You are on page 1of 17

Referat

DISLEKSIA PADA ANAK


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh

Disusun Oleh :

Khairun Nisa
220750101016
6

Pembimbing :
dr. T.M. Thaib, Sp.A(K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT DR ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Disleksia Pada Anak”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada
Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan referat ini adalah sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh. Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan
kepada dr. T. M. Thaib, Sp. A (K) yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan referat ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi
para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada
umumnya dan ilmu kesehatan anak khususnya. Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, 22 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................2
2.1 Definisi.................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi........................................................................................................2
2.3 Patofisiologi.........................................................................................................3
2.4 Gejala Klinis........................................................................................................4
2.5 Diagnosis..............................................................................................................6
2.6 Tatalaksana...........................................................................................................8
2.7 Prognosis..............................................................................................................9
2.8 Pecegahan.............................................................................................................9
BAB III..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUA
N
Kesulitan belajar pada umumnya dari kesulitan belajar spesifik khususnya
pada anak merupakan masalah, baik di sekolah maupun di lingkungan sosialnya.
Bila tidak ditangani dapat merupakan masalah seumur hidupnya. Salah satu dari
kesulitan belajar spesifik yang mendapat perhatian adalah kesulitan membaca atau
disleksia, karena kemampun membaca merupakan dasar atau fondasi untuk
memperoleh kepandaian skolastik lainnya (Rapin, 1993). Frank Wood (1993)
bahkan menyatakan dalam penelitian epidemiologisnya, kesulitan membaca
merupakan lebih dari 90% dari kelainan non-psikiatris pada anak – anak sekolah.
Pada anak-anak disebut disleksia perkembangan karena terjadinya pada masa
perkembangan anak.1

Disleksia perkembangan merupakan salah satu gangguan perkembangan


fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup (developmental disorders across
the life span). Tidak jarang anak-anak yang mengalami disleksia terutama yang
ringan dianggap atau “dicap” sebagai anak yang bodoh, malas, kurang berusaha,
ceroboh, sehingga timbul rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mengalami
gangguan emosional sekunder. Padahal tidak jarang penyandang disleksia
mempunyai intelingensi yang tinggi seperti antara lain Nelson Rockefeller, Albert
Einstein, Churchiil yang disebut Gifted dyslexics. Olivia bobby haermijanto (2016:
130) Mengungkapkan bahwa, disleksia bukan orang bodoh, bukan malas,
melainkan orang yang berbakat. Dia mngibaratkan nya seperti pisau bermata dua,
apabila ditangani dengan baik dan tepat maka akan mendatangkan keuntungan bagi
penderita disleksia. Karena pada umum nya penderita disleksia memiliki
kecerdasan tinggi dikarenakan perbedaan belahan otak pada manusia umumnya. 1,2

Negara-negara yang sudah berkembang membenuk asosiasi disleksia dan


“dyslexia centres” untuk esesmen dan penanganan penyandang desleksia. Di
Singapura misalnya didirikan DAS-Dyslexia Association Singapore Learning
Centre (The Straits Time, 28 march 1994).2
Di Indonesia kesulitan membaca atau disleksia pada umumnya sudah
dikenal, namun jenis atau tipe disleksia masih kurang dikenal sehingga program
penanganan yang diberikan kurang terstruktur, komprehensif, dan mendalam yang
menyebabkan hasil kurang optimal.
1
2
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Definisi
Disleksia didefinisikan sebagai gangguan membaca primer dan dibedakan
dari gangguan membaca sekunder. Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani yang
berarti kesulitan membaca kata. Disleksia sekunder adalah kesulitan membaca yang
disebabkan oleh berbagai kondisi seperti gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, cacat intelektual, kurang belajar/berlatih, dan sebab-sebab lainnya. 2
Ada lima kriteria yang harus dipenuhi untuk mendefinisikan disleksia. 1)
Anak tidak mempunyai kelainan saraf yang serius seperti Cerebral Palsy. 2) fungsi
sensorik utama normal dan anak tidak buta atau tuli; 3) anak tidak mempunyai
masalah kejiwaan yang serius (karena masalah kemunduran diri sering terjadi pada
anak penderita disleksia). 4) Kecerdasan anak harus normal. 5) Anak hidup dalam
lingkungan sosial dan pendidikan yang kondusif untuk belajar membaca.3,4
Menurut WHO, disleksia didefinisikan sebagai gangguan spesifik pada
kemampuan membaca bermakna yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan berbagai
defisiensi pada kecerdasan umum, kesempatan belajar, kemauan, atau kemampuan
sensorik. 4
Menurut DSM IV, disleksia adalah gangguan kemampuan membaca,
meskipun yang bersangkutan mempunyai kecerdasan normal, tidak memiliki cacat
fisik atau psikis, dan telah memperoleh pendidikan formal yang sesuai.4
2.2 Epidemiologi
Prevalensi disleksia pada anak usia sekolah di Amerika diperkirakan
sebesar 5% hingga 17%. Dan 40% memiliki pemahaman bacaan yang sangat
rendah. Prevalensi yang hampir sama juga terdapat di wilayah Persia yaitu 5,2%.
Gangguan ini terjadi pada setidaknya 80% dari semua orang yang didiagnosis
dengan ketidakmampuan belajar. 6,9
Studi pada populasi yang dipilih secara acak menunjukkan bahwa anak
laki-laki dan perempuan sama-sama terkena disleksia. Beberapa penelitian pada
populasi besar menunjukkan bahwa disleksia dua hingga tiga kali lebih sering
terjadi pada pria. Saat membedakan antara disleksia dan gangguan mengeja,
penelitian menunjukkan bahwa disleksia serupa pada pria dan wanita, sedangkan
gangguan mengeja lebih sering terjadi pada pria. 7,8

3
Indonesia sendiri memiliki prevalensi disleksia yang belum dapat
diketahui secara pasti. Namun, hasil penelitian Masroza (2013) menunjukkan
bahwa 59% siswa pada 24 sekolah dasar di Kecamatan Pauh Padang mengalami
kesulitan belajar membaca. Selain itu, hasil survei dari The Programme for
International Student Assessment (PISA) tahun 2018 pada kategori kemampuan
membaca menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara
dengan skor rata-rata 371. Artinya, Indonesia berada di bawah rata- rata skor
kemampuan membaca seluruh negara menurut Schleicher (2019). Menurut data
Dyslexia Center Indonesia (2019) diperkirakan prevalensi disleksia di Indonesia
berada diangka 3-10% pada skala internasional. Seperti yang diungkapkan juga
oleh Ursula Yudith, ketua DPSG (Dyslexia Parents Support Group) Jawa Timur,
bahwa di Indonesia penyandang disleksia cukup tinggi, yakni sekitar 10% dari
jumlah penduduk (Jawa Pos, 2016), yang artinya pada rata- rata setiap kelas dengan
jumlah 25 siswa, terdapat 2 sampai 3 siswa yang mengalami disleksia. 9

Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada siswa sekolah dasar dengan


prestasi akademik rendah di Semarang. Studi ini menunjukkan bahwa 40,5% siswa
berprestasi rendah mengalami kesulitan pemahaman membaca. Sebaliknya, di
antara anak-anak yang mencapai prestasi akademik tinggi, tidak ada yang
mempunyai masalah dalam pemahaman bacaan. 10
Disleksia diketahui merupakan kelainan genetik dan keluarga. Warisan
bersifat autosomal dominan pada beberapa keluarga, dan kemungkinan menjadi
pembawa. Sifat ini merupakan gen pada kromosom 15. Bukti ini semakin
menunjukkan bahwa disleksia merupakan penyakit genetik. 50% orang tua
penderita disleksia memiliki anak yang menderita disleksia, 50% saudara kandung
yang menderita disleksia juga memiliki kelainan yang sama, dan 50% anak
penderita disleksia mungkin memiliki orang tua yang menderita disleksia.
Penelitian menunjukkan bahwa kelainan disleksia ini mempengaruhi lokus genetik
pada kromosom 2, 3, 6, 15, dan 18.11
2.3 Patofisiologi
Membaca adalah proses yang terjadi dalam domain spatiotemporal dan
melibatkan pengkodean simbol visual secara berurutan. Keterampilan spasial
temporal, seperti mengenali perubahan huruf, memegang peranan penting dalam
proses membaca. 11,13
Tes neurobiologis untuk disleksia menunjukkan bahwa pemahaman
membaca terganggu di bagian posterior belahan otak kiri, khususnya di daerah
temporo-parieto-oksipital. 11,12
4
Sebuah teori disleksia berdasarkan defisit pemrosesan temporal yang
menggabungkan gejala klinis dengan neuropsikologis kompleks dan berbagai
bentuk disleksia. Teori ini didasarkan pada pendekatan neuropsikologis yang
menangani gangguan fonologis dan visual. Teori ini menyatakan bahwa anak
penderita disleksia mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan rangsangan yang
berubah dengan cepat (khas disleksia). Kesulitan-kesulitan ini menyebabkan
gangguan persepsi pendengaran terhadap konsonan, defisit dalam penilaian
perintah temporal, dan berbagai tingkat disfungsi dalam pemrosesan numerik
temporal. Koordinasi motorik halus juga dapat terganggu pada penderita disleksia,
sehingga mengakibatkan disgrafia, atau kesulitan menulis, atau dispraksia, atau
kesulitan dalam mengoordinasikan gerakan. 13
Para ilmuwan telah menggunakan teori membaca untuk membantu
memahami dislkesia. Salah satu teori membaca yang paling banyak diterima adalah
teori jalur ganda. Dalam teori ini terdapat dua mekanisme yang digunakan untuk
membaca sebuah kata, yaitu jalur langsung (ortografi) dan jalur tidak langsung
(fonologis). Jalur langsung adalah melihat kata dan otomatis mengetahui apa yang
dibaca. Untuk orang yang sering melihat kata-kata, dan kata-kata tersebut telah
dikenali sebelumnya, maka kemungkinan besar jalur inilah yang digunakan.
Pembaca terlatih menggunakan jalur ini untuk sebagian besar yang mereka baca,
meskipun mereka dapat menggunakan jalur lain ketilka mereka menemukan kata-
kata yang baru atau kata asing. Jalur-tidak-langsung menerjemahkan huruf-huruf
menjadi suara, dan mengetahui pengucapan kata-kara dari kombinasi suara yang
dihasilkan. Jalur ini menggunakan proses fonologis dan biasanya digunakan pada
awal perkembangan keterampilan membaca. Pembaca yang menemukan kara-kata
baru, maka kata-kata tersebut dibaca dengan hati-hati. Banyak penderita disleksia
memiliki kesulitan menggunakan jalur ini karena keterampilan fonologis mereka
kurang.13,14
Pada dasarnya, membaca terdiri dari 2 proses utama, yaitu pengkodean dan
pemahaman. Pada penderita disleksia, terdapat defisit fonologis schingga terjadi
kegagalan dalam memisahkan fonem sebagai segmen dasar sebuah karya-tulis.14
Membaca membutuhkan kemampuan visual yang efisien, termasuk
kemampuan untuk memproses lokasi spasial huruf, sementara dalam waktu yang
sama mata juga harus bergerak membaca seluruh teks. Proses ini harus
dikoordinasikan dengan aspek persepsi dan memori, yang pada gilirannya harus
menggabungkan tingkat pengkodean kata dan proses linguistik. Ketilka penderita
disleksia dibandingkan dengan kontrol pada tugas visual yang membutuhkan
persepsi dan motorik okular yang sama, tidak ada perbedaan gerakan mata pada
5
kedua kelompok. Karena itu, perbedan pola pergerakan mata penderita disleksia
pada waktu membaca lebih mencerminkan kesultan dalam proses membaca
daripada gangguan primer pada kontrol motorik okular.15
2.4 Gejala Klinis
Anak-anak dengan gangguan membaca sering membutuhkan waktu dua-
tiga kali lebih banyak untuk membaca teks dibanding anak normal. Keterlambatan
membaca ini menyebabkan kesulitan untuk memahami apa yang telah dibaca,
terutama ketika membaca kalimat yang panjang.16
Kata-kata yang mengandung huruf mati, dibaça sangat lambat dan sering
terjadi kesalahan membaca. Pada kata yang sulit dibaca, anak-anak dengan
gangguan-membaca cenderung untuk membaca kata-kata lain dengan huruf yang
mirip. Beberapa anak berhasil menyimpulkan isi kalimat berdasarkan kata-kata lain
meskipun dengan pengucapan yang salah. Karena itu, diagnosis harus dibuat tidak
hanya memperhatikan pemahaman bacaan, tetapi juga memperhatikan kecepatan
membaca, dan kata-kata yang dapat diucapkan dengan jelas.15,16
Kecepatan membaca yang lambat merupakan gejala utama gangguan
membaca pada anak yang lebih besar. Kesulitan khususnya terjadi pada kata-kata
yang kompleks, bersuku kata banyak, dan jarang digunakan. Dalam situasi
tertekan, gejala akan meningkat. Gangguan membaca juga bermanifestasi dalam
bentuk kesulitan berhitung (diskalkulia) dan belajar bahasa asing.3
Gangguan mengeja ditandai oleh peningkatan jumlah kesalahan mengeja
yang bermakna. Anak-anak dengan gangguan ini biasanya hanya dapat mengeja
dengan benar sebanyak 10% dari 40 kata dalam tes pemeriksan. Ketika diberi
kebebasan untuk menulis, anak-anak ini akan menghindari kata-kara yang tidak
dapat mereka eja dengan benar, yang sering dijadikan kompensasi untuk
menghindari kesalahan mengeja. Kondisi ini sering disalah artikan sebagai
keterbarasan kosa kata atau kurangnya kemampuan linguistik.17
Kemampuan mengeja berkembang sesuai dengan tahap-tahapan. Pada
tahap pertama, anak akan mulai mengeja secara fonetis. Biasanya diperlukan waktu
setahun untuk mempelajari semua huruf hidup. Anak-anak dengan gangguan
mengeja sering memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu sekitar dua tahun. Tahap
perkembangan mengeja berikutnya adalah mengeja secara ortografikal atau
penulisan yang benar. Dalam perkembangan ini, termasuk penggunaan huruf besar
dan huruf kecil dengan benar. Dasar-dasar ejaan yang benar biasanya telah dikuasai
sebelum akhir tahun ke-empat sekolah atau sekitar usia 10 tahun.17,18
Pada anak dan remaja dengan disleksia, 40% sampai 60% di antaranya
mempunyai riwayat kelainan psikologis. Mereka lebih sering mempunyai pikiran
6
negatif, depresi, suasana hati yang tidak menyenangkan, dan keemasan yang
berhubungan dengan sekolah. Mereka sering merasa tersisihkan, disalahkan oleh
guru, dan perasaan ditolak.16,17
Komunilasi antara dokter anak dan pasien dapat memberi kesempatan
untuk mengidentifikasi faktor risiko gangguan membaca secara lebih awal, untuk
mendapatkan terapi secepatnya. Keluhan orangtua, berupa keterlambatan bicara
pada anak, yang mendorong mereka datang kepada dokter dapat menjadi indikator
pertama bahwa seorang anak berisiko menderita kesulitan membaca.
Keterlambatan perkembangan bahasa ringan sampai sedang-seperti tidak mampu
mengucapkan 1 kata pada usia 15-16 bulan dan tidak mampu mengucapkan kalimat
setelah usia 24 bulan- harus mendapat perhatian sebagai faktor risiko.16,18
Pada usia 3- 4 tahun, harus ditanyakan kemampuan anak-anak untuk
melafalkan sajak atau permainan yang menggunakan irama. Ketika anak berusia 5
tahun, seharusnya mereka sudah mengenal huruf pada nama mereka. Akhir periode
taman kanak-kanak, mereka harus bisa membedakan huruf besar dan huruf kecil.
Pengenalan abjad pada usia ini sangat penting karena merupakan awal dalam
proses membaca. Pengenalan huruf pada awal sekolah merupakan prediktor
tunggal untuk gangguan membaca.18
Percobaan bunuh diri pada penderita disleksia 3 kali lebih tinggi daripada
remaja yang bukan penderita disleksia pada usia yang sama. Tingkat gangguan
depresi pada remaja dengan disleksia dua kali lebih tinggi; dan gangguan
kecemasan 3 kali lebih banyak. Gangguan yang paling umum menyertai disleksia
pada usia sekolah dasar adalab attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)
(sekitar 20%). Kelainan lain yang juga sering menyertai adalah diskalkulia dengan
prevalensi sekitar 5%. Prevalensi kombinasi; gangguan membaca dan mengeja
sebesar 8%: gangguan mengeja saja 6%; dan gangguan membaca saja 7%. Hal in
menggambarkan bahwa defisit neurokognitif yang mendasari masing-masing
gangguan mungkin berbeda.19
2.5 Diagnosis
Disleksia merupakan diagnosis klinis. Diagnosis ditentukan berdasarkan
riwayat penderita, pengamatan, dan penilaian psikometri. Dasar diagnosis ICD-10
dan DSM-IV adalah gambaran klinis yang ditandai oleh kegagalan perkembangan
proses membaca dan mengeja. Namun, penelitian terkini menunjukkan terdapat 3
kelainan yang terpisah, yaitu l) kombinasi gangguan membaca dan mengeja atau
disleksia, 2) gangguan membaca dan 3) gangguan mengeja.4
Sebagian besar gangguan membaca tidak terdiagnosis sampai anak di
kelas 3 atau sekitar umur 6-9 tahun. Anak usia prasekolah mempunyal faktor
7
resiko untuk menderita disleksia, antara lain kalau ada riwayat keterlambatan
bahasa arau tidak dapat mengeluarkan suara tertentu (kesulitan dalam permainan
kata-kata, kerancuan pada kata-kata dengan bunyi yang sama, kesulitan belajar
mengenal huruf), dan ada keluarga lain yang menderta disleksia. Pada usia sekolah,
anak sering dikeluhkan tidak dapat mengerjakan tugas-tugas dengan baik.
Orangtua dan guru seringkali tidak menyadari bahwa penyebabnya adalah
gangguan membaca.6
Evaluasi secara menyeluruh diperlukan untuk menentukan diagnosis yang
tepat pada anak dengan gejala kelemahan membaca. Evaluasi in meliputi semua
penyebab yang dicurigai. Penilaian ini harus melibatkan pengukuran menyeluruh
keterampilan, yang meliputi membaca, mengeja, dan aritmatika. Tes kecerdasan
atau tes IQ sering tidak diperlukan, tetapi pada beberapa literatur dikatakan bahwa
tes kecerdasan harus dilakukan.5
Untuk menentukan apakah anak berisiko menderita disleksia, skrining
biasanya dilakukan pada akhir masa taman kanak-kanak atau memasuki sekolah
dasar. Siswa dengan kemampuan membaca di bawah teman seusianya pada
skrining dicurigai berisiko dan diberikan intervensi.19
1. Penilaian kemampuan membaca
Pada saat ini, penilaian kemampuan membaca yang paling diterima adalah
penilaian berdasarkan fonologis. Anak dinilai dengan mengukur pengkodean,
kelancaran, dan pemahaman dalam membaca. Pemeriksan analisis fonologis untuk
anak yang tersedia saat ini adalah Comprehensive Test of Phonological Processing
(CTOPP). Tes ini terdiri atas pengukuran fonologis, pengkodean fonologis, dan
kemampuan mengingat dan memberi dengan cepat.
Pada anak usia sekolah, salah satu elemen yang penting unruk
dievaluasi adalah seberapa akurat anak dapat mengkode kata (nembaca kata-kata
tunggal). Kelancaran membaca dapat dinilai dengan menggunakan The Gray Oral
Reading Test. Tes ini terdiri atas 13 bagian yang semakin sulit dan masing-masing
diikuti oleh 5 pertanyaan pemahaman. Reading Effiency (TOWRE) sebuah tes
untuk kecepatan membaca kata-kata. Skrining oleh dokter dapat dilakukan dengan
mendengarkan anak membaca dengan keras, berdasarkan tingkat kemampuan
membacanya.
2. Pemeriksaan fisik, neurologis dan laboratorium
Pemeriksaan fisik secara umum memiliki peran yang sangat kecil untuk
mengevaluasi disleksia. Gangguan sensorik primer harus disingkirkan terutama
pada anak-anak. Jenis pemeriksaan ditentukan oleh gejala-gejala non-disleksia yang
menunjukkan kelainan khusus. Hasil pemeriksaan neurologis rutin biasanya
8
normal. Pemeriksaan lain, seperti MRI atau analis kromosom, hanya dilakukan jika
terdapat klinik spesifik.
Tabel 1. Gejala Dini disleksia pada usia sekolah. 12
Riwayat
Keterlambatan bicara
Bermasalah dengan irama dari sebuah kata
Kesulitan dalam bahasa ekspresif
Kesulitan untuk memberi nama (kesulitan dalam mempelajari huruf da angka)
Kesulitan dalam mempelajari sebuah huruf
Riwayat kesulitan membaca dan belajar pada orangtua dan saudaranya

Membaca
Kesulitan memisahkan suku kata
Kesulitan membaca kata-kata yang tidak umum
Membaca dengan susah payah dan tidak akurat
Membaca dengan kecepatan yang sangat lambat
Pemahaman lebih baik darpada kemampuan membaca
Sangat kesulitan dalam mengeja

Berbahasa
Hasil yang buruk pada tes pencarian kata
Hasil yang baik pada tes pengenalan kata
Hasil yang buruk pada tes fonologis

Tanda spesifik yang sering pada anak


Kesulitan dengan tes yang menilai pengetahuan dengan huruf, kemampuan
untuk menghubungkan suara dengan huruf, dan fonologis.

Tanda spesifik yang sering pada remaja


Anak dengna riwayat kesulitan membaca dan mengeja
Kecepatan membaca yang lambat
Sumber : Current Concepts Dyslexia, 1998

Tabel 2. Jenis pemeriksaan untuk mengidentifikasi faktor risiko disleksia pada usia
sekolah. 12

Pengenalan huruf
Hubungan antara huruf dengan suara
Kemampuan fonologis
Memori verbal
Penamaan cepat (benda, angka, huruf, atau warna)
Kosakata ekspresif atau pemilihan kata
Sumber : Current Concepts Dyslexia, 1998

2.6 Tatalaksana
Penatalaksanaan disleksia terdiri atas menentukan kelainan serta memberi
pengetahuan kepada orang tua dan guru. Selanjutnya, penatalaksanaan tergantung
pada beratnya disleksia dan kelainan psikologis lain yang menyertai.
Medikamentosa tidak bermanfaat untuk disleksia. Apabila dislkesia disertai ADHD,
medikamentosa dapat memperbaiki kesulitan belajar yang ditimbulkan.18

9
Intervensi ditujukan untuk memperbaiki kemampuan memanipulasi fonem
pada suku kata dengan cara memfokuskan instruksi pada satu atau dua jenis fonem,
mengajar anak-anak dalam kelompok kecil, dan memberikan instruksi yang
eksplisit. (daripada insidentil). Keberhasilan terapi mengacu pada kemampuan
membaca secara oral dengan kecepatan, akurasi, dan ekspresi yang tepat. Metode
yang digunakan adalah membangun minat baca dengan panduan, yaitu anak
membaca dengan suara keras berulang kali di hadapan guru, orang dewasa, atau
reman-temannya, dan menerima umpan balik. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
membaca-oral dengan-panduan memiliki dampak yang jelas dan positif terhadap
pengenalan kata, kelancaran, dan pemahaman membaca. Metode yang harus
dihindari adalah mendorong membaca dalam jumlah besar dan membaca dalam hati
(diam), tanpa umpan balik kepada siswa.18,19
Perangkat untuk terapi disleksia dapat berupa komputer dan perekam
suara. Penderita disleksia biasanya mempunyai tulisan tangan yang tidak dapat
dibaca. Komputer akan sangat bermanfaat karena dilengkapi dengan program
pemantau ejaan, sehingga dapat mengkoreksi kesalahan ejaan yang sering
didapatkan pada penderita disleksia. Perekam suara dapat menyimpan gagasan-
gagasan penderita yang susah dituangkan dalam bentuk tulisan.17
Pada terapi dengan Read Write and Type (RWT) dan Lindamood Phoneme
Sequencing Program for Reading, Spelling, and Speech (LIPS) selama 1 tahun,
didapatkan perbaikan pada phonological awareness, rapid naming. phonemic
decoding, akurasi dan kelancaran membaca, mengeja, membaca secara
komperehensif. Intervensi jangka panjang sering dilakukan pada disleksia. Namun,
terapi dengan intervensi jangka pendek pada anak kelas 1 sekolah dasar yang
berisiko disleksi-pada sebuah studi- memberikan perbaikan yang bermakna
terhadap kemampuan membaca.19
Intervensi keluarga dilakukan pada lingkungan keluarga berisiko yang
berfokus pada phoneme awareness dan pengenalan huruf pada tahun-tahun sebelum
anak diberi pendidikan formal. Anak yang diberi intervensi keluarga mempunyai
pengenalan huruf yang lebih baik.20
Besar dan bentuk huruf dapat memengaruhi kemampuan membaca anak.
Didapatkan hubungan yang berbanding lurus antara besar huruf dengan
kemampuan membaca.Penderita disleksia memerlukan ukuran huruf yang lebib
besar untuk mencapai kecepatan membaca maksimum.20
2.7 Prognosis
Sekitar seperlima penderita disleksia yang menerima intervensi memiliki
keterampilan membaca yang memadai hingga dewasa. Prognosisnya bergantung
10
pada tingkat keparahan disleksia, kekuatan dan kelemahan penderita, serta luas,
waktu, dan ketepatan pengobatan. Diperlukan perawatan intensif dalam jangka
waktu yang cukup untuk mencapai efek yang baik. Deteksi dan pengobatan dini
adalah kunci untuk mendukung anak-anak penderita disleksia, karena anak-anak di
bawah usia delapan tahun memiliki peluang lebih besar untuk mengalami
perbaikan. 20
2.8 Pencegahan
Pencegahan dengan melibatkan anak dalam kelompok bermain/PAUD,
Sanghar Parthant meningkatkan kemampuan berbahasa. Pencegahan berfokus pada
aktivitas permainan bahasa, kesadaran ritme, kesadaran suku kata, dan pengenalan
ucapan. Penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa kegiatan ini bermanfaat
bagi perkembangan bahasa tertulis. Pengajaran yang efektif membutuhkan guru
yang terlatih dan termotivasi. Keluarga memegang peranan yang sangat penting
dalam mengembangkan keterampilan berbahasa. Program membaca bersama di
kelompok prasekolah dapat meningkatkan pengetahuan alfabet. Sebelum anak
mulai bersekolah, orang tua dapat mengenalkan kegiatan alfabet selama 15 menit
setiap hari. Permainan yang mengenalkan ritme dan kreativitas, rima, pengenalan
huruf dan kalimat, serta bunyi huruf sangat berguna dalam program pencegahan
disleksia. Kegiatan kelompok bermain sangat menyenangkan bagi anak-anak dan
mempersiapkan mereka untuk sekolah saat mereka mengerjakan tugas-tugas
tertentu.20,21

11
BAB III
KESIMPULA
N

Disleksia adalah ketidakmampuan membaca dan menulis. Namun,


individu yang terkena dampak memiliki kecerdasan normal, tidak memiliki cacat
fisik atau mental, dan telah menerima pendidikan formal yang sesuai. Dasar
diagnosis ICD-10 dan DSM-IV adalah gambaran klinis yang ditandai dengan
kurangnya perkembangan proses membaca dan mengeja. Ada tiga jenis kegagalan
yang berbeda. 1) kombinasi gangguan membaca dan mengeja, atau disleksia, 2)
gangguan membaca, dan 3) gangguan mengeja.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Olivia Bobby Hermijanto, V. V. (2016). DISLEKSIA: Bukan Bodoh, Bukan


Malas, Tetapi Berbakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. Shaywitz ES, Shaywitz BA. "Dyslexia (specific reading disability)". Pediatr. Rev.
2003;24:147-53.
3. Westwood P. "Learning and learning difficulties: A handbook for teachers".
Victoria:ACER Press: 2004. h. 92-8.
4. World Health Organization. ICD-10. "The International classification of
diseases:Classification of mental and behavioural disorders. Geneva: World
Health Organization; 1993.
5. Rutkowski IS, Crewther DR, Crewcher SG. "Change detection is impaired in
children with dyslexia". Journal of vision. 2003;3:95-105.
6. Handler SM, Fierson WM. "Learning disabilities, dyslexia, and vision".
Pediatrics.2011;127:818-56.
7. Nass R. "Developmental dyslexia: An update". Pediatr. Rev. 1992:13.231-5.
8. Schule-Korne G. "The Prevention, diagnosis, and treatment of dyslexia". Dstch
Arztebl Int. 2010;107:718-27.
9. Pouretemad HR, Khatibi A, Zarci M, Stein J. "Manifestations of developmental
aretexia in monolingual Persian speaking students". Arch. of Iranian Med.
2011:14:259-65.
10. Pramudigdo M. "Aspek neurologi pada siswa sekolah dasar dengan prestasi
belajar rendah". Universitas Diponegoro, Semarang: 1998
11. Habib M. The Neural basis of developmental dyslexia: An overview and voting
hypothesis", Brain. 2000;123:2373-99
12. Siegel LS. "Perspectives on dyslexia". Paediat child health, 2006,11:581-7.
13. Wright G. Learning disorders, dyslexia, and vision Bamily Physician.
2007;36:843-5
14. Grizzle KI, Simms MD. "Early language development and language learning
disabilities." Pediatr. Rev. 2005,26:274.8
15. Shaywitz SE. "Current concepts dyslexia" The N EnglJ Med. 1998:338.307-12.
16. Varol HA, Mani S, Compton DI, Fuchs IS, Fuchs D. "Early prediction of reading.
disability using machine learning". AMIA Symposium Proceedings. 2009:667-7
17. Torgesen JK, Wagner RK, Rashotte CA., Herron I, Lindamood P. "Computer
assisted instruction to prevent early reading difficulties in students at risk for

13
dyslexia:Outcomes from two instructional approaches". Ann Dyslexia
2010;60:40-56.
18. Case LP, Speece DL, Silverman R. Ritchey KD, Schatschneider C, Cooper DH, et
al. "Reading intervention for first-grade children". Learn Disabil. 2010:43.402
19. Otterloo SG, Lei A. Dutch home-based pre-reading intervention with children at
familial risk of dyslexia. Ann. of Dyslexia. 2009 59:169.95.
20. O'Brien BA, Mansfield IS, Legge CE. "The effect of print size on reading speed
in dyslexia". J Res Read. 2005;28-33249
21. Hoeft E, McCandliss BD, Black IM. Gantman A, Zakerani N, Hulme C,
etal."Neural systems predicting long termoutcome in dyslexia".
PNAS.2011;108:361-6

14

You might also like