Professional Documents
Culture Documents
Asari Paper KNM17 ITSsesuaitemplate July 2014
Asari Paper KNM17 ITSsesuaitemplate July 2014
net/publication/273634688
CITATIONS READS
2 24,981
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Abdur Rahman Asari on 17 March 2015.
1
Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Negeri Malang, ar.asari@yahoo.com atau
abdurrahmanasari@gmail.com
Abstract: Didasarkan pada peran penting rancangan dalam kegiatan
pembelajaran yang bermutu, perancangan pembelajaran matematika dalam
konteks Kurikulum 2013 perlu dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan
atas ilmu yang benar. Di dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan
penawaran kepada guru tentang bagaimana merancang pembelajaran
matematika dengan ilmu perancangan yang disebut dengan Backward
Design. Penulis menguraikan proses perancangan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik yang dibalik, yaitu dengan cara menganalisis apa
yang harus dikomunikasikan siswa, apa yang harus diasosiasi, apa yang
harus dikumpulkan, apa yang harus ditanya, dan apa yang harus diamati.
Satu contoh tentang pembelajaran determinan matirk dikemukakan di
dalam tulisan ini untuk membantu guru memperoleh gambaran yang lebih
praktis.
Kata Kunci: Backward Design, Kurikulum 2013, Matematika,
Observation-Based Learning, Pembelajaran, Pendekatan Saintifik,
Perancangan.
1. Pendahuluan
Menurut Nuh [9], Observation-Based Learning atau biasa dikenal dengan
Pendekatan Saintifik, menurut As’ari [1] dan [2], merupakan model pembelajaran
yang harus diterapkan dalam setiap pembelajaran mata pelajaran apapun seiring
dengan diberlakukannya Kurikulum 2013. Model pembelajaran ini menuntut
keaktifan siswa, mulai dari mengamati, menanya atau mempertanyakan,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
Model ini menuntut guru mengubah mindset dari aktif menerangkan menjadi
fasilitator pengalaman belajar. Menurut [1] dan [2], penerapan Observation-Based
Learning menuntut guru mengikuti paradigm konstruktivism. Guru harus lebih
mengaktifkan siswa mengkonstruksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap
mereka sendiri.
Untuk itu, guru perlu mengubah rancangan pembelajarannya. Makalah ini
dimaksudkan untuk menawarkan model perancangan pembelajaran matematika
yang sesuai tuntutan Kurikulum 2013 yang disebut dengan Backward Design.
2. Perancangan Pembelajaran
Menurut Wiggins & Tighe [10], proses belajar mengajar yang diterapkan oleh
guru hendaknya didasarkan kepada hasil kajianyang serius, bukan sekedar karena
buku teksnya, metodenya, atau kenyamanan kita dalam menjalankannya. Guru
matematika harus merancang pembelajaran yang memberikan peluang terbesar
untuk tercapainya tujuan yang disepakati.
Perancangan pembelajaran memungkinkan terjaminnya pembelajaran yang
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan oleh karenanya, siswa akan
menampilkan apa yang memang dikehendaki oleh pembelajaran tersebut [4].
Dikatakan lebih lanjut, bahwa dengan perancangan pembelajaran yang baik, selain
apa dan bagaimana siswa harus mempelajari sesuatu, bagaimana siswa bersikap
juga ikut dirancang. Karakter siswa juga dibentuk dari perancangan pembelajaran
yang baik itu. Karena itu, perancangan pembelajaran adalah hal penting yang
tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Menurut Mahmud [9], para pakar pendidikan telah bersepakat bahwa
perancangan pembelajaran merupakan hal yang penting dan vital bagi
profesionalisme seorang guru. Perancangan ini merupakan kunci dalam
menentukan bagaimana proses interaksi siswa dengan sumber belajar akan
berlangsung, dan seberapa hebat hasil belajar yang bakal diraih. Karena itu,
pengembangan rancangan pembelajaran tidak boleh dilakukan dengan sekenanya
saja. Sekedar meniru rancangan pembelajaran yang telah dibuat oleh orang lain
bukanlah hal yang tepat. Ada banyak alasan yang untuk tidak melakukan hal itu.
Perbedaan karakteristik siswa, ketidaksamaan sumber belajar dan lingkungan
belajar, serta tidak samanya tuntutan para pemangku kepentingan di sekolah sudah
cukup menjadi alasan untuk meyakinkan bahwa rancangan pembelajaran di
tempat lain tidak bisa ditiru begitu saja.
Perubahan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013, yang menuntut adanya
perubahan model pembelajaran juga semakin menuntut guru untuk memiliki
kemampuan merancang pembelajaran yang labih baik. Praktik “copy & paste”
yang selama ini ditengarai banyak terjadi di lingkungan para guru, yang salah
satunya disebabkan oleh ketidakmampuan guru merumuskan rancangan
pembelajaran, harus dihentikan. Guru harus dibantu untuk menyusun rancangan
pembelajaran yang baik.
3. Backward Design
Wiggins & McTighe [10] mengemukakan adanya dua jenis fokus dalam
perancangan pembelajaran, yaitu: (a) content-focused design, dan (b) results-
focused design. Kalau guru matematika menggunakan content-focused design,
mereka merancang pembelajaran dengan memulai kajiannya dari materi yang
akan diajarkan, memilih sumber belajar yang diperlukan, memilih metode yang
akan digunakan, dan kemudian berharap agar siswanya belajar. Namun, kedua
penulis tersebut mengkritisi bahwa ketersediaan konten itu tidak serta merta
menjamin terjadinya belajar. Mereka mengatakan bahwa rancangan itu tidak
boleh didasarkan kepada “hope” saja, tetapi harus betul-betul “by design”.
Guru harus merancang tujuan dan bagaimana tujuan itu betul-betul dicapai.
Kalau siswa diminta membaca, guru harus jelas apa yang harus dibaca, bagaimana
membacanya, apa yang harus dihasilkan dari kegiatan membaca tersebut,
kemungkinan bantuan apa saja yang harus diberikan agar maksimal hasil
membacanya, bagaimana cara membagikan apa yang sudah dipahami dari bacaan
tersebut dan lain sebagainya. Karena itu, mereka lebih cenderung untuk
menggunakan results-focused design.
Backward Design yang merupakan model dari results-focused design terdiri
dari 3 kegiatan pokok, yaitu: (1) menetapkan hasil yang diinginkan, (2)
menetapkan bukti-bukti atau indikator ketercapaian hasil tersebut, dan (3)
merancang pengalaman belajarnya. Menurut Fox and Doherty [5], backward
design mampu menghasilkan perangkat pembelajaran yang mampu meningkatkan
‘communication literacy’ siswa. Pendapat ini didukung oleh Burson [3], yang
menyatakan bahwa Backward Design mampu membangun perilaku positif siswa
di dalam kelas (termasuk kedisiplinan dalam mengerjakan tugas), serta perhatian
dan partisipasi siswa. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa Backward
Design layak untuk diterapkan dalam merancang pembelajaran matematika yang
menggunakan Observation-Based Learning atau Pendekatan Saintifik.
Terkait dengan itu, menurut [1] dan [2], guru dituntut harus mampu
menganalisis KD dan menentukan indikator ketercapaian masing-masing KD. Ini
bersesuaian dengan karakteristik rumusan KD yang ada dalam Permendikbud No
67, 68, 69 tahun2013 (lihat [6], [7], dan [8]). Karakteristik KD-KD yang lebih
merepresentasikan kompetensi yang ingin dicapai, bukan materi, seharusnya
mendorong guru mengguakan ‘results-focused design’, atau ‘Backward Design’.
5. Satu Contoh
Sebagai contoh, perhatikan hal berikut. Andaikan kita ingin siswa
mengomunikasikan bahwa “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …”.
Pernyataan “ooo determinan matriks 2 x 2 itu adalah …” harus kita tetapkan
sebagai apa yang harus diwujudkan dalam pembelajaran determinan matriks.
Inilah target utama dari pembelajaran. Setelah mengikuti pembelajaran, siswa
diharapkan mengkonstruksi pernyataan bahwa “determinan matriks ordo 2 x 2
adalah …..”.
Agar mereka mampu mengkonstruksi pernyataan di atas, siswa tentu perlu
banyak contoh dan bukan contoh dari matriks 2 x 2 berikut nilai determinan
masing-masing. Mengingat pembelajaran ini bersifat induktif, guru tidak boleh
memberitahu apa yang dimaksudkan dengan determinnan matrik. Hal penting
yang harus dilakukan guru adalah mengupayakan agar siswa mereka bisa
menyimpulkan cara menentukan determinannya dengan mengkaji contoh dan
bukan contoh yang ada. Semakin banyak contoh, semakin baik pula kualitas
asosiasi yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, pada saat siswa melakukan
kegiatan asosiasi ini, guru harus mengupayakan agar siswa bisa dan mampu
mengumpulkan contoh dan bukan contoh dari determinan matriks ordo 2 x 2.
Agar siswa mengumpulkan sebanyak mungkin contoh dan bukan contoh
determinan matriks ordo 2 x 2, guru perlu membantu siswa tertarik dan tertantang
untuk mengajukan pertanyaan “apa ya yang dimaksud dengan determinan matriks
ordo 2 x 2 tersebut?”. Guru harus mengupayakan agar siswa penasaran dengan
konsep determinan matriks ordo 2 x 2 ini. Untuk itu, guru harus memperlihatkan
beberapa contoh dan bukan contoh penentuan determinan dari matriks ordo 2 x 2.
Agar membuat mereka penasaran, guru b bisa saja mengajak mereka bermain-
main dengan determinan matriks. Minta mereka menuliskan beberapa matriks 2 x
2 di kertas masing-masing, dan guru menetapkan nilai determinan masing-masing
matriks tanpa memberitahukan caranya. Lakukan itu di dalam kelompok kecil,
maka murid akan dengan sendirinya akan saling bertanya dan mencoba
mengasosiasi.
Jadi, kalau dirangkai terbalik, rancangan pembelajarannya bisa dilakukan
sebagai berikut:
TABEL 1. Contoh Deskripsi Kegiatan Guru dalam Penerapan Observation-Based Learning
6. Penutup
Dari uraian di atas, tampak bahwa penggunaan backward design memberikan
peluang besar untuk dilaksanakannya observation-based learning atau pendekatan
saintifik. Dengan rancangan seperti di atas, siswa akan mengembangkan
kemampuan berpikir induktif dan karenanya masih diperlukan lagi satu tahapan
penting dalam pembelajaran matematika ala Kurikulum 2013 ini.
Apa yang dicapai siswa dari belajar dengan pendekatan saintifik ini lebih
banyak sebatas menghasilkan konjektur atau dugaan yang belum terbukti secara
matematis. Tugas guru sesudahnya adalah membantu siswa melihat secara
deduktif aksiomatis. Guru bisa meminta siswa mencari buku rujukan lain, atau
belajar dari sumber lain.
Daftar Pustaka
[1] As’ari, A.R.a. Berbagai Permasalahan Pembelajaran Matematika dalam
Kurikulum 2013, dan Beberapa Upaya untuk Mengatasinya: Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional ‘Solusi Problematika Implementasi
Kurikulum 2013 untuk Mewujudkan Pembelajaran yang Berkualitas.
Jember: Himpunan Mahasiswa Matematika FKIP Universitas Jember, 16
Maret 2014
[2] As’ari, A.R. b. Mewujudkan Pendekatan Saintifik dalam Kelas Matematika.
Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Matematika FMIPA Universitas
Negeri Malang. 6 Maret 2014.
[3] Burson, T. The Effects of Backward-Designed Curriculum and Instruction
on Classroom Instruction. A Dissertation submitted to the Education
Faculty of Lindenwood University. 2011.
[4] Duncan, G.& Met, M. M. Startalk: From Paper to Pencil. College Park.
MD: National Foreign Language Center at the University of Maryland.
Available at www.startalk.umd.edu/lesson_planning. 2010.
[5] Fox, B. E. and Doherty, J. J. Design to Learn and Learn to Design:Using
Backward Design for Information Literacy Instruction. Communications in
Literacy. Volume 5. Issue No 2. 2012
[6] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 67 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: 2013
[7] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 68 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: 2013
[8] Kemdikbud. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 69 tahun
2013: tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: 2013
[9] Mahmud, N. Learning to Plan: An Investigation of Malaysian Student
Teacher’s Lesson Planning During Their Practicum. A Thesis to be
Submitted to University of East Anglia for the degree of Doctor of
Philosophy. University of East Anglia. 2010.
[9] Nuh, M. Menyemai Kreator Peradaban. Mizan, 2014.
[10] Wiggins, G. and McTighe, J. Understanding by Design: Extended 2nd
Edition. Alexandria, VA: ASCD, 200
View publication stats