You are on page 1of 11

ASPEK HUKUM BISNIS

MAKALAH
HUKUM PERIKATAN

Dosen Pengampu : HEPIYANTO SHI. MHI

OLEH:

MOH UMAR AL FARUQ

NIM : 2020110043

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI YAPAN
SURABAYA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan Rahmat dan
Ridho-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Hukum Perikatan” ini dengan
baik dan selesai tepat pada waktunya.
Selanjutnya, perlu saya sampaikan bahwa dalam penyusunan makalah ini mungkin
terdapat kesalahan atau kekurangan yang datangnya dari saya sendiri sebagai manusia, untuk
itu kritik dan juga saran senantiasa akan saya terima demi tercapainya makalah yang lebih baik
lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca ataupun bagi saya sendiri selaku penulis.

Surabaya, 11 januari 2024

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya
mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa
angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan.
Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Dalam hukum perdata
banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu
perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-
undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ada, maka dikemukakan perumusan
masalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa saja dasar hukum perikatan?
1.2.2 Apa saja asas-asas hukum perikatan?
1.2.3 Apa saja jenis perjanjian?
1.2.4 Bagaimana sah nya suatu perjanjian?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Agar mengetahui dasar hukum perikatan.
1.3.2 Agar mengetahui asas-asas hukum perikatan.
1.3.3 Agar mengetahui jenis perjanjian.
1.3.4 Agar mengetahui bagaimana sahnya suatu perjanjian.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Hukum Perikatan


Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-
undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi
lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
• Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
• Perikatan yang timbul dari undang-undang.
• Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
• Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
• Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
• Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang
timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

2.2 Asas-asas Hukum Perikatan


1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian
apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam
undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan
berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme, setiap orang
bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair
in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan
bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada
golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat
menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak
yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan
antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan
perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian
formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang
artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas
yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.Asas pacta sunt servanda dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum
gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada
kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini
mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak
perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus
pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4. Asas Ikitikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

2.3 Jenis Perjanjian


Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian
obligatoir dan perjanjian non obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang
mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non
obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau
membayar sesuatu.
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang
membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian
penanggungan (borgtocht), dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah
pihak. Misalnya jual beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma-cuma adalah
perjanjian di mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang
lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas
beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi
berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh
perjanjian atas beban adalah jual beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan
bunga.
3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil adalah
perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya
perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Sedangkan perjanjian riil adalah
perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan
penyerahan obyek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang dan
perjanjian pinjam pakai. Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata
sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.
4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama
adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak
bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam udang-undang.
Misalnya perjanjian leaseing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran
adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.
Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa
menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika
baju, dan membersihkan kamar).
Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi:
1. Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan dipidindahkannya suatu hak
dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah.
2. Bevifs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
3. Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain
dari suatu kewajiban.
4. Vaststelling overenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi
dan luas perhubungan hukum di antara para pihak.
2.4 Sahnya Suatu Perjanjian
Mengingat begitu pentingnya sebuah perjanjian, agar tidak timbul permasalahan di
kemudian hari akibat kurang pahamnya seseorang dalam membuat suatu perjanjian, maka kami
akan menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian menjadi sah dan
mengikat para pihak. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 (empat ) syarat sahnya
suatu perjanjian, yakni:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab (causa) yang halal.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang
lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan, Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa
perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang
hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang
hukum pribadi (personal law). Dalam kita undang-undang hukum perdata pasal 1331 ayat 1
dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undag-undnag bagi
mereka yang membuatnya, artinya apabila objek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat
yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum.
Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memeuni unsur subjektif, misalnya salah satu
pihak berada dalam pebgawasab dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat
dibatalkan didepan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah
pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati isi
perjanjian.

3.2 Saran
Demikian makalah ini dapat saya selesaikan. Saya berharap agar makalah yang saya
susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan
mengenai hukum perdata, khususnya permasalahan hukum perjanjian dan hukum perikatan
ini.
Namun, dalam penyusunan ini, saya sadar terdapat banyak kekurangan, Karena saya pun
masih dalam tahap belajar, dan menyusun. Maka dari itu saya membutuhkan kritik dan saran
yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing
DAFTAR PUSTAKA

Mashudi, 2015, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju


Subekti, 2013, Pokok-pokok hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa
______,2010, Hukum Perjanjian, Jakarrta: PT Pembimbing Masa
______,2011, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya
Paramita

You might also like