You are on page 1of 26

LAPORAN PLENO

MODUL

“GANGGUAN TIDUR”

Disusun oleh KELOMPOK 3


Firmansyach Thenu (09401911003)
Abdu Ar’Rauf Syuaib (09401911009)
Andryan Kurniawan Yau (09401911014)
Vivi Felayati Sangaji (09401911020)
Muhamad Afif Riondi (09401911025)
Afaf Nida Rafifah (09401911030)
Marwa R.D.W. Hamzah (09401911035)
Emy Herawati Antoni (09401911040)
Fitrawan Pandabo (09401911045)
Naswia Munui (09401911050)

BLOK NEUROPSIKIATRI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS KHAIRUN
2021
I. SKENARIO 1

Seorang perempuan berusia 42 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit tidur sejak 3 minggu
yang lalu. Keluhan disertai dengan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Pasien tinggal sendiri
1 bulan yang lalu karena suami bertugas di luar kota. Akhir-akhir ini pasien mulai merasa lelah

II. KATA SULIT


-
III. KALIMAT KUNCI
1. Perempuan berusia 42 tahun
2. Keluhan sulit tidur
3. Keluhan juga disertai jantung berdebar- debar dan berkeringat dingin
4. Pasien tinggal sendiri sejak 1 bulan yang lalu karena suami di luar kota
5. Akhir-akhir ini pasien mulai merasa lemah

IV. PERTANYAAN
1. Jelaskan defenisi dan penyebab dari sulit tidur ?
2. Jelaskan patomekanisme dari sulit tidur dan hubungannya dengan keluhan lainnya!
3. Jelaskan DD!
a. Insomnia
b. Depresi
c. Gangguan Anxiety Menyeluruh

V. JAWABAN
1. Jelaskan defenisi dan fisiologi dari sulit tidur ?
Defenisi Tidur
Tidur merupakan salah satu dari kebutuhan fisiologis dari manusia. Kebutuhan ini dapat
menghabiskan waktu sekitar sepertiga dari kehidupan manusia. Walaupun fungsi tidur
belum diketahui secara pasti, tetapi tidur merupakan faktor penting keberlangsungan
hidup manusia dikarenakan kurangnya kualitas tidur dapat menyebabkan menurunnya
performa fisik, fungsi kognitif, fungsi sosial, kondisi mental dan bahkan menyebabkan
kematian
Jurnal fakultas kedokteran unniversitas Diponegoro 2018

Fisiologi tidur
Fisiologi tidur penting, karena gangguan tidur semakin meningkat seiring meningkatnya
sejumlah penyakit lain, termasuk stroke, hipertensi dan penyakit koroner. Setiap orang,
memiliki pengalaman pribadi tentang tidurnya maupun dengan memperhatikan tidur
orang lain, sehingga perlu pengetahuan tambahan
sebagai upaya peningkatan kesehatan manusia.

Dalam Guyton & Hall, 2014, dijelaskan bahwa tidur memberikan 2 efek fisiologis utama
bagi tubuh individu; pertama adalah efek untuk sistem saraf dan kedua untuk sistem
fungsional tubuh yang lain dimana efek untuk sistem saraf tampaknya jauh lebih penting
karena sistem saraf mengambil peranan yang dominan dalam keseluruhan sistem yang
bekerja dalam tubuh individu. Bagaimanapun cara orang tidur, hal itu akan dapat
memulihkan tingkat aktivitas normal atau tenaga yang telah dikeluarkan oleh individu
selama beraktivitas dan akhirnya membuat individu tersebut kembali ke keadaan
homeostasis.

Secara umum, tidur dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu Non Rapid Eye Movement
(NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Pada individu, tidur dimulai dengan tahap
NREM yang terdiri dari empat tahap baru kemudian dilanjutkan fase REM. Fase NREM
dan REM terjadi secara bergantian yaitu sekitar 4-5 siklus dalam satu malam. (Potter &
Perry, 2005)

a. NREM
Pada fase NREM atau fase dimana pergerakan bola mata tidak cepat, aktivitas fisiologis
tubuh akan menurun, seperti penurunan laju pernafasan, detak jantung, penurunan
tekanan darah, dan jika diperiksa dengan EEG akan didapatkan gelombang yang lebih
lambat dengan amplitudo yang lebih besar.

Fase NREM sendiri terbagi menjadi 4 tahap :


- Tahap 1
Adalah tahap mengantuk dimana terjadi transisi antara terjaga dengan tertidur.
Gelombang otak dan aktivitas otot mulai melambat selama fase ini. Pada tahap 1 ini
seringkali banyak ditemukan orang yang mengalami kejutan otot atau “muscle jerks”
yang biasanya dirasakan sebagai sensasi jatuh.

- Tahap 2
Adalah tahap dimana terjadi tidur ringan dan mata mulai berhenti bergerak. Gelombang
otak menjadi lebih lambat dengan gelombang yang tiba-tiba cepat yang disebut sebagai
“speed spindle” . Pada tahap ini juga terjadi penurunan detak jantung dan suhu tubuh.
Biasanya tahap ini terjadi selama 10-25 menit.

- Tahap 3
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu
sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera
menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal,
2010).

- Tahap 4
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat.
Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik
(Smith & Segal, 2010).
Jika diakumulasikan, fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai
100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama
prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang
pagi atau bangun (Japardi, 2002 dalam anonim, 2013)

b. Fase REM adalah fase dimana terjadi peningkatan aktivitas otak. Gelombang otak
menjadi cepat dan tidak singkron sama seperti gelombang otak saat individu terjaga. Laju
pernafasan menjadi lebih cepat, ireguler, dan dalam. Gerakan mata menjadi lebih aktif
bergerak ke segala arah walaupun kelopak mata tertutup dan otot ekstremitas untuk
sementara menjadi kaku. Detak jantung meningkat bersamaan dengan meningkatnya
tekanan darah. Fase ini adalah fase dimana kebanyakan orang bermimpi.
Sumber :
1. Jurnal fakultas kedokteran universitas brawijaya dan universitas mataram tahun
2020
2. Buku ajar Guyton & Hall, 2014

Definisi Gangguan
Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu. Kuantitas tidur
inadekuat adalah durasi tidur yang inadekuat berdasarkan kebutuhan tidur sesuai usia
akibat kesulitan memulai (awitan tidur yang terlambat) dan/atau mempertahankan tidur
(periode panjang terjaga di malam hari). Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan
terputusnya tidur akibat periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.
Sumber : Jurnal fakultas kedokteran unniversitas Diponegoro 2018
Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut PPDGJ III, gangguan tidur secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu
dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer
dengan ciri gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor
emosional. Termasuk dalam golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan
gangguan jadwal tidur. Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi
selama masa tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan
mimpi buruk. Penggolongan gangguan tidur lain berdasarkan PPDGJ III adalah gangguan
tidur organic
Menurut DSM IV-TR, gangguan tidur dibagi menjadi insomnia primer,
hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pemapasan,
gangguan tidur irama sirkadian, gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, gangguan
tidur berjalan, gangguan tidur terkait kondisi medis, dan gangguan tidur yang diinduksi
zat. Sedangkan, Nelson et al membuat klasifikasi gangguan tidur spesifik pada anak dan
remaja, karena pola gangguan tidur pada anak berbeda dengan pola gangguan tidur pada
dewasa. Pola tidur mengalami perubahan yang progresif seiring bertambahnya usia; dari
masa bayi, anak, hingga remaja; kearah pola tidur dewasa, yaitu durasi tidur yang
berkurang, siklus tidur yang lebih panjang, dan berkurangnya waktu tidur siang
Sumber klasifikasi gangguan tidur : Buku ajar psikiatri fk ui ed 3
Muslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Universitas Diponegoro 2018

2. Jelaskan patomekanisme dari sulit tidur dan hubungannya dengan keluhan lainnya!

Sumber : Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi konsep kinis proses-proses penyakit FK-
USU/SMF Bedah Syaraf/ RSUP H.Adam Malik Medan. penerbit FK UI edisi 4.
Jakarta EGC

3. Jelaskan DD!
a. Insomnia
1. DEFINISI
Insomnia merupakan permasalahan umum pada usia lanjut. Gangguan tidur pada usia
lanjut disalah artikan sebagai proses normal dan bagian dari penuaan. Insomnia ditandai
dengan keluhan penurunan kualitas tidur meskipun mempunyai waktu yang cukup untuk
tidur. Faktanya lebih dari 50% usia lanjut mengalami insomnia namun tidak
mendapatkan pengobatan. Terdapat dua pilihan penatalaksanaan insomnia pada usia
lanjut yaitu terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah
menghilangkan gejala, meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut
Sumber : jurnal kedokteran universitas udayana 2017

2. EPIDEMIOLOGI
Pada studi epidemiologi prevalensi insomnia pada usia lanjut sekitar 6%-48% pada
populasi umum. Perbedaan ini bergantung pada definisi insomnia yang digunakan dalam
penelitian.
Sumber : jurnal kedokteran universitas udayana 2017

3. ETIOLOGI
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur.4 Hal ini
meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak menjadi
faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut. Perubahan pola tidur yang terkait
dengan usia terjadi pada Sleep Architecture dan Ritme sirkadian.

Sleep Architecture
Tidur normal terdiri dari 5 tahap yaitu tahap 1 sampai 4 adalah non-rapid eye movement
(NREM) dan tahap yang terakhir adalah Rapid eye movement (REM) .1,4 Tahap 1 dan 2
disebut tidur ringan sedangkan tahap 3 dan 4 disebut tidur dalam/slow wave sleep/delta
sleep. Dari tahap 1-4 akan terjadi peningkatan kedalaman tidur. REM memiliki
perbedaan dengan NREM karena pada REM terdapat peningkatan aktivitas simpatetik,
pergerakan mata yang cepat, bermimpi dan peningkatan kedalaman serta frekuensi
nafas.1,4 Tidur normal diawali dengan tidur NREM dilanjutkan dengan tidur REM.1
Siklus NREM dan REM berulang secara periodik setiap 90-120 menit.
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur.
Pada kenyataanya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk tidur tetapi
terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4,
tahap REM dan REM laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2.
Perubahan ini menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk mengawali tidur,
menurunnya total sleep time, sleep efficiency, transient arousal dan bangun terlalu dini.

Ritme sirkadian
Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama 24 jam.
Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonum, aktivitas
kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah
suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja dari
SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik. Pada saat cahaya masuk ke retina maka
neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi.1 SCN akan merangsang pineal gland untuk
mensekresikan melatonin, yang menimbulkan rasa lelah. Penurunan fungsi dari SCN
berkaitan dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi
SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ritme sirkadian. Gejala akibat
gangguan ritme sirkadian adalah ketidakmampuan untuk tidur meskipun terdapat
rangsangan. Hal ini menyebabkan pasien bangun dan tidur pada waktu yang tidak tepat,
peningkatan resiko insomnia dan peningkatan frekuensi tidur. Penurunan fungsi SCN
diduga disebabkan oleh penurunan paparan cahaya, aktivitas fisik dan sosial saat
memasuki usia lanjut.

Insomnia pada usia lanjut bersifat multifaktorial, selain faktor biologik diatas ada
beberapa faktor komorbid yang dapat menyebabkan terjadinya insomnia pada usia
lanjut. Insomnia sekunder pada usia lanjut dapat disebabkan oleh faktor komorbid yang
terdiri dari : nyeri kronis, sesak nafas pada penyakit paru obstruktif kronis, gangguan
psikiatri (gangguan cemas dan depresi), penyakit neurologi (Parkinson’s disease,
Alzheimer disease), dan obat-obatan (beta-bloker, bronkodilator, kortikosteroid dan
diuretik).
Sumber : jurnal kedokteran universitas udayana 2017

4. PATOMEKANIME
Beberapa faktor penting yang terlibat dalam patofisiologi insomnia adalah gangguan
irama sirkardian siklus bangun – tidur, irama suhu tubuh, keinginan waktu tidur dan
waktu terjaga. Bila dibandingkan dengan orang normal, pasien sleep-onset insomnia
memiliki suhu inti tubuh minimum lebih lambat yaitu pada jam 3:00 vs 07:00. Pada
beberapa penelitian dilaporkan bahwa keluhan yang dirasakan pasien insomnia bukanlah
disebabkan oleh adanya gangguan selama mereka tidur malam atau karena sleep
deprivation, akan tetapi lebih disebabkan oleh karena waktu terjaga somatik dan
kognitifnya selama 24 jam. Input sensori dan proses informasi pada pasien insomnia
tetap berlangsung saat mereka tidur dan mempengaruhi inisiasi tidur dan konsolidasi.
Pasien insomnia memiliki tingkat metabolisme yang lebih tinggi dan aktivitas
elektroensefalografi yang lebih tinggi frekuensinya selama tidur. Gangguan adaptasi dan
gangguan fungsi kepercayaan pasien (seperti khawatir yang berlebihan tentang
konsekuensi insomnia yang diderita dan pikiran tidak realistik tentang gangguan
tidurnya) serta kondisi terjaga (arousal) tingkat kortikal turut terlibat dalam kejadian
insomnia.
SUMBER : Perdossi Tahun 2017
5. FAKTOR RISIKO
Faktor yang menyebab insomnia
Faktor Karakteristik
Faktor predisposisi Faktor yang muncul sebelum adanya keluhan insomnia yang seiring
perjalanan penyakit faktor tersebut semakin meningkat
Bila faktor predisposisinya berat maka dapat menimbulkan insomnia
secara independen
Yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah :
 genetik
 personality traits
 hyperarousal fisiologis (seperti : peningkatan tekanan otot, suhu
tubuh, tingkat metabolisme dan denyut jantung, peningkatan
frekuensi EEG pada saat onset tidur dan selama NREM)
 arousal fisiologis (kecenderungan untuk agitasi, anxietas atau
vigilance)
 waktu bangun-tidur yang digemari pasien
Faktor pencetus Faktor yang mencetuskan mulainya insomnia
Yang termasuk dalam faktor pencetus adalah :
 kejadian yang penuh stressor
 perubahan kebiasaan sehari-hari
 perubahan mendadak jadwal bangun-tidur
 gangguan lingkungan
 penggunaan obat atau efek putus obat
 gangguan medis
 gangguan neurologis
 gangguan psikiatri
 gangguan tidur primer
Faktor memperburuk Faktor yang memperburuk gangguan tidur dan berkontribusi terhadap
persistensi insomnia secara independen
Yang termasuk dalam faktor yang memperburuk insomnia adalah :
 sleep hygiene yang buruk
 Jadwal bangun-tidur yang tidak teratur
 Konsumsi kafein dan alkohol
 Kekhawatiran yang berkelanjutan
 Kecemasan atau harapan yang tidak realistik tentang kondisi
tidurnya
 Gangguan adaptasi perilaku bangun-tidur

SUMBER : Perdossi Tahun 2017

6. MANIFESTASI KLINIS
1. waktu tidur yang kurang,

2. mudah terbangun saat malam hari,

3. bangun pagi lebih awal,

4. rasa mengantuk yang di rasakan sepanjang hari

5. Sering tertidur sejenak

Sumber : Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta; EGC

7. DIAGNOSIS
Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
 keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk;
 gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan;
 adanya preokupasi dengan tidah bisa tldur (sleeplessn ess) dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari;
 ketidak-puasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan. Adanya gejala
gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.
Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi teisendiri.
Kriteria "lama tidur'' (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan,
oleh karena luasnya variasi irdividual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria
diatas (seperti pada "transient insomnia") tidak di-diagnosis disini, dapat dimasukkan
dalam Reaksi Stres Akut (F43.0) atau Gangguan Penvesuaian (F43.2).
Sumber : PPDGJ-III. Insomnia Non-Organik

8. PENATALAKSANAAN
Aspek terpenting pada tatalaksana insomnia adalah memberikan edukasi mengenai
hygiene tidur yang benar. Peran medikasi pada tatalaksana insomnia primer bersifat
terbatas. Obat hipnotik dapat membantu dalam jangka waktu singkat namun potensi
toleransi terhadap efek medikasi (biasanya dalam waktu 2 minggu), potensi
ketergantungan, dan potensi untuk menyebabkan timbulnya insomnia ulang (rebound
insomnia) membatasi penggunaan obat ini pada insomnia primer. Oleh sebab itu, obat
ini hanya dapat diberikan dalam batas waktu yang jelas, idealnya hanya digunakan
secara berseling atau pada beberapa malam saja dan tidak digunakan setiap malam. Obat
dengan waktu paruh panjang harus dihindiari untuk mencegah pasien mengalami
mengantuk berlebihan di hari berikutnya (chemical hangover) dan untuk menghindari
akumulasi obat pada pemberian berulang. Obat yang sering digunakan termasuk Z-drugs
(zopiclone, zolpidem, zaleplon) dan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek (seperti
lorazepam, temazepam). Perlu pertimbangan untuk menggunakan medikasi sedative
lainnya (misalnya antihaistamin dengan efek sedative) yang memiliki potensi lebih
rendah untuk menimbulkan ketergantungan atau penyalahgunaan.

Higiene Tidur yang Benar


Hindari tidur sepanjang hari.
Olahraga dan mempertahankan diet sehat.
Hentikan penggunaan stimulant (misalnya kafein, nikotin, alcohol), terutama sekitar
waktu tidur
Kondisikan otak dengan hanya menggunakan ranjang untuk tidur dan aktivitas seksual
– tidak untuk membaca, menonton TV, dsb.
Pergi tidur dan bangun di waktu yang sama setiap hari.
Hindari aktivitas yang menstimulasi sebelum waktu tidur (misalnya televisi, permainan).
Lakukan teknik relaksasi atau membaca.
Mandi air hangat atau minum secangkir susu hangat menjelang waktu tidur
Hindari makan besar menjelang waktu tidur.
Pastikan bahwa ranjang nyaman dan kamar tenang.
Jangan berbaring terjaga di ranjang lebih lama dari 15 menit. Coba lakukan aktivitas
yang meberikan rasa rileks dan coba kembali untuk tidur.

Sumber: Kusumawardhani, Agung, dkk. (2018). Crash Course Psikiatri, Edisi


Indonesia Pertama. Elsevier Singapore. Hlm 381-382.

9. KOMPLIKASI

SUMBER : Jurnal FK Universitas Udayana 2016


10. PENCEGAHAN
Kontrol lingkungan seperti
a) Meredupkan lampu kamar tidur sebelum tidur
b) Membatasi kebisingan
c) Menghindari kegiatan saat waktu tidur misalnya main handphone.
SUMBER : Jurnal FK Universitas Udayana 2016

11. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adequat dan juga terapi pada gangguan lain
seperti depresi dan lainya. Lebih buruk jika gangguan ini disertai sukzophrenia.
SUMBER : Jurnal FK Universitas Udayana 2016

b. Depresi
1. DEFINISI
Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan rasa sedih terus-
menerus yang berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi fisik dan kehidupan
sosialnya Pieter dan Namora (2012).
Sumber : Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.1, Februari 2020

2. EPIDEMIOLOGI
Kejadian depresi tertinggi berada di wilayah Asia Tenggara sebanyak 86,94 (27%) dari
322 miliar individu. Indonesia sendiri berada di urutan ke lima dengan angka kejadian
depresi sebesar (3,7%) menurut WHO (2017). Di Indonesia sendiri angka kejadian
depresi pada umur ≥ 15 tahun berdasarkan hasil RISKESDA 2018, menunjukkan bahwa
(6,1%) yang mengalami depresi, dengan kejadian lebih tinggi terjadi di provinsi
Sulawesi Tengah sebesar (12,3%) (Kemenkes RI, 2018)
Sumber : Indonesian Jurnal of Health Development Vol.2 No.1, Februari 2020

3. ETIOLOGI
Etiologi depresi adalah terjadinya gangguan neurotransmiter serotonin yang
berfungsi sebagai pengontrol afek, agresivitas, tidur, dan nafsu makan. Teori lain
yaitu terganggunya regulasi hormon kortisol yang berfungsi dalam mengatur tidur,
nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting dalam
kehidupan.
Sumber : Amir N. Aspek Neurobiologi Molekuler Depresi. JIWA. 2004;XXXVII:2

4. PATOMEKANIME
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.
Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat
terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau
adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps
sistem saraf pusat. Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin
yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme
biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah
neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau
beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem
limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :

1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan


neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas
norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.

Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi


akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis
yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI
(Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari
neurotransmiter atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang
menghambat katabolisme neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.

Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik
yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik,
jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil.
Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan
SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake
serotonin dan bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin
menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya
memperbaiki gejala-gejala depresi. Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui
tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan
Sumber : Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2017

5. FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi
Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :
1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun; dan 50%
dari pasien memiliki onset anatara usia 20-50 tahun.
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat
prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan
laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya kesehatan maternal.
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua.
Tingkat pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik. Penelitian di Inggris
menyebutkan bahwa lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko
terhadap depresi 2,2 kali lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai atau berpisah.
Sumber : Jurnal Fakultas Kedokteran Univesitas Diponegoro

6. MANIFESTASI KLINIS
 Depresi tidak menetap : Gejala merasa sedih, patah semangat, kecewa, menangis,
dan merasa lelah serta tak peduli
 Depresi ringan : Gejalanya bertambah menjadi menolak perasaan, marah, cemas,
merasa bersalah, putus asa, tidak berdaya, regresi, agitasi, menarik diri, menyalahkan
diri atau orang lain, mengalami gangguan tidur, dan makan
 Depresi sedang : Merasa pesimis, harga diri rendah, perilaku menyakiti diri, tidak
mampu merawat diri, sulit berkonsentrasi dan nyeri abdominal
 Depresi berat : Gejalanya bertambah dengan merasa putus asa total, tidak berguna,
afek datar, pergerakan tidak terarah, bingung, gangguan isi pikir, halusinasi, dan
berpikir untuk bunuh diri
SUMBER : “ROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I DEPARTEMEN
PSIKIATRI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2018”
7. DIAGNOSIS

SUMBER : “ROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I DEPARTEMEN


PSIKIATRI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2018”

8. PENATALAKSANAAN
Terapi Non Farmakologi
1. Electroconvulsive Therapy(ECT)
Dalam ECT, gelombang listrik akan dialirkan ke tubuh untuk memengaruhi kerja
otak, sehingga gejala depresi mereda. ECT juga dapat dilakukan pada pasien yang
berisiko tinggi untuk bunuh diri.

2. Interpesonal Therapy

Psikiater akan melakukan psikoterapi dengan melakukan wawancara untuk membantu


penderita dalam mengatasi depresi. Psikoterapi dilakukan untuk mengukur beberapa
aspek yang dialami penderita di bawah ini:

 Sudut pandang negatif terhadap situasi yang dialami


 Pengalaman yang membuat tertekan
 Komunikasi dan hubungan dengan orang lain
 Emosi
3. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi kombinasi yang


terdiri dari: stimulus control, sleep retriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi
relaksasi. Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi
adaftive sleep belief. Sebagai contoh: pasien memiliki kepercayaan harus tidur selama
8 jam setiap malam, jika pasien tidur kurang dari 8 jam maka pasien merasa kualitas
tidurnya menurun. Hal ini harus dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur
tidak hanya durasi tetapi kedalaman tidur.

Dari penelitian yang dilakukan dengan metode randomized controlled studies


oleh NIH state-of-the-science Conference on Chronic Insomnia menyimpulkan CBT
efektif pada insomnia kronis. Chesson et al mengindikasikan CBT sebagai terapi
tunggal sedangkan Morin et al mengemukakan bahwa CBT harus dikombinasikan
dengan terapi lain untuk mendapatkan hasil yang optimal. Randomized placebo-
controlled trial oleh Morin et al pada 78 sampel (CBT=18 sampel, Temazepam=20
sampel, kombinasi CBT dengan Temazepam= 20 sampel, placebo= 20 sampel)
berumur rata-rata 65 tahun yang membandingkan antara CBT, temazepam dan
plasebo disimpulkan bahwa CBT lebih efektif dari temazepam. CBT dapat
menurunkan wake after sleep onset sebesar 55% sedangkan temazepam hanya 46,5%.

Terapi Farmakologi
1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
a. Fluvoxamine
50–100mg per hari sebagai dosis awal. Dosis dapat ditingkatkan hingga 300 mg.
Dosis lebih dari 150 mg dapat dibagi menjadi 2–3 kali konsumsi per hari.
b. Escitalopram
10 mg per hari. Dosis maksimum: 20 mg per hari.
2. Antidepresan trisiklik (TCAs)
a. Doxepin
oleskan kandungan krim doxepin HCI 5% secara tipis ke area yang terinfeksi 3-4
kali sehari, maksimum 8 hari.
3. Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs)
a. Venlafaxine
37,5–75 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan bertahap sebanyak 75 mg
setiap 4–7 hari. Dosis maksimum: 225 mg per hari.
4. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
a. Selegiline
6 mg per hari secara transdermal. Dosis dapat ditingkatkan setiap 2 minggu,
dengan peningkatan 3 mg per hari. Dosis maksimum adalah 12 mg per hari.
b.Phenelzine
15 mg, 3 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 4 kali sehari, jika kondisi
tidak membaik setelah 2 minggu.
c. Isocarboxazid
30 mg per hari. Dosis maksimum adalah 60 mg per hari.
d. Tranylcypromine
10 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat ditingkaykan menjadi 20 mg setelah 1 minggu
pengobatan jika respon yang diharapkan belum tercapai.
5. Antidepresan atipikal
a. Mirtazapine
15 mg per hari. Dosis dapat ditingkatkan bertahap setiap 1–2 minggu, sesuai
respons tubuh terhadap obat.
Sumber : WHO (2020). Mental Health. Depression.

9. KOMPLIKASI
Komplikasi seperti emboli paru, infeksi saluran kemih atau dekubitus. Studi sebelumnya
telah menunjukkan hubungan antara depresi pasca stroke (PSD) dan fungsional fisik
kerusakan termasuk tingkat keparahan gangguan aktivitas sehari-hari. Selain itu, PSD telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke berulang , fungsional jangka panjang yang
buruk, dan peningkatan risiko kematian setelah stroke.
Sumber : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
10. PENCEGAHAN
Beberapa cara mencegah depresi agar tidak terjadi atau tidak datang kembali adalah
sebagai berikut:
1. Bersikap realistis terhadap apa yang kita harapkan dan apa yang bisa kita
lakukan.
2. Tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain saat kita melakukan suatu
kesalahan atau mengalami kegagalan
3. Tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain ataupun kehidupan orang
lain.
4. Pikirkan untuk menyimpan keputusan besarsampai sembuh dari depresi, seperti
menikah, bercerai, tentang pekerjaan atau sekolah. Bicarakanlah dengan teman,
professional (psikolog, konselor atau psikiater)atau orang yang kita sayangi atau
kita anggap mampu membantu untuk melihat gambaran besarnya.
5. Dukungan keluarga, social dengan mengatakan jika kita mengalami masalah atau
sedang mengalami depresi.
6. Rutin lakukan olahraga dan kegiatan outdoor
7. Tidak terlalu menyesali suatu kejadian, bersikap tenang dan tidak mudah marah
8. Bangunlah harga diri dan mencoba bersikap dan berpikir positif.
9. Tidak menyendiri, menjauhi diri dari pergaulan, lebih bersosialisasi, melakukan
aktivitas dengan lingkungan sekitar
10. Lebih religious, mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
Sumber : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

11. PROGNOSIS
Prognosis yang buruk, karena pasien terpajan resiko kematian yang lebih besar dan
pemulihan fungsional yang kurang baik. Hal ini dikarenakan salah satu gejala depresi yaitu
berkurangnya minat, sehingga pasien cenderung enggan untuk mengikuti program
rehabilitasi, cenderung lebih lama tinggal di RS, serta cenderung mengalami komplikasi
seperti emboli paru, infeksi saluran kemih atau dekubitus.
Sumber : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

c. Gangguan Anxiety Menyeluruh


1. DEFINISI
kekhawatiran yang berlebih dan meresap disertai oleh berbagai gejala
somatic yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau
pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi pasien
( Sumber : PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) PSIKIATRI RS ISLAM SULTAN
AGUNG SEMARANG NOMOR : 559.3/PER/RSISA/V/2019 )

2. EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi gangguan cemas menyeluruh secara nasional di
Indonesia masih belum jelas. Namun secara global diperkirakan bahwa
prevalensi gangguan cemas menyeluruh di dunia berkisar antara 3-8%.

Global

Prevalensi gangguan cemas menyeluruh dalam satu tahun diperkirakan 3-


8%. Studi lainnya National Comorbidity Study melaporkan 1 dari 4 orang
memenuhi setidaknya salah satu kriteria gangguan cemas. Studi ini juga
melaporkan prevalensi gangguan cemas cukup tinggi yakni 17,7%

Prevalensi : 3% - 8% dari populasi umum, 50% penderita GAM juga mempunyai


gangguan mental lain. Onset antara usia 20-30 tahun, ratio laki-laki :perempuan = 2 :1.
Kebanyakan pasien GAM pergi berobat pada dokter umum, internist, cardiologist,
pulmonolog, gastro-entrologist oleh karena gejala somatiknya Komorbiditas gangguan
anxietas menyeluruh 90% memiliki setidaknya satu kali seumur hidup mengalami
gangguan ini, 66% memiliki gangguan saat Axis I lainnya

Sumber :
 Redayanti P. Gangguan Cemas Menyeluruh. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto
G (ed). Buku Ajar Psikiatri. Ed 2. 2014. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
 Jurnal Fakultas kedokteran Universitas Hasanudin 2016

3. ETIOLOGI
Etiologi : Anxietas Menyeluruh

Perspektif Teoritis Etiologi gangguan anxietas menyeluruh mencakup perspektif


psikoanalisis,kognitif-behavioral, dan biologis.

 Pandangan Psikoanalisis
Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan menyeluruh (GAD)
adalah konflik yang tidak disadari antara ego dan impul-impuls id. Impuls-impuls
tersebut, biasanya bersifat seksual atau agresif, berusaha untuk mengekspresikan diri,
namun ego tidak membiarkaan karena tanpa disadari ia merasa takut terhadap hukuman
yang akan diterima. Sumber kecemasan sebenarnya yaitu hasrat-hasrat yang
berhubungan dengan impulsimpuls id yang ditekan dan berjuang untuk
mengekspresikan diri selalu hadir. Dengan kata lain tidak ada cara untuk menghindari
kecemasan, jika seseorang meninggalkan id ia tidak lagi hidup, dengan demikian orang
tersebut hampir selalu mengalami kecemasan. Orang yang menderita gangguan anxietas
menyeluruh (GAD) tidak mengembangkan tipe pertahanan sehingga selalu merasa
cemas.

 Pandangan Kognitif-Behavioral

Pemikiran utama teori kognitif behavioral tentang orang yang menderita anxietas
menyeluruh (GAD) adalah gangguan yang disebabkan oleh proses-proses berpikir yang
menyimpang. Orangorang yang menderita GAD sering kali salah mempersepsikan
kejadian-kejadian yang biasa seperti menyeberang jalan merupakan sesuatu hal yang
mengancam dan di kognisi mereka terfokus pada antisipasi berbagai bencana pada masa
mendatang (Beck dalam Navison, Neale, & Kring, 2004). Perhatian para pasien GAD
mudah terarah pada stimulus yang mengancam (Mogg, Millar, & Bradley dalam
Davison, dkk, 2004).
Terlebih lagi pasien GAD lebih terpicu untuk mengintrepetasi stimulus yang tidak
jelas sebagai sesuatu yang mengancam dan untuk menilai berbagai kejadian yang
mengancam lebih mungkin terjadi pada mereka (Butler &Mathews dalam Davison, dkk,
2004). Sensitivitas pasien GAD yang sangat tinggi terhadap stimulus yang mengancam
juga muncul bila stimulus tersebut tidak dapat diterima secara sadar (Bradley dkk dalam
Davison, dkk, 2004). Pandangan kognitif lain diajukan oleh Borkovec dan para
koleganya bahwa (Borkovec & Newman dalam Davison, dkk, 2004) mereka
memfokuskan pada gejala utama GAD, yaitu kekhawatiranberdasarkan perspektif
hukuman. Seseorang mungkin bertanya-tanya mengapa ada orang yang sering merasa
khawatir karena kekhawatiran dianggap sebagai kondisi negatif yang seharusnya tidak
mendorong pengulangan. Borkovec dan para koleganya mengumpulkan bukti-bukti
bahwa kekhawatiran sebenarnya merupakan penguatan negatif; ia mengalihkan pasien
dari berbagai emosi negatif sehingga diperkuat oleh hasil yang positif bagi individu
terkait.
Kunci untuk memahami posisi ini adalah menyadari bahwa kekhawatiran tidak
menciptakan banyak ketegangan emosional, sebagai contoh hal itu tidak menciptakan
berbagai perubahan fisiologis yang menyertai emosi, dan pada kenyatannya
menghambat pemrosesan stimulasi emosional. Dengan demikian, melalui rasa khawatir,
orang-orang yang menderita GAD menghindari berbagai citra yang tidak mengenakkan.
dan sebagai konsekuensinya kecemasan yang mereka rasakan terhadap berbagai citra
tersebut tidak hilang. Salah satu kemungkinan data yang menunjukkan bahwa penderita
GAD menuturkan mengalami lebih banyak pascatrauma yang mencakup kematian,
cedera, atau penyakit. namun demikian, hal tersebut bukan sesuatu yang mereka
khawatirkan, kekhawatiran dapat mengalihkan para penderita GAD dari berbagai citra
pascatrauma yang menyakitkan.

 Perspektif Biologis

Beberapa studi mengindikasikan bahwa GAD dapat memiliki komponen genetik. GAD
sering ditemukan pada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan penderita
gangguan ini, dan terdapat kesesuaian yang lebih tinggi di antara kembar MZ dibanding
kembar DZ. Namun tingkat komponen genetik ini tampaknya rendah (Hettema, M.
Neale & Kendler dalam Davison, dkk, 2004).

Model neurobiologis yang paling umum untuk gangguan anxietas menyeluruh


dilandasi oleh pengetahuan mengenai cara kerja benzodiazepine, suatu kelompok obat-
obatan yang sering kali efektif untuk menangani kecemasan, para peneliti menemukan
suatu reseptor dalam otak untuk benzodiazepine yang berhubungan dengan
neurotransmitter penghambat yaitu asam gamma-aminobutyric (GABA). Pada reaksi
ketakutan yang normal, neuron di seluruh otak memicu dan menciptakan kecemasan.
Proses tersebut juga merangsang sistem GABA, yang menghambat aktivitas ini dan
mengurangi kecemasan. GAD dapat disebabkan oleh kerusakana dalam sistem GABA
sehingga kecemasan tidak dapat dikendalikan. benzodiazepine dapat mengurangi
kecemasan dengan meningkatkan pelepasan GABA secara bersama, obat-obatan yang
menghambat sistem GABA memicu peningkatan kecemasan (Insell dalam Davison,
dkk, 2004). Banyak hal yang masih harus dipelajari, namun pendekatan ini tampaknya
ditakdirkan untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap kecemasan.
Sumber : ANXIETY DISORDER (Memahami gangguan kecemasan: jenis-jenis,
gejala, perspektif teoritis dan Penanganan ) Umniyah Saleh, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN

4. FAKTOR RISIKO
Biologis
Genetis
Abnormal jalur otak
Iregular neurotransmitter
Sosial
Peristiwa traumatis
Respon takut orang
Kurang dukungan sosial
Perilaku
Menghindari stimuli fobik
Kurang kesempatan penghindaran
Kognitif
Konflik psikologis
Keyakinan irasional
Sensitivitas berlebih
Sumber : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders 5th ed. Arlington : American Psychiatric Publishing. 2013. pp 189-
95

5. MANIFESTASI KLINIS
TANDA-TANDA FISIK ANSIETAS

 Takikardi  Berkeringat

 Palpitasi  Kulit Dingin


 (Kesadaran
Abnormal
Terhadap
Jantung)

 Hipertensi  Mual Atau Muntah

 Napas  Diare
Sesak /
Napas
Cepat

 Nyeri Dada  Tidak Nyaman di Perut (Kupu-kupu)


Atau Tidak
Nyaman

 Sensasi  Pusing, Kepala Terasa Ringan, Pingsan


Tercekik

 Gemetar,  Midriasis (Dilatasi Pupil)


Tergoncang

 Tegang  Parestesia
Otot

 Mulut
Kering

Sumber : Kusumawardhani, Agung, dkk. (2018). Crash Course Psikiatri, Edisi Indonesia
Pertama. Elsevier Singapore. Hlm 145.
6. PATOMEKANISME

Sumber : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders 5th ed. Arlington : American Psychiatric Publishing. 2013. pp 189-
95

7. DIAGNOSIS
Anamnesis
Sumber : Crash Course Psikiatri, Edisi Indonesia Pertama.

8. PENATALAKSANAAN
Pasien diterapi dengan obat golongan Benzodiazepine (alprazolam 2 x 0,25 mg). Jenis obat-obat
golongan Benzodiazepine ini adalah Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam, Klobazam,
Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat, Alprazolam atau Prazepam. 1,2 Penggunaan obat anti
kecemasan haruslah melalui kontrol dari dokter secara ketat, penggunaan obat-obat anti
kecemasan dapat mengakibatkan beberapa efek samping. Pasien dengan riwayat penyakit hati
kronik, ginjal, dan paru haruslah diperhatikan pemakaian obat-obatan ini.
Pada anak dan orangtua dapat juga memberikan reaksi seperti yang tidak diharapkan (paradoxes
reaction) seperti meningkatkan kegelisahan, ketegangan otot, disinhibisi, atau gangguan tidur.
Beberapa efek samping penggunaan obat antikecemasan adalah sedatif (rasa mengantuk,
kewaspadaan menurun, kerja psikomotorik menurun, dan kemampuan kognitif melemah), rasa
lemas, cepat lelah, dan adiktif walaupun sifatnya lebih ringan dari narkotika. Ketergantungan
obat biasanya terjadi pada individu peminum alkohol dan pengguna narkoba (maksimum
pemberian obat selama 3 bulan). Penghentian obat secara mendadak memberikan gejala putus
obat (rebound phenomenon) seperti kegelisahan, keringat dingin, bingung, tremor, palpitasi, atau
insomnia.
Keputusan untuk meresepkan suatu anti kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan
menyeluruh harus jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang
berlangsung lama, suatu rencana pengobatan harus dengan cermat dijelaskan. Dua obat utama
yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan kecemasan menyeluruh adalah
buspirone dan benzodiazepine.
Terapi obat untuk gangguan kecemasan umum sering kali dipandang sebagai pengobatan selama
6-12 bulan, beberapa bukti menyatakan bahwa pengobatan harus jangka panjang, kemungkinan
seumur hidup. Kira kira 25% pasien mengalami kekambuhan dalam bulan pertama setelah
dihentikan terapi dan 60-80% kambuh selama perjalanan tahun selanjutnya. Walaupun beberapa
pasien menjadi tergantung pada benzodiazepine, tidak ada toleransi yang berkembang untuk
efek terapeutik.
Benzodiazepine merupakan obat pilihan pertama untuk gangguan kecemasan menyeluruh. Pada
gangguan benzodiazepine dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien
menggunakan benzodiazepine kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu.
Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepine untuk suatu periode terbatas,
selama mana pendekatan terapeutik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepine dalam gangguan kecemasan
menyeluruh. Kira-kira 25-30% dari semua pasien tidak berespons dan dapat terjadi toleransi
serta ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan
obat dan dengan demikian pasien berada dalam resiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan
bermotor.
Keputusan klinis untuk memulai terapi dengan benzodiazepine dipertimbangkan secara spesifik.
Diagnosis pasien, gejala sasaran spesifik, dan lamanya pengobatan semuanya harus ditentukan
serta informasi harus diberikan kepada pasien. Pengobatan untuk sebagian besar keadaan
kecemasan berlangsung selama dua sampai enam minggu, diikuti oleh satu atau dua minggu
menurunkan obat perlahan-lahan sebelum akhirnya obat dihentikan.
Pengobatan bagi kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah terapeutiknya
dan meningkatkan dosis untuk mencapai respons terapeutik. Pemakaian benzodiazepine dengan
waktu paruh sedang (8-15 jam), kemungkinan akan menghindari beberapa efek merugikan yang
berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis
terbagi mencegah perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan kadar plasma
puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan benzodiazepine mungkin lebih dari
sekedar efek anti kecemasan. Sebagai contoh, obat dapat menyebabkan pasien memandang
beberapa kejadian dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi
ringan, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol.
Buspirone kemungkinan besar efektif pada 60-80% pasien dengan gangguan kecemasan
menyeluruh. Data menyatakan bahwa buspirone lebih efektif dalam menurunkan gejala kognitif
dari gangguan kecemasan menyeluruh dibandingkan dengan menurunkan gejala somatik. Bukti-
bukti juga menyatakan bahwa pasien yang sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepine
kemungkinan tidak berespons baik terhadap pengobatan buspirone. Tidak adanya respons
tersebut mungkin disebabkan oleh tidak adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepine, yang
terjadi pada terapi buspirone. Buspirone memiliki kerugian utama yaitu efeknya memerlukan
waktu 2-3 minggu. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepine dengan
buspirone kemudian di lakukan tapering benzodiazepine setelah 2- 3 minggu disaat efek terapi
buspirone sudah mencapai maksimal.
Selective Serotonin-Reuptake Inhibitors (SSRI), sertraline, dan paroxetin merupakan pilihan
yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat.
SSRI selektif terutama terhadap pasien GAD dengan riwayat depresi.
Pada pasien juga di lakukan psikoterapi. Psikoterapi yang terpilih untuk gangguan ini adalah
Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya
yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative.12 Inti
dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis dan
keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada
gangguan panik.
Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan
cara mengganti semua pikiran-pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak
menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif. Terapi
relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan
dan mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat
dilakukan pasien dengan atau tanpa melibatkan dokter.

9. KOMPLIKASI
1. Mengisolasi diri.
2. Tidak dapat berinteraksi dengan orang lain.
3. Sangat sensitif pada kritikan.
4. Tingkat percaya diri yang rendah.
5. Depresi mayor
6. Kemampuan social yang buruk.
7. Menurunnya prestasi akademik atau pekerjaan.
Sumber : Diseases and Conditions: Social Anxiety Disorder (Social Phobia) 2018

10. PENCEGAHAN
1. Berolahraga secara teratur.
2. konsumsi makanan dengan seimbang
3. Berhenti merokok.
4. Membatasi jumlah alkohol dan kafein yang dikonsumsi.
5. Melakukan kegiatan atau latihan relaksasi secara teratur, seperti yoga, meditasi, atau
tai chi.
6. Melakukan hobi atau kegiatan relaks yang disukai, seperti bermain musik, berkebun,
merajut, ataupun melukis.
Sumber : Patriquin, M.A. & Mathew, S.J. (2018). The Neurobiological of
Mechanisms

11. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baikbila mendapat penatalaksanaan yang sesuai.
Sekitar 50% pasien mendapat perbaikan dalam tiga minggu pertamapengobatan.sekitar
77% membaik dalam sembilan bulan pengobatan.
sumber : PPK PSIKIATRI 2019

You might also like