You are on page 1of 45

Bahan Ajar

PERILAKU WISATAWAN

Tim Penyusun:

 Yohanes Kartika Herdiyanto  Naomi Vembriati


 David Hizkia Tobing  Ni Made Ari Wilani
 Dewi Puri Astiti  Ni Made Swasti Wulanyani
 I Made Rustika  Putu Nugrahaeni Widiasavitri
 Komang Rahayu Indrawati  Putu Wulan Budisetyani
 Luh Kadek Pande Ary Susilawati  Supriyadi
 Adijanti Marheni  Tience Debora Valentina
 Made Diah Lestari

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PRAKATA

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memperkenankan buku itu dituliskan
untuk membantu para mahasiswa matakuliah Perilaku Wisatawan. Kami berharap buku ini dapat
digunakan sebagai bahan pembelajaran dan pendalaman materi untuk mempelajari perilaku
wisatawan, mengingat buku-buku tentang perilaku wisatawan di dalam bahasa Indonesia masih
sangat jarang tersedia.

Buku ini masih banyak memiliki kekurangan, sehingga kami berharap untuk mendapatkan masukan
dan umpan balik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas buku bahan ajar ini.

Selamat belajar.

Denpasar, 21 Juli 2016

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

PRAKATA ................................................................................................................................................. 1

DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 4

BAB I: BUDAYA ........................................................................................................................................ 8

BAB II: KONTAK SOSIAL ......................................................................................................................... 13

BAB III: NILAI ......................................................................................................................................... 18

BAB IV: PERATURAN DALAM INTERAKSI SOSIAL................................................................................... 20

BAB V: PERSEPSI .................................................................................................................................... 24

BAB VI: KEPUASAN ................................................................................................................................ 31

BAB VII: KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS FAKTOR DALAM ANALISIS LINTAS BUDAYA .................. 34

BAB VIII: MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL UNTUK ANALISIS LINTAS BUDAYA ................................. 37

BAB IX: ANALISIS BUDAYA: IMPLIKASI PEMASARAN DAN MANAJEMEN.............................................. 42

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 45

3
PENDAHULUAN

1. Manfaat Mata Kuliah


Mata kuliah ini diberikan pada mahasiswa untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif kepada mahasiswa tentang dasar-dasar perilaku wisatawan berdasarkan teori-teori
psikologi dan ilmu sosial yang lainnya. Mahasiswa juga disiapkan untuk menganalisis fenomena-
fenomena sosial yang terjadi pada wisatawan dan penduduk local. Selain memberikan konsep-
konsep tentang perilaku wisatawan, mahasiswa juga diharapkan mampu memahami dan dapat pula
mengaplikasikan berbagai pendekatan penelitian pada bidang perilaku wisatawan tersebut untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul akibat turisme di sekitarnya.

2. Deskripsi Perkuliahan
Mata kuliah ini secara garis besar akan membahas tiga hal utama, yaitu yang pertama adalah
proses psikologis turis sebelum datang ke tempat wisata (sampai dengan proses menetapkan tujuan
wisata yang akan dikunjunginya), yang kedua adalah proses psikologis yang dialami oleh turis
maupun host saat turis sampai di tujuan wisata yang telah direncanakannya (sejak turis datang
sampai dengan pulang dari tempat wisata), dan yang terakhir adalah proses yang dialami oleh turis
maupun host setelah kunjungan wisata tersebut berlangsung.

3. Tujuan Instruksional
Setelah menyelesaikan mata kuliah ini (pada akhir semester), mahasiswa dapat
menunjukkan pemahaman yang komprehensif tentang dasar-dasar perilaku wisatawan berdasarkan
teori-teori psikologi dan ilmu sosial yang lainnya. Mahasiswa diharapkan mampu untuk menganalisis
fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada wisatawan dan penduduk lokal (host). Selain itu,
mahasiswa juga diharapkan mampu memahami dan dapat pula mengaplikasikan berbagai
pendekatan penelitian pada bidang perilaku wisatawan tersebut untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan yang timbul akibat turisme di sekitarnya.

4. Organisasi Materi
Organisasi materi dapat dilihat pada jadwal perkuliahan.

5. Strategi Perkuliahan
Strategi instruksional yang digunakan pada mata kuliah ini terdiri dari:

4
a. Urutan kegiatan instruksional berupa: pendahuluan (tujuan mata kuliah, cakupan materi pokok
bahasan, dan relevansi), penyajian (uraian, contoh, diskusi, evaluasi), dan penutup (umpan balik,
ringkasan materi, petunjuk tindak lanjut, pemberian tugas di rumah, gambaran singkat tentang
materi berikutnya)
b. Metode instruksional menggunakan: metode ceramah, tanya-jawab, diskusi kasus, dan
penugasan lapangan dan penulisan paper.
• Ceramah berupa penyampaian bahan ajar oleh dosen pengajar dan penekanan-penekanan
pada hal-hal yang penting dan bermanfaat untuk diterapkan nantinya.
• Tanya jawab dilakukan sepanjang tatap muka, dengan memberikan kesempatan mahasiswa
untuk memberi pendapat atau pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka mengerti atau
bertentangan dengan apa yang mereka pahami sebelumnya.
• Diskusi kasus dilakukan dengan memberikan contoh kasus/kondisi pada akhir pokok
bahasan, mengambil tema yang sedang aktual di masyarakat dan berkaitan dengan pokok
bahasan tersebut, kemudian mengajak mahasiswa untuk memberikan pendapat atau
menganalisis secara kritis kasus/kondisi tersebut sesuai dengan pengetahuan yang baru
mereka dapatkan.
• Penugasan (berupa penugasan lapangan dan paper) diberikan untuk membantu mahasiswa
memahami bahan ajar, membuka wawasan, dan memberikan pendalaman materi.
Penugasan bisa dalam bentuk kunjungan ke lapangan (daerah wisata, bandara, hotel, dsb.),
menulis tulisan ilmiah, membuat review artikel ilmiah, ataupun membuat tulisan yang
membahas kasus/kondisi yang berkaitan dengan pokok bahasan. Pada penugasan ini,
terdapat komponen analisis sosial, ketrampilan menulis ilmiah, berpikir kritis, penelusuran
referensi ilmiah, dan ketrampilan berkomunikasi.
c. Media instruksionalnya berupa: LCD projector, whiteboard, kertas plano, artikel aktual di surat
kabar/internet/majalah/jurnal ilmiah, buku diktat bahan ajar, handout, dan kontrak perkuliahan.
d. Waktu (per-SKS): 5 menit pada tahap pendahuluan, 40 menit pada tahap penyajian, dan 5 menit
pada tahap penutup.
e. Evaluasi: evaluasi formatif dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung.

6. Materi/Bacaan Perkuliahan
Buku/bacaan pokok dalam perkuliahan ini adalah:
A. Pearce, Philip L. (2005). Tourist Behaviour: Themes and conceptual schemes. NY: Channel view
publications

5
B. Richard, G. and Munsters, W. (ed). (2010). Cultural tourism research methods. Cambridge: CAB
International
C. Reisinger, Y. and Turner, L.W. (2003). Cross-cultural behaviour in tourism: Concept and analysis.
San Francisco: Butterworth Heinemann

7. Tugas
Dalam perkuliahan, diberikan beberapa tugas sebagai berikut:
a. Quiz diberikan secara tak terjadual kurang lebih 4 kali selama proses perkuliahan untuk menilai
pemahaman mahasiswa dan absensi. Format soal quiz berupa pilihan ganda atau essay.
b. Penugasan kunjungan lapangan diberikan secara berkelompok (maksimal 5 orang/kelompok).
Tempat kunjungan lapangan dapat berupa tempat-tempat wisata, sarana transportasi umum
(bandara, pelabuhan, terminal, dsb.), hotel, guide association, rumah sakit/klinik di tempat
wisata, dan unit kepolisian wisata.

8. Kriteria Penilaian
Penilaian akan dilakukan oleh pengajar dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:
Nilai dalam huruf Rentang skor
A 80- keatas
B 65-79
C 55-64
D 40-54
E kebawah -39

• Pembobotan nilai adalah sebagai berikut:


Nilai Tugas dan Quiz : 30% (kunjungan lapangan, laporan, review jurnal, quiz)
UTS : 35%
UAS : 35%

• Bagian Psikologi tidak mentolerir adanya kecurangan dalam ujian. Ujian Kuis, UTS, UAS adalah
instrumen untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam memahami mata kuliah. Apabila
mahasiswa menunjukkan gerak-gerik mencurigakan selama tes-tes tersebut, atau ditemukan
mencontek/memberikan contekan, akan mendapatkan pengurangan nilai 25% dari nilai yang
diperolehnya untuk tes tersebut, dan pengurangan ini akan disampaikan secara terbuka pada
waktu pengumuman nilai. Apabila mahasiswa ditemukan membawa/membuat (walaupun tidak

6
membuka) catatan selama tes-tes tersebut, baik berupa kertas, coretan di kursi, dan sebagainya,
maka mahasiswa tersebut akan mendapat nilai 0 untuk tes tersebut.
• Presentasi ketentuan mendapatkan penilaian kehadiran sebagai berikut:
- Setiap mahasiswa wajib hadir tepat waktu saat perkuliahan dimulai. Bagi yang terlambat
melebihi 15 menit maka diperkenankan masuk tetapi tidak diperkenankan melakukan
presensi.
- Bagi mahasiswa yang jumlah presensinya kurang dari 75% dari jumlah kehadiran kuliah
sebelum UTS (atau tidak hadir sebanyak 2 kali) maka orang bersangkutan tidak boleh
mengikuti UTS (atau tidak hadir sebanyak 4 kali) maka orang bersangkutan tidak boleh
mengikuti UAS. Larangan ini tidak berlaku apabila yang bersangkutan mengganti
ketidakhadiran dengan menulis paper/tugas/makalah.

7
BAB I:
I: BUDAYA

A. Konsep dan Definisi


Definisi klasik dari budaya adalah keseluruhan yang kompleks, yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, tradisi, dan kemampuan lain serta kebiasaan
yanh dilakukan oleh seseorang sebagai bagian dari masyarakat (Tylor, 1924, p.1). Definisi dari
antropolog perilaku, menyatakan bahwa budaya adalah tentang perilaku manusia (Schusky &
Culbert, 1987).
Behaviouralist menyatakan bahwa perilaku budaya dipelajari, bukan diwariskan. Budaya
merupakan kumpulan dari kepercayaan, kebiasaan dan tradisi, yang dibagikan oleh sekelompok
manusia dan dipelajari oleh individu yang masuk ke dalam masyarakat (Mead, 1951).
Fungsionalist menyatakan bahwa budaya merupakan seperangkat aturan yang sesuai untuk
mengumpulkan manusia bersama-sama ke dalam sebuah sistem social (Radcliffe-Brown, 1957,
p.102). Peraturan tersebut mengizinkan kita untuk memahami lebih baik dan memprediksi
bagaimana orang lain berperilaku dan mengapa melakukannya. Sehingga, kaum Behaviouralist
dan Functionalist setuju bahwa budaya dan perilaku tidak dapat dipisahkan, karena budaya tidak
hanya mendikte bagaiman kita harus berperilaku, namun juga membantu untuk menjelaskan
suatu kondisi dan dalam situasi berbagai perilaku terjadi; membantu untuk mengintepretasikan
dan memprediksi perilaku.
Cognitive Antrophologist menyatakan bahwa budaya merupakan pengetahuan kognitif,
klasifikasi dan kategori, yang ada pada pikiran manusia (Goodenough, 1965; Mernill, 1965;
Schmidt, 1939). Definisi kultur lainnya, budaya sebagai system symbol, budaya sebagai persepsi
(gabungan dari seluruh persepsi manusia mengenai dirinya dan mengenai dunia), budaya
subjektif (karakteristik budaya dalam mengamati lingkungan), budaya sebagai perbedaan antar-
manusia, dan budaya sebagai informasi dan komunikasi.
Budaya Pariwisata merupakan budaya yang dibawa oleh tourist (wisatawan) ketika
berlibur. Host culture merupakan budaya dari negara yang menjadi tuan rumah (negara yang
dikunjungi) (Jafari, 1987). Menurut Jafari (1987), perilaku dari semua partisipan terlibat yang
dalam proses pariwisata, menyebabkan perbedaan dalam budaya pariwisata, berbeda dalam
rutinitas dan budaya sehari-hari.

8
B. Tujuan dari Budaya
1. Mengajarkan bagaimana melakukan sesuatu dan bagaimana berpikir untuk mengatur dunia
(Dodd, 1998)
2. Membangun kode etik, standar kinerja, cara berurusan dengan antar-pribadi dan relasi
dalam lingkungan yang akan mengurangi ketidaktentuan, meningkatkan kemungkinan untuk
meramalkan, dan dengan demikian memajukan kemampuan bertahan hidup dan
pertumbuhan dari setiap anggota dalam masyarakat (Heirbig, 1998, p.11)
3. Memungkinkan masyarakat untuk berkomunikasi menggunakan system verbal maunpun
nonverbal dalam expressive behavior.
4. Budaya mengikat individu menjadi satu dan mengidentifikasi keunikan dari suatu kelompok.

C. Karakteristik Budaya
1. Functional : setiap budaya memiliki fungsi untuk tampil; dengan tujuan untuk memberikan
pedoman perilaku dari suatu kelompok manusia
2. A social phenomenon : manusia menciptakan budaya; sebagai hasil dari interaksi dan
keunikan dari masyarakat.
3. Prescriptive : budaya menentukan aturan perilaku social.
4. Learned : budaya dipelajari dari anggota masyarakat lainya.
5. Arbitrary : pratek budaya dan perilaku yang tunduk pada nilai.
6. Value laden : budaya menyediakan nilai-nilai dan memberitahu individu yang mana yang
benar dan salah.
7. Facilities communication : memfasilitasi komunikasi verbal dan nonverbal.
8. Adaptive/dynamic : budaya berubah secara konstan menyesuaikan dengan situasi dan
lingkungan baru.
9. Long term : budaya sudah berkembang dari beribu-ribu tahun lalu.
10. Satisfies needs : budaya membantu untu memuaskan kebutuhan dari setiap anggota
masyarakat dengan mengarahkan dan membimbing.

D. Subkultur
Subkultur direpresentasikan dengan kelompok kecil, yang terdiri dari beberapa orang
atau kelompok besar, seperti kelompok agama besar. Setiap komunitas subkultur
memperlihatkan pola karakteristik perilaku yang membedakan dengan budaya lain yang masih
satu lingkup dengan budaya inti (induk). Setiap subkultur menyediakan setiap anggotanya dengan
nilai-nilai dan ekspektasi yang berbeda sebagai hasil dari perbedaan wilayah.

9
E. Perbedaan Budaya
1. Perbedaan budaya dalam komunikasi : perbedaan pola komunikasi verbal (bahasan dan
paralanguage: intonasi, menangis, tertawa, bertanya), dan perbedaan pola komunikasi non-
verbal (bahasa tubuh, seperti ekspresi muka, pergerakan kepala, gesture, penggunaan ruang,
dan jarak antar individu) (Bochmer, 1982)
2. Perbedaan budaya dalam kategori social : perbedaan peran, status, kelas, hirearki, sikap
terhadap sifat manusia, aktivitas, waktu, dan hubungan antar individu (Kim & Gudykunst,
1988).
3. Perbedaan budaya dalam aturan perilaku social (Argyle, 1967; Triandis, 1972): cara
menjelaskan hubungan interpersonal dan atribusi penting terhadap interaksi social; teknik
mebangun dan melestarikan hubungan, pola interaksi (salam dan self-presentation);
memulai pembicaraan, tingkat ekspresti, menunjukkan emosi, keterusterangan, dan
intensitas; kegigihan dan kelekatan; mengekspresikan ketidakpuasan dan kritik;
mendeskripsikan alasan dan opnini, exaggerations (berlebihan); aturan moral dalam
menyampaikan hal yang sebenarnya; serta bercanda, menanyakan hal personal, melengkapi
dan mengeluh, mengekspresikan ketidaksukaan, menunjukkan kehangatan, meminta maaf,
berpamitan, mengekspresikan opinin negative ,dan memberikan hadiah.
4. Perbedaan kultur dalam layanan yang menyebabkan perbedaan proses interaksi.
Perbedaan budaya yang telah dituliskan diatas, berasal dari wilayah, etnik, agama,
gender, generasi, dan kelas social yang berbeda. Perbedaan budaya dapay menyebabkan
masalah dalam interaksi social antar-partisipan dari latar belakang budaya yang berbeda.

F. Dimensi Budaya
Banyak dimensi dari budaya yang berbeda. Beberapa dimensi budaya:
1. Pola variable Parsons’ (1951): membedakan budaya berdasarkan pilihan individu dalam
menentukan aksinya. (affective-affective neutrality, universalism-particularism, diffuseness-
specifity, ascription achievement, instrumental-expressive, & structural tightness)
2. Dimensi budaya Kluckhohn dan Strodtbeck (1961): membedakan budaya berdasarkan
orientasi nilai. (toward humas, toward nature, toward activity, toward time, toward
relationship among people, toward & toward space)
3. Pola budaya Stewart (1971): terdapat 4 elemen besar (activity orientation, social relation
otrientation, self-orientation, & world orientation)

10
4. Dimensi budaya Hall (1960, 1966, 1973) dan Hall & Hall (1987): membedakan dasar orientasi
terhadap sifat manusia, orientasi kegiatan, hubungan antar-manusia, relasi waktu, dan
orientasi ruang.
5. Dimensi budaya Hall (1976/1977, 1983): membedakan budaya dalam hal: konteks, ruang,
waktu, arus informasi, dan bahasa.
6. Dimensi budaya Hoftedes (1980, 1984, 1991), terdapat lima dimensi dan dapat dibandingkan
dan dibedakan antar dimensi (power distance, uncertainty avoidance, individualism-
collectivism, masculinity-feminimity, & Confucian work dynamism).
7. Dimesi budaya Adler (1986): dibedakan berdasarkan aktivitas manusia, ruang, wakyu, sifat
manusia, relation to nature, dan hubungan dengan manusia.
8. Perbedaan budaya Argyle (1986): membedakan budaya berdasarkan tingkat formalitas dan
penerimaan kontak social antar-individu. (formality & touch)
9. Dimensi budaya Schein (1992): the nature of human relationship (hubungan antar-manusia),
aktivitas manusia, sifat manusia, hubungan dengan ligkungan, waktu, realita dan kebenaran,
serta ruang.
10. Dimensi budaya Trompenaars (1984, 1993): membandingkan budaya berdasarkan orientasi
terhadap sifat manusia, relatiin to nature, orientasi kegiatan, hubungan antar-manusia, dan
waktu.
11. Dimensi kultural Maznevski (1994): membedakan budaya berdasarkan sifat manusia,
relation of nature, orientasi kegiatan, dan hubungan antar-manusia.
G. Model Interaksi Inter-kultural (Inter-cultural Interaction Model)
Secara umum, semua interaksi dilihat sampai batas tertentu sebagai 'intercultural’,
dan tingkat 'interculturalness' mereka tergantung pada tingkat heterogenitas antara latar
belakang budaya dari individu-individu yang terlibat dalam interaksi; pola keyakinan mereka,
perilaku verbal dan non-verbal, persepsi, dan sikap. Asumsi yang mendasari adalah bahwa
individu-individu yang tergabung dalam budaya yang sama, berbagi kesamaan yang lebih
besar daripada orang yang milik budaya yang berbeda.

H. Pentingnya Memahami Perbedaan Lintas Budaya terhadap Perilaku


Penting untuk menganalisis perbedaan budaya dalam perilaku dan memahami
perbedaan yang mana memiliki efek paling merusak.

11
I. Tourism Cross-cultural Studies
Dalam konteks pariwisata, perbedaan budaya telah dianalisis dalam: pola rekreasi;
jumlah waktu luang antar negara; waktu luang dan travel behavior; preferensi perjalanan liburan;
pola perjalanan liburan; keuntungan dari travelling; kriteria rekreasi; sikap dan preferensi dalam
menentukan atribut perjalanan; persepsi/ stereotip/ gambaran; perjalanan liburan di US;
kepedulian, kunjungan, dan atraksi yang dilih; nilai, aturan, persepsi layanan, kepuasan interaksi
antara turis Asia dan nilai orang Australia; motivasi; gambaran lokasi tujuan; konten paket tour;
preferensi peran turis; pentingnya makanan dan preferensi pelayanan makanan; dan kualitas
servis.

J. Budaya dan Manajemen Pemasaran Pariwisata


Tujuan dari pemasaran pariwisata ini adalah untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
dari berbagai macam kelompok wisatawan internasional. Banyak wisatawan yang tertarik dengan
keunikan budaya dari produk wisata asing. Oleh karena itu, pemasar pariwisata dan manager
harus tanggap terhadap perbedaan budaya antar wisatawan internasional dengan budaya local,
agar dapat memberikan dan memuaskan produk kepada wisatwan.

12
BAB II: KONTAK SOSIAL

A. DEFINISI DAN KONSEP


Kontak sosial adalah asosiasi pribadi yang terjadi dalam kondisi tertentu; atau interaksi
yang mencakup berbagai perilaku dari pengamatan anggota kelompok lain tanpa komunikasi
apapun, asosiasi intim berkepanjangan '(Cook and Sellitz 1955, hlm. 52-53).
Dua tingkat dari kontak sosial yang telah diidentifikasi adalah co-presence dan focused
interaction (Murphy, 2000). Co-presence lebih kepada tingkat minimum dari interaksi sosial, yang
terjadi ketika dua atau lebih signal individu (melalu gerakan tubuh dan muka, serta penggunaan
ruang), kepedulian mereka terhadap keberadaan orang lain dan aksesibilitas dengan orang lain.
Focused-interaction terjadi ketika seseorang berkumpul bersama dan bekerjasama untuk
mempertahankan fokus tunggal dari perhatian, seperti dalam percakapan, permainan, dan
transaksi di toko.
Komponen penting yang mempengaruhi interaksi sosial :
1) Tujuan. Tujuan yang mengarahkan dan memotivasi interaksi sosial.
2) Aturan. Membagikan kepercayaan yang meregulasi interaksi sosial dan membangkitkan
aksi sehingga tujuan dapat tercapai.
3) Peran. Mencakup tugas, kewajiban atau hak dari posisi sosial seseorang.
4) Repertoire of elements. Penjumlahan dari perilaku verbal dan non-verbal yang pantas
terhadap situasi tertentu.
5) Urutan perilaku. Urutan spesifik dari tindakan yang diperlukan untuk beperilaku efektif.
6) Konsep. Elemen yang dibutuhkan individu untuk proses berperilaku secara efektif dalam
situasi sosial dan mencapai tujuan situasional.
7) Setting lingkungan. Setting dimana pertemuan berlangsung dan terdiri dari ruang,
pengubah, dan batas-batas.
8) Bahasa dan ucapan yang membuat individu mengerti bagaimana berperilaku dalam
suatu interaksi.
9) Kesulitan dan kemampuan. Situasi sosial yang membutuhkan persepsi, motor, memori,
atau kemampuan linguistic agar dapat dimengerti.
1. Kontak Sosial dalam Pariwisata
a. Tourist-host(tuan rumah)
b. Tourist-tourist
c. Tourist-potential tourist

13
d. Tourist-provider contacts (Fridgen, 1991)
2. Ambiguitas dalam Menjelaskan Wisatawan dan Tuan Rumah
Ada ambiguitas dalam mendefinisikan wisatawan dan host. Banyak peneliti tidak
membedakan antara berbagai kategori wisatawan. Mereka menyebut wisatawan sebagai pendatang
atau tamu dan kontak tourist-host sebagai kontak tamu-tuan rumah (e.g., Nozawa, 1991)
3. Kategori dari Wisatawan
a. Definisi nominal dari wisatawan: wisatawan sebagai pengunjung sementara yang
tinggal setidaknya 24 jam di wilayah yang dikunjungi untuk tujuan rekreasi (liburan,
olahraga, belajar, rekreasi), bisnis, keluarga (mengunjungi teman dan kerabat), atau
pertemuan dan konferensi (McIntosh dan Goeldner, 1997).
b. Definisi operasional dari wisatawan : wisatawan sebagai pengunjung luar negeri dari
budaya yang berbeda, berada di wilayah yang dikunjungi selama (minimal) 24 jam dan
maksimal 12 bulan untuk tujuan kontak sosial ,liburan , bisnis, studi, keluarga, olahraga,
atau konferensi.
4. Definisi Host
Host adalah negara yang dikunjungi yang telah tedaftar di industri pariwisata dan
menyediakan layanan untuk wisatawan seperti pengusaha, pelayan, asisten toko, pemandu
wisata, manajer tur, taksi dan sopir bus.
5. Bentuk dari Touris-Host Contact
Touris-host contact dapat terjadi pada berbagai setting, seperti: pada pesawat dan
bus, hotel, makan malam di restoran, pada saat berbelanja, nightclub, maupun hal-hal
lainnya. Terdapat tiga situasi kontak antara wisatawan dan host(tuan rumah):
a. Ketika wisatawan membeli barang dan jasa dari penduduk
b. Ketika wisatawan dan penduduk menemukan diri mereka berdampingan dalam
interaksi
c. Ketika kedua pihak datang tatap muka selama proses pertukaran informasi (DeKadt,
1979).

B. CONTACT HYPOTHESIS
Contact hypothesis menunjukkan bahwa kontak antara orang dari latar belakang budaya
yang berbeda dapat mengakibatkan hasil yang positif maupun negatif.

C. DETERMINAN TOURIST-HOST CONTACT


Terdapat empat faktor besar yang mempengaruhi tourist-host contact:

14
1) Temporal (waktu, perbedaan peran yang dimainkan oleh wisatawan dan tuan rumah (host).
2) Spasial (bersifat fisik, seperti jarak, dan sosial, seperti posisi sosial dari wisatawan dan tuan
rumah, aturan sosial yang harus dipatuhi).
3) Komunikasi (perbedaan bahasa dan perilaku non-verbal)
4) Budaya (perbedaan nilai, persepsi, dan sikap) (Evans, 1978; Fridgen, 1991).

D. TIPE INTERKULTURAL TOURIST-HOST CONTACT


Variabel penting yang menentukan kontak wisata-host tingkat 'interculturalness' di
pertemuan itu atau sejauh mana kesamaan dan perbedaan antara peserta (Levine, 1979).
Tingkat interculturalness sapat membedakan antara tiga jenis utama dari pertemuan
antarbudaya (Sutton, 1967), tergantung pada persamaan dan perbedaan dalam latar belakang
budaya dari individu:
1) Dimana latar belakang budaya individu adalah sama, atau serupa
2) Dimana latar belakang budaya individu berbeda, tetapi perbedaan kecil dan sebagai
pelengkap
3) Dimana latar belakang budaya individu berbeda, dan perbedaannya besar dan tidak
kompatibel.

E. KESULITAN INTERAKSI DALAM DAN LINTAS BUDAYA TOURIST-HOST CONTACT


Kesulitan utama dalam interaksi disebabkan karena perbedaan pada budaya, yaitu:
1) Komunikasi dan perilaku interpersonal (kelancaran berbahasa, penggunaan bahasa yang
sopan, mengekspresikan sikap, perasaan, dan emosi);
2) Signal non-verbal (ekspresi muka, tatapan mata, perilaku spasial, sentuhan, postur, dan
gesture); dan
3) Aturan dan pola dari interaksi interpersonal (salam, pengungkapan diri, menerima atau
menolak permintaan) (Bochmer, 1982).

F. CULTURE SHOCK
Culture shock yang dialami seseorang ketika berada di budaya yang berbeda. Shock
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengatasi lingkungan budaya baru, rangsangan asing
yang tidak dapat dipahami, dihadapkan dengan berbagai cara hidup dan melakukan hal-hal
tertentu, ketidakmampuan untuk mengajukan pertanyaan dan memahami jawaban, atau
mengenali makanan ( Rogers dan Steinfatt, 1999).

15
Banyak gejala culture shock yang telah dilaporkan, seperti: ketegangan, rasa kehilangan
yang timbul karena dipindahkan dari lingkungan yang akrab, perasaan impotensi karena tidak
kompeten dalam lingkungan baru, malu, penghinaan, depresi, perasaan ditolak oleh para anggota
lingkungan baru, kebingungan tentang nilai-nilai, identitas, ketidakmampuan, frustrasi, perasaan
negatif, khawatir untuk belajar bahasa baru, peningkatan iritasi, kelelahan, kritik, penurunan
inisiatif, bahkan keasyikan dengan kebersihan dan kekhawatiran (Bochner, 1982; Brislin dan
Pedersen, 1976; Oberg, 1960; Taft, 1977; Textor, 1966).

G. PENGUKURAN TOURIST-HOST CONTACT


Teknik pengukuran dalam kontak sosial adalah :
1) Pengukuran Bale : pengukuran kontak sosial melalui observasi pada interaksi.
2) Triandis & Triandis’ Social Distance Scale : Pengukuran tidak langsung yang tidak valid
dari kontak sosial antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda karena
perbedaan jarak sosial antar budaya.
3) Hall’s Social Distance Zones: mengukur kontak sosial melalu empat zona jarak sosial:
intim, pribadi, sosial, dan masyarakat.
4) Vassiliou et al.’s measures: mengukur kontak sosial dari jumlah intimasi bersama teman
(maximum contact, some contact, & no contact).
5) Gudykunst’s Measures : menganalisa kontak lintas budaya dengan mengembangkan the
cross-cultural interaction index, the potential for cross-cultural interaction index, the
number of cross-cultural friendship index, & the cross-cultural attitude index.
6) Father’s Direct Measures : menggunakan pengukuran langsung (skala Likert) berkaitan
dengan ekspatriat seberapa sering Australia diundang ke Papua New Guinenan, diminta
sebagai pihak, diundang untuk bermain olahraga, dan berbagi fasilitas rekreasi,
bercampur sekolah, berapa banyak teman baik yang mereka punya dengan tuan rumah.
7) Father’s Indirect Measures: menggunakan pengukuran yang tidak langsung (skala Likert)
khawatir dengan: pengetahuan dan penggunaan bahasa tuan rumah, dan jarak sosial
antara wisatawan dan host (kesamaan dan perbedaan karakteristik dan perilaku).
8) Boncher’s Measures: variable yang mengukur kontak tourist-host lintas budaya: ada di
wilayah mana kontak terjadi, rentang waktu interaksi, tujuannya, jenis keterlibatan,
frekuensi kontak, tingkat keintiman, status dan kekuasaan, dan membedakan
karakteristik partisipan.

16
9) Pengukuran lainnya: Marsh & Henshalls’s measure (skala, frekuensi, intensitas interaksi;
orang yang terlibat; gaya interaksi); Black & Mendenhall’s measures; Kamal &
Maruyama’s direct and indirect measures.

H. PENTINGNYA ANALISIS LATAR BELAKANG BUDAYA


Analisis latar belakang budaya dari negara yang berbeda dan kelompok dalam setiap
bangsa diperlukan (Feather, 1980b; Sutton, 1967) untuk menentukan di mana perbedaan
prioritas nilai antara kelompok-kelompok ini terjadi dan apa pengaruh mereka pada individu dan
kontak sosial dalam berbagai kelompok (Feather, 1980b).

I. STUDI TOURIST-HOST CONTACT


Perlunya studi ini karena adanya kebutuhan untuk memeriksa latar belakang budaya
wisatawan dan host dan menentukan bagaimana perbedaan budaya di latar belakang mereka
mempengaruhi interaksi sosial mereka.

17
BAB III:
III: NILAI

A. DEFINISI DAN KONSEP


Menurut Kluckhohn (1951b) nilai merupakan prinsip umum yang menjelaskan situasi
kehidupan, pilihan, dan pengambilan keputusan. Menurut Rokeach (1973), sistem nilai adalah
sistem kriteria dimana perilaku dievaluasi dan sanksi diterapkan, sistem pedoman sosial yang
menunjukkan norma-norma budaya masyarakat dan menunjukkan cara bagaimana orang harus
bersikap, sistem standar yang memungkinkan individu untuk membuat keputusan tentang
hubungan dengan diri, orang lain, masyarakat, alam dan Tuhan. System nilai relative stabil
sepanjang waktu. Dapat terjadi konflik pada system nilai dan perbedaan budaya dalam orientasi
nilai dapat menimbulkan ketidaksetujuan.

B. NILAI DAN BUDAYA


Budaya adalah system nilai bersama yang dimiliki anggotanya (Bailey, 1991); budaya dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh anggotanya saling terkait (Hofstede, 1980); nilai adalah inti dari
budaya (Kroeber dan Kluckhohn, 1952); nilai bergantung pada budaya (Fridgen, 1991); budaya
yang berakar dari nilai (Hofstede, 1980).

C. HUBUNGAN ANTARA NILAI DAN KONSEP TERKAIT LAINNYA


Banyak penulis menyarankan hubungan antara nilai dan konsep lain, seperi: perilaku,
sikap, persepsi, kepercayaan, aturan, norma, minat, motivasi atau kebutuhan (e.g., Allport, 1961;
Campbell, 1963; Kluckhohn, 1951b; Maslow, 1943, 1959; Mountihno, 1987; Rokeach, 1973;
Stewart. 1972; Williams, 1968; Zavalloni, 1980). Nilai terkait dengan perilaki (Kluckhohn, 1951b;
Rokeach, 1973) karena merupakan penentu budaya perilaku (Zavalloni, 1980). Nilai menentukan
perilaku yang diharapkan untuk ditampilkan oleh anggota dari budaya. Nilai juga berhubungan
aturan dan norma. Nilai menyediakan seperangkat aturan untuk berperilaku(Samovar & Porter,
1988) yang memandu perilaku (Stewart, 1972). Nilai lebih tertuju pada mode perilaku yang
diinginkan, tidak seperti norma yang lebih tertuju hanya pada mode perilaku (Stewart, 1972),
nilai menentukan diterima atau ditolaknya norma tertentu. Norma juga terkait dengan sikap
karena mereka berkontribusi pada perkembangan dan konten dari sikap (Samovar & Porter,
1988); mereka membedakan sikap (Rokeach, 1973)

D. TIPE NILAI DAN KLASIFIKASINYA

18
1. Instrumental Values : berkaitan lebih pada mode perilaku atau cara berperilaku (jujur, taat,
ambisius, mandiri, mencintai).
2. Terminal Values : berkaitan dengan tujuan atau tahap akhir eksistensi (keselamatan,
perdamaian dunia, kebebasan, kehidupan yang nyaman, persahabatan sejati).
3. Number of Values : dibatasi oleh biologi dan social make-up seorang dan kebutuhannya.
4. Primary, Secondary, and Tertiary Values : nilai dapat diklasifikasi berdasarkan
kepentingannya dalam masyarakat. Primary values berada paling atas pada hirearki, karena
paling penting. Secondary values merupakan sangat penting, tetapi tidak sekuat untuk
mengorbankan hidup manusia. Tertiary values merupakan yang paling bawah dalam hirearki.

E. PENGUKURAN NILAI
Terdapa dua tipe pengukuran nilai, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung.
Pengukuran langsung adalah penelitian survey ketika responden diminta untuk mengurutkan nilai
berdasarkan kepentingan nilainya (Rokeach, 1973) atau menilainya menggunakan Skala Likert
(Millbraith, 1980; Moum, 1980). Nilai juga dapat diukur secara tidak langsung dengan
menanyakan responden mengenai nilai yang diinginkan (self-description) atau mendeskripsikan
orang ketiga.
Nilai diukur pada berbagai studi lintas budaya. Berbeda-beda teknik digunakan,
seperti The Allport-Vernon Values Scale, The Allport-Vernon-Lindzey Values Scale, The Ways to
Live Test, The Survey of Interpersonal Values, The description of value orientations, Personal
Value Scales, Ranking procedures, The antecedent-consequent procedure, Osgood’s semantic
differential technique, The Value Survey of Rokeach, Ideographic procedures, dan bermacam
kuisioner untuk mengukur dan pengembangan prosedur untuk tujuan terntu.
Secara umum, sulit untuk mengukur dan menganalisis nilai-nilai dalam penelitian
lintas-budaya. Nilai-nilai konstruksi abstrak, tidak mudah diamati, sulit untuk diterjemahkan ke
dalam bahasa yang berbeda dan interpretasi mereka bergantung pada latar belakang budaya dari
responden dan peneliti.
Pola nilai budaya di Asia, Eropa, Amerika Serikat dan Australia diidentifikasi berdasarkan
orientasi nilai yang membedakan budaya.

19
BAB IV:
IV: PERATURAN
PERATURAN DALAM INTERAKSI SOSIAL

A. DEFINISI DAN KONSEP


Peraturan dijelaskan sebagai pengarah perilaku seseorang dan pedoman untuk tindakan
mereka (Harre & Secord, 1972). Peraturan diterapkan dalam banyak hubungan social; mereka
menunjukkan seseorang mengenai tindakan yang pantas atau tidak pantas dalam interaksi sosial
dan bagaimana seseorang seharusnya atau tidak seharusnya untuk berperilaku (Argyle &
Henderson, 1985b).
1. Peran Peraturan
Peraturan dikembangkan untuk memahami suatu peristiwa, tindakan, dan perilaku;
untuk menjelaskan arti dari suatu situasi dan perilaku dalam situasi tersebut. Peraturan
tersebut dikembangkan untuk mencapai suatu tujuan dalam situasi tertentu dan hubungan
seperti interaksi yang harmonis (Moghaddam er al., 1993), kepuasan dalam interaksi, atau
seperti Goffman (1971), menaruhnya untuk mencapai ‘public order’. Peraturan juga
menyelesaikan masalah dari perilaku sosial dan memciptakan interaksi yang lebih mudah,
dapat diprediksi (Cohen, J.B., 1972), dan lebih dipahami oleh orang lain (Kim, Y.Y., 1988).
2. Penciptaan Peraturan
Peraturan dibuat dengan persetujuan bersama dalam masyarakat, dan oleh karena
itu, mereka dapat diterima secara sosial. Peraturan dalam diikuti maupun dilanggar
(McLaughlin, 1984). Peraturan juga dapat dimodifikasi, diubah, atau ditolak.
3. Tipe Peraturan
Banyak tipe peraturan: interpersonal (harus baik dengan orang lain) dan aturan tugas
(harus membantu). Terdapat aturan yang mengharapakan imbalan dan aturan yang
mencegah konflik; aturan untuk tindakan dan memerintah untuk melakukan; enabling rules
dan restricting rules; aturan eksplisit dan implisit; aturan yang dijelaskan melalui formal
episodes dan enigmatic episodes; dan terdapat aturan yang spesifik dan aturan umum.
4. Aturan situasi (Situational Rules)
Situation rules mengindikasikan bagaimana seseorang harus atau tidak harus
berperilaku dalam situasi tertentu, seperti: bagaimana menyapa seseorang, bertukar hadiah,
bagaimana memulai pembicaraan, apa yang dibicarakan ketika melakukan percakapan, atau
mood yang pantas.
5. Aturan Hubungan (Relationship Rules)

20
Aturan hubungan dapat berupa data eksplisit, secara resmi dikodekan dalam bahasa
tertulis atau lisan dan langsung dinyatakan, dan dikenal seperti dalam kasus peraturan publik
atau institusi. Mereka juga dapat implisit, informal, tidak terlihat, kode perilaku non-verbal
atau tidak langsung menyatakan, dan biasanya dipelajari melalui proses lisasi sociali-,
mengamati tindakan orang lain, seperti dalam kasus aturan yang berkaitan dengan tingkat
keintiman, status, dan dominasi (Kim, YY, 1988;. Moghaddam et al, 1993). Dalam hubungan
sukarela, ada kurang perlu untuk perilaku diatur oleh aturan eksplisit, sebagai lawan perilaku
sukarela atau permanen di mana ada kebutuhan yang lebih besar untuk aturan eksplisit
untuk memandu interaksi.
6. Aturan Universal dan Spesifik
Beberapa aturan interaksi sosial adalah universal dan diterapkan pada hampir semua
situasi dan budaya, namun yang lain menerapkan hanya pada situasi spesifik dan budaya.
7. Orders of Rules (Urutan Aturan)
Terdapat 3 orders of rules (Harre, 1974):
• Urutan pertama aturan 'merupakan etiket untuk situasi sosial' (hlm. 162). Aturan
etiket berbeda antar budaya.
• Urutan kedua aturan 'membangun hubungan sosial. . . dengan mempertahankan
hierarki '(hlm. 163). Aturan-aturan ini menentukan 'bagaimana hak dan hak istimewa.
. . yang akan didistribusikan secara sosial '(Goodenough, 1971). Aturan urutan
pertama dan kedua menentukan apa yang tepat.
• Urutan ketiga aturan, berlaku untuk self-presentation atau self-performance dan
menciptakan self-image (Goffman, 1969).
8. Variasi Aturan
Aturan bervariasi dalam hal kejelasan dan jangkauan (Gudykunst et al., 1988b). Selain
itu, aturan juga bervariasi sehubungan dengan tingkat konsensus.
9. Aturan VS Perintah, Hukum, dan Norma
Terdapat perbedaan antara aturan, perintah, hukum, dan norma. Aturan bersifat
umum dan dapat diikuti, perintah bersifat khusus dan harus diikuti (Harre & Secord, 1972).
Aturan tidak memaksa, hukum bersifat memaksa. Aturan menunjukkan alasan untuk
berperilaku dan dapat diubah, sedangkan hukum menunjukkan penyebab perilaku dan tidak
dapat diubah. Norma merupakan aturan khusus dan merujuk pada keteraturan dalam
perilaku.
10. Norma Fundamental

21
Terdapat dua norma fundamental yang mempengaruhi interaksi dalam budaya, yaitu
norm of justice & norm of reciprocity. Terdapat dua norm of justice, yaitu norm of equity &
norm equality. Norm of reciprocity berarti bahwa seseorang harus membantu dan tidak
menyakiti siapapun yang membantu mereka.
11. Perbedaan Budaya dalam Travel Behaviour
Perbedaan tersebut termasuk: (1) kemampuan dan keinginan untuk berbicara bahasa
Inggris; (2) pola makan berhantung pada factor agama; (3) tingkat jiwa petualang; (4) tingkat
pengalaman perjalanan ke luar negeri; (5) harapan konsumen dari perjalanan ke luar negeri;
(6) perbedaan pola perjalanan dan permintaan dalam hal akomodasi, tujuan perjalanan,
musiman karena perbedaan waktu libur sekolah, dan perilaku berbelanja.
12. Dampak Perbedaan Budaya dalam Aturan Perilaku Sosial
Anggota dari budaya yang berbeda, dapat salah pahaman dan salah mengintepretasi
aturan dari budaya yang berbeda, yang menyebabkan kesulitan dalam interaksi dengan
budaya yang berbeda, menyebabkan kebingungan, menghasilkan ketegangan, bahkan
konflik.
13. Melanggar Aturan
Seseorang biasanya melanggar aturan, karena menolak aturan tersebut atau karena
tidak peduli dengan perbedaan budaya dalam arti aturan, dan melanggar aturan yang
mengganggu interaksi (Goffman, 1963). Turis sering melanggar aturan di jalan, toko, bank,
waktu makan, dan di tempat ibadah menggunakan pakaian yang tidak pantas.
14. Konsekuensi dari Melanggar Aturan
Pada setiap budaya, memiliki konsekuensi spesifik dan konsekuensi ini dapat dilihat
dan diukur. Perbedaan budaya mempengaruhi pemberian konsekuensi terhadap
pelanggaran.
15. Belajar mengenai Aturan
Mempelajari aturan budaya tuan rumah memerlukan pemahaman budaya yang
mendalam, tidak hanya dari pola verbal dan non-verbal, tetapi juga bagaimana dan mengapa
penduduk asli berinteraksi dengan cara yang mereka lakukan. Pemahaman budaya dapat
membuat orang asing berbagi dan memahami pengalaman penduduk asli (Kim, Y. Y., 1988).
16. Mengukur Aturan
Pengukusan dapat dilakukan dengan mengukur keleayakan dari aturan sosial dalam
situasi spesifik, tetapi harus ada persetujuan antara respoden yang dapat menyimpulkan
bahwa aturan tersebut ada.

22
B. PERBEDAAN LINTAS BUDAYA DALAM ATURAN INTERAKSI SOSIAL
Banyak studi yang telah dilakukan mengenai aturan interaksi sosial. Studi ini
menunjukkan terdapat perbedaan budaya pada aturan hubungan sosial (the rules of social
relationship) antara budaya Timur dan Barat (e.g., Hofstede, 1980; Foa et al., 1969; Nakamura,
1964).
Penemuan dari studi masa lalu yang berkaitan dengan (1980) dimensi budaya Hofstede.
Mereka menunjukkan bahwa budaya Timur mendukung aturan yang mendasari nilai-nilai
kolektif. Anggota budaya collectivistic tinggi akan menghindari ketidakpastian, membutuhkan
lebih banyak aturan mengenai outg-group dari anggota budaya individualistik. Anggota budaya
kolektif (yang cenderung tidak berkomitmen dalam hubungan dengan individu dari luar
kelompok) menggunakan bentuk komunikasi tidak langsung dan cenderung memiliki lebih sedikit
keterbukaan diri dalam hubungan. Dalam budaya maskulin ada lebih banyak aturan kinerja,
daripada aturan untuk menjaga hubungan yang harmonis. Anggota budaya lectivistic col- yang
menekankan hubungan ganda membutuhkan lebih banyak aturan yang mengatur hubungan
sosial. Dalam budaya kolektif (Hong Kong, Jepang) aturan kritik publik didukung oleh menghindari
konfrontasi publik dan kritik negatif, tidak seperti dalam budaya indivualistik di mana orang
kurang peduli dengan kritik publik. dalam budaya kolektif yang menekankan harmoni kelompok
yang lebih aturan terkait dengan hubungan yang harmonis, tidak seperti dalam budaya
individualistik yang menekankan self-assertation dan self-reliance (DeRiviera, 1977).

23
BAB V:
V: PERSEPSI

A. DEFINISI DAN KONSEP


Pada umumnya, persepsi adalah pemikiran dimana seseorang melihat dunia disekitarnya
(Schiffman dan Kanuk, 1987). Dalam ranah akademik, persepsi adalah ‘proses dimana terdapat
suatu pemilihan secara individu, organisasi, serta pemahaman terhadap stimulus menjadi sebuah
makna yang cocok dengan gambaran dunia’ (Schiffman & Kanuk, 1987). Samovar dan Porter
(1991) mendefinisikanpersepsi sebagai prses dimana stimulus dipilih dari lingkungan luar dan di
interpretasikan dalam makna yang sesuai dengan pengalaman internal.
1. Persepsi Subjektiv.
Persepsi dan maknanya bersifat subjektif. Makna dari objek atau suatu peristiwa
akan berbeda tergantung pada seseorang. Orang-orang akan memiliki persepsi yang
berbeda karena mereka memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap dunia (Krech &
Crutchfield, 1948).
2. Persepsi Subjektif VS Persepsi Objektiv.
Persepsi yang subjektif terkadang berbeda dengan apa yang sudah terjadi atau
kenyataan. Misalnya persepsi wisatawan yang tidak pernah melihat suatu produk atau
tempat yang dikunjungi sebelumnya (atau hanya memiliki sedikit pengalaman yang sangat
terbatas terhadap hal itu), dan persepsinya sebagian besar didapat berdasarkan informasi
yang diperoleh dari orang pertama yang mengalami hal itu. Dengan tidak dimilikinya
pengalaman (misalnya sudah pernah berkunjung), hal ini dinilai berdasarkan persepsi
subjektif mereka, bukan berdasar apa yang benar-benar terjadi atau realitas. Hal yang sama
berlaku bagi semua orang. Dengan tidak adanya pengalaman dengan penduduk local,
wisatawan akan mengevaluasi penduduk local atas dasar persepsi subjektif mereka.
Membangun konstruksi pemetaan proses persepsi akan membantu menemukan persepsi
subjektif individu serta memutuskan apa saja yang dapat dilakukan untuk mempertahankan,
mengubah, ataupun menggunakan persepsi sebagai kriteria untuk evaluasi.
3. Pentingnya persepsi dalam interaksi social.
Menurut Cook (1979) Konsep persepsi sangat penting bagi interaksi social. Karena
jalan dimana seseorang mempersepsikan satu sama lain mencerminkan dengan bagaimana
mereka berineraksi satu dengan lainya.
4. Aspek kunci persepsi yang mempengaruhi interaksi sosial.

24
Menurut Gudykunst dan Kim (1997) terdapat tigas aspek persepsi yang dapat
mempengaruhi interaksi social dan komunikasi social. Diantaranya yaitu :
a. Persepsi bersifat sangat selektif dan terbatas pada satu situasi, hanya dalam konteks
tertentu dimana interaksi sosial mengambil tempat.
b. Persepsi melibatkan kategorisasi, yaitu pengelompokan seseorang atau benda yang
sesuai dengan karakteristik umum mereka masing-masing, yang memungkinkanya untuk
dapat menggambarkan perbedaan antara satu dengan lainya.
c. Terdapat perbedaan yang tajam antar kategori yang akan menghambat munculnya
persepsi yang akurat
5. Tipe-tipe dalam Persepsi
Terdapat tiga tipe persepsi yang memerankan peran penting dalam interaksi social, yaitu
:
a. Perceptions of other people, persepsi orang lain yang contohnya seperti, ketika
wisatawan mempersepsikan penduduk local dan persepsi penduduk local terhadap
wisatawan.
b. Perceptions of one’s own, merupakan persepsi wisatawan terhadap dirinya sendiri dan
juga bagaimana penduduk local mempersepsikan dirinya.
c. Perceptions onf the perceptions, atau disebut juga meta persepsi yang mengindikasikan
bagaimana orang lain mempersepsikan sebuah persepsi contohnya persepsi wisatawan
terhadap apa yang mereka persepsikan tehadap penduduk local.
6. Pentingnya persepsi yang positif.
Persepsi dapat bersifat positif maupun negative, serta akan bervariasi dalam suatu
ukuran tergantung pada pengaruh lingkungan terhadap penilaian individu. Contohnya,
persepsi wisatawan akan menentukan pilihan tujuan wisata mereka (McLellan dan Foushee,
1983).
7. Persepsi VS Kepuasan.
Persepsi mempengaruhi kepuasan. Menurut Kayo (1975), wisatawan biasanya tidak
memiliki pengetahuan terhadap tempat yang tidak pernah mereka kunjungi sebelumnya.
Persepsi terhadap tempat tujuan, yang mana menjanjikan keserupaan dengan apa yang
ideal terhadap persepsi, akan memberikan wisatawan kepuasan yang terbesar. (Mayo, 1975)
B. Hubungan antara Budaya, Interaksi Sosial dan Persepsi
Persepsi dibentuk oleh sejumlah faktor eksternal ( ekonomi, sosial, budaya, geografis) dan
internal (demografi, psikografi, behaviouristis) serta faktor lingkungan. Faktor-faktor ini sering

25
terkait sama lain. Banyak peneliti telah mencatat hubungan antara budaya, interaksi sosial dan
persepsi.
1. Pengaruh budaya terhadap persepsi.
Cara di mana orang belajar melihat dunia menunjukkan bagaimana mereka harus bersikap.
Individu biasanya berperilaku sekaligus belajar untuk melihat dunia. Dalam memutuskan
proses sendiri dan perilaku orang lain, individu menanggapi rangsangan belajar dari budaya
mereka. stimuli yang mencapai kesadaran dan pengaruh aspek memutuskan persepsi dan
lampiran makna untuk rangsangan tergantung pada proses persepsi bermotif budaya
(Samovar dan Porter, 1988). Orang menanggapi rangsangan yang penting kepada mereka.
Budaya menentukan rangsangan dan kriteria dari persepsi penting. Dalam budaya yang sama
orang yang terkena pengalaman serupa dan menanggapi rangsangan yang sama. budaya yang
berbeda cenderung mengekspos diri untuk berbeda pengalaman sebagai rangsangan yang
berbeda dan persepsi mereka tentang dunia luar bervariasi.
2. Persepsi dalam Keragaman Budaya
Terdapat variasi lintas-budaya dalam persepsi sosial dan suatu peristiwa. variasi lintas-
budaya ini di persepsikan menciptakan hambatan untuk interaksi sosial (Samovar dan Porter,
1988). Selama interaksi social didasari oleh persepsi yang dipengaruhi kebudayaan pada orang
lain, mereka akan menunjukan keunikan persepsinya terhadap dunia kedalam kontak
sosialnya dengan orang lain. Mereka terpengaruh dalam proses interaksi mereka dengan
budaya mereka, yang mengajarkan mereka untuk memahami orang lain dari perspektif
mereka sendiri yang unik. Cara mereka memandang orang lain ditentukan oleh nilai-nilai
budaya yang mereka telah adopsi sebagai cara mereka tumbuh. Oleh karena itu, variasi
budaya bisa menjelaskan perbedaan persepsi. Seringkali, budaya ditentukan perbedaan
persepsi menciptakan masalah dalam interaksi sosial lintas budaya. Hanya pengetahuan dan
pemahaman tentang faktor budaya dapat memfasilitasi interaksi sosial melintasi batas-batas
budaya.
3. Studi empiris : pengaruh budaya terhadap persepsi
Beberapa studi empiris telah dilakukan pada pengaruh budaya terhadap persepsi (Mayo dan
Jarvis, 1981; Schneider dan Jordan, 1981). Redding (1980) dan Mayo dan Jarvis (1981)
menunjukkan bahwa budaya menyebabkan kebangsaan yang berbeda untuk memahami
secara berbeda. Orang-orang yang tumbuh di lingkungan yang berbeda merasakan perbedaan
karena mereka menafsirkan penyebab yang berbeda (Segall et al., 1990).
4. Persepsi kesamaan budaya dengan interaksi social

26
Tajfel (1969) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh kesamaan budaya dan
keakraban. Menurut Robinson dan Nemetz (1988), kesamaan budaya membuat orang-orang
berdampingan sedangkan perbedaan akan memisahkan orang-orang.
5. Kesamaan sikap
Kesamaan sikap merupakan pengaruh yang paling penting pada persepsi dan kontak awal.
Mereka yang berperilaku dengan sikap positif terhadap setiap satu sama lainnya merasakan
lebih dari dari sekadar perilaku orang lain, karena sinyal yang diungkapkan lebih bisa disaring
(Hargie, 1986).
6. Pola interaksi persepsi
Pola interaksi dapat dirasakan berbeda-beda di berbagai budaya. Misalnya,di Australia
mungkin menganggap prilaku formalitas sosial di negara Jepang merupakan perilaku negatif
karena terkait dengan nilai negatif yang ada di Australia, dan informalitas dengan nilai positif
atau santai. Juga, harapan dari interaksi serta pengalaman dengan interaksi (Freedman et al,
1981.; Zimbardo dan Ruch, 1977) bisa berbeda-beda.
7. Persepsi dan media
Persepsi tergantung juga pada sumber informasi dan cara Informasi yang ditafsirkan dalam
berbagai budaya. upaya pemasaran seperti iklan (Gartner dan Hunt, 1987), agen perjalanan
(Perry, 1978), dan wisata brosur (Phelps, 1986) memainkan peran penting dalam
pengembangan persepsi wisata.
8. Distorsi Persepsi
Persepsi dapat terdistorsi oleh sumber informasi yang bias, budaya yang terpengaruh media,
stereotip, etnosentrisme, penampilan fisik, cepat melompat ke kesimpulan, atau 'Hallo Effect'
9. Persepsi Negatif.
Perkembangan persepsi negatif dari budaya yang berbeda tergantung pada: (1) tingkat
budaya / kesamaan dalam jaringan dan makna; dan (2) pengetahuan tentang budaya lain dan
pengaruhnya pada arti dari jaringan (Robinson dan Nemetz, 1988).
10. Pentingnya pemahaman dalam budaya
Untuk menghindari persepsi negatif dari orang-orang dengan budaya yang berbeda dan latar
belakang adalah penting untuk memahami budaya sasaran, bagaimana dan mengapa orang-
orang dari budaya lain, melihat cara mereka berprilaku dan alasan untuk membedakan
budaya, dan akibatnya memodifikasi pemahaman budaya sendiri (Robinson dan Nemetz,
1988).

27
C.Pengukuran Persepsi
Pengukuran persepsi berfokus pada pengukuran dari perasaan responden atau keyakinan
tentang objek, peristiwa atau orang. Teknik pengukuran yang umum digunakan adalah:
1. Pertanyaan terbuka
2. Wawancara
3. Skala Likert (memerlukan indikasi tingkat persetujuan atau ketidaksetujuan dengan berbagai
pernyataan terkait dengan persepsi dari objek / orang)
4. Skala Thurstone (membutuhkan generasi dari sejumlah besar laporan atau kata sifat yang
mencerminkan semua derajat favourableness terhadap suatu objek / orang dan untuk
klasifikasi mereka sesuai dengan derajat mereka favourableness atau unfavourableness,
biasanya pada skala bipolar, dengan 'Sangat menguntungkan' di salah satu ujung, 'sangat tidak
menguntungkan' di ujung lain, dan netral di tengah)
5. Semantic Skala Differential (memerlukan peringkat persepsi pada nomor dari lima atau tujuh
poin skala penilaian dibatasi pada setiap akhir oleh polar kata sifat atau frase (monopolar atau
bipolar)
6. Skala Multidimensional (memberikan perbandingan visual dari persepsi berbeda benda /
orang dengan memplot nilai rata-rata untuk masing-masing objek / orang pada setiap skala).

D. Persepsi Turis dan Penduduk Lokal antara satu dengan yang lain – Asia, Eropa, US dan Australia
Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa wisatawan membentuk persepsi mereka
terhadap penduduk lokal. Meskipun sebagian besar penelitian ini tidak membedakan antara yang
berbeda jenis wisatawan mereka menekankan pentingnya persepsi wisatawan mengembangkan
host dalam persepsi tujuan keseluruhan

E. Persepsi vs Sikap, Citra dan Atribusi


Konsep persepsi terkait dengan konsep sikap, citra dan tribut yang juga dapat mempengaruhi kontak
wisatawan-penduduk lokal.

1. Sikap
Sikap terbentuk atas dasar persepsi (Chon, 1989) dan terdiri dari komponen yang mirip dengan
persepsi (Krech dan Crutchfield 1948; McGuire, 1969; Moutinho, 1987; Newcomb et al., 1965). Hal
ini dimungkinkan untuk memprediksi sikap dari persepsi. Sikap seperti persepsi mungkin positif atau
negatif, dan dapat bervariasi dalam intensitas.

28
2. Image
image menentukan pilihan tujuan wisata, pembangunan pariwisata sukses, strategi pemasaran
pariwisata, dan pengambilan keputusan berwisata. Selanjutnya, image memainkan peran penting
dalam mengevaluasi perilaku turis dan kepuasan. Oleh karena itu, citra adalah konsep yang berguna
dalam menganalisis sosial interaksi antara wisatawan dan penduduk lokal, dan kepuasan dengan
interaksi ini. Metode yang paling umum untuk mengukur citra adalah meminta responden untuk
memilih kata sifat dari daftar yang diberikan yang paling menggambarkan berbagai kelompok
nasional atau tujuan (Katz dan Braly, 1933)

3. Atribusi
Atribusi adalah proses menganggap kualitas karakteristik orang atau sesuatu. Turis dan pendudul
lokal memiliki atribut tertentu untuk perilaku mereka dan mencoba untuk menjelaskan apa yang
menyebabkan perilaku mereka. Proses atribusi tidak hanya penting untuk memahami interaksi sosial
antara wisatawan dan host tapi juga kepuasan mereka dengan satu sama lain. Menurut Valle dan
Wallendorf (1977), perilaku turis mungkin dikaitkan baik untuk wisatawan (atribusi internal seperti
kepribadian), atau situasi dan lingkungan (atribusi eksternal seperti lingkungan dan budaya).

F. Stereotipe
Konsep persepsi juga terkait dengan konsep stereotip (Fridgen, 1991; Lippman, 1965; Renang, 1978;
Triandis, 1972). Stereotip mengacu pada atribusi dari sifat-sifat tertentu, pelabelan, dan persepsi
orang atas dasar karakteristik umum. Jandt (1988) menyebutkan bahwa stereotip sebagai penilaian
tentang orang lain atas dasar kelompok etnis keanggotaan mereka . Stereotip juga dapat
dikembangkan di dasar budaya, pekerjaan, usia, atau jenis kelamin. Scollon dan Scollon (1995)
mencatat bahwa stereotip hanya kata lain untuk generalisasi yang berlebihan. stereotip
menggeneralisasi tentang sekelompok orang atas dasar beberapa individu hanya untuk milik
kelompok itu. Orang menggunakan stereotip ketika mereka menghadapi situasi baru dan tidak
memiliki pengetahuan yang mendalam satu sama lain.

G. Etnosentris
Etnosentrisme adalah kepercayaan superioritas terhadap budaya sendiri; bahwa kebiasaan, tradisi,
kepercayaan dan praktek perilaku budaya sendiri yang lebih baik untuk orang-orang dari budaya lain.
Konsep etnosentrisme berasal dari kata Yunani ethos, orang atau bangsa yang berarti yang berpusat
pada kelompok budaya seseorang. Penilaian orang lain dan interpretasi orang lain dilakukan sesuai

29
dengan kategori budaya sendiri. Orang-orang dari budaya lain yang berperilaku dan melakukan
sesuatu yang berbeda yang dirasakan sebagai buruk santun dan salah. Penilaian orang lain dan apa
yang benar atau salah sering menimbulkan respon negatif terhadap mereka yang secara kultural
berbeda. budaya mereka diperlakukan sebagai penyimpangan dari normalitas.

Etnosentrisme menghasilkan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya dan mengurangi


kesediaan orang untuk memahami budaya yang berbeda (Lustig dan Koester, 1999). Orang-orang
yang percaya pada superioritas budaya tidak mampu menilai secara objektif budaya lain dan orang-
orang yang berbeda, dan menafsirkan dan perilaku hakim lain. batas etnosentrisme kemampuan
rakyat untuk memahami simbol dan makna yang digunakan oleh lainnya budaya. Etnosentrisme juga
cenderung membesar-besarkan perbedaan budaya oleh menyoroti perbedaan yang paling berbeda
dalam keyakinan dan praktik dan mengabaikan orang lain.

30
BAB VI:
VI: KEPUASAN

A. DEFINISI DAN KONSEP


Sesuai dengan definisi standar normatif, kepuasan mengacu pada perbandingan harapan dengan
pengalaman dalam hal kinerja: ketika pengalaman lebih negatif dari ekspektasi, ketidakpuasan
terjadi. Dalam pariwisata, kepuasan terutama disebut sebagai fungsi dari harapan pra-perjalanan
dan pengalaman pasca-wisata (Latour dan Gambut, 1980; Moutinho, 1987; Swan dan Martin, 1981;
Whipple dan Thach, 1988).

Hughes (1991) menemukan bahwa meskipun pengalaman tidak memenuhi harapan wisatawan,
wisatawan tetap puas. Dia dapat dibedakan guished tiga tingkat kepuasan positif: sangat puas,
cukup puas dan puas.

Kepuasan juga dapat dijelaskan sebagai perbedaan antara ekspektasi dan kinerja (Oliver, 1989; Van
Raaij & Francken, 194). Moutinho (1987) dan Van Raaij dan Francken (1984) menyatakan kepuasan
sebagai tingkat perbedaan antara ekspektasi dan persepsi terhadap kinerja. Chon (1989)
mendefinisikan kepuasan wisatawan sebagai kesesuaian antara harapan dan hasil yang dirasakan
dari pengalaman. Hughes (1991) mencatat bahwa kepuasan terutama ditentukan oleh persepsi
wisatawan.

Kepuasan juga disebut sebagai proses perbandingan antara apa yang diharapkan dengan apa yang
diterima (Oliver, 1989). Jika salah satu mendapat apa yang diharapkan, maka akan mendapat
kepuasan, maupun sebaliknya.

Dua dimensi utama dari kepuasan adalah dimensi instrumental yang mewakili kepuasan dengan
kinerja fisik dan dimensi ekspresif yang mewakili kepuasan dengan kinerja psikologis (misalnya,
kenyamanan) (Swan dan Combs, 1976). Dengan mengidentifikasi berbagai dimensi kepuasan, hal
tersebut memungkinkan untuk menganalisis penyebab ketidakpuasan (Ojha, 1982). Menurut Ojha
(1982, p. 23), ada wisatawan yang puas jika terlepas dari masalah dengan produk fisik, dan ada
wisatawan yang tidak puas jika terlepas dari produk terbaik. Produk fisik terbaik mungkin tidak dapat
mengganti ketidakpuasan psikologis. Oleh karena itu, dimensi kepuasan sangat penting.

B. KEPUASAN VS KUALITAS CUSTOMER SERVICE

31
Konsep kepuasan sering kali dibahas dalam kaitannya antara kepuasan dengan hubungan sosial
(Dorman, 1979) dan customer service (Whipple & Thach, 1988). Kepuasan wisatawan juga dapat
dijelaskan dalam hal kepuasan dengan layanan.

1. Konsep Layanan
Konsep layanan telah mendapat perhatian yang cukup besar di bidang pariwisata (Fick dan Ritchie,
1991; Ostrowski et al, 1993;. Augustyn dan Ho, 1998; Lam et al, 1999.), Perhotelan (Lewis dan
Chambers, 1989; Saleh dan Ryan, 1991; Bojanic dan Rosen, 1994), dan rekreasi (MacKay dan
Crompton, 1988). Layanan didefinisikan sebagai setiap aktivitas yang menguntungkan satu pihak
atau pihak lain, dapat ditawarkan, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun.

2. Karakteristik Layanan
Karakteristik unik dari layanan seperti tidak dapat dipahami, perishability, ketidakterpisahan
produksi dan konsumsi, dan heterogenitas terus diakui dalam literatur pemasaran jasa (misalnya,
Berry, 1980; Eiglier dan Langeard, 1975; Lovelock, 1991).

3. Service Encounter
Service encounterdidefinisikan sebagai momen interaksi antara pelanggan dan penyedia, atau
interaksi diantara pelanggan dan penyedia layanan (Czepiel et al, 1985;. Shostack, 1985; Solomon et
al, 1985;. Surprenant dan Salomo, 1987 ).

4. Klasifikasi Layanan
Mill’s (1986) membagi layanan menjadi tiga kategori utama:
a) Maintenance-interactive: layanan yang sifatnya sederhana dan ditandai dengan
sedikit ketidakpastian dalam transaksi.
b) Task-interactive: ditandai dengan lebih besarnya resiko dalam interaksi dan
tergantung pada layanan penyedia informasi dan keahlian.
c) Personal-interactive: merupakan interaksi paling intens dari jenis lainnya.
5. Kualitas Layanan
Parasuraman et al. (1985) mencatat kualitas layanan merupakan konstruk yang sulit
dipahami, tidak tepat didefinisikan, dan tidak mudah diungkapkan oleh konsumen.
Menurut Lehtinen dan Lehtinen (1982), ada tiga dimensi berbeda dari kualitas
layanan:
a) Fisik, yang meliputi aspek-aspek fisik dari layanan
b) Perusahaan, yang melibatkan citra organisasi layanan atau profil,
c) Interaktif yang berasal dari interaksi antara personil kontak dan pelanggan.

32
6. Model Kualitas Layanan Panasuraman et.al.’s SERVQUAL
Parasuraman et al. (1985, 1986, 1988, 1990) dan Berry et al. (1990) pengembangan model kualitas
pelayanan SERVQUAL. Model SERVQUAL berkontribusi terhadap teori kualitas layanan dalam dua
cara. Pertama, memasukkan aspek perilaku konsumen dalam konsep kualitas layanan. Kedua,
mengidentifikasi dan menjelaskan dimensi tertentu atau faktor-faktor yang konsumen dan penyedia
layanan gunakan untuk menilai dan mengevaluasi kinerja pelayanan dan standar kualitas.

Kriteria dari model SERVQUAL ini digunakan oleh konsumen dalam menilai kualitas pelayanan.
Kriteria ini dibagi menjadi lima dimensi kualitas pelayanan: nyata, dapat dipercaya, responsif ,
jaminan, dan empati.Model SERVQUAL telah banyak diterapkan dalam studi empiris dalam berbagai
disiplin ilmu dan telah terbukti sangat berharga dan sesuai untuk berbagai layanan.

C. PENGUKURAN KEPUASAN
Terdapat dua pendekatan untuk mengukur kepuasan (Maddox, 1985):
1. Pengukuran kepuasan secara keseluruhan
Pendekatan pertama adalah untuk mengukur kepuasan secara keseluruhan terhadap benda atau
orang. Pengukuran ini biasanya mudah dan membutuhkan usaha yang responden minimal (Maddox,
1985). Namun, masalahnya adalah dalam memilih dari sejumlah teknik pengukuran yang ada
mengenai kepuasan secara keseluruhan. Biasanya teknik scaling digunakan.

2. Pengukuran kepuasan dengan berbagai dimensi


Pendekatan kedua adalah untuk mengukur kepuasan dengan berbagai dimensi berkontribusi
terhadap pengukuran kepuasan keseluruhan (Maddox, 1976; Smith et al, 1969.). Selain itu, karena
produk pariwisata adalah gabungan dari banyak komponen yang saling terkait, pengukuran
kepuasan dengan produk pariwisata membutuhkan: pertama-tama, identifikasi masing-masing
komponen produk ini dan pengukuran kepuasan dengan setiap komponen (Pizam et al., 1978).

33
BAB VII: KOMPONEN UTAMA DAN ANALISIS FAKTOR DALAM ANALISIS
LINTAS BUDAYA

A. Analisis Komponen Utama


Analisis Komponen adalah metode klasifikasi yang berasal dimensi antara satu set variabel
mengukur populasi yang sama (Menggunakan sampel dengan ukuran yang sama). Dengan demikian
dibutuhkan sekelompok variabel diukur selama sampel atau populasi pengamatan, dan meneliti
hubungan timbal balik di antara mereka. Hasil analisis tersebut adalah baru set variabel (yang
menggantikan variabel asli) dan yang menunjukkan set variabel yang saling terkait (yang berarti
variabel asli) hubungan. Oleh karena itu interpretasi set baru variabel menjadi fokus . Itu alasan
untuk mencari tahu kemungkinan kombinasi dari variabel asli untuk membuat variabel baru tiga kali
lipat:

1. Menghapus collinearity.
Variabel baru dapat dihasilkan dengan cara sepertimembenahi variabel asli ke kelompok
yang memiliki sedikit collinearity.
2. Mengurangi jumlah variable asli.
Jika collinearity yang signifikan antara satu set variabel, pengurangan jumlah variabel
yang bermakna dimungkinkan. Collinearity menunjukkan bahwa terdapat dua atau lebih
variabel mengukur karakteristik yang sama. Variabel baru yang dihasilkan dapat
digunakan untuk menunjukkan berkurangnya set variabel (karena variabel baru yang
dihasilkan bertahap di urutan signifikansi) menghilangkan redundansi dan membantu
dalam identifikasi variabel yang paling berguna untuk memprediksi.
3. Mengidentifikasi dimensi atau kelas (kelompok) antara himpunan pengamatan atas
dasar serangkaian langkah-langkah variabel.
Analisis ini dapat digunakan untuk mencari order (dimensi) dalam besar kumpulan data.
Setiap bentuk variabel baru dimensi dalam data set pada masing-masing beban variabel
untuk berbagai derajat. Arti dari dimensi kemudian dapat dipertimbangkan.
B. Uji Signifikansi
Meskipun Analisis Faktor dan Analisis Komponen dasarnya teknik statistik, mereka
juga dasarnya deskriptif dari statistik inferensial. Hipotesis secara umum dapat diuji dan
deskripsi rinci dapat dibentuk menjadi kesimpulan, tapi tidak inferensi statistik dalam arti
bahwa uji statistik signifikansi diterapkan. Faktor teknik analisis tidak bergantung pada uji

34
statistik signifikansi. Ada asumsi bahwa sampel yang representatif akan dianalisis (a
kebutuhan desain penelitian) tetapi kebutuhan distribusi normal jarang bertemu. Pengujian
terhadap signifikansi statistik dari komponen beban jarang digunakan.
C. Segmental Correlation
Dasar kedua Komponen Utama dan Analisis Faktor adalah bahwa setiap variabel
dapat dibagi menjadi beberapa bagian independen dalam hal yang hubunganya dengan
variabel lain dan karena itu, bahwa setiap korelasi Koefisien dapat dibagi sama menjadi
bagian-bagian yang independen.
D. Representasi Dasar Korelasi dan Penggalian Komponen
Metode yang paling mudah dipahami mewakili korelasi antara dimensi data dalam
ruang multi-dimensi geometris. Selain itu, yang paling mudah dipahami metode untuk
mengekstraksi komponen (Atau faktor) adalah metode centroid, yang tidak digunakan saat
ini dengan perkembangan komputer, dan telah digantikan oleh matriks aljabar. Akibatnya,
dalam mewakili korelasi geometris dan menggunakan metode centroid, tujuannya adalah
untuk memberikan pemahaman yang relatif mudah dari proses yang terlibat.
E. Communality
proporsi varians untuk setiap variabel dipertanggungjawabkan oleh semua
komponen. komunalitas harus sama 1.0 etika jumlah komponen yang digunakan dalam
perhitungan sama nomor variabel.
F. Scores
Dalam Analisis Komponen Utama itu diinginkan untuk memiliki ukuran hubungan
setiap kasus data asli ke masing-masing kepala linear komponen.
G. Analisis Faktor
Analisis faktor adalah istilah yang berdiri untuk beberapa jenis analisis termasuk
Principal Axes Analisis Faktor, Analisis Faktor Alpha, Gambar Analisis Faktor, dan Direct
Analisis faktor, masing-masing yang mungkin diputar secara orthogonal atau miring. Selain
target rotasi mungkin baik 'struktur sederhana' atau didefinisikan terlebih dahulu dari
analisis.
H. Perbedaan antara Analisis Komponen Utama dengan Analysis Faktor
Perbedaan utama antara kedua metode diagonal di matriks adalah korelasi.
I. Faktor Rotasi
Ada beberapa metode untuk memutar faktor di sekitar asal sehingga untuk
meningkatkan 'fit' faktor untuk kelompok variabel. rotasi ini diperlukan karena faktor

35
pertama terletak (menggunakan Axes Principal Metode) adalah lokasi berarti antara
variabel, dan dalam banyak kasus ini mungkin tidak membedakan kelompok sejauh terbaik.
J. Faktor Nilai
Nilai faktor yang setara dengan nilai komponen utama, telah dibahas sebelumnya,
untuk Analisis Faktor. Tidak seperti skor komponen yang secara langsung dihitung, faktor
hanya dapat diperkirakan. Hal ini karena Faktor kekhawatiran analisis varians hanya umum,
dan masing-masing nilai yang diamati memiliki kombinasi varians umum dan unik dalam
proporsi yang tidak diketahui.
K. Mengontrol input matrix ke dalam Komponen Utama dan Analisis Faktor
Kebanyakan prosedur analisis modern memungkinkan analis untuk beragam sifat
dari matriks masukan ke kedua Komponen Dasar dan Factor Analisis. Artinya,
matriks input tidak harus berada di dua Bentuk sudah dibahas: matriks korelasi
untuk Kepala Sekolah Komponen dengan diagonal 1,0, dan matriks korelasi dengan
communalities sebagai jejak untuk Analisis Faktor. Nilai eigen dan vektor eigen
faktor metode analitik dapat diekstraksi dari persegi setiap matriks simetris.

L. Mode Alternatif Input Matrix untuk Komponen Utama dan Analisis Faktor

Terlepas dari Memasukkan korelasi yang berbeda matriks ada lagi pertanyaan
tentang pilihan struktur data matriks.
Tubuh data asli biasanya diwakili dalam mode ditampilkan pada Gambar 7.8. Tubuh
data memiliki n variabel untuk pengamatan N selama periode waktu t.

36
BAB VIII:
VIII: MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL UNTUK ANALISIS LINTAS
BUDAYA

A. APAKAH MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL?


pemodelan persamaan struktural adalah teknik multivariat yang menggabungkan (Konfirmasi)
pemodelan analisis faktor dari teori psikometri dan pemodelan persamaan struktural yang terkait
dengan ekonometrik. Syarat 'Struktural' mengasumsikan bahwa parameter mengungkapkan adanya
hubungan kausal. Namun, teknik ini tidak 'menemukan' hubungan kausal. 'Paling-paling,
menunjukkan apakah asumsi kausal tertanam dalam model cocok dengan sampel data ‘.

B. TUJUAN DARI MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL


Tujuan utama dari SEM adalah untuk menjelaskan pola rangkaian yang saling terkait
hubungan ketergantungan secara bersamaan antara satu set laten (teramati) konstruksi, masing
masing diukur oleh satu atau lebih manifest (Diamati) variabel.

C. APLIKASI MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL


Semua aspek pemodelan SEM harus diarahkan oleh teori, yang penting untuk pengembangan model
dan modifikasi. Sebuah penyalahgunaan jelas SEM dapat terjadi ketika data hanya dipasang ke SEM
cocok dan teori ini kemudian diperluas dari hasil analisis.

Ada tiga komponen umum model persamaan secara struktural: 1) Analisis jalur; 2) sintesis
konseptual variabel laten dan pengukuran model; dan 3) prosedur estimasi umum (Bollen, 1989).

D. APLIKASI UNTUK PARIWISATA


Pemodelan SEM belum banyak digunakan dalam disiplin pariwisata, di luar Amerika Serikat. Namun,
penerapan SEM dalam pariwisata penting sebagai alat untuk mempromosikan penelitian kualitas
yang lebih baik. peneliti pariwisata yang sering dihadapkan dengan serangkaian pertanyaan yang
saling terkait. variabel apa yang menentukan kunjungan wisatawan ke tujuan tertentu? Bagaimana
permintaan sebagai laten variabel menggabungkan dengan variabel pasokan untuk mempengaruhi
kunjungan wisatawan? Bagaimana permintaan dan penawaran variabel secara simultan
mempengaruhi pembelian turis keputusan dan kepuasan liburan? Bagaimana kepuasan liburan

37
wisata menghasilkan kunjungan yang berulang dan loyalitas untuk tujuan? Banyak yang sama
variabel independen mempengaruhi variabel dependen yang berbeda dengan yang berbeda efek.
teknik multivariat lainnya tidak menjawab pertanyaan ini dalam metode komprehensif tunggal.

Petrick dan Backman (2002) menemukan bahwa kepuasan golf wisatawan 'keseluruhan ditentukan
oleh kepuasan informasi dan kepuasan atribut. Atribut yang berhubungan dengan pengalaman
resort memiliki lebih berpengaruh pada kepuasan keseluruhan dari atribut yang berhubungan
dengan informasi yang diberikan dan pengalaman emas.

E. TIPE MODEL LISREL


LISREL merupakan singkatan Linear Structural Relationship yang berhubungan dengan komputer.
Program untuk analisis struktur kovarians ini pada awalnya diperkenalkan oleh Joreskog dan Van
Thillo pada tahun 1972. Model LISREL umum memiliki banyak submodels sebagai kasus khusus.
Dalam hal ini, notasi matematika disajikan di halaman berikut, diikuti oleh presentasi dari submodels
yang berbeda.

Singkatan :

Submodel 1 adalah model LISREL, yang dirancang untuk mengukur variabel yang diamati.
model hanya memiliki x,?, dan? -error variabel. Tidak ada y dan? -variables (Lihat singkatan).
Data yang digunakan mengukur hanya korelasi antara konstruk.

38
F. TINGKATAN YANG TERDAPAT MODEL PERSAMAAN STRUKTURAL
Terdapat delapan tahap yang terlibat dalam proses persamaan struktural pemodelan dan
pengujian.

1. TINGKAT 1
Bagian pertama dari tahap 1 berfokus pada pengembangan teori Model dengan hubungan (relasi
didefinisikan) antara konstruk laten dan variabel terukur mereka, mencerminkan hipotesis yang
diajukan. Bagian ini merupakan pengembangan dari model struktural.

2. TINGKAT 2
Tahap 2 melibatkan pembangunan jalur diagram. Untuk memahami simbol geometris diwakili dalam
model dan menggambar jalur diagram , LISREL membutuhkan keakraban dengan huruf Yunani yang
menggambarkan matriks LISREL. Huruf Yunani yang disajikan sebelumnya.

3. TINGKAT 3

39
Tahap 3 melibatkan spesifikasi matematika model formal dengan menggambarkan sifat dan jumlah
parameter yang akan diestimasi (ukuran variabel yang membangun), menerjemahkan diagram jalur
ke serangkaian persamaan linear yang menghubungkan konstruksi, dan menerjemahkan yang
ditentukan Model ke dalam bahasa LISREL dalam bentuk matriks, yang menunjukkan korelasi
hipotesis antara konstruk atau variabel. Koefisien matriks mewakili jalur dalam model.

4. TINGKAT 4
Tahap 4 mempertimbangkan apakah varians / kovarians atau matriks korelasi adalah yang akan
digunakan sebagai input data, dan ini melibatkan penilaian dari sampel ukuran. Matriks kovarians
digunakan ketika tujuannya adalah untuk menguji teori, menyediakan perbandingan antara populasi
yang berbeda atau sampel, atau untuk menjelaskan varians total konstruksi yang diperlukan untuk
menguji teori. Namun, karena diagonal dari matriks tidak satu, interpretasi hasil lebih sulit karena
koefisien harus ditafsirkan dalam hal satuan ukuran untuk konstruksi. Korelasi matriks
memungkinkan untuk perbandingan langsung dari koefisien dalam model. Karena itu, itu lebih
banyak digunakan. Matriks korelasi juga digunakan untuk memahami pola hubungan antara
konstruksi. Hal ini tidak digunakan untuk menjelaskan varians total konstruk yang diperlukan dalam
pengujian teori. Dengan demikian, interpretasi hasil dan generalisasi mereka untuk situasi yang
berbeda harus dilakukan dengan hati-hati ketika matriks korelasi digunakan.

5. TINGKAT 5
Tahap 5 alamat isu identifikasi model, yaitu, sejauh mana informasi yang diberikan oleh data yang
cukup untuk memungkinkan parameter perkiraan. Jika model tidak diidentifikasi, maka tidak
mungkin untuk menentukan parameter model. Sebuah kondisi yang diperlukan untuk identifikasi
adalah bahwa jumlah parameter independen kurang dari atau sama untuk jumlah elemen dari
matriks sampel covariances antara variabel yang diamati.

6. TINGKAT 6
Tahap 6 melibatkan penilaian dari model fit menggunakan berbagai langkah-langkah untuk
pengukuran dan struktural model (dan mendukung / menolak hipotesis yang diajukan). Namun,
sebelum mengevaluasi kebaikan-of-fit antara data dan model beberapa asumsi SEM harus dipenuhi.

7. TINGKAT 7
Tahap 7 mempertimbangkan apakah modifikasi model harus dibuat di terang hasil yang diperoleh
pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini analisis menjadi eksplorasi di alam dan hasil dari analisis
sebelumnya digunakan untuk mengembangkan model pas lebih baik. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi spesifikasi kesalahan dan memproduksi model baru yang sesuai data yang lebih
baik. ini baru Model harus diverifikasi pada sampel independen kedua.

40
8. TINGKAT 8
Tahap 8 melibatkan lintas validasi model dengan set data baru. Hal ini dilakukan dengan membagi
sampel menjadi dua bagian untuk melakukan validasi uji. Analisis LISREL multisample dapat
digunakan untuk tujuan ini. Itu Uji silang validasi dilakukan ketika indeks modifikasi yang digunakan
dan model tidak memberikan fit diterima. Tes ini juga harus dilakukan ketika model menunjukkan fit
diterima dalam analisis pertama. Selain itu, cross-validasi dapat digunakan untuk membandingkan
model bersaing dalam hal validitas prediktif dan memfasilitasi pemilihan model; untuk
membandingkan perbedaan antara sampel milik berbeda populasi dan menilai dampak dari variabel
moderating (Sharma et al., 1981).

41
BAB IX:
IX: ANALISIS BUDAYA: IMPLIKASI PEMASARAN DAN MANAJEMEN

A. RINGKASAN SINGKAT MENGENAI KONSEPTUAL


Konteks lintas budaya dari latar belakang budaya wisatawan dan tuan rumah, khususnya persamaan
dan perbedaan dari latar belakang budaya mereka, paling menentukan interaksi. Nilai budaya
variable yang paling penting dalam membedakan budaya, menentukan persamaan dan perbedaan
latar belakang budaya (Hall, 1976, 1977; Hofstede, 1980; Kluckhohn & Stridtbeck, 1961; Rokeach,
1973). Nilai budaya menentukan aturan dari perilaku sosial, yang bervariasi tiap budaya dan
menyebabkan kesulitan dalam berinteraksi. Aturan dalam interaksi sosial mempengaruhi
perkembangan persepsi sosial, yang juga berbeda antar budaya. Persamaan persepsi budaya
menghasilkan persepsi positif dan mendorong interaksi sosial. Perbedaan budaya menghasilkan
persepsi yang salah dan menghalangi interaksi.

Interaksi sosial antara wisatawan dan tuan rumah dapat dijelaskan dalam konteks service encounter
(Riley, 1995). Perbedaan budaya antara wisatawan dan penyedia layanan dapat mempengaruhi
pengalaman sosial mereka. Kualitas layanan yang ditawarkan kepada wisatawan dengan penyedia
layanan mempengaruhi kepuasan wisatawan terhadap host. Persepsi positif dari penyedia layanan
menciptakan persepsi positif terhadap kualitas layanan dan menghasilkan kepuasan dengan layanan,
dan sebaliknya.

B. MODEL BUDAYA HUBUNGAN KONSEPTUAL


Variabel dependen utama (kriteria) dalam model interaksi sosial (SI) antara wisatawan dengan tuan
rumah dan kepuasan interaksi antara wisatawan dengan tuan rumah (SAT). Variabel independen
adalah nilai-nilai budaya (CV), aturan interaksi sosial (RSI), dan persepsi (PER). Aturan interaksi sosial
dan persepsi juga dapat diperlakukan sebagai variabel dependen karena mereka bergantung pada
nilai-nilai budaya. Juga, persepsi mungkin tergantung pada aturan interaksi. Nilai-nilai budaya
menentukan aturan perilaku sosial dan mempengaruhi persepsi orang tentang satu sama lain, yang
pada gilirannya, menentukan interaksi sosial mereka dan kepuasan atau ketidakpuasan dengan
interaksi ini. Variabel kontrol seperti karakteristik demografi dan sosial ekonomi dari subyek, atau
lama tinggal, jenis pengaturan perjalanan, dan lain-lain tetap konstan untuk menetralisir efek
mereka.

42
C. ATRIBUT MODEL
Model ini menunjukkan bahwa interaksi sosial dan kepuasan terhadap interaksi ini merupakan
fenomena budaya, karena dipengaruhi oleh faktor budaya seperti nilai-nilai budaya, aturan
hubungan sosial, dan persepsi. Variabel model tersebut merupakan konsep multidimensi dan
multifaceted dan harus dianalisis sebagai bagian dari sistem karena pengaruh timbal balik mereka
dan sifat dari hubungan khusus di antara mereka.

D. PENTINGNYA PASAR WISATAWAN ASIA


Saat ini, industri pariwisata internasional dihadapkan untuk meningkatkan jumlah inbound travellers
dari Asia. Pasar wisata Asia berdiri untuk menjadi sumber terbesar wisatawan internasional. Pasar
Asia juga menunjukkan pertumbuhan tahunan terkuat yang mendatangankan wisatawan ke
Australia. Menurut prediksi, pasar Asia akan menjadi sumber terbesar dari wisatawan internasional
ke Australia setelah tahun 2000. luar tahun 2000.

Akibatnya, tujuan wisata akan menghadapi tantangan belajar tentang pasar wisata Asia dan
mengembangkan program pemasaran yang responsif dan yang berorientasi budaya. Sukses dalam
mempertahankan dan meningkatkan pasar Asia di Australia akan bergantung pada kecepatan dalam
menanggapi kebutuhan pasar Asia yang berbeda.

Oleh karena itu, penting untuk memahami orientasi budaya pasar-pasar baru yang muncul untuk
tujuan pemasaran dan desain kampanye iklan (Mok dan Armstrong, 1995). Kemampuan untuk
menanggapi kekhasan setiap pasar dan mengadopsi tidak hanya program pemasaran global tetapi
juga program regional yang akan memberikan tantangan (mcallan, 1997).

E. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian utama penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi perbedaan budaya utama antara pasar wisatawan Asia dan populasi host di
Australia, sebagai wakil dari budaya barat.
2. Menentukan dimensi kunci dari perbedaan ini dan indikator mereka.
3. Menemukan hubungan utama antara perbedaan budaya dan kepuasan wisatawan Asia
4. Mengembangkan model budaya yang dapat memberikan wawasan mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi interaksi host-wisatawan Australia Asia, dan kepuasan dengan interaksi
ini.
5. Mengidentifikasi tema besar dari suatu budaya sebagai strategi promosi yang ditujukan pada
pasar pariwisata Asia.

43
F. STUDI METODOLOGI
1. Sampel
Sebuah sampel dari 618 wisatawan Asia (Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Mandarin
dan Thailand) mengunjungi wilayah Gold Coast, tujuan wisata utama Australia, secara
pribadi diwawancarai dalam bahasa mereka sendiri, bersama 250 penyedia layanan Australia
yang dipilih secara acak dari berbagai sektor industri pariwisata dan perhotelan
2. Instrument
Lima kelompok pengukuran nilai-nilai budaya, aturan perilaku sosial, persepsi
pelayanan, bentuk interaksi, dan kepuasan dengan interaksi diukur dengan kuesioner
terstruktur.
3. Prosedur:
Instrumen awalnya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Asia dan kembali
diterjemahkan ke bahasa Inggris, pre-test dua kali dalam dua studi percontohan.
4. Analisis data
Analisis difokuskan hanya pada variabel yang secara statistik berbeda antara populasi Asia dan
Australia. Mann-Whitney U-Test mengidentifikasi perbedaan-perbedaan. Dimensi dasar dari
perbedaan budaya (nilai gap) ditentukan dengan Analisis Komponen Utama. Analisis Komponen
terpilih (bukan Analisis Faktor umum) untuk meminimalkan jumlah faktor yang diperlukan untuk
memperhitungkan porsi maksimum varians yang diwakili dalam set asli variabel, dan untuk
mengurangi varians spesifik dan kesalahan sebagai proporsi varians keseluruhan. Oblique rotations
dipilih untuk memperoleh beberapa faktor yang saling terkait secara teoritis yang berarti, sebagai
lawan rotasi orthogonal, yang mengurangi jumlah variabel untuk satu set yang lebih kecil dari faktor
independen terlepas dari bagaimana bermakna faktor yang dihasilkan. Hanya faktor memiliki akar
laten (eigen) lebih besar dari 1 dan beban faktor lebih besar dari 0,6 dianggap signifikan. Comrey di
rambut et al. (1995) menunjukkan bahwa beban lebih dari 0,63 (40 persen tumpang tindih varians)
sangat baik dan di atas 0,7 (50 persen dari tumpang tindih varians) sangat baik.

44
DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Philip L. (2005). Tourist Behaviour: Themes and conceptual schemes. NY: Channel view
publications

Richard, G. and Munsters, W. (ed). (2010). Cultural tourism research methods. Cambridge: CAB
International

Reisinger, Y. and Turner, L.W. (2003). Cross-cultural behaviour in tourism: Concept and analysis. San
Francisco: Butterworth Heinemann

45

You might also like