You are on page 1of 11

Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 30

PERBEDAAN RESILIENSI MAHASISWA RANTAU DITINJAU BERDASARKAN


GEGAR BUDAYA

Herdi 1
Fitriana Ristianingsih 2

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan resiliensi mahasiswa rantau ditinjau
berdasarkan gegar budaya di Universitas Negeri Jakarta. Sampel pada penelitian ini
berjumlah 1000 mahasiswa, sebanyak 105 mahasiswa memiliki gegar budaya sangat
tinggi, 225 mahasiswa memiliki gegar budaya tinggi, 357 mahasiswa memiliki gegar
budaya sedang, 237 mahasiswa memiliki gegar budaya rendah, dan 76 mahasiswa
memiliki gegar budaya sangat rendah. Teknik pengambilan sampel menggunakan
purposive random sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
dengan studi komparasi. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan Resilience
Question Test dan Inventory Culture Shock. Analisis uji validitas instrumen menggunakan
Product Moment Pearson dengan bantuan aplikasi IBM SPSS versi 26.0 hingga diperoleh
37 butir item valid pada Resilience Question Test dan diperoleh 23 butir item valid
Inventory Culture Shock. Uji reliabilitas dengan rumus Alpha Cronbach hingga diperoleh
koefisien sebesar 0.880 pada Resilience Question Test dan 0.929 pada Inventory Culture
Shock yang berarti bahwa instrumen memiliki reliabilitas tinggi dan layak digunakan
sebagai instrumen penelitian. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik Uji Kruskal
Wallis Test dan diperoleh nilai Asymp. Sig sebesar 0.000 (<0.05). Hasil menunjukkan
bahwa terdapat 7,6% mahasiswa rantau mengalami gegar budaya sangat rendah, 23,7%
mahasiswa rantau mengalami gegar budaya rendah, sebanyak 35,7% mahasiswa rantau
mengalami gegar budaya sedang, sebanyak 22,5% mahasiswa rantau mengalami gegar
budaya tinggi, selanjutnya 10,5% mahasiswa rantau mengalami gegar budaya sangat
tinggi. Sebagian besar resiliensi mahasiswa rantau berdasarkan gegar budaya berada pada
kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan resiliensi mahasiswa
rantau ditinjau berdasarkan gegar budaya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa faktor
yang mempengaruhi gegar budaya tidak hanya mengenai nostalgia kampung, disorientasi
dan hilangnya kebiasaan, gaya hidup, bahasa, dan simbol. Namun, resiliensi juga menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gegar budaya.
Kata kunci: resiliensi, gegar budaya, mahasiswa rantau

Abstract

This research was conducted to see changes, overseas students were reviewed based on
cultural shocks at the State University of Jakarta. The sample in this study was 1000
students, as many as 105 students had very high culture shock, 225 students had high
culture shock, 357 students had moderate culture shock, 237 students had low culture
shock, and 76 students had very low culture shock. The sampling technique used purposive
random sampling. The method used in this research is a survey with a comparative study.
The data were collected by using the Resistance Question Test and the Culture Shock
Inventory. Analysis of the validity of the instrument using Pearson Product Moment with
the help of the IBM SPSS version 26.0 application to 37 valid items on the Resilience
Question Test and obtained 23 valid items Inventory Culture Shock. Reliability test with
Cronbach's Alpha formula up to a coefficient of 0.880 on the Resilience Question Test and

1 Universitas Negeri Jakarta, herdi@unj.ac.id


2 Universitas Negeri Jakarta, fitrianaristianingsih_1715160375@mhs.unj.ac.id, fitrianaristianingsih@gmail.com

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


31 Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya

0.929 on the Culture Shock Inventory, which means that the instrument has high reliability
and is suitable for use as a research instrument. The data analysis technique was done by
using the Kruskal Wallis Test technique and the Asymp value was obtained. Sig is 0.000
(<0.05). The results showed that there were 7.6% of overseas students experiencing very
low culture shock, 23.7% of overseas students experiencing a low culture shock, as many
as 35.7% of overseas students experiencing moderate cultural shock, as many as 22.5% of
overseas students experiencing high culture shock , furthermore 10.5% of overseas
students experienced a very high culture shock. Most of the resilience of overseas students
based on cultural shock is in the medium category. The results showed that there were
differences in the resilience of overseas students based on cultural shocks. The results of
this study prove that the factors that influence culture are not only about village nostalgia,
disorientation and habits, lifestyle, language, and symbols. However, resilience is also one
of the factors that influence culture.
Keywords: resilience, cultural shock, overseas student

PENDAHULUAN ini dapat menjadi tekanan bagi mahasiswa


rantau.
Pendidikan tinggi merupakan Pada Mei 2020 peneliti melakukan
kebutuhan sekunder, namun tetap memiliki arti wawancara kepada 23 mahasiswa rantau suku
yang sangat penting karena dengan adanya Jawa di Universitas Negeri Jakarta. Hasil yang
pendidikan maka dapat menghasilkan manusia diperoleh adalah mahasiswa rantau mengalami
yang lebih berkualitas dan mampu bersaing kesulitan untuk beradaptasi. Bahkan beberapa
(Elfian et al., 2017). Pentingnya pendidikan mahasiswa mengalami kesulitan beradaptasi
tinggi tersebut memicu minat masyarakat untuk hingga kuliah di semester akhir. Alasan
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang utamanya adalah mahasiswa rantau sulit untuk
lebih tinggi. Banyak dari mereka yang rela bertahan pada lingkungan budaya yang baru,
merantau meninggalkan kampung halamannya sulit membangun komunikasi dan adaptasi
untuk melanjutkan pendidikan di perguruan dengan lingkungan baru. Mahasiswa rantau
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data jumlah mengatakan bahwa hal tersebut sangat berbeda
mahasiswa rantau pada beberapa perguruan dengan keadaan di kampung halamannya.
tinggi di Indonesia. Diantaranya, Universitas Akibatnya banyak perilaku-perilaku negatif
Indonesia pada tahun 2018 terdapat 1.410 yang muncul pada mahasiswa rantau.
mahasiswa yang berasal dari luar negeri. Diantaranya menjadi rendah diri, menarik diri,
Selanjutnya, pada Universitas Andalas terdapat menjadi lebih pendiam, tidak percaya diri,
sebanyak 2.817 mahasiswa rantau. Mahasiswa merasa cemas, sedih, putus asa, homesick,
rantau sebagai pendatang akan tinggal pada bahkan hingga mengalami stress dan
lingkungan baru yang jelas berbeda dengan mengakibatkan akademik menurun. Perilaku
lingkungan asalnya. dan perasaan negatif tersebut menunjukkan
Devinta et al (2015) mengatakan bahwa mahasiswa rantau mengalami kekagetan
mahasiswa rantau juga akan mengalami budaya atau dikenal dengan nama gegar budaya
kekagetan budaya karena adanya perbedaan (culture shock).
budaya dengan kebudayaan asalnya. Mahasiswa rantau yang mengalami
Pernyataan tersebut sejalan dengan Smith & gegar budaya dapat dikatakan memiliki
Khawaja (2014) yang mengemukakan bahwa resiliensi yang rendah. Azzahra (2017)
tantangan yang dihadapi mahasiswa rantau menunjukkan bahwa resiliensi memberikan
mencakup penyesuaian, isolasi sosial, pengaruh negatif yang signifikan sebesar 3,6%
keterampilan bahasa, kesulitan akademik, pada distres psikologis mahasiswa. Penelitian
pengharapan yang tidak terpenuhi, pekerjaan, tersebut didukung oleh Uyun (2012)
gegar budaya, dan tekanan psikologis. Brandan mengatakan bahwa individu yang tidak resilien
(2017) mengatakan permasalahan lain yang akan mudah terpuruk dan putus asa apabila
dihadapi oleh mahasiswa rantau yaitu ditimpa permasalahan. Mahasiswa rantau
cenderung larut dalam suatu persoalan, dituntut untuk mampu melakukan penyesuaian
sehingga sulit untuk mempertahankan diri. Hal dengan budaya baru tempat mereka tinggal.

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 32

Mesidor & Sly (2016) mengemukakan bahwa pada lingkungan yang tidak familiar.
terdapat beberapa komponen penting dalam Kemudian, Marshall dan Mathias (2016)
proses penyesuaian kebudayaan baru bagi mengungkapkan proses yang biasa dialami
kehidupan awal mahasiswa rantau yaitu mahasiswa ketika beralih dari keadaan familiar
resiliensi, efikasi diri, spiritual, dukungan setting ke keadaan yang unfamiliar setting.
sosial, strategi penyelesaian masalah, Lebih lanjut, Oberg (1960) mendefinisikan
kepribadian, emosional, dan kecerdasan gegar budaya sebagai kejutan yang ditimbulkan
budaya. oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya
Sejauh ini, peneliti belum menemukan semua tanda dan simbol yang biasa dihadapi
riset yang menjelaskan khusus mengenai oleh individu dalam hubungan sosial, yaitu
resiliensi dengan gegar budaya pada mahasiswa kebiasaan dan norma, petunjuk, ekspresi wajah,
rantau. Riset yang sudah ada yaitu tentang dan gerakan. Hal ini sesuai dengan pendapat
resiliensi dengan distress psikologi pada Samovar et al. ( 2010) yang menyebutkan gegar
mahasiswa Azzahra (2017), resiliensi pada budaya adalah ketidaknyamanan yang
mahasiswa rantau Brandan (2017), resiliensi dirasakan individu yang termanifestasikan
dan regulasi emosi mahasiswa rantau Pahlevi sebagai perasaan terasing, menonjol, dan
dan Salve (2018), profil culture shock berbeda sehingga memunculkan kesadarannya
mahasiswa rantau Bahtiar (2017), culture shock akan adanya ketidakefektifan pola perilaku
dan interaksi sosial Hasibuan et al (2016), yang dahulu diterapkan pada lingkungan
gegar budaya dengan stres Zakiah (2019), dan lamanya untuk diterapkan di lingkungan yang
gegar budaya dengan penyesuaian diri Amalia baru. Sementara Shiraev dan Levy (2016)
(2020). mengemukakan gegar budaya merupakan stres
Mahasiswa rantau perlu memiliki akultural yang disebabkan oleh reaksi
kemampuan beradaptasi dan mengatasi psikologis, dan hal tersebut menyebabkan stres
kejadian berat atau masalah yang terjadi dalam terhadap lingkungan budaya yang tidak dikenal.
kehidupan yang dinamakan resiliensi. Reivich Fenomena tersebut biasa didefinisikan sebagai
dan Shatte (2002) menyebutnya kemampuan serangkaian pengalaman psikologis yang
resiliensi yaitu kemampuan untuk bertahan dan kompleks, biasanya tidak menyenangkan dan
beradaptasi ketika ada sesuatu hal yang kacau. mengganggu.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa
Dapat ditarik kesimpulan bahwa gegar
mahasiswa rantau rentan mengalami
budaya diartikan sebagai kondisi psikologis
permasalahan khususnya bagi mahasiswa
yang negatif di mana individu tidak mampu
rantau yang mengalami gegar budaya.
mengendalikan dirinya ketika berada pada
Permasalahan tersebut dapat menimbulkan
lingkungan budaya yang baru sehingga
berbagai macam dampak, sehingga mahasiswa
menyebabkan adanya perasaan terasingkan,
rantau perlu melakukan berbagai macam usaha
kecemasan, stres, dan reaksi-reaksi negatif
untuk dapat mengatasinya. Salah satu usaha
lainnya.
yang dapat dilakukan oleh mahasiswa rantau
adalah meningkatkan resiliensi. Oleh sebab itu,
peneliti tertarik untuk mengetahui perbedaan Faktor yang Mempengaruhi Gegar Budaya
resiliensi pada mahasiswa rantau di Universitas Pedersen (1995) mengemukakan bahwa
Negeri Jakarta ditinjau berdasarkan faktor yang mempengaruhi individu mengalami
pengalaman gegar budaya. gegar budaya adalah sebagai berikut:
1) Gegar budaya menyebakan nostalgia
KAJIAN TEORITIK kampung halaman dan teman. Individu
tersebut merindukan kerabat, teman,
Definisi Gegar Budaya
dan tanda, serta pengalaman yang
Pedersen (1995) mengemukakan bahwa sudah dikenal.
gegar budaya dipandang sebagai proses
2) Gegar budaya menyebabkan
penyesuaian awal ke lingkungan yang tidak
disorientasi dan kehilangan kendali.
dikenal. Ward et al. (2001) mendefinisikan
Tanda-tanda akrab tentang bagaimana
gegar budaya sebagai proses aktif dalam
seharusnya orang lain berperilaku
menghadapi perubahan ketika individu berada

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


33 Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya

hilang. Disorientasi menciptakan faktor penting dalam kehidupan manusia saat


kecemasan, pemikiran depresif, dan ini. Mengingat besarnya perubahan dan tekanan
rasa putus asa. kehidupan yang berlangsung begitu intens dan
3) Gegar budaya menyebabkan cepat. Untuk menghadapinya individu perlu
ketidakpuasan atas rintangan bahasa. mengembangkan kemampuannya agar mampu
Kekurangan atau kesulitan dalam melewati perubahan tersebut dengan efektif.
komunikasi dapat menyebabkan Individu dengan kemampuan resiliensi yang
frustrasi dan perasaan terisolasi. tinggi akan mampu keluar dari masalah dengan
cepat dan tidak terbenam dengan perasaan
4) Gegar budaya menyebabkan hilangnya
sebagai korban keadaan atau lingkungan.
kebiasaan dan gaya hidup. Individu
tidak mampu melakukan banyak Dapat ditarik kesimpulan, resiliensi
latihan kegiatan yang dinikmati merupakan kondisi di mana individu mampu
sebelumnya. Hal ini menyebabkan melakukan adaptasi dengan lingkungan baru,
kecemasan dan perasaan kehilangan. tidak menyalahkan diri sendiri, mampu
menyelesaikan masalah dan bangkit dari
5) Gegar budaya menyebabkan perasaan
permasalahan yang dihadapi, dan mampu
berbeda. Adanya perbedaan antara
bertahan pada lingkungan yang berbeda dengan
budaya tuan rumah dan rumah adalah
lingkungan sebelumnya.
biasanya dibesar-besarkan dan
tampaknya sulit diterima.
6) Gegar budaya menyebabkan adanya Aspek Resiliensi
anggapan bahwa terdapat perbedaan
dalam nilai dan segala hal. Perbedaan Reivich dan Shatte (2002)
nilai biasanya dilebih-lebihkan, dan mengemukakan bahwa terdapat tujuh
nilai-nilai baru tampak sulit diterima. kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu:

1) Regulasi emosi (Emotion Regulation)


Definisi Resiliensi
Regulasi emosi merupakan
Reivich dan Shatte (2002) mengatakan kemampuan untuk tetap merasa tenang
bahwa resiliensi merupakan kekuatan yang walaupun berada dalam tekanan sehingga
sehat dan produktif untuk menanggapi sebuah individu mampu mengontrol emosi,
kemalangan atau trauma, dan merupakan perhatian, dan perilaku. Self-regulated
kekuatan penting untuk mengelola stres pada merupakan hal penting dalam membentuk
kehidupan sehari-hari. Resiliensi bukanlah kedekatan, sukses di pekerjaan, dan
suatu kepribadian melainkan bersifat kontinum, membantu pemeliharaan kesehatan fisik
sehingga setiap individu dapat meningkatkan seseorang.
resiliensinya. Hidayati dan Yuwono (2014)
2) Pengendalian Impuls
mendefinisikan bahwa individu perlu memiliki
kemampuan resiliensi untuk menghadapi Pengendalian impuls merupakan
kesulitan dan bangkit dari kesulitan yang kemampuan individu dalam
menjadi fondasi dari semua karakter positif mengendalikan keinginan, dorongan,
dalam membangun kekuatan emosional dan kesukaan, serta tekanan yang muncul
psikologis sehat. dalam diri. Individu yang memiliki
Sagone dan De caroli (2013) memaparkan pengendalian impuls tinggi maka akan
bahwa individu dengan faktor protektif internal mampu mencegah terjadinya kesalahan
(penerimaan diri, kemampuan diri, dan pemikiran sehingga dapat memberikan
penerimaan lingkungan sekitar) memiliki respon yang tepat pada masalah yang ada.
resiliensi yang lebih baik. Sunarti et al., (2018)
menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek penting 3) Optimisme
yang membentuk resiliensi, yaitu kegigihan, Optimisme menandakan adanya
kemampuan beradaptasi, dan transformabilitas. keyakinan bahwa individu memiliki
Afnibar (2012) menganggap resiliensi adalah kemampuan dalam diri untuk mengatasi

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 34

kesulitan, kemalangan, dan menganggap masalah sebagai suatu


ketidakberuntungan yang bisa terjadi di tantangan bukan ancaman.
masa depan. Optimisme sangat penting
karena mendorong individu menemukan Definisi Mahasiswa Rantau
solusi terhadap masalah dan mencoba
untuk terus bekerja keras agar kondisi Hurlock (1994) mendefinisikan mahasiswa
menjadi lebih baik. sebagai individu yang berada pada tahap
dewasa awal yang memiliki tugas
4) Analisis penyebab masalah (causal perkembangan untuk memenuhi harapan
analysis) masyarakat dengan bekerja sesuai studi yang
ditempuh dan mendapatkan upah untuk
Analisis penyebab masalah adalah memenuhi keperluan sehari-hari. Kuntarto
kemampuan individu dalam menganalisa (2015) menjelaskan mahasiswa merupakan
dan mengidentifikasi penyebab masalah makhluk multidimensional. Mereka secara
yang dialami. Kemampuan menyesuaikan hakiki memiliki empat dimensi yaitu
diri secara kognitif dan dapat mengenali individualitas, sosialitas, moralitas, dan
penyebab dari kesulitan yang sedang di religiusitas. Hartaji dan Damar (2012)
hadapi. berpendapat mahasiswa ialah seseorang yang
sedang melakukan proses mencari ilmu atau
5) Empati
belajar dan terdaftar sedang menjalani
Empati merupakan kemampuan pendidikan pada suatu institusi seperti
menginterpretasikan bahasa non-verbal universitas, politeknik, maupun institusi
dari orang lain seperti ekspresi wajah, nada pendidikan lainnya.
suara, bahasa tubuh, dan mampu Sedangkan perantau memiliki pengertian
menangkan sesuatu yang dipikirkan dan meninggalkan kampung halaman dengan
dirasakan oleh orang lain. Individu yang tujuan tertentu, menuntut ilmu, dan mencari
memiliki kemampuan empati cenderung pengalaman namun suatu saat akan kembali
memiliki hubungan sosial yang baik. pulang ke kampung halamannya atau biasa
dikatakan tidak menetap (Naim, 2013).
6) Efikasi Diri Merantau dapat pula diartikan sebagai kegiatan
Efikasi diri merupakan hal yang sangat meninggalkan daerah asal atau tanah kelahiran
penting untuk mencapai resiliensi. Efikasi yang bertujuan untuk mencari penghidupan
diri diartikan sebagai keyakinan bahwa atau melanjutkan Pendidikan (Tsuyoshi, 2005).
individu dapat menyelesaikan masalah Berdasarkan pengertian diatas, dapat
dengan efektif melalui pengalaman dan disimpulkan bahwa mahasiswa rantau adalah
keyakinan akan kemampuan untuk berhasil individu yang meninggalkan kampung halaman
dalam hidupnya. atau daerah asal untuk menuntut ilmu dan
mencari pengalaman pada suatu perguruan
7) Pencapaian (Reaching Out) tinggi.
Pencapaian merupakan kemampuan
meraih sesuatu yang diinginkan. Kriteria Perantau
Kemampuan menemukan dan membentuk Naim (2013) mengatakan bahwa perantau
sebuah hubungan dengan orang lain, memiliki enam unsur pokok sebagai berikut:
meminta bantuan, berbagi cerita dan 1) Individu yang meninggalkan kampung
perasaan, saling membantu menyelesaikan halamannya.
masalah secara personal maupun 2) Meninggalkan kampung halaman atas
interpersonal. Hal ini terkait keberanian dasar kemauan sendiri.
seseorang untuk mencoba mengatasi 3) Individu meninggalkan kampung
masalah ataupun melakukan hal–hal yang halaman untuk jangka waktu yang lama
berada di luar batas kemampuan (berani atau tidak lama.
mengambil resiko). Individu yang resilien

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


35 Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya

4) Individu meninggalkan kampung Resilience Question Test dan diperoleh 23 butir


halaman dengan tujuan mencari item valid Inventory Culture Shock. Selain itu,
penghidupan. diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.88
5) Individu meninggalkan kampung pada instrumen Resilience Question Test dan
halaman untuk menuntut ilmu dan sebesar 0.92 pada instrumen Inventory Culture
mencari pengalaman. Shock yang berarti bahwa instrumen memiliki
6) Biasanya individu yang pergi merantau reliabilitas tinggi.
akan kembali untuk pulang ke Teknik analisis data yang digunakan adalah
kampung halamannya. analisis deskriptif dan analisis inferensial.
Dalam penelitian ini diberlakukan norma
kategorisasi sesuai dengan ketentuan Reivich
KERANGKA BERPIKIR dan Shatte untuk instrumen Resilience Question
Test, dan sesuai ketentuan Handayani dan Yuca
pada instrumen Inventory Culture Shock.
Teknik analisis data untuk pengujian hipotesis
menggunakan uji nonparametris Kruskall
Wallis. Adapun untuk mengambil keputusan
dalam uji hipotesis ini yaitu dengan melihat
nilai sig. (2-tailed) > 0.05 maka H0 diterima,
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir sementara jika nilai sig. (2-tailed) < 0.05 maka
yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang H1 diterima.
diajukan dalam penelitian ini adalah “terdapat
perbedaan resiliensi mahasiswa rantau ditinjau
berdasarkan gegar budaya”.
HASIL PENELITIAN DAN
METODOLOGI PENELITIAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk Berdasarkan hasil penyebaran Resilience


mendapatkan gambaran perbedaan resiliensi Question Test terdapat 212 mahasiswa rantau
mahasiswa rantau yang ditinjau berdasarkan memiliki resiliensi rendah (21,2%), 493
gegar budaya. Waktu penelitian dilakukan sejak mahasiswa rantau memiliki resiliensi sedang
Januari 2020 hingga Januari 2021. Metode yang (49,3%), dan sebanyak 295 mahasiswa rantau
digunakan adalah kuantitatif dengan memiliki resiliensi tinggi (29,5%).
pendekatan komparatif. Teknik sampling dalam 500
penelitian ini adalah nonprobability sampling 49,3%
jenis purposive sampling. Kriteria yang 400
digunakan dalam pengambilan sampel adalah 29,5%
300
mahasiswa rantau aktif dari angkatan 2016
hingga 2019. Adapun peneliti mengambil 200 21,2%
sampel sejumlah 1000 responden.
100
Dalam penelitian ini, data dikumpulkan
dengan teknik komunikasi tidak langsung 0
berupa google form menggunakan instrumen Rendah Sedang Tinggi
Resilience Question Test oleh Reivich dan
Grafik 1. Persentase Resiliensi Mahasiswa
Shatte, dan instrumen Inventory Culture Shock
Rantau
oleh Handayani dan Yuca. Skala yang
digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Sedangkan berdasarkan hasil penyebaran
Likert. Sebelum melakukan penyebaran Inventory Culture Shock terhadap 1000
instrumen, peneliti melakukan analisis uji mahasiswa rantau, diperoleh hasil penelitian
validitas dan reliabilitas instrumen bahwa gegar budaya yang dialami mahasiswa
menggunakan Product Moment Pearson rantau pada kategori sedang (35,7%), sangat
dengan bantuan software IBM SPSS 26.0 rendah (23,7%), tinggi (22,5%), sangat tinggi
hingga diperoleh 37 butir item valid pada (10,5%), dan rendah (7,6%).

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 36

budaya sedang memiliki resiliensi pada


kategori sedang, dan sebanyak 56 mahasiswa
400 35,7%
350
rantau dengan gegar budaya sedang memiliki
300
resiliensi tinggi. Mahasiswa rantau dengan
22,5% 23,7% gegar budaya sedang memiliki kecenderungan
250
200 resiliensi sedang di mana efikasi diri menjadi
150 10,5% komponen tertinggi, namun optimisme menjadi
100 7,6% komponen terendah. Temuan ini menarik
50 karena efikasi diri dan optimisme saling
0 keterkaitan, di mana individu yang memiliki
Sangat Tinggi Sedang Rendah Sangat efikasi diri baik maka optimisme diri individu
Tinggi Rendah tersebut baik pula. Hal ini sesuai dengan
penelitian Chemers et al., (2001) mengatakan
Grafik 2. Persentase Gegar Budaya Mahasiswa bahwa efikasi diri dan optimisme memiliki
Rantau keterkaitan dan berperan penting pada
Resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar kesukesan dan penyesuaian mahasiswa tahun
budaya sangat tinggi dialami oleh 105 pertama.
mahasiswa. Sebanyak 41 mahasiswa rantau Resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar
dengan gegar budaya sangat tinggi memiliki budaya rendah dialami oleh 237 mahasiswa.
resiliensi rendah, lalu sebanyak 43 mahasiswa Sebanyak 34 mahasiswa rantau dengan gegar
rantau dengan gegar budaya sangat tinggi budaya rendah memiliki resiliensi rendah, lalu
memiliki resiliensi pada kategori sedang, dan sebanyak 80 mahasiswa rantau dengan gegar
sebanyak 21 mahasiswa rantau dengan gegar budaya rendah memiliki resiliensi pada
budaya sangat tinggi memiliki resiliensi tinggi. kategori sedang, dan sebanyak 123 mahasiswa
Mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat rantau dengan gegar budaya rendah memiliki
tinggi cenderung memiliki resiliensi sedang. resiliensi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
Selanjutnya, komponen terendah pada resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar budaya rendah
mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat memiliki kecenderungan resiliensi tinggi.
tinggi ada pada komponen regulasi emosi dan Komponen tertinggi pada mahasiswa rantau
kontrol impuls. Komponen tertinggi pada dengan gegar budaya rendah yaitu analisis
mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat kausal. Komponen terendah pada mahasiswa
tinggi yaitu analisis kausal. rantau dengan gegar budaya rendah yaitu
Resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar empati.
budaya tinggi dialami oleh 225 mahasiswa. Resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar
Sebanyak 101 mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat rendah dialami oleh 76
budaya tinggi memiliki resiliensi rendah, lalu mahasiswa. Sebanyak 8 mahasiswa rantau
sebanyak 78 mahasiswa rantau dengan gegar dengan gegar budaya sangat rendah rendah
budaya tinggi memiliki resiliensi pada kategori memiliki resiliensi rendah, lalu sebanyak 20
sedang, dan sebanyak 46 mahasiswa rantau mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat
dengan gegar budaya tinggi memiliki resiliensi rendah memiliki resiliensi pada kategori
tinggi. Resiliensi mahasiswa rantau dengan sedang, dan sebanyak 48 mahasiswa rantau
gegar budaya tinggi cenderung rendah. dengan gegar budaya sangat rendah memiliki
Komponen terendah pada resiliensi mahasiswa resiliensi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan
rantau dengan gegar budaya tinggi yaitu empati mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat
dan analisis kausal. Sedangkan komponen rendah memiliki kecenderungan resiliensi
tertinggi pada mahasiswa rantau dengan gegar tinggi. Komponen terendah pada resiliensi
budaya tinggi yaitu pencapaian (reaching out). mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat
Resiliensi mahasiswa rantau dengan gegar rendah adalah komponen optimisme.
budaya sedang dialami oleh 357 mahasiswa. Selanjutnya, komponen tertinggi pada
Sebanyak 29 mahasiswa rantau dengan gegar mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat
budaya sedang memiliki resiliensi rendah, lalu rendah adalah regulasi emosi.
sebanyak 272 mahasiswa rantau dengan gegar

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


37 Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya

Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau lingkungan yang baru. Mahasiswa rantau


Berdasarkan Gegar Budaya tersebut mampu mengatasi perbedaan-
perbedaan yang terjadi di lingkungan yang
Hasil penelitian ini dapat dikatakan bukan tempat asalnya. Mahasiswa rantau
terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil tersebut juga mampu bersosialisasi dan
menunjukkan bahwa mahasiswa rantau dengan menjalin keakraban dengan lingkungan
gegar sangat tinggi dan tinggi memiliki barunya. Hal ini sejalan dengan Ruswaningsih
resiliensi rendah sedangkan mahasiswa rantau dan Afiatin (2015) mengatakan mahasiswa
dengan gegar budaya rendah dan sangat rendah yang mampu menemukan hal positif dibalik
memiliki resiliensi tinggi, serta mahasiswa suatu kemalangan dan memanfaatkannya
rantau dengan gegar budaya sedang memiliki sebagai tenaga untuk memantul bangkit,
kecenderungan resiliensi sedang. Selain itu, optimisme menggapai harapan, cita-cita dan
perbedaan yang signifikan juga dapat dilihat kebahagiaan sebagai tujuan hidup.
pada tiap aspek resiliensi. Mahasiswa rantau
dengan gegar budaya sangat rendah memiliki Selain itu, mahasiswa rantau dengan gegar
aspek optimisme rendah namun aspek regulasi budaya rendah dan sangat rendah berarti
emosinya tinggi. Pada mahasiswa rantau memiliki komponen-komponen resiliensi
dengan gegar budaya rendah, aspek dalam dirinya seperti mampu meregulasi emosi,
terendahnya pada empati dan aspek memiliki empati yang tinggi, efikasi diri yang
tertingginya analisis kausal. Berikutnya, pada kuat, dan mampu beradaptasi dengan baik.
mahasiswa rantau dnegan gegar budaya sedang, Sejalan dengan Ruswaningsih dan Afiatin
aspek terendah ada pada optimisme dan aspek (2015) yang mengatakan remaja dengan
tertinggi ada pada efikasi diri. Selanjutnya, resiliensi tinggi memiliki identitas diri, regulasi
pada mahasiswa rantu dengan gegar budaya emosi, efikasi diri, kompetensi pribadi,
tinggi, aspek terendahnya yaitu empati dan toleransi terhadap pengalaman negatif,
analisis kausal sedangkan aspek tertinggi pada penerimaan diri positif, hubungan yang baik
pencapaian. Pada mahasiswa rantau dengan dengan orang lain, memiliki kontrol diri,
gegar budaya sangat tinggi, aspek terendah mampu mandiri dan memiliki religiusitas yang
yaitu regulasi emosi dan kontrol impuls baik. Oleh karena itu, mahasiswa rantau yang
sedangkan aspek tertinggi yaitu analisis kausal. memiliki resiliensi tinggi akan mampu
meminimalisir fenomena gegar budaya.
Mahasiswa rantau yang mengalami gegar Abarbanel (2009) mengungkapkan bahwa
budaya sangat tinggi dan tinggi dapat dikatakan mahasiswa rantau perlu memiliki resiliensi
masih memiliki resiliensi yang rendah. Dapat untuk pertukaran antar budaya yang positif dan
dikatakan demikian karena mahasiswa rantau melibatkan variabel psikologis penting. Grier-
belum cukup memiliki ketahanan diri yang baik Reed et al. (2008) juga menyebutkan faktor
untuk menghadapi kenyataan pada lingkungan yang mempengaruhi terjadinya gegar budaya
yang baru sehingga menyebabkan mahasiswa salah satunya adalah ketahanan (resiliensi).
rantau mengalami gegar budaya. Hal ini
dikuatkan oleh Mesidor & Sly (2016) Dapat dikatakan bahwa resiliensi
menyebutkan bahwa pengalaman awal mahasiswa rantau yang mengalami gegar
kehidupan siswa internasional membutuhkan budaya tinggi dan sangat tinggi memiliki
komponen penting seperti resiliensi, efikasi resiliensi yang lebih rendah daripada resiliensi
diri, spiritual, dukungan sosial, gaya koping, mahasiswa rantau dengan gegar budaya rendah
kepribadian, emosional dan kecerdasan budaya dan sangat rendah. Hal ini dikuatkan oleh
untuk proses penyesuaian. Hasibuan (2016) yang mengemukakan bahwa
mahasiswa luar daerah menemui banyak
Sedangkan resiliensi mahasiswa rantau perbedaan selama berada di lingkungan baru,
dengan gegar budaya sangat rendah dan rendah mahasiswa yang mampu bertahan dan
memiliki resiliensi tinggi. Mahasiswa rantau menerima lingkungan budaya baru dapat
yang mempunyai resiliensi tinggi dapat membantu mengurangi dampak gegar budaya
mengatasi fenomena gegar budaya yang terjadi yang dialami. Hal tersebut diperoleh melalui
karena mahasiswa tersebut dapat bertahan di interaksi sosial antara perbedaan budaya asal

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 38

dengan budaya baru yang akan menimbulkan persentase terendah pada komponen empati
penyesuaian bagi individu untuk menerima dan (8,9%) dan analisis kausal (8,9%), sedangkan
memahami budaya baru. komponen tertinggi yaitu pencapaian (reaching
out) sebesar 34,2%. Mahasiswa rantau dengan
Mahasiswa rantau dengan gegar budaya gegar budaya sedang memperoleh persentase
rendah dan sangat rendah berarti telah memiliki terendah pada komponen optimisme (2,8%) dan
kecenderungan resiliensi yang baik pada setiap komponen tertinggi efikasi diri (32,2%).
komponennya, adapun mahasiswa rantau yang Mahasiswa rantau dengan gegar budaya rendah
memiliki resiliensi pada kategori sedang berarti memperoleh persentase terendah pada
pada setiap komponen resiliensi sudah cukup komponen empati (7,6%), dan komponen
baik, sedangkan mahasiswa rantau dengan tertinggi analisi kausal (31,2%). Selanjutnya,
gegar budaya sangat tinggi dan tinggi mahasiswa rantau dengan gegar budaya sangat
menggambarkan bahwa kemampuan resiliensi rendah memperoleh persentase terendah pada
yang mereka miliki masih sangat terbatas pada komponen optimisme (5,3%) dan komponen
setiap komponen, sehingga perlu adanya tertinggi regulasi emosi (30,3%).
peningkatan dalam pertahanan diri pada
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
lingkungan yang berbeda budaya. faktor yang mempengaruhi gegar budaya tidak
hanya mengenai hilangnya nilai, kebiasaan,
Keterbatasan Penelitian gaya hidup, bahasa, dan simbol. Namun,
resiliensi juga menjadi salah satu faktor yang
Dalam penelitian ini, sebagian besar mempengaruhi terjadinya gegar budaya.
referensi internasional dan masih sedikit Berdasarkan hasil penelitian ini, maka
referensi lokal yang ditemukan memungkinkan peneliti mengemukakan saran yang dapat
penelitian mengandung bias, sehingga menjadi pertimbangan:
penelitian ini masih terbatas pada referensi
1. Bagi Mahasiswa
yang digunakan. Hasil penelitian ini tidak dapat
digeneralisasikan pada mahasiswa rantau pada Bagi mahasiswa rantau yang memiliki
universitas lain. Selain itu, dari semua faktor resiliensi rendah, dibutuhkan usaha untuk
yang berpengaruh pada resiliensi, penelitian ini dapat meningkatkan resiliensi khususnya
hanya memfokuskan pada pengalaman gegar bagi mahasiswa rantau yang juga mengalami
budaya. gegar budaya. Jika memang diperlukan,
mahasiswa rantau dapat meminta bantuan
KESIMPULAN kepada professional helper untuk
meningkatkan kemampuan resiliensinya.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah 2. Bagi Dosen Bimbingan dan Konseling
dipaparkan, peneliti menarik kesimpulan Bagi dewan guru diharapkan hasil penelitian
bahwa terdapat perbedaan resiliensi mahasiswa ini dapat dijadikan sebagai pilot project
rantau ditinjau berdasarkan gegar budaya. dalam pengembangan program perkuliahan
Sebagian besar resiliensi mahasiswa rantau multikultur. Selain itu, hasil penelitian ini
berdasarkan gegar budaya berada pada kategori dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
sedang (35,7%). Selain itu, diketahui dari hasil serta tambahan informasi dalam melakukan
pengujian hipotesis menggunakan uji Kruskal layanan konseling berbasis multikultur.
Wallis Test diperoleh nilai Asymp Sig sebesar
3. Bagi Bidang Kesiswaan
0,000. Perbedaan yang signifikan juga terlihat
pada uji beda pada setiap komponen resiliensi. Bagi bidang kesiswaan, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai data pendukung
Adapun mahasiswa rantau dengan gegar
dalam pembuatan program atau kegiatan
budaya sangat tinggi memperoleh persentase
yang dapat membantu mahasiswa rantau
terendah pada komponen regulasi emosi
untuk mengatasi gegar budaya dan
(12,4%) dan kontrol impuls (12,4%),
meningkatkan resiliensi. Dalam hal ini,
sedangkan persentase tertinggi pada komponen
bidang kemahasiswaan dapat melakukan
analisis kausal (28,6%). Mahasiswa rantau
kolaborasi dengan berbagai pihak,
dengan gegar budaya tinggi memperoleh
khususnya pihak-pihak yang lebih

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


39 Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya

profesional mengenai fenomena gegar Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya)


budaya dan resiliensi. Pada Mahasiswa Perantauan di
4. Bagi Peneliti Selanjutnya Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Sosiologi,
1–15.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk
melakukan penelitian tindak lanjut kepada Elfian, Arwibowo, P., & Johan, R. S. (2017).
mahasiswa rantau yang memiliki resiliensi Peran Pendidikan Tinggi dalam
rendah yang disebabkan oleh faktor gegar Meningkatkan Minat Masyarakat untuk
budaya dengan menggunakan metode Produktivitas Pendidikan. SOSIO-E-
eksperimen. KONS, 9(3), 200–215.
DAFTAR PUSTAKA Grier-Reed, T. L., Madyun, N. H., & Buckley,
C. G. (2008). Low Black Student
Abarbanel, J. (2009). Moving with Emotional
Retention on a Predominantly White
Resilience Between and Within Cultures.
Campus: Two Faculty Respond with the
Journal Intercultural Education, 133–
African American Student Network.
141.
Journal of College Student Development,
Afnibar. (2012). Konseling Traumatik untuk 49(5), 476–485.
Korban Gempa dan Resiliensi di
Hartaji, & Damar, A. (2012). Motivasi
Kalangan Masyarakat Minangkabau.
Berprestasi pada Mahasiswa yang
Prosiding International Seminar &
Berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orang
Workshop Post Traumatic Counseling
Tua. Universitas Gunadarma.
STAIN Batusangkar, 45–56.
Hasibuan, R. M., Wijayanti, S., & Karyanta, N.
Amalia, K. (2020). Hubungan Culture Shock
A. (2016). Hubungan antara Interaksi
dengan Penyesuaian Diri pada
Sosial dengan Culture Shock pada
Mahasiswa Malaysia di UIN Ar-Raniry
Mahasiswa Luar Jawa di Universitas
Banda Aceh. Universitas Islam Negeri Ar-
Sebelas Maret Surakarta. Universitas
Rainiry Banda Aceh.
Sebelas Maret.
Azzahra, F. (2017). Pengaruh Resiliensi
Hidayati, N. L., & Yuwono, S. (2014).
Terhadap Distres Psikologis pada
Hubungan antara self esteem dengan
Mahasiswa. Jurnal Ilmiah Psikologi
resiliensi pada remaja di panti asuhan
Terapan, 5(1), 80–96.
keluarga yatim Muhammadiyah
Bahtiar, A. (2017). Profil Culture Shock Surakarta. Jurnal Universitas
Mahasiswa Perantau Luar Pulau Jawa Muhammadiyah Surakarta, 1–14.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi
Universitas Pendidikan Indonesia.
Perkembangan : Suatu Pendekatan
Brandan, Y. . (2017). Studi Deskriptif: Sepanjang Rentang Kehidupan. Erlangga.
Resiliensi pada Mahasiswa Perantau
Kuntarto, E. (2015). Penggunaan Metode The
Tahun Pertama. Sanata Dharma
Core Conflictual Relationship Theme
University.
(CCRT) dan Cognitive-Emotion
Chemers, M. ., Hu, L., & Gracia, B. (2001). Regulation Questionnaire (CERQ)
Akademic Self-efficacy and first-year dengan Media Menulis Ekspresif untuk
college students performance and Mengungkapkan Sikap Asertif pada
adjusment. Journal of Educational Mahasiswa Universitas Jambi. 1–15.
Psychology, 93(1), 55–64.
Marshall, C. A., & Mathias, J. (2016). Culture
doi:http://dx.doi.org/10.1037/0022
Shock:Applying the Lessons from
Devinta, M., Hidayah, N., & Hendrastomo, G. International Student Acculturation to
(2015). Hendrastomo, G. (2015). Non-Traditional Student. In Widening,

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021


Perbedaan Resiliensi Mahasiswa Rantau Ditinjau Berdasarkan Gegar Budaya 40

Participation, Higher Education and Non and Behavioral Science, 838–845.


Traditional Student. Palgrave Macmillan.
Samovar, L., Porter, R., & McDaniel, E. (2010).
Mesidor, J. ., & Sly, K. (2016). Factor that Komunikasi Lintas Budaya. Salemba
Contribute to the Adjusment of Humanika.
International Students. Journal of
International Students, 6(1), 262–282. Shiraev, E. B., & Levi, D. A. (2016). Cross
Cultural Psychology: Critical Thinking
Naim, M. (2013). Merantau Pola Migrasi Suku and Contemporary Applications.
Minangkabau Edisi Ketiga (3rd ed.). Pt Routledge.
Raja Grafindo Persada.
Smith, R. A., & Khawaja, N. G. (2014). A
Oberg, K. (1960). Culture Shock : Adjusment Group Psychological Intervention to
to New Cultural Environments. Practical Enhance the Coping and Acculturation of
Anthropology, 177–182. International Students. Advances in
Mental Health, 12(2), 110–124.
Pahlevi, G. R., & Salve, H. R. (2018). Regulasi
Emosi dan Resiliensi pada Mahasiswa Sunarti, E., Islamia, I., Rochmaniah, N., &
Merantau yang Tinggal di Tempat Kos. Ulfa, M. (2018). Resiliensi Remaja :
Jurnal Psikologi, 11(2), 180–189. Perbedaan Berdasarkan Wilayah,
Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis
Pederson, P. (1995). The Five Stages of Culture Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan
Shock: Critical Incidents Around the Konseling, 11(2), 157–168.
World. Greenwood Press.
Tsuyoshi, K. (2005). Adat Minangkabau dan
Reivich, K., & Shatte. (2002). The Resillience Merantau dalam Prespektif Sejarah. PT
Factor : 7 Essential Skill for Overcoming Balai Pustaka.
Lifes’s Inevitable Obstacle. Broadway
Books. Uyun, Z. (2012). Resiliensi dalam Pendidikan
Karakter. Jurnal Psikologi Universitas
Ruswayuningsih, M., & Afiatin, T. (2015). Muhammadiyah Surakarta, 1, 200–208.
Resiliensi pada Remaja Jawa. Gadjah
Mada Journal of Psychology, 1(2), 96– Furnham, A. (2001). The Psychology of Culture
105. Shock. Hove.

Sagone, E., & De Caroli, M. (2013). Zakiah, K. N. (2019). Hubungan Gegar Budaya
Relationships between resilience, self- dengan Stres Mahasiswa Baru Luar
efficacy, and thinkingstyles in Italian Pulau Jawa di Universitas Jember.
middle adolescents. Procedia – Social Universitas Jember.

Insight: Jurnal Bimbingan dan Konseling 10(1) Juni 2021

You might also like