You are on page 1of 22

Refarat

PAPIL EDEMA
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Disusun oleh:

Chibratul Husna, S.Ked


Nim : 2106111051

Pembimbing:
dr. Syarifah Rohaya, Sp. M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSUD CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Papil Edema”. Shalawat
dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
perubahan besar diseluruh aspek kehidupan manusia khususnya di bidang ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata, RSUD
Cut Meutia Kedokteran Universitas Malikussaleh.
Ucapan terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan kepada dr.
Syarifah Rohaya, Sp.M yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah
memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Lhokseumawe, Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................3
BAB I.............................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................4
BAB II............................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
2.1 Anatomi Nervus Optikus.........................................................................6
2.2 Papil Edema............................................................................................8
2.2.1 Definisi..........................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi.................................................................................8
2.2.3 Etiopatogenesis dan Faktor Risiko................................................9
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................12
2.2.5 Manifestasi Klinis........................................................................13
2.2.6 Diagnosis.....................................................................................14
2.2.7 Tata Laksana...............................................................................18
BAB V..........................................................................................................19
KESIMPULAN...........................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Segmentasi Diskus Opticus..............................................................................6


Gambar 2.Diskus Optikus..................................................................................................7
Gambar 3. Skala Frisén yang dimodifikasi untuk menilai papilledema..........................16
Gambar 4. Tampilan klinis..............................................................................................22
Gambar 5. Hasil Pemeriksaan OCT.................................................................................23
Gambar 6. Hasil Pemeriksaan MSCT-Scan Kepala........................................................24
Gambar 7. Diagram jaras visual dengan kerusakan lokasi serabut saraf terkait
defek.................................................................................................................................31

iii
BAB I

PENDAHULUAN
Sebelum abad ke-20, "neuritis optik" digunakan sebagai istilah untuk semua
bentuk edema diskus optikus. Akan tetapi, diketahui bahwa edema diskus yang
berhubungan dengan tumor otak memiliki gambaran klinis yang unik, yaitu fungsi
penglihatan yang dipertahankan pada saat awal dan kehilangan penglihatan yang
melumpuhkan jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu,
istilah "papil edema" diciptakan pada awal abad ke-20 untuk menggambarkan
edema diskus optikus yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial
(TIK)1.
Papil edema adalah penyakit yang mengacu pada pembengkakan diskus
optikus akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Temuan klinis tersebut
diikuti gejala neurologis seperti nyeri kepala, mual dan muntah. Kondisi ini
bersifat progresif dan mengakibatkan penurunan dari fungsi penglihatan hingga
terjadi kebutaan pada pasien. Istilah ini harus dibedakan dari edema diskus yang
menentukan kategori pembengkakan diskus optik yang lebih luas yang
disebabkan oleh etiologi lain. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa TIK dapat
meningkat tanpa adanya pembengkakan diskus optikus2,3.
Papil edema dapat menjadi tanda yang mengkhawatirkan dari berbagai
kondisi yang mengancam nyawa atau penglihatan, termasuk lesi intrakranial yang
menempati ruang dan proses inflamasi atau infeksi yang memengaruhi otak dan
meningen. Namun, pada orang yang sehat, terutama wanita muda, penyebab
paling umum dari papil edema adalah hipertensi intrakranial idiopatik (IIH)1.
Frekuensi papil edema bervariasi tergantung pada studi dan pengaturan
tertentu yang mendokumentasikannya. Di poli dokter spesialis mata, papil edema
paling sering diakibatkan oleh hipertensi intrakranial idiopatik, yang insiden
tahunannya diperkirakan 0,9 per 100.000 pada populasi umum Amerika Serikat.
Hipertensi intrakranial idiopatik terlihat paling banyak terjadi pada wanita
obesitas usia subur dengan insidensi pada wanita obesitas berusia 20 hingga 44
tahun ditemukan 13 per 100000. Penyakit ini tidak ditemukan memiliki
kecenderungan ras dan lebih jarang menyerang pria, anak-anak, dan orang tua.
Kementrian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mencatat insidensi tumor
intrakranial yang menjadi etiologi papil edema paling sering adalah 3.4 per
100.000 penduduk 3,4.
Papil edema mengacu pada edema diskus optik sekunder akibat peningkatan
tekanan intrakranial (TIK). Papil edema merupakan alasan utama untuk merujuk
pasien ke dokter spesialis mata. Dalam kondisi khusus apa pun, papil edema harus
dibedakan dari penyebab edema diskus optik lainnya karena memiliki
patofisiologi dan strategi penanganan yang unik. Jika ditangani dengan tidak
tepat, papil edema dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen2.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nervus Optikus
Saraf optik terbentuk dari 1 – 1,2 juta serabut saraf akson yang membawa
impuls dari sel ganglion retina menuju lobus oksipital. Nervus optikus adalah
saraf kranial kedua yang merupakan bagian dari sistem saraf pusat. Nervus
optikus manusia berawal secara anatomis di diskus optikus, namun secara
fisiologis nervus optikus berawal di lapisan sel ganglion retina. Secara topografi
saraf optik terbagi menjadi 4 bagian. Keempat bagian tersebut adalah intraokular
(diskus optikus), intraorbita (yang dimulai dari posterior bola mata hingga kanalis
optikus), region intrakanalikular (terletak di dalam kanalis optikus), dan
intrakranial (bagian yang keluar dari kanalis optikus hingga kiasma optikus5,6.

Gambar 1. Segmentasi Diskus Opticus5

Diskus optikus merupakan bagian anterior dari saraf optik yang terlihat
secara langsung pada saat pemeriksaan funduskopi. Struktur dari diskus optikus
berbentuk oval dengan ukuran horizontal sekitar 1,5mm dan vertikal sekitar
1,75mm. Bagian temporal menjorok ke dalam disebut cawan fisiologis
(physiologic cup). Cabang utama dari arteri dan vena retina sentralis melewati dari

6
bagian cawan tersebut. Diskus optikus terbagi menjadi 4 bagian yaitu lapisan
superfisial, area prelaminar, area laminar dan retrolaminar6.

Diameter saraf optik membesar hingga 3 mm setelah melewati lamina


kribosa dikarenakan adanya lapisan selaput meningeal yang menyelubungi.
Lapisan meningeal (piamater, araknoidmater dan duramater) berfungsi
melindungi saraf optik. Di antara lapisan pia dan araknoid terdapat ruang
subaraknoid terdapat cairan serebrospinal. Area retrolaminar merupakan bagian
terakhir dari intraokular saraf optik yang berbatasan langsung dengan regio
intraorbital6.

Nervus optikus menerima vaskularisasi dari arteri oftalmika sebagai cabang


dari arteri karotis interna. Bagian superfisial dari nervus optikus menerima
vaskularisasi dari arteri retina sentralis yang masuk ke dalam nervus optikus 10-
12 mm di belakang bola mata. Diskus optikus menerima vaskularisasi yang
berasal dari cabang arteri lingkaran Zinn-Haller. Lingkaran Zinn-Haller ini
menerima tiga sumber vaskularisasi, yaitu pembuluh arteri koroidalis, arteri
siliaris posterior pendek, dan pembuluh darah arteri pial. Drainase vena dari
diskus optikus akan mengalir menuju sistem vena retina sentralis5.

Pemeriksaan diskus optikus merupakan salah satu pemeriksaan mata yang


rutin dilakukan. Diskus optikus dapat memberikan informasi penting mengenai
kondisi intraorbita dan intrakranial. Perubahan pada diskus dapat terjadi salah
satunya akibat peningkatan tekanan intrakranial6.

7
Gambar 2.Diskus Optikus A: Diskus Optik Normal. B: Kondisi
Peningkatan TIK

2.2 Papil Edema


2.2.1 Definisi
Papil edema merupakan edema dari papil saraf optik akibat peningkatan
tekanan intrakranial. Papil edema biasanya terlihat secara bilateral, tetapi dapat
juga terlihat secara asimetris dan jarang terjadi secara unilateral. Hal ini dapat
menjadi tanda yang mengkhawatirkan untuk penyakit yang menyebabkan
peningkatan TIK seperti tumor otak, peradangan serebrospinal (infeksi dan non-
infeksi), dan hipertensi intrakranial idiopatik (IIH). Kondisi papil edema berbeda
dengan penyebab edema diskus optikus lainnya, karena fungsi penglihatan
biasanya normal pada fase akut. Papil edema disebabkan oleh penjalaran TIK
yang meningkat ke ruang subarakhnoid yang mengelilingi saraf optik, yang
menghalangi transportasi aksoplasma di dalam akson sel ganglion. Terdapat
kontroversi yang sedang berlangsung mengenai apakah stasis aliran aksoplasma
disebabkan oleh kompresi fisik akson atau iskemia mikrovaskular3,7.

2.2.2 Epidemiologi
Papil edema dapat disebabkan oleh hipertensi intrakranial idiopatik yang bisa
terjadi pada semua usia, jenis kelamin, dan pada semua kelompok ras atau etnis.
TIK yang tinggi dapat terjadi pada bayi dan anak-anak yang masih sangat muda,
namun ubun-ubun yang terbuka dapat mengurangi perkembangan papil pada
pasien-pasien ini meskipun mereka menderita hipertensi intrakranial.

Hipertensi intrakranial idiopatik (IIH) sebagian besar menyerang wanita


obesitas pada usia subur. Di Amerika Serikat, insiden tahunan per 100.000 orang
diperkirakan sebesar 0,9 pada populasi umum dan 3,5 pada wanita usia 15-44
tahun. Insiden hipertensi intrakranial idiopatik mencapai 13 per 100.000 pada
wanita obesitas berusia 20-44 tahun yang memiliki berat badan berlebih ≥10%
dan mencapai 19,3 per 100.000 jika berat badannya ≥20% dari berat badan ideal.
Insidensi bervariasi di setiap negara, yang kemungkinan berhubungan dengan

8
prevalensi obesitas. Insidennya adalah 1,56/100.000 orang/tahun, 2,86/100.000
pada wanita, dan 11,9/100.000 pada wanita obesitas dalam penelitian di Sheffield,
Inggris. Insiden tahunan yang dilaporkan di negara-negara Timur Tengah
diperkirakan mencapai 2,02-2,2/100.000 pada populasi umum. Meskipun jarang
terjadi, hipertensi intrakranial idiopatik juga dapat terjadi pada anak-anak, pria,
pasien yang tidak mengalami obesitas, dan orang tua. Namun, pasien hipertensi
intrakranial idiopatik atipikal ini harus menjalani evaluasi yang lebih agresif untuk
mencari etiologi yang mendasari8.

2.2.3 Etiopatogenesis dan Faktor Risiko


Penyebab paling umum dari papil edema, terutama pada pasien yang berusia
di bawah 50 tahun adalah hipertensi intrakranial idiopatik (IIH), namun adanya
kondisi yang menurunkan aliran cairan serebrospinal (CSF) dengan menyebabkan
gangguan pada CSF secara mekanis memblokir saluran aliran CSF.7.
Doktrin Monro-Kellie menyatakan bahwa rongga intrakranial adalah
selungkup tulang yang kaku yang terdiri dari volume darah, CSF, dan jaringan
saraf yang tetap. Karena volume intrakranial adalah tetap, perluasan konstituen
apa pun akan meningkatkan TIK kecuali jika volume konstituen lain menurun
sebagai kompensasi. Dengan demikian, mekanisme etiologi berikut ini dapat
meningkatkan TIK: peningkatan volume intrakranial, penurunan volume total
rongga tengkorak, produksi CSF berlebih, penurunan CSF7.

Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh lima mekanisme


patologis:9

1. Ketika tengkorak terlalu kecil untuk otak (misalnya, craniosynostosis)


2. Ketika volume otak menjadi terlalu besar untuk tengkorak, seperti
lesi yang memenuhi ruang (misalnya tumor, perdarahan), atau edema
otak (misalnya trauma)
3. Ketika terdapat obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSF) (misalnya,
kista koloid yang menghalangi foramen Monroe)
4. Peningkatan produksi CSF (misalnya, papiloma pleksus koroid)
5. Berkurangnya penyerapan CSF (misalnya meningitis, trombosis vena

9
serebral)

Berikut beberapa penyebab dari papil edema:8

a. Lesi Massa
Peningkatan volume intraserebral akibat lesi massa dapat menghasilkan TIK
yang tinggi yang menyebabkan papil edema, tetapi kompensasi kompensasi dapat
menghalangi perkembangan papil edema pada kasus kronis. Dalam satu seri, papil
edema hanya ditemukan pada 28% pasien berusia 0-90 tahun dengan riwayat
tumor otak yang datang ke unit gawat darurat, tetapi sensitivitas dan keandalan
deteksi papilledema dalam pengaturan ini mungkin rendah. Lesi massa
infratentorial, yang dapat menghalangi aliran keluar ventrikel pada saluran air
Sylvian yang relatif sempit adalah lebih mungkin menghasilkan papilledema
daripada massa supratentorial lesi. Tumor otak pada anak-anak lebih sering
ditemukan di fossa posterior, dan dengan demikian lebih sering muncul dengan
papilledema.
b. Perdarahan Otak
SAH, hematoma subdural akut (SDH), dan perdarahan intraparenkim
intradural (IPH), semuanya dapat dikaitkan dengan papil edema, dan dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah perdarahan. Papil edema akibat SAH atau IPH hanya
terjadi pada sebagian kecil pasien, meskipun terdapat TIK yang tinggi. Dalam satu
rangkaian pasien dengan aneurisma yang pecah, papilledema ditemukan hanya
pada 16% pasien pasien meskipun ada SAH. Dalam rangkaian kasus ini, papil
edema bersifat unilateral,dan ipsilateral terhadap lesi pada enam kasus. Dipercaya
bahwa SAH menghasilkan papil edema baik dengan menghalangi aliran keluar
CSF di dalam sistem ventrikel atau dengan menghalangi penyerapan CSF pada
granulasi arakhnoid. Demikian juga, kejadiannya papil edema pada pasien dengan
SAH aneurisma telah dilaporkan oleh peneliti lain sebesar 10%- 24%.
Papilledema juga terjadi pada pasien dengan SDH akut dan SDH kronis, tetapi
lebih sering diamati pada fase akut. Sebaliknya, pada pasien dengan hematoma
epidural, papilledema papil edema dapat berkembang beberapa minggu setelah
cedera, terutama ketika hematoma terletak di titik yang menyebabkan kompresi

10
sinus sagital superior.
c. Trauma
Trauma dapat menghasilkan TIK tinggi dan papil melalui mekanisme lain.
Papilledema yang berkembang pada pasien setelah cedera kepala biasanya
digambarkan sebagai ringan (tetapi cukup bervariasi) dan dapat berkembang
dengan segera, terjadi beberapa hari setelah beberapa hari setelah cedera, atau
hingga 2 minggu kemudian. Mekanisme yang didalilkan untuk perkembangan
langsung dari papil edema adalah tiba-tiba dan peningkatan TIK yang parah tetapi
sementara, sedangkan yang berkelanjutan tetapi TIK yang ringan sampai sedang
menyebabkan papil edema yang muncul selama minggu pertama setelah cedera.
Papil edema selama minggu ke-2 atau setelahnya dapat diakibatkan oleh
gangguan CSF penyerapan CSF dan akibatnya mengkomunikasikan hidrosefalus
atau edema serebral fokal atau difus yang tertunda.
d. Hidrosefalus
Hidrosefalus obstruktif (tidak dapat berkomunikasi) diakibatkan oleh dari
kompresi sistem ventrikel atau foramina yang terkait, dan merupakan penyebab
lain dari TIK yang tinggi dengan hasil papilledema. Beberapa penyebab umum
hidrosefalus meliputi neoplasma, intraventrikular.
e. Lesi Sumsum Tulang Belakang
Tumor sumsum tulang belakang adalah penyebab yang tidak biasa dari TIK
yang tinggi dan dapat mengakibatkan perkembangan papil edema. Sebagian besar
tumor tulang belakang ini intradural, tetapi tumor tulang belakang ekstradural
juga dapat menyebabkan TIK tinggi. Pada tumor yang melibatkan serviks bagian
atas. TIK yang tinggi dianggap sebagai pembengkakan ke atas dari tumor dengan
kompresi otak kecil dan obstruksi aliran CSF melalui foramen magnum. Lebih
dari 50% lesi tulang belakang lesi sumsum tulang belakang yang terkait dengan
papilledema adalah ependymoma atau neurofibroma, yang biasanya di daerah
toraks dan daerah lumbar, sehingga mekanisme ini saja tidak mungkin terjadi
menjadi satu-satunya penyebab tingginya TIK.

f. Hipertensi Intrakranial Idiopatik

11
Hipertensi intrakranial idiopatik juga dikenal sebagai pseudotumor cerebri
primer. IIH adalah biasanya didefinisikan dengan pengecualian menggunakan
diagnostik spesifik kriteria tertentu (misalnya, kriteria Dandy yang dimodifikasi).
Kriteria ini meliputi: tanda dan gejala yang hanya disebabkan oleh TIK yang
tinggi (mis, sakit kepala, tinnitus yang tidak sinkron dengan denyut nadi, papil
edema, dan diplopia karena kelumpuhan saraf keenam yang tidak terlokalisasi);
pencitraan saraf normal (misalnya, biasanya resonansi magnetic pencitraan lebih
disukai dengan dan tanpa kontras dan magnetic resonansi venogram); TIK tinggi
(biasanya lebih besar dari 25 cm air yang diukur pada posisi dekubitus lateral kiri)
tetapi komposisi CSF normal; dan tidak ada etiologi alternatif yang mendasari
temuan ini.30 IIH biasanya menyerang wanita usia subur, tetapi mungkin terlihat
pada pasien dari segala usia, pada kedua jenis kelamin, dan tanpa obesitas.

Faktor risiko untuk IH sekunder adalah penggunaan zat eksogen seperti litium,
hormon (misalnya, hormon pertumbuhan, tiroid hormon pertumbuhan, hormon
tiroid), analog vitamin A (misalnya retinoid), antibiotik (misalnya nitrofurantoin,
asam nalidiksat, dan tetrasiklin, tetapi terutama minosiklin) dan asupan atau lebih
mungkin penghentian kortikosteroid.

Pasien IIH biasanya muncul dengan gejala dan tanda TIK yang tinggi. Sakit
kepala adalah gejala yang paling sering dilaporkan gejala yang paling sering
dilaporkan, terjadi pada lebih dari 90% kasus di sebagian besar penelitian. Pasien
IIH sering menderita sakit kepala setiap hari,dan mereka mungkin terbangun
karena sakit kepala. Gejala lainnya mungkin termasuk kekaburan visual
sementara, penglihatan kabur, titik buta yang membesar atau cacat lapang
pandang lainnya, diplopia binokular (karena kelumpuhan saraf keenam yang tidak
terlokalisasi), dan tinnitus yang tidak sinkron dengan denyut nadi. Kehilangan
penglihatan biasanya disebabkan oleh papil edema.

2.2.4 Patofisiologi

Patomekanisme terjadinya papiledema diakibatkan oleh peningkatan tekanan


cairan serebrospinal (CSF) pada selubung saraf optik. Ketika tekanan CSF di

12
intrakranial meningkat, tekanan dapat ditransmisikan ke saraf optik. Hal ini
menimbulkan distensi selubung saraf optik. Kondisi dari distensi selubung
saraf optik mengakibatkan kompresi pada pembuluh darah. Penelitian Hayreh dkk
mengatakan distensi dari selubung saraf optik juga mengakibatkan statisnya aliran
aksoplasmik di akson sel ganglion sehingga terjadi kebocoran cairan aksoplasma,
akumulasi sisa produk metabolisme dan stres oksidatif di diskus optikus yang
menimbulkan pembengkakan pada diskus optikus. Kondisi pembengkakan ini
menyebabkan kompresi pada akson sel ganglion semakin bertambah sehingga
terjadi hipoksia dan apoptosis sel yang mengakibatkan penurunan fungsi visual
pada pasien10.

2.2.5 Manifestasi Klinis


Diperlukan riwayat menyeluruh yang mendokumentasikan keluhan visual
pasien dan etiologi yang mendasari peningkatan TIK. Pasien dapat mengalami
kehilangan lapang pandang dan penglihatan redup sementara. TIK yang
meningkat dapat menyebabkan diplopia binokular horizontal akibat kelumpuhan
saraf abducens, dan bunyi pembuluh darah yang dikenal sebagai tinnitus
berdenyut. Sakit kepala sering terjadi dan dapat memburuk dengan posisi yang
menempatkan aliran volume yang bergantung pada ruang intrakranial. Mual dan
muntah juga dapat terjadi dengan kenaikan TIK yang akut. Obat-obatan seperti
steroid, retinoid, tetrasiklin, kontrasepsi oral harus ditanyakan sebagai penyebab
peningkatan TIK. Penambahan berat badan dan obesitas juga harus menjalani
pemeriksaan sebagai faktor risiko hipertensi intrakranial idiopatik3.

Pemeriksaan oftalmologis dan neurologis standar harus dilakukan dengan


memperhatikan detail diskus optikus. Kurangnya denyut vena spontan pada diskus
merupakan tanda peningkatan TIK ketika telah melebihi tekanan intraokular.
Pemeriksaan dapat menunjukkan peningkatan diskus optikus, pembuluh darah
vena yang melebar, perdarahan di atas diskus, hiperemia pada diskus, dan lipatan
retina peripapiler yang dikenal sebagai garis Paton. Batas diskus menjadi kabur,
dan skema penilaian antar-pengamat yang dapat direproduksi yang disarankan
oleh dokter spesialis mata Lars Friesen digunakan secara luas :3

13
I. Tingkat 1: Gangguan pada susunan radial normal bundel serabut
saraf dengan kaburnya batas nasal cakram optik dan batas temporal
yang normal
II. Tingkat 2: Pengaburan nasal dan temporal (melingkar) pada cakram
optik dengan perubahan yang lebih jelas dari tingkat 1
III. Tingkat 3: Batas tepi diskus yang meninggi dan kabur mengaburkan
satu atau lebih segmen pembuluh darah retina utama
IV. Tingkat 4: Perubahan yang lebih jelas dibandingkan tingkat 3 dan
dengan pengaburan total pada segmen arteri atau vena retina sentral
V. Tingkat 5: Perubahan yang lebih jelas dibandingkan tingkat 4 dan
dengan pengaburan total pada semua pembuluh darah diskus

2.2.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Sebagian besar gejala pada pasien dengan papil edema adalah sekunder
akibat peningkatan tekanan intrakranial yang mendasarinya, sebagai berikut
a. Sakit kepala: Sakit kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial
biasanya lebih buruk saat bangun tidur, dan diperburuk oleh batuk atau
jenis manuver Valsava lainnya.
b. Mual dan muntah: Jika peningkatan tekanan intrakranial parah, mual dan
muntah dapat terjadi. Hal ini pada akhirnya dapat diikuti dengan
hilangnya kesadaran, pelebaran pupil, dan kematian.
c. Tinnitus yang berdenyut
d. Gejala visual sering kali tidak ada, tetapi gejala-gejala berikut ini dapat
terjadi: Beberapa pasien mengalami pengaburan penglihatan sementara
(penglihatan menjadi abu-abu, biasanya pada kedua mata, terutama saat
bangun dari posisi berbaring atau duduk, atau berkedip-kedip sementara
seperti saat menyalakan sakelar lampu dengan cepat). Penglihatan
menjadi kabur, penyempitan lapang pandang, dan penurunan persepsi
warna dapat terjadi. Diplopia dapat terlihat sesekali jika terdapat
kelumpuhan saraf keenam. Ketajaman penglihatan dapat dipertahankan

14
dengan baik, kecuali pada penyakit yang sangat lanjut. Papilledema kadang-
kadang ditemukan pada pemeriksaan rutin pada individu tanpa gejala.

Gejala non-okular yang umum terjadi adalah sakit kepala, mual, muntah, dan
tinnitus berdenyut (sensasi aliran darah dan desiran di telinga). Gejala okular
bervariasi, tetapi umumnya meliputi gangguan penglihatan, baik episode
kehilangan penglihatan sementara dengan perubahan posisi atau manuver
Valsava, atau defek lapang pandang. Penglihatan sentral biasanya tidak
terganggu hingga pada tahap akhir penyakit. Diplopia dapat terjadi jika
peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan kelumpuhan saraf kranial
keenam unilateral atau bilateral12
B. Pemeriksaan Fisik Oftamologis13
Pasien harus dievaluasi untuk masalah neurologis. Tinggi dan berat badan
pasien harus dicatat bila dicurigai adanya peningkatan indeks massa tubuh dengan
hipertensi intrakranial idiopatik.

Ketajaman penglihatan, penglihatan warna, dan hasil pemeriksaan pupil


harus normal. Defek pupil aferen relatif biasanya tidak ada. Defisit abduksi yang
disebabkan oleh kelumpuhan saraf keenam yang salah lokalisasi terkadang dapat
terlihat dalam hubungannya dengan peningkatan tekanan intrakranial, maka
lakukan uji penutup pada bidang pandangan mata utama dan periksa apakah
terdapat motilitas penuh.

Papil edema dapat dinilai dengan menggunakan skala Frisén tetapi tetap
subjektif, sebagai berikut :

15
Gambar 3. Skala Frisén yang dimodifikasi untuk menilai papil
edema

1. Stadium 0 adalah diskus optikus yang normal.


Papil edema stadium 1 adalah lingkaran edema diskus berbentuk C dengan
mempertahankan diskus temporal.
2. Papil edema stadium 2 adalah halo edema yang melingkar pada cakram
optik. (Cawan optik tidak dikaburkan pada papil stadium 1 atau 2, tetapi
mungkin pada papil stadium yang lebih tinggi).
3. Papil edema stadium 3 adalah peninggian cakram optik dengan
pengaburan parsial pada salah satu atau beberapa segmen pembuluh
darah di tepi cakram.
4. Papil edema stadium 4 ditandai dengan pengaburan pembuluh darah
utama yang hampir menyeluruh pada diskus optikus.
5. Papil edema stadium 5 adalah pengaburan sebagian atau seluruh
pembuluh darah pada permukaan diskus optikus.

16
C. Pemeriksaan Penunjang
Jika dicurigai adanya hipertensi intrakranilai idiopatik sebagai salah satu
penyebab papil edema berdasarkan gejala klinis yang muncul, langkah pertama
dalam diagnosis adalah fundoskopi untuk menilai papil12.

1. Funduskopi
Pemeriksaan fundus dapat menunjukkan tanda-tanda di bawah ini.
dengan manifestasi awal dari papilledema meliputi yang berikut ini11
a. Hiperemia diskus
b. Edema halus pada lapisan serabut saraf dapat diidentifikasi dengan
biomikroskopi lampu celah yang cermat dan oftalmoskopi langsung.
Hal ini paling sering dimulai di area diskus hidung. Temuan utama
terjadi saat edema lapisan serabut saraf mulai menutupi pembuluh darah
peripapiler yang halus.

c. Perdarahan kecil pada lapisan serabut saraf terdeteksi paling mudah


dengan lampu bebas merah (hijau).

d. Pulsasi vena spontan yang biasanya terdapat pada 80% individu dapat
dilenyapkan ketika tekanan intrakranial meningkat di atas 200 mmHg.
Oleh karena itu, meskipun keberadaan pulsasi vena spontan sangat
berguna untuk menyingkirkan papilledema (kecuali pada kasus tekanan
intrakranial yang sangat bervariasi), ketiadaan pulsasi vena tidak terlalu
membantu.
2. Optical Coherence Tomography/OCT
Modalitas penting yang digunakan dalam pemeriksaan morfologi dari saraf
optik adalah Optical Coherence Tomography (OCT). OCT berguna untuk
mengevaluasi berbagai gangguan mata seperti atrofi band, glaucoma, retinopati
diabetic, edem macula, retinopati serosa sentral, pembentukan lubang macula, dan
neuropati optic sistemik. Sebagian besar kondisi ini melibatkan penipisan RNFL
(retinal nerve fiber layer). Pemindaian RNFL merupakan salah satu variabel
pengukuran penting pada parameter optic nerve head (ONH) dalam OCT. Hal ini
dikarenakan akson dari sel ganglion retina berkumpul menuju diskus optikus

17
untuk membentuk saraf optik. evaluasi dari pengukuran parameter RNFL ini
memberikan informasi penting baik kondisi patologis pada sistem okular dan saraf
pusat seperti pasien papil edema. Penebalan RNFL ini menandakan adanya edema
aksonal pada pasien papil edema6.
3. Perimetri
Pengujian lapang pandang berguna untuk menilai tingkat kehilangan lapang
pandang perifer. Pemeriksaan ini penting baik untuk menegakkan diagnosa maupun
untuk meneliti perjalanan penyakitnya, juga bagi menetukan sikap pengobatan
selanjutnya. Harus selalu diteliti keadaan lapang pandangan perifer juga sentral11.
Lapang pandang harus diuji. Hasil tes ini biasanya menunjukkan pembesaran titik
buta. Pada edema diskus yang ekstrem, hemianopsia pseudo- bitemporal dapat terlihat.
Pada papil kronis, penyempitan lapang pandang, terutama pada bagian inferior, secara
bertahap dapat terjadi, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi hilangnya
ketajaman sentral dan kebutaan total11.

2.2.7 Tata Laksana


Manajemen untuk papiledema ditujukan untuk mengatasi penyebab
peningkatan TIK. Pada kasus massa, manajemen bedah dapat diindikasikan.
Trombosis sinus vena dapat mendorong dilakukannya pemeriksaan faktor
pencetus dan pencegahan sekunder dengan antikoagulan. Pada pasien dengan
pemeriksaan yang tepat dan TIK yang tinggi yang terdokumentasi di mana tidak
ada penyebab struktural atau penyebab lokalisasi lainnya, istilah hipertensi
intrakranial idiopatik digunakan, dan manajemen gejala pasien adalah dengan
asetazolamid dan penurunan berat badan. Tindakan pembedahan seperti fenestrasi
selubung saraf optik dipertimbangkan ketika penglihatan dianggap sangat
terancam. Pirau ventrikuloperitoneal dan lumboperitoneal adalah intervensi bedah
lain yang dapat mengurangi TIK dengan mengeringkan CSF. Stenting sinus vena
dipertimbangkan pada pasien dengan IIH di mana terdapat stenosis sinus vena
transversal yang signifikan3.

18
BAB V

KESIMPULAN
Papil edema adalah penyakit yang mengacu pada pembengkakan
diskus optik akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Etiologi
papil edema adalah hal-hal yang meningkatkan tekanan intrakranial.
Hipertensi intrakranial idiopatik dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial dapat terlihat pada
manifestasi klinis dan radiologis seperti sakit kepala dan penurunan
aliran darah otak. Maka untuk mendiagnosis seseorang dengan papil
edema maka dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti funduskopi, Optical Coherence
Tomography / OCT, dan perimetri. Manajemen untuk papiledema
ditujukan untuk mengatasi penyebab peningkatan TIK. Pada kasus
massa, manajemen bedah dapat diindikasikan. istilah hipertensi
intrakranial idiopatik digunakan, dan manajemen gejala pasien adalah
dengan asetazolamid dan penurunan berat badan. Tindakan pembedahan
seperti fenestrasi selubung saraf optik dipertimbangkan ketika
penglihatan dianggap sangat terancam. Pirau ventrikuloperitoneal dan
lumboperitoneal adalah intervensi bedah lain yang dapat mengurangi
TIK dengan mengeringkan CSF. Stenting sinus vena dipertimbangkan
pada pasien dengan IIH di mana terdapat stenosis sinus vena transversal
yang signifikan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Al JSXBhs et. Papilledema: A review of etiology, pathophysiology,


diagnosis, and management. Surv Ophthalmol. 2022;67(4):1135–59.
2. Brendan Tao Bhs, Amir Vosoughi M, Edward Margolin M, Jonathan A.
Micieli, MD C. Inappropriate Use of the Term “Papilledema” in the
Medical Literature. Am Acad Ophthalmol. 2022;
3. Margolin RDE. Papilledema. Natl Cent Biotechnology Inf. 2023;
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran tumor otak. 2017.
5. Wardani SI. Jaras Penglihatan Aferen. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjajaran; 2021.
6. Rani Pita Omas. Korelasi antara Tajam Penglihatan dengan Ketebalan
Lapisan RNFL pada Pasien yang terdiagnosis Papiledema. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran; 2021.
7. Jim Shenchu Xie BHSc a, Laura Donaldson MD, PhD b EMM.
Papilledema: A review of etiology, pathophysiology, diagnosis, and
management. Surv Ophthalmol. 2022;67(4):1135–59.
8. Rigi M, Almarzouqi SJ, Morgan ML, Lee AG. Papilledema: Epidemiology,
etiology, and clinical management. Eye Brain. 2015;7:47–57.
9. Edmond J. FitzGibbon MD. Papilledema. Am Acad Ophthalmol. 2021;
10. SS H. Pathogenesis of optic disc edema in raised intracranial pressure. Prog
Retin Eye Res. 2016;
11. Mitchell V Gossman M. Papilledema Clinical Presentation. Medscape.
2022;
12. Cole Swiston MSIV MSM. Case Report of Idiopathic Intracranial
Hypertension and Frisen Scale Papilledema Grading. Clin Opthalmology
Resour Educ. 2018;
13. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI; 2017.
14. Reier L, Fowler JB, Arshad M, Hadi H, Whitney E, Farmah A V, et al.
Optic Disc Edema and Elevated Intracranial Pressure (ICP): A
Comprehensive Review of Papilledema. Cureus. 2022;14(5).
15. Ho RW, Huang HM, Ho JT. The influence of pituitary adenoma size on
vision and visual outcomes after trans-sphenoidal adenectomy : A report of
78 cases. J Korean Neurosurg Soc. 2015;57(1):23–31.
16. Huriyati E, Budiman BJ, Anwar HK. Rinosinusitis Kronis dengan
Komplikasi Abses Periorbita. J Kesehat Andalas. 2015;4(1):313–21.
17. Hajar S, Rakhmawati Emril D, Lazuardi Sary N. Neuropathological Aspect
of the Visual Aferen Pathways Aspek Neuropatologis Pada Jaras Visual
Aferen. J Sinaps. 2022;5(1):13–26.

You might also like