You are on page 1of 10

Peran ulama di tanah air telah signifikan sejak lama.

‘Ulama’ adalah satu pengakuan


dari umat akan bukan hanya karena ilmunya saja, tetapi juga karena kredibilitas,
konsistensi dan perjuangannya. Aceh, adalah salah satu episentrum perjuangan ulama
yang tak habisnya memberi hikmah. Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro,
ulama yang diakui keilmuan dan konsistensinya memperjuangkan Islam di masa-masa
Perang Aceh.

Traktat Sumatera tahun 1871 adalah awal dari satu bencana di Aceh yang akan
mengobarkan perang hebat selama lebih dari 40 tahun. Arogansi Belanda yang
menolak kedaulatan Kesultanan Aceh lewat Traktat Sumatera berujung beberapa
insiden yang terjadi di perairan Aceh. Satu jalan perundingan yang diajukan Belanda
dan permintaan untuk mengakui kedaulatan Belanda dijawab dengan penolakan tegas
oleh Sultan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Penolakan Sultan atas permintaan Belanda dianggap sebagai satu deklarasi perang.
Padahal sikap Sultan hanyalah merespon kesewenangan Belanda. Penolakan Sultan
Aceh ini dianggap oleh Belanda yang diwakili F.N. Nieuwenhuyzen, sebagai deklarasi
perang. Pada 26 Maret 1873, Belanda akhirnya mengumumkan pernyataan perang
kepada Kesultanan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada 31 Maret 1873, kapal perang Citadel van Antwerpen melepaskan meriam ke
sebuah benteng di pantai Aceh. Perang Aceh pun pecah. Saat menginjakkan kaki di
daratan Aceh, meski ditembak dengan 12 kali letusan Meriam, pasukan Belanda tetap
mendarat di Aceh. Rencana yang dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf
Kohler seakan tampak mudah. Mereka akan mendarat di muara sungai Aceh,
kemudian menuju ke keraton tempat kediaman Sultan, serbu lalu kuasai. Sehingga
Aceh akan mereka kuasai. (Paul van t’Veer: 1985)

Kala itu Kesultanan Aceh sudah melewati masa jayanya. Banyak daerah di sekitar
pusat kekuasaan dikuasai oleh para penguasa lokal (Uleebalang). Uleebalang-
uleebalang ini menjadi satu penguasa yang menguasai jalannya arus perdagangan.
Sultan hanyalah satu kekuatan simbolik yang menyatukan Aceh. (Ibrahim Alfian:
2016)

Meski demikian, hal-hal seperti ini tak diketahui oleh Pasukan Belanda saat itu. Satu
persoalan penting dari ekspedisi ini adalah sebenarnya tentara kolonial tak tahu apa-
apa tentang Aceh. Gambaran Keraton Aceh beserta denahnya hanya mengandalkan
satu Buku Saku Ekspedisi Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)

Buku ini ternyata memberikan informasi yang bertabur kesalahan. Minimnya


pengetahuan mereka tentang Aceh dan Kesultanannya ditandai dengan kesalahan
mereka mengira bahwa Masjid Raya (sekarang Masjid Baiturrahman) adalah pusat
Kesultanan Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)

Serbuan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kohler ini berujung petaka. Setelah
beberapa hari berperang, pasukan Belanda dapat menguasai Masjid Raya Kutaraja.
Tetapi Masjid ini pun akhirnya mereka tinggalkan. Pada 14 April 1873, Pasukan
Belanda yang dipimpin Jenderal Kohler kembali merangsek menguasai Masjid Raya.
Kedatangan Pasukan Kohler disambut teriakan pejuang aceh yang mengerikan,
kumandang kalimat la ilaaha illallah bergema dan peluru yang menyalak dari senapan-
senapan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Satu peluru menembus dada Jenderal Kohler membuat pasukan penjajah memilih
mundur dan tiga hari kemudian mereka mengundurkan diri ke pantai. Pada 23 April
1873 mereka angkat kaki dari Aceh. Mewariskan 45 mayat tentara mereka (termasuk
8 opsir) serta 405 orang luka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Kekalahan ini disambut duka di Belanda. Jenderal Kohler ditangisi oleh Kerajaan
Belanda. Namun Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah. Enam bulan
kemudian, ekspedisi kedua dikirimkan ke Aceh. Kali ini lebih besar dan massif dari
yang pertama. Belanda memberangkatkan Angkatan Laut dan Daratnya dengan
kekuatan dua kali lipat dari ekspedisi pertama. (Paul van t’Veer: 1985)

Sebanyak 18 kapal perang bertenaga uap, 7 kapal uap Angkatan Laut, 12 barkas, 2
kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat
dipimpin Letnan Jenderal Johannes Van Swieten menerobos kembali. Target mereka
tetap sama. Penguasaan pusat Kesultanan Aceh. Strategi menguasai pusat kekuasaan
termasuk menaklukkan Sultan Aceh dalam pikiran pemerintah kolonial berarti
jatuhnya Aceh ke tangan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul van t’Veer: 1985)

Pasukan Belanda kemudian mendarat di Kampung Leu’u, dekat Kuala Gieng, Aceh
Besar pada 9 Desember 1873. Persiapan yang lebih baik membawa pasukan Belanda
pada satu keunggulan. Perlawanan yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim, keluarga dari
Sultan Aceh, Imam Lueng Bata dan T. Nanta Setia, tak mampu menghalau mereka.

Masjid Raya kemudian jatuh ke tangan Belanda pada 6 Januari 1874. Setelah
bertempur hampir dua bulan, pada 24 Januari 1874 Belanda akhirnya dapat menguasai
‘Dalam’ atau Keraton. Mereka kemudian menghentikan agresinya dan berharap dapat
membuat persetujuan dengan Sultan Aceh. Namun 5 hari kemudian, Sultan Aceh
Mahmud Syah wafat. (Ibrahim Alfian: 2016)

Wafatnya Sultan Aceh membuat pemerintah kolonial merevisi taktik mereka. Mereka
tak lagi berharap penerus Sultan mau bekerja sama. Mereka mengabaikan Putra
Mahkota Sultan yang nantinya diwakili Mangkubumi, Habib Abdurrahman Az-Zahir.
Van Swieten pun memilih untuk menjalankan sendiri otoritas di Aceh. Rencana ini
akhirnya membentuk wilayah administratif Aceh Besar (Groot Atjeh) yang
merupakan bekas pusat kekuasaan Kesultanan Aceh. (Martijn Kitzen: 2012)

Wilayah di luar Aceh Besar disebut Onderhoorigheden (Depencies/Ketergantungan).


Wilayah ini berupa wilayah pesisir negeri-negeri kecil yang dikuasai penguasa lokal
Uleebalang yang tak terlalu terikat pada Sultan. Tentu saja hanya sebagian Uleebalang
di pesisir Aceh ini yang mau menerima Belanda.
Sebagian lainnya, menolak kehadiran Belanda. Dinamika ini akan membuat
Pemerintah Kolonial semakin sulit bergerak ketika pengaruh ulama yang sebelumnya
tidak diperhitungkan, semakin membesar. Di sinilah kehadiran ulama menggelorakan
jihad fi Sabilillah melawan Belanda membuat rakyat Aceh memberikan perlawanan
hebat terhadap Belanda.

Peranan Teungku Chik di Tiro

Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro. Peranannya dalam perang Aceh,
khususnya tahun 1874 hingga 1891 tak dapat dikesampingkan. Nama besar keluarga
Di Tiro dimulai dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Seorang
ulama yang memimpin Dayah Tiro. Dayah ini terletak di Gampong Tiro, di kiri dan
kanan Sungai Pidie. Pidie telah lama menjadi satu pusat Pendidikan Islam di Aceh.
Rakyat Aceh mengirimkan anak-anak mereka ke Pidie agar mendapatkan Pendidikan
Islam.

Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin kemudian menyerukan agar orang-orang


Pidie melakukan perang Sabil ke Aceh besar. Teungku Chik di Tiro Muhammad
Amin pun mengangkat salah satu anggota keluarganya, yaitu Syaikh Muhammad
Saman sebagai tangan kanannya untuk membantu mengerahkan rakyat berperang
sabil melawan Belanda. (Paul van t’Veer: 1985)

Kelak, keputusan mengangkat Syaikh Muhammad Saman ini menjadi keputusan yang
tepat. Pasca wafatnya Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin, Syaikh Muhammad
Saman menjadi penggantinya dan dikenal sebagai Teungku Chik di Tiro Muhammad
Saman. Ayah Muhammad Saman adalah Teungku Syekh Abdullah dari Kampung
Garot. Ibunya adalah Sitti Aisyah, kakak dari Teungku Muhammad Amin Dayah Cut.
(Ismail Jakub: 1960)

Kepemimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai ulama menjadi satu
kedudukan penting di masyarakat Aceh. Bersama Sultan, dan Tuanku Hasyim, ia
sangat berpengaruh di rakyat Aceh untuk menggelorakan jihad fi sabilllah. (Ibrahim
Alfian: 2016)

Jadi Buronan Belanda

Pengaruh Teungku Chik di Tiro semakin meningkat sejak tahun 1882. Hal ini dapat
dilihat dari satu instruksi rahasia oleh pemerintah Hindia Belanda yang
memerintahkan Gubernur Jenderal Aceh untuk memberi hadiah bagi orang yang
sanggup menyerahkan pemuka Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, hidup atau mati,
sebesar 1000 dollar. (Paul van t’Veer: 1985)

Apa yang menyebabkan Belanda begitu bernafsu menghabisi Teungku Chik di Tiro?
Hal ini karena begitu efektif dan masifnya dakwah Teungku Chik di Tiro. Lewat
kenduri-kenduri, ia menyebarluaskan ajakan perang sabil dan memerangi kaphe
(kaum kuffar), red. Lewat kenduri pula ia memperoleh berbagai informasi. (Ibrahim
Alfian: 2016)

Dakwah Teungku Chik di Tiro bukan menyasar rakyat jelata Aceh saja, tetapi juga
mengingatkan para uleebalang dan keuchik yang telah berpaling kepada Belanda agar
kembali ke jalan perang sabil. Penyampaian surat-surat ini biasanya didelegasikan
kepada para pemimpin agama seperti Teungku Polem di Njong, Teungku Awe Geutah
di Peusangan, dan lainnya.

Salah satunya adalah suratnya kepada semua uleebalang, Imum, wakil, keuchik
termasuk Teuku Baid, uleebalang dari Tujuh Mukim. Teungku Chik di Tiro
Muhammad dalam suratnya mengajak para pemimpin itu dengan surah Ali Imran ayat
104 yang berbunyi:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar.”

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman kemudian melanjutkan:

“Hai Teuku Baid yang hulubalang Tujuh Mukim itu tiada ayak kami bahwasanya
tuan-tuan itu setengah daripada hulubalang Raja Aceh dan imam kami Muslimin,
padahal hanya dipertanggung oleh Allah Ta’ala pada Negeri Tujuh Mukim seperti
timbangan Syar’i yang betul dan dipenyata akan tuan dalil yang nyata Qur’an dan
Hadith dan Kitab. Jika tuan berbuat adil pada hukum maka beroleh pahala akan diri
tuan dan akan kami ikut tuan dan jika tuan fasiq dan tuan zalim tiada tuan ikut seperti
syari’at maka yang di kami Insya Allah beroleh pahala dan yang melarat itu atas tuan
sahaja maka takut olehmu hai Teuku Baid bahwa di-peulamah [diperlihatkan] oleh
Allah Ta’ala pada hari kiamat di hadapan raja-raja orang Islam jadi engkau sehina-
hina manusia dan serugi-ruginya manusia.” (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada akhirnya Teungku Chik di Tiro meminta T. Baid agar mengikuti Allah dan
Rasul-Nya seta mengikut kaum muslimin dan memintanya agar membuat benteng-
benteng untuk menghadapi Belanda.

Peringatan Teungku Chik di Tiro

Kepada Teuku Nek Meuraksa ia mengawali suratnya dengan menyebut dirinya


seorang ‘fakir’ dan bernama”…Haji Syeh Saman Tiro, seorang hamba yang berjihad
pada jalan Allah di dalam negeri Aceh dar as salam wal aman.” (H.C. Zentgraaff:
1983)

Ia mengingatkan pada mereka agar takut kepada Allah. “Allah! Allah! Takutilah Allah
dan janganlah tuan-tuan meninggal sebelum menjadi orang-orang yang beriman.”

“Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka,
dengan persenjataan-persenjataan mereka serta serdadu-serdadu mereka yang baik
dibandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita, persenjataan-persenjataan kita
dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang
memiliki balatentara yang terbaik selain Allah S.w.t. Yang Mahakuasa dan tidak ada
yang dapat memberikan kekalahan dan kemenangan selain Allah S.w.t Rabbal
‘alamin.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Kenyataannya, himbauan Teungku Chik di Tiro bukan saja pada kaum Muslimin di
wilayah yang belum dikuasai Belanda. Pada wilayah yang telah dikuasai pun ia terus
mengingatkan. Pertama, bahwa telah diwahyukan tanda-tanda kemenangan dengan
mundurnya orang-orang kafir. Kedua, mereka yang berada di daerah pendudukan
yang seagama hendaklah meninggikan agama Islam, berbuat baik, mencegah hal-hal
yang munkar dan memerangi orang-orang kafir. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ketiga, Imam Mahdi telah lahir di Sudan dan sedang memerangi musuh-musuhnya.
Keempat, orang-orang yang telah dengan buktinya yang nyata membelot, hendaknya
diperangi, sementara kaum Muslimin yang berada di daerah yang diduduki Belanda
supaya benar-benar menjadi saudara kaum Muslimin dan hendaklah bermusyawarah,
bermufakat dalam hal menguatkan agama dan membunuh mereka, merampok dan
menjarah harta mereka, menipu dan mendustakan mereka dengan sekuat tenaga yang
ada. Kelima, dengan izin Allah, orang-orang kafir akan dikalahkan dan melarang
kaum muslimin untuk bersikap ragu, karena kaum yang meragu bukan bagian dari
kaum muslimin.(Ibrahim Alfian: 2016)

Nasihat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman ini bahkan bukan hanya ditujukan
pada kaum Muslimin, tetapi pada orang-orang Belanda. Beliau mengirim surat pada
penguasa Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1885, atau 12 tahun setelah pecahnya
perang, Syaikh Saman dengan percaya diri menulis surat pada Residen Belanda di
Kutaraja. Dalam surat itu ia menyatakan;

“Jika boleh tuan-tuan masuk agama Islam dan menurut syari’at nabi itulah yang
terlebih baik atau tuan-tuan sejahtera dunia dengan tiada aib keji lari pontang-panting
tiap-tiap sawah, selokan, hutan dan jalan dan yang terlebih jahat lagi itu siksa akhirat,
dalam neraka jahanam dengan hukum Tuhan yang amat kuasa maka jika tuan-tuan
masuk Islam sama-sama orang Aceh maka kami harap kepada Tuhan seru sekalian
alam terpelihara daripada nyawong [nyawa] dan darah dan [h]arta dan megah dan
terpelihara daripada aib keji tangkap dibawa ke mana-mana atau terbunuh dengan
kehinaan barangkali jika tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat
untung baik dapat kemegahan jadi tuan akan kepala kami dan dapat harta.” (Ibrahim
Alfian: 2016)

Surat ini tak ditanggapi pejabat Belanda. Tiga tahun kemudian Teungku Chik di Tiro
mengirimkan kembali surat peringatan kepada Belanda seraya mengingatkan bahwa
Belanda sudah sekitar 16 tahun memerangi negeri Aceh, dan yang mereka dapatkan
hanya uang kompeni yang habis, pedagang yang miskin, dan rakyat Aceh yang syahid
serta kampung-kampung yang binasa.
Ia bertanya tidakkah Belanda memikirkan semua akibat itu. Sekali lagi ia mengajak
Belanda untuk masuk Islam. “Tuan Besar masuk agama Islam mengucap dua kalimah
syahadat. Insya Allah sampailah tuan dunia akhirat, sempurna dunia dapat kerajaan
[memerintah] dengan senang, boleh tuan Besar perintah atas Negeri Aceh
ini…”(Ibrahim Alfian: 2016)

Surat Teungku Chik di Tiro sendiri akhirnya dibalas oleh Gubernur Sipil dan Militer
di Aceh, Hendri Karel Frederik van Tejin. Van Tejin mengakui bahwa ia ingin perang
segera berakhir karena banyaknya korban dan kehancuran. Ia berharap Teungku Chik
di Tiro dapat membina kesejahteraan rakyat Aceh. Namun ia menolak menyambut
ajakan masuk Islam, sebab menurutnya Belanda tidak melakukan perang agama di
Aceh. Ia malah berharap bertemu dengan Teungku Chik di Tiro. (Ibrahim Alfian:
2016)

Balasan van Tejin ditolak Teungku Chik di Tiro. Dengan tegas ia mengatakan bahwa
tidak mungkin ada perdamaian selama orang kafir masih di negeri Aceh. Menteri
Jajahan Belanda, Levinus Keuchenius turut bereaksi atas ajakan masuk Islam ulama
besar Aceh tersebut. Ia memerintahkan agar Van Tejin menjawab ajakan itu dengan
mengutip surat Al-Baqarah 257 yang menyebutkan tak ada paksaan dalam agama
Islam. Sekali lagi, Ia mengatakan bahwa pemerintah Belanda menginginkan adanya
keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Teungku Chik di Tiro menolak jawaban pemerintah Belanda ini. Pada 24 April 1889,
ia menjawab lewat surat bahwa jawaban bahwa Belanda menignginkan kedamaian
tidaklah masuk akal. Ia bahkan mengibaratkan hal itu bertolak belakang seperti siang
dan malam, matahari dan bulan, munafik dengan mukmin. Ia kemudian menjawab
bahwa ia berharap pada Allah Belanda akan binasa. (Ibrahim Alfian: 2016)

Arsitek Jihad di Aceh

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman adalah ulama cerdas yang tak bisa
dibohongi oleh retorika dan muslihat kata-kata pejabat Belanda. Ia bukan saja ulama
yang disegani, tetapi juga arsitek jihad fi sabilillah di Aceh. Kedudukannya menjadi
sangat penting. Ketika kepemimpinan perang dipimpin oleh Mangkubumi Habib
Abdurrahman az-Zahir, dukungan ulama-ulama terutama Teungku Chik di Tiro
menjadi sangat berarti. (Anthony Reid: 2005)

Pun ketika Abdurrahman az-Zahir akhirnya menyerah kepada Belanda, Sultan Aceh
memberi kewenangan kepemimpinan pada Teungku Chik di Tiro. Oleh Sultan Aceh
Muhammad Daud Syah ia diberi stempel ‘chap shikureueng.’ Stempel ini memberinya
kedudukan sebagai pemimpin agama tertinggi di negeri itu. (Anthony Reid: 2005)

Pengaruhnya memang tak tertandingi oleh ulama-ulama lain di Aceh. Sejarawan


Anthony Reid menyebutnya ahli teori dan strategi perang suci yang cerdas.
Sementara, Henri Carel Zentgraaff, jurnalis yang pernah menjadi tentara Belanda di
Aceh menyebutnya sebagai orang yang mengorganisir perang sabil. Zentgraaff
menilai seruan Teungku Chik di Tiro berdampak besar pada rakyat Aceh. (H.C.
Zentgraaff: 1983)

Seruan Teungku Chik di Tiro pada pejabat Belanda menurut Zentgraaff “…ia
dirumuskan persoalannya dengan sederhana sekali: Menganut agama Islam dan hidup
berdamai dengan orang-orang Aceh atau diusir dari daerah itu secara kekerasan
dengan ancaman: masuk neraka di akhirat.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Zentgraaff memang tidak salah. Bagi Teungku Chik di Tiro perlawanan terhadap
kaum kaphe (kafir) bukanlah pilihan melainkan satu keharusan. Tawaran Belanda
untuk berdamai dan menawarkan kedudukan sebagai mufti tak dipedulikannya.
(Ibrahim Alfian: 2016)

Ia semakin berperan dalam perang Aceh ketika Habib Abdurrahman az-Zahir


menyerah pada pemerintah Belanda. Sebagai ulama yang diangkat oleh Sultan sebagai
pemimpin agama, membuat pengaruh Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman
semakin menghujam ke rakyat. Sejak 1878, ia mendirikan basis perlawanan gerilya di
Keumala. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya berkeliling di pantai Utara dan di
Aceh Besar. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ia berkeliling ke berbagai wilayah mengobarkan semangat agar rakyat melakukan


jihad fi sabilillah memerangi kaphe penjajah. Lewat kenduri-kenduri ia menyerukan
perlawanan. Bahkan seruan perlawanan ini disisipkan melalui hikayat seperti Hikayat
Perang Sabil yang berisi kisah-kisah kepahlawanan dan ganjaran akan amal jihad.
Kepada kaum muslimin yang tak bertempur Teungku Chik di Tiro mengumpulkan
zakat untuk membiayai perlawanan kaum muslimin. (Ibrahim Alfian: 2016 dan H.C.
Zentgraaff: 1983)

Ia juga memberi imbalan pada kaum muslimin yang berhasil merebut senjata dari
kompeni. Satu hal yang paling penting, ia adalah otak di balik penyerangan-penyerang
terhadap pos-pos militer Belanda. Kelompok mujahid di bawahnya asuhannya
mendapat pelatihan berat yang menekankan pada latihan-latihan keagamaan.
(Anthony Reid: 2005)

Menerkam Taktik Defensif Belanda

Taktik Belanda pada satu dekade pertama kehadiran mereka, memang lebih
mementingkan strategi yang defensif. Mereka lebih memilih menguatkan wilayah
yang mereka kuasai dan bertahan pada pos-pos mereka.(Martijn Kitzen: 2012)

Memang ada serangan-serangan oleh pasukan Belanda yang dilakukan keluar wilayah
pertahanan mereka. Seperti misi-misi brutal yang dipimpin Van der Heijden. (Paul
van t’Veer: 1985) Namun secara keseluruhan, pada satu dekade lebih, strategi Belanda
tetap berporos pada strategi ‘konsenterasi lini,’ dan membuat mereka tidak agresif
mengejar para geriliyawan Aceh. Sebaliknya, pos-pos pertahanan Belanda menjadi
bulan-bulanan geriliyawan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada tahun 1886 saja misalnya, lebih dari empat kali pos-pos Belanda diserbu pejuang
Aceh di bawah Teungku Chik di Tiro. Setahun kemudian, lebih dari 400 orang
pasukan Chik di Tiro berhasil menembus pertahanan Belanda. (Anthony Reid: 2005)

Gubernur Van Tejin dalam laporannya tahun 1887 menyatakan bahwa sebagian rakyat
di Aceh Besar telah menyerah dan kembali pada kehidupan mereka semula. Laporan
itu menyebutkan bahwa perlawanan-perlawanan di Aceh Besar hanya dilakukan oleh
150 orang pengikut Teungku Chik di Tiro dan anaknya Teungku Muhammad Amin.
Teungku Muhammad Amin memang tak sehebat ayahnya dalam ilmu agama, namun
ia menjadi pemimpin militer yang handal. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pejuang Aceh membagi dirinya menjadi beberapa kelompok, melakukan serangan-


serangan ke depan konsenterasi lini, menembaki pos-pos dan melakukan serangan-
serangan sabotase terhadap transportasi Belanda, menyerang patroli, menyabotase
jalur kabel telepon, rel kereta, menghancurkan jembatan-jembatan. (Ibrahim Alfian:
2016)

Klaim van Tejin ialah pejuang Aceh membebani penduduk setempat untuk memberi
mereka makan. Van Tejin menganggap rakyat Aceh tidak menyukai mereka dan ingin
agar pejuang di bawah Teungku Chik di Tiro segera pergi dari kampung mereka.
Maka Belanda mengira kelompok yang bergabung di bawah ulama besar dan
keluarganya ini hanyalah perampok dan orang-orang berbahaya yang memadukan
nafsu merampok dengan perang melawan orang kafir, bukan karena keyakinan
mereka mengusir Belanda dari tanah air mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Di sinilah kita dapat melihat ketidaktahuan van Tejin akan pengaruh Islam di Aceh.
Perang geriliya tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bantuan penduduk setempat.
Justru nyawa perang tersebut terletak dari suplai dan dukungan penduduk setempat
yang seringkali mengandalkan logistik dari rakyat setempat.

Van Tejin tak pernah memahami motivasi jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Menurut
sejarawan Aceh Teuku Ibrahim Alfian dalam karyanya Perang di Jalan Allah: Perang
Aceh 1873-1913 pengikut Teungku Chik di Tiro adalah orang-orang miskin yang
datang dari Pidie, Gigeng, bahkan Tanah Gayo yang tidak mempunyai harta apa-apa
dan tidak akan kehilangan apa-apa. Mereka hanya mengikuti petunjuk ulama yang
menyerukan kemuliaan jihad fi sabilillah dan ganjaran yang akan diterima oleh
mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Takdir Allah menentukan nasib Teungku Chik di Tiro. Pada 15 Januari 1891,
Teungku Chik di Tiro wafat. Tersiar kabar bahwa beliau diracun oleh anaknya sendiri,
Teungku Muhammad Amin. Namun kabar itu sendiri tak dapat dibuktikan
kebenarannya. Tampaknya itu merupakan propaganda yang dihembuskan pemerintah
kolonial. (Ismail Jakub: 1960) Lagipula hal ini tentu bertolak belakang dengan
kenyataan bahwa ayah dan anak ini bahu-membahu berjihad di Aceh.

Mengutus Snouck Hurgronje

Wafatnya ulama besar ini membuat Belanda membutuhkan satu petunjuk tentang
dampaknya bagi rakyat Aceh. Pemerintah kolonial akhirnya mengutus Snouck
Hurgronje ke Aceh untuk mengumpulkan informasi untuk mengetahui sikap para
ulama setelah wafatnya Teungku Chik di Tiro. Selain itu penyelidikan ini berfungsi
untuk mencari tahu bagaimana pengaruh para ulama dan jalan apa yang ditempuh
Sultan Aceh untuk memenuhi kehendak para ulama. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul
van t’Veer: 1985)

Snouck Hurgronje yang melakukan studi di Aceh sejak 16 Juli 1891 sampai 4
Februari 1892 kemudian memberi informasi yang amat berlimpah mengenai rakyat
Aceh dan pengaruh Islam pada mereka. (Paul van t’Veer: 1985) Informasi ini yang
kemudian mengubah jalannya peperangan di Aceh dengan kombinasi militer dan
orientalisme.

Kepemimpinan perang diambil alih oleh Teungku Chik Muhammad (Mat) Amin.
Ketiga putra Teungku Chik di Tiro lainnya; Teungku Mayet, Teungku di Buket, dan
Teungku Lam turut pula meneruskan perjuangan ayahnya. (H.C. Zentgraaff: 1983)

Perjuangan bahkan bukan saja diteruskan oleh anak-anak beliau, tetapi juga oleh para
cucu dan kerabatnya. Belanda membunuh Teungku Mat Amin di tahun 1896. Dalam
pertempuran hebat di Benteng Aneuk Galong yang menjadi basis Teungku Mat Amin,
putra Teungku Chik di Tiro tersebut akhirnya gugur di tangan pasukan Marsose.
Zentgraaff mengisahkan pertempuran hebat itu yang menurutnya;
“Orang-orang Aceh bertempur seperti singa, di antaranya ada yang lebih suka
dikubur hidup-hidup di dalam api yang menyala-nyala daripada harus menyerah
kalah.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Teungku Lam gugur diterjang peluru Belanda. Teungku di Buket gugur di bulan Mei
1910 setelah diserbu Marsose.Teungku Mayet juga gugur di Bulan September 1910
disergap Marsose, setelah mereka mendapatkan petunjuk dari keluguan putra Teungku
Mayet yang berusia enam tahun. Anak itu lahir dan besar di hutan belantara. Belanda
terus memburu keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro lainnya. (H.C.
Zentgraaff: 1983)

Teungku Chik Ma’at, anak Teungku Mat Amin yang gugur di Aneuk Galong tahun
1896 menjadi generasi ketiga Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang diburu
oleh Belanda. Cucu Chik di Tiro ini akhirnya syahid setelah disergap Marsose.
Perburuan ini dilakukan setelah Belanda mencoba menawarkan perdamaian dengan
Teungku Mat Amin. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. (H.C. Zentgraaff: 1983)
Zentgraaff mengenang penutupan perburuan generasi ketiga Chik di Tiro tersebut
dengan mengatakan:

“Demikianlah keinginnannya itu telah terpenuhi: syahid seperti ayahnya.


Kematiannya itu telah mengakhiri suatu kisah para ulama Di Tiro, yakni kelompok
orang-orang kuat yang tak kenal damai, yang telah menghina kita dengan menjewer
telinga kita pada masa-masa kita berada dalam keadaan lemah. Mereka itu telah gugur
seperti mereka hidup: gagah dan tak gentar sewaktu tantara kita memperoleh kembali
kepercayaan dirinya.”(H.C. Zentgraaff: 1983)

Keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro adalah bukti tiga generasi syuhada
yang hidup dalam jihad fi sabililah di Perang Aceh. Kebesaran nama keluarga di Tiro
tentu tak akan bisa dilepaskan dari sosok Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman,
satu ulama, mujahid yang tak kenal kompromi dan hidup teguh dalam mengenggam
Islam sebagai prinsip dan landasan perjuangannnya.

You might also like