You are on page 1of 32

CHAPTER I

MOOD DISORDERS AND SUICIDAL BEHAVIOR


BY : SHEIDATI ZAKIAH SILALAHI
1. Latar Belakang Masalah
Mood disorder merupakan hal yang umum dan lazim (gangguan ini

terbanyak ditemukan baik dipelayanan kesehatan mental maupun dalam

praktek dokter medis umum). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di

Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan 9-26% wanita dan 5-21% pria pernah

mengalami depresi yang gawat di dalam kehidupan mereka.

Hampir 2/3 individu yang mengalami depresi memikirkan untuk bunuh diri

dan hanya 10-15% yang melakukan percobaan bunuh diri. Mereka yang di bawa

ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri akan lebih berhasil bunuh diri

daripada mereka yang belum dirawat di rumah sakit. Hampir semua pasien

(97%) mengeluh bahwa mereka kekurangan energi, sukar menyelesaikan tugas

mereka, prestasi belajar menurun, prestasi pekerjaan menurun, kurang

motivasi untuk menerima tugas atau proyek baru.

Sekitar 80% pasien depresi mengeluh tentang kesulitan tidur, terutama

suka terbangun dini hari atau sering terbangun di malam hari, ketika mereka

sedang merenungkan tentang masalah mereka. Banyak pasien depresi

kehilangan nafsu makan dan kehilangan berat badan, tetapi ada juga yang

mengalami penambahan nafsu makan dan kenaikan berat badan, juga tidur

lebih lama dari biasanya. Namun, banyak individu yang tidak menyadari bahwa

mereka menderita depresi dan apa yang dilakukan untuk mengobati gangguan

tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai

gangguan suasana hati yang terdiri dari gangguan depresi (unipolar) dan

gangguan bipolar.

2
2. Rumusan Masalah
1. Apa itu gangguan mood;

2. Apa saja macam-macam gangguan mood dan ciri-cirinya;

3. Bagaimana perspektif/persepsi teoritis tentang gangguan mood;

4. Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan gangguan mood;

5. Bagaimana terapi untuk gangguan mood;

6. Apa itu kehilangan yang dapat menyebabkan bunuh diri;

7. Penjelasan tentang bunuh diri;

3. Tujuan
Tujuannya membuat makalah ini adalah agar dapat memberikan

pengetahuan yang belum didapatkan oleh pembaca atau teman-teman. Selain

itu, kami mengharapkan agar pembaca atau teman-teman dapat mengetahui

tentang mood disorders, dan mengapa ia termasuk kedalam kategori psikologi

abnormal. Di sini, kami menjelaskan tentang apakah itu gangguan mood, tipe-

tipe gangguan mood, bunuh diri, dan lainnya.

Selain itu, kami mengharapkan agar pembaca atau teman-teman dapat

menambah wawasan, dan dapat menegrti tentang gangguan mood ini. Di

makalh ini kami mengupas semua tentang gangguan mood dan kami ringkas

untuk mempermudah pembaca atau teman-teman yang membaca.

3
4. Pengertian Gangguan Mood
1. Definisi Gangguan Mood Menurut Ahli

Dalam hidup semua manusia memiliki perasaan yang berbeda-beda dalam

setiap harinya. Perasaan itu terkadang sedih, senang, marah, dan lain

sebagainya yang biasanya berlangsung sementara. Perasaan tersebut sering

disebut dengan mood. Mood merupakan perpanjangan dari emosi yang

berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam, beberapa

hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus depresi beberapa bulan. Mood yang

dialami dalam kehidupan manusia ini sedikit banyak akan berpengaruh kuat

terhadap cara mereka dalam berinteraksi (Meier, 2000: 8-9).

Mood adalah kondisi perasaan yang terus ada dan mewarnai kehidupan

psikologis kita. Perasaan sedih atau depresi bukanlah yang abnormal dalam

konteks peristiwa atau situasi yang penuh tekanan. Namun, orang dengan

gangguan mood atau yang sering dikenali sebagai gangguan perasaan biasanya

terlarut dalam suasana perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama

sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi

tanggung jawab secara normal. Mereka yang mengalami gangguan mood ini

akan mengalami perubahan mood yang ekstrem, bagaikan roller coaster

emosional dengan ketinggian yang membuat pusing dan turunan yang bukan

kepalang ketika dunia disekitarnya tetap stabil (Nevid, 2003: 229).

Pada diri manusia mood ini datang dan pergi, dan ketika itu terjadi

biasanya kita dapat mengatasinya dan kembali normal. Namun, kenyataannya

tidak semudah itu umumnya gangguan mood ini terjadi pada semua usia,

ekspresi gangguan mood pada anak-anak bervariasi tergantung pada usia

mereka.

4
Mood pada seorang anak lebih rentan terhadap pengaruh stressor social

yang parah seperti percekcokan keluarga yang kronis, penyiksaan dan

penelantaran serta kegagalan akademik (Kaplan, dkk, 1997:809-810).

Ganggguan mood yang terjadi pada seseorang ini umumnya terjadi

karena banyaknya tekanan yang menimpa dirinya dan cenderung terlarut dalam

tekanan dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang

kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi mayor. Hal ini

terbukti pada suatu penelitian yang menemukan bahwa dalam sekitar empat

dari lima kasus, depresi mayor diawali oleh peristiwa kehidupan yang penuh

tekanan. Orang juga lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka

menanggung sendiri tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkan

(Nevid, 2003: 240).

Depresi berat yang terjadi dalam jangka waktu yang lama ataupun orang

yang berada di bawah tekanan stress yang berat dan tidak memiliki

pertimbangan yang baik, maka orang tersebut lebih memilih untuk bunuh diri

(Nevid, 2003: 262).

Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa gangguan mood ini

merupakan suatu gejala yang menyebabkan perubahan suasana perasaan pada

seseorang secara ekstreem dan membuat penderitanya terlarut dalam suasana

perasaannya dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu

kemampuan mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara

normal.

5
5. Macam-Macam Gangguan Mood dan Ciri-

Cirinya
Ada beberapa jenis dalam gangguan mood yang terjadi pada manusia ini

umumnya digolongkan sesuai dengan tingkat seberapa lamanya gangguan ini

terjadi, yaitu :

1. Gangguan Unipolar

 Gangguan Depresi

Depresi merupakan suatu perasaan yang bias muncul dalam

berbagai cara dan mempunyai sejumlah penyebab,tidak memedulikan

jenis kelamin dan pekerjaan, dan bias menyerang kapanpun dari

remaja sampai paruh baya. Dimana usia paruh baya ini merupakan

usia puncak dari depresi. Pada setiap orang depresi ini berbeda-

beda bentuknya. Kondisi ini bisa disertai dengan kecemasan, gelisah,

dan berbicara gugup atau bias beralih menjadi periode mania ( mood

yang meningkat), berbicara terputus-putus, serta aktivitas

kompulsif yang dinamakan pasien “manic depresif”. Namun, ada juga

yang bersikap apatis dan cenderung menutupi kekhawatirannya.

Penderita sering mengeluh tidak mampu berfikir dengan jelas, sulit

berkonsentrasi, atau membuat keputusan (Jacoby, 2009:34). Dalam

proses berjalannya gangguan depresi, depresi ini merupakan

gangguan yang dapat dibagi menjadi tiga tahap yang dimulai dari

gejala yang ringan, sedang hingga berat.

Gejala atau ciri-ciri utama seseorang dengan depresi adalah afek

depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya

6
energy yang menuju meningkatnya keadaan yang mudah lelah dan

menurunnya aktivitas.

Gejala atau ciri lainnya :

 Konsentrasi dan perhatian berkurang,

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang,

 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna,

 Pandangan tentang masa depan yang suram dan pesimistis,

 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri,

 Tidur terganggu,

 Nafsu makan berkurang (Maslim, 2003: 64)

Macam-macam Depresi menurut ahli diantaranya:

 Depresi ringan

Depresi ringan ini di identikkan dengan depresi minor yang

merupakan perasaan melankolis yang berlangsung sebentar

dan disebabkan oleh sebuah kejadian yang tragis atau

mengandung ancaman, atau kehilangan sesuatu yang penting

dalam kehidupan si penderita (Meier, 2000: 20-21). Orang

dengan depresi ringan ini setidaknya memiliki 2 dari gejala

lainnya dan 2-3 dari gejala utama. (Maslim, 2003, 64).

 Depresi sedang

Depresi sedang ini di alami oleh penderita selama kurang 2

minggu, dan orang dengan depresi sedang ini mengalami

kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social, pekerjaan

dan urusan rumah tangga. Orang dengan depresi sedang ini

setidaknya memiliki 2-3 dari gejala utama dan 3-4 dari

gejala lainnya (Maslim, 2003: 64)

7
 Depresi mayor

Depresi mayor merupakan salah satu gangguan yang

prevalensinya paling tinggi di antara berbagai gangguan

(Davidson, 2006: 374). Depresi mayor adalah kemurungan

yang dalam dan menyebar luas. Perasaan murung ini mampu

menyedot semangat dan energy serta menyelubungi

kehidupan si penderita seperti asap yang tebak dan

menyesakkan dada. Depresi mayor ini dapat berlangsung

cukup lama mulai dari empat belas hari sampai beberapa

tahun. Hal ini menyebabkan penderita akan sangat sulit

utnuk berfungsi dengan baik di lingkungannya. Orang dengan

depresi mayor ini juga terkadang disertai dengan keinginan

untuk bunuh diri atau bahkan keinginan untuk mati. Orang

yang sangat tertekan, mereka akan mengalami dampak hal-

hal yang mengganggu kejiwaan mereka seperti gila, paranoia

atau halusinasi pendengaran (Meier, 2000: 25-26).

Ciri-ciri Depresi Mayor:

• Mood yang depresi hampir sepanjang hari dan hampir

setiap hari. Dapat berupa mood yang mudah

tersinggung pada anak-anak atau remaja.

• Penurunan kesenangan atau minat secara drastis

dalam semua atau hampir semua aktivitas, hampir

setiap hari, hampir sepanjang hari.

• Suatu kehilangan atau pertambahan berat badan yang

siginifikan (5% lebih dari berat tubuh dalam sebulan),

tanpa ada upaya apapun untuk berdiet, atau suatu

peningkatan atau penurunan dalam selera makan.

8
• Setiap hari (atau hampir setiap hari) mengalami

insomnia atau hipersomnia (tidur berlebihan).

• Agitasi yang berlebihan atau melambatnya respons

gerakan hampir setiap hari.

• Perasaan lelah atau kehilangan energi hampir setiap

hari.

• Perasaan tidak berharga atau salah tempat ataupun

rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat hampir

tiap hari.

• Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau

berpikir jernih atau untuk membuat keputusan hampir

setiap hari.

• Pikiran yang muncul berulang tentang kematian atau

bunuh diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau

munculnya suatu percobaan bunuh diri atau rencana

yang spesifik untuk melakukan bunuh diri.

 Gangguan distimik atau distimia

Gangguan distimik ini merupakan gangguan mood yang

berpola depresi ringan (tetapi nungkin saja menjadi mood

yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja) yang terjadi

dalam suatu rentang waktu—pada orang dewasa, biasanya

dalam beberapa tahun (Nevid, 2003: 229). Gangguan distimik

pada anak-anak dan remaja terdiri dari mood yang

terdepresi atau mudah tersinggung untuk sebagaian besar

hari, lebih banyak hari dibandingkan tidak, selama periode

9
sekurangnya satu tahun. Pada anak-anak dan remaja, mood

yang mudah tersinggung dapat menggantikan criteria mood

terdepresi untuk orang dewasa dan bahwa criteria durasi

adalah bukan dua tahun tetapi satu tahun utnuk anak-anak

dan remaja (Kaplan, dkk, 1997: 813).

Ada beberapa gejala atau cirri yang dapat ditandai saat

gejala ini muncul, yaitu :

 Kehilangan nafsu makan atau justru makan berlebihan,

 Sulit tidur atau kebanyakan tidur (sulit bangun),

 Tingkat energy rendah atau mudah lelah,

 Citra diri yang rendah,

 Daya konsentrasi yang rendah atau sulit mengambil

keputusan,

 Perasaan putus asa.

Penderita gangguan ini setidaknya mengalami gejala-

gejala diatas paling lama 2 bulan sekali. Pada gangguan ini

tidak terjadi depresi mayor selama dua tahun terakhir, tidak

pernah menderita akibat perubahan naik turun antara periode

kegairahan yang membumbung tinggi dan depresi yang

melankolis. Gangguan distimia ini tidak disebabkan oleh

penyalahgunaaan obat atau bahan kimiawi. Namun, gejala ini

mengakibatkan kerusakan klinis yang signifikan dalam fungsi

social, pekerjaan atau area-area penting lain dalam

kehidupan si penderita (Meier, 2000: 22).

10
6. Gangguan Perubahan Mood Bipolar)
A. Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar adalah gangguan mental berat, tanpa memandang apakah

ada perubahan mental antara mania dan depresi secara full brown. Gangguan

bipolar merupakan suatu psikosis afektif, ada gangguan emosi, baik akibat

kebiasaan maupun menyembunyikan kecemasan dan perasaan malu. Pada fase

depresi, pendiam, mendendam perasaan, emosional sensitive. Pada fase mania

perilakunya sangat berlawanan, sangat ekstrover. Pada beberapa kasus

keadaaan ini mengandung unsure fanatic dan religious (Jacoby, 2009: 27).

Gangguan bipolar ini sendiri dibagi menjadi dua, yaitu gangguan bipolar I

dan gangguan bipolar II. Gangguan bipolar I ini terjadi pada seseorang yang

mengalami setidaknya satu episode manic secara penuh. Di mana seseorang

mengalami perubahan mood antara rasa girang dan depresi dengan diselingi

periode antara berupa mood yang normal. Sedangkan, gangguan bipolar II ini

diasosiasikan dengan suatu bentuk maniak yang lebih ringan. Pada gangguan

bipolar II ini sesorang mengalami satu atau lebih episode-episode depresi

mayor dan paling tidak satu episode hipomanik (Nevid, 2003: 237).

 Episode manic

Periode ini biasanya muncul secara tiba-tiba, mengumpulkan kekuatan

dalam beberapa hari. Selama satu episode manic ornag tersebut mengalami

elevasi atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan kegembiraan,

euphoria, atau optimism yang tidak biasa. Orang yang mengalami episode

manic ini akan memperolok orang lain dengan memberikan lelucon yang

keterlaluan atau bahkan cenderung memperlihatkan penilaian yang buruk dan

menjadi argumentative, dan terkadang bertindak afektif. Tak hanya itu orang

yang mengalami episode manic ini umumnya mengalami self-esteem yang

11
meningkat, mulai berkisar dari self-confidance yang ekstreem hingga delusi

total akan kebesaran diri sendiri (Nevid, 2003: 237-238).

Dalam episode manic terdapat kesamaan karakteristik dalam afek yang

meningkat disertai dengan peningkatan dalam jumlah dan kecepatan aktivitas

fisik dan mental dalam berbagai derajat keparahan. Dalam episode manic

terdapat tipe hipomania dimana pada gangguan ini derajat gangguan yang

lebih ringan dari mania. Tipe hipomania ini dapat ditandai dengan adanya afek

yang meninggi atau berubah disertai dengan aktivitas, menetap selama

sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, dan tidak disertai halusinasi

atau waham.

B. Gangguan Siklotimik

Gangguan siklotimik ini berasal dari kata Yunani kyklos “lingkaran” dan

thymos “spirit”. Jadi dapat diartikan bahwa siklotimik ini merupakan spirit

yang bergerak secara berputar di mana dapat diartikan sebagai suatu

deskripsi yang tepat dari siklotimik karena gangguan ini melibtatkan suatu

pola melingkar yang kronis dari gangguan mood yang ditandai oleh perubahan

mood ringan paling tidak selama 2 tahun (1 tahun untuk anak-anak dan

remaja) (Nevid, 2003: 239). Pada gangguan siklotimik anak dan remaja

diperlukan periode satu tahun adanya sejumlah pergeseran mood. Dan pada

beberapa remaja siklotimik dapat memungkinkan untuk menjadi gangguan

bipolar 1(Kaplan, dkk, 1997: 814).

Pada penderita gangguan siklotimik, penderita mengalami pergantian

suasana perasaan senang dan depresi yang bersifat kronis yang tidak sampai

pada tingkat keparahan seperti episode manic atau depresi berat. Pada para

gangguan siklomatik cenderung berada di salah satu keadaan suasana

perasaan selama bertahun-tahun dengan relative sedikit periode suasana

netral (eutimia). Penderita gangguan siklomatik ini secara berganti-ganti akan

12
mengalami gejala-gejala keadaan depresi ringan dan umumnya disebut sebagai

moody (Durand, 2006: 282).

7. Perspektif/Persepsi Teoritis tentang

Gangguan Mood
a. Stres dan Gangguan Mood

Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang

dicintai, putusnya hubungan romatis, lamanya hidup menganggur, sakit fisik,

masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, tekanan di

pekerjaan, atau rasisme dan diskriminasi meningkatkan risiko berkembangnya

gangguan mood atau kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi

mayor (Greenberger dkk., 2000; Kendler, thornton, & Gardner, 2000; Monroe

dkk., 2001). Kejadian traumatis yang penuh dengan tekanan dapat memainkan

peran penting dalam siklus gangguan bipolar, meski mungkin tidak dalam onset

gangguan tersebut ( Hammen & Gitlin, 1997; miklowitz & Alloy, 1999).

Meski stres sering berimplikasi pada depresi, tidaksemua orang yang

mengalami stres menjadi depresi. Faktor-faktor seperti keterampilan coping,

bawaan genetis, dan ketersedianan dukungan sosial memberikan kontribusi

pada kecenderungan depresi saat menghadapi kejadian yang penuh tekanan (

USDHHS, 1999a). Pengembangan depresi juga dapat dipengaruhi oleh

penyiksaan atau trauma dimasa lalu.

Konsisten dengan model diatesis stres, penelitian menemukan bahwa

wanita muda lebih cenderung untuk mengembangkan depresi saat menghadapi

kejadian hidup yang penuh tekanan bila mereka memiliki diatesis dalam bentuk

pemaparan terhadap kemalangan di masa kecil seperti kekerasan dalam

13
keluarga ataupun gangguan mental atau alkoholisme orang tua (Hammen,

Henry, & Daley, 2000).

b. Teori Psikodinamika

Teori psikodinamika klasik mengenai depresi dari Freud (1917/1957) dan

para pengikutnya ( misalnya, Abraham, 1916/1948) meyakini bahwa depresi

mewakili kemarahan yang diarahkan ke dalam diri sendiri dan bukan terhadap

orang-orang yang dikasihi. Rasa marah dapat diarahkan kepada self setelah

mengalami kehilangan yang sebenarnya atau ancaman dari orang-orang yang

dianggap penting ini.

Freud mempercayai bahwa berduka ( mourning), atau rasa berkabung

yang normal, adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang

akhirnya dapat melepaskan dirinya sendiri secara psikologis dari seseorang

yang hilang karena kematian, perceraian, atau alasan lainnya. Namun, rasa

duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang sehat. Malahan, hal ini

akan memupuk depresi yang tak berkesudahan.

Rasa duka yang patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki

perasaan ambivalen (ambivalent) yang kuat, merupakan suatu kombinasi dari

perasaan positif (cinta) dan negatif (marah, permusuhan), terhadap orang

yang telah pergi atau ditakutkan kepergiannya.

Untuk mempertahankan hubungan psikologis dengan objek yang hilang,

mereka mengintrojeksikan, atau membawa ke dalam, suatu representasi

mental dari objek itu. Mereka kemudian menyatukan ornag lain tersebut k

dalam self.

Menurut teori psikodinamika, gangguan bipolar mewakili dominasi yang

berubah-ubah dari kepribadian individu antyara ego dan superego. Dalam fase

depresi, superego adalah dominan, memproduksi kesadaran yang berlebih atas

14
kesalahan-kesalahan dan membanjiri individu dengan bersalah dan

ketidakberhargaan. Setelah beberapa waktu, ego muncul kembali dan mengambil

alih supremasi, memproduksi perasaan girang dan self-confidence yang

menandai fase manik. Ekshibisi ego yang berlebian nantinya akan memicu

kembalinya rasa bersalah, sekali lagi menenggelamkan individu ke dalam

depresi.

Model psikodinamika berfokus pada isu-isu yang berhubungan dengan

perasaan individual akan self-worth atau self-esteem. Suatu model, yang

disebut model self-focusing, mempertimbangkan bagaimana orang

mengalokasikan proses atensi mereka setelah suatu kehilangan (Pyszczynski &

Greenberg, 1987). Menurut model ini, orang yang mudah terkena depresi

mengalami suatu periode self-examination (self-focusing) yang intens setelah

terjadinya suatu kehilangan atau kekecewaan yang besar.

c. Teori Humanistik

Menurut teori humanistik, orang yang menjadi depresi saat tidak dapat

mengisi keberadaan mereka dengan makna dan tidak dapat membuat pilihan-

pilihan autentik yang menghasilkan self-fulfillment. Teoritikus humanistik juga

berfokus pada kehilangan self-esteem yang dapat muncul pada orang

kehilangan teman atau anggota keluarga, ataupun mengalami kemunduran atau

kehilangan dalam pekerjaan (Nevid, 2003: 240-243).

d. Teori Belajar

1. Reinforcement dan Depresi, Teoritikus belajar Peter Lewinsohn (1974)

menyatakan bahwa depresi dihasilkan dari ketidakseimbangan antara

output perilaku dan input reinforcement yang berasal dari lingkunga.

15
Kurangnya reinforcement untuk usaha seseorang dapat menurunkan

motivasi dan menyebabkan perasaan depresi.

2. Teori interaksi, interaksi antara orang yang depresi dengan orang lain

dapat menjelaskan pengurangan oleh psikolog James Coyne (1976),

menyatakan bahwa penyesuaian pada kehidupan bersama dengan orang

yang depresi sangat menekan hingga semakin lama reinforcement yang

diberikan pasangan atau anggota keluarga kepada orang yang depresi

tersebut menjadi semakin berkurang.

e. Teori Kognitif

Teori kognitif dari Aaron Beck menghubungkan pengembangan depresi

dengan adopsi dari cara berpikir yang bias atau terdistorsi secara negatif di

awal kehidupan merupakan segi tiga dari depresi (cognitive triad of

depression) sebagai berikut : (Beck, 1976; Beck dkk., 1979).

1. Pandangan negatif tentang diri sendiri; memandang diri sendiri sebagai

tidak berharga, penuh kekurangan, tidak adekuat, tidak dapat dicintai,

dan sebagai kurang memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk

mencapai kebahagiaan.

2. Pandangan negatif tentang lingkungan; memandang lingkungan sebagai

memaksakan tuntutan yang berlebihan dan/atau memberikan hambatan

yang tidak mungkin diatasi, yang terus-menerus menyebabkan kegagalan

dan kehilangan.

3. Pandangan negatif tentang masa depan; memandang masa depan

sebagai tidak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak punya

kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan prang ini

terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut

serta kesulitan yang tidak pernah usai.

16
8. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan

Mood
Dilihat dari beberapa sudut pandang, ada beberapa hal ynag menyebabkan

seseorang itu mengalami gangguan mood, dan diantara factor-faktor tersebut

adalah :

1. Faktor Biologi

a. Pengaruh Keluarga dan Genetik

Dalam kaitannya dengan gangguan mood adalah dalam studi keluarga, para

peneliti melihat adanya prevaliansi gangguan tertentu pada anggota-anggota

keluarga keluarga tingkat-pertama dari orang-orang yang diketahui memiliki

gangguan. Dan mereka menemukan bahwa angka anggota keluarga yang

memiliki gangguan suasana perasaan secara konsisten dua sampai tiga kali

lebih tinggi fibanding anggota keluarga kelompok control yang tidak memiliki

gangguan perasaan. Namun, perlu diketahui bahwa jika salah satu di antara

pasangan memiliki gangguan unipolar, maka kemungkinan pasangan kembarnya

untuk memiliki gangguan bipolar yang sangat tipis atau sama sekali tidak ada.

Dan tingkat keparahan mungkin juga terkait dengan banyaknya concordance

(sejauhmana sesuatu dimiliki bersama).

b. Sistem Neurotransmiter

Gangguan suasana perasaan telah menjadi subjek studi neurobiologist

yang lebih intens. Penelitian mengimplikasikan pada tingkat serotonin yang

rendah dalam etiologi gangguan suasana perasaan. Hal ini dikarenakan, fungsi

primer serotonin adalah mengatur reaksi-reaksi emosional pada manusia.

17
Dalam hipotesis “permisif” penelitian ini mengatakan bahwa ketika tingkat

serotonin rendah, neurotransmitter lainnya diizinkan (mood irregularities),

termasuk depresi. Anjloknya norepineferin akan menjadi salah satu akibat

terjadinya gangguan mood.

c. Ritme Tidur dan Sirkadian

Gangguan mood yang dialami oleh seseorang ini umumnya dapat dilihat

dari pertambahan jam tidur yang semakin meningkat. Dan dalam beberapa

tahun telah diketahui bahwa gangguan tidur merupakan salah satu pertanda

bagi kebanyakan gangguan perasaan. Hal ini terjadi karena, pada orang-orang

yang mengalami depresi hanya ada waktu yang lebih pendek secara signifikan

sepelum repid eye movement (REM) sleep dimulai. REM sleep atau non-REM

sleep. Pada saat seseorang tetidur, mereka akan melalui beberapa subtahapan

tidur yang secara progresif menjadi lebih nyenyak, di mana pada saat itu

mereka mencapai tingkat istirahat yang sesungguhnya. Pada prosesnya,

setelah 90 menit seseorang mulai mengalami REM sleep, di mana otak terjaga

dan kita mulai bermimpi. Mata akan bergerak maju-mundur dengan cepatdi

balik kelopak mata, sehingga dinamai dengan repid eye movement sleep. Dan

ketika semakin larut, maka banyaknya REM sleep akan semakain bertambah.

Sedangkan, pada orang yang menderita depresi akan kehilangan tidur

gelombang-lambat mereka.

Selain memasuki periode REM sleep yang jumlah yang jauh lebih cepat,

orang dengan depresi ini akan mengalami aktvitas REM yang lebih intens. Tak

hanya itu, tahapan tidur yang paling nyenyak hanya berlangsung pendek atau

bahkan tidak terjadi sama sekali. Karena ada beberapa karakteristik tidur

hanya terjadi pada saat seseorang sedang mengalami depresi dan tidak

terjadi pada saat lainnya.

18
d. Aktivitas Gelombang Otak

Ada beberapa indicator yang dapat dilihat dari aktivitas gelombang otak

yang menunjukkan adanya kerentanan biologis seseorang terhadap depresi. Hal

ini ditunjukkan oleh aktivitas gelombang otak yang didemonstrasikan oleh

peneliti bahwa para penderita depresi menunjukkan aktivasi lebih besar pada

anterior sebelah kanan (dan lebih kecil pada aktivasi sebelah kiri) disbanding

orang-orang yang tidak mengalami depresi (Durand, 2006: 295-299).

2. Faktor Psikologis

Dalam mengulas kontribusi genetic terhadap penyebab depresi dapat

dinyatakan bahwa 60%-80% penyebab depresi dapat diatribusikan pada

pengalaman-penagalaman psikologis. Selain itu pengalaman itu bersifat unik

untuk masing-masing individu.

a. Peristiwa Kehidupan yang Stressful

Peristiwa hidup yang penuh dengan tekanan seperti kehilangan orang-

orang yang divintai, putusnuya hubungan romantic, lamanya hidup menganggur,

sakit fisik, masalah dalam pernikahan dan hubungan, kesulitan ekonomi, dan

lain sebagainya ini dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood

atau kambuhnya sebuah gangguan mood, terutama depresi mayor. Dan pada

orang-orang dengan depresi mayor ini sering kali kurang memiliki keterampilan

yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah interpersonal dengan teman,

teman kerja atau supervisor.

19
b. Learned Helplessness

Learned helplessness merupakan kedaan diri yang selalu membuat atribusi

bahwa mereka tidak memiliki kontrol atas stress dalam kehidupannya (baik

sesuai kenyataan maupun tidak).

c. Negative Cognitive Styles

Negative cognitive styles adalah kesalahan berfikir yang difokuskan

secara negative pada tiga hal, yaitu dirinya sendiri, dunian terdekatnya, dan

masa depannya. Di mana menurut Beck, penderita depresi memandang yang

terburuk dari segala hal. Bagi mereka, kemunduran terkecil sekalipun

merupakan bencana besar.

3. Faktor Sosial dan Kultural

Sejumlah faktor social cultural memberikan kontribusi pada onset atau

bertahannya dperesi. Faktor yang paling menonjol antara lain adalah hubungan

perkawinan, gender, dan dukungan social.

a. Hubungan Perkawinan

Maksudnya adalah hubungan perkawinan yang tidak memuaskan yang bisa

menyebabkan individu bisa mengalami gangguan perasaan seperti depresi.

b. Perbedaan Gender

Menurut Cyranowski, dkk (2000) Sumber perbedaan ini bersifat cultural,

karena peran jenis yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan di masyarakat.

Di mana laki-laki sangat di dorong mandiri, masterful, dan asertif, sedangkan

20
perempuan sebaliknya diharapkan lebih pasif, lebih sensitive terhadap orang

lain, dan mungkin lebih banyak bergantung pada orang lain.

c. Dukungan Sosial

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Johnson, Winett, dkk (1999)

tentang efek-efek dukungan social di dalam kesembuhan yang pesat dari

episode manic maupun depresif pada pasien gangguan bipolar, mereka

menemukan hasil yang mengejutkan bahwa, jaringan pertemanan, dan keluarga

yang suportif secara social membantu terjadinya kesembuhan cepat dari

episode depresif, tetapi tidak pada episode manic. Dari hasil penelitian ini

dan juga studi-studi prospektif yang dilakukan menguatkan tentang

pentingnya dukungan social (atau kekurangan dukungan social) dalam

memprediksi onset atau gejala-gejala depresi yang muncul kemudian (Durand,

2006: 303-308).

2.5 Terapi untuk Gangguan Mood

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani seseorang yang

mengalami gangguan mood, beberapa diantaranya adalah :

1. Pengobatan

Pemberian antidepresian yang dapat membantu memgontrol gejala dan

mempertahankan fungsi neurotransmitter. Ada 4 tipe antidepresian yang

sering digunakan, yaitu :

A. Trisiklik (Tofranil, Elavil)

Trisiklik ini berfungsi untuk memberikan efek dengan mendesentralisasi

norepinefferin.

B. Monamine Oxidase Inhibitors (MAOIs)

21
MAOIs ini berfungsi untuk memblokir enzim MAO yang memogokkan

neurotransmitter seperti norepinefrin dan serotonin.

C. Selective Serotogenic Reuptake Inhibitors (SSRIs)

aSSRIs ini secara spesifik memblokir reuptake serotonin pra-sinaptik.

Dan secara temporer menaikkan level serotonin dibagian reseptornya.

D. Lithium

Lithium ini merupakan garam yang dapat ditemukan dalam kandungan air

minum yang kadar jumlahnya sangat kecil hingga tidak memberikan efek

apapun. Lithium sendiri memiliki sebuah keunggulan yang

membedakannya dari antidepresan lainnya. Karena, substansinya lebih

sering efektif untuk mencegah dan menangani episode-episode manic.

2. Terapi Kognitif-Behavioral

Dalam prosees terapi ini klien diajarkan untuk menelaah secara cermat

cara berfikir mereka saat mereka depresi dan untuk menengarai kesalahan-

kesalahan “depresif” dalam berpikir. Tak hanya itu, klien juga diajarkan bahwa

kesalahan dalam berfikir dapa menyebabkan depresi secara langsung. Dan

penanganannya melibatkan tindakan mengkoreksi kesalahan-kesalahan berpikir

dan menggantinya dengan pemikiran dan penilaian yang kurang menyebabkan

depresi dan (mungkin) lebih relistis.

3. Psikoterapi Interpersonal (IPT / Interpersonal Psychotheraphy)

IPT atau Psikoterapi Interpersonal ini memfokuskan pada penyelesaian

berbagai masalah dalam hubungan yang sudah ada dan belajar membangun

hubungan-hubungan interpersonal yang penting dan baru. Dalam proses IPT ini

sangat terstruktur. Pada proses awal terapis harus mengidentifikasi berbagai

stressor yang mungkin mencetuskan depresi. Setelah itu, terapis

22
mengklasifikasikan dan mendefinisikan sebuah perselisihan interpersonal.

Setelah itu, mencari penyelesaiannya dengan :

a. Tahap negosiasi

b. Tahap jalan bunyu

c. Tahap resolusi

4. ECT (Elektrokonvulsif dan Simulasi Magnetik Transkranial/ TMS)

ECT adalah penangan yang cukup aman dan efektif untuk depresi berat

yang tidak menunjukkan perbaikan dengan penanganan bentuk lain. ECT

merupakan bentuk penanganan yang dalam pengadministrasiannya pasien diberi

anestsesi/ obat bius untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dan diberikan

obat perelaks otot untuk mencegah kerusakan tulang akibat konvulsi selama

sizure (Kejang-kejang). Kemudian listrik diadministrasikan secara langsung

melalui otak selama kurang dari satu detik. Bentuk penanganan ECT ini

terbukti untuk menaikkan lever serotonin, memblokir hormone-hormon stress

dan membantu terjadinya neurogenesis dalam hipokampus.

Sedangkan TMS (Transcrantial Magnetic Simulation) bekerja dengan cara

menempatkan sebuah gulungan magnetic diatas kepala untuk membangkitkan

denyut elektromagnetik yang dialokasikan dengan tepat. Dalam penanganan ini

anastesi tidak dibutuhkan karena, efek sampingnya biasanya terbatas dalam

bentuk sakit kepala.

TMS dan ECT ini sama-sama efektif untuk pasien-pasien dengan depresi

berat atau depresi psikotik yang resisten dengan penanganan (belum

menunjukkan respons terhadap obat atau penanganan psikologis) (Durand,

2006: 311-318).

23
9. Kehilangan
Kehilangan adalah keadaan duka cita yang berhubungan dengan kematian

seseorang yang dicintai yang dapat ditemukan dengan gejala yang

karakteristik dari episode depresif berat. Orang dengan kehilangan ini

umumnya dapat dikenali dari gejala-gejala berikut :

a) Perasaan sedih,

b) Insomnia,

c) Menghilangnya nafsu makan,

d) Dan di beberapa kasus terjadi penurunan berat badan.

Dan jika pada anak-anak umumnya mereka lebih menarik diri dan terlihat

sedih; dan mereka tidak mudah ditarik meskipun aktivitas itu merupakan

aktivitas yang mereka sukai (Kaplan, dkk, 1997: 815).

10. Bunuh Diri


A. Pengertian Bunuh Diri

Bunuh diri adalah salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia.

Gagasan bunuh diri mungkin juga muncul pada orang yang tidak mengalami

gangguan mental saat mereka berada dalam keadaan depresi atau mengalami

penyakit fisik. Perilaku bunuh diri bukanlah suatu gangguan psikologis, tetapi

sering merupakan ciri atau symptom dari gangguan psikologis yang

mendasarinya, dan biasanya adalah gangguan mood yang menjadi alasan

dibalik perilaku percobaan bunuh diri. Orang yang mempertimbangkan untuk

bunuh diri pada saat stress kemungkinan kurang memiliki keterampilan

memecahkan masalah dan kurang dapat menemukan cara-cara alternative

24
untuk copping dengan stressor yang mereka hadapi. Dalam kaitannya, bunuh

diri ini terkait dengan suatu jaringan yang kompleks dari beberapa faktor.

Namun, jelas bahwa kebanyakan kasus bunuh diri ini dapat dicegah bila orang

dengan perasaan ingin bunuh diri menerima penanganan untuk gangguan yang

mendasari perilaku bunuh diri, termasuk didalamnya adalah depresi,

skizofrenia, serta penyalahgunaan alcohol dan zat (Nevid, 2003: 262-266).

B. Faktor Resiko Gangguan Bunuh Diri

Berbagai faktor umumnya saling berhubungan sebelum bunuh diri dipikirkan

menjadi perilaku bunuh diri. Sangat sering, terdapat masalah kesehatan mental

yang mendasari dan memicu peristiwa yang sangat menekan.

Contoh peristiwa yang sangat menekan termasuk kematian orang yang

dicintai, kehilangan teman perempuan atau teman laki-laki, pindah dari

lingkungan sekitarnya (sekolah, tetangga, teman), penghinaan oleh keluarga

atau teman, gagal di sekolah, dan bermasalah dengan hukum. Peristiwa yang

sangat menekan seperti berikut adalah cukup umum diantara anak-anak,

meskipun begitu, dan jarang menyebabkan perilaku bunuh diri jika tidak

terdapat masalah-masalah lain yang mendasari. Kedua masalah-masalah

mendasar yang paling umum adalah depresi dan alkohol dan penyalahgunaan

obat-obatan terlarang.

Remaja dengan depresi mengalami perasaan putus asa dan tidak berdaya

yang membatasi kemampuan mereka untuk mempertimbangkan solusi lain

untuk masalah-masalah dengan segera. Penggunaan alkohol dan obat-obatan

merendahkan penghambat melawan tindakan berbahaya dan berhubungan

dengan antisipasi pada konsekwensi-konsekwensi. Akhirnya, kendali impuls

yang buruk adala sebuah faktor umum dalam perilaku bunuh diri.

25
Para remaja berupaya bunuh diri adalah umumnya marah dengan anggota

keluarga atau teman, tidak mampu untuk menyesuaikan kemarahannya, dan

berbalik marah melawan diri sendiri.

Kadangkala perilaku bunuh diri dihasilkan ketika seorang anak mencontoh

tindakan orang lain. Misalnya, bunuh diri yang dipublikasikan dengan baik,

seperti pada selebritis, seringkali diikuti oleh bunuh diri atau upaya bunuh diri

yang lain. Bunuh diri bisa mengikat dalam keluarga dengan sifat mudak

terkena luka genetik sampai gangguan suasana hati.

Adapun Penyebab orang melakukan bunuh diri antara lain, seperti:

1. Depresi dan Gangguan Bipolar, 60% dari semua kasus bunuh

diri dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan mood atau

suasana hati. Gangguan ini cukup luas, meliputi depresi berat

dan gangguan bipolar, yaitu gangguan yang ditandai dengan

perubahan suasana hati secara ekstrim. Orang yang mengalami

depresi berkepanjangan sangat berisiko bunuh diri. Ketika

sedang depresi, penderita tak punya tenaga untuk bunuh diri.

Tapi seiring berkurangnya gejala depresi, energy yang

tersedia untuk bunuh diri meningkat.

2. Gangguan mental, Sekitar 30% kasus bunuh diri dilakukan

oleh orang yang memiliki gangguan mental selain gangguan

mood. Misalnya gangguan stres pasca trauma (post traumatic

stress disorder atau PTSD), skizofrenia, gangguan

kepribadian, gangguan tidur, gangguan makan (terutama

anoreksia nervosa), dan kondisi lainnya. Orang yang memiliki 2

gangguan mental sekaligus paling beresiko bunuh diri.

26
3. Konsumsi alcohol, Alkohol terlibat dalam sekitar 30% kasus

bunuh diri. Alkohol menyebabkan depresi, mengurangi

hambatan untuk melakukan bunuh diri dan memicu penilaian

buruk pada diri sendiri. Faktor-faktor ini juga berkaitan

dengan kekerasan dan pelecehan yang juga meningkatkan

kemungkinan bunuh diri.

4. Efek samping obat, Beberapa kasus bunuh diri merupakan

akibat efek samping obat resep atau kombinasi obat resep.

Chantix, obat untuk mengatasi kebiasaan merokok memiliki

efek samping ini. Kombinasi obat yang buruk juga bisa

menyebabkan overdosis dan mematikan.

5. Luka emosional, Penolakan, penghinaan atau rasa malu dapat

mendorong orang untuk melakukan bunuh diri. Penolakan sosial

yang dialami sering menyebabkan isolasi sosial yang juga

meningkatkan risiko bunuh diri. Pada akhir 1980-an, penelitian

menemukan ada hubungan antara homoseksualitas, penolakan

sosial dan bunuh diri pada remaja, terutama pada pria. Pria

muda homoseksual atau biseksual beresiko besar malkukan

upaya bunuh diri daripada pria heteroseksual.

6. Rasa bersalah, Rasa bersalah akibat menyaksikan atau

mengalami penyiksaan, pelecehan, pertempuran, pembantaian

atau kekerasan bisa menjadi penyebab bunuh diri pada

beberapa kasus.

7. Menderita penyakit para, Orang yang sakit parah atau

menderita penyakit kronis, lumpuh, cacat atau kehilangan

anggota tubuh terkadang melakukan bunuh diri. Orang yang

mengalami kondisi ini melakukan bunuh diri karena rasa sakit

27
atau ketidaknyamanan yang berhubungan dengan kondisinya.

Bisa juga karena rasa sedih akibat kehilangan fungsi tubuh

atau penampilan yang buruk.

8. Kehilangan dan kesedihan, Kesedihan dan kehilangan juga

berkaitan dengan bunuh diri. Kehilangan orang yang penting,

pekerjaan, status sosial, jabatan, aset keuangan, kesehatan,

atau sesuatu yang lain biasanya memicu kesedihan. Kehilangan

dan kesedihan dapat memicu krisis eksistensial di mana orang

yang berduka tidak dapat melihat alasan untuk terus hidup.

Krisis yang sama juga dapat terjadi ketika kehilangan status

sosial dan sumber daya atau jaminan keuangan.

9. Memiliki riwayat keluarga bunuh diri, Orang yang memiliki

riwayat keluarga pernah melakukan bunuh diri lebih mungkin

mencoba atau melakukan tindak bunuh diri. Orangtua yang

mencoba bunuh diri akan dijadikan model atau contoh bahwa

tindakan itu dapat diterima untuk mengatasi rasa sakit

emosional atau stres. Proses belajar ini tetap bertahan saat

anak beranjak dewasa.

10. Dipenjara, Orang yang dipenjara karena melakukan kejahatan

berisiko tinggi melakukan bunuh diri. Sayangnya, sulit

mengetahui persisnya mengapa hal ini terjadi karena ada

banyak variable yang ikut bermain. Bunuh diri mungkin menjadi

pelarian ketika hukuman yang divonis terlalu lama. Beberapa

tahanan juga melakukan bunuh diri sebagai cara untuk

melarikan diri dari upaya perkosaan oleh tahanan lain.

28
C. Diagnosa Gangguan Bunuh Diri

Orangtua, dokter, guru dan teman kemungkinan pada posisi untuk

mengidentifikasi siapa yang mungkin berusaha bunuh diri, terutama pada

mereka yang telah melakukan perubahan baru-baru ini dalam perilaku. Anak-

anak dan remaja seringkali mempercayai hanya teman sebaya mereka, yang

harus diyakinkan untuk tidak menjaga rahasia yang bisa membuat kematian

tragis pada anak yang bunuh diri. Anak yang terlalu cepat berpikir bunuh diri

seperti ‘saya harap saya tidak pernah dilahirkan’ atau ‘saya ingin tidur dan

tidak pernah terbangun’ beresiko, tetapi sehingga anak dengan tanda-tanda

ringan, seperti menarik diri dari masyarakat, tinggal kelas, atau terpisah dari

barang milik favorite. Pemerhati kesehatan professional memiliki dua kunci

peranan : mengevaluasi keselamatan anak bunuh diri dan perlu untuk di

opname, dan pengobatan berdasarkan kondisi, seperti depresi atau

penyalahgunaan zat-zat terlarang.

Secara langsung menanyakan anak beresiko mengenai pemikiran dan rencana

mengurangi, daripada meningkatkan, resiko dimana anak tersebut akan

berusaha bunuh diri karena mengidentifikasi pikiran bunuh diri bisa

menyebabkan intervensi. Hot line krisis, menyediakan bantuan selama 24 jam,

tersedia di banyak perkumpulan, dan menyediakan akses yang siap untuk

seorang simpatik yang bisa memberikan konseling segera dan bantuan dalam

memperoleh perawatan lebih lanjut. Meskipun hal ini sulit untuk dibuktikan

bahwa pelayanan ini secara nyata mengurangi jumlah kematian dari bunuh diri,

mereka sangat membantu dalam mengarahkan anak dan keluarga untuk sumber

daya yang tepat.

29
D.Pengobatan dan Terapi Gangguan Bunuh Diri

Remaja yang mencoba bunuh diri harus diperiksa sebelum diambil

keputusan untuk merawat mereka di rumah sakit atau memulangkan mereka

ke rumah. Mereka yang masuk ke dalam resiko tinggi harus dirawat di rumah

sakit sampai sikap bunuh diri sudah tidak ada lagi. Orang dengan resiko tinggi

adalah mereka yang sebelumnya pernah mencoba bunuh diri. Mereka yang

berperilaku agresif atau penyalahgunaan zat, mereka yang mencoba bunuh diri

dengan senjata api atau menelan zat racun, mereka dengan gangguan

depresif berat yang menarik diri dari lingkungan sosial, putus asa, dan tida

ada tenaga, dsb. Mereka yang memiliki ide bunuh diri harus dirawat di rumah

sakit jika klinisi memiliki keraguan tentang kemampuan keluarga untuk

mengawasi anak atau bekerja sama dengan terapi dalam lingkungan rawat

jalan. Dalam situasi tersebut, jasa perlindungan anak harus dilibatkan sebelum

anak dapat dipulangkan.

Jika remaja dengan ide bunuh diri melaporkan bahwa mereka tidak lagi

ingin bunuh diri, pemulangan dapat dipertimbangkan hanya jika rencana

pemulangan telah siap. Rencana harus termasuk psikoterapi, farmakoterapi,

dan terapi keluarga sesuai yang diindikasikan. Jika opname tidak diperlukan,

keluarga dari anak-anak pulang kerumah harus memastikan bahwa senjata api

dibuang dari rumah sama sekali dan bahwa onat-obatan dan benda tajam

dibuang atau benar-benar dikunci. Selain itu, perjanjian follow-up rawat jalan

harus di lakukan sebelum pemulangan, dan nomor telepon yang siap dihubungi

24 jam harus diberikan bagi remaja dan keluarga kalau sewaktu-waktu ide

bunuh diri tampak kembali sebelum terapi dimulai.

30
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa, gangguan mood adalah

pengalaman emosional individu yang bersifat menyebar. Mood merupakan

perpanjangan dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu, kadang-

kadang beberapa jam, beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus

depresi beberapa bulan. Mood yang dialami dalam kehidupan manusia ini

sedikit banyak akan berpengaruh kuat terhadap cara mereka dalam

berinteraksi (Meier, 2000: 8-9).

Beberapa tipe-tipe gangguan mood, tipe utama gangguan mood; gangguan

mood unipolar dan bipolar, masing-masing dari tipe ini memiliki beberapa jenis.

Gangguan mood unipolar termasuk kedalamnya depresi mayor, dan gangguan

distimik. Gangguan mood bipolar termasuk kedalamnya episode manik, dan

gangguan siklotimik.

Meski perubahan dalam mood sebagai respons dari naik dan turunnya

kehidupan sehari-hari cukup normal, perubahan mood yang persisten atau

parah, atau siklus kegirangan dan depresi yang ekstrem, dapat menjadi

petunjuk adanya suatu gangguan mood.

31
DAFTAR PUSTAKA

Davidson, Gerald C., Neale, John M., danKring, Ann M. 2006, Psikoloogi

Abnormal, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Durand, V. Mark., Barlow, David H, 2006, Psikologi Abnormal, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Kaplan, Harold L., Sadock Benjamin J., Grebb, Jack A, 1997, Sinopsis Psikiatri

Jilid 2, Jakarta: Binarupa Aksara

Maslim, Rusdi, 2003, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: Bagian

Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya

Meier, Paul., Arterburn, Stephen., Minirith, Franic, 2000, Mengendalikan Mood

Anda, Yogyakarta: Yayasan Andi

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., dan Greene Beverly. 2003, Psikologi

Abnormal, Jakarta: Erlangga

http://antoekpsikologi.blogspot.com/2013/04/makalah-gangguan-mood.html

32

You might also like