Salah satu usaha yang dilancarkan oleh musuh-musuh kekristenan untuk membasmi kekristenan pada abad permulaan adalah penganiayaan. Kesebelas rasul Tuhan Yesus ditangkap dan dibunuh. Hanya Rasul Yohanes yang selamat dari kematian, tetapi dibuang ke pulau Patmos. Dia meninggal dunia dalam usia yang sudah lanjut, lebih dari 90 tahun. Ketika berada di pulau Patmos, Allah memberikan banyak penglihatan kepada Rasul Yohanes, salah satu yang paling menakjubkan adalah tentang kemuliaan Anak Domba. Penglihatan tentang kemuliaan Anak Domba itu diawali ketika Rasul Yohanes melihat Tuhan Allah duduk di atas takhta-Nya, dan di sebelah kanan-Nya adalah sebuah gulungan kitab yang telah dimeterai dengan 7 meterai. Lalu Rasul Yohanes melihat seorang malaikat yang gagah perkasa, berseru dengan suara nyaring, “Siapakah yang layak membuka gulungan kitab itu dan meterai-meterainya?” Setelah ditunggu cukup lama, ternyata tidak ada jawaban, suasana yang hening, terasa amat mencekam pada waktu itu. Rupanya tidak ada seorang pun yang di sorga, di bumi, atau yang ada di bawah bumi, yang dapat membuka gulungan kitab itu. Karena itu, menangislah Rasul Yohanes dengan amat sedih, karena tak seorang pun yang dianggap layak untuk membuka gulungan kitab itu. Namun kemudian, berkatalah seorang dari tua-tua itu kepada Rasul Yohanes, “Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya” (ay. 5). Maka Rasul Yohanes melihat di tengah-tengah takhta dan keempat makhluk itu dan di tengah-tengah tua-tua itu, berdiri seekor Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk tujuh dan bermata tujuh. Lalu datanglah Anak Domba itu dan menerima gulungan kitab itu dari tangan Dia yang duduk di atas takhta itu. Ketika Anak Domba mengambil gulungan kitab itu, tersungkurlah keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu di hadapan Anak Domba itu, masing-masing memegang satu kecapi dan satu cawan emas, penuh dengan kemenyan: itulah doa orang kudus. Selanjutnya Rasul Yohanes menyaksikan tiga gelombang pujian dan pemujaan kepada Anak Domba. Gelombang I: Keempat makhluk dan 24 tua-tua, berkata, “Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah- Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa …” (ay. 9-10). Siapakah keempat makhluk itu? Mereka adalah para Cherubim yang dengan setia melayani Tuhan di sekitar tahta-Nya. Masing-masing makhluk itu mempunyai enam sayap: dua sayap menutupi muka (melambangkan kerendahan hati); dua sayap menutupi kaki (melambangkan ketaatan), dua sayap untuk terbang (melambangkan siap melayani setiap saat). Di bagian luar dan dalam dipenuhi dengan mata, menyatakan mata rohani yang sangat jeli dan terang, yang dengan cepat dan tepat mengenal kehendak Allah dan melaksanakan-Nya. Jika dipahami secara harafiah, keempat mahkluk itu sangat aneh dan menakutkan. Mereka mirip“dewa bertangan seribu” dan “dewa bermata seribu” dalam agama Hindu. Tetapi sesungguhnya mereka bukan dewa, melainkan malaikat yang siap melayani Tuhan. Gelombang II: Malaikat-malaikat yang jumlahnya berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa. Kata mereka, “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!”(ay. 12). Gelombang III: Semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata, “Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama- lamanya!” (ay. 13). Ketiga gelombang pemujaan kepada Anak Domba itu dikonfirmasi oleh keempat makhluk di atas dengan perkataan “Amin.” Dan para tua-tua itu jatuh tersungkur dan menyembah. Selanjutnya yang perlu kita pikirkan, mengapa Anak Domba itu mendapatkan pujian dan pemujaan yang begitu tinggi dari semua makhluk yang ada di sorga? Ada tiga penjelasan yang penting:
Pertama, Anak Domba itu telah keluar sebagai pemenang.
Dalam Wahyu 5:5 dikatakan, salah satu tua-tua itu berkata kepada Rasul Yohanes, “Jangan engkau menangis! Sesungguhnya, singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu.” Ungkapan “singa dari Yehuda” dapat dilihat kembali dari Kejadian 49:9, di mana salah satu putra Yakub, yakni Yehuda, disebut sebagai anak singa. Tapi dalam ayat ini, Kristus yang merupakan keturunan dari Yehuda bukan lagi menjadi anak singa, tetapi singa yang perkasa. Singa adalah raja dan penguasa hutan. Kekuatan dan auman singa menempatkannya sebagai penguasa hutan yang menggentarkan siapa pun. Ungkapan “singa” ini menggambarkan Kristus sebagai pemenang. Istilah “tunas Daud” menyatakan Kristus adalah keturunan Daud, Mesias yang dijanjikan. Dengan demikian, kedua istilah di atas, yaitu “singa dari Yehuda” dan tunas Daud”, memiliki latar belakang Yahudi yang kental. Kedua sebutan yang menunjuk kepada Mesias telah datang, di mana Kristus secara gemilang telah melakukan tugas sebagai Mesias, sehingga Dia layak dipuji, dipuja dan dimuliakan. Suatu waktu, Henry Standley bertemu dengan Pdt. David Livingstone, seorang misionari besar Inggris yang telah menghabiskan hidupnya selama 30 tahun di hutan Afrika, tapi dinyatakan hilang selama dua tahun. Setelah bertemu Livingstone, Henry Standley mengajaknya pulang ke Inggris bersamanya, tetapi Livingstone menolaknya. Dua hari kemudian, Livingstone menulis dalam buku hariannya: “19 Maret adalah hari ulang tahunku, Yesusku, Raja hidupku. Semua milikku, sekali lagi saya persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu. Terimalah saya, dan kabulkan doa saya, oh Bapa yang murah hati, sehingga dalam satu hari ke depan saya boleh menyelesaikan semua tugas-tugas yang Engkau serahkan padaku. Dalam Yesus saya memohon, amin.” Setahun kemudian, salah seorang pembantunya menemukan Livingstone mati dalam keadaan berlutut berdoa. Pada saat pemakaman, begitu banyak orang yang datang memberikan hormat yang begitu besar. Dalam salah satu bukunya dia menulis, “Begitu banyak orang berbicara tentang pengorbanan yang saya lakukan dengan menghabiskan begitu banyak waktu saya di Afrika. Dapatkah disebut sebagai suatu pengorbanan bila hanya membayar kembali sedikit dari begitu besar utang saya kepada Tuhan kita, yang tidak dapat kita bayar kembali? Apa yang saya lakukan bukan pengorbanan, tapi suatu hak istimewa – privilege.” Di tempat yang lain, dia juga menulis, “Saya tidak pernah melakukan pengorbanan. Kita tidak boleh membicarakan pengorbanan ketika kita teringat akan pengorbanan besar di mana Kristus telah meninggalkan takhta sorga untuk berkorban bagi kita, orang yang berdosa.”
Kedua, Anak Domba telah terlebih dahulu menderita.
Dalam puji-pujian gelombang I dan II dikatakan bahwa Anak Domba layak membuka gulungan kitab dan menerima segala kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian, karena Ia “telah disembelih”. Yesaya 53:7 mencatat: “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang yang mengunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Demikian pula dalam Markus 10:45 dikatakan, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan (lutron) bagi banyak orang.” Kata “layak” (worthy) dihubungkan dengan seseorang yang memenuhi persyaratan karena telah melaksanakan suatu tugas dengan sempurna. Jadi, alasan mengapa Anak Domba itu begitu dimuliakan adalah karena Anak Domba itu terlebih dahulu mau berkorban, yakni membiarkan diri disembelih. Tanpa ada penderitaan, tidak ada kemuliaan. Pada waktu Perang Dunia II, terjadi pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang begitu mengerikan di Lithuania. Ada seorang Konsul Kristen Jepang bernama Sugihara, yang dengan menempuh risiko kemungkinan dipecat oleh pemerintah Jepang, menerbitkan 300 visa setiap hari untuk menolong orang-orang Yahudi lari ke Eropa, kemudian ke Cina, dan akhirnya ke Amerika. Perbuatan Sugihara ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang. Maka pada tahun 1945, tanpa suatu upacara yang layak, dia dipecat. Karirnya di bidang diplomatik berhenti. Dari seorang diplomat yang mempunyai masa depan yang begitu cemerlang, akhirnya hanya menjadi penerjemah. Selanjutnya selama 20 tahun ke depan, dia bekerja sebagai manajer suatu perusahaan ekspor yang mempunyai basis di Moskow. Inilah nasib seorang yang demi menyelamatkan ribuan manusia dari pembantaian, dia sendiri menderita kerugian kehilangan pekerjaan. Sugihara meninggal pada tahun 1986, tidak dikenal dan dihargai siapa pun sampai kepahlawanannya diketahui pada tahun-tahun berikutnya. Ketika ditanya mengapa dia mau melakukan pengorbanan ini, maka jawabannya – yang kemudian menjadi terkenal – adalah, “Dalam hal ini, saya terpaksa harus tidak taat kepada pemerintah saya, sebab jika saya melakukan sebaliknya, itu berarti saya tidak taat kepada Allah.” Telah banyak usul dilontarkan agar kehidupan dan pengorbanan Sugihara ini diangkat ke layar lebar (film). Saya percaya bahwa di tahun-tahun mendatang pengorbanan Sugihara akan mendapatkan penghormatan yang besar di mata manusia. Tapi kalau tidak sekali pun, Sugihara telah mendapatkan penghargaan yang amat tinggi dari Allah. C. T. Studd berkata, “Tidak ada pengorbanan yang terlalu besar yang kita perbuat untuk Dia yang menyerahkan hidup-Nya untuk kita.”
Ketiga, Anak Domba itu telah dipulihkan.
Dalam Wahyu 5:6, dikatakan bahwa Anak Domba yang seperti telah disembelih itu, bertanduk tujuh dan bermata tujuh. Dalam ayat-ayat firman Tuhan yang dipakai dalam PB, kata “domba” yang dipakai untuk Kristus adalah Amnos. Amnos adalah anak domba yang kelu yang dibawa ke tempat pembantaian dan dipersembahkan sebagai korban. Ini seperti yang digambarkan dalam Yesaya 53:7, “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya.” Tetapi dalam Wahyu 5:6, Anak Domba ini mempunyai tanduk tujuh dan mata tujuh. Maka istilah domba yang dipakai di sini bukan lagi Amnos, tapi Arnion. Walau Domba itu masih mempunyai bekas disembelih, tapi sekarang Dia mempunyai tanduk dan mata tujuh. Kata “tujuh” menunjukkan kesempurnaan. Tanduk tujuh berarti Kristus mempunyai kekuatan yang sempurna. Mata menunjukkan kemahatahuan Kristus. Dengan demikian, itu berarti Kristus memiliki keperkasaan dan pengetahuan yang lengkap tentang apa pun yang ada di sorga dan di dunia. Dia adalah Anak Allah yang sudah dipulihkan. Dari penyembahan keempat makhluk, kedua puluh empat tua-tua, dan seluruh makhluk yang ada di sorga yang begitu memuji dan memuja Anak Domba, maka seharusnya dalam beribadah di gereja, kita pun perlu memiliki ekspresi yang sama. Tidak cukup dalam hidup kita hanya tergesa-gesa membaca Alkitab, berdoa, setelah itu terlibat lagi dengan aktivitas-aktivitas sehari- hari. Kita perlu menyediakan waktu yang cukup, apakah itu kita ada dalam ibadah pribadi atau ibadah keluarga atau ibadah bersama dalam gereja, untuk memuji dan memuja Tuhan Yesus. Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, kekayaan, hikmat, kekuatan, hormat, kemuliaan, dan puji-pujian dari kita semua. Amin. •