Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Pembimbing Akademik:
Yulia Indah Permata Sari, S.Kep., Ners.,M.Kep
Ns. Rts. Netisa Martawinarti, S.Kep., M.Kep
Pembimbing Klinik :
Ns. Levi Mariyami, S.Kep
1. Definisi
Diabetes Mellitus merupakan penyakit kronis yang sangat perlu diperhatikan
dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa komplikasi
seperti kerusakan mata, ginjal pembuluh darah, saraf dan jantung. Penyakit ini
ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria serta
sebagian mengalami kehilangan berat badan. (Noor, 2015).
Diabetes Melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat, tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah
faktor. Pada Diabetes Melitus didapatkan defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin. Diabetes Melitus tipe II (DMTII) merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (World Health
Oragnization, 2016).
2. Etiologi
Diabetes Melitus tipe II disebabkan oleh kelainan sekresi insulin dan kelainan
kerja insulin. Pada awalnya terjadi resistensi insulin karena insulin yang berkaitan
dengan reseptor sehingga meningkatkan transport glukosa yang menembus mebran
sel. Berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel mengakibatkan tidak
normalnya insulin. Selanjutnya terjadi kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah
insulin yang beredar. (PERKENI, 2015).
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Diabetes Melitus yaitu
a. faktor keturunan
b. bahan beracun
c. nutrisi
d. virus
e. bakteri.
3. Patofisiologi
Diabetes mellitus adalah penyakit yang disebabkan karena menurunnya
insulin atau defisiensi insulin.
Defisiensi insulin terjadi karena :
a. Kerusakan
b. Menurunnya reseptor insulin pada jaringan perifer c
c. Menurunnya reseptor glukosa di kelenjar pankreas
Diabetes melitus tipe 2 terjadi karena sel-sel insulin gagal karena tidak
mampu merespons dengan baik atau biasa disebut dengan resistensi insulin.
Resistensi insulin disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan juga bisa menjadi
penyebab terjadinya DM. Pasien DM tipe 2 produksi glukosa dalam hati berlebihan
akan teteapi tidak terjadi kerusan sel beta langrhans secara autoimun.
Pada perkembangan awal DM tipe 2 sel beta akan mengalami gangguan
sekresi insulin, apabila tidak segera ditangani makan akan menyebabkan kerusakan
pada sel beta pankreas. Ketika kadar gula dalam darah meningkat, pankreas akan
mengelurkan hormon yang dinamakan insulin sehingga memungkinkan sel tubuh
akan akan menyerap glukosa tersebut sebagi energi. Hiperglikemia pada pasien dm
terjadi karena menurunnya penyerapan glukosa oleh sel yang di ikuti dengan
meningkatnya pengeluran glukosa dalam hati. (Kerner & Bruckel, 2014)
4. Manifestasi Klinis
1. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain: (Kerner & Bruckel, 2018)
a. Penurunan penglihatan
b. Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan
keluar melalui urine.
c. Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi
intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang hipertonik
(konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti
duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan rasa haus
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai
energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis menyebabkan
kelelahan
e. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronis,
katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering terjadi
penurunan berat badan tanpa terapi
f. Konfusi atau derajat delirium
g. Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
h. Retinopati atau pembentukan katarak
i. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi
perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang
tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat
dehidrasi
j. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan
nyeri perifer atau kebas
k. Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2018)
2. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain: (Kerner & Bruckel, 2018)
a. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi
mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
b. Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau
pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
c. Paretesia atau abnormalitas sensasi
d. Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret
vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat
menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
e. Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh
f. Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai
penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari
kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan rebound pada
paginya.
g. Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari (
antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan
sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai
pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II.
5. Faktor Resiko
Faktor resiko yang meningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar
DM tipe 2, sebagai berikut: (Noor, 2015; Garnita, 2016)
1. Obesitas (kegemukan)
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah, pada
derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak
tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam
tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes
Mellitus seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
4. Dislipedimia
Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida >250
mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya
HDL (<35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Umur yang semakin bertambah akan berbanding lurus dengan peningkatan
risiko menderita penyakit diabetes melitus karena jumlah sel beta pankreas yang
produktif memproduksi insulin akan berkurang. Hal ini terjadi terutama pada
umur yang lebih dari 45 tahun.
6. Stress
Stress adalah perasaan yang dihasilkan dari pengalaman atau pistiwa tertentu.
Sakit, cedera dan masalah dalam kehidupan dapat memicu terjadinya stress.
Tubuh secara alami akan merespon dengan banyak mengeluarkan hormon untuk
mengatasi stress. Hormon-hormon tersebut membuat banyak energi (glukosa
dan lemak) tersimpan d dalami sel. Insulin tidak membiarkan energi ekstra ke
dalam sel sehingga glukosa menumpuk di dalam darah.
7. Faktor Genetik
DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental Penyakit ini
sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko emperis
dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika
orang tua atau saudara kandung mengalami penyakit ini.
8. Pola Makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes melitus. Hal ini disebabkan
jumlah/kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum
untuk disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi makanan secara berlebihan
dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat
menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat dan meyebabkan diabetes
melitus.
9. Alkohol dan Merokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan
frekuensi DM tipe 2.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat
mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa
darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat mata karena informasi
yang diberikan lebih objektif kuantitatif.
2. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah
secara tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang
bagi kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat membedakan
normoglikemia atau hipoglikemia.
3. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa
oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar
glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan
setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat setelah satu dari tiga kriteria berikut ini
terpenuhi:
a) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau
lebih.
4. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)
Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan
sebelumnya, biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan pada
lansia dengan toleransi glukosa normal.
5. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga jarang
dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan dimana
pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan anemia hemolitik.
6. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan
nitroprusid yang menghasilkan warna ungu.
7. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu terakhir.
Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140 mg/dl selama 8-10
minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal ginjal dan
hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan sekali dalam
setahun.
8. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian
diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS
memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap kadar glukosa setiap hari.
9. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara
subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector elektroda
oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk mendeteksi
kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi.
7. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Etformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin serta juga
pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati.
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin.
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa.
3) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap
sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa
dapat diturunkan.
b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau
Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila
kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan
terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide penghubung (C-
peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah ekuimolar.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil yang
ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien maupun
keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang
sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih, menghindari
alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk kesehatan,
menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau pekerjaan, pola makan
yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan dan
meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau yang
memiliki resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani
atau kebugaran yang sesuai.
8. Prognosis
Prognosis diabetes mellitus tipe 2 sangat dipengaruhi leh kontrol gula darah,
diaman keadaan hiperglikemia, terutama keadaan hiperglikemia persisten akan
lebih mudah mengalami komplikasi mikrovaskulat seperti retinopati, nefropati, serta
makrovaskular.
kontrol gula drah, modifikasi gaya hidup dengan diet dan makan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan proporsi karbondhitrat tinggi serat, lemak protein
yang seimbang disertai dengan aktivitas fisik yang rutin sangat membantu
mengurangi resiko komplikasi.
9. Pathway
Faktor Resiko
↓
Kerusakan sel β pancreas pada pulau Langerhans
↓
Kegagalan sel β memproduksi insulin
↓
Produksi insulin ↓
↓
Defisiensi insulin
↓
Glukosa tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh
↓ Resiko
Glukosa menumpuk dalam darah → Ketidakstabilan
↓ Kadar Gula Darah
Hiperglikemia
Ginjal ↑ Glukoneogenesis
↓ ↓
Osmotic diuresis ↑ Oksidasi asam lemak → pemecahan cadangan
↓ dan gliserol otot dan lemak
Perpindahan cairan ↓ ↓
dari intraseluler ke sel semakin kekurangan Fatique
interstisial nutrisi ↓
↓ ↓
Intoleransi
Poliuria Ketidakseimbangan Aktivitas
↓ Nutrisi: Kurang dari
Kehilangan cairan Kebutuhan Tubuh
Berlebih
↓
Dehidrasi → Defisiensi Volume
Cairan
10. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati
dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan
oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat,
konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia
dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai kondisinya
mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi
yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan
diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang menderita
diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic
syndrome, HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang
menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan
hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di
atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis osmotic. Tanda gejala
mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru diagnosis menjadi
cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya koma
atau hampir koma).
4. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau
nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam
berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan
lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah makan), diare
noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali
lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini
lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis serebral, terjadinya
retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif, serta depresi sistem saraf
pusat.
6. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini
membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta vaginitis.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakseimbangan Kadar Glukosa Dalam Darah (D.0027)
b. Gangguan Integritas Jaringan (D.0129)
c. Defisit Nutrisi (D.0019)
C. Intervensi
SDKI SLKI SIKI
(D.0027) L.03022 I.03115
Ketidakstabilan Kadar Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hiperglikemia
Glukosa Darah b.d keperawatan selama 3 x 24 Observasi:
Resistensi Insulin jam diharapkan kadar Identifikasi kemungkinan
glukosa darah pasien stabil penyebab hiperglikemia
dengan kriteria hasil : Monitor kadar glukosa darah,
a. Gula darah dalam rentang jika perlu
stabil 70 – 130 mg/dl Monitor tanda dan gejala
b. Pasien dan keluarga dapat hiperglikemia
mematuhi terapi pasien Monitor intake dan output
dan keluarga mampu cairan
mengontrol glukosa darah Monitor keton urine, kadar
secara mandiri analisa gas darah, elektrolit,
tekanan darah ortostatik dan
frekuensi nadi
Terapeutik:
Berikan asupan cairan oral
Konsultasi dengan medis jika
tanda dan gejala hiperglikemia
tetap ada atau memburuk
Edukasi
Anjurkan kepatuhan diet dan
olahraga
Ajarkan pengelolaan diabetes
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian insulin,
jika perlu
Kolaborasi pemberian cairan
IV, jika perlu
(D.0129) L.14125 Perawatan Integritas Kulit
Kerusakan Integritas Setelah dilakukan tindakan Observasi:
Jaringan b.d Perubahan keperawatan 2x24 jam Identifikasi penyebab
Hormonal diharapkan integritas kulit dan gangguan integritas kulit
jaringan meningkat. Dengan Terapeutik:
kriteria hasil : a) Kerusakan Ubah posisi tiap 2 jam jika
lapisan kulit menurun b) tirah baring
Perdarahan menurun c) Nyeri Gunakan produk berbahan
menurun petrolium atau minyak pada
kulit kering
Hindari produk berbahan dasar
alkohol pada kulit
Edukasi
Anjurkan menggunakan
pelembab
Anjurkan minum air yang
cukup
Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Anjurkan menghindari terpapar
suhu ekstrem
Anjurkan mandi dan
menggunkan sabun
secukupnya Perawatan Luka
Kolaborasi
Kolaborasi prosedur
debridement
Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
D. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika
perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi. Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda
dengan urutan yang telah dibuat pada perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan
fleksibilitas dan kreativitas dimana aplikasi yang akan dilakukan pada klien akan berbeda,
disesuaikan dengan kondisi klien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien
E. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini perawat
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah
ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasiseluruhnya, hanya
sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi adalah proses berkelanjutan yaitu
proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien untuk mengetahui (1)
kesesuaian tindakan keperawatan, (2) perbaikan tindakan keperawatan, (3) kebutuhan klien
saat ini, (4) perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain, dan (5) apakah perlu menyusun
ulang priorotas diagnose supaya kebutuhan klien bisa terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Butcher, Dochterman & Wagner. 2018. Nursing Interventions Classification (NIC).
Singapore: Elsevier Singapore Pte Ltd.
Garnita. 2016. Diabetes Risk Factors in Indonesia (Analysis of ILFS 2007 Data). Jakarta: FKM.
Universitas Indonesia.
Liwang F, Tanto C., Hanifati S. 2018. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media
Aescupalius.
Moorhead, Johnson, Maas & Swason. 2017. Nursing Outcome Classification (NOC). Singapore:
Elsevier Singapore Pte Ltd
Nanda. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-2020. Jakarta:
EGC.
Noor, Fatimah. 2015. Artikel Review: Diabetes Mellitus Tipe 2. Journal Majority. 4,5, 2017.\
PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Indonesia. Jakarta.
World Health Oragnization (WHO). 2018. Global Report on Diabetes.