You are on page 1of 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/273634688

Penggunaan Backward Design dalam Merancang Pembelajaran Matematika yang


Bernuansa Observation-Based Learning

Conference Paper · July 2014


DOI: 10.13140/2.1.3486.4165

CITATIONS READS

2 24,981

1 author:

Abdur Rahman Asari


Universitas Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia
144 PUBLICATIONS 736 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Prosiding Seminar Nasional dan Pembelajaran 2016 View project

Thesis View project

All content following this page was uploaded by Abdur Rahman Asari on 17 March 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGGUNAAN BACKWARD DESIGN
DALAM MERANCANG
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
YANG BERNUANSA OBSERVATION-
BASED LEARNING

ABDUR RAHMAN AS’ARI

1
Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang, ar.asari@yahoo.com atau
abdurrahmanasari@gmail.com
Abstract: Didasarkan pada peran penting rancangan dalam kegiatan
pembelajaran yang bermutu, perancangan pembelajaran matematika dalam
konteks Kurikulum 2013 perlu dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan
atas ilmu yang benar. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan
penawaran kepada guru tentang bagaimana merancang pembelajaran
matematika dengan ilmu perancangan yang disebut dengan Backward
Design. Penulis menguraikan proses perancangan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik yang dibalik, yaitu dengan cara menganalisis apa
yang harus dikomunikasikan siswa, apa yang harus diasosiasi, apa yang
harus dikumpulkan, apa yang harus ditanya, dan apa yang harus diamati.
Satu contoh tentang pembelajaran determinan matirk dikemukakan di
dalam tulisan ini untuk membantu guru memperoleh gambaran yang lebih
praktis.
Kata Kunci: Backward Design, Kurikulum 2013, Matematika,
Observation-Based Learning, Pembelajaran, Pendekatan Saintifik,
Perancangan.

1. Pendahuluan
Menurut Nuh [9], Observation-Based Learning atau biasa dikenal dengan
Pendekatan Saintifik, menurut As’ari [1] dan [2], merupakan model pembelajaran
yang harus diterapkan dalam setiap pembelajaran mata pelajaran apapun seiring
dengan diberlakukannya Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini menuntut
keaktifan siswa, mulai dari mengamati, menanya atau mempertanyakan,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
Model ini menuntut guru mengubah mindset dari aktif menerangkan menjadi
fasilitator pengalaman belajar. Menurut [1] dan [2], penerapan Observation-Based
Learning menuntut guru mengikuti paradigm konstruktivism. Guru harus lebih
mengaktifkan siswa mengkonstruksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap
mereka sendiri.
Untuk itu, guru perlu mengubah rancangan pembelajarannya. Makalah ini
dimaksudkan untuk menawarkan model perancangan pembelajaran matematika
yang sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang disebut dengan Backward Design.

2. Perancangan Pembelajaran
Menurut Wiggins & Tighe [10], proses belajar mengajar yang diterapkan oleh
guru hendaknya didasarkan kepada hasil kajianyang serius, bukan sekedar karena
buku teksnya, metodenya, atau kenyamanan kita dalam menjalankannya. Guru
matematika harus merancang pembelajaran yang memberikan peluang terbesar
untuk tercapainya tujuan yang disepakati.
Perancangan pembelajaran memungkinkan terjaminnya pembelajaran yang
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan oleh karenanya, siswa akan
menampilkan apa yang memang dikehendaki oleh pembelajaran tersebut [4].
Dikatakan lebih lanjut, bahwa dengan perancangan pembelajaran yang baik, selain
apa dan bagaimana siswa harus mempelajari sesuatu, bagaimana siswa bersikap
juga ikut dirancang. Karakter siswa juga dibentuk dari perancangan pembelajaran
yang baik itu. Karena itu, perancangan pembelajaran adalah hal penting yang
tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Menurut Mahmud [9], para pakar pendidikan telah bersepakat bahwa
perancangan pembelajaran merupakan hal yang penting dan vital bagi
profesionalisme seorang guru. Perancangan ini merupakan kunci dalam
menentukan bagaimana proses interaksi siswa dengan sumber belajar akan
berlangsung, dan seberapa hebat hasil belajar yang bakal diraih. Karena itu,
pengembangan rancangan pembelajaran tidak boleh dilakukan dengan sekenanya
saja. Sekedar meniru rancangan pembelajaran yang telah dibuat oleh orang lain
bukanlah hal yang tepat. Ada banyak alasan yang untuk tidak melakukan hal itu.
Perbedaan karakteristik siswa, ketidaksamaan sumber belajar dan lingkungan
belajar, serta tidak samanya tuntutan para pemangku kepentingan di sekolah sudah
cukup menjadi alasan untuk meyakinkan bahwa rancangan pembelajaran di
tempat lain tidak bisa ditiru begitu saja.
Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013, yang menuntut adanya
perubahan model pembelajaran juga semakin menuntut guru untuk memiliki
kemampuan merancang pembelajaran yang labih baik. Praktik “copy & paste”
yang selama ini ditengarai banyak terjadi di lingkungan para guru, yang salah
satunya disebabkan oleh ketidakmampuan guru merumuskan rancangan
pembelajaran, harus dihentikan. Guru harus dibantu untuk menyusun rancangan
pembelajaran yang baik.

3. Backward Design
Wiggins & McTighe [10] mengemukakan adanya dua jenis fokus dalam
perancangan pembelajaran, yaitu: (a) content-focused design, dan (b) results-
focused design. Kalau guru matematika menggunakan content-focused design,
mereka merancang pembelajaran dengan memulai kajiannya dari materi yang
akan diajarkan, memilih sumber belajar yang diperlukan, memilih metode yang
akan digunakan, dan kemudian berharap agar siswanya belajar. Namun, kedua
penulis tersebut mengkritisi bahwa ketersediaan konten itu tidak serta merta
menjamin terjadinya belajar. Mereka mengatakan bahwa rancangan itu tidak
boleh didasarkan kepada “hope” saja, tetapi harus betul-betul “by design”.
Guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai.
Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana
membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut,
kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil
membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan
tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, mereka lebih cenderung untuk
menggunakan results-focused design.
Backward Design yang merupakan model dari results-focused design terdiri
dari 3 kegiatan pokok, yaitu: (1) menetapkan hasil yang diinginkan, (2)
menetapkan bukti-bukti atau indikator ketercapaian hasil tersebut, dan (3)
merancang pengalaman belajarnya. Menurut Fox and Doherty [5], backward
design mampu menghasilkan perangkat pembelajaran yang mampu meningkatkan
‘communication literacy’ siswa. Pendapat ini didukung oleh Burson [3], yang
menyatakan bahwa Backward Design mampu membangun perilaku positif siswa
di dalam kelas (termasuk kedisiplinan dalam mengerjakan tugas), serta perhatian
dan partisipasi siswa. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa Backward
Design layak untuk diterapkan dalam merancang pembelajaran matematika yang
menggunakan Observation-Based Learning atau Pendekatan Saintifik.
Terkait dengan itu, menurut [1] dan [2], guru dituntut harus mampu
menganalisis KD dan menentukan indikator ketercapaian masing-masing KD. Ini
bersesuaian dengan karakteristik rumusan KD yang ada dalam Permendikbud No
67, 68, 69 tahun2013 (lihat [6], [7], dan [8]). Karakteristik KD-KD yang lebih
merepresentasikan kompetensi yang ingin dicapai, bukan materi, seharusnya
mendorong guru mengguakan ‘results-focused design’, atau ‘Backward Design’.

4. Hal Penting Dalam Backward Design


KD-KD yang ada di dalam mata pelajaran matematika, umumnya masih
bersifat general. Kompetensi tersebut perlu dinyatakan secara lebih spesifik ke
dalam indikator-indikator ketercapaian KD.
Mengingat pembelajaran dengan Observation-Based Learning menggunakan
kaidah konstruktivism (menurut [1] dan [2]), indikator ketercapaian KD ini harus
terlihat sebagai hasil konstruksi siswa. Indikator ini hendaknya tidak diperoleh
dari mendengarkan penjelasan guru, melainkan dari hasil mengasosiasi. Oleh
karena itu, hal penting pertama yang harus dilakukan guru untuk merancang
pembelajaran yang sesuai adalah menguraikan KD-KD tersebut ke dalam
beberapa indikator misalnya “Ooooh… jadi yang dimaksud dengan ini adalah
….” Atau “Ooooh … jadi hubungan antara ini dan itu adalah …. “.
Sesudah indikator ini terwujudkan secara eksplisit, guru harus mulai
mempertimbangkan langkah-langkah dalam Pendekatan Saintifif atau
Observation-Based Learning. Akan tetapi, urutannya harus dibalik. Indikator
ketercapaian KD itu harus dipandang sebagai sesuatu yang harus dikomunikasikan
(langkah terakhir dalam Pendekatan Saintifik atau Observation-Based Learning)
dan diperoleh dari hasil mengasosiasi (langkah keempat).
Karena itu, di dalam kegiatan mengasosiasi, harus tersedia sejumlah banyak
data untuk diasosiasi oleh siswa. Jadi, di dalam kegiatan mengasosiasi, guru harus
membantu siswa mengumpulkan data atau informasi yang sesuai sebanyak
mungkin. Sesuai dengan prinsip dalam standar proses bahwa siswa yang harus
mencari tahu, bukan diberitahu, maka data-data ini harus digali dan dikumpulkan
sendiri oleh siswa, terutama dalam kegiatan ketiga dari Pendekatan Saintifik atau
Observation-Based Learning, yaitu mengumpulkan informasi.
Agar siswa melakukan pengumpulan data dan mengasosiasi sehingga pada
akhirnya mereka mengomunikasikan, siswa perlu dibantu agar mau dan mampu
menanya dengan pertanyaan yang bersifat investigatif. Siswalah yang harus
dibantu untuk mengajukan pertanyaan tersebut. Kalau pertanyaan itu muncul
karena rasa ingin tahu siswa itu sendiri, maka pengumpulan informasinya akan
berjalan dengan seksama dan dilaksanakan dengan tekun. Data dan informasinya
pun akan obyektif, jujur dan tidak dibuat-buat. Mereka memang betul-betul ingin
mengetahui, bukan sekedar menjalankan tugas guru semata.
Terakhir, agar siswa mau menanya atau mengajukan pertanyaan investigative,
guru harus mampu merancang bahan untuk diamati siswa. Guru harus merancang
bahan pengamatan sedemikian rupa sehingga siswa tertarik dan tertantang untuk
ingin tahu lebih jauh dan mengajukan pertanyaan investigatif.
Jadi, kalau diperhatikan, tampak bahwa dalam rangka merancang
pembelajaran yang bernuansa Observation-Based Learning, guru harus
menetapkan secara berturut-turut hal-hal berikut: (1) merancang indikator
kompetensi yang ingin dicapai (yaitu sesuatu yang dihasilkan dari kegiatan
mengasosiasi dan akan dikomunikasikan siswa), (2) merancang bentuk kegiatan
asosiasi yang memungkinkan kesimpulan yang berupa indikator tersebut, (3)
merancang bentuk kegiatan menggali informasi yang memungkinkan
diperolehnya data dan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan asosiasi, (4)
merancang kegiatan yang memungkinkan siswa mau dan mampu mengajukan
pertanyaan investigatif yang untuk memperoleh jawabannya siswa harus
mengumpulkan data dan informasi yang sesuai, (5) merancang bentuk dan bahan
pengamatan yang mendorong dan menantang anak untuk mau dan mampu
mengajukan pertanyaan investigatif.
Kalau semua hal di atas sudah teridentifikasi dengan baik dan lengkap, dalam
konteks perancangan pembelajaran, tugas berikutnya dari guru adalah menata
kembali rangkaian rancangan tersebut dengan urutan terbalik. Guru harus
menuliskan setiap kegiatan tersebut dari kegiatan mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

5. Satu Contoh
Sebagai contoh, perhatikan hal berikut. Andaikan kita ingin siswa
mengomunikasikan bahwa “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …”.
Pernyataan “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …” harus kita tetapkan
sebagai apa yang harus diwujudkan dalam pembelajaran determinan matriks.
Inilah target utama dari pembelajaran. Setelah mengikuti pembelajaran, siswa
diharapkan mengkonstruksi pernyataan bahwa “determinan matriks ordo 2 x 2
adalah …..”.
Agar mereka mampu mengkonstruksi pernyataan di atas, siswa tentu perlu
banyak contoh dan bukan contoh dari matriks 2 x 2 berikut nilai determinan
masing-masing. Mengingat pembelajaran ini bersifat induktif, guru tidak boleh
memberitahu apa yang dimaksudkan dengan determinnan matrik. Hal penting
yang harus dilakukan guru adalah mengupayakan agar siswa mereka bisa
menyimpulkan cara menentukan determinannya dengan mengkaji contoh dan
bukan contoh yang ada. Semakin banyak contoh, semakin baik pula kualitas
asosiasi yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, pada saat siswa melakukan
kegiatan asosiasi ini, guru harus mengupayakan agar siswa bisa dan mampu
mengumpulkan contoh dan bukan contoh dari determinan matriks ordo 2 x 2.
Agar siswa mengumpulkan sebanyak mungkin contoh dan bukan contoh
determinan matriks ordo 2 x 2, guru perlu membantu siswa tertarik dan tertantang
untuk mengajukan pertanyaan “apa ya yang dimaksud dengan determinan matriks
ordo 2 x 2 tersebut?”. Guru harus mengupayakan agar siswa penasaran dengan
konsep determinan matriks ordo 2 x 2 ini. Untuk itu, guru harus memperlihatkan
beberapa contoh dan bukan contoh penentuan determinan dari matriks ordo 2 x 2.
Agar membuat mereka penasaran, guru b bisa saja mengajak mereka bermain-
main dengan determinan matriks. Minta mereka menuliskan beberapa matriks 2 x
2 di kertas masing-masing, dan guru menetapkan nilai determinan masing-masing
matriks tanpa memberitahukan caranya. Lakukan itu di dalam kelompok kecil,
maka murid akan dengan sendirinya akan saling bertanya dan mencoba
mengasosiasi.
Jadi, kalau dirangkai terbalik, rancangan pembelajarannya bisa dilakukan
sebagai berikut:
TABEL 1. Contoh Deskripsi Kegiatan Guru dalam Penerapan Observation-Based Learning

Jenis Kegiatan Siswa Deskripsi Kegiatan Guru


Mengamati Meminta siswa menuliskan matriks ordo 2 x 2 di kertas masing-
masing (mungkin setiap siswa menulis sebanyak 5 matriks).
Sesudah selesai menuliskan matriksnya, guru berkeliling kelas, dan
menentukan nilai determinan dari salah satu matriks (dari lima
matriks yang dibuat siswa, pilih salah satu matriks dan tentukan
nilai determinannya). Lakukan sedemikian rupa sehingga setiap
kelompok kecil akan memperoleh sedikitnya 4 matriks dan 4 nilai
determinannya.
Menanya Tanyakan kepada siswa: “Apakah kalian sudah tahu cara guru
menentukan nilai determinan matriks tersebut? Apakah kalian ingin
tahu?”
Kalau siswa menjawab ingin tahu, suruhlah mereka menuliskan di
kertas mereka masing-masing apa yang ingin diketahuinya? Dorong
agar pertanyaan itu adalah pertanyaan dari kelompok.
Kalau siswa menjawab tidak ingin tahu, tetapi penyebab utamanya
adalah kurang termotivasi, beritahu mereka bahwa akan ada
permainan misalnya “yang mampu menghasilkan 10 matriks ordo 2
x 2 dengan determinan sama dengan 2 dalam waktu yang secepat-
cepatnya, akan diberi hadiah.
Catatan: yang paling penting, upayakan agar mereka mengajukan
pertanyaan investigatif. Kalau perlu, siswa bisa dibiasakan membuat
pertanyaan investigatif dengan setiap hari harus melakukan
“sarapan menanya”, yaitu setiap hari mengajukan pertanyaan
investigatif.
Mengumpulkan informasi Setiap siswa tadi kan sudah membuat 5 matriks, dan satu matriks
sudah ditetapkan nilai determinannya.
Agar siswa mau mengumpulkan informasi, mintalah siswa
mengemukakan matriksnya ke pada guru (mungkin ditulis di
papan), dan guru menuliskan nilai determinannya tanpa
memberitahu bagaimana cara mencarinya. Kalau ini dilakukan
untuk setiap anak satu matriks, sudah cukup banyak bahan bagi
siswa untuk mengumpulkan contoh-contoh matriks dan nilai
determinannya.
Mintalah setiap kelompok menuliskan matriks-matriks tersebut agar
mereka memiliki kumpulan informasi yang memadai sehingga
mereka termungkinkan untuk melakukan asosiasi atau penalaran.
Mengasosiasi Setelah setiap kelompok memiliki kumpulan matriks dan nilai
determinanya, mintalah mereka untuk melakukan diskusi atau kerja
kelompok guna menemukan cara untuk menentukan nilai
determinan dari matriks-matriks tersebut. Selanjutnya, mintalah
mereka menguji dugaan tentang cara menentukan nilai determinan
ini dengan menerapkannya kepada kumpulan matriks tersisa yang
masih dimilikinya dan berikan penilaian benar atau salah terhadap
hasil kerja mereka. Yang lebih penting lagi, mintalah mereka
mengemukakan justifikasi mengapa mereka menentukan hasil
seperti itu. Yakinkan mereka untuk membuat bahan presentasi
tentang apa yang telah mereka pikirkan.
Mengomunikasikan Mintalah kelompok siswa untuk berbagi dengan mengemukakan
hasil pemikiran mereka. Variasinya bisa dibuat dengan cara
meminta wakil kelompok mempresentasikan ide mereka di depan
kelas, atau kunjung karya, dan karya kunjung serta berbagai macam
cara mengomunikasikan lainnya. Yang penting, upayakan agar
siswa tidak bosan dan jenuh dengan cara pengkomunikasian yang
dilakukan.

6. Penutup
Dari uraian di atas, tampak bahwa penggunaan backward design memberikan
peluang besar untuk dilaksanakannya observation-based learning atau pendekatan
saintifik. Dengan rancangan seperti di atas, siswa akan mengembangkan
kemampuan berpikir induktif dan karenanya masih diperlukan lagi satu tahapan
penting dalam pembelajaran matematika ala Kurikulum 2013 ini.
Apa yang dicapai siswa dari belajar dengan pendekatan saintifik ini lebih
banyak sebatas menghasilkan konjektur atau dugaan yang belum terbukti secara
matematis. Tugas guru sesudahnya adalah membantu siswa melihat secara
deduktif aksiomatis. Guru bisa meminta siswa mencari buku rujukan lain, atau
belajar dari sumber lain.

Daftar Pustaka
[1] As’ari, A.R.a. Berbagai Permasalahan Pembelajaran Matematika dalam
Kurikulum 2013, dan Beberapa Upaya untuk Mengatasinya: Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional ‘Solusi Problematika Implementasi
Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Pembelajaran yang Berkualitas.
Jember: Himpunan Mahasiswa Matematika FKIP Universitas Jember, 16
Maret 2014
[2] As’ari, A.R. b. Mewujudkan Pendekatan Saintifik dalam Kelas Matematika.
Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Matematika FMIPA Universitas
Negeri Malang. 6 Maret 2014.
[3] Burson, T. The Effects of Backward-Designed Curriculum and Instruction
on Classroom Instruction. A Dissertation submitted to the Education
Faculty of Lindenwood University. 2011.
[4] Duncan, G.& Met, M. M. Startalk: From Paper to Pencil. College Park.
MD: National Foreign Language Center at the University of Maryland.
Available at www.startalk.umd.edu/lesson_planning. 2010.
[5] Fox, B. E. and Doherty, J. J. Design to Learn and Learn to Design:Using
Backward Design for Information Literacy Instruction. Communications in
Literacy. Volume 5. Issue No 2. 2012
[6] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: 2013
[7] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 68 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: 2013
[8] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 69 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: 2013
[9] Mahmud, N. Learning to Plan: An Investigation of Malaysian Student
Teacher’s Lesson Planning During Their Practicum. A Thesis to be
Submitted to University of East Anglia for the degree of Doctor of
Philosophy. University of East Anglia. 2010.
[9] Nuh, M. Menyemai Kreator Peradaban. Mizan, 2014.
[10] Wiggins, G. and McTighe, J. Understanding by Design: Extended 2nd
Edition. Alexandria, VA: ASCD, 200
View publication stats

You might also like