Professional Documents
Culture Documents
Skripsi Final Revisi
Skripsi Final Revisi
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-1
Fakultas Geografi
Oleh:
Refri Astari Srigama
E100162007
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2020
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI
Pembimbing
Mengetahui
Sekretaris Fakultas
I
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
II
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ϧ ϴ Ϥ˴ 䁀
ϴ ϴ ϴ ϴ Ϥ ⺁䇅 ϴ Τ Τ 䇅 ϴ Τ˴ ϴ⺁
Ϥ 䁋⺁䇅
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”
Teman - teman
Hal yang aku yakini adalah bahwa tidak ada perjumpaan hanya karena suatu
kebetulan belaka. Waktu yang kita habiskan bersama, semuanya luar biasa.
Terimakasih telah hadir dan menjadi bagian cerita baik hidupku.
“Semoga keselamatan dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya terlimpah untuk kalian”
III
INTISARI
IV
ABSTRACT
The problem of the urban environment that is most felt is air pollution and it
results in climate resilience where the amount of oxygen production (O₂)
decreases and the abundance of carbon dioxide (CO₂) production. Surakarta is the
city with the highest population density in Central Java Province. However, the
availability of green land, namely urban forest, which functions as a CO₂ absorber
in suppressing and reducing air pollution in cities is reduced every year and is
replaced by built-up land. The objectives of this study were: 1) to analyze the
availability and need of urban forest area based on the ability to absorb CO₂; 2)
identifying potential locations (land) to be developed as urban forest. Two
analysis methods are used, namely: 1) analysis of urban forest area needs with the
approach to absorbing CO₂ generated from population parameters and motor
vehicles; 2) spatial data analysis using remote sensing approach. This process is to
perform a visual interpretation using the on screen digitization method through
digitizing the GeoEye-1 image. The results showed: 1) the area of urban forest
demand in Surakarta City reaches 90% of the total area; 2) the image of GeoEye-1
is very good, presenting the physical appearance of a complex city so that 105
land blocks are obtained with a total potential land area of 117, 96 ha 3) all sub-
districts in Surakarta City have the potential to be developed as urban forest
Jebres sub-district has a large potential land area, while Pasar Kliwon sub-district
has a small potential land area.
Keywords : Air Pollution, Carbon Dioxide, City Forest, Potential Land, Image
Interpretation, GeoEye-1
V
DAFTAR ISI
VI
BAB III DESKRIPSI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN
3.1 Letak, Luas dan Batas............................................................................... 37
3.2 Geologi......................................................................................................39
3.3 Geomorfologi............................................................................................ 41
3.4 Tanah.........................................................................................................41
3.5 Iklim.......................................................................................................... 44
3.6 Penggunaan Lahan.................................................................................... 47
3.7 Penduduk...................................................................................................48
3.7.1 Struktur Penduduk...........................................................................48
3.7.2 Proses Penduduk............................................................................. 51
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Karbondioksida yang dihasilkan Kota Surakarta Tahun 2019..................56
4.2 Kebutuhan Luas Hutan Kota.....................................................................58
4.3 Identifikasi dan Distribusi Lahan Potensial.............................................. 59
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 Ketersediaan Hutan Kota dan Distribusi Lahan Potensial........................ 77
5.2 Pengembangan Hutan Kota.......................................................................79
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan............................................................................................... 84
6.2 Saran..........................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 85
VII
DAFTAR TABEL
VIII
DAFTAR GAMBAR
IX
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis berhasil
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Citra GeoEye-1 untuk
Identifikasi Lokasi Potensial Terhadap Pengembangan Kebutuhan Luas
Hutan Kota Berdasarkan Kemampuan Menyerap CO₂ di Kota Surakarta”.
Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana pada Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Segala bentuk kegiatan dan penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari
ridha Allah SWT, serta semua pihak yang membantu dalam penyelesaian tugas
akhir ini baik berupa do’a, semangat, bimbingan dan kerjasama. Penulis
menyampaikan terimakasih banyak kepada :
1. Drs. Yuli Priyana, M.Si selaku Dekan Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
2. Aditya Saputra, S.Si, M.Sc, Pd.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan motivasi, pengetahuan dan arahan, sehingga penyusunan
skripsi dapat terlaksana dengan baik.
3. Dra. Umrotun, M. Si selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan
kritik dan saran selama penelitian ini dilaksanakan.
4. Vidya Nahdhiyatul Fikriyah, M. Si selaku Dosen Penguji II yang telah
memberikan kritik dan saran selama penelitian ini dilaksanakan.
5. Teman-teman Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta Periode 2017, 2018, 2019 dan 2020.
6. Teman-teman seperjuangan Program Studi Geografi Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2016.
X
Penulis menyadari adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan
sehingga dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun untuk meningkatkan kualitas dari
skripsi ini sangat diharapkan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi diri
pribadi dan pembaca sekalian, terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
XI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jika dibandingkan dengan gas-gas lain kontribusi relatif terhadap efek rumah kaca
masing-masing gas dapat disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Kontribusi Gas Rumah Kaca (GRK)
Gas Ekuivalen emisi CO₂ (gigagram/Gg) Persentase emisi (%)
CO2 438.609,64 59,1
CH4 142.042,81 19,1
N2O 31.113,21 4,2
Gas lainnya 130.809,21 17,6
Total 724.575,26 100
Sumber : ALGAS National Workshop (1997) dalam Santosa (2002) dalam Junaedi (2007)
Berdasarkan tabel menunjukkan bahwa CO₂ merupakan gas terbesar
penyebab efek rumah kaca atau Greenhouse Effect dimana persentasenya adalah
59,1 persen, yakni paling tinggi dibandingkan gas-gas yang lain. Oleh sebab itu,
diperlukan usaha untuk mengurangi emisi CO₂.
Hutan dan/ atau hutan kota merupakan penyerap gas CO₂ yang penting
selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Melalui proses
fotosintesis dari siklus makanan tumbuhan akan mengubah gas tersebut menjadi
karbohidrat dan oksigen. Karena, apabila konsentrasi gas CO₂ dibiarkan terus
menerus meningkat tanpa ada upaya untuk mengurangi ataupun
menyeimbangkannya akan menjadi zat beracun bagi makhluk hidup serta
kenaikan suhu udara menjadi terasa lebih panas.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar dan menjadi kota dengan
kepadatan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Penduduk Kota Surakarta pada
tahun 2019 berjumlah 575.230 jiwa dengan kepadatan 13.061,53 km² (Kota
Surakarta Dalam Angka 2020). Jumlah tersebut dapat meningkat bahkan
mencapai tiga kali lipat di waktu pagi hingga sore hari akibat pertambahan
penduduk dari wilayah subosukowonosraten (Sukararta, Boyolali, Sukoharjo,
Wonogiri, Sragen dan Klaten). Dimana Kota Surakarta merupakan pusat kegiatan
perdagangan atau ekonomi, jasa, pariwisata dan budaya serta pendidikan di
wilayah tersebut. Padatnya aktifitas penduduk di Kota Surakarta pun juga
menyebabkan penggunaan kendaraan bermotor yang tinggi. Penggunaan
2
kendaraan bermotor yang tinggi inilah kemudian menambah produksi CO₂ dan
tingkat pencemaran udara.
Sedangkan, ketersediaan lahan hijau yakni hutan kota yang berfungsi
sebagai penyerap CO₂ dalam menekan ataupun mengurangi pencemaran udara di
Kota Surakarta setiap tahun berkurang dan digantikan dengan lahan terbangun.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta hutan kota yang saat
ini dimiliki adalah 1.033.866,11 m² atau 103,38 Ha dari luas wilayahnya 4.404 Ha.
Detail hutan kota yang tersedia dapat dilihat pada tabel 1.2 dan gambar 1.1
sebagai berikut:
Tabel 1.2 Hutan Kota (Kota Surakarta)
No Jenis RTH Nama Kecamatan Luas
m² ha
3
Gambar 1.1 Peta Persebaran Hutan Kota di Kota Surakarta Tahun 2019
4
Ketersediaan hutan kota saat ini masih kurang jika disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2009 tentang hutan kota bahwa luas hutan
kota >10% dari luas wilayah perkotaan. Sehingga perlu adanya usaha untuk
melakukan pengembangan hutan kota agar tercapai tujuan dari penyelenggaraan
hutan kota.
Kepadatan aktifitas penduduk yang terjadi di Kota Surakarta telah diiringi
dengan peningkatan produksi CO₂ setiap tahun, dari uraian tersebutlah maka
analisis kebutuhan hutan kota akan dipertimbangkan berdasarkan parameter CO₂
yang dihasilkan. Sementara keberadaan lokasi lahan hijau dan/ atau terbuka
sekarang yang sedikit perlu ditambah luasannya. Teknologi penginderaan jauh
tepat digunakan untuk menentukan lokasi potensial hutan kota karena informasi
yang didapatkan lebih efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Citra GeoEye-1
Untuk Identifikasi Lokasi Potensial Terhadap Pengembangan Kebutuhan Hutan
Kota Berdasarkan Kemampuan Menyerap (CO₂) di Kota Surakarta” diharapkan
mampu membantu proses penyelenggaraan hutan kota.
5
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan antara lain;
1. Memberikan gambaran terkait luas hutan kota sebagai bagian dari RTH
(Ruang Terbuka Hijau), apakah keberadaannya telah sesuai dan memenuhi
kemampuan menyerap karbondioksida (CO₂) aktivitas penduduk yang
tinggal di Kota Surakarta.
2. Rekomendasi kebijakan pemerintah dalam upaya melaksanakan tujuan
penataan ruang yang tertuang di Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Surakarta Tahun 2011 – 2031, diantaranya mewujudkan kota yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
6
Tabel 1.3 Ruang Terbuka Hijau Publik & Ruang Terbuka Hijau Privat Kota Surakarta
RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK
Luas (m²) ha
Luas (m²) ha
1 Taman RT 0 0 0,00
7
8 Pulau Jalan dan Median Jalan 1 776 0,07
8
1.5.1.2 Hutan Kota
Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan
asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur,
menyebar atau bergerombol (menumpuk), strukturnya meniru (menyerupai)
hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa
liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis
(Irwan, 1994). Hutan Kota adalah sebuah ekosistem.
Menurut PP No.71 Tahun 2009 menyatakan bahwa hutan kota
adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang
kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang
berwenang. Penyelenggaraan hutan kota dimaksudkan untuk;
a. Menekan/ mengurangi peningkatan suhu di perkotaan
b. Menekan/ mengurangi pencemaran udara (karbonmonoksida, ozon,
karbondioksida, oksida nitrogen, belerang dan debu)
c. Mencegah terjadinya penurunan air tanah dan permukaan tanah
d. Mencegah terjadinya banjir atau genangan, kekeringan, intrusi air laut,
meningkatnya kandungan logam berat dalam air.
Berikut ini merupakan tanah pemerintah maupun tanah hak (pribadi)
di Kota Surakarta (2019) yang ditetapkan statusnya sebagai bagian dari
Ruang Terbuka Hijau yang jenisnya adalah hutan kota yaitu :
1. Taman Balekambang
Taman Balekambang merupakan salah satu jenis RTH (Ruang
Terbuka Hijau) yang statusnya ditetapkan sebagai hutan kota milik
pemerintah Kota Surakarta. Letaknya berada di Kecamatan Banjarsari,
Kelurahan Manahan dan dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kota Surakarta. Taman Balekambang mempunyai luas 8,72 ha dengan
lebar tajuk vegetasi mayoritas yaitu 8 m. Presentasi RTH-nya >80% dan
kondisinya baik. Status retribusinya ada. Perawakan vegetasi mayoritas
didalamnya adalah pohon besar (>12 meter) dan daya tarik vegetasi
mayoritas didalamnya adalah bentuk tajuk. Potensi vegetasi mayoritas
9
didalamnya sebagai reduktor polutan. Vegetasi yang tersedia di hutan kota
Taman Balekambang antara lain; beringin, waru, trembesi dan flamboyan.
2. Hutan
Lahan hijau dimana statusnya ditetapkan sebagai hutan kota yang
ditumbuhi oleh pepohonan dengan luas 22,38 ha. Terletak di Kecamatan
Banjarsari, Kelurahan Manahan, dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah
Kota Surakarta.
4. Edupark UMS
Edupark UMS merupakan lahan hijau milik Universitas
Muhammadiyah Surakarta dan statusnya saat ini masih ditetapkan sebagai
hutan kota oleh pemerintah kota setempat. Luas hutan kota Edupark UMS
adalah 5,22 ha.
10
6. Hutan Kota Jalan Monginsidi.
Lahan hijau dimana statusnya ditetapkan sebagai hutan kota yang
ditumbuhi oleh pepohonan terletak di Kecamatan Jebres, Kelurahan
Tegalharjo. Lahan tersebut merupakan lahan dengan kepemilikan pribadi.
Hutan Kota Jalan Monginsidi mempunyai luas 5,45 ha dengan presentasi
RTH-nya >80% dan kondisinya baik. Status retribusinya tidak ada.
Perawakan vegetasi mayoritas didalamnya adalah pohon besar (>12 meter)
dan daya tarik vegetasi mayoritas didalamnya adalah warna daun. Potensi
vegetasi mayoritas didalamnya sebagai reduktor polutan. Vegetasi yang
tersedia di hutan kota Jalan Monginssidi antara lain; angsana, cemara,
lamtoro dan kembang biak.
7. Hutan
Lahan hijau dimana statusnya ditetapkan sebagai hutan kota yang
ditumbuhi oleh pepohonan terletak di Kecamatan Jebres, Kelurahan
Mojosongo. Dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Hutan
ini mempunyai luas 15,57 ha dengan lebar tajuk vegetasi mayoritas yaitu 4
m. Presentasi RTH-nya >80% dan kondisinya baik. Status retribusinya
tidak ada. Perawakan vegetasi mayoritas didalamnya adalah pohon besar
(>12 meter) dan daya tarik vegetasi mayoritas didalamnya adalah bentuk
tajuk. Potensi vegetasi mayoritas didalamnya sebagai reduktor polutan.
Vegetasi yang tersedia di hutan kota ini antara lain; akasia, jati, bambu dan
trembesi.
8. Hutan
Lahan hijau dimana statusnya ditetapkan sebagai hutan kota yang
ditumbuhi oleh pepohonan terletak di Kecamatan Jebres, Kelurahan
Mojosongo. Dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Hutan
ini mempunyai luas 5,12 ha dengan lebar tajuk vegetasi mayoritas yaitu 4
m. Presentasi RTH-nya >80% dan kondisinya baik. Status retribusinya
tidak ada. Perawakan vegetasi mayoritas didalamnya adalah pohon sedang
(7-12 meter) dan daya tarik vegetasi mayoritas didalamnya adalah bentuk
11
tajuk. Potensi vegetasi mayoritas didalamnya sebagai reduktor polutan.
Vegetasi yang tersedia di hutan kota ini antara lain; mahoni, akasia,
lamtoro dan johar.
9. Hutan
Lahan hijau dimana statusnya ditetapkan sebagai hutan kota yang
ditumbuhi oleh pepohonan terletak di Kecamatan Jebres, Kelurahan
Mojosongo. Dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota Surakarta. Hutan
ini mempunyai luas 15,81 ha dengan lebar tajuk vegetasi mayoritas yaitu 5
m. Presentasi RTH-nya 70-80% dan kondisinya baik. Status retribusinya
tidak ada. Perawakan vegetasi mayoritas didalamnya adalah pohon besar
(>12 meter) dan daya tarik vegetasi mayoritas didalamnya adalah bentuk
tajuk. Potensi vegetasi mayoritas didalamnya sebagai reduktor polutan.
Vegetasi yang tersedia di hutan kota ini antara lain; pisang, jati, bambu dan
lamtoro.
12
m. Presentasi RTH-nya >80% dan kondisinya baik. Status retribusinya
tidak ada. Perawakan vegetasi mayoritas didalamnya adalah pohon besar
(>12 meter) dan daya tarik vegetasi mayoritas didalamnya adalah bentuk
tajuk. Potensi vegetasi mayoritas didalamnya sebagai reduktor polutan.
Vegetasi yang tersedia di hutan kota ini antara lain; glodokan taing,
angsana dan flamboyan.
13
b. Tipe Kawasan Industri
Kawasan industri merupakan kawasan yang mempunyai tingkat
pencemaran udara tinggi. Tipe hutan kota ini harus mampu menyerap
pencemar tersebut dan sebagai tempat istirahat bagi pekerja.
c. Tipe Rekreasi dan Keindahan
Tipe hutan kota yang memberikan sajian alam yang indah, segar dan
penuh ketenangan untuk melepaskan penat.
d. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
Hutan kota yang mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian
terhadap sumber daya alam. Hutan kota dapat diarahkan pada
penyediaan habotat burung dan satwa lainnya. Tipe ini berfungsi sebagai
hutan konservasi.
e. Tipe Perlindungan
Hutan kota yang memperhatikan ancaman masalah intrusi air laut. Tipe
hutan kota dibangun sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air.
Tujuannya menghindari bahaya banjir, erosi dan longsoran (khususnya
kota dengan kemiringan tinggi).
f. Tipe Pengamanan
Tipe hutan kota yang terletak di sepanjang tepi jalan bebas hambatan
berupa jalur hijau. Tujuannya untuk mengurangi terjadinya bahaya dan
kecelakan di jalan atau meningkatkan keamanan dari pengguna jalan.
Irwan (1994) mengelompokkan hutan kota menjadi tiga bentuk,
yaitu;
a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas
vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak
beraturan.
b. Menyebar, yaitu hutan kota yang tidak memmpunyai pola tertentu,
dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar
dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.
14
c. Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang
berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai,
jalan, pantai, saluran dan sebagainya.
Salah satu kriteria dari pembangunan hutan kota adalah luas hutan
kota berdasar tingkat cemaran. Adanya hutan kota merupakan upaya untuk
mempertahankan kualitas lingkungan. Karena, proses fotosintesis
dilaksanakan oleh bagian yang ber-klorofil (daun/ pohon). Penetapan luas
hutan kota dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu indikator
lingkungan berupa produksi karbon yang dihasilkan oleh penduduk kota.
Hal ini dapat dilakukan karena karbon yang terdapat di udara berupa CO₂
diserap oleh pohon dalam proses fotosintesis dan selanjutnya proses
respirasi menghasilkan biomassa.
15
karbondioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil,
yaitu minyak bumi, batubara dan gas bumi (Pratama, 2019)
Karakteristik karbondioksida adalah tidak mampu ditembus oleh
gelombang terestrial/gelombang panjang/long wave radiation (LWR) yang
berasal dari permukaan bumi. Bersama uap air CO₂ menyerap lebih dari
90% LWR dari bumi (Trewartha and Lyle, 1995 dalam Junaedi, 2007).
Namun, CO₂ masih bisa dilalui radiasi gelombang pendek 0,3-4µm) dari
matahari. Gelombang panjang merupakan gelombang yang diradiasikan
oleh benda hitam (benda dengan suhu di atas 273 K) dengan kisaran
spektrum panjang gelombang 4-120 µm (Santosa, 2002 dalam Junaedi,
2007).
CO₂ di atmosfer seolah-olah berperan sebagai perangkap LWR.
Semakin besar jumlah CO₂ (karbon atmosfer) maka akan semakin banyak
LWR yang terperangkap. Fenomena ini akan diikuti oleh peningkatan
proporsi gelombang termal (energi panas) yang dapat diserap oleh
partikel-partikel atmosfer. Peningkatan tersebut selanjutnya akan
meningkatkan suhu (derajat panas) yang merupakan ekspresi dan energi
kinetik (gerak) partikel-partikel atmosfer (Junaedi, 2007)
Pada tahun 1990, CO₂ menempati kontribusi teratas dalam emisi
GRK (Gas Rumah Kaca) terhadap pemanasan global yaitu 59,1%.
Tabel 1.4 Kontribusi Gas Rumah Kaca (GRK)
Gas Ekuivalen emisi CO₂ (Gigagram) Persentase emisi (%)
CO2 438.609,64 59,1
CH4 142.042,81 19,1
N2O 31.113,21 4,2
Gas lainnya 130.809,21 17,6
Total 724.575,26 100
Sumber : ALGAS National Workshop (1997) dalam Santosa (2002) dalam Junaedi (2007)
Pemanasan global yaitu meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer,
laut dan daratan bumi dari berbagai aktivitas manusia yang melepaskan gas
karbon. Dampak pemanasan global akan mempengaruhi:
16
1. Iklim dan cuaca
Salah satu pengaruh pemanasan global terhadap iklim dan cuaca
antara lain; (a) menjadikan cuaca tidak menentu. Sulit rasanya
memprediksi cuaca pada waktu tertentu, prediksi cuaca seringkali berakhir
tidak tepat dan mengacaukan hari yang telah direncanakan sebelumnya.
Seperti misalnya jadwal penerbangan, penyelenggaran kegiatan dan lain-
lain. (b) Musim kemarau dan musim penghujan yang lamanya tidak sama,
jika terlalu lama musim kemarau maka akan terjadi kekeringan dan jika
terlalu lama musim penghujan maka akan terjadi banjir. (c) Permukaan
laut mengalami kenaikan menyebabkan banjir rob, pulau-pulau kecil
tenggelam dan sebagainya dan (d) udara terasa lebih panas daripada
sebelumnya.
2. Pertanian
Perubahan cuaca yang tidak menentu tersebut menyebabkan
produksi pertanian juga tidak menentu. Karena musim tanam dan musim
panen selalu bergantu pada cuaca.
3. Hewan dan Tumbuhan
Dalam pemanasan global, hewan cenderung akan bermigrasi untuk
mempertahankan hidupnya ke arah kutub atau ke arah pegunungan.
Sedangkan tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya mencari
daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Jika tidak bisa,
maka hewan dan tumbuhan tersebut menjadi spesies terancam yang
keberadaannya akan punah oleh waktu.
4. Kesehatan Manusia
Menurut Pratama (2019), di dunia yang hangat para ilmuan
memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit dan
meninggal karena sress panas. Wabah penyakit yang sering ditemukan di
daerah tropis seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan
pembawa penyakit lainnya. Saat ini 45 persen penduduk dunia tinggal di
daerah dimana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit
malaria, persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperatur
17
itu meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar
seperti malaria, demam berdarah, demam kuning dan encephalitis. Para
ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit
pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan ,
spora, mold dan serbuk sari.
18
dapat diatur dengan mempertimbangkan pembangunan hutan kota, maka
dapat dihasilkan kualitas udara yang bersih.
19
1. Rona atau warna (tone/ colour). Rona adalah tingkat kegelapan atau
kecerahan objek pada citra, sedangkan warna adalah wujud yang tampak
oleh mata. Rona ditunjukkan dengan gelap - cerah. Pantulan rendah,
ronanya gelap dan pantulah tinggi ronanya cerah.
2. Bentuk (shape) adalah variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi
atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga
banyak objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja, seperti
bentuk memanjang, lingkaran dan segi empat.
3. Ukuran (size) adalah atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas,
tinggi, kemiringan lereng dan volume.
4. Kekasaran (texture) adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau
pengulangan rona terhadap objek yang terlalu kecil untuk dibedakan
secara individual.
5. Pola (pattern) adalah hubungan susunan spasial objek. Pola merupakan
ciri yang menandai objek bentukan manusia ataupun alamiah.
6. Bayangan (shadow) adalah aspek yang menyembunyikan detail objek
yang berada di daerah gelap.
7. Situs (site) adalah letak suatu objek terhadap objek lain di sekitarnya.
8. Asosiasi (association) adalah keterkaitan antara objek yang satu dan
objek lain di sekitarnya,
Salah satu metode yang dapat dilakukan pada interpretasi secara
visual adalah metode on screen digitation, maksud dari metode ini yaitu
melakukan identifikasi dengan cara digitasi langsung pada citra yang
tertayang di layar monitor komputer.
Setelah objek diinterpretasi dilakukan uji akurasi untuk menghitung
dan melihat besarnya kesalahan digitasi dari objek tersebut. Semakin besar
nilai akurasinya maka akan semakin sedikit kesalahannya. Kegiatan ini
yaitu survey lapangan terhadap objek-objek yang dianggap ragu-ragu.
20
1.5.1.6 Citra GeoEye-1
Citra GeoEye-1 merupakan salah satu citra penginderaan jauh
resolusi spasial tinggi. Satelit GeoEye-1 diluncurkan pada tahun 2008
dengan ketinggian sensor 684 kilometer di atas permukaan bumi dan sudut
inklinasi 98°. Hasil perekaman sensor satelit ini terbagi menjadi dua yakni
pankromatik yang memiliki resolusi 0,64 m dan multispektral dengan
resolusi 1,65 m (Digital Globe dalam Prasetya dkk, 2017).
GeoEye-1 secara simultan melakukan perekaman saluran
pankromatik dengan resolusi spasial 0,41 meter dan saluran multispektral
dengan resolusi spasial 1,65 meter. Akan tetapi berdasarkan kebijakan
pemerintah AS resolusi spasial yang diperkenankan untuk kepentingan
komersial adalah resolusi 0,5 meter dan 2 meter.
Citra GeoEye-1 ini sangat baik digunakan untuk keperluan
interpretasi visual dengan metode digitasi on screen karena selain
mempunyai resolusi spasial yang tinggi, citra ini dapat diperoleh secara
gratis.
Tabel 1.5 Spesifikasi Citra GeoEye-1
Spesifikasi Citra GeoEye-1
Mode Citra Pankromatik Multispektral
Resolusi Spasial 0.41 meter 1.65 meter
Band 450-900 nm 450-520 nm (biru)
520-600 nm (hijau)
625-695 nm (merah)
760-900 nm (Inframerah Jarak Dekat)
Lebar Sapuan 15.2 km
Inklinasi Hingga 60 derajat
Resolusi Radiometrik 11 bit per piksel
Masa Operasi Sekitar >10 years
Waktu Lintas Ulang Kurang dari 3 hari
Ketinggian 681 km
Waktu Pengambilan Data 10:30 pagi
Sumber: sellquickbird.wordpress.com
21
1.5.2 Penelitian Sebelumnya
Jufri Hamka Lauhatta (2007) dengan judul penelitian “Estimasi
Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra Ikonos dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur” memiliki tujuan
untuk mengestimasi luas dan distribusi kebutuhan hutan kota
menggunakan Citra Ikonos di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Tahun
2003 serta prediksi tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020. Selain itu juga
untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi potensial untuk dikembangkan
sebagai hutan kota. Metode pengambilan data adalah data sekunder dari
berbagai instansi dan survey menggunakan penginderaan jauh Citra Ikonos.
Metode pengolahan dengan analisis deskriptif dengan pendekatan parsial
yaitu, kemampuan hutan menyerap polutan (CO₂). Selanjutnya dilakukan
pengecekan lapangan (groud check) untuk menguji ketelitian klasifikasi
penutupan lahan hasil dari pemrosesan citra tersebut.
Sri Sapti Hamdaningsih, Chafid Fandeli, M. Baiquni (2010)
dengan judul penelitian “Studi Kebutuhan Hutan Kota Bedasarkan
Kemampuan Vegetasi Dalam Penyerapan Karbon di Kota Mataram”
memliki tujuan untuk menganalisis kebutuhan hutan kota, menyajikan
besarnya kemampuan berbagai jenis vegetasi hutan kota dan menyajikan
sebaran hutan kota yang dibutuhkan di Kota Mataram. Metode analisis
penelitiannya adalah deskriptif kuantitatif serta sampel yang digunakan
adalah purpossive sampling.
M. Chusnan Aprianto, Sudibyakto, Chafid Fandeli (2010) dengan
judul penelitian “Kajian Luas Hutan Kota Berdasarkan Kebutuhan
Oksigen Karbon Tersimpan dan Kebutuhan Air di Kota Yogyakarta”
memiliki tujuan untuk menentukan distribusi hutan kota dan jenis pohon
yang harus ditambahkan pada tingkat kecamatan, menentukan kesesuaian
luas hutan kota berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 dengan kebutuhan
oksigen, karbon tersimpan dan kebutuhan air serta memperkirakan
kebutuhan luas hutan kota pada tahun 2010. Analisis perhitungan luas
hutan kota berdasarkan pendekatan kebutuhan oksigen dan karbon
22
tersimpan dengan metode gerarkis. Sedangkan untuk kebutuhan air
menggunakan persamaan analitik.
Hardianto Siahaan (2017) dengan judul penelitian “Identifikasi
Lahan Potensial Untuk Pengembangan Hutan Kota Dengan Melibatkan
Persepsi dan Pendapat Masyarakat di Kecamatan Umbulharjo” memiliki
tujuan untuk mengidentifikasi/ menganalisis persebaran hutan kota dan
lahan yang berpotensi serta menganalisis persepsi dan pendapat masyakat
tentang hutan kota dan lahan potensial terkait pengembangan hutan kota di
Kecamatan Umbulharjo. Metode pengambilan data adalah survey
menggunakan penginderaan jauh Citra Worldview-2 dan metode
pengolahan data dengan analisis deskriptif dan tabel frekuensi.
Selanjutnya dilakukan uji lapangan (ground check) untuk menyesuaikan
nilai akurasi dari hasil interpretasi hutan kota dan lahan potensial dari citra
dan kondisi sebenarnya. Persepsi dan pendapat masyarakat dilakukan
dengan wawancara menggunakan kuesioner.
Sriwanita, Mubarak, Nurhidayah (2017) dengan judul penelitian
“Analisis Luasan Hutan Kota Berdasarkan Kemampuan Menyerap CO₂,
Kebutuhan O₂ dan Kebutuhan Air di Kota Pekanbaru” diharapkan dapat
mewujudkan pengelolaan hutan kota yang berkelanjutan demi peningkatan
kualitas lingkungan hidup di Kota Pekanbaru. Metode pengambilan data
adalah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi dan studi literatur
penelitian terdahulu. Metode pengolahan data menggunakan 3 parameter
yaitu; Kemampuan Menyerap Karbondioksida (CO₂), dengan rumus dari
penlitian Panie (2009), Kebutuhan Oksigen (O₂), dengan rumus Geravkis
yang telah dimodifikasi dan Kebutuhan Air dengan rumus berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 5/PRT/M/2008.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang pertama
diantaranya; (a) parameter untuk menentukan luas hutan kota berdasarkan
CO₂ yang dihasilkan, penelitian ini tidak menggunakan parameter industri
dalam perhitungannya. Alasannya adalah di wilayah Kota Surakarta tidak
memiliki industri dengan penggunaan bahan bakar/ minyak bumi yang
23
besar serta berlebih. Selain itu klasifikasi kendaraan bermotor yang
digunakan juga berbeda, penelitian pertama berdasarkan Arismunandar
(1980) dalam Wisesa (1988) sedangkan untuk klasifikasi kendaraan
bermotor pada penelitian ini berdasarkan Defra (2007) dalam Sriwanita,
Mubarak dan Nurhidayah (2017). (b) jenis data citra, penelitian pertama
menggunakan Citra Ikonos untuk mengidentifikasi lokasi yang akan
dikembangkan sebagai hutan kota dari dua wilayah yaitu Jakarta Timur
dan Jakarta Utara sedangkan penelitian ini menggunakan Citra GeoEye-1
dan (c) Penelitian ini tidak melakukan prediksi terhadap luas yang
dibutuhkan di tahun-tahun berikutnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang keempat yaitu; (a)
jenis data citra untuk mengidentifikasi lokasi yang akan dikembangkan
sebagai hutan kota dari satu wilayah kecamatan digunakan Citra
WorldView-2 sedangkan penelitian ini menggunakan Citra GeoEye. (b)
penelitian tersebut tidak melakukan perhitungan luas kebutuhan hutan kota
dan (c) penelitian ini tidak melakukan analisis ataupun wawancara
terhadap persepsi dan pendapat masyarakat tentang hutan kota dan lahan
potensial.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang kelima dan ketiga
yaitu; (a) penelitian tersebut melakukan perhitungan kebutuhan luas hutan
kota berdasarkan 3 (tiga) pendekatan yaitu kemampuan menyerap CO₂,
Kebutuhan O₂ dan Kebutuhan Air sedangkan penelitian ini hanya
menggunakan 1 (satu) pendekatan yaitu kemampuan menyerap CO₂ dan (b)
penelitian ketiga tidak melakukan identifikasi lokas potensial untuk
dijadikan sebagai hutan kota.
Sehingga dari uraian diatas ditemukan bahwa perbedaan dari ketiga
penelitian sebelumnya terletak pada; (a) tujuan, penelitian ini
dimaksudkan untuk menganalisis keseimbangan hutan kota yang ada,
yaitu membandingkan luasan hutan kota yang teredia dengan luas
kebutuhan hutan kota berdasarkan parameter produksi CO₂ (b) jenis data
citra, penelitian ini menggunakan Citra GeoEye-1 yang bersumber dari
24
ESRI Imagery yang tersedia pada perangkat lunak ArcGis (c) parameter
produksi CO₂, penelitian ini hanya menggunakan dua parameter dalam
menghitung produksi CO₂ untuk menyesuaikan kondisi wilayah setempat
yaitu CO₂ yang dihasilkan oleh penduduk dan kendaraan bermotor.
25
Tabel 1.6 Ringkasan Penelitian Sebelumnya
Nama Peneliti Judul Tujuan Metode dan Analisis Hasil
Jufri Hamka Estimasi Kebutuhan Hutan Kota 1. Estimasi luas dan distribusi 1. Metode Survey 1. Luas kebutuhan hutan kota di
Lauhatta (2007) Menggunakan Citra Ikonos dan kebutuhan hutan kota dengan pendekatan Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan citra Ikonos di penginderaan jauh berturut-turut adalah 222,59% dan
di Jakarta Selatan dan Jakarta Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Citra Ikonos 212,36% dari luas areal yang telah
Timur Timur Tahun 2003 serta prediksi 2. Analisis deskriptif ada.
tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 data sekunder 2. Daerah-daerah yang paling
2. Identifikasi lokasi-lokasi yang berpotensi dikembangkan sebagai
potensial untuk dikembangkan hutan kota di Kota Jakarta Selatan
sebagai hutan kota di Kota dan Jakarta Timur berturut-turut
Jakarta Selatan dan Jakarta adalah Kecamatan Pesanggrahan
Timur (71,87 ha) dan Kecamatan
Cakung 321,67 ha)
Sri Sapti Studi Kebutuhan Hutan Kota 1. Menganalisis kebutuhan hutan 1. Metode analisis 1. Kebutuhan luas Hutan Kota di
Hamdaningsih, Berdasarkan Kemampuan kota di Kota Mataram untuk deskriptif kuantitatif Kota Mataram pada tahun 2008
Chafid Fandeli, M. Vegetasi Dalam Penyerapan menjaga kualitas lingkungan 2. Sampel yang sebesar 3.996,76 ha, sedangkan
Baiquni (2010) Karbon di Kota Mataram sekarang dan lima tahun digunakan adalah untuk lima tahun mendatang yaitu
mendatang Purpossive pada tahun 2013 meningkat
2. Menganalisis besarnya Sampling. menjadi 4.981,18 ha
kemampuan berbagai jenis 2. Luasan Ruang Terbuka Hijau di
vegetasi hutan kota dalam kota mataram saat ini ± 61.839,93
mengurangi akumulasi karbon di m² atau sekitar 6,18 ha sangatlah
udara dan kurang bila dibandingkan dengan
3. Menyajikan sebaran hutan kota kebutuhan luasan hutan kota/
yang dibutuhkan yang Ruang Terbuka Hijau yang
disesuaikan dengan konsep tata didasarkan pada kebutuhan
ruang. oksigen tersebut
3. Banyaknya karbondioksida (CO₂)
yang diserap dalam persatuan luas
ton/ha sebesar 3.771 ton/ha
M. Chusnan Kajian Luas Hutan Kota 1. Menentukan distrubusi hutan 1. Analisis perhitungan 1. Hutan kota prlu ditingkatkan
Aprianto, Berdasarkan Kebutuhan Oksigem kota dan jenis pohon yang harus luas hutan kota menjadi 22% dari luas wilayah
Sudibyakto, Chafid Karbon Tersimpan, dan ditambahkan pada tingkat berdasarkan untuk memenuhi ketiga
26
Fandeli (2010) Kebutuhan Air di Kota kecamatan pendekatan kebutuhan tersebut
Yogyakarta 2. Menentukan kesesuaian luas kebutuhan oksigen 2. Terdapat 7 kecamatan yang perlu
hutan kota berdasarkan Undang- dan karbon ditambahkan luas hutan kotanya
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tersimpan dengan yaitu Danurejan, Gedongtengen,
dengan kebutuhan oksigen, metode gerarkis. Gondomanan, Jetis, Kraton,
karbon tersimpan dan kebutuhan Sedangkan untuk Ngampilan dan Pakualaman
air dan kebutuhan air dengan jenis pohon yang ditanam
3. Memperkirakan kebutuhan luas menggunakan aalah akasia, beringin dan bungur
hutan kota pada tahun 2010 persamaan analitik
Hardianto Siahaan Identifikasi Lahan Potensial 1. Mengidentifikasi hutan kota dan 1. Metode Survey 1. Peta distribusi hutan kota dan
(2017) Untuk Pengembangan Hutan lahan potensial untuk dengan pendekatan lahan potensial pengembangan
Kota Dengan Melibatkan Persepsi pengembangan hutan kota penginderaan jauh hutan kota
dan Pendapat Masyarakat di dengan penginderaan jauh Citra WorldView-2 2. Tabular persepsi dua pendapat
Kecamatan Umbulharjo 2. Menganalisis distribusi hutan dan wawancara masyarakat tentang hutan kota
kota dan lahan potensial untuk masyarakat
pengembangan hutan kota 2. Analisis deskriptif
3. Mengetahui persepsi dan dan tabel frekuensi
pendapat masyarakat tentang
hutan kota dan lahan potensial
Capra Sriwanita, Analisis Luasan Hutan Kota 1. Menghitung dan menganalisis 1. Metode Studi 1. Luas hutan kota yang dibutuhkan
Mubarak, Tengku Berdasarkan Kemampuan luasan hutan kota berdasarkan 3 Literatur tahun 2016 dan 2030 berturut-
Nurhidayah (2017) Menyerap CO₂, Kebutuhan O₂ pendekatan yaitu; Kemampuan 2. Analisis deskriptif turut berdasarkan kemampuan
dan Kebutuhan Air di Kota Menyerap CO₂, Kebutuhan O₂ data sekunder menyerap CO₂ adalah 5,42% dan
Pekanbaru dan Kebutuhan Air 10,52%.
2. Luas hutan kota yang dibutuhkan
tahun 2016 dan 2030 berturut-
turut berdasarkan kebutuhan O₂
adalah 5,34% dan 11,03%.
3. Luas hutan kota yang dibutuhkan
tahun 2016 dan 2030 berturut-
turut berdasarkan kebutuhan air
adalah 11,64% dan 15,81%.
Refri Astari Srigama Analisis Lokasi Potensial Untuk 1. Menganalisis keseimbangan 1. Metode Survey 1. Luas kebutuhan hutan kota di
(2020) Pengembangan Kebutuhan Luas kebutuhan luas hutan kota dengan pendekatan Kota Surakarta adalah 90% dari
27
Hutan Kota Berdasarkan berdasarkan kemampuan penginderaan jauh luas areal yang telah ada.
Kemampuan Menyerap CO₂ menyerap CO₂. Citra GeoEye-1 2. Diperoleh sebanyak 105 blok
Menggunakan Citra GeoEye-1 di 2. Identifikasi lokasi-lokasi 2. Analisis deskripif lahan potensial dengan total luas
Kota Surakarta potensial untuk dikembangkan data sekunder 117,96 ha
sebagai hutan kota di Kota 3. Peta distribusi kenampakan fisik
Surakarta. (lahan potensial) pengembangan
hutan kota. Semua kecamatan di
Kota Surakarta berpotensi
dikembangkan sebagai hutan
kota. Kecamatan Jebres
mempunyai potensi yang paling
besar yakni 62,61% sedangkan
Kecamatan Pasar Kliwon
mempunyai potensi yang paling
kecil yakni 2,67%.
28
1.6 Kerangka Penelitian
Kota Surakarta mempunyai letak yang strategis, yaitu berada di tengah-
tengah dua kota besar yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Semarang serta menjadi
pusat perdagangan/ ekonomi di kawasan Solo Raya menjadikan petumbuhan di
kota ini berkembang pesat. Pertumbuhan tersebut ditandai dengan pertambahan
jumlah penduduk disertai banyaknya pembangunan berbagai fasilitas dan
infrastruktur penunjang yang komersial. Pembangunan fisik suatu kota senantiasa
mengorbankan lingkungan yaitu lahan hijau yang berfumgsi untuk penyeimbang
ekosistem perkotaan. Salah satunya menyerap gas efek rumah kaca yang
menyebabkan global warming yaitu karbondioksida (CO₂).
Karbondioksida (CO₂) merupakan gas terbesar penyumbang Greenhouse
Effect menyebabkan suhu udara semakin panas jika tidak diserap oleh tanaman.
Konsumsi karbondioksida (CO₂) yang berlebihan oleh manusia pum menyebakan
kondisi tubuh tidak sehat serta rentan oleh serangan penyakit. Sebaliknya gas
yang dibutuhkan oleh manusia adalah oksigen (O²) yang dapat dihasilkan oleh
tanaman. Karbondioksida (CO₂) dapat dihasilkan dari dua parameter berikut; 1)
Penduduk dan 2) Kendaraan Bermotor. Dari dua parameter tersebut dihitung
dengan rumus yang kemudian akan didapatkan jumlah karbondioksia (CO₂) yang
dihasilkan dan luas hutan kota yang diperlukan.
Hutan Kota sebagai bagian dari RTH (Ruang Terbuka Hijau) dapat
membantu menyerap gas pencemar udara tersebut. Berdasarkan rumusan
Workshop Hutan Kota Fakultas Kehutanan UGM (2001), bahwa hutan kota
merupakan kumpulan pohon-pohon yang tidak harus kompak dan rapat namun
dapat menciptakan iklim mikro sehingga tipe dan bentuknya dapat bervariasi.
Permasalahan yang muncul adalah kecenderungan luas RTH yang sempit.
Apabila dibandingkan penggunaan hutan kota dengan penggunaan lainnya dalam
RTH, maka hutan kota merupakan bentuk yang paling stabil dan murah biaya
pembangunannya. Oleh karena itu, diperlukan landasan untuk menetapkan luas
hutan kota yang ideal. Penetapan luas hutan kota dapat ditentukan dengan
menggunakan salah satu indikator lingkungan berupa produksi karbon yang
29
dihasilkan oleh aktivitas penduduk kota. Hal ini bisa dilakukan karena karbon
yang terdapat di udara berupa CO₂ diserap oleh pohon dalam proses fotosintesis.
Lokasi potensial untuk pengembangan hutan kota pun perlu dipilih dan
direncanakan sesuai kondisi lahan yang tersedia saat ini. Pemilihan lokasi
potensial tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh
menggunakan citra satelit (GeoEye-1) yaitu interpretasi citra dengan metode
manual/visual atau deliniasi secara on screen digitation. Kegiatan ini dilakukan
untuk mendapatkan informasi data spasial berupa hutan kota dan lahan potensial
tanpa kontak langsung dengan objek secara cepat dan akurat, yang kemudian
dapat dijadikan rekomendasi sebagai hutan kota selanjutnya.
Selain untuk mendapatkan lahan potensial tersebut, on screen digitation
juga digunakan untuk mengidentifikasi luasan dan persebaran hutan kota yang
telah ditentukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta. Ketersediaan
hutan kota ini selanjutnya dibandingkan dan dianalisis dengan luas hutan kota
yang diperlukan berdasarkan kemampuan menyerap karbondioksida (CO₂).
30
Pertumbuhan dan perkembangan Kota Surakarta
- Pencemaran udara
Peningkatan konsentrasi produksi CO₂
- Suhu udara meningkat/ panas
Selesai
31
1.7 Batasan Operasional
32
Gas Rumah Kaca adalah gas yang melayang-layang di atmosfer yang
meyelimuti bumi. Gas Rumah kaca tersebut diantaranya karbondioksida (CO₂)
yang memberikan kontribusi/ peran terbesar.
Karbondioksida adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom
oksigen (O₂) yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon (C).
(Sihotang dan Assomadi, 2010 dalam Asmara 2016)
33
BAB II
METODE PENELITIAN
34
2.3 Metode Pengumpulan Data
Terdapat 2 jenis data dalam penelitian, yaitu;
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung tanpa melalui perantara,
seseorang perlu melakukan kegiatan khusus seperti misalnya survey lapangan,
observasi, wawancara dan sebagainya.
Data primer yang digunakan adalah data penginderaan jauh berupa citra
satelit, informasi dari citra satelit yang diperoleh hanya dapat diekstraksi jika telah
mengalami proses tertentu. Hasil ekstraksi citra satelit ini kemudian di cek
kebenarannya melalui proses ground check dengan melakukan survei lapangan.
Proses ini bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi potensial untuk pengembangan
hutan kota. Citra satelit yang digunakan adalah Citra GeoEye yang diperoleh dari
basemap ESRI Imagery yang tersedia pada perangkat lunak ArcGis.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak kedua atau
perantara diantaranya publikasi ilmiah, media, dokumentarsi perusahaan, instansi
pemerintahan dan lainnya.
Data sekunder yang digunakan ada dua yaitu:
(1) Jumlah penduduk, yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.
(2) Jumlah kendaraan bermotor, yang diperoleh dari Kantor UPPD/ Samsat Kota
Surakarta.
35
2.5 Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data tabulasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk
menghitung kebutuhan luas hutan kota dengan menggunakan pendekatan
kemampuan menyerap CO₂. Karena hanya dua parameter yang diamati, yaitu
penduduk dan kendaraan bermotor maka rumus yang digunakan adalah besarnya
CO₂ yang dikeluarkan penduduk ditambah besarnya CO₂ yang dikeluarkan
kendaraan bermotor, dibagi dengan kemampuan vegetasi dalam menyerap CO₂.
(Panie dalam Sriwanita, Mubarak dan Nurhidayah, 2017)
Rumus:
L = (Σaᵢ . vᵢ) + (Σbᵢ . wᵢ)
K
Keterangan :
L : Luas hutan kota (ha)
aᵢ : CO² yang dihasilkan penduduk (Kg/hari/jiwa)
bᵢ : CO² yang dihasilkan kendaraan bermotor (Kg/hari/unit)
vᵢ : Jumlah penduduk (jiwa)
wᵢ : Jumlah kendaraan bermotor (unit)
K : Kemampuan vegetasi pohon dalam menyerap CO₂ (Kg/hari/ha) = 567,07
ton/ha/tahun (Prasetyo et al dalam Panie, 2009 dalam Sriwanita, Mubarak dan
Nurhidayah, 2017).
Tabel 2.1 Jumlah CO₂ yang dihasilkan setiap parameter
Parameter Kategori Emisi CO₂ Sumber
Penduduk 0,96 kg/hari/jiwa Grey dan Denake, 1998
(dalam Panie, 2009)
(dalam Sriwanita,
Mubarak dan Nurhidayah,
2017)
Kendaraan Bermotor Kendaraan 13,34 kg/jam/unit Defra, 2007 (dalam
(PP No.44 Tahun Penumpang Sriwanita, Mubarak dan
1993) Kendaraan Barang 25,08 kg/jam/unit Nurhidayah, 2017)
Kendaraan Bus 44,27 kg/jam/unit
Sepeda Motor 0,68 kg/jam/unit
36
Selanjutnya, untuk menentukan jumlah kekurangan luas hutan kota dapat
dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Rumus:
Kebutuhan Hutan Kota - Ketersediaan Hutan x 100 %
Luas Wilayah
Sedangkan untuk menentukan hutan kota dan lokasi potensial dengan
menggunakan pendekatan penginderaan jauh. Proses ini adalah melakukan
interpretasi visual melalui digitasi terhadap citra GeoEye-1 wilayah Kota
Surakarta dengan perangkat lunak ArcGIS. Interpretasi diperlukan untuk
memperoleh data spasial sebaran ketersediaan hutan kota dan lokasi potensial.
Sebelum mengolah citra GeoEye-1 dan batas administrasi yang digunakan,
terlebih dahulu untuk menyamakan informasi koordinat posisi (lokasi). Proses ini
dapat disebut sebagai proses pra-pengolahan. Tujuannya supaya data memiliki
akurasi atau kesesuaian terhadap batas administrasi Kota Surakarta.
Metode on screen digitation adalah metode yang digunakan untuk
mendapatkan informasi lokasi hutan kota dan lahan potensial. Sumber data yang
digunakan adalah citra GeoEye-1. Interpretasi hutan kota berpedoman pada data
yang diberikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Surakarta terkait dengan letak
ataupun area yang telah ditetapkan sebagai hutan kota. Sedangkan, interpretasi
lahan potensial diinterpretasi dengan tiga kunci interpretasi. Kunci pertama adalah
warna, kenampakan dengan warna yang beragam yang menandakan penggunaan
lahan yang tidak dimanfaatkan. Warna hijau yang seragam menandakan
kenampakan kumpulan pohon. Kedua adalah pola yang tidak teratur menandakan
lahan bersifat terbuka dan tidak produktif dan ketiga adalah ukuran, dimana
luasan area yang digunakan yang memiliki luas minimal 0,25 ha.
Interpretasi lahan potensial akan membentuk area (polygon) sebagai blok
lahan potensial dengan format data shp (shapefile). Poligon-poligon tersebut
kemudian akan diproses melalui tahapan calculate geometry untuk mendapatkan
luas area tiap-tiap blok lahan yang terbentuk. Area yang memiliki luas minimal
0,25 ha merupakan populasi objek penelitian. Data spasial ini disajikan dalam
37
bentuk peta untuk memberikan gambaran mengenai persebaran lokasi lahan
potensial.
38
2.7 Diagram Alir Peneliti
Ketentuan;
Parameter Hutan Kota On Screen Digitation Luas area minimal 0,25 ha
1. Jumlah penduduk 1. Komunitas Pohon
2. Semak Belukar
2. Jumlah kendaraan bermotor Survey Lapangan 3. Rumput/ Rerumputan
4. Tanah Terbuka
Kunci interpretasi; warna,
Jumlah CO₂ yang dihasilkan Editing
pola dan ukuran
Luas hutan kota yang dibutuhkan Luas ketersediaan hutan kota Peta Lokasi Potensial Hutan Kota
Lahan Potensial
Analisis Analisis
Selesai
39
BAB III
DESKRIPSI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN
Tabel 3.1 Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2019
No Kecamatan Ibukota Kecamatan Luas (km²)
1 Laweyan Penumping 8,64
2 Serengan Serengan 3,19
3 Pasar Kliwon Joyosuran 4,82
4 Jebres Jebres 12,58
5 Banjarsari Banyuanyar 14,81
Kota Surakarta 44,04
Sumber : Kota Surakarta Dalam Angka 2020, BPS Kota Surakarta
40
Gambar 3.1 Peta Batas Administrasi Kota Surakarta
41
3.2 Geologi
3) Batuan Gunung Api Tak Terpisahkan (Qvu3): atau endapan merapi muda
yang terdiri atas tuff, abu, breksi, dan leleran lava yang tak terpisahkan yang
diperkirakan berumur kuarter akhir.
42
Gambar 3.2 Peta Geologi Kota Surakarta
43
3.3 Geomorfologi
Kota Surakarta dikelilingi oleh Gunung Merbabu dan Gunung Merapi di
bagian barat dan Gunung Lawu di bagian timur. Kota Surakarta merupakan
daerah dengan dataran rendah. Geomorfologi alaminya yaitu Intermountain Plain
atau disebut juga dataran dengan gunung api. Kondisi tersebut membuat kota ini
memiliki sumber air yang melimpah karena banyak dialiri sungai-sungai
diantaranya Kali Kijing, Kali Sumber, Kali Pepe, Kali Anyar, Kali Jenes dan Kali
Palemwulung, serta di bagian selatan dialiri Sungai Bengawan Solo sebagai
sungai terpanjang di Pulau Jawa. Aliran sungai-sungai tersebut menyebabkan
proses geomorfologi alami yang bekerja yakni proses endapan.
3.4 Tanah
Persebaran tanah di Kota Surakarta ditunjukkan dengan Peta Jenis Tanah
Kota Surakarta skala 1 : 65.000. Sumber peta diperoleh dari data SHP Bappeda
Kota Surakarta Tahun 2017. Berdasarkan Peta Jenis Tanah tersebut, jenis tanah di
Kota Surakarta didominasi oleh 2 jenis tanah yaitu:
1. Aluvial
Tanah ini meliputi hampir seluruh bagian wilayah Kota Surakarta. Luas tanah
ini di Kota Surakarta adalah 3.601 ha. Bahan induknya adalah endapan liat yang
menempati fisiografi dataran, memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk
lahan pertanian.
44
2. Latosol
Tanah ini hanya tersebar di sebagian wilayah Kota Surakarta, diantaranya
berada di sebagian wilayah Kecamatan Banjarsari, sebagian Kecamatan Jebres
dan sebagian pula di Kecamatan Laweyan. Luas tanah ini sekitar 800 ha. Tanah
latosol disebut juga sebagai tanah laterit, adalah tanah yang sebenarnya
merupakan tanah yang subur dan kaya akan unsur hara namun berubah menjadi
tanah yang tidak subur, akibat unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh
air hujan yang tinggi.
45
Gambar 3.3 Peta Jenis Tanah Kota Surakarta
46
3.5 Iklim
Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang
ntuk suatu wilayah tertentu. Unsur iklim terdiri dari curah hujan dan suhu. Kota
Surakarta mempunyai iklim yang sama dengan sebagian besar wilayah Indonesia
lainnya, yaitu beriklim tropis dengan musim hujan dan musim kemarau saling
berganti setiap tahun. Karena kondisi iklimnya konstan dan yang berubah hanya
curah hujannya, maka penentuan iklim di Kota Surakarta dapat menggunakan
curah hujan.
Tabel 3.2 Curah Hujan Bulanan Kota Surakarta Tahun 2010 - 2019
Bulan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Jumlah Rata-rata
Jan 568 383 783 437 255 267 72 14 14 574 3367 336,7
Feb 398 349 689 369 207 191 164 20 20 335 2742 274,2
Mar 319 382 200 180 213 127 143 8 8 361 1941 194,1
Apr 311 460 534 342 222 560 52 10 10 173 2647 264,7
47
Agus 122 0 0 4 2 0 21 0 0 0 149 14,9
Nov 204 210 316 222 128 157 148 13 13 90 1501 150,1
Des 400 324 421 341 306 344 91 5 5 248 2485 248,5
Jml 3408 2550 3775 2616 1705 1714 1187 86 86 1917 19044 1904,4
BB 10 9 7 9 8 6 6 0 0 5 60 6
BL 1 0 2 1 1 0 3 0 0 1 9 0,9
BK 1 3 3 2 3 6 2 12 12 6 50 5
Jumlah bulan basah tertinggi yang terjadi pada 10 tahun terakhir yaitu di
tahun 2010 sebanyak 10 bulan sedangkan jumlah bulan basah terendahnya yaitu
di tahun 2017 dan 2018 dimana tidak ada bulan basah pada kedua tahun tersebut.
Selain bulan basah, jumlah bulan kering tertinggi selama 10 tahun terakhir terjadi
selama dua tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing
sebanyak 12 bulan. Sedangkan jumlah bulan kering terendahnya yaitu di tahun
2010 sebanyak 1 bulan. Jumlah rata-rata bulan basah yaitu 6 sementara jumlah
rata-rata bulan kering yaitu 5. Berdasarkan rata-rata bulan basah dan bulan kering
48
dapat ditentukan tipe iklim Schmidt-Ferguson. Rumus perhitungan nilai Q untuk
menentukan tipe iklim Schmidt-Ferguson sebagai berikut:
Q =5/6
49
3.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kota Surakarta didominasi oleh area terbangun seluas
3.618,12 ha atau 82,15% dari luas total wilayah Kota Surakarta yaitu 4.404 ha.
Lahan terbangun paling besar didominasi oleh perumahan/ permukiman mencapai
65,44% dari total luas wilayah. Lahan perumahan paling luas terletak di wilayah
Kecamatan Banjarsari yaitu mencapai 1.046,59 ha dan paling sempit terletak di
Kecamatan Serengan yaitu 230,62 ha.
50
3.7 Penduduk
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk & Laju Pertumbuhan Penduduk (%) Tahun 2019
No Kecamatan Penduduk Laju Pertumbuhan Kepadatan
Penduduk per Tahun Penduduk per
2018-2019 (%) km²
1 Laweyan 102.524 0,64 11.866,20
2 Serengan 54.671 0,64 17.138,24
3 Pasar Kliwon 86.890 0,63 18.026,97
4 Jebres 147.694 1,12 11.740,38
5 Banjarsari 183.451 1,29 12.386,97
Kota Surakarta 575.230 0,97 13.061,53
Sumber : Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil dalam Kota Surakarta Dalam
Angka 2020, BPS Kota Surakarta
51
Gambar 3.5 Peta Jumlah Penduduk Kota Surakarta
52
Gambar 3.6 Peta Kepadatan Penduduk Kota Surakarta
53
3.7.2 Proses Penduduk
Proses penduduk terdiri dari 3 (tiga) yaitu proses kelahiran, kematian dan
migrasi. Tahun 2017 tercatat angka kelahiran di Kota Surakarta sebanyak 9.912
orang bayi, sedangkan angka kematian di tahun yang sama sebanyak 3.768 jiwa
meninggal. Tahun berikutnya yakni 2018 terjadi kenaikan angka kelahiran
maupun kematian, dimana angka kelahiran sebanyak 10.295 orang bayi,
sedangkan angka kematian di tahun yang sama sebanyak 6.357 jiwa meninggal.
Perbandingan kedua tahun tersebut menunjukkan peningkatan angka kematian
dapat disebabkan oleh adanya peningkatan angka kelahiran bayi yang sehingga
mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk.
54
Gambar 3.7 Peta Jumlah Kelahiran Kota Surakarta
55
Gambar 3.8 Peta Jumlah Kematian Kota Surakarta
56
Gambar 3.9 Peta Jumlah Migrasi Masuk Kota Surakarta
57
Gambar 3.10 Peta Jumlah Migrasi Keluar Kota Surakarta
58
BAV IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini terdiri dari; 1) Jumlah kebutuhan luas hutan kota (ha)
dengan perhitungan dari jumlah karbondioksida yang dihasilkan di Kota Surakarta.
2) informasi persebaran lokasi-lokasi (lahan) potensial pengembangan hutan kota
di Kota Surakarta. Hasil yang ditampilkan yakni berupa peta dengan skala
1:65.000.
Jika diketahui bahwa jumlah penduduk Kota Surakarta pada tahun 2019
sebanyak 575.230 jiwa, maka karbondioksida yang dihasilkan adalah sebanyak
552.220,8 kg per hari.
59
Tabel 4.1 Potensi Kendaraan Bermotor per Jenis Kota Surakarta Tahun 2019
No Jenis Kendaraan Jumlah (unit)
1 Kendaraan Penumpag 38.321
2 Kendaraan Barang/ beban 11.371
3 Kendaraan Bus 1.003
4 Sepeda Motor 168.849
Total (unit) 219.544
Sumber : UPPD Kota Surakarta
60
Tabel 4.3 Karbondioksida yang Dihasilkan Kendaraan Bermotor Kota Surakarta
No Jenis Kendaraan CO₂ yang Dihasilkan
(kg/hari)
1 Kendaraan Penumpag 1.533.606,42
2 Kendaraan BaranSg/ beban 571.369,36
3 Kendaraan Bus 88.805,62
4 Sepeda Motor 114.817,32
Total (kg/ hari) 2.308.598,72
Sumber : Hasil Perhitungan, 2020
Hasil perhitungan diperoleh bawa secara keseluruhan luas hutan kota yang
dibutuhkan di Kota Surakarta pada tahun 2019 adalah seluas 3.983 ha. Sementara,
ketersediaan hutan kotanya adalah seluas 107,76 ha. Dengan hasil ini dapat
61
diketahui bahwa kekurangan luas hutan kota yang di wilayah tersebut adalah
seluas 3.771,86 ha.
62
2 Rumput/ Cerah/ Hijau Halus Tidak Ada -
Rerumputan
3 Semak Belukar Gelap/ Hijau Kasar Ada -
4 Tanah Terbuka Cerah/ Cokelat Halus Tidak Ada -
Sumber : Pengolahan Data Penelitian, 2020
(a) (b)
(c) (d)
63
objek adalah pohon. Terdapatnya bayangan pada citra menunjukkan bahwa
kondisi di lahan tersebut ditumbuhi oleh pepohonan. Gambar 4.2b merupakan
salah satu kenampakan objek lahan potensial semak belukar. Kunci interpretasi
yang digunakan untuk mengidentifikasi semak belukar ini adalah rona yang
sebagian cerah namun sebagian yang lain gelap, warna hijau, pola tidak beraturan,
tekstur kasar, ada bayangan namun sulit ditentukan akibat tanaman yang tumbuh
tidak terlalu tinggi dan tidak mempunyai batang. Gambar 4.2c merupakan salah
satu kenampakan objek lahan potensial rumput/rerumputan, memiliki rona yang
sedikit lebih cerah daripada komunitas pohon dan semak belukar, memiliki warna
yang sama yaitu warna hijau namun teksturnya terlihat lebih halus dan tidak
mempunyai bayangan. Gambar 4.2d adalah kenampakan lahan potensial dengan
kenampakan fisik tanah terbuka. Kunci interpretasi yang digunakan untuk
mengidentifikasi tanah terbuka ini adalah rona cerah dengan warna cokelat,
teksturnya halus, dan tidak ada bayangan.
(c)Rumput/
64
Gambar 4.3 Hasil Identifikasi Kenampakan Fisik Lokasi Potensial
65
4.3.1 Hasil Uji Akurasi
Akurasi data hasil identifikasi lahan potensial diukur dengan melakukan
survei lapangan. Jumlah sampel yang digunakan untuk objek lahan potensial
adalah 30 sampel dari 105 blok lahan. Berdasarkan hasil survei lokasi lahan,
jumlah sampel benar berjumlah 26 sampel. Uji ketelitian dilakukan dengan
menggunakan rumus, sehingga diketahui bahwa tingkat ketelitian hasil
interpretasi citra untuk lahan potensial di Kota Surakarta adalah 87%. Angka
tersebut telah memenuhi standar nilai benar suatu identifikasi citra. Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa suatu hasil interpretasi dapat digunakan jika tingkat
ketelitiannya mencapai minimal 87 %.
= 87%
66
Gambar 4.4 Peta Sampel Persebaran Lokasi Potensial
67
Tabel 4.5 Titik Survey Penggunaan Lahan Potensial
No Koordinat (X Y) Lapangan Foto Keterangan
1 475889,669 Komunitas Benar
Pohon
9164778,878
68
7 482495,118 Komunitas Benar
9164918,994 Pohon
69
14 474968,91 Semak Benar
Belukar
9165379,373
20
70
480213,236 Semak Benar
Belukar
9167541,156
71
27 476370,066 Tanah Benar
Terbuka
9162777,227
72
4.3.2 Distribusi Lahan Potensial Pengembangan Hutan Kota
4.3.2.1 Luas Lahan Potensial
Luas area lahan potensial untuk pengembangan hutan kota yang diperoleh
dari interpretasi Citra GeoEye-1 sebesar 117,96 ha. Jumlah blok lahan yang
diperoleh sebanyak 105 blok lahan. Luas lahan potensial terluas berupa tanah
terbuka yaitu sebesar 51,67 ha sedangkan luas lahan potensial tersempit berupa
rumput/ rerumputan yaitu sebesar 12,15 ha.
4.3.2.2 Luas Lahan Hutan Kota dan Lahan Potensial Menurut Kecamatan
Distribusi hutan kota dan lahan potensial pengembangan hutan kota
berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.6. Kecamatan yang memiliki
luas hutan kota dan lahan potensial terbesar adalah Kecamatan jebres dengan luas
hutan kota mencapai 69,49 ha dan lahan potensial 62,61 ha. Adapun kecamatan
yang memiliki luas lahan potensial terkecil adalah Kecamatan Pasar Kliwon
dengan luas area lahan potensial 3,15 ha, dan merupakan blok lahan satu-satunya
yang teridentifikasi dari wilayah tersebut.
73
Tabel 4.6 Luas Hutan Kota dan Lahan Potensial
No Kecamatan Hutan Kota Persentase Lahan Persentase
Potensial
(ha) (%) (ha) (%)
74
hutan kota. Lahan-lahan ini adalah lahan yang sesuai untuk dibangun kawasan
hijau yaitu menjadi lokasi pengembangan hutan kota. Peta persebaran hasil
identifikasi kenampakan fisik (lahan potensial) tertera pada Gambar 4.3.
75
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Citra GeoEye-1 adalah salah satu citra yang mempunyai resolusi spasial
tinggi dengan ukuran piksel 0,5 x 0,5 meter tiap pikselnya. Kenampakan fisik kota
yang terlihat jelas dari citra ini memberikan kemudahan saat melakukan
interpretasi, sehingga objek-objek di permukaan bumi dapat teridentifikasi dengan
baik. Salah satu manfaat yang digunakan melalui citra GeoEye-1 yaitu melakukan
identifikasi terhadap lahan potensial untuk pengembangan hutan kota. Jenis
penggunaan lahan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi lahan potensial
adalah lahan terbuka dengan kenampakan fisik berupa komunitas pohon, rumput/
rerumputan, semak belukar dan tanah terbuka. Beberapa jenis penggunaan lahan
76
tersebut direkomendasikan sebagai hutan kota. Alasannya adalah lahan-lahan ini
terbuka dan tidak sedang diperuntukkan ataupun digunakan untuk kegiatan jasa
maupun ekonomi.
Gambar 5.1 Kenampakan Fisik Semak Belukar dengan Objek Lahan Potensial
Kota Surakarta
Identifikasi yang dilakukan untuk mengenali objek seperti yang ada pada
gambar diatas adalah dengan menggunakan kunci interpretasi diantaranya warna,
tekstur, dan bayangan. Tiga kunci interpretasi tersebut sudah cukup untuk
mengetahui objek apa yang terlihat pada citra. Kenampakan fisik semak belukar
merupakan salah satu objek yang dapat dijadikan lahan potensial hutan kota dan
untuk meperjelas apakah lahan tersebut benar adalah dengan dilakukannya survei
lapangan.
77
Faktor-faktor fisik lainnya seperti lereng dan jenis tanah tidak diperhatikan
dalam mencari lokasi-lokasi sebagai rekomendasi lahan di kawasan kota.
Kawasan Kota Surakarta yang padat saat ini membuat sulitnya mencari lahan
terbuka yang tersedia. Faktor fisik lainnya jika dilibatkan sebagai bahan
pertimbangan maka ketersediaan lahan yang ada akan semakin kecil di Kota
Surakarta yang juga telah mengalami seleksi luas minimal area yaitu 0,25 ha (PP
Nomor 63. Tahun 2002).
Dilihat dari posisi geografisnya, persebaran lahan potensial yang ada secara
berturut-turut banyak terdapat di Kecamatan Jebres, Kecamatan Laweyan dan
Kecamatan Banjarsari. Sedangkan Kecamatan Pasar Kliwon dan Kecamatan
Serengan lahan terbuka yang tersedia sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh dua
kecamatan tersebut merupakan wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk
terbesar diantara yang lainnya. Sehingga ketersediaan lahan terbuka baik yang
bervegetasi dan non vegetasi sangat terbatas.
78
dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat untuk dikembangkan sebagai hutan
kota berikutnya. Sehingga, Kota Surakarta yang sebelumnya memiliki 2,4% hutan
kota akan bertambah menjadi 5%. Tetapi, meskipun luas lahan potensial ini
bertambah dan dimanfaatkan dengan baik, pemerintah Kota Surakarta masih
kekurangan lahan seluas 224,25 ha atau 2,6% agar mencapai 10% wilayahnya
adalah hutan kota, serta masih kekurangan lahan seluas 3.983 ha atau 90% untuk
dapat memenuhi kemampuan meyerap CO₂.
Supaya CO₂ yang dihasilkan dari aktivitas penduduk dan kendaraan bermotor
diserap secara optimal di suatu daerah maka diperlukan hutan kota yang cukup.
Namun, upaya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (dalam hal ini hutan kota) untuk
mengatasi pencemaran udara dengan menambah luasannya bukanlah hal satu-
satunya yang dapat dilakukan. Tahun 2019, CO₂ yang dihasilkan oleh kendaraan
bermotor lebih tinggi (2.308.598, 72 kg per hari) daripada CO₂ yang dihasilkan
oleh aktivitas penduduk (552.220,8 kg per hari). Tingkat emisi CO₂ yang tinggi
dari kendaraan bermotor mengakibatkan produksi CO₂ yang lebih besar pula.
Banyaknya penggunaan kendaraan bermotor di Kota Surakarta menjadi penyebab
tingginya produksi CO₂.
Produksi CO₂ yang dihitung hanya berdasarkan dua parameter diatas yakni
aktivitas penduduk dan kendaraan bermotor. Parameter dari aktivitas penduduk
dihitung karena manusia tentu saja bernafas dan mengeluarkan CO₂ setiap hari.
Parameter kendaraan bermotor dihitung karena penggunaan kendaraan bermotor
yang setiap tahun meningkat, serta penduduk tentu saja melaksanakan
aktivitasnya dengan menggunakan kendaraan bermotor. Mulai dari pergi ke
sekolah, kantor, pasar dan lain-lain. Kendaraan bermotor saat ini tidak bisa lepas
dari kehidupan masyarakat perkotaan.
79
Ada parameter lain yang tidak dihitung sebagai hasil dari produksi CO₂
diantaranya; a) Aspek industri, karena menurut Dinas Perindustrian dan Tenaga
Kerja Kota Surakarta, Kota Surakarta tidak mempunyai industri sedang dan/ atau
menengah yang menggunakan bahan bakar yang besar dalam proses operasinya.
Industri yang terdaftar di Kota Surakarta banyak merupakan industri kecil-
menengah (UMKM) yaitu industri makanan, minuman dan jasa serta, b) Aspek
hewan ternak, juga disampingkan karena tidak ada individu maupun kelompok
yang beternak dalam jumlah besar di wilayah ini. Ketentuan parameter-parameter
tersebut dapat disesuaikan menurut kondisi dan karakteristik dari wilayah
setempat.
Namun, alternatif tersebut sulit dilakukan karena belum adanya aturan terkait
pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor. Jika perkembangan kendaraan
80
bermotor terhambat, maka akan mengakibatkan kerugian dimana aktivitas sosial
ekonomi masyarakat terganggu. Maka, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah
dengan cara menambah luasan dan/ atau dengan menanam jenis-jenis tanaman
yang dimaksudkan untuk pemanfaatannya khusus untuk menyerap karbon.
Hasil klasifikasi citra, luas lahan potensial yang bervegetasi (pohon, rumput
dan semak belukar) di Kota Surakarta adalah 66,29 ha. Sedangkan luas lahan
kosong (tanah terbuka) adalah 51,67 ha. Berdasarkan analisis, daerah-daerah yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan kota di Kota Surakarta yaitu
Kecamatan Laweyan (21,97 ha), Kecamatan Serengan (5,85 ha), Kecamatan Pasar
Kliwon (3,15 ha), Kecamatan Jebres (73,85 ha) dan Kecamatan Banjarsari (13,14
ha). Seluruh kecamatan yang ada di Kota Surakarta mempunyai lahan/area yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan kota. Hal ini dapat dijadikan acuan
untuk pemerataan pembangunan hutan kota di masing-masing wilayah kecamatan.
81
Kota Surakarta yang dilewati oleh aliran air Sungai Bengawan Solo terpaksa
mendapat bencana tahunan yakni banjir. Seluruh kecamatan di Kota Surakarta
berpotensi banjir, namun dua kecamatan yaitu Kecamatan Jebres dan Kecamatan
Pasar Kliwon memiliki titik banjir paling banyak karena lokasinya yang
berbatasan langsung dengan Sungai bengawan Solo. Permasalahan ini dapat
diatasi dengan membuat buffer sungai sebagai salah satu bentuk hutan kota di sisi
kanan dan kiri sungai. Harapannya dapat mengurangi dan mencegah terjadinya
benana banjit tersebut.
Upaya memanfaatkan hutan kota yang telah ada secara optimal adalah dengan
menanam tanaman campuran diantara pohon-pohon utama berupa rerumputan dan
semak belukar. Karena lapisan tumbuhan bawah yang rapat diharapkan dapat
mengurangi besarnya CO₂ di Kota Surakarta. Selain itu masyarakat juga dapat
berperan dengan menanam tanaman hijau di pekarangan rumah baik di tanah
maupun tanaman menggantung di dinding. Atas atap bangunan seperti
perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan modern atau mall juga bisa
dimanfaatkan sebagai kawasan hijau.
82
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
a) Dengan pendekatan karbondioksida yang dihasilkan, maka luas kebutuhan
hutan kota pada tahun 2019 di Kota Surakarta seluas 3.983 ha atau mencapai
90% dari luas wilayahnya.
6.2 SARAN
a) Pemilihan jenis-jenis tanaman yang efektif menyerap CO₂ sangat diperlukan
dalam melakukan perencanan, pembangunan dan pengembangan hutan kota.
83
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2019. Kota Surakarta Dalam Angka 2020: Badan
Pusat Statistik Kota Surakarta.
Bintarto. 1998. Interaksi Desa Kota. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fandeli, C. Kaharuddin. dan Mukhlison. 2004. Perhutanan Kota. Yogyakarta:
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Irwan, Z, D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta:
Bumi Aksara.
Junaedi, A. 2007. Kontribusi Hutan Sebagai Rosot Karbondioksida. Jurnal Info
Hutan. Vol.5, no.1 p.1-7 Desember 2008.
Khambali, I. 2017. Model Perencanaan Vegetasi Hutan Kota. Yogyakarta: ANDI.
Lauhatta, J, H. 2007. Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra Ikonos
dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Skripsi. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Muhammad. 2010. ‘GeoEye-1’. online, dari: sellquickbird.wordpress.com, 21
Februari 2020.
Nugradi, D, N, A. 2019. Identifikasi Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang. Jurnal
Teknik Sipil dan Perencanaan. Vol.11, no.1 p.61-70 Januari 2019.
Perwadhi, F, S, H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Pratama, R. 2019. Efek Rumah Kaca Terhadap Bumi. Buletin Utama Teknik.
Vol.14, no.2 Januari 2019.
Prasetya, R. dkk. 2017. Penggunaan Citra Resolusi Tinggi GeoEye-1 untuk
Pembuatan Basisdata Spasial di Wilayah Perbatasan. Prosiding Seminar
Nasional Geomatika Tahun 2017. Yogyakarta: Departemen Sains
Informasi Geografi, Universitas Gadjah Mada.
Siahaan, H. 2017. Identifikasi Lahan Potensial Untuk Pengembangan Hutan Kota
dengan Melibatkan Persepsi dan Pendapat Masyarakat di Kecamatan
84
Umbulharjo Tahun 2017. Skripsi. Surakarta : Fakultas Geografi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Soemantri, L. 2008. Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk
Mengidentifikasi Kerentanan dan Risiko Banjir. Jurnal Gea. Vol.8, no.2
Oktober 2008.
Sriwanita, C. Mubarak, Nurhidayah, T. 2017. Analisis Luasan Hutan Kota
Berdasarkan Kemampuan Menyerap CO₂, Kebutuhan O₂ dan Kebutuhan
Air. Jurnal Dinamikan Lingkungan Manusia. Vol.4, no.2 p.61-70 Juli 2017.
Sutanto. 2016. Metode Penelitian Penginderaan Jauh. Yogyakarta: OmbakTiga.
85