta Militer, Arroyo dengan sangat
menyakinkan publik Asia Tenggara bahwa Filipina sanggup menjalan
pesta olah raga Asia Tenggara (Sea-Games) dengan aman. Bahkan
kemudian masih bisa memikirkan berbagai strategi agar Filipina
menjadi juara umum di tengah peliknya persoalan internal. Demikian
pula dalam seminggu terakhir, Arroyo tampil dalam kemasan media
bahwa Filipina tidak terjadi konstraksi politik yang berarti dengan
menerima kedatangan PM Selandia Baru secara santai di pinggir pantai,
dan sekaligus mengadakan Dialog Lintas Agama dengan mengundang
berbagai elemen masyarakat internasional khususnya Asia Tenggara.
Arroyo tampil sangat percaya diri. Berbanding terbalik dengan kasus
Indonesia yang selama ini mengklaim diri sebagai negara yang aman,
namun terkait dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Condolize Rice
ada kesan yang sangat tampak bahwa situasi politik di Indonesia sangat
tidak aman, sehingga Pengamanan Indonesia dirasa fihak Kedubes AS
di Indonesia tidak memadai sehingga harus membawa pengawal secara
khusus dari AS dengan persenjataan lengkap layaknya mau maju dalam
perang di Iraq. Yang kemudian menimbulkan kekecewaan banyak fihak,
bahkan Komisi I DPR mendesak pemerintah Indonesia untuk
melakukan protes keras terhadap protokoler diplomatic AS yang over
acting. Teramat tampak bahwa managemen krisis regim SBY

84
tampak sangatlah lemah jika dibandingkan dengan managemen krisis
yang dilakukan oleh Regim Arroyo di Filipina.
Tulisan ini akan mencoba melakukan analisis framing terhadap
persoalan manajemen krisis ini, dan implikasinya bagi keberlanjutan
regim SBY dalam menghadapi persoalan krisis yang sekarang ini mulai
bermunculan kembali secara beruntun, seperti flu burung, busung lapar,
korupsi, kenaikan harga BBM dan TDL serta terakhir dengan persoalan
Blok Cepu dan kasus kekerasan di Abepura yang merenggut nyawa 4
personil keamanan terkait dengan persoalan Freeport.
SBY selama ini dikenal sebagai figure presiden yang sangat
peka dan cerdas dalam hal memanfaatkan media dalam membangun
karakter kepemimpinannya. Kemenangan SBY dalam Pemilu 2004
diyakini banyak fihak karena kemampuan SBY dalam memanejemen
krisis di Indonesia untuk membangun karakter kepemimpinannya. Gaya
SBY yang cenderung low profile dalam menilai sesuatu, sekaligus
mengkonstruksi issue tersebut secara cerdas membuat SBY bukan
termakan oleh krisis yang sedang berjalan namun bisa mengolahnya
menjadi sesuatu yang positif.
Issue merupakan bola liar yang bisa menabrak apa saja
sebagaimana layaknya bola bilyar. Keliaran issue ini akan menjadikan
fihak-fihak tertentu akan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan
aktivitas yang berarti demikian pula akan ada fihak lain yang
mendapatkan kerugian signifikan meskipun tidak melakukan kesalahan
yang berarti.
Media Massa merupakan salah satu fihak yang cenderung
secara pro-aktif melakukan kontruksi realitas secara berkesinambungan
untuk diberikan kepada khalayak. Bahkan menurut Eriyanto, sangat
mungkin kontruksi media massa ini dapat mengubah fakta yang
sesungguhnya terjadi secara signifikan. Dan bagi meia massa, proses
konstruksi terhadap realitas ini adalah sebagai sesuatu yang wajar dan
tidak harus dituduh sebagai tindakan “trial by press” karena media
massa memiliki idiologi yang sangat unik dan eksklusif dalam

85
menampilkan sebuah berita. Dan aktor politiklah yang harus lebih
cerdas dalam mensikapi masalah ini, bukan malah terjebak dalam
perdebatan yang tidak perlu yang malah akan semakin kontraproduktif
terhadapnya.

Bola Liar Framing


Dalam kasus kenaikan TDL, BBM terdapat kecenderungan
regim SBY tidak terlalu sukses menyakinkan masyarakat Indonesia
bahwa kenaikan harga tersebut demi kemaslakhatan banga Indonesia.
Salah satu yang cukup telak menohok regim SBY adalah hasil audit
BPK yang menunjukkan titik in-efisiensi dalam tubuh PLN akan tetapi
Pemerintah tetap ngotot untuk menaikan TDL sampai 10% dengan cara
mengganti Direktur PLN. Demikian pula tatkala pergantiaan Direktur
Pertamina ternyata terkonstruksi sebagai cara SBY untuk memberikan
ruang kompetitif bagi Exxon dalam pengelolaan blok Cepu.
SBY berusaha secara pro-aktif untuk melakukan konstruksi
bahwa kebijakan yang dibuatnya adalah sebagai sebuah kebijakan yang
rasional dan outputnya akan memberikan keuntungan dan kemakmuran
bagi masyarakat. Namun justru yang terjadi upaya kontruksi SBY ini
gagal karena masyarakat Indonesia cenderung tidak menyakini
konstruksi SBY ini bahkan lebih mempercayai bahwa kebijakan SBY
tersebut terkait erat dengan kepentingan fihak asing. Kedatangan
Condolize Rice setelah Exxon secara definitive memenangkan blok
Cepu memperteguh asumsi konstruksi bahwa dibalik kebijakan SBY
selama ini terdapat kepentingan regim global.
Konstruksi semacam ini telah dibuat secara massif oleh Majelis
Mujahidin Indonesia dalam merespon kebijakan pemerintah Indonesia
dalam melaksanakan perang terhadap Terorisme. Majelis Mujahidin
secara frontal menyatakan bahwa regim di Indonesia telah menjadi
bagian tak terpisahkan dari regim global dalam melakukan perang
terhadap terorisme ala AS.
Artinya, kedatangan Condolize tersebut dalam perspektif
managemen framing justru malah merugikan secara signifikan

86
regim SBY. Timing kedatangan Condolize yang tidak tepat tersebut
menjadikan regim SBY harus melakukan counter framing yang semakin
sulit. Apalagi dengan secara permisif, pemerintah Indonesia
memberikan prerogratif Kedubes AS untuk melakukan penataan yang
sangat mencolok sehingga terkonstruksi pesan bahwa Indonesia adalah
negara yang tidak berdaulat, dengan tidak mampu mengatakan tidak
kepada AS. Berbagai kebijakan seputar kehadiran Condolize ini
menjadikan regim SBY yang sebelumnya tegar menjadi sasaran framing
dari berbagai fihak secara masif.
Kita juga akan melihat gejala managemen krisis SBY terkait
dengan kekerasan di Abepura, apakah SBY akan mempergunakan kasus
Abepura untuk membenahi managemen krisisnya. Atau malah berbagai
kesalahan fatal kembali akan hadir sehingga genaplah sudah bahwa
regim SBY telah kehilangan managemen krisis. SBY harus bekerja
keras agar selamat dari deraan framing dari berbagai fihak, dengan
melakukan proses re- framing yang terkonstruksi secara rapi dan
sistematis. Ujian di krisis Abepura menuntut regim SBY untuk
menjadikan kasus Abepura sebagai starting point baginya untuk
kembali membangun kepercayaan publik dengan kebijakan yang lebih
menentramkan dan bukannya meresahkan berbagai fihak yang akan
memancing datangnya pola liar framing.
.

87
IRAQ PASCA REFERENDUM

Perjalanan Iraq pasca invasi menunjukan pola yang sangat


fluktuatif. Dari warna kekerasan terhadap tentara asing yang diyakini
sebagai “penjajah” ataupun kekerasan lintas etnis, terutama dari
kelompok Sunni,Syiah dan Kurdi. Perjalanan Iraq berikutnya akan
sangat ditentukan oleh referendum terhadap konstitusi yang
dilaksanakan 15 Oktober 2005, dan dimenangkan dengan suara 79%
menerima draft Konstitusi dan 21% menolak draft.
Tulisan ini akan mencoba melakukan analisis terhadap berbagai
kemungkinan konstalasi politik di Iraq pasca referendum. Dalam hal ini
penulis akan mencoba membandingkan dengan Referendum yang
pernah dilakukan oleh Iran di tahun 1980, pasca Revolusi Putih Iran
1979. Apakah Iraq akan menjadi republik Syi’ah kedua setelah Iran,
ataukah idiologi Syiah hanya akan menjadi single majority dalam
politik, dan tidak harus tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi.

Icon Syiah
Banyak pengamat melihat bahwa referendum di Iraq akan
semakin memuluskan jalan kelompok Syiah untuk mengambil peran
politik yang signifikan dalam konstalasi politik Iraq. Secara demografis,
warna Syi’ah di Iraq sedemikian kental karena hampir 60% lebih
penduduk Iraq adalah muslim yang bermazhabkan Syi’ah. Icon Syi’ah
yang juga tidak bisa dipungkiri lagi, dari situs padang Karbala sebagai
tempat syahidnya Imam Syiah ke 3, Hussein bin Ali, ataaupun juga
diyakini oleh kalangan Syi’ah bahwa makam Ali bin Abu Thalib
sebagai Imam Syiah I juga berada di Iraq. Ulama besar Syiah juga
banyak memberikan warna yang signifikan. Intelektual ekonomi Islam,
Muhammad Baqir As- sadr juga besar dan berkembang di Iraq. Bahkan
ulama yang sangat kharismatik Ayatulloh Ali al-Sistani merupakan
ulama besar di Iraq yang dalam otoritas keulamaannya melebihi seorang

88
rahbah meskipun banyak kalangan Syi’ah belum menyatakan Ali al-
Sistani setara dengan Ayatulloh Khomeini sebagai seorang marja’
taklid.
Namun yang tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan politik
Syi’ah sudah bisa terbaca dalam Pemilu I yang memenangkan sampai
4,075 juta suara (51%) dari total pemilih sebanyak 8,5 juta suara.
Sementara itu kelompok Kurdi hanya memperoleh 2,175 suara (26% )
dan Sunni hanya sekitar 1,5 juta (23%). Dan terbukti kemenangan
referndum juga tidak banyak berbeda dengan pemilu sebelumnya yang
mencapai 79%, hampir sama dengan pemilu tahap I, sebagai bentuk
kemenangan Syiah dan Kurdi.

Republik Syiah ?
Ketika membandingkan dengan referendum di Iran 25 tahun
yang lalu, dua hal yang kemudian direferendumkan adalah tentang
bentuk negara dan identitas nasional. Dalam tradisi pemikiran Syi’ah,
bentuk negara yang paling legitimate adalah Keimamahan. Namun
karena ghaibnya Imam, maka Ayatollah Khomeini memberikan
kesempatan pada publik untuk memilih bentuk negara yang lain.
Sehingga masyarakat Iran ketika itu memilih bentuk republik untuk
menggantikan bentuk monarkhi yang ditinggalkan oleh Shah Iran, Reza
Pahlevi. Demikian pula dalam klausul identitas nasional, referendum
memenangkan identitas Syiah Imam 12 (Syiah Itsna ‘Asy’ariyyah)
sebagai identitas resmi negara. Sehingga dalam banyak istilah untuk
menyebut Iran ke dalam sebutan Republik Islam Syiah Iran.
Beberapa issue yang mencuat dari referendum atas tentang
peranan agama dalam negara, perimbangan pengelolaan aset minyak,
bentuk negara apakah menjadi negara federal ataupun jadi negara
kesatuan. Dengan kemenangan ini ada kemungkinan besar sekali, Irak
akan menjadi Republik Syi’ah yang ke II di dunia. Meskipun upaya ini
jelas akan mendapatkan tantangan yang sangat kuat dari kelompok
Sunni. Bahkan Ketua Liga Arab. Amir Mousa juga sangat
mengkhawatirkan Iraq akan

89
menjadi Republik Syi’ah karena justru akan menebar konflik yang
berdimensi internal ataupun regional.
Sehingga seorang Abdul Jabbar Ahmad menyatakan bahwa
Referendum hanya menimbulkan jurang pemisah lebih besar (Kompas,
26 Oktober 2005). Pandangan ini akan benar jika kelompok Syi’ah
dengan kemenangan ini memaksakan diri untuk menjadikan Syi’ah
sebagai dasar negara secara eksklusif. Iraq merupakan negara yang
sangat multi wajah jika kita melakukan potret sejarah, ada tradisi
Hamurabi dari kasanah Iraq Kuno, tradisi Mesopotamia, tradisi Sunni
dari khasanah kekhilafahan Abbasiyah, dan ada pula tradisi sosialisme
Baath pada era Saddam Hussein.
Sedemikian berwarna tradisi Iraq tidaklah mungkin Syi’ah akan
memaksakan diri sebagai tradisi utama. Mengapa Iran bisa menjadi
republik Syi’ah dan tidak menimbulkan konflik yang berarti karena
dalam referendum yang dijalankan tingkat kemenangan mencapai
97,5%, sebuah angka yang mendekati mutlak. Namun di Iraq dengan
kemenangan hanya 79%, atau jika lebih valid dikurangi dari suara Kurdi
sebanyak 26%, maka sebenarnya kemenangan Syiah hanya sekitar 53%.
Sebuah angka yang skepstis untuk menjadikan Iraq sebagai Republik
Syi’ah.
Memang tak terhindarkan lagi Syi’ah dan tokoh Syiah akan
mendominasi dalam struktur pemerintahan Iraq yang akan dipilih dalam
Pemilu yang akan dilaksanakan dalam bulan Desember 2005. Sebuah
waktu yang sangat dekat dengan pelaksanaan referendum, dan hasilnya
pun bisa dipredisksi tidak akan banyak berubah dari 2 pelaksanaan
pemilihan umum dan referendum.

Menghadapi Musuh Bersama


Agenda yang paling penting bagi penduduk Iraq pasca
referendum ini adalah bagaimana masyarakat Iraq menghadapi musuh
bersama, yakni intervensi negara besar seperti Amerika Serikat dan
Inggris. Artinya saling bertikai antar anak bangsa Iraq justru akan
memberikan peluang yang sangat besar bagi Amerika Serikat untuk
berinvestasi politik pengaruh di Iraq. Keterlibatan

90
Amerika Serikat di Iraq justru akan memasukkan komunitas Iraq ke
dalam kubangan konflik yang tidak akan berujung pangkal.
Yang pasti Amerika Serikat akan “jenggah” dengan sendirinya
jika hasil referendum memunculkan fenomena yang sangat bertentangan
dengan kepentingannya. Dan sangat mungkin Amerika Serikat akan
“jenggah” yang kedua kalinya, setelah dalam pemilu sebelumnya
komunitas Syiah memenangkan Pemilu, dan hasil referendum juga
menguatkan dominasi Syi’ah di Iraq.
Dituntut kedewasaan para politisi di Iraq, apakah dari kalangan
Syiah, Sunni dan Kurdi untuk menatap masa depan dengan lebih
cerah akan diuji. Kaum muslimin seluruh dunia tentunya sangat
berharap “referendum” sebagai forum rekonsiliasi dan bukan sebagai
forum dis-integrasi. Kedewasaan ini menjadi penting ditengah aksi
boikot yang senantiasa dilakukan oleh kelompok Sunni maupun
kelompok Baath dalam 2 proses demokrasi yang sudah berlangsung.
Para politisi Syiah dan Kurdi harus membuka “kesempatan yang
lebar” untuk mengajak komunitas Sunni dan Baath untuk terlibat
dalam proses pemilu yang akan segera dilaksanakan. Sebab jika
dalam pemilu nanti tingkat partisipasi masih kurang dari 70%, seperti
dalam dua proses sebelumnya maka Pemilu yang akan datang juga
tidak akan menghasilkan pemerintahan yang kuat. Artinya konflik dan
kekerasan atas anak bangsa Iraq justru akan semakin menajam, dan
siapakah yang akan mendapatkan keuntungan terbesar akibat konflik
berkepanjangan adalah negara-negara besar seperti Amerika Serikat
yang akan mengelola secara eksklusif Iraq. Semakin banyak investasi
yang ditanam AS di Iraq, maka semakin lama pula Amerika Serikat
akan mengintervensi secara masif Iraq. Mengutip pendapat Wolter S.
Jones (2003), bahwa untuk menciptakan rekonsiliasi dan integrasi
di tingkat internal,
kehadiran musuh bersama perlu dimunculkan. Memang dalam batas
tertentu untuk menjadikan AS sebagai musuh bersama teramat sulit
bagi kelompok Kurdi yang dalam konteks tradisi politik Kurdi, AS
adalah mitra bahkan dewa penolong bagi

91
eksistensi Kurdi. Atau bahkan kelompok Syi’ah-pun juga tidak bisa
serta merta melakukan pengusiran terhadap AS dari Iraq karena selama
ini AS telah mengkooptasi beberapa elit Syiah seperti Perdana Menteri
Iyadh Alawi dan beberapa pemimpin lainnya. Kelompok yang potensial
melakukan permusuhkan masif adalah kelompok Sunni dan Baath yang
dengan kehadiran tentara AS, kelompok ini kehilangan otoritas politik.
Dari fenomena ini langkah yang paling realitis adalah
bagaimana antar kelompok etnis di Iraq mulai mengurangi
ketergantungan kepada AS sehingga bisa memiliki independensi sikap.
Misal dengan meminta fasilitasi proses demokratisasi dalam Pemilu di
bulan Desember oleh kelompok negara Arab dalam Liga Arab.
Meskipun kapabilitas Liga Arab selama ini memang masih diragukan.
Namun itu jauh lebih baik daripada menempatkan AS sebagai penyusun
langkah demokratisasi di Iraq yang cenderung akan menanamkan
demokratisasi ala AS. Pelajaran dari Pakistan bisa diambil, bahwa
demokratisasi Pakistan gaya Inggris justru malah menciptakan
kekerasan politik yang berarti. Sehingga yang diperlukan adalah
demokrasi konsosiasional gaya Malaysia dengan menciptakan
kerukunan elit dari lintas etnis, baru kemudian disosialisasikan ke
massa. Tradisi penyelesaian gaya Loya Jirga di Afhanistan juga bisa
diadop dengan melakukan ishlah antar etnis yang bertikai.

92
BAGIAN II
CONTOH PENULISAN
ARTIKEL KONFERENSI
DAN JURNAL

93
Menulis artikel dalam konferensi sudah menjadi sebuah tuntutan bagi
kalangan akademisi. Yang paling pertama untuk diperhatikan adalah
penulisan abstrak. Panitai konferensi memberikan periode waktu bagi
para calon presenter untuk mengirimkan abstrak, yang biasanya terdiri
dari maksimal 200 kata, dan ditambah dengan informasi penulisnya.
Kedua, Setelah abstrak diterima, maka panitia konferensi akan
memberikan kesmepatan bagi para penulis untuk menulis full paper atau
artikel lengkapnya. Yang paling substantive untuk diperhatikan dalam
tahap ini adalah gaya penulisan yang disarankan, Jangan sampai kita
mempergunakan gaya penulisan yang berbeda, karena akan dipastikan
akan mempersulit diri sendiri dan akhirnya gagal. Misal jika panitai
menghendaki gaya penulisan dengan gaya APA, maka kita harus
menyesuaikannya. Kita tidak boleh memaksakan gaya menulis kita,
semisal dengan gaya Harvard, Turabian atau yang laiinya. Panitia juga
bertanggung jawab dengan memberikan link atau template
penulisannya.
Ketiga, level yang paling substantive menyampaikan gagasan utuh,
sistematis, obyektif, dan menarik. Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka para penulis artikel konferensi hendaknya melandaskan tulisannya
kepada hasil riset yang dikembangkan oleh para penulis, dan akan
sangat dianjurkan jika penelitian tersebut berbasis dengan data primer,
di mana penulis memiliki otoritas yang tinggi terhadap data tersebut.
Sebab jika data diperoleh secara sekunder, akan sangat mungkin
gagasan yang disampaikan akan memiliki kemiripan dengan penulis lain
yang juga menggunakan data sekunder. Inilah yang sering dikenal
dengan istilah novelty.
Kajian studi pustaka dalam tulisan artikel konferensi juga layak untuk
jadi perhatikan. Tunjukan bahwa tulisan kita memiliki road map yang
jelas dengan sejumlah studi sebelumnya, dan apa kontribusi studi kita
terhadap perkembangan penjelasan terhadap suatu issue yang spesifik.
Dengan kajian pustaka yang mapan, maka tulisan kita juga akan mapan
adanya.

94
Keempat, presentasi ilmiah. Biasanya presenter akan mendapatkan
kesempatan presentasi orang yang relative sangat padat, dan pendek.
Dalam satu cluster biasanya terdiri dari 10-15 presenter, di mana
masing-masing presenster mendapatkan alokasi waktu sekitar 10-15
menit saja. Bagaimana cara menyampaikan gagasan yang kompleks
dengan waktu yang singkat sangat membutuhkan keahlian presentasi.
Cara yang paling mudah adalah membuat powerpoint yang kompak,
ringkas, dan memberikan efek ingin tahun yang besar dari audiens.
Harus difahami bahwa para presenter terjebak untuk menyampaikan
materi, sehingga seringkali tidak perhatian dengan materi yang
disampaikan pemateri yang lain. Dengan menyampaikan gagasan yang
menarik dan menantang, maka para presenter lainnya akan mengikuti
diskursus yang kita sampaikan.
Kelima, harus juga difahami bahwa konferensi merupakan ruang yang
sangat menarik untuk membangun relasi akademik, termasuk di
dalamnya tukar menukar gagasan. Waktu yang dialokasikan untuk
presenter hanya sangat sempit, namun ada waktu yang tersedia tatkala
kita tidak sedang menjadi presenter. Di saat itulah kita dapat browsing
sejumlah ide yang ditampilkan, dengan cara kita melihat check list atau
jadual presentasi. Kita dapat menjadi pendengar yang aktif, dan akan
mendapatkan pengkayaan ide yang bainyak dan kaya.
Untuk menulis artikel Jurnal, hakekatnya sama dengan menulis artikel
dalam konferensi. Perbedaan paling substantive adalah dalam artikel
jurnal, seorang penulis tidak mempertanggungjawabkan tulisan secara
langsung tatap muka dengan audiens, namun dikonfirmasi, diverifikasi
oleh para reviewer yang pakar di bidangnya dengan model blind
reviewer. Penulis tidak pernah tahu, siapa reviewer yang akan mereview
tulisannya. Sistem ini memungkinkan kualitas jurnal akan menjadi
terukur dan obyektif.
Kedua, penulisan artikel jurnal langsung dalam bentuk full paper, di
mana periode submit jurnal sudah ditetapkan secara definitive oleh
fihak pengelola. Jika dalam kurun waktu review tulisan yang

95
kita kirim mendapatkan respon, maka aka nada masukan tulisan kita
layak published dengan sejumlah revisi bahasa, tulisan, sampai
pendetilan penjelasan terhadap gagasan. Sangat mungkin proses review
membutuhkan waktu berulang-ulang. Jangan patah semangat.
Sekarang ini, proses submit artikel jurnal sudah menggunakan model
OJS (online journal system), di mana transaksi pengiriman naskah,
revisi dan publikasinya melalui model online berbasis internet. Sangat
disarankan para penulis artikel jurnal harus memilki literasi internet
yang tinggi. Jika tidak ramah dengan literasi internet, maka akan
menimbulkan keruwetan administrative dan akan memperngaruhi
semangat atau passion dalam menulis artikel jurnal.
Tetap Semangat

96
STRUKTURASI ORGANISASI MAHASISWA
EKSTRA KAMPUS BERBASIS ISLAM
DALAM MENDISKURSUSKAN DERADIKALISASI
PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN

Ali Muhammad, Surwandono


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Magister Ilmu Hubungan
Internasional, Pasca Sarjana
Yogyakarta, Indonesia
alim_umy@yahoo.com

Abstrak
Tujuan artikel hendak menjelaskan tentang relevansi organisasi
mahasiswa ekstra kampus dalam mendiskursuskan deradikalisasi
pemikiran politik dan keagaman. Posisi mahasiswa sebagai pencerah
peradaban memiliki peran penting dalam membuat peta pemikiran
politik dan keagamaan yang tetap kritis, radikal namun tidak keluar dari
nilai kemanusiaan. Untuk memperoleh obyektifikasi, penelitian
menggunakan desain penelitian kualitatif, untuk mengeksplorasi
pengalaman yang berstruktur dari para aktivis organisasi ekstra kampus
dalam mengelola diskursus pemikiran dan aksi politik-keagamaan.
Populasi penelitian ini adalah pengurus organisasi kemahasiswaan yang
bergabung dalam kelompok Cipayung maupun non Cipayung di
propinsi daerah Istimewa Yogyakarta, dengan mengambil sampel
penelitian melalui metode purposive random sampling. Dalam posisi
situasi non krisis, organisasi ekstra kampus di Jogjakarta masih
memimpin dibandingkan dengan pertumbuhan pemikiran organisasi
radikal politik dan keagamaan di Kampus. Terdapat sejumlah problem
strukturasi yang akut, yang dapat menganggu peran alternative organiasi
ekstra kampus dalam mendiskursuskan deradikaliasi pemikiran radikal
politik dan keagamaan.
Kata kunci: Deradikalisasi, Gerakan Mahasiswa islam, Strukturasi

97
Pengantar
Pertumbuhan pemikiran keagamaan dan politik yang
berkarakter radikal berkembang dengan pesat di Indonesia dan telah
menjadi ancaman yang serius. Hal ini ditandai dengan semakin
tingginya frekuensi kekerasan dan terror yang dilakukan oleh kelompok
keagamaan dan politik yang berkarakter radikal terhadap kepentingan
negara maupun kepentingan masyarakat secara umum, seperti teror bom
mobil, bom bunuh diri maupun bom buku maupun gejala “pencucian
otak”. Dari serangkain aktivitas terror tersebut, ada kecenderungan
menempatkan anak muda sebagai target yang dipilih oleh kelompok
radikal tersebut sebagai sarana untuk mengartikulasikan eksistensinya.
Dunia kampus yang dibangun dengan tradisi intelektualitas dan
rasionalitas ternyata juga mampu diinfilitrasi oleh kelompok radikal.
Beberapa mahasiswa di kampus di Malang, Yogyakarta, Jakarta dan
Bandung telah direkrut menjadi anggota dari jaringan kelompok radikal.
Menurut Prof Sukemi, Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Media
Kementerian Pendidikan Nasional, maupun Johannes Frederik Warouw,
osiolog Universitas Indonesia menyatakan bahwa para agen pemikiran
keagamaan dan politik radikal
memilih target mahasiswa yang cerdas dan memiliki idealisme
tinggi untuk direkrut menjadi bagian dari kelompok radikal tersebut.
Perkembangan kondisi ini memerlukan perhatian yang sangat serius dari
kampus untuk melakukan serangkaian kebijakan dan program
deradikalisasi pemikiran keagamaan dan politik di lingkungan kampus
secara sistematis.
Organisasi ekstra kampus memiliki potensi luar biasa untuk
ditempatkan sebagai agen deradikalisasi pemikiran keagamaan dan
politik di tengah gagalnya beberbagai program deradikalisasi dirilis oleh
pemerintah. Dalam sejarah politik dan keagamaan di Indonesia,
organisasi ekstra kampus memiliki kontribusi besar untuk
menyelesaikan problem kebangsaan di tingkat kemahasiswaan melalui
aktivitas intelektual yang intensif dan maupun di tingkat nasional
melalui aktivitas intelektual dan

98
politik yang cerdas. Program deradikalisasi pemikiran kegamaan dan
politik dengan menggunakan organisasi ekstra kampus sebagai agen
deradikalisasi diharapkan dapat menyelesaikan problem radikalisasi
pemikiran keagamaan dan politik di tingkat kampus maupun di
masyarakat.
Penelitian tentang pelembagaan diskursus deradikalisasi
pemikiran keagamaan dan politik dengan menempatkan organisasi
ekstra kampus sebagai agen deradikalisasi pemikiran keagamaan dan
politik memiliki beberapa urgensitas:
Pertama, meningkatnya budaya intoleransi di masyarakat yang
ditandai meluasnya penyebaran pemikiran keagamaan dan politik yang
berbasis radikal-kekerasan, baik di masyarakat maupun di dunia
kampus. Semakin seringnya artikulasi kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok politik dan keagamaan telah menyebabkan kegelisahan dan
ketakutan di masyarakat untuk melakukan aktivitas politik, social, dan
ekonomi.1
Kedua, maraknya penyebaran pemikiran politik dan keagaaman
yang berbasis radikal di kampus-kampus di Indonesia. Dalam konteks
pemikiran ilmu social di dunia kampus, pilihan untuk mengembangkan
cara berfikir secara radikal untuk memahami fenomena social
sesungguhnya sebagai sebuah keniscayaan. Hal ini terkait dengan
asumsi besar bahwa berfikir secara radikal akan memberikan
kesempatan untuk berfikir secara komprehensif untuk menemukan
sumber masalah secara lebih akurat dan menemukan solusinya
dibandingkan dengan proses berfikir yang hanya bersifat artificial.
Paradigma kritis dalam ilmu social bahkan menganggap bahwa
berfikir secara radikal adalah jawaban untuk memecahkan berbagai
problem social yang selama ini tidak terselesaikan. Penyebaran
pemikiran keagamaan dan politik yang berbasis radikal-kekerasan
dikhawatirkan akan mengancam tradisi

1
Lihat ragam kekerasan pemikiran politik dan keagamaan dalam Endang Turmudi,
dan Sihbudi, R. (2005). Islam dan radikalisme di Indonesia. Jakarta, LIPI
Press).

99
akademik berupa obyektivitas dan rasionalitas dalam memandang suatu
persoalan dan diganti dengan tradisi absolutisme dan hegemonisme.2
Ketiga, belum efektifnya program deradikalisasi yang telah
dirilis oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran pemikiran
keagamaan dan politik yang berbasis radikal kekerasan di tengah
masyarakat maupun di kampus-kampus. Ketidakberhasilan program
deradikalisasi sedikit banyak ditentukan oleh pola, muatan, subyek dan
obyek deradikalisasi yang cenderung tidak sistematis. Pola deradikaliasi
yang lebih banyak mengedepankan logika doktriner hokum, konstitusi
dan militer, muatan deradikalisasi yang cenderung tidak partisipatif (top
down), bahkan terkadang difahami sebagai bagian dari pendangkalan
keberagamaan seseorang, subyek deradikalisasi yang dilakukan oleh
petugas formal dengan jumlah yang sangat terbatas dan bukan dilakukan
oleh orang-orang memiliki hubungan personal, yang kemudian
menyebabkan derajat kelekatan menjadi sangat artificial, dan obyek
deradikalisasi yang hanya terbatas, menyebabkan proses banyak
kalangan yang sesungguhnya memiliki tradisi pemikiran radikal namun
tidak berada dalam unit untuk dideradikalisasi menjadi tidak tersentuh.

Studi Pustaka
Radikal merupakan kata serapan dari bahasa Inggris “radict”
yang artinya dasarnya adalah akar. Merujuk dari kamus Bahasa
Indonesia, radikal didefinisikan sebagai kecenderungan pemikiran, sikap
dan perilaku seseorang untuk melakukan sesuatu secara mendasar.
Sedangkan radikalisasi merupakan tindakan yang menimbulkan sikap
radikal di tengah masyarakat.3

2
Lihat dalam Sri Yunanto, Gerakan militan Islam: Di Indonesia dan di Asia
Tenggara, [Islamic militant movement: in Indonesia and Southeast
Asia]. Jakarta: Ridep Institute, 2003
3
http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/10/urgensi-deradikalisasi-di-
indonesia/ yang diunduh pada 12 April 2011 atau untuk kajan lebih dalam

10
Pemikiran radikal memiliki daya tarik yang luar biasa terhadap
kelompok anak muda dan kelompok mahasiswa. Studi yang dilakukan
oleh Surwandono dan Sidiq Ahmadi terhadap gejala tumbuhnya
pemikiran radikal cukup menarik yakni aktivis organisasi ekstra kampus
lebih tertarik untuk mendiskursuskan kepada pemikiran politik dan
keagamaan yang bersifat diametral, apakah kanan-politik (fasisme,
totalitarianism), kanan-agama (fundamentalisme), kiri-politik
(sosialisme, komunisme), kiri- agama (kiri Islam, teologi pembebasan),
maupun liberal politik (liberalism), maupun liberal agama (liberalisasi)4
daripada pemikiran politik dan keagamaan yang bersifat moderat.
Pemikiran politik dan keagamaan yang bersifat ekstrim difahami akan
memberikan horizon berfikir yang luas sehingga akan ditemukan solusi-
solusi atas persoalan social politik yang selama ini mengalami
kebuntuan karena sempitnya horizon berfikir. Pemikiran politik dan
keagamaan yang berbasis radikal juga dianggap sebagai narasi yang
paling efektif untuk melakukan counter hegemoni terhadap dominannya
pemikiran global yang berbasis liberalis-kapitalis.5
Dalam konteks politik di kampus, studi dari Surwandono dan
Sidiq Ahmadi menunjukkan bahwa organisasi ekstra kampus dalam
mendiskursuskan pemikiran keagamaan dan politik cenderung memilih
struktur pemikiran politik yang berbasis radikal kritis, yang terdiri dari;

tentang radikalisme dalam Zada, K. (2003). Islam radikal: Pergulatan


ormas-ormas Islam garis keras di Indonesia Jakarta: Teraju.
4
Lihat klasifikasi spectrum pemikiran politik dalam Maurice Duverger,
Sosiologi Politik, Jakarta, Penerbit Radjawali, 2003
5
Surwandono, Sidiq Ahmadi, Pelembagaan Fiqh Perbedaan Dalam
Mendiskursuskan Pemikiran Islam Berbasis Liberal dan Fundamental
Pada Organisasi Ekstra Kampus Berbasis Islam di Yogyakarta, Laporan
Penelitian Hibah Bersaing ( tidak diterbitkan), Yogyakarta, Fisipol UMY, 2010

10
Pertama, Pemikiran-pemikiran politik yang berbasis kiri, baik
yang kiri radikal maupun kiri kritis,6 menjadi salah satu referensi utama
dari hampir semua organisasi ekstra kampus. Pilihan untuk
mengkonsumsi pemikiran yang berbasis kiri, dalam banyak kasus
sebagai pilihan yang tak terhindarkan di tengah semakin derasnya
pemikiran politik liberal yang diadopsi oleh pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Kedua, pemikiran politik yang berbasis kanan keagamaan, baik
yang bersifat moderat-adaptif dan radikal-revolusioner sedemikian rupa
juga menjadi alternative sumber pemikiran. Pemikiran kanan
revolusioner yang memandang sesuatu secara diskrit, difahami oleh
beberapa aktivis organisasi ekstra kampus sebagai alternative eksplanasi
realitas social yang yang rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana.7
Ketiga, corak pemikiran radikal bebas, di mana kemudian
menempatkan sesuatu rule of law sebagai sesuatu yang nisbi. Filsafat
eksistensialisme yang menjadi rujukan semangat radikal dalam
kebebasan ini menyebabkan segala tindakan agen dan struktur dalam
masyarakat dikelola dengan hukum permisivisme. Filsafat
eksistensialisme ini menjadi rujukan berfikir juga tidak bisa dilepaskan
dari kondisi organisasi ekstra kampus yang mulai sepi peminat.
Mengembangkan pemikiran yang berwatakan radikal permisivisme
difahami akan memberikan daya undang yang besar sehingga
mahasiswa tertarik untuk bergabung dengan organisasi ekstra kampus.
Tumbuh dan berkembangnya pemikiran radikal di kampus,
pada awalnya tidak menyebabkan persoalan yang serius. Berfikir

6
Karl Mark, Frederich Engel sebagai basis normative pemikiran kiri kritis,
yang kemudian muncul pemikiran kiri dari Hasan Hanafi, Moh Arkoun ,
ataupun pemikiran revolusioner seperti teologi pembebasan yang dibawa oleh
Castro, maupun Che Guevara.
7
Lihat pemikiran kanan keagamaan radikal dalam Azyumardi Azra,
Pergolakan Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Paramadina, 2003 ataupun
dalam Muhammad Asfar (ed). Islam lunak, Islam radikal: Pesantren,
terorisme, dan bom Bali, Surabaya: JP Press.

10
radikal Yes, Bertindak Radikal No, demikian jargon yang sering
diaktualkan oleh para aktivis organisasi ekstra kampus dalam
melakukan diskursus pemikiran. Namun akhir-akhir ini, gejala
radikalisasi pemikiran di kampus mengalami perubahan yang signifikan
di mana terdapat sekelompok aliran politik dan keagamaan melakukan
infiltrasi pemikiran radikal kepada para mahasiswa. Hasilnya cukup
mengejutkan banyak kalangan, bahwa banyak mahasiswa menjadi
korban dari indoktrinisasi pemikiran dan aksi radikal dari kelompok
politik dan agama tertentu. Bahkan para pelaku tindak kekerasan dan
terror di Indonesia pada tahun 2010-2011 diperankan oleh para
mahasiswa maupun sarjana yang baru lulus dari kampus.8

METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif untuk
mentransformasi kapasitas Organisasi Ekstra Kampus sebagai agen
deradikalisasi pemikiran politik dan keagamaan di kampus-kampus di
Yogyakarta. Pendekatan kualitatif diharapkan dapat memberikan
penjelasan yang akurat tentang posisi penyebaran pemikiran radikal di
kalangan mahasiswa, derajat radikalisasi pemikiran dan proses untuk
melakukan deradikalisasi; Data penelitian diperoleh melalui data
primer dengan melakukan interview terstruktur kepada responden
yakni aktivis organisasi ekstra kampus maupun kepada narasumber dan
pakar. Focus group discussion dilakukan kepada pengurus Organisasi
Ekstra Kampus, dan melakukan studi dokumen terhadap
dokumen-dokumen, buku-buku, gambar-gambar yang terkait
dengan issue radikalisme dan deradikalisasi..
Tehnis analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

8
Dalam diskursus kekinian, kelompok politik keagamaan tersebut dihubungkan
dengan kelompok NII. Lihat lebih jauh dinamika pemikiran radikal dalam 8
Shireen T Hunter, Islamic Revivalism: Unity and Diversity, Bloomington,
2003, Azyumardi Azra, ibid.

10
Pertama, analisa wacana secara simultan untuk digunakan
menganalisis buku-buku, dokumen sejarah Organisasi Ekstra Kampus,
dokumen pemaknaan terhadap kitab suci, dokumen- dokumen kebijakan
counter terrorism, untuk kemudian bisa diambil makna terdalam dari
pesan yang disampaikan.
Kedua, untuk mendapatkan analisis yang mendalam terhadap
dari hasil wawancara dengan narasumber maupun responden dalam
penelitian, maka akan dilakukan analisis fenomonologis, dan dan untuk
menginterpretasi hasil dari pelaksanaan focus group discussion, maupun
pelaksanaan expert meeting akan mengeksplorasi dengan menggunakan
analisis simbolik.
Populasi penelitian adalah aktivis organisasi ekstra kampus
berbasis keagamaan di Yogyakarta, seperti HMI MPO, HMI DIPO,
IMM, PMII, KAMMI yang tergabung dalam kelompok Cipayung
ataupun organisasi ekstra kampus berbasis keagamaan seperti kelompok
Hizbut Tahrir, kelompok Jamaah Tabligh, kelompok Salafi, maupun
beberapa variannya melalui stratified random sampling, untuk
meningkatkan derajat representasi dari obyektivitas penelitian.

PEMBAHASAN
Meningkatnya aktivitas intoleransi, kekerasan dan terror di
Indonesia mencerminkan bahwa banyaknya anggota masyarakat yang
terpengaruh oleh logika berfikir dari kelompok radikal dan melakukan
aktivitas intoleransi, kekerasan, terror atas nama kekuatan agama dan
politik tertentu adalah sebagai sesuatu yang normal. Bahkan studi yang
dilakukan oleh Petrus Golose, Ketua BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) menunjukkan bahwa para pelaku tindakan
kekerasan dan terror

10
tidak merasa takut atas ancaman hukuman jika melakukan perbuatan
yang melanggar hokum.9
Lembaga Survei Indonesia (LSI), mengadakan riset nasional,
untuk mengeksplorasi radikalisme pada tingkat muslim dewasa di
Indonesia di tahun 2010.

Tabel 1
Ragam Tindakan Yang Mengekspresikan Kecenderungan
Radikal
No Tindakan Prosentase
1 Razia dan Sweeping tempat maksiat 2,6%
2 Bersedia Melakukan razia dan sweeping tempat 26,3%
maksiat
3 Demonstrasi Terhadap Kelompok Lain 1%
4 Bersedia Melakukan Demonstrasi Terhadap 26,9%
Kelompok lain
5 Menyumbang Materi Untuk Penegakan Syariat 37.4%
Islam
6 Melakukan Penyerangan Rumah Ibadah 1.3%
7 Mengajak Orang lain agar mengikuiti 18.8%
pemikirannya
Sumber: Lembaga Survai Indonesia, 2010.

Menurut Sri Yunanto program deradikalisasi mencakup


berbagai komponen proses; deideologisasi reorientasi, motivasi, re-
edukasi, resosialisasi serta mengupayakan kesejahteraan sosial dan
kesetaraan dengan masyarakat lain. Maka program deradikalisasi
sebagai sebuah program pendidikan bisa mempunyai dimensi kognitif,
dalam bentuk memasukkan faham yang tidak radikal untuk
menghilangkan atau melepas pemikiran, sikap dan tindakan radikal dan
kemudian menggantikannya dengan faham Islam yang toleran,
compatible dengan kehidupan

9
Lihat studi Petrus Golose, Deradikalisasi terorisme : humanis, soul
approach, dan menyentuh akar rumput, Jakarta, Yayasan Pengembangan
Ilmu Kepolisian, 2010

10
bangsa yang plural. Program deradikalisasi juga mempunyai dimensi
afeksi, yaitu melakukan persuasi dengan melakukan berbagai kegiatan
rehabilitasi agar mereka dengan sadar dan senang kembalik kepada
masyarakat, Islam dan motorik dalam bentuk meninggalkan perilaku
dan dukungan terhadap kekerasan.10
Studi yang dilakukan oleh Sri Yunanto terhadap program
deradikalisasi pemerintah, justru menimbulkan persoalan serius, bahkan
semakin memicu penyebaran pemikiran radikal. Selama ini program
deradikalisasi dilakukan melalui beberapa pendekatan, seperti
pendekatan keamanan, dan pendekatan penegakan hokum dan kurang
menggunakan pendekatan melalui jalur budaya dan pendidikan relative
belum banyak dieksplorasi. Pendekatan keamanan dan hokum
cenderung mengedepankan unsur represif, sedangkan pendekatan
budaya dan pendidikan mengedepankan unsure preventif dan humanis.
Ketua Majelis Ulama KH Makruf Amien yang mengatakan
bahwa program deradikalisasi yang salah justru akan memicu
radikalisme11 Hal ini terkait dengan adanya pandangan bahwa program
deradikalisasi merupakan sebuah program karet untuk memarginalkan
peran politik masyarakat Islam, bahkan dikhawatirkan akan
mengakibatkan pendangkalan akidah bagi kalangan umat Islam. Dalam
pandangannya yang lebih penting bukan merubah pemikiran yang
radikal melainkan membuat mereka mandiri secara ekonomi dan
menjauhkan diri dari kekerasan (disengagement from violence).12
Salah satu model deradikalisasi yang berhasil menurut Leo
Suryadinata adalah program deradikalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda. Belanda dalam batas tertentu berkontribusi

10
Lihat tulisan Sri Yunanto, . (ed). (2003). Gerakan militan Islam: Di
Indonesia dan di Asia Tenggara, Jakarta: Ridep Institute. Atau dalam
http://idsps.org/headline-news/publikasi-idsps/tantangan-program-
deradikalisasi-terorisme/, yang diunduh pada 15 April 2011
11
Republika, Senin 1 November 2010.
12
Republika, Rabu , 6 Oktober 2010

10
terhadap perkembangan radikalisme di Indonesia, di mana tokoh
Sneevliet merupakan tokoh dari Belanda yang mengenalkan tradisi
radikalisme di Indonesia. Pandangan Sneevliet kemudian mengubah
struktur social dalam organisasi Sarekat islam yang didirikan oleh Hos
Cokroaminoto menjadi terpecah dalam organisasi SI Putih di bawah
kepemimpinan Agus Salim, dan SI Merah di bawah kepemimpinan
Semaun.
Menurut Leo Suryadinata, program deradikaliasi yang didesain
oleh pemerintah Belanda dengan melibatkan para pemikir dan
perguruan tinggi guna menghadapi radikalisme agama. Froukje Demant
merupakan peneliti radikalisme yang terkenal. Dia menyarankan agar
pemerintah Belanda yang sekuler lebih terbuka untuk argumen-argumen
religius dan kaum muslim moderat harus mengajak sesama muslim
yang radikal masuk ke mainstream Islam yang damai. Pemberian
ruang kepada fihak- fihak yang akan menjadi obyek radikalisasi untuk
menyampaikan argumentasi dari keyakinan yang dipilihnya akan
membuat arus keterbukaan komunikasi.13
Bagaimana mendesain program deradikalisasi yang efektif dan
efisien?.Proses melakukan deradikalisasi dapat meminjam logika
kontruktivisme yang dipergunakan oleh Antony Giddens untuk melacak
relasi antara agen dan struktur. Pemikiran radikal dapat dianalogkan
sebagai struktur, dan pelaku aktivitas kekerasan sebagai representasi
agen. Struktur pemikiran radikal membentuk cara pandang dan perilaku
agen dalam memaknai sesuatu. Struktur yang kuat dan berhirarkhi
membuat agen tidak memiliki kesempatan untuk mengabaikan apa-apa
yang menjad harapan dan keinginan agen. Semakin terjadi ketimpangan
kekuatan, otoritas, informasi antara struktur dan agen maka semakin
posisi agen hanya menjadi sub ordinat dari kepentingan struktur.

13
Lihat pandangan Leo Suryadinata dalam http://www.balipost
.co.id/mediadeta il.php?module= detailrubrik&kid=1&id=2490 yang
diunduh pada 1 April 2011

10
Menurut Giddens, dalam konteks tertentu perilaku struktur
dapat dipengaruhi oleh perilaku agen, atau dalam hal ini agen justru
yang mengkonstruksi perilaku struktur. Agen yang memiliki kekuatan
yang memadai, memungkinkan perilaku agen akan otonom, bahkan
agen dapat mempengaruhi perubahan di dalam struktur sehingga
perilaku agen kemudian berharmoni dengan perilaku struktur. 14
Lantas bagaimana kesiapan organisasi ekstra kampus, yang
dalam sejarah organisasi kemahasiswaan Indonesia sebagai pilar
penyangga peradaban? Studi yang dilakukan peneliti terhadap 5
organisasi ekstra kampus, yang selama ini dikenal dengan kelompok
Cipayung, seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM),
Himpunan Mahasiswa Islam Diponegoro (HMI Dipo), dan Himpunan
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Komite Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menunjukan beberapa hal.
Pertama, pemaknaan kata dan aksi radikal bagi para aktivis
organisasi ekstra kampus memiliki makna yang beragama, pada satu sisi
radikal dimaknai sebagai secara positif terkait dengan tradisi berfikir
fundamental, yang memungkinkan mahasiswa dapat menemukan
pemikiran kritis yang solutif bagi masyarakat. Pemikiran radikal bagi
mahasiswa adalah keniscayaan. Bagi aktivis PMII dan HMI MPO,
pilihan aksi radikal seperti sejumlah aktivitas anarki, pemblokiran jalan,
pembakaran ban, bagi mahasiswa adalah sebagai reaksi atas sejumlah
kebutuhan komunikasi dalam mengartikulasikan kepentingan

14
Lihat Antony Gidden dalam Antony Giddens Central Problems in Social
Theory, Berkeley: University of California Press, 1979 dan Anony Giddens,
The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration,
Cambridge, U.K.: Polity Press, 1984. Atau dalam Lihat dalam Alexander E.
Wendt, “The Agent-Structure Problem in International Relations
Theory”, International Organization, Vol. 41, No. 3. (Summer, 1987), pp.
335-370

10
terhadap fihak terkait.15 Dan agak berbeda dengan pilihan aksi dari HMI
Dipo, IMM, maupun KAMMI, di mana berfikir radikal tidak harus
linier dengan tindakan anarkhi tatkala menghadapi kebuntuan
komunikasi.
Pada sisi yang lain, sebagian besar aktivis Cipayung memaknai
bahwa radikal bermakna negative, tatkala bermakna kepada pemikiran
fundamental, kaku, mudah menyalahkan kelompok lain, tidak
mengembangkan daya kritis, fanatic kepada kelompok, difahami
sebagai sesuatu yang merusak era idealism mahasiswa. Sehingga
kelompok Cipayung memandang organisasi seperti Hizbut Tahrir,
Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Ahmadiyah,
Gerakan Pemuda Ka’bah, hampir tidak memiliki basis pengorganisaan
yang kuat di mahasiawa, kecuali Hizbut Tahrir yang memiliki kekhasan
mendiskursuskan radikalasasi dalam pemikiran melalui diskusi terbatas,
dan public yang terorganisir.16
Kedua, hadirnya kelompok radikal keagamaan di sejumlah
kampus di Yogyakarta, difahami belum menjadi ancaman serius bagi
eksistensi kelompok Cipayung. Meskipun secara factual, diakui bahwa
proses mencari kader bagi organisasi Cipayung semakin sulit, terkait
dengan semakin dominannya pragmatisme ekonomi, buadaya rekreatif
di kalangan mahasiswa. Dan bukan karena semakin tertariknya
mahasiswa dengan organisasi radikal, yang difahami menawarkan
pemikiran utopis, militansi yang tinggi, dan janji keagamaan.
Bahkan yang justru dianggap competitor sejati adalah KAMMI,
yang disejumlah aktivis PMII dan HMI Dipo justru sebagai organisasi
radikal yang masuk dalam dunia kemahasiswaan. Aktivis PMMI di UIN
Suka, justru melihat KAMMI sebagai organisasi radikal yang
kompetitif di politik Kampus, dan

15
Wawancara dengan aktivis PMII di Cabang Yogyakarta, dan aktivis HMI
Dipo di Cabang Yogyakarta, dan Komosariat di UGM, UII, dan UMY.
16
Hizbut Tahrir membuat sebuah front khusus dengan nama Gema
Pembebasan, yang membuat diskusi dan memasang stiker, pamlet terhadap
issue aktual

10
mengancam mimbar akademik kampus. Secara factual, KAMMI
menjadi organisasi kemahasiswaan yang memiliki jaringan keluar dan
ke dalam secara baik, mampu berdiskusi, mampu membangun aksi, dan
membuat forum alternatif. Yang memungkinkan aktivis KAMMI dapat
masuk ke dalam struktur politik mahasiswa maupun struktur
pembelajaran keagamaan di Kampus melalui program formal dari
kampus, seperti mentoring keagamaan.17
Bagaimana halnya dengan kelompok radikal politik? Dalam
pandangan aktivis Cipayung, radikal politik dalam dunia kemahasiswan
banyak diperankan oleh kelompok kiri, seperti Liga Mahasiswa
Nasional Demokrasi (LMND), ataupun kelompok Sekolah Bersama
(SEKBER), serta Sopink (Solidaritas Orang Pinggiran). Bagi kelompok
Cipayung, diskursus radikalisasi politik yang dijalankan oleh kelompok
kiri sangat menarik perhatian, di samping karena pemikiran politik yang
sering kali sangat mengandalkan nalar filsafat yang permissive, dalam
pemikiran dan mobilisasi aksi. Namun dalam perjalanan politik di
Kampus, kelompok kiri tidak banyak mendapatkan posisi politik dalam
lembaga mahasiswa, dan banyak mendapatkan panggung dalam politik
di luar kampus, terutama dalam mendiskursuskan issue penentangan
pada liberalisasi ekonomi, dan pendidikan yang dianggap semakin
kapitalistik.
Terkait dengan maraknya aksi radikal keagamaan yang
dilekatkan pada aktivitas terorisme yang terjadi di masyarakat, para
aktivis organisasi Cipayung memandang bahwa proliferasi (penyebaran)
radikalisme-terorisme tidak banyak menggunakan saluran organisasi
kemahasiswaan, baik dalam organisasi formal seperti Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM), Senat Mahasiswa (SM), Korp Mahasiswa Jurusan
(KMJ), dan organisasi peminatan khusus yang bergerak di bidang
penelitian, seni, pecinta alam,

17
Sejumlah pengalaman di UGM, UMY, UAD menunjukan gejala tersebut.
Lihat dalam Surwandono, Fiqh Perbedaan Dalam Dunia Kemahasiswaan,
Yogyakarta, NF Publishing, 2013.

11
kepramukaan dan lain-lain. Sehingga eksistensi kelompok radikalist-
terorist, cenderung melakukan perekrutan secara privat dan sembunyi-
sembunyi, terhadap kalangan mahasiswa.
Sejumlah temuan mahasiswa yang tergabung dalam jaringan
NII, yang marak terjadi di tahun 2010, menunjukkan bahwa
rekrutmen mahasiswa dipergunakan untuk mensuplai kebutuhan
ekonomi dari organisasi radikal melalui pembayaran iuran rutin dan
infaq pada organisasi. Mahasiswa diasumsikan sebagai keluarga dari
kelompok menengah ke atas yang memiliki capital ekonomi yang
memadai. Sebagaimana halnya dengan kelompok radikal politik-
keagamaan, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang marak tahun
2015-2016, yang juga menjadikan kalangan kampus sebagai target
mobilisasi ekonomi organisasi.18 Kelompok Cipayung memiliki
tanggung jawab moral sebagai agen deradikalisasi keagamaan dan
politik, yang melakukan strategi penghalalan secagala cara
untuk mendapatkan kekuasaan politik dan keagamaan. Melalui
aktivitas akademik kritis, seperti training, diskusi perdebatan
pemikiran, outbound, yang pada prinsip tidak melawan hadirnya
kelompok radikalisme-kekerasan-terorisme dengan tindakan
kekerasan serupa. Bagi sejumlah aktivis PMII di Jogjakarta,
sudah saat aktivis ekstra kampus untuk melakukan diskursus secara
serius dalam menghadapi hadirnya kelompok radikal
poltiik dan
keagamaan.19
Sedangkan bagi aktivis KAMMI, yang juga terstigma sebagai
kelompok radikal di Kampus, memandang bahwa hadirnya gerakan
radikal politik dan keagamaan harus disyukuri karena menurut mereka
hadirnya kelompok tersebut merupakan keniscayaan dalam kehidupan
social yang memiliki pluralitas,

18
Lihat dalam “Membaca Aliran Salah Kaprah,” dalam Surwandono,
Separatisme dan Politik Kekerasan, Yogyakarta, Jurusan HI UMY dan CV
Komojoyo, 2015.
19
Wawancaraengan aktivis PMMI Cabang Yogyakarta.

11
diciptakan berbeda-beda, asalkan mereka tidak sampai menganggu
gerakan yang lain.20
Namun yang harus difahami bersama, sebagaimana teori
strukturasi dari Giddens, kompetitifnya organisasi ekstra kampus dalam
kompetisi dengan gerakan radikal politik dan keagamaan yang relative
masih bergerak secara sporadic, dan terbatas. Andaikan saja organiasi
radikal keagamaan tersebut, bergerak dengan supra-struktur yang
memadai, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan maupun Negara
Timur Tengah lainnya, akan sangat mungkin justru organisasi ekstra
kampuslah yang akan jadi sub-ordinat.
Sebagian besar organisasi ekstra kampus juga menyadari
mengalami persoalan yang serius dengan supra-struktur berupa ide, tata
nilai, pemikiran alternative yang mampu menarik banyak kalangan baik
mahasiswa, maupun stakeholders untuk tumbuh dan berkembang
bersama sebagaimana era kejayaan kelompok Cipayung di periode 1980
sebelum NKK-BKK, maupun menjelang era reformasi. Mahasiswa
tidak bergairah untuk terlibat dalam aktivitas organisasi ekstra kampus,
demikian pula masyarakat di luar kampus juga tidak antusias dalam
memberikan dukungan moril, dan material untuk eksistensi social dan
politik organisasi ekstra kampus. Kurangnya supra-struktur yang kuat,
juga diperlemah dengan kekuatan infra-struktur dan jaringan yang tidak
kohesif membuat kapasitas organisasi ekstra kampus untuk menetralisir
dalam mendiskursuskan pemikiran kelompok radikal menjadi sangat
terbatas dan diragukan.
Dalam konteks ini, sesungguhnya menjadi tanggung jawab dari
perguruan tinggi bersama pemerintah untuk memberikan ruang yang
luas kepada organisasi ekstra kampus untuk tumbuh menjadi organisasi
yang otonom, matang, mandiri. Sejumlah regulasi kependidikan,
selayaknya memberikan affirmative action kepada tumbuhnya
pemikiran kritis, dan alternative, yang mampu menjadi penyangga
peradaban bangsa.

20
Wawancara dengan aktivis KAMMI di Cabang Yogyakarta

11
KESIMPULAN
Organisasi ekstra kampus, dalam konteks dimensi kesejarahan
Indonesia, memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun
diskursus deradikalisasi politik keagamaan dan politik, secara
intelektual dan humanis. Posisi ini akan memungkinkan diskursus
deradikalisasi pemikiran politik dan keagamaan akan
mengarusutamakan pada issue keamanan manusia (human security)
daripada keamanan Negara (state security).
Dalam konteks situasi non krisis, posisi organisasi ekstra
kampus relatif masih leading dibandingkan dengan organisasi radikal
politik dan keagamaan yang mulai masuk ke kampus. Namun,
organisasi ekstra kampus juga mengalami kapasitas supra-struktur dan
infra-struktur, sehingga berpengaruh kepada kinerja organisasi ekstra
kampus sebagai penyangga peradaban bangsa. Diperlukan sinergi dari
berbagai fihak untuk meningkatkan kapasitas organisasi ekstra kampus
menjadi organisasi kemahasiswaan yang mandiri, otonom, dan kuat.

11
DINAMIKA KONFLIK ORGANISASI KEAGAMAAN ISLAM
DALAM ERA DEMOKRATISASI DI YOGYAKARTA

Surwandono
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Magister Ilmu Hubungan Internasional,
Pasca Sarjana Yogyakarta, Indonesia
wsurwandono@yahoo.com

Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang interaksi antar organisasi
keagamaan berbasis Islam dalam era demokratisasi, yang
memungkinkan terjadinya kontestasi dalam bentuk perdebatan
pemikiran keagamaan secara terbuka, maupun kontestasi dalam
memperebutkan akses ekonomi, social, politik dan budaya dalam
masyarakat. Studi penelitian dari artikel ini dilakukan di Yogyakarta,
yang selama ini telah terkonstruksi sebagai kota pendidikan, budaya dan
kota toleransi. Untuk mendapatkan obyektifikasi dalam melihat relasi
demokratisasi dengan timbulnya konflik di antara organisasi keagamaan
berbasis Islam, dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap 23
tokoh kunci organisasi keagamaan berbasis islam, dan survey di 27
kecamatan di Yogyakarta. Artikel ini mempergunakan analisis SAT
(structural, akselerator dan trigger), untuk membaca peta konflik antar
organisasi keagamaan berbasis Islam. Konflik antara organisasi
keagamaan berbasis Islam di daerah agraris cenderung disebabkan oleh
khilafiah dalam mempraktikan ajaran Islam dalam lapangan
peribadahan, sedangkan konflik di daerah urban lebih disebabkan oleh
perebuatan akses politik, social dan ekonomi.
Kata Kunci: Organisasi Keagamaan Islam, Konflik, Demokratisasi

11
PENDAHULUAN
Konflik horizontal berbasikan issue keagamaan telah menjadi
fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Fenomena kekerasan atas
nama agama sedemikian rupa telah mengejala di banyak daerah, bahkan
secara eksplosif muncul di beberapa Negara Timur Tengah akhir-akhir
ini. Dalam pembahasan majalah Suara Muhammadiyah Edisi
September 2013, konflik horiosntal terkait dengan issue agama difahami
sebagai salah satu ancaman paling serius dalam konteks harmoni sosial,
dibandingkan dengan konflik horizontal lainnya. Hal ini terkait dengan
pandangan bahwa agama sejatinya mengajarkan tata harmoni
masyarakat, perdamaian, cinta kasih namun dalam manifestasinya
konflik sosial berbasis agama lebih sering hadir dalam wajah kekerasan.
Bahkan lebih dari itu, konflik horizontal berbasis agama seringkali
melibatkan pilar-pilar penjaga moral masyarakat, seperti tokoh agama
dan institusi peribadatan, yang seharusnya para pemuka agama dan
institusi keagamaan menjadi pilar dari harmoni sosial itu sendiri.
Issue konflik horizontal berbasis agama di Indonesia,
mengalami dinamika yang sangat berarti, dari konflik horizontal lintas
kelompok agama, seperti kasus di Poso, Ambon, sampai dengan issue
konflik horizontal dalam satu kelompok agama, semisal dalam
masyarakat Islam seperti kasus Ahmadiyah, Syiah, Wahabi, kelompok
Islam tradisional, kelompok Islam modernis. Konflik horizontal tersebut
sampai dalam titik yang cukup mengkhawatirkan, di mana klaim-klaim
kebenaran sefihak sampai menempatkan fihak lain sebagai kafir, halal
darahnya.
Konflik horizontal dalam kelompok keagamaan Islam, juga
mulai berkembang dan menunjukkan kutub ketegangan yang mulai
menguat. Terdapat kecenderungan terjadinya pengkategorisasian
gerakan keagamaan Islam di Indonesia, yakni indigenous Islam
Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, dan Islam Transasional seperti
Salafi, Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin,
atau mengutanya gerakan baru Islam di Indonesia yang juga unik
seperti Majelis Mujahidin Indonesia,

11
Ahmadiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majlis Tafsir Al- Quran.
Pengakategorisasian ini dalam konteks tertentu menimbulkan berbagai
masalah, seperti menibulkan stigma bahwa Islam indegeneous Islam
Indonesia sebagai islam yang cair, moderat, sedangkan Islam
transnasional sebagai fenomena Islam yang militant, kaku, dan
konservatif, atau gerakan baru Islam yang juga memunculkan issue
konflik keagamaan yang baru.
Dua organisasi besar Islam indigenous Indonesia, seperti
Muhammadiyah dan NU, mengalami iritasi hubungan dengan Islam
transasional, terkait dengan adanya dugaan infiltrasi pemikiran Islam
Transnasional ke dalam struktur organisasi dan amal usaha
Muhammadiyah maupun NU. Iritasi hubungan ini melahirkan pilihan
kebijakan organisasional dari Muhammadiyah dan NU untuk menjaga
jarak hubungan untuk mengurangi benturan-benturan lebih jauh melalui
pembuatan Surat Keputusan Organisasi untuk memproteksi dari
kemungkinan infiltrasi pemikiran baru.
Iritasi hubungan di tingkat organisasi, dalam batas tertentu
dapat dikelola dengan mengeluarkan kebijakan legal formal untuk
saling menghormati dan tidak saling menginfiltrasi pemikiran. Namun
di tingkat akar rumput, benturan-benturan seringkali muncul dan ada
kecenderungan frekuensi benturan semakin tinggi. Misal dengan
pelarangan aktivitas kelompok organisasi tertentu untuk menggunakan
sarana ibadah (masjid) yang diklaim sebagai wilayah binaan organisasi
Islam tertentu. Kondisi ini kemudian menyebabkan reaksi negative dari
kelompok organisasi keagaamaan yang dilarang.
Bahkan dalam batas tertentu, mulai ada kecenderungan bahwa
dua organisasi besar Islam di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU
mulai ada sedikit ketegangan terkait dengan issue de-radikalisasi, yang
juga sering dimaknai dengan De-Wahabisasi. NU sangat aktif terlibat
dalam program de- radikalisasi faham keagaamaan Islam, untuk
mengembalikan Islam sebagai agama yang moderat. Namun seringkali
terdapat stigma yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab, bahwa

11
Muhammadiyah sering ditempatkan secara sefihak sebagai organisasi
yang memiliki keterdekatan dengan aliran Wahabi. Sehingga de-
radikalisasi faham keagamaan dinilai sebagai upaya de-
Muhammadiyahisasi. Kondisi inilah yang kemudian berupaya
diproporsionalkan oleh Muhammadiyah, agar program de- radikalisasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak menyudutkan faham
keberagamaan Muhammadiyah dan tidak menghadap-hadapkan antara
Muhammadiyah dan NU secara diametral.

Studi Pustaka
Studi tentang konflik antar kelompok dalam Islam
sesungguhnya merupakan studi yang sangat tua. Muhammad Abu
Zahrah telah menulis sebuah buku Aliran Potik dan Aqidah Dalam
Islam, memaparkan secara jelas tentang fenomena konflik antara Sunni,
Syiah dan Khawarij yang menahun, bahkan sampai saat ini masih
terasakan. Dalam studi tersebut, Muhammad Abu Zahrah mengajukan
tesis bahwa konflik yang terjadi pasca Rasulullah Muhammad SAW
wafat, berakar dari persoalan Muamallah yakni terkait dengan siapa
yang seharusnya menjadi pemimpin pasca Rasul Muhammad SAW.
Namun karena penyelesaian politik tidak terlembagakan dengan baik,
maka terjadilah akumulasi kekecewaan di masing-masing kelompok
yang kemudian mengkristal menjadi idiologi baru. Inilah yang
kemudian difahami sebagai perubahan konflik dari konflik muamallah
(hubungan antar manusia) yang seringkali sifatnya relative dan terbuka
menjadi konflik aqidah (hubungan dengan Tuhan) yang bersifat
absolut, eksklusif dan prinisipal.21
Sampai saat ini, konflik Sunni Syiah lebih menunjukan sebagai
konflik idiologis, yang seringkali menihilkan satu sama lain. Bagi
kalangan kelompok Syiah yang ekstrim, siapapun yang tidak mengakui
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam

21
Lihat dalam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam,
Jakarta, LOGOS, 2006

11
atau pemimpin, maka kelompok tersebut difahami sebagai kelompok
jahiliyyah dan sesat. Demikian pula bagi kalangan Sunni, juga
menempatkan Syiah sebagai kelompok yang sesat karena telah
menempatkan posisi Ali bin Abi Thalib dan perkataan-perkataan dalam
tempat yang sangat mulia. Representasi konflik Sunni dan Syiah secara
ketat, dan saling menihilkan satu sama lain terepresentasikan dalam
hubungan yang kaku antara Arab Saudi, yang mengklaim sebagai
pewaris utama Sunni, dan Iran sebagai pewaris utama Syiah.22
Studi tentang penyebab konflik antar organisasi keagamaan
sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti Indonesia. Tesis Abdul
Munir Mulkhan lebih bertutur bagaiamana konflik yang terjadi antar
masyarakat yang berafiliasi kepada organisasi keagamaan tertentu
kemudian memilih afiliasi kultural bersama dalam bentuk
kompromistik. 23 Studi M Nur Hasan memberikan catatan penting
tentang kompetisi aliran keagamaan tradisional, yang seringkali
terlembagakan dalam struktur organisasi NU24, dan aliran keagamaan
modernis, yang terlembagakan dalam struktur organisasi
Muhammadiyah. Dua organisasi Islam yang menjadi mainstream aliran
keagamaan di Indonesia menunjukan dinamika hubungan yang sangat
intensif, dari fase yang saling kompetisi ide, saling melakukan
pendekatan satu sama lain, sampai dengan pilihan untuk menghargai
satu sama lain. Pada tingkat hubungan yang diametral, hubungan NU
dan Muhammadiyah tidak harmonis terkait dengan interprestasi issue
pokok Islam dalam hal peribadahan. Pada tingkat hubungan yang
harmonis, terkait dengan posisi NU dan Muhammadiyah

22
Lihat dalam Surwandono, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta, LPPI UMY,
2006
23
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta, Bina Aksara, 2000
24
M. Nur Hasan, Ijtihad Politik NU: Kajian Filosofis Visi Sosial dan Moral
Politik NU Dalam Upaya Pemberdayaan “Civil Society”, Yogyakarta,
Manhaj, 2009

11
sebagai organisasi sipil yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga
moral dan harmoni masyarakat Indonesia.
Studi tentang penyebab konflik konflik organisasi Islam yang
berbasis transnasional dilakukan oleh Ali Jabir. Dalam studi masternya,
Ali Jabir melakukan studi secara mendalam tentang basis teologi dan
dakwah dari organisasi Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, Salafi,
maupun Ikhwanul Muslimin, dan Ashar Muhammadiyyah. Konflik
antar organisasi ini sedemikian rupa sangat kuat, bukannya hanya dalam
dataran metode dakwah namun juga dalam basis pemaknaan terhadap
beberapa asas Islam.25
Interaksi antar harakah (gerakan) Islam di banyak negara di
Timur Tengah dalam mendiskursuskan konsepsi dan praktikal Islam
menghadirkan konflik yang tidak elok, di mana terdapat kecenderungan
besar timbulnya tradisi saling mengkafirkan (tafkiriyyah), bahkan
kemudian saling menghalalkan darahnya sudah menjadi fenomena yang
sangat mengerikan. Kondisi ini telah menarik perhatian Yusuf
Qardhawi, untuk menyusun sebuah pemaknaan baru dalam memaknai
perbedaan. Pemaknaan yang benar dan shahih terhadap perbedaan akan
semakin mencerdaskan umat Islam dan terhindar dari politik pecah
belah yang justru merugikan Islam serta bertentangan dengan nalar
Islam itu sendiri. Yusuf Qardhawy yang memperkenalkan konsepsi
memaknai perbedaan dalam dinamika masyarakat dengan istilah fiqh
ikhtilaf.
Qardhawy membuat klasifikasi perbedaan pemikiran
keagamaan Islam dalam dua kategori besar; Pertama, perbedaan yang
disebabkan karena akhlaq.
Perbedaan karena faktor akhlaq, diposisikan sebagai bentuk perbedaan
yang merusak dimana seringkali dilandasi oleh sifat membangga-
kan diri, buruk sangka pada fihak lain, egoisme dan menuruti hawa
nafsu, fanatik kepada golongan

25
Hussein bin Muhsin bin Ali Jabir, Membentuk Jama’atul Muslimin,
Jakarta, Gema Insani Press, 2003

11
atau mazhab, fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama'ah atau
pemimpin.26 Perbedaan seperti ini hendaknya yang harus dijauhi oleh
organisasi keagamaan berbasis Islam, karena karakter konfliknya
menjadi hitam putih, saling mengkafirkan, bahkan saling menghalalkan
darah.
Kedua, perbedaan yang disebabkan karena faktor pemikiran.
Sedangkan perbedaan disebab-kan faktor pemikiran merupakan sebuah
kemestian di dalam Islam. Dalam pandangan Qardhawy, perbedaan
karena masalah pemikiran bisa dimengerti dan bisa diterima karena
sebab-sebab berikut: Pertama, Tabiat Agama Islam, hal ini disebabkan
oleh karakter hukum Islam yang mempunyai sifat manshuh 'alaih
(ditegaskan dengan eksplisit) dan ada pula yang maskut'anhu
(ditegaskan dengan implisit). Juga diketemukan hukum atau ayat yang
muhkamat (jelas, terperinci) ataupun yang mutasyabihat
(tersembunyi, dan perlu ta'wil lebih jauh). Ada juga yang mempunyai
sifat qath'iyyah (pasti) atau dhanniyat (belum pasti), ada yang
sharih (jelas) ada juga yang mu'awwal (memungkinkan penafsiran).
Misal dalam konteks pemikiran politik tentang posisi shariah dalam
negara, terdapat kelompok yang menyatakan wajib penerapan shariah
secara formal, sedangkan kelompok yang lain menempatkan posisi
shariah hanya sebatas optional.27
Kedua, Tabiat Bahasa (Arab), bahasa utama yang digunakan
dalam sumber kebenaran Islam adalah bahasa Arab. Dalam studi bahasa
Arab, terutama dalam perbincangan dalam lafazh, ada kecenderungan
lafazh yang mempunyai banyak arti (musytarak) dan ada yang
memiliki makna majas (kiasan). Ada juga lafazh yang mempunyai sifat
khash (khusus) adapula yang mempunyai sifat 'aam. Ada lafazh yang
mempunyai sifat rajih (kuat) ada yang kurang kuat (marjuhah).

26
Lihat dalam Yusuf Qardhawy, Fiqhul Ikhtilaf (Terjemahan),
Jakarta, Gema Insani Press, 2005
27
Lihat lebih jauh dalam Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Politik Islam di
Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1997

12
Sangat bervariasinya makna sebuah lafazh dalam bahasa Arab,
menyebabkan seseorang dalam memahami sebuah ayat ataupun hadits
seringkali berbeda, karena yang satu menggunakan makna dasar
sedangkan yang lainnya menggunakan makna kias. Semisal dalam
konteks sejarah Islam, terdapat perbedaan yang signifikan dalam
perkara kedudukan perempuan sebagai pemimpin politik, sebagian
besar Imam memahami hadits tentang kepemimpinan dalam politik
dalam konteks keumuman lafadz, sehingga fatwa tentang
kepemimpinan perempuan dalam politik menjadi lebih konservatif.
Sedangkan dalam pandangan Imam Abbas, memberikan ruang terbuka
untuk memahami hadits dengan menggunakan kekhususan sebab,
sehingga fatwa tentang kepemimpinan perempuan dalam politik
menjadi lebih terbuka.28
Ketiga, Tabiat Manusia, dalam men-sikapi hukum Islam yang
plural, kebanyakan manusia menuruti kecenderungan yang selaras
dengan kondisi yang melekat dengan dirinya, maupun pengalaman
terstruktur yang selama ini membentuk pola fikir seseorang. Perbedaan
sifat-sifat manusia dan kecenderungan psikologisnya ini akan
mengakibatkan perbedaan mereka dalam menilai sesuatu, baik dalam
sikap dan perbuatan. Perbedaan karena masalah tabiat manusia adalah
sesuatu yang niscaya, sehingga dalam contoh sejarah Islam, ada
kecenderungan terdapat perbedaan artikulasi Islam dalam 4 sahabat
Khulafaur Rasyidin, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin
Affan maupun Ali bin Abi Thalib. Rasulullah membiarkan perbedaan
artikulasi Islam, dan difahami sebagai sesuatu yang alamiah, sepanjang
tidak keluar dari nilai dasar Islam.29

28
Lihat dalam Yusuf Qardhawy, Berpolitik Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah, Jakarta, Gema Insani Press, 2003
29
Lihat dalam Muhammad Ramadhan al Buty, Sirah Nabawiyyah Jilid I, Jakarta,
Gema Insani Press, 2001

12
Keempat, Tabiat Alam dan kehidupan, tabiat alam yang
ditempati manusia mempunyai corak topografi, geografi, iklim dan
cuaca yang berbeda. Perbedaan lingkungan memberikan pengaruh yang
cukup besar dalam pemikiran seseorang, semisal orang yang tinggal di
gurun pasir mungkin akan berbeda dengan orang yang tinggal di desa
yang subur. Mazhab fiqh seringkali berbeda tidak bisa dilepaskan dari
kondisi alam sekitar yang memang menghendaki pemikiran lebih lanjut
(kontekstual). Semisal, Imam Syafi’I membuat fatwa yang berbeda
karena perbedaan wilayah atau geografis, dalam kitab qaul qadim wa
qaul jaddid.

METODE PENELITIAN
Penelitian tentang penyusunan indeks dan peta konflik di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan pendekatan
kuantitatif untuk mendapatkan data riil dari dinamika konflik yang
berkembang dalam masyarakat. Dengan pendekatan kuantitatif, akan
melakukan pengukuran fenomena konflik dengan didasarkan oleh
beberapa indicator penting yang meliputi: Pertama, Intensitas konflik,
yakni berapa kali kejadian konflik timbul dalam kurun waktu satu
tahun. Kedua, Jumlah orang atau fihak (parties), yakni berapa banyak
orang yang terlibat dalam konflik . Ketiga, Penggunaan intrumen
kekerasan dalam konflik, yakni intrumen kekerasan apa saja yang
dipergunakan, dari kekerasan psikis/verbal sampai kekerasan fisik.
Keempat, Jumlah korban, yakni berapa banyak yang menjadi korban,
baik dari korban luka sampai meninggal dunia. Kelima, Dampak
konflik, yakni dampak apa saja yang ditimbulkan dari konflik tersebut,
seperti dampak social, ekonomi, politik, budaya.
Data penelitian penyusunan indeks dan peta konflik diperoleh
melalui survai terhadap stakeholder konflik di Propinsi Daerah
Istimewa. Survai akan dilakukan terhadap seluruh kecamatan yang
berada di DIY yang berjumlah 78 kecamatan, yang meliputi 17
kecamatan di Kabupaten Bantul, 18 kecamatan di kabupaten Gunung
Kidul, 17 Kecamatan di Kabupaten Sleman,

12
12 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo, dan 14 kecamatan di kota
Yogyakarta. Survai akan dilakukan melalui penyebaran quisoner secara
fisik, dengan langsung melakukan wawancara dengan 78 birokrasi di
lingkungan Kantos Urusan Agama (KUA) di 78 kecamatan di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk mendapatkan kedalaman makna dari peta konflik
tersebut, dilakukan wawancara dengan tokoh organisasi keagamaan
yang berjumlah 23 orang yang berasal dari Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, Hizbut Tahrir, Salafi, Jamaah Tabligh, Ahmadiyah, LDII,
Tarbiyah, Majlis Mujahidin Indonesia, Majlis Tafsir Al Quran dan MUI.

PEMBAHASAN
Survai yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana UMY
bersama dengan LPDP menghasilkan sejumlah temuan yang menarik
terkait dengan dinamika konflik organisasi keagamaan berbasis Islam di
propinsi DIY. Secara rata-rata, indeks konflik di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta menempati posisi angka sebesar 1.28, yang
bermakna konflik sudah muncul/manifest dalam masyarakat namun
masih dalam skala terbatas dan kurang intensif, yang kemudian disebut
dengan derajat konflik rendah. Yang kemudian tercermin dalam gambar
(Putih: Rendah, Hijau:Sedang, Kuning: Agak Tinggi, Merah: Tinggi)
dan tabel berikut;

12
Gambar 1
Peta Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam di
Kabupaten Gunung Kidul

Gambar 2
Peta Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam di
Kabupaten Bantul

Dari gambar ini tercermin ada sekitar 7 kecamatan di Gunung


Kidul yang memiliki indeks konflik 1, yang bermakna derajat konflik
sangat rendah atau tidak ada. Dan terdapat sekitar
11 kecamatan yang indeks konfliknya antara 1.1 sampai 2.0.

12
Sedangkan indeks konflk di kota Jogjakarta terdapat 5 kecamatan
dengan indeks konflik 1, yang bermakna derajat konflik rendah atau
tidak ada konflik, dan 7 kecamatan dengan indeks konflik antara 1.1
sampai 2, yang bermakna konflik sedang, dan ada satu kecamatan yakni
Ngampilan yang angka indeks konfliknya di atas 3, yang bermakna
konflik sudah cukup tinggi.

Gambar 3
Peta Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam di
Kota Jogjakarta

12
Gambar 4
Peta Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam di
Kabupaten Kulon Progo

Gambar 5
Peta Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam di
Kabupaten Sleman

12
Indeks konflik di kabupaten Kulon Progo terbagi ke dalam 2
kategori, yakni indeks konflik yang rendah yang terwakili oleh 6
kecamatan yang diwarnai denga warna biru muda, dan 6 kecamatan
yang diwarnai dengan biru tua yang bermakna indeks konflik sedang.
Sedangkan di Bantul, ada satu kecamatan dengan indeks konflik sedang
ke tinggi, dan lima dalam konteks sedang, dan 11 dalam indeks rendah.
Indeks konflik di kabupaten Sleman berimbang, ada sekitar 8 kecamatan
dengan indeks konflik 1, dan 11 kecamatan lainnya dengan indeks
konflik antara 1.1. sampai 2.

Tabel 2
Indeks Konflik Berbasis Kabupaten Di Propinsi DIY
No. Kabupaten/Kota Indeks Konflik
1 Kota Jogjakarta 1.4
2 Bantul 1.270
3 Kulon Progo 1.266
4 Gunung Kidul 1.261
5 Sleman 1.235
Sumber: Data Primer

Dari table tersebut tercermin bahwa Kota Jogjakarta menempati


skor indeks konflik tertinggi, yang kemudian diikuti Kabupaten Bantul,
Kulon Progo, Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman. Sedangkan dalam
level kecamatan, indeks konflik organisasi keagamaan berbasis Islam 5
besar tertinggi berada di kecamatan Ngampilan, (Yogyakarta),
kecamatan Kasihan (Bantul), kecamatan Paliyan (Gunung Kidul),
kecamatan Gondokusuman (Yogyakarta) dan Tepus (Gunung Kidul).
Temuan ini cukup menarik di mana konflik tertinggi justru berada di
kota Jogjakarta yang selama ini kuat dengan kredo sebagai kota budaya,
pendidikan dan toleransi.

12
Tabel 3
5 Besar Tertinggi
Indeks Konflik Organisasi Keagamaan Berbasis Islam
Pada Seluruh Kecamatan di DIY
No Kecamatan Kabupaten/Kota Indeks
1 Ngampilan Jogjakarta 2.5
2 Kasihan Bantul 2.1
3 Paliyan Gunung Kidul 2
4 Gondokusuman Jogjakarta 2
5 Tepus Gunung Kidul 1.9

Sumber: Data Primer


Dari hasil survai juga menemukan sejumlah factor structural,
akselerator dan pemicu konflik organisasi social keagamaan berbasis
Islam di propinsi DIY. Untuk penyebab structural, terdapat temuan
menarik bahwa konflik organisasi keagamaan berbasis Islam yang
berada di daerah urban cenderung lebih banyak disebabkan oleh
kompetisi dan dukung mendukung dalam urusan politik. Sangat berbeda
dengan konflik organisasi keagamaan di semua kabupaten di DIY, yang
lebih didominasi oleh problem tafsir, fiqhiyyah atau khilafiah dalam
mempraktikan peribadahan.

12
Tabel 4
Penyebab Struktural Konflik Organisasi Keagamaan Islam di DIY
Penyebab Persentase
Struktural
Konflik
Gunung Kulon
Organisasi Jogja Bantul Sleman
Kidul Progo
Keagamaan
Islam
Khilafiah
dalam 61 54 29 78 59
peribadahan
Akses
kepemilikan
asset tanah 6 0 0 0 12
atau
bangunan
Akses
Kecemburuan
terhadap akses
0 8 0 0 0
social,
ekonomi,
pendidikan
Kompetisi dan
dukung
mendukung 4 38 71 22 29
dalam urusan
politik
Sumber: Data Primer

Sedang dari sisi pemicu terjadinya konflik, terdapat


kecenderungan besar terjadi di level permasalahan individu, dan
kemudian bergerak ke arah kelompok, seperti yang terjadi di Gunung
Kidul, Jogjakarta, dan Kulon Progo. Artinya ada kecenderungan konflik
disebabkan oleh gesekan kepentingan yang bersifat bottom up. Bukan
disebabkan oleh mobilisasi dari tingkat organisasi. Namun berbeda
dengan di Bantul dan Sleman, di mana justru pemicu konflik terjadi di
level kelompok.

12
Tabel 5
Level Pemicu Konflik
Level Persentase
Pemicu Gunung Kulon
Jogja Bantul Sleman
Konflik Kidul Progo
Masalah di
level 5 0 14 0 0
organisasi
Masalah di
level
0 0 0 0 0
pemimpin
organisasi
Masalah di
level 39 8 36 67 59
kelompok
Masalah
di level 56 92 50 33 41
individual
Sumber: Data Primer

Sedangkan aktivitas yang pemicu terjadinya konflik antar


organisasi keagamaan berbasis Islam, sebagian besar karena alasan
mencari-cari kesalahan fihak lain, baik dalam aktivitas social
keagamaan, dan kecurigaan terhadap aktivitas organisasi lain di dalam
wilayah pengaruh suatu organisasi. Untuk kasus di Bantul, dan
Jogjakarta, factor yang cukup besar memberikan picu bagi timbulnya
konflik disebabkan oleh aktivitas ejek mengejek dalam aktivitas
keagamaan yang pada akhirnya menimbulkan ketersinggungan.

13
Tabel 6
Faktor Pemicu Konflik
Persentase
Faktor Pemicu Gunung Kulon
Jogja Bantul Sleman
Kidul Progo
Mengintimidasi
aktivitas
0 0 0 0 0
keagamaan
organisasi lain
Ejek mengejek
aktivitas
28 15 36 45 18
keagamaan
organisasi lain
Kecurigaan
terhadap
17 23 14 22 29
aktivitas
organisasi lain
Mencari-cari
kesalahan
terhadap
55 62 50 33 53
aktivitas
keagamaan
organisasi lain
Sumber: Data Primer

Terkait dengan ekskalasi konflik, survey menemukan sejumlah


factor yang menarik di mana di semua kabupaten dan kota di Propinsi
DIY menyatakan bahwa adanya provokasi menjadi factor yang paling
utama. Yang kemudian disusul oleh factor adanya kabar burung dari
mulut ke mulut, terutama di daerah non perkotaan, sedangkan di daerah
perkotaan seperti Jogjakarta, factor kabar burung melalui media social
berkontribusi cukup besar bagi terjadinya perluasan konflik.

13
Tabel 7
Faktor Yang Mengakselerator konflik
Faktor Yang Persentase
Mengakselerator Gunung Kulon
Jogja Bantul Sleman
konflik Kidul Progo
Adanya fasilitasi
dari fihak luar
organisasi untuk 11 0 7 11 12
menciptakan
konflik
Adanya
44 54 50 67 68
provokasi
Adanya kabar
burung atau
17 23 29 11 6
rumors melalui
media social
Adanya kabar
burung atau
rumors melalui 28 23 14 11 17
non media
social
Sumber: Data Primer

Bercermin dari peta indeks konflik di atas, proses pengelolaan


konflik social keagamaan perlu dikelola dengan sungguh-sungguh, agar
gejala konflik antar organisasi keagamaan Islam yang lahir dalam era
demokratisasi tidak bereskalasi menjadi konflik yang destruktif. Dari 78
kecamatan yang ada di DIY, terdapat 4 kecamatan yang sudah mencapai
derajat konflik yang agak tinggi, yang mencapai indeks 2 ke atas. Yang
lebih krusial lagi bahwa konflik keagamaan berada di wilayah yang
berbasis urban (kota Jogjakarta) sampai ke wilayah yang berbasis
pedesaan (rural) di Gunung Kidul.

13
Dalam wawancara dengan sejumlah tokoh keagamaan, yang
memiliki otoritas di tingkat pimpinan wilayah (propinsi), seperti
Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, Tarbiyah menunjukan kedewasaan
yang tinggi bahwa konflik dalam Islam memang sebagai keniscayaan
dalam memahami wahyu dan realitas social, namun tidak harus
berujung dengan pilihan untuk kafir- mengkafirkan satu sama lain.
Bahkan kelompok keagamaan seperti LDII, yang selama ini terstigma
sebagai kelompok yang mudah mengkafirkan kepada fihak lain
memberikan pembuktian bahwa kelompok di luar LDIIpun harus
dihormati, dan membantah opini public bahwa LDII melakukan
aktivitas takfiriyah. Demikian juga kelompok Ahmadiyyah, yang
selama ini juga terstigma sebagai kelompok yang sudah keluar dari
Islam terkait dengan keberadaan fugur Mirza Ghulam Ahmad dan kitab
Tadzkirah, dalam struktur keyakinan Ahmadiyah. Ahmadiyah
memandang bahwa kompetisi dengan fihak lain tidaklah harus dimaknai
sebagai kompetisi untuk saling kafir mengkafirkan.
Terdapat sebuah asumsi yang relatif sama dari kalangan
organisasi Islam yang relative minoritas seperti LDII, Ahmadiyah, dan
Salafi bahwa keterlibatan organisasi keagmaan Islam dalam politik
praktis, akan melahirkan sejumlah kemungkinan terjadinya friksi, baik
dalam dalam lapangan social, ekonomi dan budaya dengan kelompok
lain. Bahkan kelompok organisasi ini tidak bersedia memberikan
pengalaman berinteraksi dengan organisasi lain, terutama terkait dengan
issue konflik. Sangat berbeda dengan organisasi keagamaan Islam yang
memiliki basis massa yang relative besar, seperti Tarbiyah dan Hizbut
Tahrir, keterlibatan dalam aktivitas politik, bahkan menjadi partai
politik sebagai bagian dari upaya penyebaran Islam secara
komprehensif. Kalaupun terjadi konflik atas aktivitas tersebut, lebih
disebabkan oleh mis-komunikasi, dan problem individual bukan
problem organiasional. Namun sangat berbeda dengan organisasi Islam
dengan basis massa yang besar seperti Muhammadiyah dan NU, yang
secara terang-terangan menyatakan bahwa tidak bersedia terkait
langsung dengan aktivitas politik praktis

13
sebagaimana halnya partai politik, namun terlibat dalam perkara politik
untuk mendapatkan kemaslakahatan bersama.
Terkait dengan relasi social kawan dan lawan, hampir semua
organisasi tidak bersedia memberikan peta simulasi pengalaman
keorganisasian. Hanya satu informan dari kelompok Tarbiyah (PKS)
bersedia memberikan peta simulasi hubungan social antar organisasi.
Itupun dengan syarat untuk tidak dipublikasikan. Meskipun sudah
dikonfirmasi dengan adanya sejumlah fakta di lapangan dan forensic di
media internet, bahwa terjadinya sejumlah friksi antar organisasi, dari
demonstrasi, pendudukan terhadap aktivitas pengajian.
Terhadap ide pelembagaan pengelolaan konflik, para tokoh
organisasi keagamaan Islam memiliki pandangan yang sama akan arti
pentingnya prinsip ukhuwah Islamiyyah antar organsasi Islam, hormat
menghormati satu sama lain, tidak saling mencampuri. Sebagaimana
tesis yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam
membangun perdamaian di Madinah melalui pembentukan aturan main
bersama, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah.30
Studi yang cukup menarik dalam upaya membangun
perdamaian secara stabil adalah studi yang dilakukan oleh Charles A.
Kupchan. Kupchan membangun tesisnya dengan konsepsi bagaimana
mengubah musuh menjadi teman. Selama ini ada kecenderungan besar,
bahwa kompetisi dan kemakmuran akan tercapai jika actor politik dan
sosial mengkreasi musuh, bahkan jika tidak ada musuh maka musuh
tersebut harus diciptakan.31 Dalam pandangan Kupchan, tesis
mempertahankan diri dengan menciptakan musuh justru kontraroduktif
dalam struktur sosial sekarang ini. Energi anarkhisme dalam era
globalisasi semakin menguat dibandingkan dengan era

30
Surwandono, Sidiq Ahmadi, Resolusi Konflik Di Dunia Islam, Yogyakarta,
Ghalia Ilmu, 2011
31
Charles A. Kupchan, How Enemies Become Friends:The Sources Of
Stable Peace, Princenton And Oxford, Princeton University Press, 2010

13
sebelumnya, sehingga tesis yang produktif untuk membangun
kemakmuran dan kekompetitifan adalah dengan cara menciptakan
system sosial yang lebih adil, jujur, transparan dan bertanggung jawab
(social governance).
Konsepsi tentang social governance, dalam studi yang
dilakukan oleh Surwandono sesungguhnya telah dilakukan oleh
Muhammad SAW di era Makkah. Muhammad SAW memandang
bahwa konflik permanen antara Muslim, Yahudi, dan Nasrani harus
diselesaikan dengan baik. Jika tiga agama besar, Islam, Yahudi, dan
Nasrani sebagai representasi agama samawi saling melakukan konflik
secara konfrontatif, dan menihilkan satu sama, justru akan merusak
struktur kemanusian yang diperjuangkan oleh agama samawi itu sendiri.
Tehnologi yang diperkenalkan oleh Muhammad SAW dalam
membangun social governance adalah dengan membangun tertib
sosial masyarakat Madinah dalam konsepsi perdamaian abadi.
Pembuatan system sosial yang adil, transparan, jujur, bertanggung
jawab akan memungkinkan interaksi antar kelompok dalam masyarakat
justru didominasi oleh iklim kerjasama dibandingkan dengan
permusuhan satu sama lain.32 Terkait dengan ide pelembagaan konflik,
sebagian besar organisasi Islam menyatakan bahwa gagasan yang paling
penting adalah bagaimana membangun paradigm organisasi Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin.

KESIMPULAN
Pengelolaan konflik keagamaan Islam membutuhkan kombinasi
antara kekuatan supra-struktur dalam bentuk gagasan terbuka, yang
memungkinkan keberadaan fiqh keagamaan yang dipakai oleh
organisasi keagamaan, seperti Ba’tsul Masail di NU maupun Himpunan
Putusan Tarjih di Muhammadiyah bukan sebagai referensi tunggal dan
absolut untuk menilai eksistensi kelompok lain, baik dalam terminology
pandangan sebagai kawan ataupun sebagai competitor. Hal ini
penting, agar tidak terjadi

32
Op.cit

13
akselerasi perubahan makna dari competitor menjadi musuh, dan musuh
dipersepsi sebagai setan. Dan juga ketersediaan infra- struktur, seperti
system informasi konflik, diskusi lintas organisasi keagamaan secara
inklusif. Ketersediaan system informasi konflik akan memungkinkan
masing fihak akan memiliki kesadaran bersama, bahwa eskalasi konflik
yang terjadi dapat segera dikelola dengan baik sehingga konflik yang
terjadi dalam organisasi keagamaan berbasis Islam tidak menghasilkan
dampak buruk dan berkeagamaan dan berkebangsaan.

13
ANALISIS ISI TATA KELOLA PENCEGAHAN KONFLIK
SOSIAL DI INDONESIA
SURWANDONO
wsurwandono@yahoo.com Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRACT

The article will evaluate constructions of Law No. 7 Year 2012


on Social Conflict Management by content analysis. All of texts in Law
No. 7 Year 2012 represents policy of government to maintain social
harmony in Indonesia. Significancy of Law No. 7 of 2012 related with
emerging social conflict in transition democratic proocess. Construction
of the Act as a supra-structure give more influencing to
institutionalization in preventing social conflict. The collection of data
obtained from the book of Law No. 7 Year 2012. Data analysis was
performed with a content analysis that focused on speceific message
that represent in diction of Law No. 7 Year 20012. The article found
that the construction of the message in Law 7 of 2012 for preventing
social conflict in Indonesia was initial norms that it was characterized
by moderation management, budgets, actor in ad-hoc mode.
Key Words: Social Conflict, Conflict Prevention, Content
Analysis

13
LATAR BELAKANG
Konflik horizontal di Indonesia telah menjadi gejala yang
mengkhawatirkan masyarakat Indonesia. Hal ini diawali dengan
beberapa konflik horizontal yang kemudian berekskalasi secara massif
menjadi konflik etnis, seperti yang terjadi di Ambon, Palu, Sampit,
Aceh dan Papua, dan menggunakan instrument-intrumen kekerasan
terhadap kelompok etnis yang lain. Merujuk studi yang dilakukan
Lembaga Informasi Nasional, kekerasan dari konflik horizontal tersebut
telah mengakibatkan lebih dari 2000 jiwa meninggal dunia dan diiringi
dengan rusaknya harmoni social, politik dan ekonomi di daerah tersebut.
Bahkan sebagai akibat dari banyaknya konflik horizontal di Indonesia,
muncul istilah baru dalam diskursus ilmu social yakni “amoks”, untuk
menyebut fenomena kekerasa yang diambil dari kosa kata dari bahasa
Indonesia “amuk”.
Di samping konflik horizontal yang berbasis etnis yang terjadi
di luar pulau Jawa, konflik horizontal yang berbasis masyarakat
perkotaan juga muncul secara massif di pulau Jawa seperti fenomena
tawuran antar pelajar, mahasiswa, antara komunitas warga masyarakat,
antar profesi, bahkan konflik horizontal antar partai politik. Issue
konflik orizontal di Pulau Jawa sangatlah beragam dan tumpang tindih,
baik dari issue primordialis seperti konflik karena afiliasi
keberagamaan, etnis, issue instrumentalistik seperti sengketa perebutan
lahan, mobilisasi perebutan suara politik dalam pilkada, maupun issue
konstruktivistik seperti konflik tentang kebijakan yang diskriminatif.
Studi yang dilakukan oleh Setara Institute mengambarkan bahwa
konflik horizontal di perkotaan cenderung meningkat terkait dengan
semakin menurunnya budaya toleransi sebagai akibat dari semakin
menurunnya kualitas kesejahteraan ekonomi masyarakat perkotaan.
Untuk merespon perilaku konflik social maka pemerintah
mengusulkan RUU Penanganan Konflik Sosial yang kemudian disahkan
oleh DPR untuk menjadi UU No. 7 Tahun 2012. Dalam batas tertentu,
UU No.7 tahun 2012 cukup efektif dalam menata

13
perilaku konflik social, di mana dalam proses politik di tahun 2014
terdapat kontestasi politik yang kuat yakni pemilihan legislative dan
pemilihan presiden, yang tidak banyak menimbulkan konflik social
yang mengarah kepada destruksi social. Efektivitas UU No.
7 Tahun 2012 juga akan diuji kembali ketika pelaksanaan pemilihan
kepala daerah dilakukan secara serentak yang dijadualkan proses politik
mulai berlangsung Februari 2016. Dan juga akan diadakan kembali per
2017. Apakah UU No. 7 Tahun 2012 juga akan efektif mengelola
konflik dalam pelaksanaan Pilkada secara serentak, di sinilah yang perlu
dilakukan analisis isi terhadap konstruksi UU ini, dan infra-struktur apa
yang perlu dilembagakan untuk memperkuat UU No. 7 Tahun 2012
sebagai supra-struktur penanganan konflik yang efektif.
Penelitian untuk melakukan analisis isi terhadap UU No. 7
Tahun 20012 tentang Penanganan Konflik Sosial memiliki arti penting
sebagai berikut;
Pertama, meningkatnya frekuensi konflik social di sejumlah
daerah. Hal ini ditandai dengan intensifnya konflik horizontal di
masyarakat terpelajar seperti fenomena, tawuran, intensifnya konflik
horizontal yang berbasis primordialisme, intensifnya konflik horizontal
yang berbasis sengketa lahan dalam issue industry, bahkan konflik
horizontal yang terkait dengan issue politik dalam pelaksanaan pilkada.
Kedua, dinamika konflik horizontal yang sering terjadi tidak mampu
terespon dengan baik oleh lembaga yang memiliki tugas pokok dan
fungsi dalam penanganan konflik terkait dengan infra-struktur
imperative yang dipersyaratkan UU belum terdefinisikan secara baik.
Ketiga, belum tersedianya analisis isi terhadap UU no 7 Tahun 2012,
memungkinkan sejumlah kekurangan dan ketidakjelasan pesan
imperative dalam UU akan menimbulkan sejumlah problem substantive
ataupun artifisial dalam penanganan konflik social di Indonesia.
Manfaat penelitian tentang analisis isi terhadap UU No. 7
Tahun 2012 adalah sebagai berikut; Pertama, tersedianya parameter
yang objektif untuk melihat anatomi suprastruktur dalam UU No. 7
Tahun 2012 yang dapat dipergunakan sebagai

13
kerangka acuan untuk mengevaluasi ataupun merevisi produk UU.
Kedua, terdokumentasikannya pesan imperatif dari UU sehingga
implementasi, UU No. 7 Tahun 2012 akan lebih terukur dan sistematis.
Ketiga, tersedianya sejumlah opsi untuk memperkuat UU No. 7 Tahun
2012 melalui pembentukan infra-struktur UU. Ketersediaan opsi yang
spesifik untuk memperkuat UU akan berkontribusi terhadap lahirnya
kebijakan untuk pencegahan konflik sosial horizontal yang efektif dan
efisien.

STUDI PUSTAKA
Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antara
kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain. Issue
konflik yang seringkali dominan dalam konflik horizontal adalah issue
perebutan distribusi sumberdaya ekonomi, politik, social budaya,
keagamaan. Lembaga Informasi Nasional (LIN) selama 5 tahun (dari
2000-2005) melakukan penelitian terhadap konflik-konflik horizontal
etnis di Indonesia, baik di Papua, Poso, Ambon, Aceh, Sampit-Dayak,
maupun di Jawa Timur. Terdapat temuan yang menarik dari penelitian
yang dilakukan oleh LIN bahwa konflik horizontal yang berbasis di
daerah konflik sangat berhubungan erat dengan proses pemilihan kepala
daerah.33
Studi tentang ekskalasi konflik telah dilakukan secara sistematis
oleh Ted Guur. Tesis utama Ted Gurr adalah kekerasan sosial muncul
sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif, yakni terdapatnya
kesenjangan antara apa-apa yang diharapkan (expectation) dengan apa-
apa yang diperoleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan antara
ekspektasi dengan apa-apa yang diperoleh akan semakin besar pula
peluang terjadi konflik dan kekerasan.34

1Lihat lebih jauh dalam Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi:


Informasi Potensi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa (Nation and
Character Building), Jakarta, Deputi Bidang Pengkajian dan Pengembangan
Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional, 2004
34
Lihat tulisan Ted Robert Gurr, 1998, Minorities at risk. Washington, DC:
U.S. Institute for Peace

14
Penelitian yang dilakukan oleh J. Craig Jenkin dalam
membangun deteksi dini juga menggunakan data dari PANDA. Jenkins,
mengulas metode triple “C”, Conflict-Carrying Capacity, sebagai
metode yang bisa dipergunakan untuk membuat peta konflik, dan
meramalkan konflik yang akan terjadi selanjutnya. 35 Studi Jenkins ini
mengadopsi dari pola deteksi dini dalam studi kedokteran maupun
bencana alam, dengan menganalogkan konflik sosial sebagai sebuah
gejala patologis yang senantiasa bergerak seperti halnya penyakit dalam
tubuh manusia, ataupun pergerakan bencana alam.
Dalam studi Jenkins ditemukan bahwa konflik bisa dikelola
agar tidak berekskalasi secara vertikal dan horisontal melalui
peningkatan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, maupun lembaga-
lembaga penelitian untuk mendokumentasi pola-pola konflik di suatu
masyarakat, dengan mempelajari buku-buku sejarah konflik di suatu
masyarakat ataupun melakukan pengamatan konflik di suatu wilayah
yang kemudian bisa diperoleh lesson learned, yang kemudian
tersistematisasi dalam system informasi.
Sederhananya, konflik bisa diatasi manakala masyarakat dan
pemerintah memiliki kapasitas untuk membaca pergerakan
konflik.Dalam praktik pengelolaan eskalasi konflik para penstudi
konflik di Eropa dan Amerika Serikat berkecenderungan menggunakan
indeks konflik dan kekerasan yang disusun oleh the Kansas Events
Data System (KEDS)/Protocol for the Analysis of Nonviolent
Direct Action (PANDA) data set that is based on Reuters International
Wire Service, atau Reuters Europe-North America, yang
mengunakan Lexus-Nexus). KEDS dikembangkan oleh Schrodt
semenjak 1994 dengan menyusun rangkuman data- data tentang
kekerasan dan konflik di dunia.

35
J. Craig Jenkins, 2001, “Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis, and
Reconstruction: A Framework for the Early Warning of Political System
Vulnerability, Journal of Conflict Resolution Vol. 45 No. 1

14
Pada sisi yang lain, pengelolaan konflik cenderung
menggunakan security approach, mendefinisikan konflik setara
dengan “perang” (war). Hal ini berimplikasi kepada paradigm
membangun perdamain dengan konsepsi “the absence of war”
(ketidakberadaan perang). Pengelolaan konflik dengan model security
approach lebih mengedepankan penggunaan kekerasan dan paksaan
dalam mengelola konflik. Konflik senantiasa difahami sebagai gejala
patologis atau peanyakit, maka proses penyembuhannya dengan
mematikan sejumlah penyebab konflik, dengan cara menghukum,
menindak tegas, atau bahkan menghilangkannya. Sebagaimana halnya
dalam dunia medis, pendekatan security approach mengedepankan
pendekatan kuratif, dengan memberikan obat anti-biotik untuk
membunuh semua kuman, bakteri yang merusak.
Maraknya eskalasi konflik horizontal di masyarakat perkotaan
Indonesia akhir-akhir ini berupa bentrokan berdarah antar masyarakat
dalam memperjuangkan kepentingannya sebagai bukti bahwa
pemerintah gagal dalam membaca dan mengantisipasi pergerakan
kekerasan dalam konflik horizontal. Studi Surwandono menemukan 3
faktor utama penyebab konflik36. Pertama, konflik ditimbulkan karena
factor primordialitas seperti issue suku, agama, kelompok sosial, yang
marak pasca dirilisnya tesis besar Huntington tentang benturan
peradaban (clash of civilization). Dalam decade 1990 sampai 2000,
konflik dengan nuansa primordial marak di Timur Tengah, Asia Selatan,
Asia Tenggara, Asia Timur, dan Indonesia. Kedua, Konflik ditimbulkan
oleh pemaknaan konflik sebagai instrument penting bagi tokoh
masyarakat/elit untuk mendapatkan, mempertahankan, dan meluaskan
kekuasaan. Konflik justru sebagai medan investasi penting bagi tokoh
masyarakat untuk senantiasa menjadi tokoh dan elit dalam
masyarakat. Konflik disebabkan karena factor

36
Surwandono dan Sidiq Ahmadi, Resolusi Konflik di Dunia Islam,
Jakarta, Ghalia Ilmu, 2011

14
kontruksi social yang berkembang dalam masyarakat. Keberadaan
struktur social yang memiliki gap politik, ekonomi, social dan budaya
menjadi pendorong bagi lahirnya sejumlah konflik.

METODE PENELITIAN
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang konstruksi UU No.
7 Tahun 2012. Langkah untuk mengetahui arah pelembagaan
pengelolaan konflik social di Indonesia akan diukur dengan sejumlah
signs (pesan spesifik) dari penggunaan kata, frasa, atau kalimat, atau
symbol spesifik lainnya dalam dokumen. Tekhnik pengumpulan data
Untuk melakukan analisis isi, peneliti telah menyusun hipotesis
tentang pengelolaan pelembagan pencegahan konflik di Indonesia:
pertama, regulasi pengelolaan pencegahan konflik sosial di Indonesia
menggunakan pendekatan yang komperehensif, terukur, dan lugas.
Kedua, regulasi pengelolaan pencegahan konflik sosial di Indonesia
menggunakan transisional, terbuka dan dinamis.
Untuk itu disusun secara logis disusun sejumlah parameter
untuk mengukur tentang konsepsi pendekatan komprehensif, terukur,
lugas maupun pendekatan yang tramsisional, terbuka. Kata kunci yang
digunakan sebagai main specific message yakni konflik sosial, dan
kata yang sepadannnya, yang akan digunakan untuk mengukur seberapa
eksplisit regulasi penanganan konflik sosial dalam memperbincangkan
konflik social.
Untuk mengukur arah dan orientasi penanganan konflik akan
diukur melalui sejumlah frasa: Pertama, frasa pengelolaan konflik.
Kedua frasa tentang status konflik didefinsikan. Ketiga, frasa tentang
birokrasi ketertiban-kemananan yang dilibatkan. Keempat, frasa
instrument norma yang dipergunakan untuk pencegahan konflik.
Kelima, frasa cara-cara penyelesaian konflik.

14
Keenam, keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian konflik, dan
ketujuh tentang pendanaan untuk pencegahan konflik social.
Sejumlah sign yang ditentukan di atas kemudian diverifikasi
keberadaannya dalam dokumen UU No. 7 Tahun 2012, yang kemudian
diberikan tanda kode untuk kemudian dikalkulasi jumlahnya sesuai
dengan kode yang dibuat. Langkah berikutnya kemudian disusun
menjadi tabel distribusi frekuensi dengan menggunakan metode statistik
deskriptif, untuk diketahui seberapa sering atau artikulatif suatu pesan
pengelolaan konflik.

PEMBAHASAN
Analisis isi (content analysis) adalah tehnik riset untuk
membuat replica yang sahih untuk melakukan penarikan kesimpulan
dari text atau dokumen. 37 Terdapat sejumlah asumsi yang
dikembangkan oleh Klaus Krippendorff terkait text atau dokumen,
bahwa semua dokumen yang dibuat selalu dalam posisi dibaut secara
serius sebagai bagian dari pesan yang akan dikirimkan kepada fihak
lain. Artinya tidak ada dokumen yang dibuat tanpa sebuah pertimbangan
spesifik. Kedua, pilihan kata dalam dokumen mencerminkan situasi,
posisi, kepentingan dari fihak-fihak yang terlibat dalam pembuatan
suatu dokumen. Ketiga, obyektivitas dalam analisis isi dapat dicapai
dengan menggunakan kategori analisis yang diklasifikasi secara tepat
sehingga jika parameter yang digunakan sama dalam memahami suatu
dokumen maka hasilnyapun juga akan sama.

37
Klaus Krippendorff, Content Analysis An Introduction to Its Methodology,
London, Sage Publications, 2009

14
Diagram 1
Mekanise Analisis isi Dokumen
Menurut Klaus Krippendorff

Sementara itu menurut peneliti media lainnya disebutkan


bahwa, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat suatu
kategori yaitu : (1) Kategori-kategorinya harus relevan dengan tujuan-
tujuan studi; (2) Kategori-kategorinya hendaklah fungsional, dan (3)
Sistem kategorikategorinya harus dapat dikendalikan ( Stempel dalam
Flournoy, 1989).
Secara text, UU No. 7 Tahun 2012, terdiri dari 3 unsur, pertama
bagian Pendahuluan yang terdiri dari 3 unsur utama yakni Mengingat,
Menimbang dan Memutuskan. Kedua, Batang tubuh yang terdiri dari 10
bab dan 62 pasal. Dan bagian ketiga adalah penjelasan. Jumlah frasa
tentang konflik social muncul sebanyak
49 sekali, baik dalam Batang tubuh UU maupun dalam penjelasannya.
Konflik social didefinisikan sebagai “yang selanjutnya disebut Konflik,
adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara
dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu
tertentu dan berdampak luas

14
yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional.38 Dari definisi ini, ada upaya untuk
mempersamakan bahwa konflik memiliki kaitan erat dengan gejala
kekerasan dan konfrontasi, yang kemudian akan menimbulkan masalah
yang didefinisikan dengan sangat lugas dengan istilah ketidakamanan
dan dis-integrasi. Artinya konflik didefinisikan dengan nalar security
approach.
Terkait dengan orientasi dari UU No. 7 tahun 2012 terkait
dengan pengelolaan konflik, UU ini menggunakan istilah penanganan
konflik yang didefinisikan sebagai Penanganan Konflik adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana
dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah
terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian
konflik, dan pemulihan pascakonflik . 39
Tabel 8
Frasa Pengelolaan Konflik
Jumlah
Frasa Pengelolaan Konflik KODE %
kata
Pencegahan konflik PK 12 40%
Pengentian konflik KK 8 27%
Pemulihan pasca konflik RK 10 33%
Sumber: Olahan data
Dari table ini tercermin bahwa orientasi dasar dari UU No. 7
Tahun 2012, lebih mengedepankan cara berfikir pencegahan
dibandingkan dengan nalar penghentian maupun pemulihan konflik.
Untuk membuat pendefinisian menjadi lebih terukur, UU No. 7 tahun
2012 menggunakan istilah status keadaan konflik, yang dipergunakan
sebanyak 48 kali, hamper sama dengan jumlah frasa konflik social yang
berjumlah 49 x dan penanganan konflik social sebanyak 60x.

38
Pasal 1 ayat 1 UU No. 7 Tahun 2012
39
Pasal 1 ayat 2

14
Tabel 9 Frasa
Status Konflik
Frasa Jumlah Frasa %
Konflik Sosial 49 31%
Penanganan Konflik 60 38%
Status keadaan konflik 48 31%
Sumber: Olahan data

Dalam hal issue, dari mana sumber konflik itu berasal, secara
teoretik dapat dijelaskan dengan menggunakan istilah internal conflict,
di mana konflik lebih disebabkan oleh factor internal. Ataupun dengan
istilah eksternal conflict, di mana konflik lebih disebabkan oleh factor
eksternal, atau kombinasi di antara factor internal dan eksternal.
Sebagaimana studi yan telah dilakukan oleh Ted Gurr40. Lantas
bagaimana dengan konstruksi UU No. 7 Tahun 2012 terkait dengan asal
sumber konflik. Setelah dilacak sejumlah frasa yang terkait dengan
penyebab konflik, hanya ditemukan satu frasa penyebab konflik pada
pasal 44. Sedangkan ketika dilacak lagi dengan frasa yang lebih
mendetil, penyebab dari luar, atau penyebab dari dalam, dengan varian
frasa yang semata juga tidak ditemukan. Artinya UU ini tidak
memberikan pretensi (penilaian awal) untuk mendetek penyebab
terjadinya konflik, di mana kemudian diserahkan proses pencarian
penyebab konflik oleh Satuan Tugas Penyelesaian konflik Sosial.
(STPKS)
Terkait dengan pencegahan, UU ini mengasumsikan bahwa
otoritas pengelolaan konflik yang selama ini menjadi tupoksi dari aparat
keamanan dan penegak hukum, baik militer dan sipil, diasumsikan tidak
dapat berjalan dengan baik. Sehingga memunculkan sebuah konsep
baru yang menggunakan frasa

40
Lihat dalam Ted Robert Gurr, and Barbara Harff. 1996. Early warning of
communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations University Press

14
Satuan tugas penyelesaian konflik Sosial (STPKS). Yang didefinisikan
sebagai lembaga bersifat ad hoc yang dibentuk untuk menyelesaikan
Konflik di luar pengadilan melalui musyawarah untuk mufakat. Jika
dibandingkan antara penggunaan frasa pengelola issue keamanan secara
tradisional, yakni polisi, TNI dan STPKS tercermin dalam table berikut:

Tabel 10
Frasa Birokrasi Pengelola Issue Keamanan
Frasa Aktor Pengelola Issue
Kode Jumlah %
keamanan
Tentara Nasional Indonesia TNI 15 28%
Kepolisian Republic Indonesia POLRI 6 11%
Satuan tugas penyelesaian
32
konflik Sosial STPKS 61%
Sumber: data olahan
Dari table di atas tercermin bahwa STPKS sebagai lembaga
adhoc memiliki peran yang lebih besar dengan lembaga pencipta tertib
keamanan semisal TNI dan Polri. Artinya pencegahan konflik social
bukan menjadi domain utama dari TNI dan Polri, di mana keduanya
hanya sebagai unit yang memberikan dkungan tehnis dan bukan
straegis. Bahkan yang agak unik, justru prosentase frasa TNI jauh lebih
banyak dibandingkan dengan POLRI. Artinya dapat diasumsikan bahwa
peran TNI dalam konteks tertib sipil lebih banyak menjalankan peran
pencegahan, sedangkan peran POLRI lebih banyak peran penindakan.
Terkait dengan peranan masyarakat dalam penanganan konflik,
UU tidak memberikan penjelasan secara definitive, di mana dalam bab
ketentuam Umum, tidak memasukan dan mendefinsikan masyarakat.
Meskipun ditemukan penggunaan kata masyarakat sebanyak 66 x, yang
setara dengan penggunaan kata frasa penanganan konflik sebanyak 60x.
Buat analisis kritis.
Sedangkan intrumen norma yang dipergunakan untuk
pengelolaan konflik, UU No. 7 tahun 2012 memasukan 3 frasa penting
yakni, hokum, pranata adat dan pranata social. Frasa

14
hokum dalam makna hokum positif tidak diberikan penjelasan yang
detil dalam bab ketentuan umum, sedangkan pranata social
didefinisikan sebagai adalah lembaga yang lahir dari nilai adat, agama,
budaya, pendidikan, dan ekonomi yang dihormati, diakui, dan ditaati
oleh masyarakat. Sedangkan pranata adat didefinsikan adalah lembaga
yang lahir dari nilai adat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh
masyarakat

Table 11
Instumen Norma yang Dipergunakan Dalam pengelolaan Konflik
Frasa Norma Kode Jumlah Prosentase
Hukum HK 19 41%
Pranata Adat PA 13 28%
Pranata Sosial PS 14 31%
Sumber: data olahan

Dari table di atas, dapat dilacak sejumlah konstruksi makna


yang hendak dibuat. Intrumen untuk pencegahan konflik social lebih
banyak menggunakan tata kelola hokum positif dibandingkan dengan
tata kelola adat dan norma social. Meskipun jika dianalisis secara
diametric-diskrit, pranata hokum versus pranata social- adat,jumlah
frasa norma hokum hanya 40% sedangkan non hokum sebanyak 60%.
Makna lain yang juga dapat dilacak adalah, adanya ketidakefektifan
norma social dan adat dalam penyelesaian konflik, sehingga
memerlukan suatu nilai baru yakni pranata hokum untuk menciptakan
tertib sipil. Norma hokum yang lebih memberikan kepastian dan
keterukuran dalam pengelolaan konflik diasumsikan akan lebih efektif
sebagai norma utama.41
Terkait dengan upaya penyelesaian konflik, dipergunakan frasa
khusus yakni kata damai, yang berjumlah sebanyak 22 frasa,

41
Lihat penelitian dari Irwan Abdullah tentang ketidakproduktifan nilai local
sebagai nilai resolusi konflik dalam Abdullah, Irwan, “Penggunaan dan
Penyalahgunaan Budaya dalam resolusi konflik di Indonesia”, Antropologi
Indonesia Vol. 25 No. 66, 2002

14
atau sepertiga dari frasa penanganan konflik yang berjumlah 60. Istilah
yang kemudian dipakai untuk cara-cara penyelesaian konflik terdiri dari
4 frasa utama yakni rehabilitasi, perundingan, restitusi, rekonstruksi,
rekonsiliasi. 4 frasa tersebut tidak dijelaskan secara definitive dalam
ketentuan umum dalam UU. Ada pertanyaan penting tentang konstruksi
ini, kenapa elemen ini justru tidak dijelaskan, dan terkesan hanya
sebagai pelengkap. Asumsi yang pertama, lebih mengedepankan nalar
pencegahan di mana dalam table sebelumnya frasa nalar pencegahan
mencapai 40%, sedangkan pengehentian hanya mencapai 27%, dan
pemulihan sampai 33%. Kedua, UU ini lebih berorintasi kepada hasil,
dan kurang memberikan ruang interpretasi yang luas tentang proses,
yang secara sengaja dibuat terbuka dan tidak defiitif. Sehingga dapat
dimaknai bahwa UU No. 7 Tahun 2012 adalah sebuah UU yang masih
elementer dalam pengelolaan konflik.
Tabel 12
Cara-cara Penyelesaian Konflik
Frasa cara Kode Jumlah Persentase
Perundingan PR 1 3%
Rekonstruksi RK 9 29%
Rekonsiliasi RS 23%
Restitusi RT 3 10%
Rehabilitasi RH 11 35%
Sumber: data Olahan

Terkait dengan konteks partisipasi dan kontribusi dalam


penyelesaian konflik social, sesungguhnya mencerminkan konflik yang
bersifat horizontal, yakni konflik yang terjadi dalam masyarakat atau
antar masyarakat. Dan bukan sebagai konflik vertical, di mana actor
konflik adalah masyarakat dengan pemerintah. Setelah dilakukan
pelacakan terhadap frasa actor dalam penyelesaian konflik, yakni actor
masyarakat dan Negara ditemukan seperti dalam table berikut;

15
Table 13
Aktor dalam Penyelesaian Konflik Sosial
Frasa Kode Jumlah Presentase
Masyarakat MA 66 46%
Pemerintah PM 79 54%
Sumber: data olahan

Lantas bagaimana makna yang dapat ditarik? Ada


kecenderungan UU No. 7 tahun 2012 menunjukkan bahwa pemerintah
masih menjalankan peran korporatisme, di mana Negara memiliki
otoritas untuk terlibat dalam persoalan masyarakat bahkan privat,
meskipun Indonesia telah memasuki era demokratisasi. Hal ini sangat
dapat dimengerti bahwa dalam era demokratisasi pasca 1998 telah
terjadi sejumlah konflik social yang melahirkan sejumlah konfrontasi
berdarah, seperti di Maluku, Poso, Aceh, Nusa Tenggara, Papua, bahkan
di Jawa pada pelaksanaan pesta demokrasi. 42 Posisi frasa masyarakat
yang mencapai angka 46%, menunujukan bahwa UU No. 7 tahun 2012
menggunakan juga asas partisipatoris, di mana masyarakat
mendapatkan kesempatan yang luas untuk mengartikulasikan diri dalam
pencegahan konflik social.
Sedangkan jika dikaitkan dengan pembiayaan atau pendanaan
penanganan konflik, UU No. 7 tahun 2012 menggunakan kedua istilah
tersebut, dengan frekuensi pendanaan sebanyak 7 x dan pembiayaan
sebanyak 2 x. Lantas pos mana pembiayaan tersebut diambil, terdapat 2
sumber pendanaan yang tersurat dalam UU, yakni dari APBN dan
APBD.

42
Lihat dalam Surwandono, Tunjung Sulaksono, Penatalaksanaan Deteksi
dini Dalam Pencegahan Konflik Horisontal Pada Pelaksanaan Pilkada
Langsung di Jawa Timur, Jurnal Sosial dan Ilmu Politik UMY, 2010

15
Tabel 14
Pos Alokasi Anggaran Penanganan konflik Sosial
Pos Anggaran Kode Jumlah Persentase
Anggaran Pendapatan dan APBN 4 44%
Belanja Nasional
Anggaran Pendapatan dan APBD 5 56%
Belanja Daerah
Sumber: data olahan

Dari paparan di atas menunjukkan bahwa, alokasi anggaran


pencegahan konflik social dibebankan kepada anggaran Negara. Tidak
ada frasa pengalokasian anggaran pencegahan konflik yang dibebankan
oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Negara mengimplementasikan
nilai kepentingan nasional dalam pembukaan UUD 1945, yakni
melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Dalam konteks
prosentase, tanggung jawab pencegahan konflik social lebih banyak
dibebankan kepada daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Meskipun demikian desentralisasi peran pencegahan ini dalam kategori
tetap moderat karena peran pendanaan antara APBD dan APBN hanya
beda tipis sekali.

KESIMPULAN
Dari pembahasan terdapat sejumlah kesimpulan yang penting
untuk ditelusur lebih jauh dengan menggunakan pendekatan kualitatif
terhadap naskah ini, semisal dengan analisis wacana (discourse
analysis), atapun dengan framing analisis. Merujuk dengan analisis isi,
terdapat sejumlah kesimpulan penting yang perlu dicermati. Pertama,
UU No. 7 tahun 2012 sebagai UU pencegahan konflik social justru tidak
banyak mengekplore penyebab problem konflik social. UU ini lebih
banyak bernarasi tentang tata laksana pengelolaan ketika sudah terjadi
konflik social. Kedua, UU No. 7 tahun 2012, lebih mencerminkan UU
yang berwatak transisional, di mana ditemukan konstruksi pilihan
mencerminkan pilihan kombinatif, bukan pilihan diskrit yang

15
terpisah. Artinya, tata kelola pencegahan konflik social di Indonesia,
merupakan kombinasi tata kelola pendekatan militer, dan tata kelola
pendekatan sipil.

15
PELEMBAGAAN STRATEGI DIPLOMASI INDONESIA DALAM
MENGARTIKULASIKAN PERLINDUNGAN
TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

Surwandono dan Nur Azizah


Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiyah Yogykarta wsurwandono@yahoo.com
dan nurazizah@kpu.co.id

ABSTRAK
Tujuan akhir artikel ini adalah melacak pilihan strategi advokasi
untuk memberikan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) melalui
praktik diplomasi yang efektif.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka
terhadap sejumlah dokumen penataan tenaga migran internasional, baik
dari dokumen IOM (International Organization for Migrant), ILO
(International Labor Organzation) maupun sejumlah Konvensi tentang
buruh Migran, kemudian diintegrasikan dengan analisis terhadap UU
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, yang dianalisis
dengan metode ontent analysis.
Riset ini menemukan alternatif model advokasi yang
berjenjang, pertama advokasi di tingkat domestik berupa perubahan
UU Perlndungan TKI, Kedua, Advokasi di tempat para TKI bekerja
dengan menggunakan saluran diplomasi yang tersedia untuk mendorong
negara penerima TKI untuk melakukan ratifikasi terhadap regulasi
internasional.

Key words: Pelembagan Advokasi, Timur Tengah, Tenaga Kerja


Indonesia

15
LATAR BELAKANG
Jumlah TKI pekerja domestik sampai dengan akhir 2011
tercatat sebanyak 2.601.590 yang tersebar di seluruh dunia. Adapun
rinciannya yakni kawasan Timur Tengah dan Afrika sebanyak
1.422.650 orang atau 54,68%, kawasan Asia-Pasifik sebanyak
1.178.830 orang (45,31%) dan sisanya Eropa, Australia dan Amerika
sebanyak 110 orang atau 0,004%. Dan jika ditambah dengan jumlah
TKI yang bekerja secara illegal, di mana rata-rata mencapai 10%, maka
jumlah TKI hampir mencapai 3 juta orang. Jumlah ini merupakan
jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara
pengekspor buruh migran di Asia Tenggara, seperti Filipina dan
Thailand, yang tidak sampai jumlah 1 juta orang.
Dengan jumlah yang sangat besar ini ternyata terdapat fakta
hubungan positif dengan derajat kejadian yang terkait dengan
perlindungan terhadap buruh migran. Data dari BNPTKI, menunjukkan
bahwa angka incident yang terkait dengan pelanggaran hak privat oleh
pelaku yang berbasis privat dan publik yang mencapai 1% dari total
jumlah TKI. Artinya, ada rata-rata sekitar 3000 masalah per tahun yang
timbul terkait dengan TKI, sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwasannya perlindungan TKI di luar negeri sedemikian fragile.
Pada sisi yang lain, terdapat kenyataan yang tidak dapat
dibantah bahwa kontribusi TKI dalam menyumbangkan devisa
pertahunnya dapat mencapai Rp. 2-3 trilyun. Kontribusi devisa dari TKI
terdapat kecenderungan dari tahun ke tahun semakin bertambah,
berseiring dengan semakin banyak TKI yang memasuki sektor formal,
yang mana memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sektor informal. Kesediaan seseorang menjadi TKI juga menjadi
alternatif penting bagi pengurangan angka pengangguran di Indonesia
yang berkecenderungan juga semakin meningkat seiring dengan
melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global yang juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.

15
Berpijak dari kedua fakta di atas, bahwa terdapat problem
substantif dan tehnis yang selama ini belum terkelola secara sistematis
sehingga setiap persoalan TKI senantiasa berulang dan berulang. Upaya
mengindentifikasi problem substantif dan tehnis selama ini dilakukan
secara sektoral, baik oleh BNPTKI, Departemen Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi, maupun Departemen Luar Negeri. Problem substantif
sangat terkait dengan persoalan kontrak dan kerjasama antar negara
pengirim dan penerima buruh migran. Kesefahaman untuk melakukan
perlindungan secara maksimal terhadap buruh migran maupun buruh
domestik dari negera penerima buruh migran menjadi sangat substantif.

KAJIAN PUSTAKA
Studi tentang perlindungan TKI selama ini lebih ditonjolkan
dalam bentuk advokasi hukum baik dalam level privat maupun public
terkait dengan perkara perdata, ataupun pidana yang dihadapi para TKI
di luar. Perlindungan TKI selama ini lebih menfokuskan pada pola
advokasi dari dalam negeri, dalam bentuk perundangan-undangan
tentang perlindungan TKI, PP No.3 Tahun 2013, yang memberikan opsi
bagi bagi pemerintah untuk melakukan tindakan moratorium jika
terdapat pelanggaran hak perburuhan migran terhadap TKI di luar
negeri.
Perlindungan TKI melalui mekanisme kebijakan moratorium
akhir-akhir ini diyakini sebagai kebijakan yang paling efekif untuk
menekan fihak mitra di luar negeri untuk memperlakukan para TKI
secara fair, transparan dan akuntabel. Namun studi JawahirTantowi
justru menunjukkan bahwa perlindungan TKI melalui moratorium
sebenarnya bukan mekanisme penyelesaian masalah yang efektif,
moratorium hanya semacam efek kejut yang perlu ditindaklanjuti
dengan mekanisme perlindungan yang lebih komprehensif.43
Moratorium justru

43
http://www.antaranews.com/berita/363239/anggaran-perlindungan-tki-
rp96000orang-pertahun, bandingkan dengan beberapa Negara lain yang

15
menimbulkan dilemma baik bagi pemerintah maupun bagi para pencari
kerja. Bagi pemerintah moratorium akan menyebabkan angka
pengangguran di dalam negeri meningkat yang kemudian akan berimbas
dengan problem sosial yang juga meningkat. Bagi para pencari kerja,
moratorium menyebabkan kesempatan bekerja di luar negeri menjadi
semakin terbatas, sedangkan kesempatan kerja di dalam negeri sangat
terbatas.
Jocye Jacobson mengembangkan pendekatan yang sangat
relevan untuk dipergunakan sebagai mekanisme perlindungan terhadap
buruh migran secara komprehensif. Perlindungan terhadap para buruh
migran akan efektif jika dilakukan perjanjian bilateral dan multilateral
yang intensif dan berkesinambungan. Perjanjian bilateral akan
memungkinan terjadi kesefahaman yang memungkinkan fihak Negara
yang menerima buruh migran dapat memberikan hak-hak buruh migran
sebagaimana hak buruh domestic. 44
Menurut Jesus Filpe, perjanjian multilateral akan
memungkinkan lahirnya regim pengelolaan buruh internasional yang
lebih berfihak kepada kepentingan buruh migran dibandingkan dengan
kepentingan para pemilik modal, atau lembaga yang mengerahkan
transaksi buruh internasional. 45 Perjanjian multilateral dapat memaksa
fihak-fihak yang selama ini memperlakukan para buruh migran secara
diskriminatif untuk mulai mengadopsi nilai-nilai hubungan industrial
yang menempatkan buruh migran sebagai asset bagi industry.

memberikan perlindungan yang maksimal terhadap buruh migran, Jacobsen,


Joyce, P. 2004, Labor markets and employment relationships: a
comprehensive approach, Hongkong, Blackwell Publishing Ltd, ataupun
dalam Jesus Felipe, 2006, Labor Markets in Asia Issues and Perspectives,
New York, Palgrave Macmillan
44
Jacobson, ibid.,
45
Lihat dalam Jesus Felipe, 2006, Labor Markets in Asia Issues and
Perspectives, New York, Palgrave Macmillan dan dalam Abella, Manolo, and
Hiromi Mori 1996. “Structural change and labour migration in East Asia,” in
Development strategy, employment and migration: country experiences,
edited by David O’Connor. Paris: OECD

15
Peneliti telah mengembangkan pemikiran bagaimana
pelembagaan advokasi akan melahirkan tata kelola atau kebijakan yang
adaptatif dan responsive yang berfihak kepada fihak yang
mengartikulasikan perjuangan issue tersebut.46
Proses pelembagaan advokasi bagi para TKI, harus dilakukan
melalui 3 unsur besar yakni proses legislasi-jurisdiksi, proses politik dan
birokratik, dan proses sosialisasi dan mobilisasi. Proses legislasi
membutuhkan usaha yang serius dari pemerintah Indonesia untuk
mengembangkan strategi diplomasi bilateral dan multilateral dalam
menawarkan regim buruh migran yang ramah bagi kepentingan buruh
migran. Proses politik membutuhkan lobi- lobi, negosiasi, mediasi dan
kolaborasi dengan multi stakeholder buruh migran. Proses politik ini
diharapkan akan mempengaruhi cara fikir para pembuat kebijakan
tentang buruh migran di beberapa negara yang selama ini masih
diskriminatif terhadap buruh migran. Proses sosialisasi membutuhkan
kampanye, siaran press, unjuk rasa, mogok, boikot, sebagai sarana
untuk mempersuasi sampai memaksa fihak-fihak yang selama ini tidak
responsif bagi perlindugan buruh migran.

PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini akan dibahas 4 hal, untuk membangun
pelembagaan advokasi bagi tenaga kerja Indonesia
46
Nur Azizah, Pelembagaan Advokasi Sebagai Mekanisme Mengubah
Kebijakan Publik, Penelitian tidak dipublikasikan, Jurusan HI UMY, 2010.
Lihat juga dalam Böhning, W.R. 1984. Studies in international labor
migration. London: Macmillan. Juga dalam Bohning, “Integration and
immigration pressures in Western Europe.”International Labour Review 130:
445–9 maupun dalam Borowski, Allan, and Uri Yanai 1997. “Temporary and
illegal labor migration: the Israeli experience.” International Migration 35:
495–509. Lihat juga dalam Bourguignon, Francois, Bernard Fernet, and
Georges Gallais-Hamonno 1977. International labour migrations and
economic choices: the European case. Paris: Development Centre of the
Organisation for Economic Co- operation and Development.

15
(selanjutnya digunakan istilah TKI) dengan menggunakan model
pelembagaan yang dipergunakan oleh Peter L Berger, yakni
membangun obyektivitas masalah yang dihadapi oleh TKI, membangun
eksternalisasi tentang sejumlah cara yang produktif untuk dipilih untuk
melakukan advokasi, dan ketiga dengan melakukan internalisasi.
Dengan menggunakan pelembagaan model Peter L Berger ini
diharapkan akan dapat ditemukan alternative advokasi yang efektif
dalam level konseptual, dan dapat terimplementasikan dalam tingkat
praktikal.

Obyektivitas dan Ruang Lingkup Persoalan TKI


Sejumlah studi tentang buruh migran (international labor)
menunjukan secara obyektif 3 masalah besar yang terkait dengan buruh
migran:
Persoalan TKI di Regulasi Indonesia
Kajian utama pada studi ini lebih terfokus kepada pilihan
kebijakan pemerintah untuk melakukan mobilisasi para pekerja
Indonesia untuk bekerja menjadi TKI, terkait dengan rendahnya
kesempatan kerja dan derajat kemakmuran yang relative rendah yang
mampu diciptakan pemerintah dengan birokrasi di dalamnya di dalam
negeri. Pemerintah diklaim justru melakukan mobilisasi tenaga kerja
domestic untuk menjadi buruh migran untuk mengurangi persoalan
sosial, ekonomi dan politik dari ketidakmampuan pemerintah
menciptakan kemakmuran di dalam negeri. Kebijakan mobilisasi untuk
menekan penganngguran dan masalah sosial, menyebabkan sejumlah
kebijakan pemerintah terkait dengan TKI cenderung mempermudah
prosedur birokrasi yang seringkali dimanfaatkan oleh mafia buruh
migran untuk menjalankan praktik pemerasan oleh penyalur (agen),
bahkan sampai ke dalam masalah jual beli manusia (human
trafficking).
Masalah yang sering timbul pada saat pra pengiriman tenaga
kerja migran adalah sebagai berikut:
Para buruh migran mendapatkan janji-janji yang menjanjikan
jika bersedia menjadi buruh migran, dengan iming- iming gaji yang
tinggi, prosedur yang mudah, pekerjaan yang

15
ringan. Untuk menyakinkan bahwa pekerjaan yang diterima nanti
adalah pekerjaan yang terhormat, para buruh migran diminta untuk
melakukan sejumlah pembayaran. Agen yang juutru memberikan
kesempatan pada calon buruh migrant dengan tanpa pembayaran,
semisal pembiayaan bisa dibayar tatkala sudah bekerja, diyakinkan
kepada para calon buruh migran, bahwa sector pekerjaan tersebut adalah
pekerjaan yang tidak manusia, missal pekerjaan kotor (dirty), berbahaya
(dangerous), dan tidak merendahkan martabat (degrade).47 Di sinilah
awal pemerasan sering dilakukan para agen tenaga kerja migran.
Dari studi yang dilakukan oleh Hadi Subhan, Indonesia
seungguhnya telah memproduksi regulasi yang komprehensif, dari
tingkat UU, Perpu, Permen, Kepmen, sampai dengan Surat edaran
Menteri, yang jumlah mencapai sampai 18 produk regulasi.48 Namun
masalah dalam konteks pra pengiriman tenaga kerja juga tidak dapat
dilepaskan dari kontruksi hukum UU No. 39/2004 mengenai
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, sebagai satu-satunya
perundang-undangan yang mengatur perekrutan, penempatan, sekaligus
perlindungan tenaga kerja. Merujuk studi dari IOM maupun Hadi
Subhan UU No. 39 Tahun 2004, tidak secara jelas menyatakan
tanggung jawab masing-masing badan pemerintah di tiap tahapan
migrasi, kebingungan dan perebutan kewenangan hukum yang terjadi,
khususnya antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
badan yang baru saja dibentuk Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Peraturan telah
dibentuk dalam upaya membuat bagian hukum dan

47
Lihat analisis dalam Ryszard Cholewinski, Paul De Guchteneire Antoine
Pécoud (eds.), Migration And Human Rights: The United Nations
Convention, on Migrant Workers’ , Cambridge University Press, Cambridge,
2009
48
Lihat dalam Hadi Subhan, Lihat analisis dalam Hadi Subhan, Perlindungan
TKI Pada Masa Pra Penempatan, Selama Penempatan Dan Purna
Penempatan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2012

16
kewenangan masing-masing dua badan pemerintah tersebut. Akan
tetapi, sampai saat ini peraturan ini belum memberikan hasil seperti
yang diharapkan.49
Studi kritis dari IOM terhadap regulasi UU No. 39/2004
menyimpulkan bahwa regulasi ini justru membatasi keterlibatan
pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi TKI yang bekerja di
luar negeri namun memberikan otoritas yang luas kepada sector swasta
untuk menyediakan layanan penting yang dibutuhkan TKI saat hendak
bekerja ke luar negeri. Lembaga- lembaga perekrutan swasta ini
sekarang bertanggung jawab merekrut TKI, menyediakan pelatihan
yang dibutuhkan selama bekerja di luar negeri, pelatihan bahasa,
mendapatkan dokumentasi dan pekerjaan yang sesuai di luar negeri.
Oleh karena kebanyakan lembaga yang memberikan pelayanan ini
berada di Jakarta, makaTKI yang mau bekerja ke luar negeri harus pergi
dan tinggal di Jakarta sehingga menambah biaya bermigrasi ke luar
negeri.50
Laporan ini juga menemukan bahwa masih banyak TKI yang
membutuhkan layanan atau bantuan dari pemerintah setelah mereka
kembali. Khususnya, mereka yang membutuhkan bantuan dalam
menangani kasus klaim asuransi, pelatihan dan bantuan pengelolaan
usaha. Persoalan ini banyak timbul karena keterlibatan pemerintah di
Negara penerima tenaga kerja Indonesia seringkali diabaikan oleh biro
atau agen, untuk hanya sekedar meregistrasikan pekerja di KJRI
ataupun KBRI sehingga otoritas pemerintah Indonesia dapat memantau
dan memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia. Secara
keseluruhan, upaya-upaya harus dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran para TKI tentang hak-hak tenaga kerja, hak-hak asasi

49
Ibid., dan bandingkan dengan IOM, Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia:
Gambaran Umum Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan
di Asia dan Timur Tengah, Jakarta, IOM, 2010

50 Ibid. hal.
1
dan juga jalur hukum yang terbuka bagi mereka dalam kasus
pelanggaran hak51.
Objektivikasi terhadap 22 regulasi tentang TKI menunjukkan
bahwa terdapat problem operasionalisasi konsep. Pada dataran
konseptual, regulasi sudah menyentuh aspek perlindungan terhadap TKI
di berbagai lini, baik dalam regulasi terhadap calon buruh migran, pihak
swasta yang melakukan rekruitmen buruh migran, pihak swasta yang
melakukan terhadap buruh migran, pemeriksaan kesehatan, transportasi,
maupun regulasi standar pelayanan minimum oleh birokrasi
pemerintahan, baik di Indonesia maupun KBRI dan KJRI di mana buruh
migran berada. Operasionalisasi konsep terkait dengan persoalan
kejelasan otoritas dalam mengeksekusi kebijakan perlindungan, terkait
dengan keberadaan BNP2TKI yang dibentuk sebagai Badan Khusus,
yang seringkali terjadi tarik menarik dengan otoritas birokrasi yang lain.
Dalam banyak kasus BNP2TKI lebih banyak melakukan kordinasi
dengan kementerian Transmigrasi dan tenaga Kerja dibandingkan
dengan Kementrian Luar Negeri. Kementerian Luar Negeri di Negara
penerima TKI, sesungguhnya memiliki infra-struktur dan organisasi
yang lebih siap dalam mengelola sejumlah issue. Namun seringkali,
pihak swasta lebih memilih berkordinasi dengan BNP2TKI
dibandingkan dengan KJRI jika terdapat banyak masalah, dan seringkali
mengabaikan sejumlah tugas pokok dan fungsi dari KJRI yang
seharusnya harus dilalui oleh pihak agen.

Dilemma Regulasi Perlindungan di tingkat Internasional, Regional dan


Negara Penerima TKI
Terdapat persoalan seputar regim pengelolaan buruh migran di
tingkat internasional dan regional terjadi kesenjangan yang lebar, di
mana ada kecenderungan regim internasional seputar buruh migran
sangat progresif untuk melakukan perlindungan, namun regulasi di
tingkat regional dan nasional

51
Ibid. hal.
1
justru cenderung memberikan diskriminasi terhadap buruh migran
karena difahami buruh migran sebagai kelompok sosial yang berpotensi
menganggu keamanan, dan kestabilan sosial dan ekonomi. Kondisi ini
menyebabkan apresiasi buruh migran sebagai bagian dari “citizen” yang
harus dipenuhi hak-haknya hampir tidak diartikulasikan secara serius di
tingkat regional dan nasional. Ada sebuah kecenderungan besar bahwa
Negara yang menjadi memberikan ruang untuk bekerja kepada calon
buruh migran, dalam bentuk regulasi untuk menjadi buruh migran yang
sederhana, keahlian yang low skill, justru Negara yang tidak menjadi
anggota IOM (International Organization for Migran), dan seringkali
juga tidak melakukan ratifikasi terhadap sejumlah regulasi peruruhan
internasional.

Tabel 15
Hak buruh Migran Il-llegal (No. 1-14) dan Legal (1-18)
No Jenis Hak Pasal
1 the right to life (article 9 9
2 the right not to be subjected to inhuman or 10
degrading treatment such as torture
3 the right to freedom of thought, conscience and 12-13
religion, as well as the right to freedom of opinion and
expression
4 the right not to be deprived of property 15
5 the right to equality with nationals before the courts 16-29,
and tribunals, which implies that migrant workers are 23-24
subject to correct judicial procedures, have access to
interpreting services and to the assistance of their
consulate, and are not
sentenced to disproportionate penalties
6 the right not to have identity documents confiscated 21
7 the right not to be subject to collective expulsion 22
and to condition individual expulsions to lawful and
correct procedures

16
No Jenis Hak Pasal
8 the right to equality with nationals with respect to 25, 27
remunerations, working conditions and sosial
security
9 the right to take part in trade unions 26
10 the right to emergency medical care 28
11 the right to emergency medical care 28
12 the right to respect for cultural identity 31
13 the right to transfer earnings 32
14 the right to have access to information on their 33
rights
15 the right to be temporarily absent from the state of Article
employment 38
16 the right to freedom of movement, residence and Article
employment in the state of employment 39, 51,
53
17 the right to participate in public affairs in the state Article
of origin, through voting notably 41
18 the right to family reunification Article
44
Sumber: Ryszard Cholewinski, Paul De Guchteneire (ed.al), Migration
And Human Rights The United Nations Convention On
Migrant Workers’ Rights, Cambride, Cambride University,
2009

Namun dalam praktiknya, terdapat masalah yang sangat serius


antara regulasi internasional tentang buruh migran, dengan
kecenderungan Negara penerima buruh migran untuk melakukan
sejumlah ratifikasi yang memungkinkan proses perlindungan terhadap
buruh migran menjadi efektif. Pada studi yang dilakukan oleh BNPTKI
maupun IOM menunjukkan bahwa banyak Negara penerima buruh
migran justru tidak menjadi anggota organisasi buruh migran, ataupun
melakukan ratifikasi terhadap sejumlah convensi tentang buruh migran,
seperti yang tersaji dalam table 5 berikut ini;

16
Tabel 16
Negara tujuan pengiriman TKI dan Status di IOM

No Negara Jumlah Keanggotaan di IOM


1 Malaysia 22.198 Bukan Anggota
2 Singapura 37.496 Bukan Anggota
3 Brunei Darusalam 5.852 Bukan Anggota
4 Hongkong 29.973 Bukan Anggota
5 Korea 3.830 Bukan Anggota
6 Jepang 96 Bukan Anggota
7 Taiwan (RRC) 50.810 Bukan Anggota
8 Arab Saudi 257.217 Bukan Anggota
9 Kuwait 25.756 Bukan Anggota
10 Emirat Arab 28.184 Bukan Anggota
11 Bahrain 2.267 Bukan Anggota
12 Qatar 10.449 Bukan Anggota
13 Jordan 12.062 Bukan Anggota
14 Oman 7.150 Bukan Anggota
Sumber: diolah dari bahan BNP2TKI, 2009
Persoalan seputar kebijakan Negara penerima yang cenderung
menerapkan kebijakan perburuhan yang diskriminatif. Sector pekerjaan
yang disediakan untuk buruh migran adalah sector dirty, dangerous,
dan de-grade, sector pekerjaan di mana tenaga kerja domestic tidak
bersedia untuk masuk dalam wilayah tersebut, yang biasanya berada di
sector privat (rumah tangga), informal, personal, dan bukan berada di
sector public, yang memiliki regulasi formal yang kuat, dan hubungan
bersifat non personal. Beberapa Negara di Timur Tengah dan Asia
Tenggara yang menjadi favorit bagi tenaga kerja asing secara massif
memberikan informasi akan luas dan mudahnya menjadi tenaga kerja,
bahkan melakukan sejumlah diplomasi kepada calon Negara pengirim
tenaga kerja untuk melakukan pengiriman tenaga kerja migran.
Pilihan Negara penerima tenaga kerja migran untuk
memberikan akses pekerjaan yang tidak manusiswi merupakan

16
pilihan yang sangat logis. Semisal, Negara Qatar adalah Negara dengan
jumlah penduduk migran lebih besar dari penduduk yang
berkewarganegaraan Qatar, dengan komposisi penduduk migran sampai
65%-70% dan penduduk dengan kewarganegaraan Qatar hanya
sejumlah 30%-35%. Dengan komposisi ini, maka buruh Migran
cenderung akan bekerja di sector di mana penduduk asli Negara tersebut
tidak bersedia untuk bekerja di tempat tersebut. Buruh migran boleh
bekerja di Negara penerima buruh migran asal tidak berkompetisi di
sector pekerjaan di mana penduduk asli Negara tersebut
mengkompetisikannya. Buruh migran bisa jadi lebih kompetitif, missal
bersedia diberikan gaji lebih rendah dengan kualitas pekerjaan yang
sama. Jelas, situasi ini justru akan memberikan kerugian siginifikan bagi
penduduk asli. Kasus Qatar, Singapura, Malaysia bahkan Negara Eropa,
Amerikapun masih sering dijumpai.
Negara penerima tenaga kerja memang secara sadar sudah
memperhitungkan sejumlah resiko ketenagakerjaan yang akan muncul
dengan mendatangkan buruh migran, baik resiko sosial, ekonomi,
politik, dan hukum. Ada kecederungan yang tidak sehat, bahwa Negara
penerima justru tidak melakukan sejumlah ratifikasi konvensi hak-hak
buruh migran, sebagai cara agar Negara penerima, perusahaan, dan
sector privat pengguna tenaga kerja tidak banyak mendapatkan tuntutan
hukum dari para buruh migran. Jika Negara tidak meratifikasi suatu
produk hukum internasional, maka Negara tidak memiliki kewajiban
untuk mengimplementasikannya. Pacta sun servanda, perjanjian akan
mengikat kepada para fihak yang membuat perjanjian.

Eksternalisasi Advokasi Tenaga Kerja Migran


Sebagaimana yang sudah dibahas dalam obyektivikasi
persoalan TKI, yang terbagi dalam 3 persoalan besar, maka
eksternalisasi advokasi TKI akan membagi dalam 2 area, yakni dalam
advokasi di Indonesia dalam bentuk operasionalisasi regulasi
perlindungan TKI secara efektif, dan advokasi di luar negeri melalui
desakan, tekanan terhadap Negara penerima TKI

16
untuk melakukan ratifikasi terhadap sejumlah konvensi tentang buruh
migran.
Advokasi Operasionalisasi Regulasi Perlindungan TKI Secara Efektif
Untuk menganalisis advokasi dalam operasionalisasi regulasi
perlindungan TKI secara efektif akan menggunakan analisis tentang
desain tata kelola (governance) dari sejumlah regulasi yang ada untuk
menjamin terjadinya kepatuhan atas regulasi tersebut. Merujuk
compliance theory dari Tallberg, kepatuhan dapat dibangun dengan
menggunakan dua pendekatan besar.52
Pertama, pendekatan management school. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa kepatuhan terhadap regulasi dapat ditempuh
dengan menyusun secara detil, tugas, pokok, fungsi, kegiatan, yang
kemudian mengarah kepada terlaksananya atau efektifnya program yang
diatur oleh regulasi. Dalam konteks ini, bagaimana regulasi
perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri benar-benar efektif
memberikan perlindungan maksimal. Semakin produk regulasi memiliki
tata kelola pencapaian tujuan yang diatur secara jelas, maka probabilitas
tercapainya tujuan dari regulasi semakin besar.
Kedua, pendekatan enforcement school. Pendekatan ini
mengasumsikan efektifitas suatu regulasi sangat ditentukan oleh tata
kelola (governance) yang melibatkan fihak ketiga yang memiliki tugas
untuk melakukan supervise, sampai memberikan punishment dalam
bentuk dis-incentive ataupun memberikan rewards dalam bentuk
incentive kepada fihak yang telah mendapatkan tugas untuk
melaksanakan regulasi tersebut. Dalam konteks ini, bagaimana fihak
yang ditunjuk untuk memberikan perlindungan terhadap TKI, yakni
BNP2TKI, mendapatkan

52
Lihat dalam Christer J Onsson, Jonas Tallberg, “Compliance and Post-
Agreement Bargaining”, European Journal of International Relations
Copyright © 1998, SAGE Publications, London, Thousand Oaks, CA and New
Delhi, Vol. 4(4): 371–408

16
supervise secara intensif yang kemudian dapat menjamin terlaksananya
tujuan dari dibentuknya BNP2TKI melalui UU No. 37 Tahun 2004.
Dari riset regulasi yang dilakukan oleh Hadi Subhan 53,
sebagaimana yang dipaparkan dalam tabel 2 tentang Regulasi
Pemerintah IndonesiaTerhadap TKI, di mana terdapat 24 produk
regulasi dari level UU, Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri
(Kepmen), sampai surat edaran menteri, terdapat sejumlah pokok yang
menyebabkan implementasi semua regulasi yang ada tidak efektif yakni
ketidakjelasan arah pencapaian perlindungan TKI dan otoritas yang
menjalankan fungsinya secara maksimal, sehingga menimbulkan mis-
kordinasi dan ego sektoral antar bidang, seperti Kementrian
Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Kementrian Luar Negeri, dan
BNP2TKI. Imbas dari perlindungan TKI yang tidak maksimal tersebut,
ke 2 kementrian dan 1 Badan ini menempati score kinerja CC (cukup
baik, dengan perbaikan yang kurang mendasar).54 Namun BNP2TKI,
sebagai badan baru yang dibentuk untuk mengatasi segala masalah
terkait dengan perlidungan tenaga kerja mendapatkan sorotan luas dari
KPK, bahkan diusulkan untuk dilikuidasi.55
Beranjak dari sini maka terdapat dua pendekatan besar yang
dapat dipergunakan untuk melakukan advokasi bagi TKI yang terkait
dengan kebijakan perlindungan TKI:

53
Lihat dalam Hadi Subhan, op.cit.
54
Lihat lebih jauh indek kinerja kementrian dan badan Negara dalam.
http://skalanews.com/berita/detail/186438/DPR-Keluhkan-Kinerja-
Kemenakertrans-dan-BNP2TKI yang diunduh pada 30 Oktober 2014 atau
dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/06/04/n6n28c- muhaimin-
bantah-kinerja-kemenakertrans-buruk yang diunduh pada 30 Oktober 2014
55
Lihat lebih jauh statemen KPK dalam
http://news.liputan6.com/read/2103163/kpk-sebut-bnp2tki-dan-
kemenakertrans-lambat-soal-tki yang diunduh pada 30 Oktober 2014

16
Advokasi Dalam Revisi UU Perlindungan TKI dengan Menggunakan
Pendekatan Kepatuhan Berbasis Managemen
Advokasi untuk melakukan revisi terhadap UU Perlindungan
TKI, dengan membuat regulasi yang jelas, terukur, terencana, untuk
mengatasi problem ketidakjelasan otoritas dalam konteks perlindungan
TKI. BNP2TKI sebagai Badan yang bertanggungjawab terhadap TKI
harus dilakukan audit untuk mengetahui sumber masalah
ketidakoptimalan peran BNP2TKI, apakah karena mendapatkan tekanan
dari sejumlah Departemen terkait dalam memperebutkan otoritas
pengelolaan, ataukah karena secara desain kelembagaan belum mapan,
otoritas kurang sehingga dalam kontek perlindungan TKI menjadi
maksimal, ataukah justru mendapatkan tekanan dari stakeholder TKI
dari fihak agen swasta.
Kajian seputar kapasitas kelembagaan BNP2TKI harus segera
dipersiapkan sebelum revisi UU perlindungan TKI masuk dalam daftar
pembuatan UU baru di era pemerintahan yang baru. Naskah akademik
harus segera disiapkan secara matang dengan melakukan kajian yang
komprehensif dari factor normative-legal, sosiologis, ekonomis, politik
dan tidak kalah pentingnya factor konteks internasional. Naskah
akademik yang baik dalam perlindungan TKI, diharapkan dapat
mewarnai susunan batang tubuh yang memungkinkan tercapainya
perlindungan TKI secara konseptual dan operasional.
Kelompok pemerhati TKI, dan perguruan tinggi dapat berperan
besar untuk mendorong agar revisi terhadap UU tentang perlindungan
TKI dapat dilakukan secara massif dan terukur. Sampai saat ini, ada
kecenderungan revisi UU perlindungan TKI belum masuk dalam agenda
prolegnas di DPR, dan sejumlah partai politik yang mengusung issue
TKI seperti partai Gerindra juga belum mendeklarasikan perlunya UU
baru. Kelompok pemerhati dan Perguruaan Tinggi, bisa melakukan
sejumlah kajian yang komperehensif untuk menyiapkan draft alternative
yang dapat diajukan ke pemerintah maupun DPR agar kemudian bisa
masuk dalam prolegnas.

16
Salah satu issue kritikal terkait dengan ide revisi UU
perlindungan TKI adalah pembentukan lembaga bantu Negara seperti
KPK, sepertinya dapat menjadi role model untuk penguatan kapasitas
BNP2TKI dalam menghadapi sejumlah “mafia” TKI yang sudah sangat
sistematis dalam mengambil untung dari bisnis seputar TKI. Pemberian
otoritas yang “di atas” rata-rata bagi BNP2TKI, diharapkan akan dapat
memperteguh BNP2TKI dalam melakukan sejumlah bargaining dengan
stakeholder TKI, baik di jajaran birokrasi pemerintah maupun di luar
jajaran pemerintah.
Atau jika memang memungkinkan, terkait dengan besarnya
TKI Indonesia yang menempati urutan ke 2 dunia, usulan untuk
pembentukan kementerian tenaga kerja secara mandiri, yang tidak
dimerger dengan kementerian transmigrasi menjadi pilihan yang
rasional. Filipina bisa dijadikan sebagai referensi, bagaimana Filipina
sebagai Negara pengekspor buruh migran terbesar di dunia, kemudian
membentuk kementrian khusus yang memiliki tugas pokok dan fungsi
untuk memberikan perlindungan kepada buruh migran. Pembentukan
kementrian baru, akan memungkinkan kementerian melakukan
sejumlah terobosan baru untuk melakukan perlindungan TKI.

Advokasi Dalam Revisi UU Perlindungan TKI dengan Menggunakan


Pendekatan Kepatuhan Berbasis Enforcement
Advokasi untuk melakukan revisi terhadap UU Perlindungan
TKI, dengan membuat regulasi yang mengatur tentang fihak lain di luar
BNP2TKI yang melakukan pengawasan secara jelas, terukur, terencana,
untuk mengatasi problem ketidakjelasan otoritas dalam konteks
perlindungan TKI. Asumsi besar dari pendekatan ini adalah BNP2TKI
akan dapat berjalan dengan maksimal manakala ada supervise, apakah
supervisor dari lembaga lain, semisal yang sekarang sedang dalam
perbincangan adalah KPK terkait dengan banyaknya fakta pemerasan
terhadap para TKI pada tahap pemulangan TKI dari luar negeri,
ataukah supervise langsung dari lembaga khusus

17
yang dibuat oleh presiden. UKP4 selama ini memberikan score yang
relative rendah terhadap kinerja BNP2TKI, di mana mendapat penilaian
kinerja C++ yang bermakna cukup dengan perbaikan yang tidak
signifikan.
Untuk itu perlu dilakukan kajian secara signifikan lembaga
manakah yang akan menjalankan peran untuk melakukan pengawasan.
Selama ini BNP2TKi hanya mendapatkan supervisi dari DPR. Kajian
terhadap lembaga yang akan mensupervisi BNP2TKI harus dilakukan
secara transparan dan akuntabel sehingga lembaga yang akan
mensupervisi benar-benar dapat memastikan bahwa kinerja BNP2TKI
dapat berjalan dengan maksimal. Naskah akademik harus segera
disiapkan secara matang dengan melakukan kajian yang komprehensif
dari factor normative-legal, sosiologis, ekonomis, politik dan tidak
kalah pentingnya factor konteks internasional untuk mengusulkan pola
supervise terhadap BNP2TKI. Naskah akademik yang baik dalam
perlindungan TKI, diharapkan dapat mewarnai susunan batang tubuh
yang memungkinkan tercapainya perlindungan TKI secara konseptual
dan operasional.
Pembentukan lembaga untuk mensupervisi pelaksanaan regulasi
perlindungan TKI hendaknya dilakukan oleh Lembaga yang benar-
benar full power sehingga lembaga ini akan mampu mendorong kinerja
BNP2TKI. Atau dalam batas tertentu terdapat tripartite hubungan antara
DEPLU,KPK,dan UKP4 (jika masih dipertahankan oleh pemerintahan
Jokowi), untuk melakukan supervisi di bidang masing-masing. Misal
DEPLU focus supervisi di tempat di mana TKI bekerja, KPK focus di
bidang transaksi keuangan pada proses perekrutan, penempatan dan
pemulangan yang selama ini menjadi area terbesar praktik pemerasan,
sedangkan UKP4 fokus di bidang reformasi birokrasi yang menyangkut
tata kelola pelayanan birokrasi dari hilir sampai hulu dalam memberikan
perlindungan TKI.
Memang pembentukan tripartite lembaga untuk mensupervisi
BNP2TKI juga menimbulkan sejumlah dilemma organisasional, seperti
adanya tumpang tindih kewenangan,

17
kordinasi antar lembaga yang tidak linier. Oleh sebab itu perlu dikaji
secara mendalam bagaimana mekanisme supervise yang efektif bagi
BNP2TKI agar Badan ini benar-benar menjadi lembaga yang mampu
memenuhi tuntutan kebutuhan public dan kepentingan nasional
Indonesia.

Advokasi Untuk Mendesak Negara Penerima TKI Untuk Meratifikasi


Konvensi internasional tentang Buruh Migran
Advokasi terhadap TKI sesungguhnya juga harus mengambil
domain di tingkat internasional. Karena sesungguhnya problem
ketenagakerjaan dari TKI justru banyak berada di ranah ini, yakni di
tempat para TKI pada bekerja. Sebagaimana yang sudah dibahas dalam
obyektivikasi problem TKi dalam sub bab sebelumnya, terdapat
masalah yang akut di mana ada kecenderungan Negara-negara penerima
buruh migran justru tidak melakukan sejumlah ratifikasi terhadap
konvensi hak sipil, maupun buruh migran serta juga tidak menjadi
anggota dari organisasi migran seperti IOM (international
organization on migration).
Terkait dengan ratifikasi suatu konvensi, atau dalam hal ini
sering dikenal dengan regulasi internasional (international regim),
sesungguhnya merupakan urusan domestic suatu Negara. Negara lain
tidak memiliki otoritas untuk melakukan intervensi secara masih terkait
dengan proses ratifikasi Negara terhadap suatu konvensi. Intervensi
suatu Negara dalam issue dalam negeri dapat difahami sebagai bentuk
ketidakhormatan terhadap asas kedaulatan suatu Negara.
Lantas bagaimana advokasi yang dapat dilakukan Indonesia
untuk mendesak Negara-negara yang menjadi tujuan buruh migran
Indonesia untuk secara bertahap melakukan ratifikasi konvensi hak sipil
bagi sejumlah buruh migran Indonesia.

Advokasi Melalui Jalur Internastional Govermental Organization


(IGO)

17
Advokasi perlindungan buruh migran dapat dilakukan melalui
instrument diplomasi dengan menggunakan media organisasi berbasis
pemerintah. seputar desakan Indonesia terhadap ratifikasi sejumlah
konvensi tentang perburuhan.
Dalam mendiskursuskan issue buruh Migran terdapat sebuah
forum yang bernama “Forum Global Tentang Migrasi dan
Pembangunan (GFMD)”. Forum ini merupakan ruang untuk
membangun dialog secara global tentang isu-isu migrasi dan
pembangunan. Forum ini terbentuk dari dialog tingkat tinggi PBB di
tahun 2006 yang membahas tentang Migrasi Internasional dan
Pembangunan, terkait dengan semakin banyak permasalahan buruh
migran baik di kawasan Asia, Eropa, Timur Tengah dan Afrika.
GFMD ini akan menjadi fórum yang efektif untuk mendesak
para negara penerima buruh migran untuk secara perlahan melakukan
sejumlah ratifikasi konvensi perlindungan hak sipil dari buruh migran,
yang memungkinkan proses pembentukan regulasi nacional terhadap
perlindungan buruh migran menjadi lebih optimal. Sejumlah advokasi
serempak dapat dilakukan manakala negara penerima buruh migran
enggan atau tidak bersedia merumuskan regulasi baru yang ramah pada
buruh, semisal dengan melakukan joint communica untuk melakukan
moratorium pengiriman buruh migran secara serempak.
Moratorium memang menjadi opsi yang bisa dikembangkan
lebih jauh untuk menekan negara penerima buruh migran, tanpa
melanggar kepatutan interaksi internacional yang terkait dengan prinsip
non intervensi. Selama ini moratorium yang dilaksanakan cenderung
dilakukan secara partial, di mana ada satu negara yang kecewa dengan
kinerja perlindungan tehadap buruh migran di negara penerima buruh
migran. Semisal Indonesia, melakukan moratorium pengiriman buruh
migran ke Arab Saudi di tahu 2012. Efek moratorium yang dilakukan
Indonesia tidak banyak mempengaruhi kebijakan buruh migran Arab
Saudi secara global, yang terjadi jsutru kemudian lebih berefek kepada
proses legalisasi sejumlah buruh migran ilegal

17
Indonesia yang telah lama tinggal di Arab Saudi oleh pemerintah
Indonesia.
Opsi lain yang juga bisa dilakukan adalah opsi diplomatik
dalam bentuk ancaman pemutusan hubungan diplomatik. Opsi ini benar
dipakai oleh Filipina di bawah pemerintahan Gloria Macapagal Aroyo
untuk mendesak pemerintah Qatar untuk melakukan perubahan regulasi
terkait dengan kasus seorang buruh migran Filipina di Qatar yang akan
dihukum gantung. Dalam batas tertentu, opsi ini dianggap sebagai opsi
yang sangat serius untuk diambil untuk menunjukkan betapa seriusnya
perhatian pemerintah untuk melakukan perlindungan buruh migran di
tingkat internacional. Namun opsi diplomatik yang dilakukan secara
partial, juga tidak banyak mempengaruhi proses pengambilan keputusan
di negara penerima tenaga kerja. Jika terjadi mobilisasi pemutusan
hubungan diplomatik secara serempak, maka probabilitas untuk
menekan negara penerima tenaga kerja akan lebih efektif dibandingkan
jika dilakukan secara sendiri-sendiri. Memang harus disadari, opsi ini
merupakan opsi yang sulit terlaksanakan di tengah sejumlah dilema
yang dihadapi oleh negara pengirim buruh migran yang mengalami
masalah penganggunguran dalam negeri yang akut.
Forum konsultasi tingkat menteri Negara-negara Asia di tahyn
2003, yang berstatus sebagai Negara pengirim tenaga kerja, seperti
Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri
Lanka, Thailand dan Vietnam, yang kemudian dikenal dengan
Colombo Process juga layak untuk dipertimbangkan. Ruang
konsultasi ini sedikit banyak akan membangun kesefahaman bersama
untuk menentukan langkah yang efektif untuk melakukan sejumlah
kebijakan perlindungan terhadap para buruh migran.
Forum konsultasi Colombo ini dalam batas tertentu
menunjukkan efektifitas, di mana Negara penerima tenaga kerja
bersedia untuk menghadiri forum ini, pada bulan September 2005.
Bahrain, Italia, Kuwait, Malaysia, Qatar, Korea Selatan, Arab Saudi,
dan Emirat Arab, hadir dalam ruang konsultasi di Bali pada

17
tahun 2005. Bahkan dalam tahun 2008, diadakan forum konsultasi di
Abu Dhabi (Qatar), dengan menfokuskan pada pembahasan ide-ide baru
dalam pembuatan kerangka kerja praktis dan komprehensif,
mempromosikan kesejahteraan tenaga kerja dan memupuk kerja sama
antar pemerintah yang lebih besar.56
Di samping menggunakan forum internasional, advokasi yang
dapat dipergunakan untuk mendesak Negara penerima tenaga kerja
migran untuk melakukan sejumlah ratifikasi untuk memberikan
perlindungan pada buruh migran, juga dapat dilakukan dengan
mempergunakan instrument Deklarasi ASEAN Tentang Perlindungan
dan Promosi Hak-Hak Tenaga Kerja. Filipina merupakan salah satu
Negara yang mendesak agar para pemimpin Negara ASEAN bersedia
untuk menandatangani Deklarasi Perlindungan dan Promosi Hak tenaga
kerja di Negara ASEAN. Indonesia dan Filipina sebagai 2 negara
pengekspor buruh migran terbesar di Asia, dapat mengintensifkan
kerjasama secara bilateral untuk membuat jejaring kerjasama tentang
perlindungan buruh migran.

Advokasi Melalui Jalur Internastional Non Govermental Organization


(INGO)
Advokasi melalui jalur INGO dalam konteks advokasi jauh
lebih dinamis dibandingkan dengan jalur IGO, terkait dengan
banyaknya pilihan opsi untuk menekan Negara-negara yang belum
melakukan ratifikasi perlindungan buruh migran. Indonesia memiliki
sejumlah organisasi yang menaruh perhatian terhadap issue buruh
migran, seperti Migran Care, dan Solidaritas Perempuan. Studi yang
dilakukan oleh Sylvia Yazid57. Dalam analisisnya, MIGRAN Care dan
Solidaritas Perempuan memiliki

56
Lihat IOM, Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia: Gambaran Umum
Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan di Asia dan Timur
Tengah, Jakarta, IOM, 2010
57
Lihat analisis Silvia Yazid dalam Sylvia Yazid, “Activism Of Indonesian
Ngos On The Issue Of Women Migrant Workers: Engaging In National And
International Co-Operation” 2010.

17
jaringan internasional yang cukup kuat, baik dalam konteks dukungan
pendanaan untuk operasional organisasi, maupun dalam membangun
jaringan untuk melakukan advokasi terhadap buruh migran.
Jaringan yang layak untuk dijadikan sandaran untuk melakukan
advokasi tenaga kerja adalah Human Right Watch. Human Right Watch
adalah lembaga internasional yang sangat bereputasi, sehingga
penyaluran aspirasi dan advokasi melalui Human Rihht Watch akan
didengar oleh PBB, Negara-negara yang bermasalah dengan issue
HAM, maupun oleh sejumlah organisasi internasional berbasis
pemerintah.
Pilihan ini juga sangat relevan, karena Migrant Care dan
Solidaritas Perempuan, merupakan organisasi yang bersifat nasional,
dan tidak memiliki perwakilan di beberapa Negara yang sering memiliki
persoalan serius dengan issue perepuan dan buruh migran, baik karena
alas an regulasi maupun persoalan pendanaan yang sangat
memberatkan. Di samping membangun komunikasi secara continue
dengan Human Right Watch, adalah juga sangat penting membangun
networking dengan NGO di sejumlah Negara. Misal, Migrant Care dan
Solidaritas Perempuan memiliki jaringan kerjasama dengan NGO
CARAM (Coordination Action Research on AIDS and Mobility) di
Malaysia, Global Alliance Against Traffick in Women (GAATW),
Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD),
and Women’s Empowerment in Muslim Contexts (WEMC).

Internalisasi Perlindungan TKI Sebagai Buruh Migran Pembahasan


tentang internalisasi perlindungan TKI
sebagai buruh migran lebih menfokuskan diri kepada peningkatan
kapasitas calon buruh migran, yang melibatkan sejumlah lembaga
seperti asosiasi PJTKI, Departemen Tenaga Kerja, BNP2TKI,
Departemen Luar Negeri sampai dengan aparat penegak hokum seperti
kepolisian maupun kejaksaan.

Calon TKI

17
Internalisasi advokasi perlindungan kepada TKI dapat
dilakukan dengan sosialisasi dan penyuluhan kepada calon buruh
migran untuk mempertimbangkan hal yang terkait dengan skill dan
kompetensi yang berada di atas rata-rata. Dengan tingkat kompetensi
yang tinggi, para calon buruh migran akan memiliki kemampuan
bargaining dalam memilih dan mendapatkan jenis lapangan kerja yang
lebih manusiawi.
Selain itu, para buruh migran juga harus mempersiapkan diri
untuk menguasai sejumlah bahasa internasional di mana TKI tersebut
akan bekerja. Misal jika TKI hendak bekerja di Timur Tengah, maka
penguasaan bahasa Arab harian (ammiyah) menjadi kebutuhan
tersendiri. Dalam contoh yang sangat sederhana, penguasaan bahasa
akan membantu TKI untuk memahami sejumlah kontrak yang dibuat
oleh agen pengiriman tenaga kerja, sehingga jika terdapat masalah
pemaknaan dalam kontrak yang janggal dan meragukan maka para TKI
dapat melakukan pencegahan sedari awal. Kemampuan berbahasa yang
baik juga memungkinkan proses komunikasi antara pengguna buruh
migran dan buruh migran dapat berlangsung dengan baik, sehingga
masalah yang timbul terkait dengan mis- komunikasi dapat dihindari
lebih awal.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pembekalan kepada
para TKI terhadap sejumlah konvensi yang memberikan perlindungan
tentang hak-hak buruh migran. Ini sangat penting agar para buruh
migran mengetahui sejumlah hak tersebut dan memperjuangkannya
dengan cara-cara yang efektif. Termasuk di dalamnya adalah
kemampuan untuk melakukan konsultasi, komunikasi terhadap
sejumlah lembaga perlindungan buruh migran, seperti halnya Konsulat
RI di beberapa Negara, pengacara, kepolisian, LSM, sehingga masalah
yang dihadapi dapat terurai lebih awal.

Pemangku Kepentingan TKI


Internalisasi advokasi juga harus dilakukan di sejumlah
stakeholder yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam

17
pemberian pelayanan administrasi, pelatihan sampai perlindungan
tenaga kerja baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan
UU No. 39/2004 dan peraturan yang disebutkan sebelumnya berarti
bahwa penempatan dan perlindungan TKI sekarang ini melibatkan
paling sedikit 13 lembaga pemerintah termasuk, antara lain
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, Kementerian
Luar Negeri, Kementerian urusan Sosial, Kementerian Koordinasi
Bidang Perkonomian, Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan
Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan
Informasi, Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Imigrasi,
Polisi Republik Indonesia, Badan Nasional Sertifikasi Profesional dan
Institute Sertifikat Profesional
Langkah-langkah yang dapat ditenpuh adalah sebagai berikut:
Pertama, Peningkatan Kapasitas Lembaga. Hal ini terkait
dengan persoalan hubungan antar lini dalam memberikan perlindungan
tenaga kerja yang tidak berjalan secara sinergis. Ada kecenderungan
kompetisi antara lembaga yang menyebabkan benturan kepentingan
antar lembaga, sehingga justru menjadi kontra-produktif. Sebagaimana
studi yang dilakukan oleh Mahendra Handoko,58 yang menyatakan
bahwa sejumlah regulasi yang selama ini ada justru saling membonsai
satu sama lain. Peningkatan kapasitas lembaga ini dapat ditempuh
dengan melakukan revisi terkait regulasi perlindungan TKI, yang
menempatkan lembaga, departemen, badan yang ditunjuk untuk
memberikan perlindungan dapat berkomunikasi secara linier, maupun
secara vertical.
Kedua, Peningkatan kapasitas SDM juga menjadi sangat urgent
baik dalam peningkatan jumlah sumber daya manusia yang dimiliki,
piranti tehnologi yang dimiliki dan dioperasikan, juga

58
Mahendra Handoko, “Advokasi Terhadap Permasalahan Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri,” Warta Hukum Edisi VII Januari –
Februari 2010

17
termasuk di dalamnya kualifikasi yang sumber daya yang dapat
ditempatkan di bidang perlindungan tenaga kerja. Memang menjadi
problem tersendiri tatkala pemerintah Jokowi, yang sedang melakukan
evaluasi organisasi di seluruh departemen melalui kebijakan
moratorium pengangkatan PNS baru. Namun yang jauh lebih penting
adalah melakukan perubahan mind-set dari birokrasi, untuk secara total
memberikan kinerja yang terbaik dalam perlindungan TKI. Melindungi
satu jiwa TKI dengan sebaik- baik perlindungan, sebagaimana halnya
telah melakukan perlindungan terhadap seluruh TKI.59

KESIMPULAN
Persoalan buruh migran memiliki kompleksitas masalah yang
tinggi, baik dari tingkat nasional, regional dan internastional. Dilemma
masalah juga muncul terkait dengan adanya disparitas regulasi di tingkat
nasional dan internasional, di mana regulasi dan convensi di tingkat
internasional menunjukan semangat pro perlindungan buruh migran
sebagai bagian dari perlindungan warga Negara, namun di tingkat
Negara penerima buruh buruh regulasi perlindungan buruh migran
justru bersifat regresif.
Advokasi perlindungan buruh migran harus dilakukan secara
terlembaga melalui 3 tahap besar yakni obyektifikasi masalah buruh
migran, dari proses rekrutmen, penempatan, sampai kepulangan,
eksternalisasi advokasi buruh migran, dari advokasi berbasis
Government to Government (G to G), International Governmental
Organization to Government, (INGO to G), International Non
Govermental Organization to Government (INGO to G). Dan
internalisasi perlindungan buruh migran melalui peningkatan kapasitas
buruh migran dan peningkatan kapasitas

59
Wawancara dengan Muhammad Iqbal Songgel, yang menyatakan perubahan
mind set dalam pemberian perlindungan pada TKI akan berpengaruh terhadap
perubahan kinerja seluruh lembaga yang memiliki tupoksi untuk memberikan
perlindungan.

17
kelembagaan birokrasi melalui penyusunan regulasi yang sinergis dan
produktif.

18
RELEVANSI PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL
KEAGAMAAN MELALUI SISTEM INFORMASI
SEBUAH PELAJARAN
DARI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SURWANDONO
wsurwandono@yahoo.com Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak

Konflik sosial keagamaan di Indonesia menunjukan kecenderungan


yang terus meningkat berseiring dengan proses demokratisasi politik
dan sosial yang dipraktikan di Indonesia sejak reformasi politik 1998.
Demokrasi pada hakekatnya adalah system yang memberikan ruang
kepada masyarakat sipil untuk melakukan perdebatan dan kompetisi
untuk mendapatkan akses politik sosial dan ekonomi. Artinya
demokrasi sejatinya meniscayakan adanya konflik sebagai mekanisme
yang efisien, beradab dan produktif untuk mencapai kesejahteraan
sosial.
Terdapat tesis besar bahwa Indonesia memiliki modal sosial berupa
national wisdom seperti nilai Bhinneka Tunggal Ika dan maupun
local wisdom yang unik seperti “pella gandong” di Maluku, maupun
“Ngluruk tanpo bolo, Menang tanpo ngasore” yang telah terinternalisasi
dengan baik dan diyakini efektif untuk pengelolaan konflik sosial di era
demokrasi. Yogyakarta dikenal dengan sejumlah atribut sebagai kota
pendidikan, kota budaya, dan kota toleransi, dalam 15 tahun terakhir
terdapat sejumlah fakta sosial berupa meningkatnya konflik sosial
keagamaan yang mengancam tradisi harmoni, tertib sipil dan toleransi.
Artikel ini akan menjelaskan tentang relevansi penyusunan system
informasi konflik, sebagai piranti penting untuk meningkatkan kapasitas
system sosial dari infra struktur pencegahan konflik yang bersifat
tradisional dan reaksioner menjadi sistem sosial yang modern dan
proaktif.
Kata kunci: SIstem Informasi, Konflik Sosial Keagamaan,
Pengelolaan Konflik

18
Latar Belakang
Konflik horizontal berbasikan issue keagamaan telah menjadi
fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Fenomena kekerasan atas
nama agama sedemikian rupa telah mengejala di banyak daerah, bahkan
secara eksplosif muncul di beberapa Negara Timur Tengah akhir-akhir
ini. Dalam pembahasan majalah Suara Muhammadiyah Edisi
September 2013, konflik horiosntal terkait dengan issue agama difahami
sebagai salah satu ancaman paling serius dalam konteks harmoni sosial,
dibandingkan dengan konflik horizontal lainnya. Hal ini terkait dengan
pandangan bahwa agama sejatinya mengajarkan tata harmoni
masyarakat, perdamaian, cinta kasih namun dalam manifestasinya
konflik sosial berbasis agama lebih sering hadir dalam wajah kekerasan.
Bahkan lebih dari itu, konflik horizontal berbasis agama seringkali
melibatkan pilar-pilar penjaga moral masyarakat, seperti tokoh agama
dan institusi peribadatan, yang seharusnya para pemuka agama dan
institusi keagamaan menjadi pilar dari harmoni sosial itu sendiri.
Issue konflik horizontal berbasis agama di Indonesia, mengalami
dinamika yang sangat berarti, dari konflik horizontal lintas kelompok
agama, seperti kasus di Poso, Ambon, sampai dengan issue konflik
horizontal dalam satu kelompok agama, semisal dalam masyarakat
Islam seperti kasus Ahmadiyah, Syiah, Wahabi, kelompok Islam
tradisional, kelompok Islam modernis. Konflik horizontal tersebut
sampai dalam titik yang cukup mengkhawatirkan, di mana klaim-klaim
kebenaran sefihak sampai menempatkan fihak lain sebagai kafir, halal
darahnya. Yang mana kesemenua klaim tersebut dilandasi argument
keagamaan berupa membela kehormatan agama.60
Konflik horizontal dalam kelompok keagamaan Islam, juga mulai
berkembang dan menunjukkan kutub ketegangan yang mulai menguat.
Terdapat kecenderungan terjadinya

60
Lihat lebih jauh dalam Philip Broadhead and Damien Keown (eds), Can Faith
Make Peace, London, I.B. Tauris, 2007

18
pengkategorisasian gerakan keagamaan Islam di Indonesia, yakni
indigenous Islam Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, Persis, al-
Washliyah dan Transnational Islam seperti Salafi, Jamaah Tabligh,
Hizbut Tahrir, Tarbiyah/Ikhwanul Muslimin, atau mengutanya gerakan
baru Islam di Indonesia yang juga unik seperti IJABI (Ikatan Jama’ah
Ahlul Bait Indonesia), Jaringan Islam Liberal, Majelis Mujahidin
Indonesia, Ahmadiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majlis Tafsir
Al-Quran. Pengakategorisasian ini dalam konteks tertentu menimbulkan
berbagai masalah, seperti menimbulkan stigma bahwa indegeneous
Islam Indonesia sebagai islam yang cair, moderat, sedangkan Islam
transnasional61 sebagai fenomena Islam yang militant, kaku, dan
konservatif, atau gerakan baru Islam yang juga memunculkan issue
konflik keagamaan yang baru.
Konflik horizontal di Indonesia telah menjadi gejala yang
mengkhawatirkan masyarakat Indonesia.62 Hal ini diawali dengan
beberapa konflik horizontal yang kemudian berekskalasi secara massif
menjadi konflik etnis, seperti yang terjadi di Ambon, Palu, Sampit,
Aceh dan Papua, dan menggunakan instrument-intrumen kekerasan
terhadap kelompok etnis yang lain. Merujuk studi yang dilakukan
Lembaga Informasi Nasional, kekerasan dari konflik horizontal tersebut
telah mengakibatkan lebih dari 2000 jiwa meninggal dunia dan diiringi
dengan rusaknya harmoni sosial, politik dan ekonomi di daerah tersebut.
Bahkan sebagai akibat dari banyaknya konflik horizontal di Indonesia,
muncul istilah baru dalam diskursus ilmu sosial yakni “amoks”,
untuk menyebut

61
Mohammaed Ayoob, The Many Face of Poitical Islam: Religion and
Politics in the Muslim World, Ann Arbor, The Uiversity of Michigan, 2008
62
Indek perdamaian Indonesia di tingkat global menempati rangking nomor 63
dunia, bahkan di tingkat Asia Tenggara Indonesia menempati ranking no 7,
bahkan kalah dibandingkan dengan indek perdamaian Negara Kamboja dan
Laos yang sebelumnya sebagai Negara yang mengalami konflik sosial yang
mendalam. Lihat lebih jauh dalam Index Peace Barometer, 2013.

18
fenomena kekerasa yang diambil dari kosa kata dari bahasa Indonesia
“amuk”.
Di samping konflik horizontal yang berbasis etnis yang terjadi
di luar pulau Jawa, konflik horizontal yang berbasis masyarakat
perkotaan juga muncul secara massif di pulau Jawa seperti fenomena
tawuran antar pelajar, mahasiswa, antara komunitas warga masyarakat,
antar profesi, bahkan konflik horizontal antar partai politik. Issue
konflik horizontal di Pulau Jawa sangatlah beragam dan tumpang tindih,
baik dari issue primordialis seperti konflik karena afiliasi
keberagamaan, etnis, issue instrumentalistik seperti sengketa perebutan
lahan, mobilisasi perebutan suara politik dalam pilkada, maupun issue
konstruktivistik seperti konflik tentang kebijakan yang diskriminatif.
Studi yang dilakukan oleh Setara Institute mengambarkan bahwa
konflik horizontal di Indonesia cenderung meningkat terkait dengan
semakin menurunnya budaya toleransi sebagai akibat dari semakin
menurunnya kualitas kesejahteraan ekonomi masyarakat perkotaan.63
Dalam konteks sejarah, konflik sosial dan keagamaan di
Yogyakarta cukup memiliki pengalaman yang unik dan traumatic
terkait dengan variasi konflik horizontal, antara masyarakat Pribumi
dengan masyarakat Non-pribumi maupun
konflik kekuasaan yang menggunakan diskursus konflik
pemikiran keagamaan. Mataram Islam, sebagai induk dari kekuasaan
politik di Yogyakarta, memiliki orientasi pengelolaan politik
keagamaan yang berbasis sinkretisme, yang sangat berbeda dengan
orientasi politik keagamaan di kerajaan Demak yang simbolis, dan
orientasi politik politik keagamaan kerajaan Pajang yang bersifat
mistisme.
Pengelolaan politik keagamaan yang berbasis sinkretisme di
Yogyakarta dalam kurun waktu yang sangat lama, mampu membuat
harmoni sosial keagamaan di Yogyakarta relatif stabil dan mapan,
sehingga Yogyakarta dikenal sebagai kota toleransi

63
http://www.theindonesianway.com/2012/05/26/8741/intoleransi-
agama-makin-meningkat diakses pada 6 September 2014

18
(the city of tolerance). Yogyakarta juga menyandang sebagai kota
budaya dan pelajar, yang dalam kurun waktu tertentu mampu
mendesiminasikan nilai-nilai egalitarian, toleransi dan harga
menghargai, yang memungkinkan sejumlah artikulasi kepentingan
dilakukan secara santun. Budaya protes dan aksi kekerasan, sedemikian
rupa harus disalurkan secara hati-hati agar tidak menyinggung perasaan
fihak lain.64
Dalam riset dokumentasi yang dilakukan oleh penulis, dalam 6
tahun terakhir terdapat sejumlah 9 kejadian konflik sosial keagamaan
yang bersifat terbatas, dan trennya dari tahun ke tahun semakin
meningkat baik daam internal agama Islam, maupun lintas agama
seperti konflik horizontal terbatas antara kelompok Islam dengan
kelompok Kristen, maupun kelompok Islam dengan aliran kepercayaan.
Dalam riset yang dilakukan oleh peneliti,. Kondisi ini menyebabkan
citra Yogykarta sebagai kota toleransi sempat diragukan dan
dipertanyakan banyak kalangan. Kondisi inilah yang kemudian
mengilhami pemerintah daerah istimewa Yogyakarta melalui Badan
Kesbanglinmas melakukan upaya serius untuk melakukan pengelolaan
konflik sosial dengan menggunakan data agregat dan sistem informasi.
Dalam studi yang dilakukan oleh Robert Trappl, pengelolaan data
konflik secara sistematis akan sangat substantive dalam membangun
perdamaian.65
Keberadaan system informasi konflik menjadi salah satu
jawaban proaktif dalam pengelolaan konflik dalam rangka memperkuat
pilar nilai dan simbolik yang berbasis kearifan local, yang mengalami
goncangan serius di era demokrasi sosial dan
64
Semisal budaya Pepe (berjemur), merupakan upaya melakukan protes secara
halus kepada Sultan (penguasa) dengan cara duduk bertelanjang dada di alun-
alun utara untuk bisa berkomunikasi secara pribadi dengan sultan ataupun topi
Jawa yang dikenal dengan blangkon di mana menempatkan ketidaksukaan
harus diartikulasikan secara hati dengan cara disimpan terlebih dahulu.
65
Robert Trappl, Programming for Peace: Computer Aided Methods for
International Conflict Resolution and Prevention, New York, Springer,
2006

18
politik. Sistem informasi diyakini akan memberikan konsiderasi
pengelolaan konflik
Tabel 17
Peristiwa Konflik Sosial Keagamaan di Yogyakarta Dari
2008-2014
No Peristiwa Konflik Fihak Yang Berkonflik Tahun
1 Konflik elit antara Muhammadiyah 2008
Muhammadiyah dan Kelompok tingkat cabang
Tarbiyah (pengajian PKS) di (kecamatan) dan
Piyungan kelompok pengajian
Tarbiyah
2 Penolakan pembangunan Gereja Kelompok Kristen dan 2013
di Jagalan Berbah Sleman, di Masyarakat Islam
Trirenggo Bantul, Tirto Rajayu
Galur Kulon Progo
3 Penyegelan kantor Jemaah Front Umat Islam (FUI) 2011
Ahmadiyah dan JAI (Jamaah
Ahmadiyah Indonesia)
4 Penggrebekan diskusi Irshad Kelompok Islam liberal Mei
Manji di LKIS Banguntapan dan Majelis Mujahidin 2012
Indonesia
5 Penyerangan LP Cebongan Pemuda Nusa 2013
oleh kelompok Kopassus Tenggara Timur di
Jogja dan kelompok
Kopassus
6 Penyerangan dan pembubaran Front Jihad Islam dan 2013
pengajian Raudhatul Jannah kelompok pengajian
Kasihan Bantul Raudhatul Jannah
7 Penolakan peribadatan Kristen Front Umat Islam dan 2014
Jawa di Paliyan Gunung Kidul masyarakat Kristen
Jawa
8 Penyerangan dan Pengrusakan Kelompok Kristen dan 2014
rumah untuk peribadatan di kelompok keagamaan
Ngaglik Sleman Islam
9 Penyerangan dan pengrusakan Kristen dan kelompok Juni
Gereja di Panggukan Sleman agama yang tidak mau 2014
mengidentifikasi diri
(hanya bergamis)
Sumber: Surwandono, Penyusunan Software Deteksi DIni Konflik Sebagai
Piranti dan Dokumentasi Pencegahan Konflik Horizontal di
Indonesia, Riset Unggulan Perguruan Tinggi, DIKTI, 2014

18
Sistem Informasi dan Deteksi Dini Konflik

Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antara


masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Issue konflik yang
seringkali dominan dalam konflik horizontal adalah issue perebutan
distribusi sumberdaya ekonomi, politik, sosial budaya, keagamaan.
Lembaga Informasi Nasional (LIN) selama 5 tahun (dari 2000-2005)
melakukan penelitian terhadap konflik-konflik horizontal etnis di
Indonesia, baik di Papua, Poso, Ambon, Aceh, Sampit-Dayak, maupun
di Jawa Timur. Terdapat temuan yang menarik dari penelitian yang
dilakukan oleh LIN bahwa konflik horizontal yang berbasis di daerah
konflik sangat berhubungan erat dengan proses pemilihan kepala
daerah.66
Studi tentang ekskalasi konflik telah dilakukan secara sistematis
oleh Ted Guur. Tesis utama Ted Gurr adalah kekerasan sosial muncul
sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif, yakni terdapatnya
kesenjangan antara apa-apa yang diharapkan (expectation) dengan apa-
apa yang diperoleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan antara
ekspektasi dengan apa-apa yang diperoleh akan semakin besar pula
peluang terjadi konflik dan kekerasan.67 Ted Gurr juga mengembangkan
studi tentang early warning system dalam konflik, melalui intervensi
fihak ketiga untuk mengurangi celah kesenjangan tersebut.68 Intervensi
fihak ke 3 ini difahami sebagai kebijakan yang bersifat optional
manakala

66
Lihat lebih jauh dalam Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi:
Informasi Potensi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa (Nation and
Character Building), Jakarta, Deputi Bidang Pengkajian dan Pengembangan
Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional, 2004
67
Lihat tulisan Ted Robert Gurr, 1998, Minorities at risk. Washington, DC:
U.S. Institute for Peace
68
Lihat Ted Robert Gurr, 1998. Early warning of ethnopolitical rebellion: In
Preventive measures, Lanham, MD: Rowman & Littlefield, hal 35-47 atau
dalam Gurr, Ted Robert, and Barbara Harff. 1996. Early warning of
communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations University Press
dan Gurr, Ted Robert, and Mark Lichbach. 1986. Forecasting internal
conflict: A competitive evaluation of empirical theories. Comparative
Political Studies 19:3-38.

18
ekskalasi konflik sudah mencapai titik stalmate, di mana masing-
masing fihak yang berkonflik sudah saling melukai dan menghancurkan
fihak yang lain.
Terkait dengan eskalasi konflik yang kemudian mengarah
kepada kekerasan secara massal atau “war”, para penstudi konflik
memandang perlu melakukan membangun system deteksi dini (early
warning system) sebagai salah satu intrumen penting agar konflik
sosial yang terjadi tidak mengarah kepada perang. Sistem informasi
deteksi dini yang sistematis dan komperehensif, dapat membantu
merumuskan kebijakan yang tepat untuk melakukan de-eskalasi .
Penelitian yang dilakukan oleh J. Craig Jenkin dalam
membangun early warning system juga menggunakan data dari
PANDA. Jenkins, mengulas metode triple “C”, Conflict-Carrying
Capacity, sebagai metode yang bisa dipergunakan untuk membuat peta
konflik, dan meramalkan konflik yang akan terjadi selanjutnya.69 Studi
Jenkins ini mengadopsi dari pola early warning system dalam studi
kedokteran maupun bencana alam, dengan menganalogkan konflik
sosial sebagai sebuah gejala patologis yang senantiasa bergerak seperti
halnya penyakit dalam tubuh manusia, ataupun pergerakan bencana
alam.
Dalam studi Jenkins ditemukan bahwa konflik bisa dikelola
agar tidak berekskalasi secara vertikal dan horisontal melalui
peningkatan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, maupun lembaga-
lembaga penelitian untuk mendokumentasi pola-pola konflik di suatu
masyarakat, dengan mempelajari buku-buku sejarah konflik di suatu
masyarakat ataupun melakukan pengamatan konflik di suatu wilayah
yang kemudian bisa diperoleh lesson learned, yang kemudian
tersistematisasi dalam system informasi. Sederhananya, konflik bisa
diatasi manakala masyarakat dan pemerintah memiliki kapasitas untuk
membaca

69
J. Craig Jenkins, 2001, “Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis, and
Reconstruction: A Framework for the Early Warning of Political System
Vulnerability, Journal of Conflict Resolution Vol. 45 No. 1

18
pergerakan konflik. Dalam praktik pengelolaan eskalasi konflik para
penstudi konflik di Eropa dan Amerika Serikat berkecenderungan
menggunakan indeks konflik dan kekerasan yang disusun oleh the
Kansas Events Data System (KEDS)/ Protocol for the Analysis of
Nonviolent Direct Action (PANDA) data set that is based on Reuters
International Wire Service, atau Reuters Europe-North America,
yang mengunakan Lexus-Nexus). KEDS dikembangkan oleh Schrodt
semenjak 1994 dengan menyusun rangkuman data-data tentang
kekerasan dan konflik di dunia.
Penulis sudah melakukan inisiasi awal dalam studi early
warning system sebagai intrumen pencegahan terjadinya konflik
horizontal dalam pelaksanaan Pilkada langsung sedemikian
memprihatinkan. Dalam riset peneliti, Pilkada sebagai mekanisme
kontestasi konflik politik tidak dipersiapkan early warning system
yang baik di mana kebijakan untuk mencegah terjadinya eskalasi
konflik horizontal dalam Pilakada ternyata lebih banyak
mengedepankan pendekatan keamanan dan system informasi konflik
secara manual. 70 Pada sisi yang lain, penyelesaian konflik cenderung
menggunakan security approach sehingga hanya menciptakan
perdamaian sementara, atau sering dikenal dengan konsep negative
peace. Bukan tidak mungkin, penyelesaian menggunakan pendekatan
keamanan justru membuat konflik horisontal menjadi sangat akut dan
sulit terselesaikan. Bahkan lembaga-lembaga pengawas pemilu,
penyelenggara pemilu juga tidak memiliki instrument yang memadai
untuk melakukan pencegahan konflik dalam Pilkada, karena hanya
mengandalkan system normative hokum. Jika ada peserta pemilu yang
melanggar maka akan berhadapan dengan hokum. Hukum seakan bisa
mengatasi masalah secara komprehensif.

70
Surwandono, Penatalaksanaan Early Warning System Dalam
Pencegahan Konflik Horisontal Pada Pelaksanaan Pilkada Langsung di
Jawa Timur, Jurnal Sosial dan Ilmu Politik UMY, 2010

18
Maraknya eskalasi konflik horizontal di masyarakat perkotaan
Indonesia akhir-akhir ini berupa bentrokan berdarah antar masyarakat
dalam memperjuangkan kepentingannya sebagai bukti bahwa
pemerintah gagal dalam membaca dan mengantisipasi pergerakan
kekerasan dalam konflik horizontal. Eskalasi kekerasan yang tidak
dapat terbaca dengan baik, sangat mungkin disebabkan oleh
ketidakberadaan system informasi tentang early warning system yang
komprehensif. Sehingga kebijakan yang dirilis cenderung sebagai
kebijakan yang reaksioner, yang tidak dapat berkompetisi secara efektif
dalam pencegahan konflik.
Studi Ichsan Malik dapat dipergunakan sebagai konsepsi awal
membangun bagan sistem deteksi, seperti yang tercermin dalam
diagram berikut.
Gambar 2

Sumber: Ichsan Malik, Manual Pelatihan Pembangunan


Perdamaian dan Pencegahan Konflik, Jakarta, SERAP,
2006
Merujuk dari diagram, proses pembuatan sistem
peringatan dini dalamkonflik horisontal, dimulai dengan

19
melakukan identifikasi dan menilai indicator konflik horisontal yang
paling menonjol. Ke arah mana perdebatan konflik akan bergerak,
apakah akan diikuti dengan mobilisasi massa untuk dipergunakan
sebagai sarana bargaining.
Langkah kedua yang bisa dilakukan adalah dengan menilai
kemungkinan dan scenario konflik akan berkembang. Apakah akan
bergerak ke arah konfik vertical, horizontal, menggunakan kekerasan
terbatas, atau tidak terbatas, menggunakan besaran massa yang terbatas
atau massa yang besar. Kemampuan melakukan ekspektasi terhadap
perkembangan konflik, akan memungkinkan proses langkah ketiga akan
dapat berjalan dengan baik, yakni dengan mencari ruang maupun actor
yang dapat berperan untuk melakukan inisiatif damai sebagai bagian
dari proses pencegahan konflik secara dini.
Aktivitas keempat yang penting adalah bagaimana membangun
analisis antar interaksi factor konflik maupun factor perdamaian secara
berimbang. Dalam tahapan ini, proses assessment dilakukan secara
cermat dan diukur apa adanya sesuai dengan kondisi riil. Tidak boleh
ada asumsi untuk melakukan simplifikasi terhadap fenomena interaksi
konflik yang sedang berlangsung.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah analisis inisiatif
perdamaian, siapa stakeholdersnya, bagaimana kekuatan yang
dimilikinya, dan kapan harus direlease, di mana, dan dengan konstruksi
seperti apa. Kesalahan dalam melakukan framing perdamaian akan
berdampak aktivitas kampanye perdamaian menjadi tidak maksimal,
sehingga bukan melahirkan de-eskalasi konflik, namun bisa jadi malah
menyebabkan eskalasi konflik. Langkah-langkah dalam membangun
system antisipasi konflik membutuhkan pengelolaan issue konflik
melalui sistem informasi yang didesaian secara kolektif dari stakeholder
konflik sosial.

19
Dinamika Konflik Sosial Keagamaan di Yogyakarta

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki area seluas


2
..m yang terdiri dari 4 kabupeten, yakni Kabupaten Bantul, Sleman,
Gunung Kidul, Kulon Progo dan 1 kota yakni kota Yogyakarta. Secara
geografis, Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai daerah yang
memiliki topografis yang sangat beragam, dari yang berbasis
pegunungan, dataran rendah, sampai pantai. Area yang berbasis dataran
rendah yang subur sangat dominan dibandingkan dengan area pantai,
sehingga secara sosiologis Yogyakarta lebih memiliki tipologi
masyarakat agraris daripada masyarakat pantai. Merujuk dari tesis
Maurice Duverger, masyarakat agraris memiliki system sosial yang
lebih mengedepankan tata nilai harmoni dibandingkan dengan tata nilai
konflik.
Menurut data survey yang dikeluarkan oleh Badan
Kesbanglinmas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tercermin dalam
tabel berikut:

Tabel 18
Indeks Konflik SARA di level Kabupaten dan Kota Di
Propinsi DIY
No. Kabupaten Indeks
Konflik
1 Kota Jogjakarta 1.56
2 Gunung Kidul 1.31
3 Bantul 1.19
4 Kulon Progo 1.02
Sleman 1.05
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

Dari table di atas, kota Yogyakarta sebagai daerah yang memiliki


indek konflik SARA yang paling tinggi dibandingkan dengan 4
kabupaten lainnya, Indeks angka 1.56 bermakna bahwa derajat konflik
SARA dalam level sedang. Hal ini dapat difahami

19
terkait posisi sosial dan ekonomi kota Yogyakarta sebagai kota yang
mengarah kepada kota urban, yang seringkali berimplikasi dengan
intensifnya kompetisi antar kelompok dalam masyarakat. Yang cukup
menarik posisi indeks SARA kabupaten Gunung Kidul yang menempati
urutan kedua yang mencapai angka 1.31, secara sosial dan ekonomi,
kabuapaten Gunung Kidul terkategorikan sebagai daerah yang berbasis
pegunungan kars yang tandus. Penduduk Gunung Kidul ada
kecenderungan melakukan aktivitas boro yakni meninggalkan daerah
kelahiran secara harian, atau periode bulanan bahkan tahunan untuk
mencari pekerjaan di luar kabupaten Gunung Kidul.
Terkait dengan factor penyebab konflik SARA, terdapat sebuah
fakta yang jelas bahwa konflik SARA di kota Yogyakarta banyak
disebabkan oleh politisasi SARA oleh elit sosial- keagamaan dan
politik. Issue SARA justru menjadi komoditas yang produktif bagi elit
untuk mempertahankan posisi sosial, ekonomi dan politiknya dalam
masyarakat. Fenomena ini agak aneh karena biasanya pola
instrumentasi konflik, biasanya terjadi di basis masyarakat agraris di
mana rasionalitas politik, sosial, dan keagamaan ditentukan oleh pilihan
elit. Fenomena inilah yang perlu dilakukan kajian lebih mendalam
mengapa masyarakat Yogyakarta yang memiliki indeks literasi yang
tinggi, namun dalam orientasi sosial keagamaan masih menghormati
pilihan-pilihan pemimpin dibandingkan dengan pilihan rasional sendiri.
Tabel 19
Penyebab Konflik SARA di Kota Jogjakarta

Fanatisme golongan 4 0.1


Pemimpin sosial yang temperamen 5 0.125
Kecemburuan ekonomi dan sosial 3 0.075
Politisasi SARA 28 0.7
Kombinasi antar factor 0 0
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

19
Agak berbeda dengan di kota Yogyakarta, indeks konflik SARA
di kabupaten Gunung Kidul lebih banyak disebabkan oleh kombinasi
antar factor, yakni factor fanatisme golongan, pemimpin sosial yang
temperamental, maupun politisasi sara yang mencapai angka 53%.
Namun yang harus dicermati justru, politisasi SARA di masyarakat
Gunung Kidul justru rendah dalam kontribusinya terhadap konflik.
Justru factor fanatisme golongan yang menjadi factor yang perlu
diperhatikan secara serius.Sebagaimana di ketahui, Gunung Kidul
merupakan daerah yang menjadi target penyebaran dan dakwah agama,
sehingga seringkali melahirkan friksi antar golongan. Lebih jauh lihat
dalam table no 3 tentang peristiwa konflik SARA di Yogyakarta.

Tabel 20
Penyebab Konflik SARA di Kabupaten Gunung Kidul
Fanatisme golongan 15 0.277778
Pemimpin sosial yang temperamen 1 0.018519
Kecemburuan ekonomi dan social 7 0.12963
Politisasi SARA 1 0.018519
Kombinasi antar factor 29 0.537037
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

Bagaimana dengan penyebab konflik SARA di kabupaten Bantul


? Ada sebuah pola yang jelas sebagaimana pola di Yogyakarta di mana
prosentase tertinggi bagi terciptanya konflik SARA sangat ditentukan
oleh fanatisme golongan yang mencapai angka 66%. Dalam beberapa
kejadian konflik SARA di kabupaten Bantul lebih banyak diwarnai
kompetisi dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU
dan Muhammadiyah, meskipun level konfliknya masih dalam derajat
rendah. Konflik lintas agama cenderung jarang terjadi di kabupaten
Bantul.

19
Tabel 21
Penyebab Konflik SARA di Kabupaten Bantul

Fanatisme golongan 33 0.66


Pemimpin sosial yang temperamen 2 0.04
Kecemburuan ekonomi dan sosial 10 0.2
Politisasi SARA 5 0.1
Kombinasi antar factor 0 0
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

Penyebab konflik SARA di kabupaten Kulon Progo memiliki


kemiripan pola dengan penyebab konflik SARA di kabupaten Gunung
Kidul, di mana konflik lebih banyak disebabkan oleh kombinasi antar
faktor dibandingkan dengan sebab-sebab yang definitif. Pola ini harus
dilacak lebih jauh, untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat
terkait dengan fenomena konflik SARA di Kulon Progo.
Tabel 22
Penyebab Konflik SARA di Kabupaten Kulon Progo

Fanatisme golongan 4 0.114286


Pemimpin sosial yang temperamen 0 0
Kecemburuan ekonomi dan sosial 0 0
Politisasi SARA 0 0
Kombinasi antar factor 31 0.885714
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang sedang


mengalami transformasi sosial ekonomi dan keagamaan, namun ada
gejala yang aneh di mana birokrasi sipil dan keamanan yang memiliki
tugas pokok dan fungsi untuk menciptakan tertib sipil justru tidak
bersedia menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan. Hal ini
tercermin hanya 11 orang yang bersedia menjawab dari total jumlah
responden sebanyak 40 orang.

19
Feneomena ini menjadi penting untuk dilacak lebih jauh. Dari data yang
ada, fanatisme golongan menjadi faktor yang berkontribusi besar bagi
lahirnya konflik SARA di kabupaten Sleman.
Tabel 23
Penyebab Konflik SARA di Kabupaten Sleman

Fanatisme golongan 6 0.545455


Pemimpin sosial yang temperamen 2 0.181818
Kecemburuan ekonomi dan sosial 0 0
Politisasi SARA 1 0.090909
Kombinasi antar factor 2 0.181818
Sumber: Badan Kesbanglinmas DIY, 2013

Gambar 3
Peta Konflik SARA Di Kota Yogyakarta

19
Gambar 4
Peta Konflik di Kota Yogyakarta

Gambar 5
Peta Konflik di Kabupaten Bantul

19
Gambar 6
Peta Konflik di Kabupaten Kulon Progo

Gambar 7
Peta Konflik di Kabupaten Sleman

19
Arti Penting Sistem Informasi Konflik Bagi Pemerintah
Propinsi DIY
Sejumlah Negara di Amerika dan Eropa sudah secara serius
mengelola data konflik sosial dengan sistematis. Dalam praktik
pengelolaan eskalasi konflik para penstudi konflik di Eropa dan
Amerika Serikat berkecenderungan menggunakan indeks konflik dan
kekerasan yang disusun oleh the Kansas Events Data System
(KEDS)/ Protocol for the Analysis of Nonviolent Direct Action
(PANDA) atau Reuters Europe-North America, yang mengunakan
Lexus-Nexus). KEDS dikembangkan oleh Schrodt semenjak 1994
dengan menyusun rangkuman data-data tentang kekerasan dan konflik
di dunia. Pengelolaan data konflik secara serius ini berimplikasi positif
terhadap terkelolanya sejumlah konflik sosial di Eropa dan AMerika
secara efektif. Hal ini ditandai dengan rendahnya indeks konflik sosial
di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat di tingkat nasional.71
Beranjak dari pemikiran tersebut pemerintah propinsi DIY telah
melakukan sejumlah aktivitas pengelolaan data secara konflik melalui
dua aktivitas besar dalam 2 tahun terakhir. Pertama, melakukan survey
pemetaan konflik pada tahun 2013 sesuai dengan perintah UU No. 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial di seluruh kecamatan
yang berjumlah 78 kecamatan di wilayah propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta yang bekerja sama dengan program Magister Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas Pasca Sarjana UMY. Dari program
ini, pemerintah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah memiliki
peta konflik secara definitive dengan cluster konflik SARA, konflik
industrial, konflik pertanahan, konflik perbatasan dan konflik terorisme.
Kedua, melakukan penyusunan software peta konflik

71
Merujuk Peace Barometer Index, indeks perdamaian Negara Negara Eropa
berada di bawah 20 terbesar, Amerika Serikat berada di nomor 88, hal ini lebih
disebabkan tingginya kontribusi Amerika Serikat terhadap sejumlah konflik di
luar Amerika Serikat. Lihat lebih jauh dalam Peace Barometer Index 2012.

19
sosial dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi, yang bertujuan
untuk menyediakan piranti software elektronik bagi stakeholder konflik
di tingkat kecamatan, seperti kepolisian resort (Polres), Komando
Resort Distrik Militer (Koramil), dan kecamatan. Software ini akan
diiisi oleh para pejabat terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,
dan menyatakan integritas atas kebenaran isian survai, serta melakukan
validasi dalam bentuk mengupload dokumen tersebut ke system
informasi.
Pemerintah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta melalui
Badan Kesbanlinmas memiliki sejumlah pertimbangan penting
sebelumnya akhirnya memutuskan kebijakan untuk mengelola data
konflik secara sistematis:
Pertama, Data konflik terdokumentasi. Hal ini terkait dengan
banyak data konflik yang dimiliki secara sektoral, yang tidak bisa
diakses oleh SKPD yang lain. Semisal data konflik yang dimiliki oleh
intelejen Polri sangat eksklusif untuk kepentingan system tugas
pokok dan fungsi dari Polri, demikian juga yang dimiliki oleh TNI juga
sulit diakses oleh SKPD yang lain dengan menggunakan argumentasi
besar bahwa data tersebut dalam kluster “rahasia”.72 Data konflik yang
selama ini dihimpun cenderung data kasus bukan data agregat dalam
suatu peristiwa konflik, yang kurang mengakomodir terhadap variable
waktu maupun actor yang lain, di mana secara sosiologis sesungguhnya
memiliki kontribusi bagi lahirnya suatu konflik. Data yang dikelola
dengan system informasi memungkinkan disistimasisi bagi
keperluaan pengambilan
kebutusan secara strategis dan bertanggung jawab.
Kedua, adanya kepastian ketersediaan data. Sistem informasi
mengharuskan semua fihak yang memiliki tugas pokok dan fungsi
untuk melaporkan data konflik secara regular (sesuai dengan kebutuhan)
baik menggunakan termin satu semester atau satu tahun berjalan.
Ketersediaan data memungkinkan untuk

72
Ungkapan ini muncul dalam forum FGD yang dilakukan Badan
Kesbanglinmas DIY dengan mengundangka kalangan polisi, TNI, tokoh
masyarakat yang tergabung dalam FKDM Yogyakarta.

20
membuat dan membaca pola konflik (baik dari penyebab konflik, gaya
konflik, dan eskalasi konflik) melalui analisis SAT (structural,
accelerator dan tigger) secara sistematis.
Ketersediaan data informasi seputar penyebab konflik,
memungkinkan para pengambil keputusan mengetahui secara persis
factor penyebab, pemacu dan trigger secara terukur. Selama ini ada
kecnderungan yang sering terekslorasi hanya penyebab konflik di
tingkat permukaan saja. Dengan dokumentasi data secara continue maka
akan terbaca pola secara jelas, mana factor penyebab utama, mana
factor pemicu dan mana factor pemacunya. Termasuk di dalamnya peta
gaya konflik dalam masyarakat, apakah gaya konflik yang dipilih
mempergunakan gaya Bulldog (gaya menyerang), ataukah gaya Rabbits
(hanya sembunyi-sembunyi), gaya Chamelon (mengakomodasi) ataukah
dengan gaya Bee (yang mengedepankan integrasi dan kerjasama).73
Ketiga, Sistem informasi pengelolaan konflik sosial akan
memungkinkan pemerintah daerah melakukan dokumentasi konflik
secara efisien dan produktif, seperti data konflik terinput dengan cepat
dan real time. Begitu data terinput maka secara otomatis system
informasi akan melakukan pengolahan secara tehnis sesuai dengan
kebutuhan pengambilan keputusan tentang konflik. Sistem informasi
juga memungkinkan untuk membangun data konflik dengan system
partisipatoris dari bawah. Input data dari bawah akan memungkinkan
akurasi data akan lebih shahih dibandingkan dengan input data yang
dilakukan oleh tim survai, yang di samping mahal juga tidak mampu
memotret secara jelas. Pengalaman melakukan survai indek konflik di
propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2013, banyak SKPD
melakukan penolakan pengisian data survai karena alasan-alasan

73
Lihat dalam Jonamay Lambert, and Selma Myers, 50 Activities for Conflict
Resolution Group Learning and Self Development Exercises, Amharest,
Human Resource Development Press, Inc, 1999

20
substantive berupa kekhawatiran terhadap reward dan punishment
terhadap kemungkinan penyelewengan hasil survai. Mengsisi sendiri
secara bertanggungjawab akan membangun budaya jujur dan kepatuhan
kepada system yang sedang dibangun secara demokratis. Memang pada
saat pertama, ada kecenderungan para admin akan mengisi dengan data
yang aman, namun dengan system validasi yang sistematis pada
akhirnya para admin dan SKPD tersebut tidak ada pilihan lagi untuk
mengisi dan menginput data secara benar.
Keempat, data konflik akan dapat didayagunakan secara
produktif untuk kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Dalam konteks
studi konflik yang menggunakan pendekatan instrumentalistik,
kepemilikan terhadap data konflik secara eksklusif adalah bagian dari
modal sosial kelompok masyarakat untuk melakukan bargaining
kekuasaan. Seorang yang memiliki kekuasaan dalam mengendalikan
data konflik, akan memberikan keuntungan besar untuk dipertukarkan
baik untuk keuntungan materi maupun non materi. Keberadaan data
konflik yang disajikan oleh system informasi menjadi sebuah data
public yang dapat dipergunakan untuk kepentingan public. Tidak lagi
perdagangan data konflik yang ditransaksikan kepada fihak lain,
sehingga data konflik benar-benar akan memberikan manfaat bagi
public secara luas.

Beberapa Lesson Learned


Setelah melakukan serangkaian aktivitas penelitian terdapat beberapa
hal yang menjadi catatan penting dalam kegiatan Penyusunan Indeks
dan Peta Konflik di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
berikut:
Di tingkat Proses Pengambilan Data
Pertama, Proses penyusunan indeks dan peta konflik di propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta melalui penelitian yang komprehensif
dengan melibatkan stakeholder yang memiliki informasi yang dapat
dipercaya, dan memiliki otoritas untuk menyampaikan informasi ke
public. Pilihan untuk menempatkan

20
informasi dari birokrasi sipil di kecamatan, birokrasi keamanan dan
tertib sosial di Polsek, maupun tokoh informal di kecamatan sebagai
upaya untuk memperoleh informasi yang valid dan realible.
Kedua, Proses memperoleh data dengan melakukan wawancara
langsung dengan responden, merupakan upaya agar para responden
tidak memberikan informasi secara datar dan tidak akurat.
Ketiga, Terdapat beberapa responden di kecamatan tertentu cenderung
memberikan jawaban yang relative protektif, dan tidak memberikan
jawaban sama sekali. Kasus ini banyak muncul di kabupaten Sleman.

Di tingkat Penyusunan Indeks

Pertama, Penyusunan indeks konflik disusun dengan


menggunakan skala 4, dengan tujuan untuk mengindetifikasi konflik
untuk lebih memudahkan memahami kategorisasi tingkat konflik, dari
rendah, sedang, agak tinggi dan tinggi. Kedua, Penyusunan indeks
konflik dilakukan secara berjenjang dan akumulatif. Dalam arti untuk
mengetahui indeks konflik di satu kecamatan maka harus dikumpulkan
indeks konflik dari 3 responden, untuk mengetahui indeks konflik dari
kabupaten maka harus dikumpulkan dari indeks konflik di semua
kecamatan, demikian pula untuk mengetahui indeks konflik propinsi
maka dikumpulkan dari indeks konflik dari semua kabupaten dan kota.
Ketiga, Penyusunan indeks konflik dibagi dalam kluster/kelompok
yang bisa dipergunakan secara mudah, seperti kluster indeks konflik
kecamatan, kabupaten, propinsi, SARA di kecamatan, SARA di
kabupaten, SARA di propinsi dan sebagainya.

20
Tindak Lanjut
Pertama, Untuk mendapatkan indeks konflik yang lebih valid
perlu kiranya dengan melakukan studi kualitatif dengan basis
masyarakat sebagai sarana mengkonfirmasi dokumentasi data yang
dikoleksi oleh birokrasi pemerintah. Kedua, Data indeks dan peta
konflik akan lebih produktif, jika kemudian diolah dalam suatu system
infomasi yang sistematis, customized sehingga memudahkan bagi
semua stakeholder untuk melakukan pengambilan keputusan terkait
dengan konflik secara produktif dan efisien.

KESIMPULAN
Sistem informasi konflik merupakan sebuah upaya sistematis untuk
mengelola konflik secara produktif. Konflik dalam batas tertentu
menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa, beragama dan
bernegara, namun dalam konteks tertentu konflik juga memiliki
kontribusi bagi lahirnya chaos maupun kekerasan.
Dalam era globalisasi dan demokratisasi, konflik sosial keagamaan telah
menempati posisi yang signifikan dalam masyarakat. Gesekan
kepentingan dan derasnya informasi yang tidak mampu dibendung oleh
system keagamaan maupun system kenegaraan akan memungkinkan
fenomena “rumor, kabar burung” sedemikian cepat untuk tersebar.
Demikian pula para kapasitas petualang konflik (kelompok elang) untuk
memperdagangkan konflik sosial keagamaan sedemikian agresif
dibandingkan kapasitas kelompok sosial yang mencintai perdamaian
(kelompok merpati). Agresivitas kelompok elang yang tidak diikuti
progresivitas kelompok merpati akan membuat konflik sosial
keagamaan akan tereskalasi secara massif.
Sistem informasi pengelolaan konflik akan memungkinakn pemerintah
dengan kelompok merpati untuk mengorganisir diri secara cepat dan
professional. Dan diharapkan mampu bersaing dengan kompetitif
dengan kelompok elang. Semakin pendulum perdamaian memberikan
insentif yang besar kepada masyarakat

20
maka semakin tidak efektif lagi jual beli konflik sosial keagamaan untuk
kepentingan elit dan kelompok tertentu. Wallohu A’lam.

20
BAGIAN III
CONTOH PENULISAN
PROPOSAL
SKRIPSI/TESIS/DISERTASI

20
Menulis proposal skripsi, tesis dan disertasi, merupakan puncak
penguasaan kompetensi akademik dalam jenjang tertentu. Sehingga
tugas akhir tersebut menjadi hantu di siang bolong, dan menimbulkan
sejumlah ketakutan-ketakutan yang seringkali tidak perlu terjadi. Dari
sakit-sakitan, malas-malasan, uring-uriangan, dan sejumlah gejala
psiko-somatis.
Yang paling penting untuk dipersiapkan dalam penulisan tugas akhir
adalah kesiapan mental bahwasannya penulisan tugas akhir adalah
bagian kecil dari capaian akademik. Semisal untuk S1, jumlah total SKS
dapat mencapai 144 SKS, di mana nilai SKS Skripsi tidak lebih dari 6-9
SKS, artinya Skripsi adalah hanya seperti mata kuliah biasa. Jangan
takut berlebihan. Demikian pula pada tesis, di mana alokasi total SKS
S-2 di Indonesia sekitar 9 SKS dari total keseluruhan sejumlah 42-45
SKS. Yang agak berbeda memang untuk jenjang S-3, di mana SKS
berbasis courses sangat sedikit, apalagi yang memilih S-3 dengan riset.
Kedua, konsisten untuk terus menulis, submit dan revisi. Terus menulis
dari gagasan kita yang sudah kita siapkan secara matang, diskusikan
dengan teman sejawat, dan beranilah untuk terus submit kepada dosen
pemimbing atau promotor. Jangan takut terhadap stigma revisi. Tetap
bangun komunikasi yang efektif dengan pembimbing, hormati para
pembimbing, karena di sinilah yang menjadi persoalan serius. Tugas
akhir adalah komunikasi privat antara pembimbing dengan yang
dibimbing. Dibutuhkan sebuah keterpaduan dan keserasian dalam
memandang suatu persoalan.
Setelah mendapatkan persetujuan untuk maju dalam siding ujian,
hadapilah ujian tersebut dengan riang. Persiapkan semua naskah,
argument, dan sejumlah alat pendukung lainnya. Jangan lupa

20
untuk terus melantunkan doa, agar dalam ujian diberikan
kemudahan dan kelancaran. Insya Alloh berkah.

20
CONTOH PROPOSAL DISERTASI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Konflik Mindanao merupakan konflik yang sangat tua dan
klasik, yang melibatkan penduduk Mindanao dengan penduduk di luar
Mindanao. Dinamika konflik Mindanao berawal dari perlawanan
penduduk Mindanao terhadap upaya kolonialisasi oleh Spanyol yang
telah berhasil menguasai kepulauan Luzon dan hendak meluaskan
wilayah pengaruhnya ke bagian selatan Luzon di abad 15 M.
Pada periode berikutnya, konflik Mindanao kembali
menunjukkan momentum yang dinamis ketika transisi regim kolonial
Spanyol ke regim Amerika Serikat menjelang perang dunia ke II. Pada
periode awal kolonialisasi Amerika Serikat di Filipina pada 1898, sikap
etnis Mindanao terhadap Amerika Serikat berbeda dengan regim
Spanyol, dengan menunjukkan sikap yang bersahabat dan kooperatif.74
Amerika Serikat cenderung tidak mempersoalkan identitas Islam
sebagai identitas cultural yang harus diganti dengan identitas yang baru,
sebagaimana yang dikembangkan oleh pemerintah colonial Spanyol.
Bahkan para datus sebagai representasi pemimpin politik dan budaya di
masyarakat Mindanao diberikan hadiah dan tidak diusik keberadaannya.
Hubungan antara masyarakat Islam di Mindanao dan Amerika
Serikat menunjukan pola konfliktual di tahun 1926, tatkala Amerika
Serikat melakukan kebijakan yang dikenal dengan Bacon Bill. Bacon
Bill merupakan kebijakan untuk mempersiapkan Negara baru di
Filipina dengan mengabungkan masyarakat di

74
Bahkan sikap kooperatif ini ditunjukkan dengan kerelaan oleh kasultanan
Mindanao untuk dimasukkan dalam wilayah otoritas Amerika Serikat di Asia
Tenggara. Lihat opsi kooperatif ini dalam ini dalam Cesar Adib Majul,
Dinamika Islam Filipina, Jakarta, LP3ES, 1996

20
Utara (kepulauan Luzon) dan masyarakat di selatan (kepulauan
Mindanao) dengan pusat pemerintahan di Luzon. Para Datus di
Mindanao melakukan protes keras terhadap Bacon Bill dengan
mengirim petisi agar Bacon Bill tersebut dibatalkan, dan wilayah
Mindanao menjadi protektorat Amerika Serikat sampai masyarakat
Mindanao telah siap menjadi Negara merdeka. Namun pemerinth
Roosevelt terus melanjutkan program Bacon Bill di mana kemudian
wilayah Mindanao menjadi wilayah administrative dan politik dari
Filipina.
Pasca kemerdekaan Filipina, 4 Juli 1946, konflik Mindanao
terjadi antara pemerintah Filipina dengan masyarakat Mindanao.
Kebijakan pemerintah Filipina Manuel Quezon yang hendak
menghapuskan struktur budaya, hukum dan politik dan diganti dengan
struktur hokum,budaya dan politik yang berbasis hokum positif di
Filipina. Pilihan kebijakan Manuel Quezon ini mendapatkan perlawanan
keras dari para datus di Mindanao karena difahami akan mengancam
legitimasi para datus maupun mengancam identitas Islam yang sudah
berakar di Mindanao semenjak abad ke 15.75
Periode paling krusial konflik antara pemerintah Filipina
dengan masyarakat Mindanao adalah pada masa presiden Marcos antara
tahun 1968-1972. Dalam periode ini, respon pemerintah Filipina
terhadap keinginan masyaraat Mindanao untuk melakukan pemisahan
diri, cenderung menggunakan pendekatan represif. Beragam penyiksaan,
pembunuhan, ataupun mengirim pasukan sipil, dalam hal ini etnis Ilaga
untuk membantai masyarakat Mindanao cenderung menjadi kebijakan
pokok dengan diberlakuannya Martial Law.76
Peristiwa yang paling meninggalkan trauma dan kebencian
masyarakat Mindanao terhadap kebijakan pemerintah Filipina

75
Cesar Adib Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta, LP3ES, 1987,
hal.18-20
76
Lihat lebih jauh dalam Cesar Adib Majul, Muslim in the Phlippines, 2d ed,
Quezon City, University of the Philippines Press, 1973.

21
adalah tragedi Jabidah. Dalam tragedi ini, pemerintah Filipina
membunuh sejumlah 60 orang Mindanao, yang kesemuanya adalah
Muslim yang direkrut oleh pemerintah Filipina untuk melakukan
infiltrasi ke Sabah. Setelah mengetahui misi dari perekrutan ini untuk
menyerang Sabah, maka semua yang direkrut melakukan penolakan.
Pemerintah Marcos menganggap penolakan ini sebagai bentuk
perlawanan masyarakat Mindanao terhadap kekuasaan pemerintah
Filipina.77
Respon terhadap tragedi Jabidah dan pemberlakuan Martial
Law yang semakin memarginalkan masyarakat Mindanao pada awalnya
cenderung disikapi oleh para elit tua (Sultan di Mindanao) dengan cara-
cara kultural dan ekonomi. Dalam pandangan para sultan Mindanao
peristiwa ini tidak lepas dari persoalan mis-komunikasi ataupun salah
pengertian akibat perbedaan budaya. Namun analisis dari Samuel Tan
maupun Patricio Abinales, maupun Majul, respon akomodatif ini
disinyalir sebagai akibat pemberian konsesi ekonomi, budaya dan
politik pemerintah Filipina terhadap para Sultan di Mindanao.78
Berbeda dengan elit kasultanan Mindanao yang cenderung
akomodatif, Nur Misuari sebagai elit Mindanao yang berasal dari etnis
Tausug dan memiliki wawasan pendidikan yang tinggi sebagai seorang
Professor di Universitas Filipina, menolak politik akomodasi dan
pemberian konsesi. Misuari menganggap bahwa konflik Mindanao
sebagai konflik yang bersifat rasial karena telah terjadi politik genosida
terhadap komunitas Muslim. Konflik Mindanao telah menempatkan
etnis Islam menjadi korban utama dari kebijakan pemerintah Filipina,
sehingga Misuari mengajak

77
Lihat lebih jauh peristiwa Jabidah ini dalam ibid., atau dalam Eric Gutierrez
and Saturnino Bortas, Jr, “The Moro Conflict: Landlessness and Misdirected
State Policies”, Policy Studies 8, East-West Center. Washington, 2004
78
Lihat dalam Tan Samuel K, Decolonization and Filipino Muslim Identity,
Quezon City, Departmen of History, UPI Diliman, 1989. Lihat juga dalam
Patricio Abinales, Mages of State Power: Essays on Philippine Politics
from Margin, Quezon City, University of Phillpines, 1998.

21
kepada komunitas Islam internasional untuk memperhatikan masalah ini
secara serius. Misuari juga meminta kepada seluruh datus di Mindanao
untuk bersatu padu untuk mendesak pemerintah Filipina untuk
menghentikan genosida, diskriminasi, marginalisasi masyarakat Muslim
di Mindanao dengan mengeluarkan Manifesto Moro yang kemudian
menjadi embrio lahirnya organisasi pembebasan Moro (Moro National
Liberation Front).
MNLF tidaklah hanya menjadi organisasi politik masyarakat
Mindanao namun menjadi organisasi dengan kemampuan militer. Pada
periode awal, MNLF memiliki combatan yang berjumlah lebih dari 10
ribu orang, yang kemudian secara periodik mendapatkan pelatihan
kemiliteran di Libya. Nur Misuari merupakan tokoh Mindanao yang
mendapatkan pelatihan militer gelombang pertama yang dikenal dengan
“Top 90”. Salamat Hashim (yang kemudian mendirikan MILF –Moro
Islamic Liberation Front) dan Muhammad Ibrahim Murrad,
mendapatkan pelatihan militer pada gelombang kedua, yang dikenal
dengan “gelombang 300” yang dilatih secara kemiliteran di Penang,
Malaysia. Pasca 1976, Libya memainkan peran aktif dalam pemberian
asistensi kemiliteran kepada gerilyawan Moro, baik di Libya, Suriah,
Pakistan sebagai medan pelatihannya.
Konflik antara pemerintah Filipina dengan masyarakat
Mindanao kemudian menjadi konflik bersenjata (armed conflict).
Dalam konflik bersenjata ini telah menyebabkan lebih dari 120.000
orang terbunuh, 55.000 orang terluka, menghabiskan anggaran militer
Filipina sampai 40% per tahun senilai lebih dari 73 milyar Peso, 30%
budget Angkatan Udara, 40% budget Angkatan Laut, dan 60% budget
Angkatan Darat dialokasikan ke Mindanao.79

79
Lihat dalam Carolina G. Hernandez, “Contextualizing Armed Conflicts in
Southeast Asian Region”, dalam Ed Garcia (ddk), Waging Peace in The
Philippines: Looking Back and Moving Forward, Conference Proceeding
10-12 Desember, 2002, hal. 46-48, lihat juga Jamail A. Kamlian, “Ethnic
and religious Conflict in Philippines: The Moro Experience”, dalam Lambang
Trijono (ed.), The Making of Ethnic

21
Internasionalisasi konflik di Mindanao oleh MNLF
menghasilkan respon serius dari masyarakat internasional, khususnya
dari Dunia Islam. Beberapa negara yang kemudian secara intensif dalam
melakukan komunikasi intensif dengan pemerintah Filipina dan
kelompook perlawanan MNLF adalah Libya, Arab Saudi dan Indonesia
untuk menyelesaikan konflik Mindanao. di tingkat Organisasi
Internasional, OKI merupakan organisasi memainkan peran yang sangat
signifikan dalam memediatori penyelesaian konflik, dari proses
menyiapkan perjanjian dan implementasi perjanjian dibandingkan
Amerika Serikat, ASEAN dan PBB.
Serangkaian perjanjian kemudian dilakukan antara pemerintah
Filipina dengan perwakilan Mindanao yang diwakili oleh MNLF
dengan mediator dari OKI dan negara-negara muslim seperti Libya,
Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Jordania.80 Perjanjian yang pertama
antara pemerintah Filipina dengan Kelompok Perlawanan Moro adalah
Tripoli Agreement 1976 yang dilaksanakan di Libya. Tripoli
Agreement menghasilkan dua hal pokok; pertama, pembentukan
pemerintahan otonomi di wilayah Filipina Selatan dalam lingkungan
kedaulatan dan teritorial Filipina. Kedua, wilayah otonomi Moslem di
Filipina Selatan meliputi : Basilan , Sulu , Tawi-Tawi , Zamboanga del
Sur, Zamboanga del Norte, North Cotabato , Maguindanao, Sultan
Kudarat, Lanao del Norte, Lanao del Sur, Davao del Sur, South

Religious Conflict in Southeast Asia: Case and Resolution, Yogyakarta,


CSPS Book, 2004, hal. 89-90
80
Yang sangat aktif dalam proses mediasi adalah Libya, sebagai basis
networking pertama dari Misuari, Aljazair, Arab Saudi-Yordania, sebagai basis
dari networking Salamat Hashim (wakil ketua MNLF) yang kemudian
membuat faksi MILF pasca Final Agreement MNLF dengan Pemerintah
Filipina. Serta negara muslim di Asia tenggara seperti Indonesia dan Malaysia
yang mulai aktif dalam dekade 1990-an. Lihat dalam Solimon M. Santos,Jr,
“The Philippines-Muslim Dispute: International Aspects from Origin to
Resolution, “ makalah Seminar dalam Hague Convention for The Pacific
Settlement of International Disputes.

21
Cotabato, Palawan, semua kota dan desa yang berada di wilayah
tersebut.81
Pasca Tripoli Agreement 1976, konflik tampak mulai mereda
antara pemerintah Filipina dengan MNLF. Namun konflik internal
dalam tubuh MNLF justru meningkat, hal ini ditandai dengan timbulnya
faksionalisasi yang sangat kuat di Moro dengan lahirnya faksi baru
MILF (Moro Islamic Liberation Front) yang kecewa terhadap isi
Tripoli Agreement dan menganggap MNLF terlalu akomodatif dan
tidak mencerminkan aspirasi Moro.82 Tidak hanya itu saja, faksionalisasi
di Moro juga semakin melebar dengan munculnya kelompok Abu
Sayyaf Group (ASG), yang cenderung menggunakan cara kekerasan
berupa penculikan, ataupun panyanderaan dalam menjalankan aksi
politiknya.
Kekerasan politik antara pemerintah Filipina dengan kelompok
perlawanan Moro kembali menguat tatkala pemerintah Marcos
melakukan plebisit secara sefihak untuk 13 wilayah tersebut guna
menentukan wilayah mana yang akan bergabung ke regim otonomi
Mindanao. Hasilnya cukup mengecewakan MNLF karena dari 13
wilayah tersebut hanya 4 yang bersedia bergabung. Bagi MNLF
kebijakan ini tidak sejalan dengan semangat Tripoli Agreement di
mana 13 wilayah tersebut secara eksklusif langsung masuk di
pemerintahan otonomi Mindanao. Kondisi ini menyebabkan MNLF
kembali mempergunakan instrumen militer untuk menuntut
implementasi Tripoli Agreement 1976 dan kembali mengusung lagi
ide-ide pemisahan diri.
Untuk menyelesaikan konflik Mindanao secara komprehensif
maka dirancanglah sebuah Final Peace Agreement. Rancangan
negosiasi ini dipersiapkan secara cermat baik oleh pemerintah Filipina
dan negara-negara Muslim seperti Indonesia,

81
Lihat dalam Tripoli Agreement 1976
82
Lihat dalam statemen Salamat Hashim dalam Nida'ul Islam April-May 1998,
atau dalam http://www.islam.org.au yang diunduh pada 9 November 2009

21
dan Libya yang difasilitasi oleh Organisasi Konferensi Islam.
Organisasi Konferensi Islam juga menyiapkan fasilitasi yang lebih
komprehensif agar kegagalan impelementasi Tripoli Agreement 1976
tidak terulang lagi. Serangkaian pendekatan dilakukan OKI dan
fasilitator untuk mengajak Nur Misuari ataupun pemerintah Filipina
agar mau kembali ke meja perundingan guna menyelesaikan konflik
Mindanao.83
Setelah melalui beberapa tahap persiapan perjanjian, baik yang
dilakukan pada era Corazon Aqunno yang melahirkan Jeddah Accord,
3 Januari 1987, yang menghasilkan pemerintah otonomi Moro
(Autonomous Region for Moro). ARMM berhak mengelola wilayah
otonomi secara penuh kepada lima propinsi besar yakni Sulu, Basilan,
Tawi-Tawi, Maguindano, Palawan, maka jalan perdamaian kembali
terbuka.
Pertemuan yang juga berperan bagi persiapan Final Peace
Agreement adalah pertemuan ke 20 ICFM di Istambul dan Summit
Meeting Organisasi Konferensi Islam, Desember 1991 di Senegal yang
meminta pemerintah Filipina dan MNLF untuk melanjutkan perjanjian
damai. Dalam pertemuan ini, usulan Misuari untuk kembali
mengusulkan melakukan pemisahan diri ditolak forum, sebab dalam
banyak hal pemerintah Filipina pasca regim Marcos jauh lebih
menunjukan apresiasi terhadap masalah Mindanao.
Tahap persiapan Final Peace Agreement mulai menunjukkan
kemajuan yang signifikan pasca pertemuan Nur Misuari dan Ramos di
Jakarta, April 1993 dan Desember 1995. Muamar Khadafi dan Suharto
dalam pertemuan tersebut sangat berperan untuk mengajak Misuari agar
tetap menggunakan jalan damai dalam memperjuangkan masyarakat
Mindanao. Sebagai fasilitator, Organisasi Konferensi Islam sangat
optimistis bahwa proses penyelesaian konflik Mindanao melalui
negosiasi akan

83
Lihat paket pertemuan menjelang Final Peace Agreement 1996 yang
mencapai sampai 80 kali pertemuan baik formal maupun informal, Abraham
‘Abet Iribani, Give Peaca A Chance: The Story of GRP-MNLF Peace
Talks, Mandaluyong City, The Philippines Council for Islam and Democracy,
2007

21
berhasil dengan baik. Hal ini ditandai dengan sikap kooperatif
pemerintahan Fidel Ramos, yang direspon positif dalam Final
Statement Summit Organisasi Konferensi Islam di Maroko.
Proses perundingan mengalami dinamika, baik di dalam politik
di Mindanao maupun politik di Manila. Kelompok-kelompok pro
perang atau yang dikenal dengan kelompok elang (hawkish group)
berusaha menggagalkan upaya perundingan damai tersebut. Bentrokan
fisik antara MNLF, MILF dan Abu Sayyaf dengan militer Filipina terus
berlangsung, demikian juga penolakan dari kalangan gereja Kristen
Filipino di Mindanao dan Manila juga semakin artikulatif tatkala
pemerintah Filipina mulai bersedia memberikan konsesi yang berarti
kepada pemerintahan otonomi Mindanao secara luas, bahkan
pemerintah Filipina pada 2 Agustus 1996 menyepakati pengintegrasian
7500 kombatan dari MNLF untuk menjadi tentara dan polisi Filipina.
Akhirnya pada 2 September 1996, Final Peace Agreement
sebagai hasil negosiasi panjang semenjak tahun 1992, berhasil
disepakati oleh kedua belah fihak yang berkonflik, dengan
ditandatanganinya dokumen hasil negosiasi oleh Nur Misuari yang
mewakili MNLF dan Fidel Ramos yang mewakili pemerintah Filipina.
Proses penandatangan Final Peace Agreement 1996, dengan
disaksikan oleh menteri luar negeri Indonesia Ali Alatas dan Sekretaris
Jendral Organisasi Konferensi Islam, Hamid Algabid.
Respon terhadap penandatanganan penyelesaian konflik
Mindanao dalam formula Final Peace Agreement 1996, sangat
bervariasi. Kalangan akademis Filipina, Alex Mano, seorang professor
ilmu politik dari Universitas Filipina menyatakan bahwa dengan Final
Agreement 1996, MNLF akan mendapatkan penyelesaian politik tanpa
harus kehilangan muka dan kehormatan. Bagi pemerintah Filipina,
perjanjian ini akan mengubah stigma Mindanao sebagai pintu masuk
investasi asing ke Filipina, dan bagi masyarakat Mindanao, Final
Peace Agreement 1996 akan mengubah peta Mindanao dari daerah
konflik menjadi daerah yang stabil, sehingga bisa memberikan

21
ruang investasi asing yang lebih besar yang bermanfaat bagi
peningkatan kesejahteraan Mindanao, dan Moro pada khususnya84.
Ali Alatas sendiri dalam kata sambutannya menyatakan bahwa
Final Peace Agreement 1996 merupakan sebuah langkah
komprehensif untuk menyelesaikan konflik Mindanao. Dengan
memberikan garis bawah bahwa keberhasilan Final Peace Agreement
ini sangat tergantung oleh implementasi dari Agreement ini. Menurut
Ali Alatas, hakekatnya Final Peace Agreement adalah sebagai Final
Implementation dari Tripoli Agreement itu sendiri85.
Namun di tengah keoptimisan berbagai kalangan atas proses
Final Peace Agreement 1996 yang diyakini sebagai solusi efektif
dalam menyelesaikan konflik Mindanao malah menunjukkan hal yang
sebaliknya. Final Peace Agreement 1996 ternyata hanya mampu
mendeekskalasi konflik dalam waktu yang relatif pendek. Konflik
kembali bergejolak, bahkan paradigma peacebuilding yang selama ini
dibangun bersama untuk menyelesaikan konflik saling dirubah satu
sama lain.
Menurut Arild Underdal,86 untuk menilai hasil efektivitas hasil
dari negosiasi dalam penyelesaian konflik bersenjata dapat diukur
dengan dua variabel besar yakni stabilitas dan distribusi. Stabilitas
merujuk kepada kondisi di mana fihak yang bertikai kemudian lebih
mengembangkan suasana kondusif dan kerjasama serta mengurangi
derajat untuk saling berusaha mengalahkan satu sama lain. Distribusi
merujuk kepada kondisi di mana fihak yang bernegosiasi saling sharing
terhadap sumber daya yang diperebutkan. Dalam konteks konflik di
Mindanao, stabilitas merujuk kepada kondisi terciptanya tertib
sosial dan

84
Deutcshe Presse-Agenturr, 2 September 1996
85
Lihat statemen Ali Alatas dalam Kamarulzaman Askandar, Ayesah
Abubakar, Mindano Conflict, Penang, SEACSN, 2005.
86
Lihat Arild Underdal, “The Outcome of Negotiation,” dalam Victor A
Kremenyuk (ed.), International Negotiation: Analysis, Approaches,
Issues, San Fransisco, Jossey-Bass, 2002

21
politik di Mindanao yang ditandai dengan semakin rendahnya konflik
dalam makna “perang”, dan distribusi merujuk kepada kondisi di mana
pemerintah Filipina dan MNLF memberikan ruang yang luas bagi
terciptanya pembangunan yang kondusif di Mindanao.
Dari dua variabel tersebut, kondisi stabilitas di Mindanao pasca
Final Peace Agreement justru menunjukan pola dis- stabilitas.
Frekuensi konflik bersenjata justru meningkat di kedua belah fihak.
Bahkan terjadi faksionalisasi di Mindanao, baik dari komunitas Moro
seperti MILF, Abu Sayyaf, ataupun non-Moro seperti Lumads dan NPA
(National People Army), yang secara intensif melakukan konfrontasi
bersenjata dengan pemerintah Filipina. Respon pemerintah Filipina juga
kemudian merespon secara represif dengan kebijakan all-out-war.
Journal of Peace Research memaparkan ilustrasi yang menarik
bahwa intensitas konflik pasca negosiasi Final Peace Agreement
1996 justru meningkat, seperti tercermin dalam tabel berikut ini;

Tabel 24

21
Intensitas Konflik di Mindanao

Location Incompatibility Opposition Years Intensity


Organization Level
Philippines Territorial Mindanao Independent 1970- Minor
Movement (MIM) 1971
Territorial MNLF (Moro National 1972- Minor
Liberation Front), 1977 Wars
MILF (Moro Islamic 1978 * Minor
Liberation Front) 1979- Wars
1980 Minor
MNLF,MILF, Amerika 1982- War
SerikatG (Abu Sayyaf 1990 Inter-
Groups) 1993- mediete
1996
1996-
1999*
2000-
2003*
* pasca perjanjian
Sumber: Journal of Peace Research, vol. 42, no. 5, Sage Publications
(London, Thousand Oaks, CA and New Delhi) 2005, pp. 623–635

Jika diukur dari derajat distribusi bagi pengembangan


komunitas Mindanao, juga terdapat hasil yang semakin memburuk. Ada
kecenderungan area yang menjadi fokus penyelesaian konflik
Mindanao, yakni Sulu, Basilan, Tawi-Tawi, Maguindanao, dan Lanao
del Sur sebagai wilayah kekuasaan ARMM sebagai wilayah
pertumbuhan dan pembangunan justru mengalami penurunan derajat
kesejahteraan. Asumsi dari efektivitas distribusi dalam negosiasi adalah
terciptanya ruang yang luas bagi meningkatnya derajat kesejahteraan di
area yang menjadi fokus dalam negosiasi, karena pada area itulah
distribusi sumber daya akan mengalir masuk. Hal ini tercermin dalam
tabel berikut.

21
Tabel 25
Angka Kemiskinan di ARMM (Tahun 1997 dan 2000)
Propinsi Angka Kemiskinan
1997 2000
Lanao del Sur 40.8% 48,.1%
Maguindanao 24.0% 36.2%
Sulu 87.5% 92.0%
Tawi-Tawi 52.1% 75.3%
Basilan 30.2% 63.0%
Sumber: 1997 dan 2000 FIES dalam PHDR 2002

Dua kondisi ini menunjukan secara kuat bahwa struktur


negosiasi dalam Final Peace Agreement 1996 tidak efektif dalam
menyelesaikan konflik di Mindanao, bahkan dalam kata lain Final
Peace Agreement justru memberikan ruang konflik di Mindanao
menjadi lebih luas dan intensif.

B. Rumusan Masalah:
Merujuk dari paparan problematik dalam latar belakang,
permasalahan utama yang diajukan dalam penelitian disertasi ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kompleksitas kepentingan stakeholder konflik dalam
penyelesaian konflik Mindanao melalui regim negosiasi Final
Peace Agreement 1996?
2. Mengapa pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao melalui
regim negosiasi Final Peace Agreement 1996 antara pemerintah
Filipina dengan MNLF mengalami kegagalan?
C. Tujuan Penelitian:
Penelitian disertasi ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan dinamika pelembagaan politik Moro di Mindanao dan
relasinya dengan dinamika konflik yang terjadi di Mindanao
2. Menjelaskan dinamika range negosiasi dalam upaya pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao antara pemerintah Filipina dengan
faksi-faksi perlawanan Moro

22
3. Menjelaskan kompleksitas yang dihadapi oleh para aktor negosiasi
dalam Final Peace Agreement 1996, dalam memahami struktur
masalah dalam konflik Mindanao dan kepentingan dari stakeholder
konflik Mindanao dalam memandang pelembagaan penyelesaian
konflik Mindanao melalui negosiasi.
4. Menjelaskan indicator kegagalan Final Peace Agreement 1996
sebagai model pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao melalui
proses negosiasi.
5. Menjelaskan tentang factor-faktor yang menyebabkan pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao dalam Final Peace Agreement
1996 mengalami kegagalan dalam konteks relasi aktor dan struktur
dalam pelembagaan penyelesaian konflik.

D. Kontribusi Penelitian:
Penelitian disertasi ini diharapkan akan dapat memberikan
kontribusi sebagai berikut:
1. Secara akademik, penelitian disertasi ini melakukan pengkajian
lebih mendalam tentang studi legislasi internasional dalam
pelembagaan penyelesaian konflik yang bernuansakan separatis
melalui proses negosiasi. Pengembangan ini dilakukan melalui
pengkajian terhadap relasi kepentingan antara elit dan stakeholder
konflik dalam memaknai proses penyelesaian konflik etnis yang
memiliki keragaman faksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
proses penyelesaian konflik etnis yang bernuansakan separatis dan
memiliki faksionalisasi memerlukan sebuah regim governance
negotiation, yakni negosiasi yang mengedepankan prinsip
akuntabilitas, fairness, dan transparan. Regim governance
negotiation akan membantu proses tercapainya getting to yes
serta dapat meningkatkan probabilitas pencapaian getting it done
dalam proses pelembagaan penyelesaian konflik yang bernuansakan
separatis melalui negosiasi.

22
2. Secara praktik, penelitian disertasi ini memberikan informasi
tentang kompleksitas yang dihadapi aktor negosiasi dalam
penyelesaian konflik yang bernuansakan separatis dalam
menghadapi berbagai tekanan dari struktur politik di tingkat
domestic maupun third parties. Termasuk di dalamnya serangkaian
pilihan strategi dan taktik yang dipilih oleh aktor negosiasi dalam
menghadapi pola negosiasi yang berwatak posisional agar proses
negosiasi dapat terus berjalan beserta implikasi politik, ekonomi,
dan sosial yang ditimbulkan dari pilihan tersebut.
E. Originalitas Penelitian
Penelitian tentang konflik separatis di Asia Tenggara telah
banyak dilakukan oleh peneliti, seperti Karl D. Jackson, Anhar
Gonggong. Keduanya telah meneliti separatis di Indonesia, yang
dilakukan oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar. Karl D. Jackson
dalam melihat konflik separatis muncul terkait dengan munculnya
pemimpin yang kharismatik di suatu komunitas yang dapat
menyelesaikan problem di masyarakat tersebut.87 Artinya separatis
muncul sebagai bagian dari mobilisasi seorang elite kepada massa
terhadap masalah politik, ekonomi ataupun budaya di masyarakat.
Dalam kajian ini Jackson cenderung melacak underlying factors,
mengapa seorang Kartosuwiryo memberontak dan melakukan politik
separatis di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Anhar Gonggong cenderung
melakukan analisis hubungan antara peranan adat sirri passe yang
dianut elit politik yang digunakan sebagai precipating factors bagi
konflik hubungan militer pusat dan daerah dalam kasus pemberontakan
Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.88 Ketersinggungan politik dari elit
menjadi faktor picu yang signifikan bagi lahirnya pilihan politik
untuk melakukan separatis. Dalam

87
Karl D Jackson, Authoritas Legitimasi Pemimpin Tradisional: Studi
Pemberontakan DI/TII,Jakarta, Rajawali, 1990
88
Anhar Gonggong, Kahar Muzakkar: Dari Patriot Menjadi Pemberontak,
Jakarta, Gramedia,1994

22
kajian ini, Anhar Gonggong lebih mempergunakan perspektif
primordialist dan sejarah untuk menjelaskan alasan-alasan Kahar
Muzakar memberontak.
Penelitian tentang gerakan separatis Filipina telah dilakukan
oleh Cesar Adib Majul yang melakukan analisis tentang faktor-faktor
yang mendasari Revolusi Bangsa Moro di Filipina di dekade 1970-an.89
Tesis Majul menyatakan bahwa perlawanan Moro di Mindanao terhadap
pemerintah Filipina sangat didasari oleh kebijakan pemerintah Filipina
yang berusaha menghilangkan identitas Islam Moro dengan diganti
identitas nasional Filipina. Sehingga reda tidaknya konflik sangat
ditentukan oleh political will dari Filipina dibandingkan dengan tuntutan
atau aksi dari masyarakat Moro. Dalam konteks ini, Majul lebih
mempergunakan pendekatan kontruktivis dalam menganalisis konflik
Mindanao.
Penelitian tentang pola penyelesaian konflik di Mindanao telah
dilakukan Prescillano D. Campodo, dan Julkipli Wadi yang meneliti
tentang keberhasilan Final Peace Agreement dalam menurunkan
tensi konflik di Mindanao. Menurut Prescillano, Organisasi Konferensi
Islam (Organization of Islamic Conference) telah menjadi
precipating factors bagi proses moderasi tuntutan dari MNLF terhadap
pemerintah Filipina90. Kemampuan Organisasi Konferensi Islam yang
secara intensif melakukan komunikasi kepada pemerintah Filipina dan
faksi perlawanan Moro menjadi variabel independen bagi peredaan
konflik.
Sedangkan tesis Julkipli Wadi menyatakan bahwa implementasi
konsep diplomasi Islam yang dikembangkan Organisasi Konferensi
Islam yang mengedepankan aspek

89
Cesar Adib Majul, Dinamika Islam Filipina,Jakarta,LP3ES,1989
90
Precillano D. Campodo, The MNLF-Organisasi Konferensi Islam Dyad
and the Philippine Government’s Policy Response to the Moro Struggle
for Self-Deetermination (Phd Philippine Studies Dissertation ,Asian Center,
University of Philippine, 1996 dan Saleem M. Adam, The Role of Organisasi
Konferensi Islam Diplomacy in the Muslim Struggle in Southern
Philippines, (PHD Philippine Studies Dissertation, University of Philippines,
2002), hal. 107-110

22
konsultasi dan konsensus menjadi preseden bagi peredaan konflik di
Mindanao.91 Wadi cenderung menggunakan perspektif kontruktivis
bahwa kontruksi perdamaian di Mindanao dapat tercapai melalui
pembentukan struktur politik dan ekonomi yang memungkinkan
perubahan perilaku dari fihak-fihak yang berkonflik.
Penelitian Mirriam Coronel Ferrer lebih menfokuskan kepada
tidak terselesaikannya konflik yang sudah berjalan lama dan meskipun
telah dilakukan berbagai treatment baik mediasi, negosiasi untuk
menyelesaikan konflik. Dalam analisis Ferrer, tidak terselesaikannya
konflik Mindanai lebih disebabkan oleh multi faktorial, seperti
kegagalan negara dalam menyediakan respon yang kohesif, kekecewaan
atas hasil-hasil pembangunan, ketidakefektifan mekanisme otonomi
dalam memberikan ruang bagi kompetisi kelompok politik, mudah dan
rentannya pilihan berperang, rendahnya konsensus nasional untuk
menyelesaikan masalah dengan cara damai, dan keterlibatan actor
internasional yang memperumit dinamika konflik.92 Dalam batas
tertentu, pandangan Ferrer lebih melihat konflik di Mindanao dalam
perspektif kontruktivis, yakni belum tersedianya kontruksi yang
kondusif dalam menyelesaikan konflik menyebabkan konflik jadi sulit
diselesaikan.
Hampir mirip dengan tesis Ferrer, studi Asep Chaerudin
terhadap fenomena separatis di Asia Tenggara menunjukkan bahwa
keterlibatan aktor internasional dalam konflik separatis di Asia
Tenggara berkecenderungan memperumit konflik. Salah satu ilustrasi
yang menarik dari studi dari Asep Chaerudin adalah masuknya issue
terorisme dalam konflik di Mindanao juga

91
Julkipli Wadi, Islamic Diplomacy: A Case Study of the Organisasi
Konferensi Islam and the Pacific Settlement of the Moro Question
(1977- 1992), (MA Islamic Studies thesis, Institute of Islamic Studies,
University of Philippine, 1993
92
Miriam Coronel Ferrer, “The Philippine State and Moro Resistance:
Dynamics of A Persistent Conflict”, dalam Kamarulzaman Askandar, Ayesah
Abubakar, Mindano Conflict, Penang, SEACSN, 2005.

22
semakin memperumit konflik dan proses penyelesaiannya.93 Tesis Asep
Chaerudin dalam batas tertentu juga menggunakan pendekatan
kontruktivis dalam melihat dinamika konflik di Mindanao.
Studi Einar Wigen maupun Rizal Buendia dalam melihat
konflik di Mindanao agak berbeda dengan penelitian sebelumnya,
dengan lebih mengedepankan pendekatan instrumentalis. Einar Wigen
maupun Rizal Buendia melihat bahwa konflik di Mindanao tidak bisa
dilepaskan dari upaya antar kelompok untuk memanfaatkan konflik
untuk mendapatkan kepentingan- kepentingannya secara maksimal.
Konflik dalam batas tertentu bisa dimobilisasi dan bisa direduksi sesuai
dengan kepentingan yang paling menguntungkan.94
Seperti halnya Wigen, Abhoud Syed M. Lingga, melihat konflik
di Mindanao juga dengan menggunakan perspektif instrumentalis.
Namun yang menjadi unit analisis Lingga adalah pelaksanaan negosiasi
untuk menyelesaikan konflik Mindanao. Menurut Lingga negosiasi
tidak bisa menyelesaikan konflik Mindanao karena kecacatan tentang
issue yang akan dinegosiasikan, sebagai akibat dari kekhawatiran
masing-masing fihak yang bernegosiasi terhadap terhadap dampak
negosiasi terhadap legitimasi elit di kelompoknya masing-masing.
Lingga menegaskan kecacatan negosiasi disebabkan karena partisipasi
aktor internasional dan nasional dalam negosiasi cenderung

93
Asep Chaerudin, Countering Transnational Terrorism in Souteast Asia
With Respect to Terrorism in Indonesia and Philippines, thesis in Naval
Post Graduates Scholl Monterey, California, December 2003. Dan Rizal
Buendia, “Looking into the Future of Moro Self-Determination in the
Philippines, Philippine Political Science Journal 29, 2008
94
Einar Wigen, The Mindanao Conflict: Actors, Grievances, and
Mobilisation factors, Thesis MA Peace and Conflict Studies EPU, Burg
Schlaining Austria, Spring 2005

22
didominasi oleh pragmatisme sesaat sehingga negosiasi tidak
menyentuh substansi masalah.95
Kenneth Bouzan juga telah melakukan studi tentang kegagalan
Final Peace Agreement 1996 dalam menyelesaikan konflik
Mindanao dengan menggunakan unit analisis dari regim negosiasi yang
dibangun. Bouzan memandang kegagalan regim negosiasi Final Peace
Agreement 1996 dalam menyelesaikan konflik Mindanao disebabkan
oleh problem konseptual dan praktikal dalam regim negosiasi. Problem
konseptual terkait dengan pendefinisian terhadap stakeholder konflik
Mindanao yang sangat kompleks namun kemudian hanya di batasi
kepada actor MNLF. Sedangkan problem praktikal terkait
ketidakjelasan benchmark dari issue konflik yang hendak
diselesaikan.96 Dalam hal ini studi Bouzan cenderung mempergunakan
pendekatan konstruktivis dalam menjelaskan argument tentang
kegagalan Final Peace Agreement 1996 dalam menyelesaikan
konflik Mindanao. Konstruksi regim negosiasi yang tidak
komperehensif difahami menciptakan ruang yang luas bagi stakeholder
konflik Mindanao untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam
bentuk aktivitas-aktivitas penentangan terhadap regim negosiasi yang
dibangun.
Tampaknya studi tentang hubungan antara negosiasi dengan
tetap berlangsungnya konflik pasca negosiasi belum banyak dikaji.
Masih terdapat ruang kosong yang luas untuk dieksplorasi lebih jauh
untuk menemukan faktor yang paling berpengaruh terhadap kegagalan
negosiasi dalam menyelesaikan konflik. Studi Lingga memang sudah
mulai menyentuh tentang kegagalan dan cacat negosiasi yang dilakukan
selama ini. Namun tesis Lingga tidak bisa memberikan jawaban yang
memuaskan

95
Abhoud Syed M. Lingga, “Mindanao Peace Process: Need for New
Formula”, dalam Kamarulzaman Askandar, op.cit.
96
Kenneth E Bauzon, “The Philippines: The 1996 Peace Agreement for the
Southern Philippines: An Assessment”, Ethnic Studies Report, Vol. XVII,
No. 2, July 1999

22
karena cenderung melihat kecacatan negosiasi secara terpisah- pisah,
sehingga mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi factor kunci dari
kegagalan negosiasi dalam penyelesaian konflik Mindanao.
Penelitian disertasi ini akan memberikan penjelasan baru
tentang kegagalan negosiasi dalam pelembagaan penyelesaian konflik di
Mindanao. Ruang yang akan coba dieksplorasi adalah terletak dari
bangunan negosiasi itu sendiri terkait dengan karakter konflik di
Mindanao yang memiliki keragaman faksi sehingga rentan timbulnya
instrumentasi negosiasi oleh elit-elit (aktor) yang terlibat dalam
negosiasi.
Ekspalanasi tentang intrumentasi negosiasi pernah dilakukan
oleh Harold Nicholson dalam makna politisasi negosiasi. Namun konsep
politisasi negosiasi yang dibangun oleh Nicholson masih bersifat
elementer. Dalam pandangan Nicholson, politisasi negosiasi lebih
disebabkan oleh factor-faktor administratif dari penyelenggaraan
negosiasi seperti proses persiapan, tata cara pelaksanaan, etiket
negosiasi.97 Penjelasan Nicholson tentang politisasi negosiasi yang
bermakna administratif cenderung tidak bisa menjelaskan kegagalan
Final Peace Agreement 1996, yang disusun secara sistematis dan
komprehensif baik oleh OKI, Pemerintah Filipina, MNLF, Libya dan
Indonesia sebagai fasilitator. Ali Alatas tatkala memberikan sambutan
setelah penandatangan naskah perjanjian memberikan pernyataan
optimisnya bahwa konflik Mindanao akan segera terselesaikan secara
baik karena ruang politisasi negosiasi sedemikian rupa sudah dieliminir.
Penelitian disertasi ini akan mengembangkan hubungan antara
instrumentasi negosiasi oleh elit yang terlibat dalam negosasi dengan
efektivitas penyelesaian konflik separatis. Instrumentasi negosiasi
difahami sebagai sarana bagi elit untuk mempergunakan ruang
negosiasi sebagai ruang untuk

97
Lihat dalam Victor A Kremenyuk (ed.), International Negotiation:
Analysis, Approaches, Issues, San Fransisco, Jossey-Bass, 2002

22
memperoleh, mempertahankan, atau memperluas kekuasaan yang
selama ini telah diperoleh dalam ruang konflik separatis. Para elit
politik yang terlibat dalam negosiasi penyelesaian konflik separatis, ada
kecenderungan tidak menghendaki bahwa dengan terselesaikannya
konflik justru akan menyebabkan kekuasaan dan prestige politik
berkurang.
Penelitian disertasi ini mengembangkan kerangka pemikiran
bahwa instrumentasi negosiasi berhubungan dengan efektivitas
pelembagaan penyelesaian konflik separatis. Semakin besar ruang
intrumentasi negosiasi dilakukan oleh aktor negosiasi yang sedang
mengalami delegitimasi untuk memperluas kekuasan dan prestige
politik melalui negosiasi, maka akan berpengaruh terhadap rendahnya
efektivitas negosiasi tersebut dalam pelembagaan penyelesaian konflik.

Gambar 8
Matrik Penelitian Perspektif Konflik dan Negosiasi
di Asia Tenggara dan Filipina
Anhar Gonggong, Karl D. Jackson
Primordialis

Abu Syed Lingga, Rizal Buendia, Einer Wigen, Surwandono


Instrumentalis

Majul, Ferrer, Asep Chaerudin Zulkipli Wadi, dan Prescillano, Saleem Adam
Kenneth Bouzan
Konstruktivis

F. Studi Pustaka
Studi tentang konflik Mindanao telah dilakukan oleh banyak
peneliti, baik dari analisis seputar penyebab konflik sampai dengan
penelitian untuk mengevaluasi pelaksanaan negosiasi

22
sebagai sarana penyelesaian konflik Mindanai, baik yang dilakukan
peneliti dari Filiipina, Mindanao, Australia, Amerika Serikat, Indonesia,
maupun Malaysia. Beberapa studi penting tentang konflik Mindanao
terpapar dalam uraian berikut.
Studi Cesar Adib Majul, seorang akademisi muslim di
Universitas Phililipina (UPI), menyatakan bahwa untuk memahami
dinamika konflik Mindanao kekinian, harus diawali dengan pemahaman
konflik Mindanao yang terjadi pada masa penjajahan Spanyol di
Filipina yang hendak memperluas kekuasaan ke bagian Selatan
kepulauan Luzon.98 Dalam pandangan Majul, kebijakan politik Filipina
pada awal kemerdekaan terhadap Moro memiliki kemiripan dengan
kebijakan pemerintah Spanyol terhadap kekuasan politik kasultanan
Islam di Mindanao, yang menyatakan bahwa kalangan muslim
merupakan kelompok masyarakat barbar yang tidak beradab dan
menganggu kepentingan nasional Filipina.
Macapado Abaton Muslim, seorang intelektual muslim telah
mengidentifikasi 10 sebab timbulnya konflik Moro di Mindanao di era
1970-1980;
(1), Annexation of Moro Land to Philippines under Paris treaty
1898, (2), Military pasification, (3) Imposition of confiscatory land
laws, (4) Filipinozation of public administration in Moroland and
destruction of traditional political institution, (5) Government-
financed/induced land settlement and migration to Moroland, (6)
Land grabbing, (7) Cultural inroads against Moro, (8) Jabidah
Masacre, (9) Ilaga and Military atrocities and (10) Government
neglect and inaction to Moro protest and grievances.99

Beberapa studi studi tentang upaya penyelesaian konflik juga


telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Zulkifli Wadi

98
Cesar Adib Majul, Muslim in the Philippines, Quezon, University of
Philippines Press, 1990
99
Lihat dalam Macapado Abaton Musli, The Moro Armed Struggle in the
Philippines: The Non Violent Autonomy Alternative, Marawi City, Office
of the President and College of Public Affairs, Mindanao State University,

22
(2002), Prescillano (1999), Ferrer (2005), Syed Lingga. (2006). Studi
Prescillano, seorang akademisi dari Filipina, Saleem Adam, seorang
akademisi dari Timur Tengah dan Zulkifli Wadi, akademisi dari
Mindanao, cenderung menggunakan pendekatan yang optimistik dalam
memandang penyelesaian konflik di Mindanao. Hal yang paling
dianggap substantif untuk mengukur arah penyelesaian konflik adalah
kesediaan kelompok yang berkonflik untuk melakukan negosiasi, baik
untuk dekade 1970-an yang ditandai dengan ditandatanganinya Tripoli
Agreement 1976 ataupun dekade 1990-an yang ditandai dengan
ditandatanganinya Final Peace Agreement 1996. Dalam pandangan
Prescillano, Saleem Adam maupun Wadi, kesediaan kelompok yang
bertikai untuk bernegosiasi tidak bisa dilepaskan oleh keterlibatan
mediator utama, dalam hal ini adalah Organisasi Konferensi Islam.
Prescillano menyatakan bahwa Organisasi Konferensi
Islam, mampu berperan untuk mengurangi derajat tuntutan yang
maksimal dari MNLF dari issue pemisahan diri kepada issue
pemerintahan otonomi. Organiasi Konferensi Islam juga berperan untuk
melakukan monitoring implementasi dari hasil negosiasi. Penelitian
Prescillano dan Saleem Adam kemudian dipertegas oleh penemuan
Zulkifli Wadi yang menyatakan bahwa kemampuan Organisasi
Konferensi Islam dalam mengembangkan konsep Islamic Diplomacy
dengan mengedepankan aspek konsultasi dan konsensus menjadi
preseden bagi peredaan konflik di Mindanao.100
Berbeda dengan Prescillano dan Wadi yang cenderung optimis
terhadap penyelesaian konflik Mindanao melalui

1994, 52-133 dalam Soliman M. Santos, Jr, “Evolution of The Armed Conflict
on The Moro Front,” A Background paper submitted to the Human
Development Network Foundations, Inc. for the Philippines Human
Development Report 2005
100
Julkipli Wadi, Islamic Diplomacy: A Case Study of the Organisasi
Konferensi Islam and the Pacific Settlement of the Moro Question
(1977- 1992), (MA Islamic Studies thesis, Institute of Islamic Studies,
University of Philippine, 1993

23
negosiasi, studi Ferrer dan Lingga justru memiliki pandangan yang
pesimitik. Ferrer justru melihat bahwa serangkaian negosiasi yang
dilakukan justru malah memperluas konflik dan membuat semakin
intensifnya konflik. BATNA (best alternative to negotiated
agreement) yang dicapai dalam beberapa negosiasi sebelumnya justru
semakin menyebabkan ketidakpercayaan dari fihak-fihak yang
bernegosiasi pada negosiasi berikutnya.101 Bahkan kehadiran fasilitator
dalam negosiasi antara pemerintah Filipina dan MNLF justru semakin
memperumit konflik. Kehadiran Malaysia dan Libya sebagai fasilitator
justru menimbulkan masalah yang krusial karena pada hakekatnya
Malaysia ataupun Libya memiliki kepentingan secara spesifik terhadap
konflik Mindanao. Malaysia terlibat sebagai fasilitator sebagai tidak
bisa dilepaskan dari kedudukan Sabah dalam sejarah konflik Mindanao.
Demikian pula keterlibatan Libya tidak bisa dilepaskan dari keinginan
Libya untuk menggunakan kartu Filipina untuk bargaining dengan
Amerika Serikat.
Senada dengan Ferrer, Abu Syed Lingga memiliki tesis yang
juga pesimistis bahwa rangkaian negosiasi untuk menyelesaikan konflik
Mindanao tidak mampu menyelesaikan konflik itu sendiri. Lingga
melihat bahwa negosiasi gagal dalam menyelesaikan konflik Mindanao
karena kecacatan tentang issue yang akan dinegosiasikan. Ada
kecenderungan besar bahwa masing-masing fihak yang bernegosiasi
tidak memiliki otoritas yang definitif untuk mengimplementasikan hasil
negosiasi. Hal ini semakin diperkuat dengan kondisi mediator,
fasilitator dari cenderung didominasi oleh pragmatisme sesaat sehingga
negosiasi tidak menyentuh substansi masalah.102
Studi Wadi dan Prescillano dalam batas tertentu menggunakan
terma ripeness of Mindanao conflict untuk menjelaskan bagaimana
Organisasi Konferensi Islam berhasil

101
Lihat dalam Kamarulzaman Askandar, loc.cit
102
Abhoud Syed M. Lingga, “Mindanao Peace Process: Need for New Formula”,
dalam Kamarulzaman Askandar, ibid.,

23
memediasi kepentingan antara pemerintah Filipina dan kelompok
separatis Moro di Mindanao. Namun dalam batas tertentu kondisi
ripeness cenderung menjadi sangat subjektif untuk mengukur
efektivitas penyelesaian konflik. Ripeness hanya bisa menjelaskan
efektifnya pelaksanaan dari negosiasi namun tidak menjamin
keberhasilan dari negosiasi untuk menyelesaikan konflik.
Terlaksananya Tripoli Agreement 1976 dan Final Peace
Agreement 1996 tidak bisa dipisahkan dari kemampuan fasilitator
melakukan mediasi dengan melakukan langkah; mengeksplorasi
kemungkinan untuk mediasi dan negosiasi, memulai membangun
komunikasi antar fihak yang berkonflik, mengetahui issue substantif
dari konflik dan mengeksplorasi alternatif penyelesaian, mengambil
langkah konkrit untuk membawa fihak yang berkonflik ke meja
perundingan, membantu fihak yang berkonflik mengatasi ketakutan dan
kekhawatiran terhadap negosiasi, memonitor pelaksanaan negosiasi
serta menyakinkan fihak yang berkonflik untuk menyetujui dan
menandatangani hasil negosiasi.
G. Teoretisi Pelembagaan Negosiasi Internasional Sebagai
Formula Penyelesaian Konflik Etnis Berbasis Separatis
Konsep negosiasi merupakan konsep yang sangat lama dan
kaya dalam diskursus ilmu politik dan hubungan internasional.
Negosiasi selama ini difahami sebagai salah satu instrumen pokok yang
dipergunakan aktor politik untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Negosiasi telah memungkinkan proses penyelesaian masalah tidak
menggunaan instrumen kekerasan dengan mencoba memberikan ruang
bagi fihak yang berkonflik untuk melakukan sharing informasi dari
masalah yang dihadapi bersama .
Menurut Ensiklopedia Ilmu Sosial, negotiation is a “form of
interaction through which (parties) ..try to arrange .. a new
combinations of some of their common and conflicting interest. 103
Mirip dengan definisi Ensiklopedia Ilmu Sosial, Rubin melihat

103
Lihat dalam Encylopedia of Social Sciences (1968) dalam Jayadeva
Oyangoda, ibid.,

23
bahwa “the focus of negotiations is not attitude change per se, but
an agreement to change behavior in ways tha make settlement
possible.104 dalam pandangan Zartman, negosiation as a process of
combining conflicting positions into “common position, under a
decision rule of unanimity, a phenomenon in which the outcome
determined by the process.105
Bertolak dari beberapa definisi tersebut, Jayadeva kemudian
mendefinisikan negosiasi sebagai pembicaraan antara fihak-fihak yang
berkonflik untuk mendiskusikan ide-ide, informasi dan kemungkinan-
kemungkinan guna mencapai kesepakatan bersama.106 Dalam konteks
tertentu, negosiasi lebih mengedepankan aspek komunikasi antar fihak
yang bertikai untuk mendapatkan rumusan-rumusan kesepakatan yang
memungkinkan untuk menyelesaikan konflik.
Menurut Jayadeva, terdapat beberapa dinamika strategi yang
dikembangkan oleh fihak-fihak yang bernegosiasi untuk
memaksimalkan kepentingan dalam proses negosiasi dengan paradigm
problem solving. Dalam paradigm problem solving, yakni negosiasi
sebuah proses untuk menemukan beragam alternatif penyelesaian yang
bisa disepakati oleh berbagai fihak dengan melalui pertukaran (trade
off) kepentingan satu sama lain.
Pertama, strategi contending, yakni proses dari salah satu
fihak yang berkonflik untuk memaksa atau mempersuasi fihak lain agar
sesuai dengan keinginannya. Kedua, strategi yielding (mengalah),
yakni masing-masing fihak saling melakukan pengurangan derajat
aspirasi ataupun kepentingan terhadap sumberdaya yang diperebutkan.
Dalam ketiga proses ini, probabilitas negosiasi sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik cenderung masih besar. Ketiga, strategi
inaction, yakni

104
Lihat Breslin J. William and Jeffrey Z Rubin, Negotiation Theory and
Practice, Cambridge, Massachusetts, 1993 dalam ibid,
105
William Zartman and Maureen R Berman, The Practical Negotiator, New
Haven and London, Yale Univesity Press, 1982 dalam ibid..
106
Jayadeva, ibid. hal. 31-33

23
suatu kondisi di mana fihak yang berkonflik mulai lamban merespon
fihak yang lain, dan hanya melakukan aktivitas seminimal mungkin
dalam negosiasi. Dan keempat, jika fase inaction tidak memberikan
efek yang menguntungkan bagi fihak- fihak yang bernegosiasi,berlanjut
maka fihak-fihak yang sebelumnya duduk dalam proses negesiasi
cenderung akan melakukan Withdrawal, yakni menarik diri dari
negosiasi dengan mengingkari semua kesepakatan di dalam negosiasi
yang pernah dilakukan.
Probababilitas terciptanya inaction and withdrawal dalam
pelaksanaan negosiasi terkait dengan issue separatis cenderung lebih
besar dibandingkan dengan negosiasi dalam issue politik lainnya.
Jayadeva menunjukkan beberapa temuan menarik terkait dengan
kompleksitas yang dihadapi dalam membangun pelembagaan negosiasi
untuk menyelesaikan konflik separatis. khususnya gerakan separatis
Macan Tamil di Srilangka.107
G.1. Kompleksitas Negosiasi Internasional Dalam
Penyelesaian Konflik Separatis
Studi Jayadeva memberikan eksplanasi menarik tentang
persoalan mengapa negosiasi dalam penyelesaian konflik separatis
sedemikian kompleks. Menurutnya terdapat ada lima alasan utama,
mengapa negosiasi dalam menyelesaikan konflik separatis cenderung
gagal, Pertama, maximalisme of insurgent. Dalam konflik separatis
ada kecenderungan kelompok separatis memiliki tuntutan yang sulit
untuk dikompromikan yakni pilihan untuk merdeka menjadi negara
tersendiri dan menolak opsi-opsi lain yang lebih pragmatis.
Kedua, inflexibility of the State, ada kecenderungan
pemerintah cenderung menggunakan alternatif negosiasi setelah
mengalami jalan buntu dengan menggunakan kekuatan militer.
Negosiasi terhadap kelompok separatis justru dianggap bentuk
pengakuan negara atas klaim kelompok separatis. Sehingga pada

107
ibid. hal. 33-37

23
kondisi tertentu setelah pilihan negosiasi mengalami kebuntuan lagi,
opsi tindakan militer menjadi lebih mengemuka.
Ketiga, Fear of a Settlement, yakni fihak yang berkonflik
seringkali merasa ketakutan terhadap penyelesaian konflik. Bagi fihak
kelompok separatis, negosiasi diurigai sebagai bagian jebakan dan
pilihan kompromi juga dikhawatirkan justru akan membuat perpecahan
di dalam kelompok separatis.
Keempat, Uncertainty of the Negotiation Outcome, fihak-
fihak yang berkonflik cenderung memandang bahwa hasil negosiasi
penuh dengan ketidakpastian dalam implementasinya. Masing-masing
fihak memandang untuk menahan diri untuk melakukan sharing
sumberdaya yang akan dipertukarkan. Pemerintah cenderung lamban
(inaction) memberikan konsesi bagi kelompok separatis, demikian pula
kelompok separatis juga tidak langsung memberikan pengakuan otoritas
kepada pemerintah.
Studi dari Harold Nicholson juga menyumbangkan pemikiran
yang berarti dalam menganalisis mengapa pelembagaan negosiasi
sebagai sarana penyelesaian konflik mengalami kegagalan. Nicholson
memandang bahwa kegagalan negosiasi dalam penyelesaian konflik
seringkali disebabkan oleh persoalan politisasi negosiasi. Nicholson
mendefinisikan politisasi negosiasi sebagai kondisi di mana fihak-fihak
yang bernegosiasi memanfaatkan peluang yang terdapat dalam
negosiasi untuk memperoleh keuntungan dari celah atau titik-titik rawan
dari pelaksanaan pre-negotiation tidak dilakukan secara cermat dan
professional yang kemudian mengakibatkan pelaksanaan negosiasi
menjadi tidak memiliki arah.108
Studi tentang politisasi negosiasi dari Nicholson menunjukan
bahwa politisasi negosiasi lebih sering muncul karena ketidaktahuan
ataupun ketidakpedulian fihak yang bernegosiasi

108
Lihat pandangan Harold Nicholson dalam Victor M. Sergeev. “Methaphors
for Understanding International Negotiation”, Victor A. Kremenyuk, loc.cit.
hal 67

23
terhadap Ground Rules dalam negosiasi. Ground Rule dalam negosiasi
meliputi hal-hal berikut;
(1) Allowing all parties to participate fully, including to
state their viewss and suggestions (2) Listening to each
speaker without interruption or disrespect (3) Freedom to
suggest ideas without commitment to them and without
ridicule (4) Confidetially and non attribution outside the
meeting (5) Mutually constructing timetable to satisfy all
parties (6) Commitment to reach an agreement (7)
Accepatance of the role of the facilitators (8) Freedom to
ask for “time out”and (9)Punctuality 109

Dalam konteks negosiasi international ada kecenderungan


politisasi yang berbasis administratif sebagaimana yang disinyalir oleh
Harold Nicholson relatif tidak banyak muncul terkait dengan
kemampuan fihak yang berkonflik untuk memilih orang negosiator
adalah figur yang kompeten, apalagi kemudian difasilitasi oleh
Organisasi Internasional. Politisasi justru lebih sering terjadi pada ruang
proses negosiasi sendiri, di mana para actor yang terlibat dalam
negosiasi kemudian memainkan posisinya dalam negosiasi untuk
mendapatkan sesuatu dalam konteks kontestasi politik domestic.
G.2. Pilihan Bangunan Regim Negosiasi Internasional
Studi tentang motif dari actor dalam memilih bangunan regim
negosiasi merujuk kepada dua pilihan besar. Pertama, pilihan untuk
lebih menfokuskan kepada managemen situasional untuk mendukung
terlaksananya proses negosisasi antara fihak- fihak yang berkonflik
untuk menyelesaikan persoalannya secara damai. Studi ini
dikembangkan oleh Roger Fisher, William Ury dan Bruce Patton, yang
kemudian dikenal sebagai regim negosiasi Getting to Yes.
Preposisi yang dikembangkan dalam getting to yes adalah
bagaimana menciptakan persepsi terhadap masalah, membangun

109
Lihat dalam Jayadeva, op.cit, hal. 11

23
komunikasi, memusatkan perhatian kepada kepentingan dibandingkan
posisi, dan mendorong digunakannya criteria objektif dalam
negosiasi.110 Getting to Yes difahami sebagai mekanisme penting di
mana fihak-fihak yang berkonflik kemudian bersedia mendiskusikan
problem-problem yang dihadapi bersama guna diperoleh alternative
penyelesaian yang dapat diterima.
Studi mendasar yang menganalisis tentang upaya memperbesar
peluang keberhasilan negosiasi melalui regim Getting to Yes
ditawarkan William Zartman dengan teori ripeness of the conflict.
Menurut William Zartman, terdapat hubungan yang positif antara
ripeness of the conflict dengan derajat keberhasilan suatu negosiasi,
semakin negosiasi dilakukan pada waktu konflik mencapai kematangan
maka semakin berpeluang besar actor- aktor yang terlibat dalam konflik
untuk bersedia melakukan negosiasi dan menemukan alternative-
alternatif penyelesaian yang disepakati bersama.111 Ripeness sendiri
merujuk kepada situasi yang tepat di mana fihak-fihak yang berkonflik
menyadari bahwa alternatif dari kesepakatan yang dinegosiasikan akan
menguntungkan bagi masing-masing fihak. Sehingga jika actor tidak
memilih melakukan negosiasi justru actor tersebut akan semakin besar
tingkat kerugiannya, atau membuat situasi negosiasi mengalami
deadlock maka akan menggagalkan perolehan yang sudah didapat
dalam negosiasi.
Ripeness dalam konseptualiasi Zartman adalah kondisi
mutual hurting stalmate (MHS), yang dimaknai sebagai “in order to
bring parties to the table. Each should see the lack of
negotiations as more costly than simply continuing to avoid
them”. Maupun kondisi mutual enhancing oppurtunity (MEO), yang
dimaknai sebagai conceptualized as the pull of an attractive
outcome rather than the push of a painful stalemate; a tiring
rather

110
Lihat dalam Roger Fisher, William Ury, Bruce Patton, Getting to Yes:
Tehnik Berunding Menuju Kesepakatan Tanpa Memaksakan Kehandak,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
111
Lihat William Zartman , “ What I want to Know about Negotiation, “
International Negotiation 7, 2002, hal. 5-12.

23
than painful deadlock; a view of perceived, “victory”more cheaply
through negotiation than less diplomatic means; or various
“carrots” or enticements brought to the table by third parties”.112
Studi tentang getting to yes mengasumsikan bahwa dengan
terlaksananya negosiasi dalam menyelesaikan konflik, maka ruang
untuk mengkomunikasikan kepentingan akan semakin terbuka. Dengan
terbukanya proses komunikasi antar fihak-fihak yang berkonflik, maka
ruang manipulasi kepentingan akan semakin mengecil, dan akhirnya
pilihan moderat dalam mengartikulasikan kepentingan dianggap sebagai
pilihan yang paling efektif. Artinya, terlaksananya negosiasi akan
berbanding lurus dengan proses penyelesaian konflik.
Kedua, pilihan untuk membangun regim negosiasi sebagai
regim yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh fihak-
fihak yang berkonflik melalui bangunan compliance bargaining atau
getting it done.113 Tesis besar dari regim compliance bargaining
mengasumsikan bahwa efektivitas negosiasi dalam menyelesaikan
konflik justru berangkat dari seberapa besar regim kepatuhan yang
dibangun dalam negosiasi. Semakin regim negosiasi memiliki regim
kepatuhan yang besar maka efektivitas negosiasi dalam menyelesaikan
konflik akan lebih besar dibandingkan dengan regim negosiasi yang
tidak mengandung regim kepatuhan.
Dalam konteks regim compliance bargaining, terdapat dua
mazhab besar yang dapat dipilih dalam upaya menjamin kepatuhan
terhadap kesepakatan dalam negosiasi. Pertama, Enforcement school,
suatu regim kepatuhan yang lebih menitikberatkan kepatuhan regim
negosiasi melalui proses

112
Ibid.,atau dalam Jayadeva Oyangoda (ed), Conflict Resolution and Peace
Stuiesd: An Introductory Handbook , Colombo, CEPRA Univesity of
Colombo, 2000, hal. 22
113
Bertram I. Spencer, I William Zartman, Post Agreement
Negotiation and Internastional Regime: Getting It Done,
Washington DC,USIP, 2003, hal. 63

23
legislasi internasional yang memberikan ruang yang besar kepada third
parties untuk memonitoring dan memaksa fihak-fihak yang
bernegosiasi untuk mematuhi dan mengimplementasikan hasil negosiasi
melalui mekanisme pemberian reward and punishment. Kedua,
Management school, suatu regim kepatuhan yang menitikberatkan
kepatuhan fihak yang bernegosiasi melalui pembuatan road map
implementasi yang terukur, terstruktur secara jelas tentang baseline
dan benchmark dan tersistematisasi agar regim negosiasi dapat
berjalan secara efektif untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh
fihak-fihak yang melakukan negosiasi.114
Dalam kajian Bertram I. Spencer dan I William Zartman, proses
membangun regim negosiasi terdiri dari dua komponen besar, yakni
proses negosiasi di tingkat internasional dan proses negosiasi di tingkat
nasional. Negosiasi di tingkat internasional lebih banyak merujuk pada
aktivitas pembuatan regim negosiasi, sedangkan negosiasi di tingkat
nasional lebih merujuk pada aktivitas ratifikasi, pembuatan produk
politik dan hokum terkait dengan ratifikasi negosiasi, dan implementasi
kesepakatan dalam negosiasi untuk menyelesaikan masalah. Regim
negosiasi akan efektif menyelesaikan masalah manakala regim
negosiasi memberikan ruang yang luas terhadap para actor negosiasi
untuk mengeksplorasi alternatif-alternatif penyelesaian masalah secara
komprehensif dalam proses pembentukan regim negosiasi. Proses
negosiasi di tingkat internasional juga harus memperhatikan proses
negosiasi di tingkat domestic karena sesungguhnya komponen negosiasi
di tingkat domestic merupakan ruang negosiasi yang sangat krusial.
Negosiasi yang hanya menfokuskan kepada pembentukan regim
negosiasi di tingkat internasional dan tidak memperhatikan situasi
politik, sosial

114
Christer Jönsson and Jonas Tallberg. "Compliance and Post- Agreement
Bargaining," European Journal of International Relations 4 (4): 371-408.,
1998

23
dan ekonomi berpeluang regim negosiasi tersebut akan
mengalami persoalan yang sangat serius di tingkat implementasi.
Gambar 9
Regime Dynamics in A Post Agreement Negotiation Framework

Sumber: Bertram I. Spencer, I William Zartman, Post Agreement


Negotiation and International Regime: Getting It Done,
Washington DC,USIP, 2003, hal. 63

G.3. Instrumentasi Aktor Negosiasi Terhadap Bangunan


Regim Negosiasi
Pengembangan teori tentang instrumentasi actor negosiasi
terhadap bangunan regim negosiasi diawali dengan pembahasan tentang
teori rasionalitas pilihan maupun model actor rasional. Studi tentang
teori rasionalitas pilihan (rational choice theory) dan model actor
rasional (rational actor’s model’) dalam perspektif instrumentalist
telah dikembangkan oleh Michael

24
Hechter (1996; 1986)115 maupun Michael Banton (1994; 1996).116
Menurut Hetcher, keterlibatan seseorang dalam konflik maupun
negosiasi sebagai sarana aktor untuk mengartikulasikan kepentingan
individu untuk memperoleh wealth, prestige and power. Dalam
konteks studi elit yang dilakukan Bachton, dinamika konflik dan
negosiasi juga sangat ditentukan preferensi kepentingan elit untuk
mendayagunakan konflik dan negosiasi untuk membangun legitimasi.
Studi Hetcher ini diperkuat oleh temuan dari Banton, bahwa dinamika
konflik dan negosiasi lebih banyak dimanipulasi oleh aktor untuk
mengartikulasikan kepentingan aktor daripada kepentingan public.117
Dalam konteks konflik di Mindanao, studi Rizal Buendia
memberikan sumbangan yang sangat berarti terkait kompleksitas
konflik di Mindanao. Buendia beragumen bahwa semakin rumitnya
konflik di Mindanao bukanlah disebabkan oleh semakin menguatnya
issue-issue primordialisme, namun justru semakin menguatnya
instrumentasi konflik oleh fihak-fihak yang konflik. Bahkan Buendia
memandang bahwa gejala konflik yang berbasis primordial sebagai
sesuatu yang tidak rumit karena sesungguhnya diskursus konflik dalam
konteks primordialisme sebagai sesuatu yang dapat diukur,
diinterpretasikan, diprediksikan dan diselesaikan. Namun intrumentasi
konflik oleh actor justru sebagai fenomena yang lebih rumit, karena
kepentingan dari aktor justru mudah berubah-ubah, dan sulit
diprediksikan, serta sangat

115
Michael Hechter, “Ethnicity and Rational Choice Theory”, dalam John
Hutchinson and Anthony Smith (eds), UK: Oxford University Press dan
Michael Hechter, (1986) ‘A rational choice approach to race and ethnic
relations’, dalam D. Mason and J. Rex (eds) Theories of Race and Ethnic
Relations, Cambridge: Cambridge University Press.
116
Michael Banton, (1994) ‘Modeling ethnic and national relations,’ Ethnic
and Racial Studies, 17 (1) dan Michael Banton (1996) ‘The Actor’s Model of
Ethnic Relations’, in John Hutchinson and Anthony Smith (eds), Ethnicity
(Oxford Reader), UK: Oxford University Press.
117
Michael Banton, ibid.

24
tergantung oleh kesempatan maupun ancaman yang dihadapi oleh aktor
dalam konflik.118
Dalam konteks pilihan bangunan regim negosiasi, posisi politik
dari aktor negosiasi akan berpengaruh terhadap pilihan aktor negosiasi
terhadap bangunan regim negosiasi. Aktor negosiasi yang memiliki
basis legitimasi yang kuat, intrumentasi negosiasi sedikit banyak
diperuntukan untuk memperkuat dan memperluas legistimasi aktor.
Maka bangunan regim negosiasi yang berbasiskan Getting it Done,
dalam konteks teori pilihan rasional merupakan pilihan yang lebih
rasional bagi aktor yang memiliki basis legitimasi yang kuat. Namun
bagi aktor negosiasi yang memiliki basis legitimasi yang rendah,
instrumentasi negosiasi sedikit banyak dilakukan untuk
mempertahankan dan memperkuat legitimasi aktor daam masyarakat.
Maka bangunan regim negosiasi yang berbasiskan Getting to Yes,
dalam konteks teori pilihan rasional merupakan pilihan yang lebih
rasional bagi aktor yang sedang mengalami persoalan legitimasi.
G.4. Pengaruh Instrumentasi Regim Negosiasi Oleh Aktor
Terhadap Pelembagaan Penyelesaian Konflik
Instrumentasi negosiasi dalam batas tertentu mengasumsikan
bahwa aktor negosiasi sebagai actor yang eksklusif dibandingkan
dengan stakeholder negosiasi lainnya. Dalam struktur negosiasi yang
eksklusif, instrumentasi negosiasi memiliki beberapa implikasi penting.
Pertama, aktor negosiasi memiliki peluang yang besar untuk
memanipulasi posisi politik yang diperjuangkan baik untuk untuk
kepentingan aktor maupun kelompoknya. Sasaran manipulasi
kepentingan politik ini dialamatkan kepada lawan negosiasi maupun
terhadap konstituen dari aktor itu sendiri.

Rizal G. Buendia, . “The State-Moro Armed Conflict in the Philippines:


Unresolved National Question or Question of Governance.” Asian Journal of
Political Science 13: 1, June, 2005.

24
Kedua, Proses manipulasi kepentingan aktor dalam negosiasi
membuat ritme pelembagaan negosiasi mengarah kepada negosiasi
posisional, di mana para aktor negosiasi lebih banyak mengartikulasikan
posisi politik yang dikehendaki dalam negosiasi dibandingkan
mengartikulasikan memoderasi kepentingan bagi penyelesaian masalah.
Pilihan ini dipilih oleh aktor negosiasi agar posisi politik aktor negosiasi
pasca pelaksanaan negosiasi dapat dipertahankan atau bahkan dapat
ditingkatkan dalam konteks relasi social dan politik.
Ketiga, instrumentasi negosiasi oleh aktor negosiasi cenderung
melakukan politik alienasi partisipasi publik dalam proses negosiasi.
Partisipasi publik dalam negosiasi posisional justru difahami aktor
negosiasi akan memperumit ketercapaian kompromi dalam proses
negosiasi karena semakin banyaknya kepentingan yang harus
diakomodir. Partisipasi public dalam negosiasi juga difahami aktor
negosiasi akan mengurangi perolehan kepentingan politik,
kesejahteraan, dan kekuasaan dari aktor negosiasi baik secara kuantitas
dan kualitas.
Instrumentasi negosiasi berpeluang mengabaikan prinsip-
prinsip negosiasi dalam penyelesaian konflik. John Darby menyatakan
bahwa aktor negosiasi hendaknya mengedepankan prinsip-prinsip
berikut;
(1) the protagonists must be willing to negotiate in good faith;
(2) the key actors must be included in the process; (3) the
negotiations must address the central issues in the dispute;
(4) force must not be used to achieve objectives; and (5)
negotiators must be committed to a sustained process.119
Merujuk pandangan John Darby, instrumentasi negosiasi oleh
actor akan menyebabkan negosiasi menyebabkan dua problem besar
yakni terjadinya reduksi actor dan reduksi masalah.

119
John Darby,. The Effects of Violence On Peace Processes.
Washington, DC: United States Institute of Peace, 2001, hal. 11

24
Reduksi actor menyebabkan kepentingan actor yang tidak terlibat dalam
negosiasi dapat terartikulasikan dengan baik sehingga berpotensi
menimbulkan persoalan dalam level ratifikasi, rule making maupun
implementasi dan monitoring. Reduksi masalah menyebabkan
terjadinya pergeseran pembahasan dalam negosiasi dari masalah yang
substantive ke masalah yang artificial. Pembahasan negosiasi yang
kemudian berfokus pada masalah artifisial akan menyebabkan hasil
negosiasi yang dicapai tidak memadai untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapi selama ini.
H. Hipotesa
Penelitian disertasi ini mengembangkan hipotesis bahwa,
pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao melalui regim negosiasi
Final Peace Agreement 1996 antara pemerintah Filipina dengan
MNLF mengalami kegagalan karena terjadinya instrumentasi negosiasi
oleh actor negosiasi dalam menentukan issue yang dikompromikan
maupun bangunan regim negosiasi yang dipilih. Kondisi ini kemudian
berpengaruh terhadap terselesainya problem dari actor yang
bernegosiasi namun tidak menselesaikan problem dari konflik
Mindanao

I. Metodologi Penelitian
I.1. Jenis Penelitian
Penelitian disertasi ini mengkaji tentang kegagalan regim
negosiasi Final Peace Agreement 1996 dalam pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao merupakan penelitian kualitatif. Casel
and Simmon120 menyatakan bahwa metode kualitatif merupakan metode
penelitian sosial yang berusaha melakukan deskripsi dan interprestasi
secara akurat makna dari gejala yang terjadi dalam konteks social,
dengan mengedepankan proses memahami objek secara natural guna
menjamin keakuratan

120
Catherine Cassel and Gillian Symon (eds.), Qualitative Methods in
Organizational Research, London, Sage Publications, 1994, hal. 3-4)

24
obyektifikasi. Dalam mencapai obyektifikasi, peneliti menggunakan
prosedur penelitian kualitatif dari Catherine Marshall. pertama; gejala
yang diteliti dalam regim negosiasi untuk penyelesaian konflik
Mindanao merupakan gejala social yang bersifat dinamis. Kedua,
subjek dalam penelitian ini adalah dinamika relasi antara aktor dan
struktur dalam membangun regim negosiasi pada Final Peace
Agreement 1996 dan kegagalan regim negosiasi tersebut dalam
penyelesaian konflik Mindanao. Ketiga, dinamika kepentingan aktor
dan struktur dalam negosiasi yang sedemikian rumit, dan kompleks
kemudian diobyektivikasi melalui pembuatan kategori-kategori yang
relevan untuk memahami makna dari perilaku politik aktor dan struktur
dalam negosiasi Final Peace Agreement 1996.
I.2. Strategi Penelitian
Selaras dengan jenis penelitian kualitatif yang hendak melacak
hubungan antara aktor dan struktur dalam regim negosiasi Final Peace
Agreement 1996 yang gagal untuk menyelesaikan konflik Mindanao,
maka peneliti memilih strategi penelitian yang berbasis studi kasus.
Menurut Noeng Muhadjir, studi kasus merupakan usaha untuk
menemukan kebenaran ilmiah secara mendalam dan dalam waktu yang
cukup lama dari suatu obyek secara spesifik.121
Penelitian tentang pelembagaan penyelesaian konflik melalui
negosiasi dalam Final Peace Agreement 1996, dilakukan secara
sistematis dan mendalam dengan melakukan penelusuran terhadap
berbagai dokumen yang terkait issue pelembagaan negosiasi. Robert E.
Stake memberikan strategi penelitian studi kasus dengan melakukan
identifikasi kasus guna mendapatkan kasus yang unik dan spesifik,
sistemik yang mampu untuk mewakili fenomena yang lebih luas.122

121
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kwalitatif, Edisi IV,
Yogyakarta, Raake Serasin, 2000, hal.55
122
Norman K. Denzin, Yvonna S. Lincoln (eds.) Handbook of Qualitative
Research, London, Sage Publications, 1994

24
Merujuk dari pandangan Robert E. Stake, yang akan
diidentifikasi dalam penelitian disertasi ini adalah issue pelembagaan
konflik maupun pelembagaan negosiasi, pertama, bagaimana
pandangan fihak-fihak yang akan bernegosiasi terhadap negosiasi dalam
Final Peace Agreement 1996 terkait dengan persoalan-persoalan
negosiasi yang pernah dilakukan sebelumnya, Kedua, bagaimana
fihak-fihak yang bernegosiasi memandang arti penting maupun
memaksimalkan kepentingan dari peluang yang dapat diperoleh melalui
negosiasi dalam Final Peace Agreement 1996, baik dalam level elit,
kelompok elit, kelompok masyarakat di Mindanao maupun di Filipia.
Ketiga, bagaimana fihak-fihak yang bernegosiasi memandang
kapasitas dan legitimasi diri secara internal, ataupun kapasitas dan
legitimasi fihak lain dalam proses memaksimalkan kepentingan dari
fihak yang melakukan negosiasi dalam Final Peace Agreement 1996.
Keempat, bagaimana strategi yang dikembangkan oleh fihak-fihak
yang bernegosiasi pada Final peace Agreement 1996 dalam
memaksimalkan kepentingan yang diperoleh dalam negosiasi sekaligus
mampu menyelesaikan konflik Mindanao. Kelima, bagaimana
dinamika pilihan dari fihak- fihak yang bernegosiasi untuk merumuskan
kepentingannya dalam BATNA pada Final Peace Agreement 1996
dan keenam, bagaimana kontribusi regim negosiasi yang dipilih dalam
Final Peace Agreement 1996 antara MNLF dan Pemerintah Filipina
terhadap kegagalan pelembagaan penyelesaian konflik di Mindanao.
I.3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam upaya membangun obyektifikasi dalam penelitian
disertasi ini, pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap;
Pertama, studi dokumen terhadap berbagai karya tulis tentang
dinamika konflik dan penyelesaian konflik di Mindanao, ataupun
dokumen resmi terkait dengan naskah-naskah hasil negosiasi dari
Tripoli Agreement 1976, Jeddah Accord 1987, maupun Final
Peace Agreement 1996. Termasuk di dalamnya studi dokumen
terhadap buku putih tentang dinamika negosiasi

24
yang ditulis oleh kedua belah fihak yang bernegosiasi, yakni Give
Peace A Chance: The Story of MNLF-GRP Peace Agreement
Negotiation, sebuah buku yang ditulis oleh Abraham Abet Iribani,
seorang juru bicara MNLF dalam perundingan dengan pemerintah Fidel
Ramos dalam Final Peace Agreement 1996. Maupun buku karya
Fidel Ramos, Break Not The Peace: The Story of MNLF- GRP
Peace Agreement Negotiation.
Studi dokumen juga dilakukan dengan menganalisis beberapa
UU maupun peraturan pemerintah yang terkait dengan pembentukan
pemerintahan regional ARMM di Mindanao dan dinamika pemaknaan
terhadap Konstitusi Filipina 1987, yang dikompilasi dengan baik oleh
Benedicto Bancani, Beyond Paper Autonomy: The Chalengg in
Southern Philippines. Maupun terhadap dokumen pidato inugurasi
dari presiden Filipina, yang dikompilasikan oleh J. Eduardo Malaya dan
, Jonathan E. Malaya (eds), So Help us God: The President of The
Philippines an Their Inaugural Addresses.
Dokumen yang juga dilacak dan dianalisis adalah Manifesto
Moro, sebuah dokumen awal dari pembentukan faksi perlawanan Moro
yang kemudian menjadi embiro dari MNLF, maupun pidato maupun
statement politik dari MNLF, dan MILF yang terkait dengan dinamika
negosiasi dengan pemerintah Filipina. Dokumen tersebut dapat diakses
secara online di mnlf.net sebagai situs resmi dari MNLF dalam
http://www.mnlf.net maupun situs MILF dalam
http://www.luwaran.com. maupun dalam dokumen buku-buku.
dokumen release maupun pidato politik dari presiden Filipinadari
pemerintah Filipina dapat diakses secara online dalam dalam
http://www.op.gov.ph/.
Studi dokumen tentang dinamika konflik dan negosiasi juga
dilakukan di 3 Universitas, yakni di University of Philippines Diliman,
kemudian di Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Universitas Islam
Antar Bangsa (International Islamic Univesity of Malaysia). Untuk
melengkapi bahan dokumen yang belum diperoleh dari studi pustaka di
3 Universitas tersebut maka

24
dilakukan studi dokumentasi di National Museum of Philippines, dan
Istana Malacanang Manila Philipina.
Kedua, wawancara terhadap tokoh yang memiliki kompetensi
dalam konteks praktis maupun akademisi maupun peneliti yang
menaruh perhatian terhadap dinamika konflik dan negosiasi dalam
penyelesaian Mindanao. Wawancara dilakukan pertama kali dilakukan
dengan kalangan akademisi dari Filipina maupun Moro melalui email.
Beberapa akademisi yang berhasil diwawancarai adalah Kamarulzaman
Askandar (peneliti dan penulis buku Mindanao Conflict), Benedicto
Bancani (akademisi dari Filipina), Mirriam Ferrer (Professor Politik di
UPI), Amina Rasul, (Direktur Islam and Democracy di Filipina), Mario
Diokno (Professor Sejarah dari Univesity of Philippine), Randlof
David (Professor Ekonomi-Politik dari University of Philippine dan
pernah menjadi asisten pribadi presiden Erick Etsrada), Teressa Tadem
(Professor Politik di University of Philippines dan Direktur
Pembangunan Dunia Ketiga di UPI), maupun Rizal Buendia (seorang
akademisi dari Mindanao yang sebelumnya mengajar di De la Salle
University dan sekarang ini School of Oriental and Asian Studies di
London) dan Rizal Sukma, seorang peneliti di CSIS Jakarta.
Wawancara secara langsung kepada para akademisi dilakukan
tatkala mengikuti international conference seperti di ICOSH
(International Conference on Social and Humanities) di UKM
Malaysia, 2007, kemudian di International conference dan research
di University of Philippine yang diselenggarakan oleh SEASREP
bersama dengan KISEAS yang kemudian diikuti dengan field study di
Mindanao dan Manila tahun Agustus 2008. Dan international
conference di Kualalumpur yang diselenggarakan oleh APISA yang
membahas tentang dinamika Resolusi Konflik di Asia pada bulan
November 2008.
Wawancara dengan para praktisi yang terlibat dalam dinamika
negosiasi Duta Besar Wiryono, beliau merupakan tim mediator dari
Indonesia yang terlibat secara langsung dalam menfasilitasi pelaksanaan
negosiasi dalam kerangka Final Peace

24
Agreement 1996. Duta Besar Agus Martohandoyo, diplomat senior
yang memiliki pengalaman dalam negosiasi internasional, maupun
negosiasi dalam menyelesaikan konflik perbatasan di Irian Jaya, Timor
Tumur dan Aceh. Mohager Iqbal, merupakan ketua panelis dari MILF
dalam menegosisaikan konflik Mindanao dengan pemerintah Filipina,
yang memberikan informasi secara detail tentang dinamika negosiasi
antara pemerintah Filipina dengan MNLF maupun MILF. Michael Datu
Mastura, seorang panelis dari Moro, yang selama ini terlibat dalam
pelaksanaan negosiasi antara pemerintah Filipina dengan faksi
perlawanan Moro di Mindanao. Panelis dari Filipina Dan Jusuf Kalla,
merupakan tokoh yang teribat dalam menfasilitasi perundingan antara
MNLF dengan pemerintah Indonesia, dan memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan Nur Misuari, baik sebelum peruindingan tahun
1996 maupun sesudah perundingan. Jusuf Kalla juga seorang arsitek
perdamaian yang dalam penyelesaian konflik antara pemerintah
Indonesia dengan GAM dalam formula Helsinki Agreement tahun
2006.
Wawancara juga dilakukan dengan mitra kerja dalam
international contact group seperti David Gorman (Center for
Humanitarian Dialogue), Cynthia Petrigh (Conciliation Resources),
Steven Rood (Asia Foundation), Tom Parks (Asia Foundation), Din
Syamsuddin (Muhammadiyah), Christopher Wright (British Embassy
Manila), Boyd McCleary (British Embassy Kuala Lumpur), Hitoshi
Ozawa (Japanese Embassy Manila), Yoshihisa Ishikawa (Japanese
Embassy, Manila), Yasin Temizkan (Turkish Embassy, Kuala
Lumpur). Interaksi dengan mitra kerja ICG, dalam membantu proses
perdamaian di Mindanao memberikan banyak informasi, dan
pengalaman tentang beragam kerumitan yang terjadi. Baik dalam
konteks sharing informasi, maupun dengan mengikuti dan mengamati
proses negosiasi dalam forum exploratory meeting di Kualalumpur,
Manila dan Jakarta.
Wawancara tentang masalah human security di Mindanao juga
dilakukan dengan perwakilan ICRC di Mindanao, Mr. Irene Hurbat.
Data-data dari ICRC menunjukkan bahwa human security

24
di Mindano dalam sepuluh tahun terakhir pasca penandatangan Final
Peace Agreement 1996, menunjukkan trend yang semakin
memburuk. Sharing informasi dari Irene Hurbat semakin menguatkan
bahwa konflik Mindanao telah menjadi situs konflik yang tidak
berkesudahan terkait dengan adanya kecenderungan instrumentasi
konflik dan negosiasi oleh aktor-aktor politik di Mindanao.
Ketiga, curah gagas dalam forum internasional conference
di ICOSH yang diselenggarakan pada Maret 2007 dengan menulis paper
Former Rebellion Movement In Power: A Challenge of
Performance Proofing dengan mengabil studi kasus management
politik dari MNLF yang kemudian dibahas dalam kelompok
Keamanan dan Politik. Dalam forum ini bertemu dengan panelis dari
berbagai Negara, termasuk di antaranya dari Moro. Curah gagas yang
kedua dilakukan dalam International Seminar Focused on Philippine
yang diselenggarakan oleh SEASREP tahun 2008, di mana dalam
forum ini mendapatkan informasi yang detail tentang dinamika politik
di Filipina, termasuk diskursus tentang Moro. Dalam forum ini juga
bertemu dengan intelektual dari berbagai Negara, baik Thailand,
Korea, Jepang, Malaysia, Filipina, termasuk di dalamnya terdapat
peneliti Mindanao. Dan forum International Conference for
Improving Capasity yang diselenggarakan oleh APISA (Asian
Political and International Studies Association) yang secara khusus
membahas tentang issue resolusi konflik di berbagai Negara termasuk
issue konflik Mindanao. Dalam forum ini bertemu dengan peneliti dari
de La Sale University yang berbagi dokumen tentang konflik Mindanao.
Data tentang dinamika konflik dan proses negosiasi diperoleh
secara update dan memadai tatkala terlibat dalam tim ICG
(International Contact Group) yang terdiri dari Asia
Foundation, Concialiation Resources, Pemerintah Jepang,
Pemerintah Turki, Muhammadiyah, Pemerintah Inggris dan Centre for
Humanitarian Dialogue. Group ini dibentuk untuk menfasilitasi
mediasi perdamaian antara pemerintah Filipina dengan MILF.
Informasi diperoleh baik dalam pertemuan berkala dalam bentuk

25
Exploratory Meeting ataupun forum konsultasi dan diskusi melalui
milist tentang progress dari pembicaraan damai, yang sudah
berlangsung semenjak 4 Desember 2009 sampai Oktober 2010.
Keempat, pengalaman praktis menjadi Muhammadiyah
Advisor dalam International Contact Group, dengan mengikuti
forum-forum diskusi di internal Muhammadiyah dengan melibatkan
berbagai praktisi dan akademisi yang konsen dengan issue perdamaian
dan resolusi konflik, ataupun menghadiri secara langsung forum
Exploratory Meeting antara MILF dan pemerintah Filipina pada
tanggal 27-29 Januari 2010 di Royal Chulan Hotel Kualalumpur. Yang
dalam forum ini kemudian dapat berinteraksi langsung dengan panelis
dari berbagai fihak dan termasuk dengan fasilitator dari Malaysia, Datuk
Othman Razak, Panelis dari Filipina, panelis dari MILF.
I.4. Cara Interpretasi
Setelah data terkumpulkan maka akan dikategorisasi data yang
terkait dengan dokumen negosiasi dan proses negosiasi berlangsung.
Langkah Pertama, interprestasi terhadap data dokumen perjanjian
dilakukan dengan melakukan analisis terhadap isi perjanjian untuk
mengetahui cakupan ataupun pengakomodasian terhadap sebab-sebab
dinamika konflik baik sebagai underlying factors maupun sebagai
precipating factors, pilihan-pilihan formula politik untuk penyelesaian
konflik Mindanao dalam negosiasi, dan pilihan regim negosiasi yang
dipilih dalam proses negosiai, serta implikasi Final Peace Agreement
1996 sebagai regim negosiasi yang dipilih terhadap proses
pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao.
Langkah kedua, interpretasi antara aktor dan struktur dalam
memahami konflik Mindanao, maupun proses pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao. Langkah ini dilakukan dengan
menganalisis kepentingan aktor maupun struktur, baik dari fihak-fihak
yang berkonflik (parties) maupun fihak-fihak ketiga (third parties)
terhadap proses pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao.
Bagaimana struktur politik seperti Parlemen, Senat, Mahkamah Agung,
Militer di Manila memandang

25
pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao. Bagaimana struktur
politik di Mindanao seperti etnis Kristen Filipino (yang mayoritas)
dengan struktur gereja dan tuan tanah (biasanya politisi di Luzon)
, etnis Moro yang terbelah dalam 3 faksi besar, MNLF, MILF dan Abu
Sayyaf dengan kelompok bersenjata, serta etnis Lumads.
Interpretasi juga dilakukan terhadap pilihan alternative
penyelesaian pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao, apakah
penyelesaian konflik Mindanao (Mindanao conflict) dengan
penyelesaian masalah Mindanao (Mindanao Problems), yang berbasis
peningkatan kesejahteraan ekonomi dan politik masyarakat Mindanao
ataukah penyelesaikan konflik Mindanao (Mindanao conflict) dengan
penyelesaian masalah Moro (Moro Problems), yang berbasis
pengakuan dan penghormatan terhadap nilai identitas sejarah, politik,
budaya dan ekonomi Moro, yang berimplikasi terhadap peningkatan
kesejahteraan ekonomi dan politik Moro (apakah tetap dalam tata
administratif dan politik Filipina atau menjadi Negara Merdeka).
Jika dengan penyelesaian masalah Moro (Moro Problems)
, faksi politik mana yang dipilih untuk dilibatkan secara intensif dalam
proses pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao. Rasionalisasi apa
yang dikembangkan oleh aktor dan struktur untuk memilih faksi tertentu
dari Moro dalam membangun regim negosiasi dalam pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao, terkait dengan banyaknya faksi
perlawanan Moro seperti MNLF, MILF, maupun Abu Sayyaf yang
memiliki kepentingan dan basis idiologi yang berseberangan.
Bagaimana
Langkah ketiga, menginterpretasi dari dua langkah
interpretasi sebelumnya untuk menemukan factor-faktor yang
menyebabkan kegagalan regim negosiasi dalam Final Peace
Agreement 1996 untuk pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao
yang diukur dari efektivitas regim negeosiasi dalam penyelesaian
konflik etnis bersenjata (armed conflict) berupa pelembagan
peningkatan stabilitas politik dan keamanan serta peningkatan
kesejahteraan sosail dan ekonomi di Mindanao. Interpretasi kegagalan
regim negosiasi Final Peace Agreement

25
1996 dalam pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao difokuskan
kepada interpretasi implikasi pilihan regim negosiasi yang dibangun
terhadap pelembagaan penyelesaian konflik Mindanao berupa tidak
terbangunnya regim kepatuhan negosiasi (Compliance Regime) dalam
struktur Final Peace Agreement 1996 untuk pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao, terabaikannya proses pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao akibat terjadinya tekanan politik yang
sangat serius terhadap pilihan aktor negosiasi dalam Final Peace
Agreement 1996, rendahnya partisipasi stakeholder konflik
mindanao dalam proses peace building di mindanao , dan
meningkatnya artikulasi politik kekerasan dari kelompok politik di
mindanao kurang terbangunnya infra-struktur dan supra-struktur yang
dapat meningkatkan akselerasi kesejahteraan sosial dan ekonomi
stakeholder konflik Mindanao
I.5. Jangkauan Penelitian
Fokus utama dalam kajian riset desertasi ini adalah tentang
proses pelembagaan negosiasi dalam penyelesaian konflik Mindanao.
Pelembagaan negosiasi sudah diawali semejak tahun 1976, yang
ditandai dengan penadatanganan Tripoli Agreement 1976, antara
Pemerintah Ferdinand Marcos dengan MNLF, dan kemudian
dilanjutkan dengan Jeddah Concord 1987, antara pemerintah Corazon
Aquinno dengan MNLF, dan Final Peace Agreement 1996 antara
pemerintah Fidel Ramos dengan MNLF.
Aktor yang menjadi kajian utama dalam pelembagaan negosiasi
adalah perilaku politik dalam negosiasi dari pemerintahan Fidel Ramos
yang mewakili pemerintahan Filipina dengan MNLF yang mewakili
kelompok politik Muslim di Mindanao. Pilihan untuk menempatkan
MNLF sebagai representasi dari Moro didasarkan pertimbangan bahwa
dalam seri negosiasi antara pemerintah Filipina dengan gerakan
perlawanan Moro cenderung menempatkan MNLF sebagai actor utama.

25
Pilihan untuk focus kepada issue pelembagaan negosiasi dalam
Final Peace Agreement 1996 didasarkan pertimbangan bahwa desain
Final Peace Agreement 1996, dalam kurun waktu 4 tahun pasca
penandatanganan Final Peace Agreement 1996 telah menjadi
prototype yang efektif bagi penyelesaian konflik separatis. Sehingga
beberapa seperti di Srilangka, China dan Indonesia tertarik untuk
mengadopsi model pelembagaan negosiasi dalam menyelesaikan
konflik separatis di wilayahnya. Namun Final Peace Agreement
1996 yang sebelumnya difahami sebagai mekanisme pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao, ternyata hanya memberikan efek
panasea dan simtomatik saja, sehingga pada tahun 2000 pelembagaan
penyelesaian konflik Mindanao melalui Final Peace Agreement
1996 mengalami kegagalan, yang ditandai dengan menurunnya derajat
kesejahteraan masyarakat Mindanao dan meningkatnya indeks
kekerasan dan level konflik, dari minor conflict menjadi major
conflict, bahkan war.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Said, Mohammed Abu-Nimer and Meena Sharify-Funk,


2006, Contemporary Islam, Routledge
Abdullah, Irwan, “Penggunaan dan Penyalahgunaan Budaya dalam
resolusi konflik di Indonesia”, Antropologi Indonesia Vol. 25
No. 66, 2002
Abet, Abraham Iribani, 2007, Give Peaca A Chance: The Story of
GRP-MNLF Peace Talks, Mandaluyong City, The Philippines
Council for Islam and Democracy
Akhavi, Shahrough, 2000, Religion and Politics in Contemporary
Iran: Clergy-State Relations in the Pahlevi Period, New
York, Albany, 2000
Akhmad, Mumtaz (ed.), Masalah-Masalah Teori Politik Islam,
Bandung, Mizan, 2004
Alagappa, Muthiah(ed.), 2005, Political Legitimacy in Southeast
Asia: The Quest for Moral Authority, Stanford, Stanford
University Press
Alexander E. Wendt, 1987, “The Agent-Structure Problem in
International Relations Theory”, International Organization,
Vol. 41, No. 3.
Ali Mohammadi, 2006, Iran Encountering Globalization, Routledge
Ali, Mukti (ed.), 2003, Pemikiran-Pemikiran Islam di Asia Selatan,
Bandung, Mizan
Amirahmadi, Hooshang, 2000, Revolution and Economic Transition:
The Iranian Experience, Albany, State University of New York
Anoshiravan Ehteshami, 2007, Globalization and Geopolitics in The
Middle East, Routledge
Anthony,John, 2007, Islam in World Politics, Oxford University
Anwar, Syafu’I, 1997, Pemikiran dan Aksi Politik Islam di
Indonesia, Jakarta, Paramadina
Asfar, Muhammad (ed). 2007, Islam lunak, Islam radikal:
Pesantren, terorisme, dan bom Bali, Surabaya: JP Press.
Atty. Soliman M. Santos, Jr., 2005, Charter Change And The Peace
Process: Some Key Propositions, Institute For Autonomy And
Governance, .Konrad Adenauer-Stiftung, No. 4 September 12

25
Ayoob , Mohammed, 2007, The Many Faces of Political
Islam:Religion and Politics in The Muslim World, University
of Michigan
Ayoob, Mohammad, 2008, The Many Face of Poitical Islam:
Religion and Politics in the Muslim World, Ann Arbor, The
Uiversity of Michigan
Azizah, Nur, 2010, Pelembagaan Advokasi Sebagai Mekanisme
Mengubah Kebijakan Publik, Penelitian tidak dipublikasikan,
Jurusan HI UMY
Azra, Azyumardi, 2003, Pergolakan Pemikiran Politik Islam,
Jakarta, Paramadina
Azra, Azyumardi, 2006, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalis, Modernisme Hingga Post Modernisme,
Jakarta, Paramadina
Bancani and Ambolodto, 2002, An Evolving Autonomy: The Organic
Law of the Autonomous Region in Moro, Annotated, Center
for Autonomy and Governace, Notredame Univeristy College of
Law, Cotabato City
Baverly Milton Edward, 2004, Islamic Fundamentalism since 1945,
Routledge
Böhning, W.R. 1984. Studies in international labor migration.
London: Macmillan.
Borowski, Allan, and Uri Yanai 1997. “Temporary and illegal labor
migration: the Israeli experience.” International Migration 35
Bourguignon, Francois, Bernard Fernet, and Georges Gallais- Hamonno
1977. International labour migrations and
economic choices: the European case. Paris: Development Centre
of the Organisation for Economic Co-operation and
Development.
Breslin, J. William and Jeffrey Z Rubin, 1993, Negotiation Theory
and Practice, Cambridge, Massachusetts
Broadhead, Philip and Damien Keown (eds),2007, Can Faith
Make Peace, London, I.B. Tauris
Byman, Daniel, 2005, Deadly Connections: States That Sponsor
Terrorism, Cambridge University Press
Canoy, Reuben R, 1987, The Quest for Mindanao Independence,
Cagayan de Oro, Mindanao Post Publishing
David J. Whitaker , Terrorist and Terrorism, MIT Press, 2004

25
Donohue, John J., John L. Esposito (eds.), 2004, Islam dan
Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta
RajaGrafindo Persada
Drysdale, Alasdair, Gerald H. Blake, 2005, The Middle East and
North Africa: A Political Geography, New York, Oxford
University Press
Duverger, Maurice, 2003, Sosiologi Politik, Jakarta, Penerbit
Radjawali
Eva K. Tan, 2003, ARMM Regional Framework: Issues And
Concerns, Institute For Autonomy And Governance, .Konrad
Adenauer-Stiftung, No. 5 November 27
Fakih, Mansour, Eko Prasetyo dan Antonius M. Indrianto, 2003,
Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk
Membangun Gerakan HAM. Yogyakarta: INSIST Press
Felipe, Jesus, 2006, Labor Markets in Asia Issues and
Perspectives, New York, Palgrave Macmillan
Fink, Carole, 2004, Defending the Rights of Others: The Great
Powers, the Jews, and Intern, Cambridge University Press
Fisher, Ronald J. , 2001, “Methods of Third-Party Intervention.”
Berghof Handbook for Conflict Transformation. Berlin,
Germany: Berghof Research Center for Constructive Conflict
Management
Fisher, Simon, et. all.. 2001, Mengelola Konflik: Ketrampilan dan
Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council, 2001
Fouskas, K Vassilis, T2009, he Politics of Conflict: A Survey,
London, Routledge
Garry Samore, 2005, Iran Strategic Weapons Programmes,
Routledge, 2005
Giddens, Antony, 1979, Central Problems in Social Theory,
Berkeley: University of California Press,
Giddens, Antony, 1984, The Constitution of Society: Outline of the
Theory of Structuration, Cambridge, U.K.: Polity Press
Golose, Petrus, 2010, Deradikalisasi terorisme : humanis, soul
approach, dan menyentuh akar rumput, Jakarta, Yayasan
Pengembangan Ilmu Kepolisian
Goodin, E Robert and Hans-Dieter Klingermann (eds.), 2000, A New
Handbook of Political Science, New York, Oxford University
Press
Greenberg, Karen J., 2005, Al Qaeda Now: Understanding Today's
Terrorists, Cambridge University Press

25
Guinard, Caroline. 2002, From War to Peace. Bangkok, Thailand:
Nonviolence International
Gurr, Ted Robert, and Barbara Harff. 1996. Early warning of
communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations
University Press
Haideh, Moghissi , 2006, Muslim Diaspora, Routledge
Haris, Peter dan Ben Reilly. 2000, Demokrasi dan Konflik yang
Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Jakarta: IDEA
Heraclides, Alexis, 1991, The Self-Determination of Minorities in
International Politics, London: Frank Cass and Company, Ltd.
Hillel Frisch , 2007, The Palestinian Military, Routledge Hopmann,
Terrence, 2002, “Negotiating Data: Reflecetions on the
Qualitative and Quantitative Analysis of Negotiation
Process”, International Negotiation 7
Hulme, David dan Jonathan Goodhand.. 1997, Peacebuilding and
Complex Political Emergencies, Working Paper Series No.
1, NGOs and Peacebuilding in Complex Political
Emergencies: An Introduction. Manchester, UK: Institute of
Political Policy and Management, University of Manchester
Hunter, Shireen, 2008, The Politics of Islamic Revivalism: Diversity
and Unity, Bloominton, Indiana University Press
Hunter, T Shireen, 2003, Islamic Revivalism: Unity and Diversity,
Bloomington,
Ilan Pappe, 2007, The Israel/Palestine Question, Routledge
Index Peace Barometer, 2013.
IOM, 2010, Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia: Gambaran
Umum Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan
di Asia dan Timur Tengah, Jakarta, IOM,
Jacobsen, Joyce, P. 2004, Labor markets and employment
relationships: a comprehensive approach, Hongkong,
Blackwell Publishing Ltd,
Jalil Roshandel, Sharon Chadha , 2006, Jihad and International
Security, Palgrave Mac Millan
Jenkins, J. Craig , 2001, “Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis,
and Reconstruction: A Framework for the Early Warning of
Political System Vulnerability, Journal of Conflict Resolution
Vol. 45 No. 1

25
Jenkins, J. Craig 2001, “Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis, and
Reconstruction: A Framework for the Early Warning of Political
System Vulnerability, Journal of Conflict Resolution Vol. 45
No. 1
Kahler, Miles (Ed.), 2006, Territoriality and Conflict in an Era of
Globalization, Cambridge University Press
Khatami, Muhammad, 2002, Membangun Dialog Peradaban,
Bandung, Mizan
Krippendorff, Klaus, 2009, Content Analysis An Introduction to Its
Methodology, London, Sage Publications
Krippndorff, Klaus, 2004, Analisis Isi: Pengantar Teori dan
Metodologi, Jakarta, Rajawali, 2004
Kupchan, Charles A. , 2010, How Enemies Become Friends:The
Sources Of Stable Peace, Princenton And Oxford, Princeton
University Press
Lambert, Jonamy, and Selma Myers, 1999, 50 Activities for Conflict
Resolution Group Learning and Self Development
Exercises, Amharest, Human Resource Development Press, Inc.
Layson, Fr. Roberto C., OMI.. In War, The Real Enemy is War
Itself. Davao City: Initiatives for International Dialogue, 2003
LIN, 2004, Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi: Informasi
Potensi Konflik dan Potensi Integrasi Bangsa (Nation and
Character Building), Jakarta, Deputi Bidang Pengkajian dan
Pengembangan Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional
Mahendra Handoko, 2010, “Advokasi Terhadap Permasalahan
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri,” Warta
Hukum Edisi VII Januari – Februari
Malik, Ichsan, 2006, Manual Pelatihan Pembangunan Perdamaian
dan Pencegahan Konflik, Jakarta, SERAP
Menashri, David, 1990, A Decade of War and Revolution, New York,
Holmes & Meier
Milani , Mohsen M, 1988, The Making of Iran’s Islamic Revolutions:
From Monarchy to Islamic Republic, Boulder, Westview Press
Moten, Noraini , 2007, Terrorism, Democracy, West & Muslim
World, Thomson and Wadsworth Publishers, 2007
Muhsin, Hussein bin Ali Jabir, 2003, Membentuk Jama’atul Muslimin,
Jakarta, Gema Insani Press, 2003

25
Munir, Abdul Mulkhan, 2000, Pemikiran Ahmad Dahlan dan
Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial,
Jakarta, Bina Aksara, 2000
Nur Hasan, Nur, 2009, Ijtihad Politik NU: Kajian Filosofis Visi Sosial
dan Moral Politik NU Dalam Upaya Pemberdayaan “Civil
Society”, Yogyakarta, Manhaj, 2009
Qardhawy, Yusuf, 2005, Fiqhul Ikhtilaf (Terjemahan), Jakarta,
Gema Insani Press
Qardhawy, Yusuf, 2003, Berpolitik Menurut Al-Qur’an dan
Sunnah, Jakarta, Gema Insani Press
Ramadhan, Muhammad al Buty, Sirah Nabawiyyah Jilid I, Jakarta, Gema
Insani Press, 2001
Republika, Rabu , 6 Oktober 2010
Surwandono, 2006, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta, LPPI UMY
Surwandono, 2013, Fiqh Perbedaan Dalam Dunia
Kemahasiswaan, Yogyakarta, NF Publishing
--------, 2015, Separatisme dan Politik Kekerasan, Yogyakarta,
Jurusan HI UMY dan CV Komojoyo.
--------,Sidiq Ahmadi, 2010, Pelembagaan Fiqh Perbedaan Dalam
Mendiskursuskan Pemikiran Islam Berbasis Liberal dan
Fundamental Pada Organisasi Ekstra Kampus Berbasis
Islam di Yogyakarta, Laporan Penelitian Hibah Bersaing ( tidak
diterbitkan), Yogyakarta, Fisipol UMY
--------,Sidiq Ahmadi, 2011, Resolusi Konflik Di Dunia Islam,
Yogyakarta, Ghalia Ilmu, 2011
--------, Tunjung Sulaksono, 2010, Penatalaksanaan Deteksi dini
Dalam Pencegahan Konflik Horisontal Pada Pelaksanaan
Pilkada Langsung di Jawa Timur, Jurnal Sosial dan Ilmu
Politik UMY
---------, 2013, Manajemen Konflik Separatisme: Dinamika Konflik
dan Negosiasi di Mindanao, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
---------, dan Ratih Heringtyas, 2009, Peningkatan Kapasitas
Perempuan Sebagai Aktor Resolusi Konflik Etnis di
Indonesia, Laporan Riset Hibah Bersaing Dikti
Tamar Mayer and Suleiman A. Mourad , 2007, Jerusalem,
Routledge
Ted, Robert , Ted Gurr, 1998, Minorities at risk. Washington, DC:
U.S. Institute for Peace

26
Ted, Robert Gurr, and Barbara Harff. 1996. Early warning of
communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations
University Press
Trappl, Robert, 2006, Programming for Peace: Computer Aided
Methods for International Conflict Resolution and
Prevention, New York, Springer
Trijono, Lambang (ed.), 2004, The Making of Ethnic Religious
Conflict in Southeast Asia: Case and Resolution,
Yogyakarta, CSPS Book
Turmudi, Endang dan Sihbudi, R. 2005. Islam dan radikalisme di
Indonesia. Jakarta, LIPI Press).
UU No. 7 Tahun 2012
Wadi, Zulkipli , 1993, Islamic Diplomacy: A Case Study of the OIC
and the Pacific Settlement of the Moro Question (1977-
1992), (MA Islamic Studies thesis, Institute of Islamic Studies,
University of Philippine
Wendt, Alexander E., 1987, “The Agent-Structure Problem in
International Relations Theory”, International Organization,
Vol. 41, No. 3. (Summer)
William L. Cleveland, 2004, A History of The Modern Middle East,
Westview Press
Yazid, Sylvia, 2010, “Activism Of Indonesian Ngos On The Issue Of
Women Migrant Workers: Engaging In National And
International Co-Operation”.
Yunanto, Sri, 2003, Gerakan militan Islam: Di Indonesia dan di
Asia Tenggara, [Islamic militant movement: in Indonesia
and Southeast Asia]. Jakarta: Ridep Institute, 2003
Zada, K. (2003). Islam radikal: Pergulatan ormas-ormas Islam
garis keras di Indonesia Jakarta: Teraju.
Zahrah, Abu Muhammad, 2006, Aliran Politik dan Aqidah Dalam
Islam, Jakarta, LOGOS
Zartman, I William and Guy Olivier Faure,2009, Escalation and
Negotiation in International Conflict, New York, Cambridge
University Press
---------, Negotiation and Conflict Managemen: Essay on Theory
and Practice, New York, Routledge, 2008

26

You might also like