You are on page 1of 24

MEMAHAMI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN PRA ISLAM

Makalah Ini Di Buat Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Pemb. SKI di Madrasah
Dosen Pengampu : Muhammad Ilham Thayyibi, QH.M.Pd.

Disusun oleh: Kelompok 2 (V F)

Muhammad Mirwan Apriadi


Nur Hidayatu Fatmi

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
IAI HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
TAHUN 2023
MEMAHAMI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN PRA ISLAM

Muhammad Mirwan Apriadi1, Nur Hidayatul Fatmi2


Program Studi Pendidikan Agama Islam12
1
Email : apwandi64@gmail.com1

Abstrak : Kebudayaan merupakan segala bentuk dari hasil karya cipta manusia di
masyarakat. Sejarah kebudayaan pra islam sangatlah banyak, baik yang sesuai dengan ajaran
islam ataupun tidak, dikarenakan disaat itu blum datangnya ajaran agam islam, sekalipun
demikian ajaran agama sebelumnya sudah mengajarkannya terhadap umat-ummatnya. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk menambah wawasan dan pengetahuan sejarah budaya pra islam
serta apakah ada budaya arab yang juga ada dalam ajaran agama islam sbelum datangnya
ajaran agama islam. seni. Penelitian ini dilakukan dengan dengan menggunakan metode
penelitian yang berjenis tinjauan pustaka untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan yaitu menggunakan teknik studi literature. Dari data yang
telah dianalisis peneliti menyeleksi data, mengolah data, dan menyimpulkan data yang telah
dibaca dan dicatat oleh peneliti. Hasil dari penelitian ini yaitu dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan pra islam dan budaya yang sudah ada sbelum
datangnya ajaran agama islam. Melalui penelitian ini peneliti dapat menyampaikan saran atau
rekomendasi bagi pembaca yang akan melakukan penelitian dan mengembangkan
pengetahuan serta wawasan dengan menggunakan metode ini.

Kata Kunci : Perspektif Sejarah, Budaya Pra Islam, Budaya Arab.

PENDAHULUAN
Sebelum cahaya Islam muncul, manusia hidup dalam zaman degradasi dan dekadensi.
Baik di bidang agama, ekonomi, politik, maupun sosial. Akidah, pemikiran, pemahaman, dan
unsur kejiwaan berjalan di atas aturan jahiliyah. Kebodohan, hawa nafsu, kebebasan,
kemaksiatan, pemaksaan, dan penindasan merupakan karakteristik jahiliyah yang melekat
pada kehidupan manusia kala itu Awan kegelapan menyelimuti dunia sebelum Nabi
Muhammad saw diutus. Dunia Arab secara khusus dipenuhi dengan perilaku jahiliyah:
penyembahan berhala, perang antar kabilah, penindasan kepada kaum wanita, dan sebagainya.
Kondisi di luar Arab lebih parah lagi. Peradaban Romawi dan Persia yang menjadi negara
adidaya saat itu lebih rusak dan brutal. Berbagai agama dan aliran kepercayaan yang ada:
Yahudi, Nasrani, Hindu dan Konghucu, tidak mampu menyinari dunia karena ajaran mereka
banyak diselewengkan.
Jahiliyyah berasal daripada perkataan Jahl yang memberi maksud perihal masyarakat
Arab sebelum kedatangan Islam yang jahil tentang Allah SWT, Rasul, syariat, berbangga
dengan keturunan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan dan sebagainya merupakan
satu fasa sejarah yang gelap dan tidak ada petunjuk keimanan serta sesat dan menyeleweng
dari manhaj agama. Jahiliyyah adalah satu episod sejarah yang penuh kekacauan, kelam kabut
dari segi akidah dan sistem sosial. Al-Nadwi mengambarkan zaman Jahiliyyah itu ialah
manusia yang telah lupa kepada Tuhannya, lalu mereka lupa diri sendiri, hilang kebijaksanaan
untuk membezakan antara baik dengan yang buruk. Ajaran Nabi telah dilupakan dilupakan
sehingga cahaya panduan yang telah dinyalakan oleh para Anbiya’ terpadam. Cahayanya
menjadi amat lemah serta tidak mampu menerangi hati-hati individu, apalagi untuk menerangi
rumah mahupun negara.
Penduduk semenanjung Arab dahulunya (sebelum diutuskan Nabi Muhammad)
menganut agama Allah S.W.T. yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Isma`il a.s. Tetapi
setelah berlalu masa yang lama, mereka menjadi sesat lalu menyembah berhala yang dipahat
dan diukir oleh tangan mereka sendiri. Meskipun tiap-tiap tahun mereka mengerjakan haji
yang disunnahkan oleh Nabi Ibrahim a.s., tetapi mereka melupai agama tauhid yang
sebenarnya sehingga menyebabkanmereka mengadakan berhala-berhala yang banyak di
Tanah Arab. `Amru bin Luhay, ketua Bani Khuza`ah merupakan pelopor kepada
penyembahan berhala dalam masyarakat Arab apabila dia membawa pulang patung dari Sham
yang diberi nama Hubal Penyembahan berhala menular dalam masyarakat Jahiliyyah
sehingga Masjid al-Haram turut dipenuhi dengan berhala dan patung-patung sembahan.
Ketika pembukaan kota Mekah, terdapat 360 patung berhala di Masjid al-Haram. Rasulullah
s.a.w memerintahkan semua berhala tersebut dimusnahkan dan dibawa keluar dari Masjid al-
Haram. Antara berhala yang disembah oleh masyarakat Jahiliyyah ialah Manat, al-Lata dan
al-`Uzza, Mereka menganggap ketiga-tiga berhala itu sebagai anak-anak perempuan Tuhan. 1
Pakar Sejarah Islam Muhammad as-Shallabi menyatakan pengaruh agama samawi
terhadap kehidupan manusia telah luntur, atau bisa jadi ajaran-ajaran ilahiyah mengalami
pergantian, perubahan, dan penyimpangan, sehingga membuatnya kehilangan makna. Mereka
sudah tidak memiliki harapan lagi untuk memperbaiki ajaran agamanya. Kekacauan pun terus
menjalar ke semua golongan manusia dan merambah ke semua lini kehidupan tanpa
terkecuali. Apakah hubungan budaya sebelum islam dan setelah datangnya islam?, bagaimana
kebudayaan pra islam yg dimana dimalamnya ada ajaran islam?, dan mengapa mereka
melakukannya sebelum adanya islam mengajarkan itu?, semuanya akan terjawab setelah
pembahasan ini kami kutip dengan metode penelitian pustaka( library Research) sehingga kita

1
Ahmad Hanif Fahrudin, “Learning Society Arab Pra Islam (Analisa Historis Dan Demografis),”
Lamongan Vol. 1, no. 1 (2017): hlm. 40.
dapat memahami kenapa dan bagai mana kebudayaan yang ada setelah islam itu ada di pra
islam. .

METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), penelitian yang obyek
kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber datanya, Penelitian
ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur yang ada,
berupa Al Qur’an, hadis, kitab, maupun hasil penelitian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kualitatif atau penelitian naturalistic. Sumber Data dalam penelitian ini
Sumber data Primer Al- Qur’an, Hadist, Artikel Jurnal, Sumber data Sekunder buku, kitab-
kitab islam dan internet yang berisikan hasil sosiohistoris Arab Pra Islam yang relevan dengan
objek kajian penelitian.

PEMBAHASAN
A. Sejarah Kebudayaan Bangsa Arab Pra Islam
Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk
jamak dari kata buddhi yang berarti budi. Budi memiliki arti akal, kelakuan, dan norma.
Sedangkan daya berarti hasil karya cipta manusia. Melihat dari pengertian tersebut bahwa
kebudayaan dapat siartikan sebagai segala bentuk dari hasil karya cipta manusia di
masyarakat. Adapun kebudayaan menurut etimologi yaitu kumpulan segala usaha dan
upaya yang digunakan untuk memperbaiki sesuatu tujuan dalam mencapai
kesempurnaan. Sedangkan kata islam berasal dari bahasa arab yaitu “Aslama-Yuslimu-
Islaman” yang memiliki arti selamat. Sedangkan menurut istilah islam merupakan agama
samawi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan islam merupakan implementasi
orang islam yang berasal dari al-qur’an dan hadist dalam kehidupannya baik itu dalam
bentuk pemikiran, tingkah laku, maupun suatu karya untuk kemaslahatan umat manusia
dalam pendekatan diri kepada Allah SWT untuk mencari keridhoanNya.
Kebudayaan mengalami perubahan yang mencakup banyak aspek, yaitu aspek
bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan dan mekanisme yang dilaluinya. Perubahan
yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan jika
perubahan itu besifat regress (kemunduran) bukan Progress (kemajuan). Perubahan
budaya bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi,
berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.
Sebelum Islam datang dengan tampilnya Muhammad sebagai pembawa risalah, di
lingkungan masyarakat Arab pernah berdiri dua kerajaan besar sebagai simbol kejayaan
kebudayaan mereka pada waktu itu yaitu kerajaan Saba’ dan Himyar.11 Mereka sudah
mengenal bercocok tanam dan berhasil membangun sistem irigasi dengan bendungan
raksasa yaitu bendungan Ma’arib. Rujukan lain untuk melihat adanya kebudayaan
masyarakat Arab sebelum Islam, yaitu ahli sejarah mencatat ada bangunan bersejarah
(Ka’bah) sebuah bangunan berbentuk persegi tanpa atap yang dikelilingi 360 patung
berhala yang sekaligus sebagai tempat berziarah. Bangunan ini menjadi rumah suci yang
hingga saat ini masih menjadi simbol keagamaan dan tempat melaksanakan ibadah. Suku
Quraisy adalah suku yang mendapat penghormatan untuk menjaga rumah suci tersebut.
Setiap tahunnya dikunjungi umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji.2
Sisi lain dalam melihat kebudayaan masyarakat Arab sampai menjelang kelahiran
Islam sudah dikenal dengan perniagaannya. Bahkan Muhammad sebelum diangkat
menjadi Rasulullah juga menjalankan perniagaan. Kisah sukses perniagaan Muhammad
termasuk dalam menjalankan perniagaan milik Khadijah yang kemudian dalam
perkembangan selanjutnya menjadi istri nabi Muhammad, adalah menjadi bukti
kemajuan kebudayaan di bidang perniagaan waktu itu. Muhammad tidak saja
menawarkan tata nilai baru dalam berdagang, tapi sikap dan tutur katanya (etika dagang)
benar-benar diterapkan, sehingga menarik dan mampu mendatang-kan minat calon
pembeli dan barang yang ditawarkan laku keras. Kehebatan Muhammad dalam
menjalankan bisnis ini terdengar Khadijah, sehingga Muhammad dipinang menjadi
suaminya
Paparan kebudayaan manusia sebelum lahirnya Islam ini, memberikan informasi
yang kuat bahwa kebudayaan manusia sudah mulai berkembang sebelum lslam
mengembangkan kebudayaannya Dengan demikian, temuan-temuan sejarawan berkaitan
dengan perkembangan kebudayaan manusia ini, akan sangat bermanfaat untuk
pembahasan kebudayaan Islam pada masa-masa berikutnya. Berikut beberapa budaya pra
Islam :
1. Adanya Tiga Teradisi (Budaya) Yang Sudah Berlaku Sebelum Datangnya Islam
a. Tradisi Keagamaan
tradisi keagamaan ini sudah ada sebelum datangnya agama Islam (Pra
Islam), teradisi keagamaan ini meliputi tradisi berziarah ke Ka’bah dengan ritual

2
Khoiro Ummatin, “Tiga Model Interaksi Dakwah Rasulullah Terhadap Budaya Lokal,” Yogyakarta
Vol. XV, no. 1 (2014): hlm. 192.
memakai pakaian ihram, mengumandangkan pemujaan terhadap Hubal, Latta
dan Uzza, thawaf tujuh kali dengan telanjang, menyembelih hewan qurban, sa’i,
wukuf dan melempar jumrah, sakralisasi bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram dan bulan Rajab; juga mengistimewakan hari jum’at sebagai hari
pertemuan bangsa Arab.
b. Tradisi Sosial
Tradisi sosial yang meliputi sistem kekerabatan berdasar pada garis
keturunan ada pada pihak laki-laki (patriarchal agnatic), poligami dan
perbudakan, pengangkatan anak atau adopsi dimana anak adopsi ini memiliki
hak yang sama dengan anak kandung, dan dalam perkawinan mengenal adanya
mahar yang berfungsi sebagai alat pembelian terhadap pihak perempuan dari
pihak laki-laki, namun bangsa Arab tidak mengenal iddah jika perkawinan
menjadi putus.3
c. Tradisi Hukum
Tradisi hukum, dalam bentuk Qishash dan Diyat sudah lazim dipraktikkan
oleh bangsa Arab sebelum Islam, dalam bidang perdagangan mengenal hukum
pinjaman dan bunga, dalam bidang pertanian mengenal kontrak pertanian dan
hukum property, dan dalam bidang hukum keluarga mengenal hukum waris
dengan sistem kekeluargaan yang berlaku yaitu laki-laki memiliki otoritas.4
2. Melakukan Ibadah Haji dan Umroh
Diantara ritus yang telah ada sejak sebelum Islam adalah ibadah haji. Masyarkat
Arab telah melakukannya sejak lama berikut rangkaiannya seperti tawaf, sa’i, wuquf
di Arafah, mabit di Muzdalifah dan sebagainya. Selain itu ucapan talbiyah juga biasa
dilantumkan. Islam datang dengan membersihkan segala unsur paganisme seperti
membuang patung di Safa dan Marwa yang sebelumnya Bagi masyarakat Arab, Safa
merupakan image laki-laki yang diberi nama Isaf dan Marwa adalah perempuan yang
diberi nama Na’ila. Patung yang ada di sana berasal dari patung yang ada di Ka’bah
yang dipindah oleh Ahli Kitab karena menjadikan syirik. Termasuk juga bagian dari
ritual jahiliah adalah perubahan waktu berangkat dari Arafah, Muzdalifah dan Mina
ke terbenamnya matahari yang awalnya dilakukan oleh masyarakat Arab pada pagi
hari sebagaimana umumnya waktu berdo’a mereka, seperti juga beberapa modifikasi

3
RA Mipta Miftahul Janah et al., “Budaya Arsitektur dalam Islam” 6 (2022): hlm. 483.
4
Ros Aiza Mohd Mokhtar and Che Zarrina Sa‘ari, “Sinkretisme Dalam Adat Tradisi Masyarakat
Islam,” Journal of Usuluddin Vol. 43, no. 1 (June 30, 2016): hlm. 117.
dengan memasukkan beberapa even penting yang terjadi pada Nabi Ibrahim dan
Isma’il.
Masyarakat Jahiliyyah memulakan ibadah haji mereka dengan keluar beramai-
ramai menuju ke `Ukkaz bila masuknya bulan Zulqaedah. `Ukkaz ialah salah satu
nama pasar masyarakat Arab yang lokasinya berhampiran dengan kota Mekah
Tradisi masyarakat Jahiliyyah ialah mereka berkumpul di pasar `Ukkaz, Zulmajaz
dan Majannah yang terletak di Mina, Qabilah Quraysh dan qabilah yang lain tidak
akan mengunjungi ketiga-tiga pasar ini kecuali dalam keadaan berihram haji saja.
Mereka berada di `Ukkaz selama dua puluh malam. Mereka berkumpul di `Ukkaz
kerana urusan perniagaan dan memperkembangkan seni budaya mereka. Mereka
menyampaikan sajak dan syair serta berbangga dengan kelunakan bahasa, balaghah
dan kefasihan berbicara. Topik syair mereka berkisar tentang kebanggaan terhadap
keturunan, nasab, kedudukan dan darjat keluarga. Setelah selesai 20 malam di
`Ukkaz, mereka beredar ke Majannah dan tinggal di situ selama sepuluh hari,
Apabila masuk bulan Zulhijjah mereka beredar menuju ke Zulmajaz dan berada
disana selama delapan malam.5
Masyarakat Jahiliyyah mengubah masa atau bulan untuk melaksanakan haji
mengikut sesuka hati mereka. Mereka namakan perubahan masa itu dengan al-
Nasa’ah. Masyarakat Jahiliyyah menamakan bulan Muharram dengan Safar al-
Awwal dan bulan Safar dengan nama Safar al-Akhir. Mereka mengatakan Safran
(dua bulan Safar), dua bulan Rabi`, Jamadayn, Rajab, Sya`ban, Ramadhan, Syawal,
Zulqaedah dan Zulhijjah. Mereka mengamalkan al-Nasa’ah pada satu tahun,
manakala tahun berikutnya mereka meninggalkannya. Mereka menghalalkan bulan-
bulan yang diharamkan (Shahr al-Hurum: Muharram, Rajab, Zulqaedah dan
Zulhijjah) dengan mencetuskan permusuhan dan peperangan serta mengharamkan
bulan-bulan yang halal.6
          
          
            
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran.
disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka

5
Rizalman Bin Muhammad and Ishak Bin Suliaman, “Pelaksanaan Ibadah Haji Di Zaman Pra Islam
(Jahiliyyah) Dalam Perspektif Sejarah,” Kuala Lumpur (Malaysia), 2015, hlm. 141.
6
Edi Darmawijaya, “Stratifikasi Sosial, Sistem Kekerabatan Dan Relasi Gender Masyarakat Arab Pra
Islam” 6 (2017): hlm. 140.
menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain,
agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah
mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
(syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS> AT-Taubah :
9 :37)
Arab Jahiliyyah mengetahui bahawa haji merupakan amalan suci untuk
mengabdikan diri kepada Allah S.W.T. Mereka menjalankan urusniaga sebelum
berlansungnya kemuncak ibadah haji kerana mereka mengetahui bahawa hubungan
manusia semasa transaksi perniagaan tidak sunyi dari penipuan, jual beli yang
melibatkan riba dan perkara yang mengundang kemurkaan Allah S.W.T. Justeru itu,
mereka menyakini bahawa dosa-dosa mereka semasa aktiviti perniagaan berlansung
akan terhapus atau dikurangkan dengan melaksanakan ibadah haji. Bila datangnya
Islam, Allah S.W.T.menghalalkan berjual beli dan bermuamalat semasa musim haji
sebagaimana firman Allah SWT.
           
      ………… 
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah
di Masy'arilharam…………………” (QS.Albaqarah : 2 : 198)

Sementara umrah yang pada awalnya merupakan festival musim semi tiap Bulan
Rajab diganti dengan waktu yang tak terbatas sepanjang tahun. Maka tampak bahwa
ritus tersebut telah ada sebelumnya walaupun tidak sama persis. Demikian juga
beberapa bentuk ritus seperti puasa dan shalat. Ritus-ritus ini juga populer dalam
Agama Yodeo-Kristen, walaupun tentu kesamaannya terletak pada substansinya
3. Menuhankan Malaikat, Jin, dan Berhala
Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab
kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa
yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah memiliki barhala
sendiri, sehingga sekitar 360 buah patung bertengger di Ka’bah. Berhala-berhala
yang terkenal diantaranya adalah Lata, Uzza, Manat dan Hubal. Di tengah-tengah
masyarakat penyembah berhala itu, masih ada segelintir kecil yang tetap berpegang
kepada agam yang hanif ajaran Ibrahim, misalnya Umayyah ibn Abi Shalt, seorang
penyair yang menunggu kedatangan seorang rasul yang dijanjikan, meskipun ketika
rasul itu datang ia memusuhinya.
Ada juga Qas ibn Saidah dan Waraqah ibn Naufal yang banyak paham tentang
isi injil dan meyakininya. Selain itu, ada juga golongan shabiah, yaitu penyembah
bintang, seperti Bani Himyar menyembah matahari, Bani Kinanah menyembah
Dabaran (lima buah bintang di sekitar bulan). Terdapat pula masyarakat Arab yang
menyembah binatang, mempercayai malaikat sebagai anak-anak perempuan Tuhan
dan menyembah jin. Di bagian timur jazirah Arab tersebar agama Majusi atau
Zoroaster, dinisbatkan kepada penciptanya yang asli orang Persia. Agama ini
mengajarkan bahwa dunia ini dikuasai oleh dua Tuhan, yaitu tuhan kebaikan yang
disebut Athura Mazda dan tuhan kejahatan yang
disebut Ahriman
4. Menggunakan Hijab Atau Jilbab (Penutup Kepala)
Istilah jilbab sudah dikenal di masyarakat Arab beratus-ratus tahun lamanya
sebelum agama Islam datang, dan telah ada beragam istilah yang se makna dengan
arti jilbab seperti tradisi masyarakat Yunani membuat pakaian dari bahan-bahan
pilihan yang agak tipis yang dibentuk menyerupai jilbab yang dirancang dengan
sangat menarik di ujung selendangnya digunakan sebagai penutup wajah bagi
perempuan, lambat laun seiring dengan berjalannya waktu tradisi Yunani itu ditiru
oleh bangsa-bangsa di sekitarnya. Sedangkan tradisi masyarakat Romawi menurut
Abdul Hasan al Ghaffar bahwa untuk kaum perempuan dilarang keluar rumah
kecuali mereka mengenakan penutup wajah yang dikombinasikan dengan selendang
yang panjang sehingga selendang tersebut berfungsi sebagai penutup kepala sampai
ujung kaki mereka karena mereka sangat memperhatikan jilbab.
Peradaban pra Islam yang mewajibkan kaum perempuan mengenakan jilbab
bertujuan menjaga harkat dan martabat manusia dan memuliakannya serta
memelihara nilai – nilai agama dan sosial. Kalangan antropologi berpandangan
berbeda bahwa tradisi mengenakan jilbab tidak berasal dari perintah ajaran kitab
suci, namun tetapi terlahir dari suatu kepercayaan bahwa sebagai penangkal dari
gangguan pandangan mata Iblis atau yang disebut The Evil Eye adalah cadar atau
sejenis jilbab. Sedangkan menurut Asghar Ali Engineer dahulu jilbab yang
dikenakan oleh perempuan sebagai pertanda kalau perempuan tersebut sedang dalam
masa haid atau menstruasi dan jilbab yang dikenakan berfungsi sebagai pelindung
dari pancaran sinar matahari dan sinar rembulan karena pancaran keduanya diyakini
mengakibatkan kerusakan manusia dan alam semesta.7
Selain itu Jilbab juga berfungsi sebagai instrumen pengasingan yang semestinya
pengasingan itu di tempatkan sebuah gubuk diganti dengan mengenakan jilbab
karena biasanya para raja dan keluarga bangsawan dikhususkan bagi perempuan
yang sedang menstruasi diwajibkan mengasingkan diri secara khususdi sebuah gubuk
dengan keberadaan penggunaan jilbab mereka cukup dengan mengenakan nya serta
dapat menutupi seluruh anggota badannya yang dianggap sensitif. Perlu diketahui
bahwa tradisi memakai jilbab bagi perempuan adalah merupakan simbol kehormatan
dan kebangsawanan serta dari stratifikasi keluarga elite, dan jilbab dengan berbagai
modifikasinya menjadi pengganti pondok atau gubuk (menstrual hut) untuk
pengasingan saat perempuan menstruasi.
Ada juga Perempuan yang sedang haid mereka mengenakan cadar (menstrual
hoot) yang dikombinasikan dengan aksesoris seperti kalung yang terbuat dari logam
atau bahan lainnya yang dipadukan dengan manik-manik yang terbuat dari
tengkorak manusia sedangkan sekitar area mata mereka diberi warna sejenis celak
mata yang berfungsi mengurangi ketajaman penglihatan tradisi semacam ini biasa
dilakukan di wilayah British Columbia, New Genuine, Asia dan Afrika bagian
tengah serta Amerika bagian tengah. Menurut Nasaruddin Umar bahwa sejak dulu
telah terjadi perdebatan antara yang pro dan yang kontra apakah penggunaan jilbab
bagi wanita yang sedang haid diperkenankan bagi rakyat jelata ataukah terkhusus
diperuntukkan bagi kalangan bangsawan saja sebagaimana yang telah diketahui
bahwa mengenakan jilbab bisa sebagai pengganti gubuk pengasingan, artinya dari
perdebatan jilbab ini membuktikan tradisi mengenakan jilbab sudah berjalan lama
sebelum al Qur’an diturunkan tepatnya dalam Surah al-Ahzab Ayat 59 dan surah Al
A-Nur Ayat 31 yang menjelaskan persoalan jilbab, bahkan cukup masyhur di
beberapa kota tua semisal Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria memakai jilbab
merupakan simbol kehormatan dan kewajiban bagi perempuan bangsawan di rana
publik, sedangkan untuk para budak perempuan mereka dilarang mengenakan jilbab.
Ketika rute jalur perdagangan di sekitar romawi timur dan sekitar Persia macet
karena efek peperangan yang berkecamuk antara Romawi-Byzantium dengan Persia
sehingga rute dan transit perdagangan berpindah secara tiba-tiba ke kota yang

7
Ainur Rohim, “Jilbab Antara Orisinalitas Dan Produk Budaya (Perspektif Al-Asil Wa Al Dakhil Fi
Al-Tafsir),” JUPE : Jurnal Pendidikan Mandala 7, no. 2 (June 22, 2022): hlm. 421.
terletak di tepi pesisir jazirah Arab guna menghindari efek negatif yang ditimbulkan
dari peperangan tersebut. Lambat laun rute dan transit di pesisir jazirah arab
mengalami kemajuan yang sangat signifikan sehingga diperhitungkan keberadaannya
dari tempat inilah terjadi persentuhan antara dunia Islam dengan peradaban Persia
dan Hellenisme yang pada asalnya mengenakan jilbab merupakan sebuah pilihan saja
(accasional costume) tetapi ketika telah mendapat legitimasi (institusionalized)
menjadikan jilbab sebagai busana wajib bagi setiap wanita muslimah.
Dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam, sudah dikenal istilah-istilah yang
mirip dengan jilbab misalnya, antara lain; seperti Burq’ah adalah sejenis kain yang
digunakan untuk menutupi seluruh wajah tetapi kedua bola mata tidak ditutup; Niqab
adalah kain yang halus dipakai menutupi area mulut dan hidung; Miqna’ah, adalah
semacam kerudung kecil yang digunakan untuk menutupi kepala, Qina’ adalah
seperti kerudung namun ukurannya agak lebih lebar, selain istilah diatas ada juga
istilah Litham atau Khimar, seluruh istilah itu mengarah kepada satu makna pakaian
yang di fungsikan untuk menutup kepala dan leher. Pakaian merupakan produk
budaya dan ajaran nilai-nilai agama, karena ajaran agama sendiri pun mengakomodir
budaya yang mulia dan menjadikan budaya dan adat stiadat sebagai sumber hukun
agama. Serta berbagai jenis fashion pakaian yang diajarkan agama lahir dari
peradaban dan budaya mulia yang berkembang pada masa itu.
5. Diskriminasi Gender
Zaman jahiliyah merupakan sebutan dari zaman sebelum Islam datang. Seperti
yang kita ketahui Jahiliyah (bahasa arab : ‫جاهلية‬, Jahiliyyah) merupakan masa dimana
penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan), pada masa jahiliyah ini
bukan dalam ilmu pengetahuan akan tetapi “ketidaktahuan akan petunjuk ilahi”. Pada
masa jahiliyah perempuan derajatnya tidak berguna kecuali untuk memelihara
keturunan dan mengatur rumah tangga, pada waktu tertentu di sebagian masyarakat
banyak perempuan yang dianiaya. Wanita seakan tidak memiliki harkat dan martabat
yang setara dengan laki-laki dan dipandang dengan penuh hina. Selain dipandang
hina, wanita pada masa jahiliyah dianggap dibawah laki-laki, mereka tidak
mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki. Wanita juga tidak mendapatkan
warisan, karena sistem pewarisan haya berlaku bagi kaum laki-laki.Pada masa
jahiliyah, wanita yang telah beristri dapat dinikahi oleh anaknya sendiri ketika
suaminya telah meninggal. wanita dipandang sebagai penyebab kemiskinan dan
merupakan aib dalam sebuah keluarga, inilah alasan kenapa orang-orang pada zaman
jahiliyah mengubur bayi perempuannya dalam keadaan masih hidup.
Penguburan bayi perempuan di Arab pada masa itu merupakan akibat dari
pandangan bahwa laki-laki adalah asset militer keluarga yang kelak akan melindungi
keluarganya sedangkan perempuan adalah manusia yang pasif yang dipandang hanya
dapat memberikan dukungan keberhasilan kepada laki-laki secara pasif. Terlepas
dari berbagai alasan tersebut, tetap saja pembunuhan tetaplah perilaku yang tercela.
Apalagi yang dibunuh adalah bayi yang baru saja lahir yang tidak memiliki dosa
sama sekali bahkan belum sempat merasakan pahit manis kehidupan. Haknya untuk
hidup telah direnggut sejak pertama dia dilahirkan.Namun, perlu diketahui bahwa
tidak semua suku di Arab pada zaman jahiliyah mengubur hidup-hidup bayi
perempuannya. Ada beberapa suku besar yang tidak melakukan praktik tersebut
seperti contohnya suku Quraisy.
Sebelum datangnya Islam suku Quraisy telah lebih dulu menentang praktik
penguburan bayi perempuan karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut
merupakan tindakan yang memalukan. Walaupun demikian, pandangan buruk
mengenai lahirnya bayi perempuan sudah menjadi sebuah tradisi dan norma yang ada
dalam masyarakat di Arab pada masa itu. Sebelum Islam datang, wanita seperti
barang dagangan yang diperjual-belikan mengggunakan uang dan bahkan dijual oleh
suaminya sendiri. Wanita juga diperbudak, harus melayani kebutuhan biologis
majikannya. Wanita tidak memiliki harkat dan martaabat sama sekali di hadapan
kaum laki-laki dibuktikan dengan banyaknya kasus pelecehan yang terjadi di zaman
itu. Bahkan sudah menjadi tradisi bagi perempuan yang menjadi budak seringkali
dijaili dan di lecehkan oleh laki-laki yang mendapatinya.
Pada zaman jahiliyah, wanita menjadi sasaran kezhaliman dan penghinaan
dengan tidak diberikan tempat maupun kedudukan yang mulia. Wanita meimiliki
kedudukan sosial yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Masyarakat
jahiliyah juga memandang wanita sebagai barang dagangan yang bisa dimiliki seperti
kendaraan bahkan binatang ternak, yang bisa dimanfaatkan dengan tidak diberikan
hak-hak terhadap dirinya sendiri. Kondisi tersebut membuat kaum laki-laki
berkesempatan untuk melakukan poligami tanpa batas terhadap istri. Kasus seperti
itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas terkait asbabunnzul Qur’an Surat An-
Nisa ayat ke-19 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak” (QS. An-Nisa: 19)
Jika seseorang meninggal pada masa jahiliyah, anggota keluarga atau para
walinya bisa menikahi istri keluarga yang meninggal jika mau dan juga bisa
menikahkannya dengan orang lain, dan juga bisa membiarkannya. Mereka memiliki
hak untuk mengatur kehidupan wanita tersebut. Wanita juga tidak berhak
mendapatkan pendidikan dan hanya dijadika sebagai pemuas nafsu dan pelayan bagi
laki-laki. Wanita tidak diajari akhlak dan moral dan baik. Seperti yang tercatat dalam
kitab-kitab Sirah Nabawiyah, seperti yang dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam Al-
Rahiq al-Makhtum, bahwa wanita dalam masyarakat jahiliyah merupakan pemuas
nafsu laki-laki. Setidaknya ada empat model hubungan wanita dengan laki-laki.
a. Pernikahan seperti halnya akad yang terjadi di dalam agama Islam.
b. Untuk memperoleh keturunan yang lebih baik, seorang suami mempersilahkan
istrinya untuk berhubungan dengan orang lain yang lebih terhormat kedudukan
sosialnya, hingga jika telah terbukti hamil dari orang tersebut, ia kembali ke
suaminya lagi.
c. Wanita berhubungan dengan sepuluh laki-laki, maka jika wanita tersebut hamil
dan melahirkan, maka ia akan memanggil kesemua laki-laki tersebut dan
memilih salah satu dari mereka untuk menjadi ayah anaknya tersebut tanpa
boleh menolak.
d. Wanita sebagai pekerja seks komersial seperti yang berlaku saat ini.8
Pada dasarnya sebelum datangnya Islam masa Rasulullah SAW, Terdapat
beberapa pernikahan yang merugikan dan merendahkan kaum wanita, diantaranya
dalah sebagai berikut:
a. Perkawinan Istibdha’ (Jima’), yakni suami memerintahkan istrinya untuk
berhubungan badan dengan laki-laki lain yang memiliki kelebihan dari
suaminya. Kelebihan tersebut berupa kecerdasan, gagah, perkasa, dan
pemberani, sehingga kelak anaknya akan menuruni sifat ayah biologisnya ketika

8
Ismatul Izza et al., “Diskriminasi Gender Pada Masa Pra Islam Terhadap Lahirnya Kesetaraan
Gender” 1, no. 2 (2022): hlm. 5.
lahir, dan suami tidak akan berhubungan dengan istrinya sampai tanda-tanda
kehamilan muncul.
b. Perkawinan Poliandri, yakni perempuan bebas berhubungan badan dengan
banyak pria. Kemudian jika ia hamil, maka ia akan memilih salah satu diantara
laki-laki tersebut sebagai ayah kandung dari anak yang dikandungnya.
c. Perkawinan badal (tukar-menukar istri), yaitu pertukaran istri yang dilakukan
oleh para suami. Perkawinan as-Syighar (tukar-menukar), yakni orang tua (ayah)
menukarkan anaknya dengan anak perempuan dari keluarga lain untuk dinikahi
masing-masing.9
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim,
penghinaan kedudukan wanita serta tidak terdidiknya mereka juga berlaku di
kalangan Yahudi. Terlebih jika perempuan-perempuan mereka sedang haid, maka
mereka akan dijauhi dan dikucilkan; tidak diajak makan dan berhubungan badan
selama haid.Beberapa kepercayaan Yahudi juga memandang wanita sebagai makhluk
yang lebih rendah dari laki-laki. Wanita dianggap sebagai khadam (pembantu) laki-
laki. Wanita tidak akan mendapatkan warisan apapun dari orang tuanya, bahkan
ketika ia sudah menikah maka hartanya akan menjadi milik suaminya. Ketika wanita
telah menikah maka dirinya adalah milik suaminya, sehingga ketika suaminya tidur
dengan wanita lain maka istri tidak berhak untuk memprotes dan harus tetap diam,
atau ketika suaminya menyetubuhinya secara paksa dan kasar serta menyetubuhinya
dengan cara yang kurang wajar maka ketika istri mengadukannya, jawaban yang ia
terima hanyalah “Kita tidak dapat berbuat apa-apa sebab kamu adalah milik
suamimu”.
Begitu juga orang-orang Yunani pada masa Jahiliyah, mereka juga tidak
memperlakukan wanita dengan baik. Mereka menganggap wanita tidak memiliki hak
atas dirinya sendiri. Yang memiliki hak atas dirinya ialah suaminya. Wanita tidak
berkah meminta cerai terhadap suaminya dalam keadaan apapun, mereka juga tidak
mengizinkan wanita untuk mengatur keuangan dalam rumah tangganya kecuali
dengan izin suaminya. Selain itu seperti yang sudah disebutkan bahwa wanita juga
bahkan tidak memiliki hak waris atas harta milik suami maupun keluarganya. Dalam
hal poligami, suami bebas mempunyai selir atau gundik dalam jumlah banyak, dan
wanita tidak berhak menuntut ketika suaminya tidak member nafkah baik itu nafkah

9
Izza et al., hlm. 6.
lahir maupun nafkah batin. Sedangkan suaminya dapat menceraikan istrinya
kapanpun ia menginginkan cerai atau mengganti istrinya dengan perempuan lain.
Sedangkan perlakuan orang-orang Romawi terhadap wanita justru lebih kejam,
mereka menganggap wanita adalah manusia yang tidak memiliki ruh sehingga pada
saat itu kaum laki-laki menyiksa kaum wanita sesuka hatinya tanpa rasa belas
kasihan sama sekali seperti contohnya dituangkannya minyak panas kepada wanita,
atau bahkan wanita diseret dengan kuda-kuda kencang hingga ia meninggal. Dalam
konferensi Romawi diputuskan beberapa putusan terhadap wanita, diantaranya
adalah bahwa wanita adalah makhluk namun tidak memiliki kepribadian manusia
lazimnya, oleh sebab itulah wanita tidak dapat hidup di akhirat kelak, dan wanita
tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi daging, wanita dibatasi dalam berbicara dan
tertawa, bahkan ia dianggap najis seperti syaitan sehingga ia dianggap sebagai
pelayan suami semasa hidupnya.
Peraturan tersebut juga berlaku di kalangan orang- orang China dan Hindia pada
masa itu. Ketika suaminya meninggal, wanita di Romawi pada masa jahiliyah
menjadi warisan bagi wali atau keluarganya dan boleh dinikahi oleh anaknya sendiri
Sedangkan di Persia, seorang laki-laki diperbolehkan untuk menikahi wanita
manapun bahkan wanita tersebut merupakan putrid atau saudarinya sendiri.
Perlakuan-perlakuan tersebut sangat merendahkan derajat wanita dan juga
menjauhkan dirinyta dari pendidikan yang dapat membantu mengangkat derajat
wanita itu sendiri. Konsep pendidikan jaman Jahiliyah yang dimaksud adalah sikap
kaum laki-laki itu sendiri terhadap wanita, sikap yang secara turun-temurun akan
diadopsi oleh generasi berikutnya.
Konsep pendidikan terhadap wanita pada jaman jahiliyah menjadikan wanita
tidak memiliki kemuliaan dan kehormatan dihadapan kaum laki-laki karena hanya
dianggap sebagai pemuas nafsu dan pelayan bagi suaminya. Seperti itulah kedudukan
dan pendidikan wanita pada masa pra Islam. Kondisi tersebut tentunya sangat
berbanding terbalik dengan kondisi wanita pada masa muncul dan berkembangnya
agam Islam yang sangat memuliakan wanita dan mendidik wanita menjadi wanita
yang terhormat.10

Dari beragam tradisi yang disandang bangsa Arab saat itu menjadi momok yang
selalu jelek dan buruk. Secara normatif telah dibuktikan bagaimana buruknya
10
Mohd Mokhtar and Sa‘ari, “Sinkretisme Dalam Adat Tradisi Masyarakat Islam,” hlm. 86.
perilaku mereka dalam Al-Qur‟an, sehingga menggantinya dengan kebiasaan-
kebiasaan yang baik, contohnya dalam surah Al-Isrâ: 31َ
          
    
“dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah
yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. QS, Al-Isrâ[17]: 31).

Sebagian masyarakat Arab pra-Islam memiliki kebiasaan menguburkan anak-


anak perempuan karena tidak mampu mencari rezeki dan hanya menjadi beban
hidup. Hal ini adalah bukti dari fenomena kondisimasyarakat yang dipengaruhi oleh
ideologi yang ada. Dan Al-Qur‟an menegaskan agar jangan takut miskin, karena
Allah yang akan memberi rizki kepada anak dan orangtuanya.11
Islam datang membawa sistem sosial yang mensejajarkan (garis) laki-laki dan
perempuan (egaliter). Adapun bukti/Indikator Islam membawa sistem sosial yang
egaliter :
a. Islam membangun keluarga bilateral (lihat QS. An Nisa‘: 23-24 tentang
perempuan yang haram dinikahi, yang ternyata menganut prinsip perkawinan
indogami, boleh menikah dengan saudara sepupu dan ini merupakan ciri
masyarakat bilateral dimana laki-laki sejajar dengan perempuan, dan An Nisa’
(4): 7, 11 dan 12 tentang warisan, dimana Islam memberikan hak waris bagi
perempuan dan laki-laki)
b. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogomi.
c. Perempuan dalam Islam mempunyai hak cerai (khulu’), berarti equal dengan
laki-laki
d. Balasan amal yang diberikan kepada laki-laki sama dengan yang diberikan
kepada perempuan
Dengan demikian, secara singkat dan untuk mempertegas bahwa Islam
memposisikan perempuan setara (equal) dengan posisi laki-laki. Ini berarti Islam
memperbarui posisi yang ada di masyarakat Arab sebelum Islam. Masyarakat Arab
sebelum Islam mendeskriminasi perempuan sementara Islam memposiskan sejajar
antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana posisi
11
Siti Ruqoiyah, “Dimensi Positif Tradisi Bangsa Arab Pra- Islam (Analisis Kesesuaian Tradisi Arab
Pra-Islam Dengan Nilai-Nilai Al-Qur’an)” (Thesis, INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA (IIQ), 2021),
hlm. 6.
perempuan sekarang dalam kehidupan masyarakat dibandingkan dengan posisi laki-
laki. Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat dikatakan bahwa posisi perempuan
sekarang dalam kehidupan masyarakat adalah termarginalkan oleh laki-laki. Dengan
ungkapan lain, sistem sosial yang ada sekarang kembali mengutamakan (garis) laki-
laki dan menomorduakan perempuan. Adapun indikasi (Indikator) nya adalah :
a. Adanya subordinasi (merendahkan posisi perempuan)
b. Adanya usaha marginalisasi (pemiskinan perempuan, dengan membatasi
kesempatan bekerja bagi perempuan).
c. Adanya streotipe (label negative kepada perempuan dengan misalnya
mengatakan perempuan bersifat emosional)
d. Adanya violence (tindakan kekerasan kepada perempuan).
e. Adanya double burden (tugas ganda yang ditanggung perempuan).
Mengapa posisi perempuan termarginalkan oleh posisi laki-laki, yang berarti
kembali lagi ke situasi Arab sebelum Islam. Menurut analisis sejumlah ilmuwan/
pemikir adalah akibat dari :
1) Kurang paham sejarah Arab pra-Islam.
2) Studi Islam juz‘i.
3) Belum sadar penting kelompok nash normative-universal dan nash praktis-
temporal.
4) Ada nash terkesan memarginalkan perempuan.
5) Budaya lokal merasuk ke Islam.
6) Dominasi teologi/budaya laki-laki & struktur masyarakat patriarchal.
7) Kajian Islam murni pendekatan agama.
8) Generalisasi dari kasus khusus ( istithna').
9) Campuraduk antara substansi hukum dengan cara / metode.
10) Kajian Islam literalis dan ahistori.
11) Subjektivikasi Islam.
12) eran penguasa atau kekuasaan.12
Adapun jalan keluar untuk mengembalikan posisi perempuan sejajar dengan
laki-laki sesuai dengan ajaran Islam, di samping perlu adanya kesadaran terhadap
alasan- alasan di atas, dalam studi Islam seharusnya menggunakan pendekatan

12
Muh. Alif Kurniawan, Rochanah, and dkk., Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam : Dari Masa
Klasik, Tengah, Hingga Modern (Yogyakarta: Qaulun Pustaka, 2014), hlm. xiv.
integrative-normatif, interdisipliner, dan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial-
humaniora, seperti sosiologi, histori, antropologi, psikologi dan lain-lain
6. Perkawinan/ Pernikahan
Perkawinan merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam kehidupan
manusia, karena perkawinan dapat merealisasikan berbagai kebutuhan primer dan
eksistensial keberlangsungan hidup peradaban manusia. Ia merupakan realisasi
kebutuhan seksual manusia. Karena masing-masing memiliki hasrat seksual, maka
secara inhern ada kebutuhan untuk mencari tempat untuk merealisasikannya,
sehingga secara kodrati manusia secara instrinsik akan berupaya untuk mencari
pasangan hidupnya baik untuk mendapatkan fungsi rekreatif (kesenangan) atau
fungsi prokreatif (mendapatkan keturunan).
Kebutuhan untuk berpasangan ini dalam sejarah peradaban manusia diwujudkan
dalam institusi perkawinan. Awal sejarah kehidupan manusia menjadi saksi sejarah
terciptanya perkawinan antara Adam dan Hawa, yang menjadi perkawinan pertama
dan asal muasal primordial manusia di bumi. Dalam perkembangan selanjutnya,
perkawinan menjadi norma di semua bagian di dunia sebagai sebuah institusi formal
untuk merealisasikan kebutuhan manusia untuk berpasangan. Masing-masing daerah,
suku, agama, dan lain-lain memiliki tradisi dan aturan-aturannya sendiri-sendiri
dalam hal perkawinan. Namun semuanya memiliki kesamaan dengan legitimasinya
masing-masing bahwa realisasi kebutuhan seksual manusia tidak dapat dibiarkan
secara bebas, tapi harus diatur secara normatif guna menjamin stabilitas sosial.
Seperti halnya dalam belahan dunia yang lain, perkawinan juga merupakan hal
yang esensial dalam realitas masyarakat Arab pra-Islam. Hal ini merupakan hal yang
wajar mengingat masyarakat Arab pra Islam juga memiliki concern yang sangat
besar dalam hal seksualitas dan realisasinya. Bahkan Khalil Abdul Karim
mengatakan bahwa persoalan seksualitas merupakan hal yang dominan dalam
kehidupan mereka. Selain secara eksistensial kebutuhan seks sudah inhern dalam
eksistensi manusia, juga dipengaruhi oleh kondisi iklim yang panas dan kondisi
kering yang dapat menambah nafsu kedua orang semakin bergejolak dan membara.
Selain itu, berbeda dengan masyarakat Mesir kuno yang disibukkan dengan
berbagai aktifitas, seperti: 1) aktifitas keagamaan yang sangat kompleks di tempat-
tempat ibadah dan altar-altarnya, seni bangunan (arsitektur), pahat, gambar,
pembuatan patung, obelist dan tugu; 2) dalam ilmu pengetahuan yang paling
menonjol adalah kedokteran, ilmu eksakta dan ilmu-ilmu terapan. Di luar itu juga
terdapat beberapa mata pencaharian seperti pertanian, perdagangan dan kerajinan.
Atau berbeda juga dengan masyarakat Yunani dimana para komunitas elitnya
memiliki kesibukan dalam dialog-dialog kefilsafatan dan ilmu-ilmu pasti. Sementara
masyarakat umumnya mengarahkan perhatian untuk menonton drama, festival dan
berbagai macam kejuaraan olahraga.
Realitas yang berbeda terjadi di masyarakat Arab pra Islam. Aktifitas-aktifitas
budaya atau seni yang dapat memperkaya atau mempertajam emosi – selain
kesastraan, perpuisian yang sempit dan terbatas, relatif sedikit. Hal ini menjadikan
perhatian mereka lebih banyak ditujukan pada pemenuhan kebutuhan seksual.
Realitas ini bisa dilihat dari banyaknya istilah-istilah kebahasaan yang berkaitan
dengan hubungan seksual.
Sebagai contoh di antara kata-kata tersebut yang seluruhnya bermakna
bersetubuh: mubada’ah (saling bermain kemaluan), mulamasah (saling bersentuhan),
mudaja’ah (saling tidur miring), muqarafah (saling bersentuhan kulit), mufakhazah
(saling memainkan paha), mubatanah (saling memainkan perut), mu’afasah (saling
menggulingkan), mujama’ah (saling mendekap), murawadah (saling menginginkan),
mubasyarah (kawin), dan muwaqa’ah (saling berjatuhan). Semua kata-kata tersebut
mempunyai akar kata empat huruf, fa’ala-mufa’alah, yang berarti adanya keterlibatan
kedua belah pihak dalammelakukan perbuatan (reciprocal).
Selain itu masih ada bentuk-bentuk kata lain (masdar, kata benda abstrak),
seperti : rafas (senggama), lams (bersentuhan), ityan (mendatangi), rukub
(mengendarai), i’tila’ (menunggangi), imtita’ (menunggangi), dan wat’i (menginjak).
Semua kata-kata tersebut berakar kata tiga huruf fa’ala. Kata-kata di atas memiliki
makna dominasi laki-laki dalam hubungan. Hal ini merupakan hal yang wajar dalam
masyarakat paternalistik. Istilah-istilah tersebut sebagai manifestasi ungkapan bahasa
komunitas Arab merupakan wahana ideal untuk mengekspresikan keadaan sosial
yang bergejolak dan yang muncul dari masyarakat tersebut. Bahasa merupakan
referensi atau penjelasan yang lebih jelas daripada pakaian, tempat tinggal, bangunan
dan sarana-sarana transportasi. Maka apabila suatu bahasa memuat berpuluh-puluh
kata yang menunjuk pada perbuatan yang dipraktekkan antara laki-laki dan
perempuan, maka hal itu memberikan kepastian bahwa perbuatan tersebut menjadi
pusat perhatian laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang memilih bahasa
tersebut.
Sebagaimana adanya sistem paternalistik yang dianut suku-suku nomaden,
masyarakat Arab juga menerapkan sistem ini yang meniscayakan komposisi rumah
tangga patriarki terdiri atas laki-laki sebagai poros, lalu sejumlah istri merdeka,
ditambah budak-budak sariyyah yang boleh disetubuhi secara bebas tanpa ikatan
perkawinan. Dalam masyarakat patriarki Arab, perkawinan mengikuti model
kepemilikan (tamalluk). Hal ini bisa dilihat dari istilah yang digunakan untuk
menyebut suami dengan ba’al (tuan, majikan, pemilik, penguasa) atas istrinya.
Sementara istri disebut dengan mab’ul (yang dikuasai, yang dimiliki, budak, hamba).
Ba’al adalah nama seorang dewa kuno yang disembah di Ba’labakka atau Heliopolis
(sebuah kota berperadaban kuno di Syria). Bahkan ada indikasi bahwa ba’al adalah
dewa sesembahan keluarga nabi Yunus atau beberapa bangsa semit lainnya. Dan
berhala bangsa Arab pun juga dinamai ba’al. Kata tersebut menyiratkan otoritas dan
kekuasaan yang sangat besar yang dinikmati seorang laki-laki dalam sebuah
keluarga.
Istilah ba’al untuk menyebut suami sering digunakan orang Arab kuno. Misalnya
untuk menanyakan siapa ba’al (pemilik) onta ini? Siapa ba’al rumah ini?. Namun
kata ini lebih sering digunakan dalam relasi perkawinan, dan di sini lebih
mengidentikkannya dengan suami. Istilah ini menyimbolkan poros otoritas tertinggi
yang dinikmati oleh suami dalam masyarakat tribal. Dalam tradisi keluarga Arab, ia
adalah pemilik istri, tuan dan majikan. Dialah yang memberi rejeki (nafkah hidup)
bagi istrinya dengan jalan berdagang atau paling sering justru dengan jalan
merampok dan merampas harta dalam peperangan yang sering terjadi antar suku.13
Suami atau ba’al juga menjadi pelindung dan pembela (kehormatan) istri ketika
suku atau keluarganya diserang oleh suku lain. Hingga sekarang istri sering disebut
dengan istilah haram, hingga pada level sosial tertinggi sekalipun. Istri presiden,
misalnya, disebut haram ar-ra’is, istri menteri disebut haram al-wazir, istri walikota
disebut haram al-muhafidz, dan lainnya. Asal kata haram dalam bahasa merujuk pada
apa yang dipertahankan dan dilindungi oleh ba’al. Di beberapa negara Arab dan di
sebagian pedalaman Mesir, terutama yang memiliki keturunan geneologi Arab, istri
disebut dengan istilah hurmah yang berarti sesuatu yang tidak boleh dirusak.
Kata ba’al ini memiliki signifikansi sugestif, yang berbeda dengan kata al-
mab’ul, dalam hal ini istri yang berarti dimiliki, dikuasai, dipelihara oleh suami yang

13
Elya Munfarida, “Perkawinan Menurut Masyarakat Arab Pra Islam,” I S S N Vol. 10, no. 1907
(2015): hlm. 222.
memberi rejeki dan melindunginya. Istilah ini, dengan demikian, mencerabut akar-
akar dan menanamkan akar-akar yang lain. Artinya, ia mencerabut dari jiwa sang
istri perasaan akan adanya konsiderasi, posisi, atau bahkan bentuk sense apapun akan
being (kainunah, eksistensi) dan preferensi dalam lingkungan keluarga. Sementara di
sisi lain, ia juga sekaligus menanamkan di dalam dirinya bibit-bibit ketundukan,
kepasrahan, ketaatan, absolusitas, subordinasi dan keridhoan menjalankan kerja yang
didefinisikan oleh sang ba’al atasnya sebagai obyek kenikmatan fisik dan manusia
kelas dua yang dibebani tugas melayani suami dan merawat anak-anak dalam
lingkungan keluarga.
Konsep perkawinan dengan model tamalluk (kepemilikan) ini juga terlukiskan
dalam pendapat B. Stowasser. Menurutnya realitas bahwa istri nabi Khotijah
merupakan pedagang sukses merupakan pengecualian, seorang di antara sedikit
golongan elit dari masyarakat Arab saat itu. Kebanyakan perempuan kota pada masa
pra Islam hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki, sehingga
mengakibatkan status perempuan menjadi rendah dan hak-hak mereka terabaikan.
7. Budaya Kedermawanan dan Kejujuran Bangsa Arab Pra Islam
Begitu banyaknya akhlak buruk yang dipraktekan masyarakat Arab sebelum
datangnya Islam, namun seburuk-buruknya suatu bangsa ada sisi positif yang mereka
miliki, yaitu ada tradisi-tradisi yang telah lama melekat yang telah diwariskan turun
temurun yang bersifat positif. Secara nyata dapat terliha bahwa manusia mempunyai
dua potensi tersebut yaitu berkelakuan baik dan buruk,26 dalam Al-Qur‟an
dijelaskan:
       
“Allah bersumpah dengan diri manusia yang telah Ia ciptakan dengan kondisi fisik
dan psikis yang sempurna. Setelah menciptakannya secara sempurna, Allah
memasukkan ke dalam diri manusia potensi jahat dan baik”.(QS. As-Syams[91]:7-8).
Sayyid Quthub menjelaskan sesungguhnya manusia itu makhluk yang memiliki
tabiat, potensi dan arah yang kompleks. Maka ia dibekali potensi untuk berbuat baik
dan buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Kemampuan ini tersembunyi dalam
wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan Al-Qur‟an dengan ilham. Jika
mengembangkan potensi baiknya maka ia beruntung, begitupun sebaliknya yang ia
sembunyikan dari kebaikan akan merug Ungkapan hikmah oleh Aktsam ibn Shaify
yang hidup pada zaman pra Islam dan kemudian masuk Islam, berkata dalam
syairnya:
‫ ْو مَر اْل ُع ٌجزَّك بمَر وطئ‬. ‫ واحَلزمّك بٌ صعٌب‬,‫ والشرُّ جاَُل َج ًة‬، ‫ والٌك ذَب مهواُة‬,‫الُص َدَق منُج اة‬,
َ ‫َُ ُخ رُي اأِل مورالَص رب‬, ‫ ِو الْع جز َم ُف تَاِح الَف قرو‬,‫آفة الرأي اهلوى‬
“Jujur adalah pangkal keselamatan, dusta adalah merusakkan, kejahata adalah
kekerasan, ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan, kelemahan akibat
kehinaan, penyakit fikiran adalah nafsu, dan sebaik-baik perkara adalah sabar”.14
Salah satu bukti sejarah yang terlahir dari bait syair-syair bangsa Ara pra-Islam,
bahwa kalimat-kalimat nasehat itu datang dari penyair bangs Arab pra-Islam.
Layaknya setiap komunitas manusia mereka mempunyai moral da budaya baik yang
disepakati. Menurut Wahbah az-Zuhaili, potensi aka fikiran manusia mempunyai
kebebasan dalam menciptakan suatu karya yan monumental dalam melakukan
kebaikan-kebaikan seperti ikhlas dalam beramal, jujur dalam berkata, tegas, optimis,
dermawan, dan saling tolong menolong sebagai dasar kebudayaan.15
Kedermawanan menurut bangsa Arab adalah harga diri yang harus dijaga.
Mereka rela berkorban demi mengagungkan tradisi ini. Di gurun pasi dengan kondisi
barang-barang kebutuhan pokok sangat terbatas, maka sika dermawan menjadi hal
yang penting dalam masyarakat untuk memperoleh kedudukan yang dimuliakan. 30
Bangsa Arab pra-Islam berusaha keras dalam menjaga kehormatan diri agar tidak
ternodai, dengan isyarat atau perbuatan. Bagi bangsa Arab menjaga kehormatan
orang lain termasuk kehormatan diri. Sifat positif lainnya yaitu, menepati janji, bila
seseorang berjanji kepada orang lain, maka harus memegang janjinya. Jika seorang
dari mereka melanggarnya, mereka akan mengibarkan bendera di pasar Ukaz agar
semua orang mengetahuinya. Sifat ini yang kemudian oleh Islam ditegaskan dalam
Al-Qur‟an, salah satunya dalam surah Al-Isra ayat 34:
           
       
“dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, Sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isrâ‟[17]:34)
Setelah datangnya Islam dengan wahyu Al-Qur‟an, tatanan masyarakat Arab,
budaya dan tradisinya perlahan membaur. Islam datang memilah milih mana budaya
yang dibolehkan dan tidak, mana yang perlu dilestarikan dan dihapus, mana budaya
yang perlu diubah dan diganti dengan yang baru. Pada prakteknya tidak semua
14
Ruqoiyah, “Dimensi Positif Tradisi Bangsa Arab Pra- Islam (Analisis Kesesuaian Tradisi Arab Pra-
Islam Dengan Nilai-Nilai Al-Qur’an),” hlm. 8.
15
Khairul Amri, “SOSIOHISTORIS MASYARAKAT ARAB PRA ISLAM” 2, no. 1 (2022): hlm. 5.
budaya Arab pra-Islam dihapus dan diganti. Ada beberapa tradisi yang melekat yang
dianggap mengandung nilai-nilai positif masyarakat Arab yang kemudian mengalami
islamisasi meliputi kemurahan hati, keberanian, kesetiaan, kejujuran dan kesabaran. 16
Dari beberapa penelitian yang telah penulis sebutkan dapat disimpulkan bahwa
pembahasan mengenai sisi positif bangsa Arab yang sesuai dengan nilai-nilai Al-
Qur‟an belum ada. Kemiripan pembahasan mungkin telah ada penelitiannya, seperti
gambaran bagaimana masyarakat bangsa Arab sebelum Islam dan budayanya. Akan
tetapi pembahasannya bersifat umum, tidak memfokuskan pada hal yang positif dari
bangsa Arab pra-Islam. Bangsa Arab pra-Islam harusnya tidak hanya disoroti dari
keburukan moralnya sehingga diyakini bangsa Arab semua buruk. Ada hal penting
yang perlu diketengahkan yaitu sisi budaya positif yang melekat pada masyarakat
Arab dan itu telah ada jauh sebelum Islam datang.

KESIMPULAN
Yang dapat disimpulkan dari kajian di atas adalah bahwa sejarah kebudayaan pra islam
ternyata banyak yang sudah dilakukamn atau berjalan sebelum adanya islam, yang
memperbaiki hal-hal atau budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama. namun menurut
para ilmuan jauh sebelum datangnya islam hal hal yang diajarkan dalam ajaran islam sudah
ada dan berlaku sebelumnya, misanya perkawinan (pernikahan), bersikap jujur, saling
menghargai sesama mahluk ciptaannya, melaksanakan ibadah haji dan umroh, berjilbab,
mengakui akan adanya zat yang esa dan sebagainya. Hal inilah yang harus kita ketahui dan
tidak menutup mata akan kebenaran ini.
Budaya budaya yang berkembang sebelum adanya islam diantaranya sesuai dengan yg
sudah kita bahas diatas yaitu terjadinya diskriminasi wanita, menuhankan jin, Malaikat dan
Berhala, Prkawinan dalam nama istilah mereka pada saat itu, budaya berbuat baik dan jujur ,
Melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, Menggunakan Hijab(Jilbab) dan Tiga tradisi yaitu
Tradisi keagamaan, tradisi sosial, dan tradisi Hukum yang sudah berlaku pada saat itu.
Diharapakan dengan adanya ulasan trutama tentang budaya pra islam diatas dapat
mningkatkan kualitas ibadah kita kepada Alloh Swt. danmenjauhi tindak kriminalitas, dengan
menganiyaya menipu, atau memperkosa wanita serta mengannggap wanita itu lemah
dibandingkan dengan laki laki, karena itulah islam hadir utuk menyetarakan gender karena
yang membedakan manusia bukan cantik atau gantengnya, bukan kaya miskinnya dan

16
Yakub, Tanjung Muaz, and Yusra Dewi Siregar, Sejarah Peradaban Islam Pendekatan Periodesasi
(Medan: Perdana Publishing, 2015), hlm. 1.
sebagainya akan tetapi tingkat keimanannya kepada Allah lah yang akan membuatnya
istimewa dihadapan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Khairul. “Sosiohistoris Masyarakat Arab Pra Islam” 2, no. 1 (2022).


Bin Muhammad, Rizalman, and Ishak Bin Suliaman. “Pelaksanaan Ibadah Haji Di Zaman Pra
Islam (Jahiliyyah) Dalam Perspektif Sejarah.” Kuala Lumpur (Malaysia), 2015, 149.
Darmawijaya, Edi. “Stratifikasi Sosial, Sistem Kekerabatan Dan Relasi Gender Masyarakat
Arab Pra Islam” 6 (2017).
Fahrudin, Ahmad Hanif. “Learning Society Arab Pra Islam (Analisa Historis Dan
Demografis).” Lamongan Vol. 1, no. 1 (2017): 49.
Izza, Ismatul, Sinta Prayogi, Debi Setiawati, and Ikip Budi Utomo. “Diskriminasi Gender
Pada Masa Pra Islam Terhadap Lahirnya Kesetaraan Gender” 1, no. 2 (2022).
Janah, RA Mipta Miftahul, Muhammad Rosyad Ridho Wardani, Agitya Ratu, Wanda
Hamidah, and Hisny Fajrussalam. “Budaya Arsitektur dalam Islam” 6 (2022).
Kurniawan, Muh. Alif, Rochanah, and dkk. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam : Dari
Masa Klasik, Tengah, Hingga Modern. Yogyakarta: Qaulun Pustaka, 2014.
Mohd Mokhtar, Ros Aiza, and Che Zarrina Sa‘ari. “Sinkretisme Dalam Adat Tradisi
Masyarakat Islam.” Journal of Usuluddin Vol. 43, no. 1 (June 30, 2016): 69–90.
Munfarida, Elya. “Perkawinan Menurut Masyarakat Arab Pra Islam.” I S S N Vol. 10, no.
1907 (2015).
Rohim, Ainur. “Jilbab Antara Orisinalitas Dan Produk Budaya (Perspektif Al-Asil Wa Al
Dakhil Fi Al-Tafsir).” JUPE : Jurnal Pendidikan Mandala 7, no. 2 (June 22, 2022).
Ruqoiyah, Siti. “Dimensi Positif Tradisi Bangsa Arab Pra- Islam (Analisis Kesesuaian Tradisi
Arab Pra-Islam Dengan Nilai-Nilai Al-Qur’an).” Thesis, INSTITUT ILMU AL-
QUR’AN JAKARTA (IIQ), 2021.
Ummatin, Khoiro. “Tiga Model Interaksi Dakwah Rasulullah Terhadap Budaya Lokal.”
Yogyakarta Vol. XV, no. 1 (2014): 205.
Yakub, Tanjung Muaz, and Yusra Dewi Siregar. Sejarah Peradaban Islam Pendekatan
Periodesasi. Medan: Perdana Publishing, 2015.

You might also like