You are on page 1of 45

BAB III

TINJAUAAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini merupakan kajian geologi dari peneliti terdahulu


dengan skala regional maupun lokal, meliputi tatanan tektonik, fisiografi,
stratigrafi, struktur geologi dan porositas batupasir karbonatan Halang pada
daerah penelitian dan sekitarnya. Tatanan tektonik mengacu pada Hamilton 1979,
fisiografi mengacu pada pembagian zona fisiografi Jawa bagian tengah dan timur
oleh Van Bammelen (1949), stratigrafi regional mengacu pada peneliti terdahulu
yaitu Asikin, dkk (1992), struktur geologi regional mengacu pada Pulunggono dan
Mertodjojo (1994), porositas dari suatu batupasir melalui pengamatan petrografis
dengan pendekatan empiris mengacu pada Warmada (1999). Aspek geologi dapat
dijelaskan sebagai berikut :

3.1 Fisiografi Regional


Secara fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah-Jawa
Timur dengan tujuh zona (Gambar 3.1) dari utara ke selatan yaitu:
1. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa
Dataran Aluvial Utara Jawa di Jawa Tengah membentang dari timur
Cirebon sampai ke Pekalongan. Kemudian dimulai lagi dari sekitar Kendal
sampai Semarang dan dari Semarang dataran alluvial ini melebar sampai di
daerah sekitar Gunung Muria.
2. Zona Rembang
Zona ini merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat -
timur, mulai dari sebelah timur Semarang hingga Pulau Madura. Zona ini
memiliki lebar rata-rata 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala
tektonik Tersier Akhir. Zona ini terdiri atas sikuen mulai dari Eosen hingga
Pliosen yang berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas.
Pada zona ini terdapat suatu Tinggian Rembang yang dibatasi oleh sesar mayor
berarah ENE-WSW.

24
3. Zona Depresi Tengah Jawa/Zona Solo dan Zona Randublatung
Zona Depresi Jawa Tengah memiliki morfologi yang relatif landai. Zona
ini
menempati bagian tengah hingga selatan dari wilayah Jawa Tengah dan
menerus kebagian utara pada Zona Randublatung.
4. Zona Gunungapi Kuarter
Zona Gunungapi Kuarter memanjang dari sisi barat - timur pulau Jawa dan
terbentuk aktivitas vulkanik berumur Kuarter. Jawa Tengah, Zona Gunungapi
Kuarter ini terdiri dari Gunung Slamet, Gunung Merbabu, Gunung Merapi,
Gunung Sindoro, Gunung Muria, Gunung Ungaran, Gunug Dieng dan Gunung
Sumbing.
5. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng
Zona Serayu Utara memiliki lebar 30 - 50 km. Sisi selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari Gunung Slamet. Bagian tengah
ditutupi produk vulkanik kuarter Gunung Rogojambangan, Gunung Ungaran
dan Gunung Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor
dengan batas antara keduanya terletak disekitar Prupuk, Bumiayu hingga
Ajibarang, persis disebelah barat Gunung Slamet, kearah timur membentuk
Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak diselatan Dataran Aluvial
Jakarta berupa antiklinorium lapisan Neogen yang terlipat kuat dan terintrusi.
Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas antara Gunung Ungaran hingga
daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan batuan berumur Oligosen-Miosen
bawah yang di wakili oleh Formasi Pelang.
6. Zona Serayu Selatan.
Pegunungan Serayu Selatan terletak diantara Zona Depresi Jawa Tengah
membentuk kubah dan pegunungan. Barat pegunungan Serayu Selatan yang
berarah barat-timur dicirikan oleh antiklinorium yang berakhir ditimur pada
suatu singkapan batuan tertua Luk Ulo dan Kebumen.
7. Zona Pegunungan Selatan.
Zona Pegunungan Selatan Jawa membentang dari Yogyakarta hingga ke
Jawa Timur. Zona ini memiliki morfologi tinggian, sehingga menciptakan

25
perbedaan morfologi yang signifikan dengan Zona Depresi Jawa Tengah
yang berada di sisi baratnya. Morfologi zona ini mencerminkan bentukan plato
sebagai hasil proses pengangkatan (uplifted peneplain) terhadap batuan
berumur Miosen. Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga sub-
zona, yaitu: Sub-zona Baturagung, sub-zona Wonosari dan sub -zona
Gunung Sewu.

Zona fisiografi tersebut mencerminkan litologi, struktur geologi,


geomorfologi dan kondisi geologi lainya yang membuat bentukan yang khas pada
setiap zonanya. Penjelasan untuk setiap zona tersebut akan diuraikan sebagai
berikut.
3.1.1 Zona Gunung Api Kuarter
Zona Gunungapi Kuarter memanjang dari sisi barat hingga timur pulau
Jawa dan terbentuk akibat aktivitas vulkanik berumur Kuarter. Di Jawa Tengah,
Zona Gunungapi Kuarter ini terdiri dari Gunung Slamet, Gunung Merbabu,
Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Muria, Gunung Ungaran, Gunung
Dieng dan Gunung Sumbing.
3.1.2 Zona Dataran Aluivial Pantai Utara Jawa
Dataran Aluvial Utara Jawa di Jawa Tengah membentang dari Jawa Timur
Cirebon sampai ke Pekalongan. Kemudian dimulai lagi dari sekitar Kendal
sampai Semarang dan dari Semarang dataran alluvial ini melebar sampai di daerah
sekitar Gunung Muria.
3.1.3 Zona Rembang
Zona ini merupakan antiklinorium yang memanjang dengan arah barat-
timur, mulai dari sebelah timur Semarang hingga Pulau Madura. Zona ini
memiliki lebar rata-rata 50 km. Zona ini merupakan hasil akhir dari gejala
tektonik Tersier Akhir. Zona ini terdiri atas sikuen mulai dari Eosen hingga
Pliosen yang berupa sedimen klastik laut dangkal dan karbonat yang luas. Pada
zona ini terdapat suatu tinggian (Tinggian Rembang) yang dibatasi oleh sesar
mayor berarah timur laut - barat daya (NE-SW).
3.1.4 Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng.

26
Zona Kendang merupakan deretan pegunungan dengan arah memanjang
barat-timur, yang terletak di utara Subzona Ngawi. Zona ini tersusun oleh batuan
sedimen laut yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu
antiklonorium. Pegunungan ini mempunyai panjang 250 Km dan lebar maksimum
40 Km (de Genevraye dan Samuel, 1972; Husein dkk, 2016) membentang dari
Gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui Ngawi hingga Mojokerto.
Ciri – ciri morfologi Zona Kendang berupa rangkaian perbukitan rendah dengan
22 morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200
meter. Morfologi ini berarah barat – timur, yang mencerminkan adanya perlipatan
dan sesar naik yang berarah barat – timur pula. Akibat adanya anjakan tersebut,
batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar.
Bagian tengah Zona Kendang yaitu dibaratlaut Nganjuk, sabuk
Antiklonorium Kendang diterobos oleh Gunungapi Pandan yang berumur
Pleistosen Awal (Lunt dkk, 1998). Meski demikian, pola struktur perlipatan
Kendang di sekitar Gunung Pandan, mengalami pembelokan relatif simetris
terhadap tubuh gunungapi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa volkanisme
terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonik Kendang (Pliosen Akhir).
Ditinju dari jarak relatif terhadap busur gunungapi dan palung subduksi,
Gunungapi Pandan berada satu deret dengan Gunungapi Ungaran, yaitu
menempati volkanisme dekat belakang busur (near back-arc). Gunungapi Ungaran
juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan Gunungapi Pandan, yaitu
Pleistosen Awal (van Bemmelen, 1949; Husein dkk, 2016).
Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan
secara inensif, selain karena iklim tropis juga karena faktor litologi penyusun
Zona Kendang, yaitu batulempung-napal-batupasir yang mempunyai kompaksitas
rendah, misalnya pada Formasi Kerek, Formasi Pelang dan Formasi Kalibeng
yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses eksogenik
yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada (inversed
topography), misalnya bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah sinklin
menjadi bukit sinklin. Proses pengangkatan yang terus berjalan mulai akhir zaman
Tersier hingga sekarang (Husein dkk, 2007), menyebabkan banyak dijumpai

27
terasteras sungai di Zona Kendang yang menunjukkan adanya perubahan
temporary base level.
3.1.5 Zona Depresi Tengah Jawa/zona Solo dan Zona Randublatung
Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang
berada di antara Zona Kendang dan Zona Rembang. Zona ini terbentuk sabagai 23
daerah amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika
Zona Kendang dan Zona Rembang mengalami pengangkatan di akhir Tersier (van
Bemmelen, 1949; Husein dkk, 2016). Hipotesis van Bammelen tersebut
tampaknya hanya berlaku untuk Zona Randublatung bagian barat saja, yang
membentang dari Purwodadi sampai Randublatung, yang secara fisiografis
membentuk depresi sempit terapit dua lajur perbukitan. Adapun fisiografi bagian
timur zona ini membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan
Surabaya, ditandai dengan banyak antiklin terisolir sepeti Dander, Pegat,
Ngimbang, Sekarkorong dan Lidah. Secara struktur, pola lipatan-lipatan tersebut
masih mengikuti pola lipatan Zona Kendang. Hal ini menunjukkan proses isostasi
negatif bukan faktor utama pembentukan Zona Randublatung. Sebagai sebuah
depresi, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif semenjak akhir Tersier hingga
sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari Perbukitan Kendang dan
Perbukitan Rembang.
3.1.6 Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral
Zona ini merupakan daerah pegunungan yang meperlihatkan bentuk- bentuk
kubah. Zona ini dikontrol oleh struktur dan litologi. Jenis litologi pembentuk
morfologi zona ini terdiri atas batuan sedimen dan batuan beku. Morfologi zona
ini juga dipengaruhi oleh struktur geologi seperti perlipatan, sesar dan kekar.
Van Bemmelen (1949) menyebutkan bahwa zona ini terdiri dari endapan
Neogen dan terlipat kuat dan terobosan batuan beku. Zona ini merupakan daerah
yang relatif stabil sejak Tersier yang dikontrol oleh struktur-struktur yang
mendominasi arah utara-selatan dengan struktur-struktur Jawa yang mendominasi
berarah barat-timur (W-E).
3.1.7 Zona Serayu Selatan
Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah

28
yang membentuk kubah dan pegunungan. Di bagian barat dari pegunungan
Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk antiklinorium yang
berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua tersebar di Pulau Jawa, yaitu
daerah Luk Ulo, Kebumen. Pengecualian terjadi di Pegunungan Selatan bagian
barat, dimana sungai- sungai permukaan yang berhulu di Igir Baturagung dan
mengalir ke selatan melalui Plato Wonosari kemudian melanjutkan perjalananya
ke bawah permukaan kawasan karst gunung sewu sebagai jaringan sungai bawah
tanah .Berdasarkan kajian fisiografi diatas, daerah penelitian termasuk dalam zona
Pegunungan Serayu Selatan. (Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Peta Fisiografi Daerah Penelitian. (Van Bemmelen, 1949 dalam
Hartono, 2010)

3.2 Stratigrafi Regional


Berdasarkan penelitian terdahulu stratigrafi regional daerah penelitian
termasuk kedalam Peta Geologi Lembar Kebumen 1:100.000 menurut Asikin, dkk
(1992). Berdasarkan penelitian tersebut daerah penelitian tersusun atas 5 formasi
dari tua ke muda yaitu Formasi Rijang (Kobe), Karangsambung (Teok), Totogan
(Tomt), Waturanda (Tmw), Penosogan (Tmp) dan Halang (Tmph). (Gambar 3.2).
Menurut Asikin dkk (1992) (Tabel 3.1) batuan tertua didaerah ini berumur

29
Paleosen yang tercampur aduk secara tektonik dalam masa dasar batulempung
kelabu yang terabak (sheared), ditafsirkan merupakan sebuah batuan bancuh
(mélange) disebut sebagai Komplek Luk Ulo. Tertutup oleh sedimen parit (pond
deposit) yang termasuk Formasi Karangsambung berumur Eosen sampai
Oligosen. Diatasnya menindih selaras Formasi Totogan yang berumur Oligosen
sampai Miosen Awal. Kemudian selama Miosen Awal diendapkan Formasi
Waturanda sebagai endapan turbidit ukuran proksimal beranggotakan bereksi dan
batupasir diatasnya terdapat Fomasi Penosogan yang berumur Miosen Tengah.
Diatasnya menindih selaras Formasi Halang yang terbentuk oleh serangkaian
endapan sedimen turbidit yang berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Awal,
mempuyai anggota batupasir dan breksi, merupakan formasi yang termuda
didaerah ini.

Tabel 3.1. Stratigrafi daerah penelitian. (Asikin, dkk 1992)

1. Melange Komplek Lok Ulo


Komplek ini merupakan satuan batuan bancuh (chaotic), campuran dari
batuan sediment, beku, dan metamorf dalam massa dasar lempung yang
tergerus kuat (pervasively sheared), tampak struktur boudinage dengan kekar

30
gerus dan cermin sesar pada permukaan batuan. Blok-blok batuan berupa
exotic block maupun native block dengan ukuran beberapa centimeter hingga
ratusan meter 27 yang mengambang diatas lempung hitam tersebar luas
dengan pola penyebaran sejajar arah gerusan. Komponen melange Luk Ulo
meliputi:
a. Batuan Metamorfik, merupakan batuan tertua, terdiri dari gneiss, sekis
hijau, sekis mika, sekis biru, filit, amphibolite, sertpentinit, eklogit dan
marmer. Pengukuran radiometric K- Ar pada sekis menunjukkan umur
117 Ma (Ketner dalam Asikin 1992).
b. Batuan beku, berupa batuan ultra mafik. Tersusun dari seri batuan ofiolit
(peridotit, gabro dan basalt) banyak ditemukan di sekita Kali Lokidang.
Basalt berstruktur bantal umumnya berasosiasi dengan sedimen pelagic
biogen.
c. Sedimen pelagik, berupa rijang yang berselang-seling dengan Lempung
merah atau Gamping merah.
d. Batuan sedimen, berupa perselingan batu pelitik dengan batupasir
greywacke dan metagreywacke yang sering membentuk struktur
boudinage. Berdasarkan pengukuran umur dengan radiometric unsur K-
Ar, maka umur metamorfisme adalah kapur akhir (117 Ma), sedangkan
dari fosil radiolarian (Wakita dalam Asikin 1992) adalah kapur awal
hingga akhir. Asikin (1974) dan Sapri dalam Asikin (1992) berdasarkan
nano fosil yang ditemukan pada batuan sedimen diatas melange,
menemukan adanya campuran fauna Paleosen dengan Eosen.
Berdasarkan data ini, diinterpretasikan bahwa umur Komplek Melange
berkisar Kapur Akhir hingga Paleosen.
2. Formasi Karangsambung
Formasi Karangsambung berupa batu lempung sisik, dengan
bongkahan batugamping, konglomerat, batupasir, batulempung, dan basalt.
Safarudin dalam Asikin (1992) menafsirkan lingkungan pengendapan formasi
ini adalah lautan dalam atau batial, hal ini dibuktikan dengan adanya fosil
bentos Uvigerina sp. dan Gyroidina soldanii (D’ORBIG-NY). Satuan ini

31
merupakan kumpulan endapan olistrostom yang terjadi akibat longsoran
karena gaya berat dibawah permukaan laut, yang melibatkan sedimen yang
belum mampat, dan berlangsung pada lereng parit di bawah pengaruh
pengendapan turbidit. Sedimen ini kemungkinan merupakan sedimen”pond”
dan diendapkan di atas bancuh (Komplek Luk Ulo). Kemungkinan besar
pengendapan ini dipengaruhi oleh pencenanggaan batuan dasar cekungan
yang aktif (bancuh), dan berhubungan dengan penyesaran naik. Pengaruhnya
tampak di bagian bawah satuan, dan melemah ke arah atas. Singkapan satuan
ini terdapat di daerah Karangsambung, terutama sepanjang Komplek Luk Ulo
dan Komplek Weleran, menempati antiklin Karangsambung, dan meluas ke
arah barat. Satuan ini membentuk daerah perbukitan menggelombang yang
berlereng landai dan bergelombang. Ketebalannya diperkirakan 1350 m
(Asikin 1974). Bagian atas berubah secara berangsur menjadi Formasi
Totogan, sedangkan batas dengan bancuh dibawahnya selalu bersifat
tektonik. Nama formasi ini pertama kali diajukan oleh Asikin (1974), dengan
lokasi tipe di Desa Karangsambung sekitar 14 Km di utara Kebumen. Nama
sebelumnya adalah ”Eosin” (Horloff dalam Asikin 1992).
3. Formasi Totogan
Formasi Totogan berupa breksi dengan komponen batulempung,
batupasir, batugamping dan basalt setempat, sekis, massa dasar batulempung
sisik, disamping itu terdapat campuran yang tidak teratur dari batulempung,
napal dan tuf. struktur tidak teratur Formasi Totogan merupakan endapan
olistrostom yang terdiri oleh longsoran akibat gaya berat. Pengendapannya
dipengaruhi oleh pengangkatan dan pengikisan batuan sumbernya yang cepat.
Formasi Totogan dapat disebandingkan dengan batuan sedimen berumur
Eosen- Meosen di lembar Banjarnegara dan Pekalongan (Condon dalam
Asikin 1992). Satuan ini tersingkap di daerah utara lembar di sekitar komplek
Luk Ulo, di timur dan selatan Karangsambung. Tebalnya melebihi 150 m dan
menipis ke arah selatan. Formasi ini menindih selaras Formasi
Karangsambung, batas dengan Komplek Luk Ulo berupa sentuhan sesar.
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Asikin (1974) dengan lokasi

32
tipe disekitar Totogan lebih kurang 17 Km diutara Kebumen.
4. Formasi Waturanda
Formasi Waturanda berupa breksi gunung api dan batupasir wake
dengan sisipan batulempung di bagian atas. Struktur sedimen dalam satuan
ini antara lain perlapisan bersusun, perairan sejajar dan convolute. Beberapa
tempat, pada alas suatu daur dapat diamati adanya permukaan erosi yang
jelas. Lapisan bersusun pada breksi umumnya Formasi Waturanda Litologi
berupa batupasir vulkanik dan breksi vulkanik yang berumur Miocene awal-
Miocene tengah, selaras diatas Fm. Totogan. Formasi ini mempunyai anggota
Tuf memperlihatkan perubahan ukuran butiran/komponen bertambah kasar
ke atas. Pelapisan sejajar terdapat di bagian atas lapisan breksi.
Formasi Waturanda diduga berumur Meosin awal dengan lingkungan
pengendapan laut dalam, karena Formasi Penosogan yang menindihnya
berumur Meosin tengah. Dari struktur sedimennya dapat disimpulkan bahwa
paling tidak sebagian formasi ini diendapkan oleh arus turbidit dan
merupakan endapan turbidit proksimal. Satuan ini tersebar di bagian utara
lembar dan selalu membentuk morfologi tinggi, dengan puncaknya G. Tugel,
G. Watutumpang, G. Paras, G. Prahu, dan G. Kutapekalongan. Nama formasi
ini pertama kali diajukan oleh Matasak dalam Asikin (1992) dengan lokasi
tipe di Bukit Waturanda (lebih kurang 11 Km di utara Kebumen). Nama
sebelumnya ialah “Eerste Breccie Horizont” (Horloff dalam Asikin 1992).
5. Formasi Penosogan
Formasi Penosogan berupa perselingan batupasir, batulempung, tuf,
napal dan kalkarenit, berlapis baik, tebal lapisan antara 5 – 60 Cm berwarna
kelabu. Analisis arus purba di daerah Alian (utara – timur laut Kebumen)
dengan cara mengukur sumbu struktur sedimen tikas seruling pada batupasir
dan kalkarenit di bagian bawah formasi ini, menghasilkan tafsiran bahwa
arah arus serta sumbernya datang dari utara (Iskandar dalam Asikin 1992).
Bagian bawah formasi ini berupa sedimen turbidit proksimal, kemudian
distal dan bagian atas kembali proksimal. Satuan ini tersingkap antara lain di
sekitar Alian dan Penosoga, di bagian barat lembar menyempit, ke arah timur

33
laut tertutup oleh endapan gunung api muda. Ketebalan terukur di daerah
Alian adalah 1146 m (Hehanusa dalam Asikin 1992). Formasi ini menindih
selaras Formasi Waturanda. Formasi Penosogan dapat disebandingkan
dengan batuan sedimen bagian bawah pada lembar Banjarnegara dan
Pekalongan (Condon, dalam Asikin 1992). Nama formasi ini pertama kali
diusulkan oleh Hehanusa dalam Asikin (1992) dengan lokasi tipe di desa
Penosogan (lebih kurang 8 Km di utara Kebumen).
6. Formasi Halang
Formasi ini menindih selaras diatas Fm. Penosogan, Litologi terdiri dari
perselingan batupasir, batulempung, napal, tufa dan sisipan breksi.
Merupakan kumpulan sedimen turbidit bersifat distal sampai proksimal, pada
bagian bawah dan tengah kipas bawah laut, berumur Miocene akhir-Pliocene.

34
Gambar 3.2. Peta Geologi Regional daerah penelitian, diambil
dari Peta Geologi Lembar Kebumen. (Asikin,
dkk, 1992)
3.3 Struktur Regional
Tataan tektonik dan struktur geologi Pulau Jawa berkaitan dengan teori
tektonik lempeng. Indonesia merupakan titik pertemuan antara tiga lempeng besar
yaitu Lempeng Eurasia relatif stabil, Lempeng Samudera Pasifik bergerak relatif
ke arah barat laut dan Lempeng Hinda-Australia relatif bergerak ke arah utara
(Hamilton, 1979). Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa menjadi dua
elemen struktur yaitu Geosinklin Jawa Utara dan Jawa Selatan. Kedua elemen
tersebut memanjang dengan arah barat-timur. Geosinklin Jawa Utara dikenal

35
dengan nama Cekungan Jawa Timur Utara. Struktur yang berkembang di Pulau
Jawa diakibat kan oleh adanya suatu pengangkatan yang terjadi selama Miosen
dan Plio-Pleistosen (Van Bemmelen, 1949). Pulunggono dan Martodjojo (1994)
menyatakan bahwa pola struktur dominan yang berkembang pada Pulau Jawa.
(Gambar 3.3)

Gambar 3.3. Pola struktur Pulau Jawa. (Martodjojo dan Pulonggono, 1994)

a. Arah timurlaut-baratdaya (NE-SW) disebut dengan arah Meratus. Pola


struktur dengan arah Meratus ini merupaka pola dominan yang berkembang
di Pulau Jawa terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur Akhir-Eosen
Awal).
b. Arah pola struktur yang dijabarkan oleh sesar-sesar yang berarah utara-
selatan. Arah ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri,
Cekungan Sunda, dan Cekungan Arjuna. Pola ini disebut dengan Pola Sunda.
Pola Sunda berarah utara- selatan (N-S) terbentuk 53 sampai 32 juta tahun
yang lalu (Eosen Awal-Oligosen Awal).
c. Arah barat-timur yang umumnya dominan berada di dataran Pulau Jawa dan
dinamakan dengan Pola Jawa. Pola Jawa berarah barat-timur (E-W) terbentuk

36
sejak 32 juta tahun yang lalu dan diwakili oleh sesar-sesar naik seperti
Baribis dan sesar-sesar di dalam Zona Bogor. Berdasarkan Kajian pustaka
diatas, pada daerah penelitian memperlihatkan struktur geologi berupa
kelurusan (lineament) dengan arah barat – timur dan timurlaut – baratdaya.

3.4 Dasar Teori


Sub-bab ini berisi teori teori yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu,
teori tersebut sebagai acuan dalam penentuan aspek aspek geologi yang diteliti.
Meliputi aspek geomorfologi, aspek stratigrafi, serta aspek struktur geologi.
Masing- masing aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut:
3.4.1 Aspek Geomorfologi
Dalam menganalisis kondisi geomorfologi dan melakukan pembagian
satuan geomorfologi pada daerah penelitian, penulis melakukan analisis pada peta
topografi dengan melihat pola – pola kontur dan kemudian melakukan sayatan
morfometri pada peta topografi dan tidak dilakukan langsung di lapangan.
Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian, mengacu pada
klasifikasi bentukan asal berdasarkan Genesa dan sistem pewarnaan menurut Van
Zuidam (1983) (Tabel 3.2) yang berdasarkan pada aspek - aspek morfometri dan
morfogenesa serta pengamatan lapangan daerah penelitian untuk melengkapi
interpretasi ditambahkan dalam klasifikasi beda tinggi dan persen lereng menurut
Van Zuidam dan Cancelado (1979). (Tabel 3.3)

Tabel 3.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan.
(Van Zuidam, 1983)

SIMBOL MORFOGENESA PERWANAAN

S Struktural (Structural) Ungu

V Vulkanik (Volcanic) Merah

D Denudasional (Denudational) Coklat

M Laut (Marine) Hijau

37
F Fluvial Biru tua

G Es (Glacial) Biru muda

A Angin (Aeolian) Kuning

K Kars (Karst) Orange

Tabel 3.3. Klasifikasi hubungan antara relief dan beda tinggi. (Van Zuidam dan
Cancelado, 1979)

Sudut Lereng Beda Tinggi


No Relief
(%) (m)
1 Topografi dataran 0–2 <5

2 Topografi bergelombang lemah 3–7 5 – 50

3 Topografi bergelombang lemah – kuat 8 – 13 25 – 75

4 Topografi bergelombang kuat – 14 – 20 50 – 200

5 perbukitan
Topografi perbukitan – tersayat kuat 21 – 55 200 – 500

6 Topografi tersayat kuat – pegunungan 56 – 140 500 – 1000

7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

Dalam unit geomorfologi dapat dibagi lagi berdasarkan ciri-ciri yang sesuai
dengan genesa yang terjadi di lapangan dan data morfometri. Seperti unit
geomorfologi bentukan asal denudasional terbagi menjadi 12 jenis (Tabel 3.4) dan
unit geomorfologi bentukan asal struktural terbagi menjadi 15 jenis (Tabel 3.5).

Tabel 3.4. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan oleh proses Denudasional. (Van
Zuidam, 1983)

Kode Unit Karakter Umum


Lereng landai-curam menengah (topografi
Denudational slopes bergelombang kuat), tersayat lemah
D1
and hills menengah.

38
Lereng curam menengah-curam (topografi
Denudational slopes ber- gelombang kuat-berbukit), tersayat
D2
and hills menengah tajam.
Lereng berbukit curam-sangat curam hingga
Denudational hills topografi pegunungan, tersayat menengah
D3
and mountain tajam.
Lereng berbukit curam-sangat curam, tersayat
D4 Residual hills menengah. Monadnocks memanjang, curam,
bentukan yang tidak teratur.
Hampir datar, topografi bergelombang kuat,
D5 Paneplains tersayat lemah-menengah.
Upwarped Hampir datar, topografi bergelombang kuat,
D6 paneplains plateau tersayat lemah-menengah.
Lereng relatif pendek, mendekati horisontal
D7 Footslopes hingga landai, hampir datar, topografi
bergelombang normal-tersayat lemah
Lereng landai menengah, topografi
bergelombang kuat pada kaki atau perbukitan
D8 Piedmonts dan zona pegunungan yang terangkat, tersayat
menengah.
Lereng curam-sangat curam, tersayat lemah-
D9 Scarps menengah.
Scree slopes and
D10 Landai-curam, tersayat lemah-menengah
fans
D11 Tidak teratur, lereng menengah curam,
Area with several topografi bergelombang-berbukit, tersayat
mass movement menengah (slides,slump, and flows).
Topografi dengan lereng curam-sangat
D12 Badlands curam, tersayat menengah (knife-edged,round
crested and castellite types).
Tabel 3.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal Struktural. (Van
Zuidam, 1983)

Kode Warna Unit Karakter Umum


Topografi bergelombang
sedang hingga bergelombang
Rendah sampai cukup
S1 kuat dengan pola aliran
miring. Tersayat menengah.
berhubungan dengan kekar,
dan patahan

39
Topografi bergelombang
sedang hingga bergelombang Rendah sampai topografi
kuat dengan pola aliran tebing yang cukup miring
S2
berkaitan dengan singkapan dengan berbentuk linear.
batuan berlapis Tersayat menengah – kuat.

Topografi bergelombang kuat


hingga perbukitan dengan Sedang sampai topografi
S3 tebing yang cukup miring.
pola aliran berkaitan dengan
kekar dan patahan Tersayat kuat.

Cukup curam sampai


Topografi perbukitan hingga topografi tebing yang sangat
pegunungan dengan pola miring curam dengan
S4 aliran berkaitan dengan berbentuk linear. Tersayat
singkapan batuan berlapis menengah sampai kuat.
Topografi datar hingga
Mesas / Dataran Tinggi yang bergelombang lemah di atas
S5 Dikontrol Struktur plateau dan perbukitan di
bagian tebing.
Bergelombang lemah di
bagian lereng belakang dan
S6 Cuestas
perbukitan pada lereng
depan. Tersayat lemah.
Tinggian berupa topografi
S7 Hogbacks & Flatirons
perbukitan tersayat.
Topografi bergelombang
Teras Denudasional
S8 lemah hingga perbukitan.
Struktural
Tersayat menengah.
Topografi bergelombang
S9 Perbukitan Antiklin & Sinklin kuat hingga perbukitan.

Tabel 3.6. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal Struktural. (Van


Zuidam, 1983)

Kode Warna Unit Karakter Umum


Lereng yang cukup curam
hingga rendah / topografi
S10 Depresi Sinklin & Combes landai sampai
bergelombang. Tersayat
lemah – menengah.

40
Topografi bergelombang
S11 Kubah / Perbukitan Sisa kuat hingga perbukitan.
Topografi bergelombang
S12 Dykes kuat hingga perbukitan.
Tersayat menengah.
Gawir Sesar & Topografi bergelombang
kuat hingga perbukitan.
S13 Gawir Garis Sesar Tersayat menengah sampai
(Tebing yang Curam) kuat.
Topografi bergelombang
S14 Depresi Graben lemah hingga kuat.
Topografi bergelombang
S15 Tinggian Horst kuat hingga perbukitan.

Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan


klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969). Pola pengaliran (drainage
pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil
penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola
dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Perkembangan dari pola pengaliran
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah kemiringan lereng,
perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik Kuarter, dan sejarah serta stadia
geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainagebasin).

Beberapa pola aliran dasar yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti
mengacu pada pola pengaliran dasar dari klasifikasi Howard (1967, dalam
Thornbury, 1969). (Tabel 3.7)

Tabel 3.7. Jenis pola aliran dasar. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Dasar Karakteristik

41
Pola aliran ini berbentuk seperti cabang-cabang
pohon, dimana cabang-cabang sungai tersebut
berhubungan dengan induk sungai membentuk
sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat
pada batuan yang homogen dengan sedikit atau
tanpa adanya pengendalian oleh struktur.
Contohnya pada batuan beku atau lapisan
horisontal.
Pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar,
mengalir pada daerah kemiringan lereng sedang
sampai curam, dapat pula pada daerah dengan
morfologi yang paralel dan memanjang. Pola aliran
ini mempunyai kecenderungan untuk berkembang
ke arah pola dendritic ataupun trellis. Contohnya
pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

Pola aliran ini menyerupai bentuk tangga, dimana


cabang-cabang sungai membentuk sudut siku-siku
dengan sungai utama, mencirikan daerah lipatan
dan kekar.

Pola aliran ini dibentuk oleh percabangan sungai-


sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih
banyak dikontrol oleh faktor kekar dan sesar.

Pola aliran ini dicirikan oleh suatu jaringan yang


memancar keluar dari satu titik pusat, pada
umumnya mencirikan suatu kubah atau daerah
gunungapi.

Tabel 3.8. Jenis pola aliran dasar. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

42
Pola Aliran Dasar Karakteristik

Pola aliran ini berbentuk melingkar mengikuti


batuan lunak suatu kubah yang tererosi pada bagian
puncaknya atau struktur basin atau juga suatu
intrusi stock.

Pola aliran ini terbentuk oleh banyaknya cekungan-


cekungan kecil dan biasanya dapat mencirikan
daerah topografi karst.

Pola aliran ini bentuknya tidak beraturan, pada


umumnya berkembang pada daerah yang memiliki
litologi batuan metamorf, batuan beku, atau pada
batuan berlapis yang mempunyai resistensi sama.

Pola pengaliran modifikasi / ubahan merupakan pola pengaliran dengan


perubahan yang masih memperlihatkan ciri pola pengaliran dasar. Hubungan pola
dasar dan pola perubahan dengan jenis batuan dan struktur geologi sangat erat
kaitannya. (Howard 1967, dalam Thornbury, 1969) (Tabel 3.9). Membuat
klasifikasi pola pengaliran ubahan menjadi 6 yaitu :
1) Ubahan Pola Pengaliran
a. Subdendritik: modifikasi dari pola dendritik akibat pengaruh dari
topografi dan struktur.
b. Pinnate: tekstur rapat pada daerah yang sudah tererosi lanjut Tidak ada
kontrol struktur pada daerah landai dengan litologi bertekstur halus
(batulanau dan batulempung).
c. Anastomatik: terdapat didaerah dataran banjir, delta dan rawa, pasang
surut.

43
d. Distributary: bentuknya menyerupai kipas, terdapat pada kipas aluvial
dan delta.

Tabel 3.9. Ubahan pola aliran dendritic. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik yang sudah mulai berkembang
proses-proses struktur.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada batuan bertekstur halus dengan material
yang mudah tererosi.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan floodplains, deltaic, dan tidal
marshes.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan alluvial fans dan deltaic.

2) Ubahan pola pengaliran parallel. (Tabel 3.10)

44
a. Subparalel: dikontrol oleh lereng, litologi, dan struktur, lapisan batuan
relatif seragam resistensinya
b. Coliniar: kelurusan sungai atau aliran yang selang – seling antara muncul
dan tidak, memanjang diantara punggungan bukit pasir pada gurun pasir
landai dan loess.

Tabel 3.10. Ubahan pola aliran parallel. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran paralel, pada umumnya berkembang pada
morfologi dengan kemiringan menengah.

Pola aliran ini relatif sejajar berbentuk kelurusan


aliran yang muncul dan tenggelam pada
pematang pasir.

3) Ubahan pola pengaliran trellis. (Tabel 3.11)


a. Directional trellis: dijumpai pada daerah homoklin, dengan tingkat
kelerengan relatif landai, anak sungai lebih panjang dari sungai utama.
b. Fault trellis: kelurusan sungai – sungai besar dianggap sebagai kelurusan
sesar, hal ini merupakan indikasi keberadaan graben dan horst secara
bergantian pada daerah yang memiliki pola aliran jenis ini.
c. Joint trellis: kontrol strukturnya adalah kekar, ditandai oleh aliran sungai
yang relatif pendek – pendek, lurus, dan sejajar satu dengan yang lain.

45
d. Recurved trellis: berkembang pada daerah yang mengalami penunjaman
lipatan.

Tabel 3.11. Ubahan pola aliran trellis. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
morfologi homoklin.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis. Kelurusan sungai – sungai besar
sebagai kelurusan sesar, menunjukkan graben
dan horst secara bergantian.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis. Kontrol strukturnya adalah kekar,
ditandai oleh aliran sungai yang pendek –
pendek, lurus, dan sejajar.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
daerah penunjaman lipatan.

46
4) Ubahan pola pengaliran rectangular. (Tabel 3.12)
a. Angulate: Kelokan tajam dari sungai akibat sesar, kelurusan anak sungai
akibat kekar, pada litologi berbutir kasar dengan kedudukan horisontal,
Biasanya angulate dan rectangular terdapat bersama dalam satu daerah

Tabel 3.12. Ubahan pola aliran rectangular. (Howard, 1967; Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran rectangular. Kelokan tajam dari sungai
akibat sesar, kelurusan anak sungai akibat
kekar, pada litologi berbutir kasar, Biasanya
angulate dan rectangular terdapat bersama
dalam satu daerah.

5) Ubahan pola pengaliran radial. (Tabel 3.13)


a. Centripetal Pola ini berhubungan dengan kawah, kaldera, dolena atau
uvala, centripetal yang bergabung menjadi multicentripetal

Tabel 3.13. Ubahan pola aliran radial. (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran radial. Pola ini berhubungan dengan
kawah, kaldera, dolena besar atau uvala,
beberapa pola centripetal yang bergabung
menjadi multicentripetal.

6) Penggabungan dari beberapa pola dasar dan perkembangan pola baru. (Tabel
3.14)
a. Complex : Kontrol struktur, topografi dan litologi sangat dominan,
terdapatdi daerah “Melange”.

47
b. Compound : Kombinasi pola radial dan anular yang merupakan sifat
kubah.
c. Palimpsest : Merupakan daerah pengangkatan baru
Tabel 3.14. Ubahan pola aliran penggabungan. (Howard, 1967; dalam Thornbury,
1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Ada lebih dari satu pola dasar yang bergabung


dalam satu daerah. Kontrol struktur, topografi dan
litologi sangat dominan, terdapat didaerah
“Melange”.

Terdiri dari dua pola kontemporer. Kombinasi


pola radial dan anular yang merupakan sifat
kubah.

Sungai tua atau pola tua yang sudah ditinggalkan


dan membentuk pola baru. Merupakan daerah
pengangkatan baru.

Menentukan stadia geomorfologi suatu daerah sangat penting dengan


memperhatikan berbagai aspek seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia
sungai yang telah terbentuk. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk
mengetahui proses - proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut.
Proses tersebut bisa berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme)
dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian
dikontrol oleh litologi, pelapukan dan struktur geologi pada saat melakukan

48
rekontruksi lipatan dan juga proses-proses geomorfologi. Perkembangan stadia
daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah telah
berubah dari morfologi aslinya.
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi empat dan
mempunyai ciri tersendiri (Gambar 3.4), yaitu stadia muda stadia dewasa stadia
tua dan rejuvenation. Stadia muda (youth) dicirikan oleh kenampakan bentuk
lahan yang belum berubah dari bentuk lahan aslinya. Dataran tinggi yang baru
terangkat, relatif datar dan sedikit bentuk kan. Beberapa sungai mengalir pada
permukaannya. Hal yang sama seperti pada pegunungan blok, pegunungan kubah,
pegunungan lipatan dan gunung api. Pada stadia muda garis batasnya tidak lepas
oleh keragaman relief selanjutnya.
Stadia dewasa (mature) proses perkembangan stadia daerah bersamaan
dengan pertumbuhan sistem pengaliran panjang dan jumlah sungai bertambah
dataran dan lereng landai asli menjadi semakin rumit karena dipotong oleh
lembah-lembah dengan bentuk dan ukuran tertentu. Tahap akhir dicapai ketika
sedikit dari permukaan asli yang tersisa. Selanjutnya pada wilayah punggungan
dan lembah yang mengalami perubahan dengan tekstur yang kasar dapat disebut
sebagai dataran dewasa tinggian dewasa pegunungan blok dewasa pegunungan
kubah dewasa pendewasaan relief gunung api. Pada setiap kasus harus
diasumsikan sebagai bentuk lahan konstruktif yang memiliki variasi dalam aspek
topografi.
Stadia tua (old age) topografi menjadi lebih rendah energi destruktif
mendenudasi lahan sampai waktu ketika area tersebut sama rata dengan sea level
(tinggi laut). Ini adalah stadia tua tinggi lahan terus berkurang sampai dengan base
level (tinggi dasar) dari suatu wilayah. Hasilnya permukaan yang hampir rata
disebut sebagai proses pendataran maksudnya “hampir semua permukaannya
datar”. Kadang-kadang sisa massa asli masih ada karena memiliki resistensi yang
baik atau jauh dari jalur pengaliran sungai utama. Bukit yang tersisa/tersebar
tersebut disebut sebagai monadnocks.
Selanjutnya proses peremajaan (rejuvenation) interupsi atau perubahan
dapat terjadi selama siklus daerah berlangsung. Jika siklus sudah sempurna siklus

49
baru dapat terbentuk oleh proses pengangkatan dataran yang terjadi pada seluruh
wilayah. Dataran yang diangkat disebut sebagai dataran tinggi di bawah
permukaan dataran tinggi sungai segera terbentuk dengan sendirinya demikian
siklus baru terbentuk. Wilayah tersebut disebut sebagai stadia muda pada
perkembangan siklus kedua. Stadia muda selanjutnya melewati stadia dewasa
ditandai dengan relief topografi yang kasar lalu dengan erosi dan denudasi
selanjutnya kembali pada stadia tua.
Urutan proses mulai dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali
berulang menjadi seperti muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang
(rejuvenation) atas suatu bentang alam. Proses peremajaan ulang (rejuvenation)
terbentuk apabila pada daerah yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu
proses epirogenesis atau orogenesis maka daerah dengan stadia tua tersebut
terangkat kembali. Daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh
proses eksogenik maupun oleh sungai - sungai yang mengalir di daerah tersebut
yang mengakibatkan perubahan bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda
dengan tingkat erosi daerah muda lagi. Stadia peremajaan ulang (rejuvenation) ini
juga dicirikan dengan daerah topografi yang datar sampai bergelombang lemah
karena tingkat pelapukan yang sangat intensif yang berjalan sangat lama sehingga
kenampakan morfologi menjadi sangat landai. Kenampakan stadia sungai pun
juga sangat lebar atau erosi lateral sangat dominan dan erosi vertikal tidak ada
dengan arus yang sangat kuat didalamnya.

50
Gambar 3.4. Stadia daerah. (Lobeck, 1939)
Menurut Thornbury (1969) tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga
stadia yang terdapat dalam. (Tabel 3.15)

Tabel 3.15. Tingkatan stadia sungai. (Thornbury, 1969)

Pola Aliran Karakteristik

Dicirikan oleh lembah berbentuk V, tidak


dijumpai dataran banjir, banyak dijumpai
air terjun, aliran air deras, erosi vertical
lebih dominan daripada lateral.

Dicirkan oleh relief yang maksimal,


dengan bentuk lembah sudah mulai
cenderung berbentuk U, dimana erosi
vertical sudah seimbang dengan erosi
lateral, cabang-cabang sungai sudah
memperlihatkan bentuk meandering

51
Dicirikan oleh lembah dan sungai meander
yang lebar, erosi lateral lebih dominan
dibandingkan dengan erosi vertical, karena
permukaan erosi sudah mendekati
ketingkat dasar muka air.

3.4.2 Aspek Statigrafi


Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan
dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu,
dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan (Martodjojo dan
Djuhaeni, 1996). Pengelompokan dengan satuan batuan tidak resmi menggunakan
litostratigrafi, seperti yang tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia pada bab
II pasal 14. Analisis data stratigrafi meliputi pembuatan peta geologi, penampang
geologi dan kolom stratigrafi.
Pembagian Litostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan batuan di bumi
secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri
litologi. Pada Satuan Litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri
batuan yang dapat diamati di lapangan. Penentuan batas penyebaran tidak
tergantung kepada batas waktu. Dalam penyusunan Litostratigrafi ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Ciri-ciri litologi meliputi jenis batuan, kombinasi jenis batuan, keseragaman
gejala litologi batuan dan gejala-gejala lain tubuh batuan di lapangan.
b. Satuan Litostratigrafi dapat terdiri dari batuan sedimen, metasedimen, batuan
asal gunungapi (pre-resen) dan batuan hasil proses tertentu serta kombinasi
daripadanya. Dalam hal pencampuran asal jenis batuan oleh suatu proses
tertentu yang sulit untuk dipisahkan maka pemakaian kata “Komplek” dapat
dipakai sebagai padanan dari tingkatan satuannya (misalnya Komplek
Lukulo).
c. Satuan Litostratigrafi pada umumnya sesuai dengan Hukum Superposisi,
dengan demikian maka batuan beku, metamorfosa yang tidak menunjukkan
sifat perlapisan dikelompokan ke dalam Satuan Litodemik.

52
d. Sebagaimana halnya mineral, maka fosil dalam satuan batuan diperlakukan
sebagai komponen batuan.
e. Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan
ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut.
f. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata, batasnya merupakan
bidang yang diperkirakan kedudukannya (batas arbitrer).
g. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjari-jemari, peralihannya
dapat dipisahkan sebagai satuan teresendiri apabila memenuhi persyaratan
Sandi.
h. Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh
kelanjutan ciri-ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.
i. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batas
cekungan pengendapan atau aspek geologi lain.
j. Batas-batas daerah hukum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan
berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan.

3.4.2.1 Hubungan Stratigrafi


Stratigrafi yang berkembang pada suatu lapisan batuan biasanya memiliki
suatu hubungan antar satuan yang ada. Hubungan ini umumnya menggambarkan
proses yang dikontrol oleh waktu, litologi, erosi, dan posisi antar stratigrafi.
Hubungan antara suatu lapisan dengan lapisan lain baik vertikal maupun
horizontal dikenal dengan dua istilah yaitu ketidakselarasan dan keselarasan
1. Keselarasan.
Keselarasan (conformity) merupakan hubungan antara satu lapis
batuan dengan lapis batuan lainnya di atas atau di bawahnya yang bersifat
kontinyu (terus-menerus), tidak terdapat selang waktu pengendapan atau
sedimentasi. Secara umum jika di lapangan dapat ditunjukkan dengan
kedudukan lapisan (strike/dip) yang sama atau hampir sama. Selain itu

53
keselarasan umumnya menunjukan suatu gradasional dalam perlapisan
batuan dilapangan (menerus).
3.4.3 Aspek Struktur Geologi
Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan analisis citra
DEMNas, peta topografi, peta geologi regional serta pengamatan unsur - unsur
struktur geologi dan hasil analisis dari data - data pengukuran di lapangan. Dalam
menginterpretasi indikasi struktur geologi perlu dilakukan interpretasi awal
dengan mengacu pada kenampakan kelurusan- kelurusan struktur pada pola
kontur dan citra DEM. Untuk mempelajari struktur geologi daerah penelitian,
peneliti melakukan pendekatan struktur geologi yang terdiri dari struktur Kekar,
Sesar, dan Lipatan.
3.4.3.1 Kekar
Kekar (joint) adalah struktur geologi berupa rekahan dalam batuan yang
belum mengalami pergeseran. Keterdapatan kekar merupakan hal yang umum bila
terdapat pada batuan dan bisa terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan beku
kekar bisa terbentuk akibat proses pendinginan magma atau seletah proses
pendinginan magma, sedangkan pada batuan sedimen kekar dapat terbentuk pada
saat batuan mulai mengalami pengendapan atau terbentuk setelah proses
pengendapan. Dalam proses deformasi, kekar bisa terjadi saat mendekati proses
akhir atau bersamaan dengan terbentuknya struktur lain, seperti sesar atau lipatan.
Kekar juga dapat terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur sesar atau
lipatan yang diakibatkan oleh tektonik. Pemodelan dan analisis kekar
menggunakan pendekatan klasifikasi Billings (1972) yang menerangkan
mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang
disebabkan oleh tektonik (Gambar 3.5). Berdasarkan genesa terbentuknya kekar
dapat dibedakan menjadi kekar gerus (shear joint) dan kekar tarikan (tention
joint). Kekar gerus adalah rekahan akibat tegasan atau gaya kompresional pada
batuan, sedangkan kekar tarikan adalah rekahan akibat adanya gaya tarikan dari
proses tektonik pada batuan. Kekar tarikan dapat dibedakan menjadi extension
joint, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan tegasan. Release

54
joint, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau pengurangan tekanan,
orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama.

Gambar 3.5. Jenis kekar berdasarkan genesa terbentuknya. (Billings, 1972)

3.4.3.2 Lipatan
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang yang bersifat
plastis, dan tidak mudah untuk patah, oleh karena itu lipatan pada batuan biasanya
terjadi sebelum terbentuknya patahan pada batuan, ditunjukkan sebagai
lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam
bahan tersebut (Gambar 3.6). Lipatan merupakan salah satu tipe struktur geologi
yang paling biasa terdapat. Ukurannya sangat bervariasi, dan mempengaruhi tipe
permukaan batuan yang berbeda: stratifikasi, belahan (cleavage), schistosity,
sesar, joints. Lipatan muncul di beberapa lingkungan geologi yang berbeda tapi
merupakan hasil yang paling tipikal dari deformasi intensif suatu busur orogenik
Pembentukan lipatan dapat dapat terjadi melalui proses:
a. Buckling, yaitu karena proses penekanan lateral dari suatu bidang planar.
Proses pelengkungan terjadi pada kedua sisi selama terjadi pemendekan.
b. Bending, yaitu karena pengaruh gerakan vertikal pada suatu lapisan,
misalnya penurunan lapisan, pergeseran pada jalur gerus, atau pelengseran
suatu masa batuan pada bidang yang tidak rata.

55
Gambar 3.6. Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu
lipatan. (Twiss and Moore, 1992)

Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran


kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.
Metode yang digunakan adalah metode busur lingkar (arc methode), dasar dari
metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk busur dari suatu
lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu – sumbu kemiringan
yang berdekatan.
Rekontruksi lipatan bisa dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran
secara langsung apabila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya
setempat (Busk, 1929, dalam Prastistho, 1993). Apabila batas – batas lapisan
dijumpai berulang pada lintasan yang akan direkonstruksi, maka pembuatan busur
lingkaran dilakukan dengan metode interpolasi, yaitu berdasarkan data yang telah
didapat di lapangan ataupun dengan menggunakan metode rekontruksi lainnya
(Prastistho, 1993). Penggunaan arc methode (metode busur lingkar) dalam
restorasi penampang seimbang sangat berperan penting karena memudahkan
dalam perhitungan panjang lapisan dan luas area lapisan.
Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan arc
methode (metode busur lingkar) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan

56
data batas satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis – garis
tegak lurus terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis –
garis tersebut akan saling berpotongan di titik “O” (Gambar 3.7). titik “O”
tersebut merupakan pusat lingkaran untuk membuat busur sebagai rekonstruksi
lipatan.

Gambar 3.7. Rekonstruksi lipatan dengan metode busur


lingkar (arc methode). (Busk, 1929)

3.4.3.3 Sesar
Sesar atau patahan terjadi ketika suatu batuan mengalami retakan terlebih
dahulu yang kejadian ini berkaitan erat dengan tekanan dan kekuatan batuan yang
mendapatkan gaya sehingga timbul adanya retakan (fracture). Tekanan yang
diberikan mampu memberikan perubahan pada batuan dengan waktu yang sangat
lama dan hingga memberikan gerakan sebesar seperseratus sentimeter dan bahkan
sampai beberapa meter. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (Fault Plain) atau
rekahan tunggal. Tetapi sesar dapat juga dijumpai sebagai semacam jalur yang
terdiri dari beberapa sesar minor.
Jalur sesar atau jalur penggerusan, mempunyai dimensi panjang dan lebar
yang beragam, dari skala minor sampai puluhan kilometer. Kekar yang
memperlihatkan pergeseran bisa juga disebut sebagai sesar minor. rekahan yang
cukup besar akibat regangan, amblesan, longsor, yang disebut fissure, tidak
termasuk dalam definisi sesar. Beberapa indikasi umum adanya sesar adalah

57
kelurusan pola pengaliran sungai, pola kelurusan punggungan, kelurusan gawir,
gawir dengan triangular facet, keberadaan mata air panas, keberadaan zona
hancuran, keberadaaan kekar, keberadaan lipatan seret (Dragfold), keberadaan
bidang gores garis (Slicken Side) dan slicken line dan adanya tatanan stratigrafi
yang tidak teratur.
Penentuan jenis sesar dan orientasi sesar ditentukan oleh parameter bidang
sesar (Gambar 3.8) yang terdiri dari:
a. Strike (𝜑) : Adalah sudut yang dibentuk oleh jurus sesar dengan arah utara.
Strike diukur dari arah utara kearah timur searah dengan jarum jam hingga
jurus patahan (0° ≤ 𝜑 ≤ 360°).
b. Dip (𝛿) : Adalah sudut yang dibentuk oleh bidang sesar dengan bidang
horizontal dan diukur pada bidang vertikal dengan arahnya tegak lurus jurus
patahan (0° ≤ 𝛿 ≤90°).
c. Rake (𝜆) : Adalah sudut yang dibentuk arah slip dan jurus patahan. Rake
berharga positif pada patahan naik (Thrust Fault) dan negatif pada patahan
turun (Normal Fault) (−180° ≤ 𝜆 ≤ 180°).
d. Plunge (p) : Adalah sudut yang dibentuk oleh struktur garis tersebut dengan
bidang horizontal, diukur pada bidang vertikal. Trend (β) : Adalah arah dari
proyeksi struktur garis ke bidang horizontal.

Gambar 3.8. Gambar ilustrasi parameter bidang sesar. (Gok, 2008)

58
Menurut klasifikasi (Anderson, 1951) jenis sesar dibagi berdasarkan atas
prinsip stress. Prinsip stress adalah stress yang bekerja tegak lurus bidang
sehingga nilai komponen shear stress pada bidang tersebut adalah nol, jenis
klasifikasi sesar. (Gambar 3.9) yaitu:

Gambar 3.9. Jenis sesar dan principal stress pembentukannya. P


berarti pressure (zona kompresi/tekanan), T berarti
tension (zona regangan), dan B adalah titik tengah.
(Anderson, 1951)

1. Sesar normal (normal fault) terbentuk apabila Sv merupakan principle stress


maksimum, Shmax adalah principle stress menegah dan Shmin merupakan
principle stress minimum.
Metode penamaan jenis struktur geologi berupa sesar dapat diidentifikasi
menggunakan salah satu konsep yaitu Diagram Rickard (1972) yang
memberikan 22 jenis penamaan sesar dengan mendasarkan data kemiringan
bidang sesar (dip) dan sudut pergeseran bidang sesar (rake) seperti yang
diketahui bahwa pergeseran dari bidang sesar itu sendiri berkisar antara 0° -
90°.

2
80 80
Reverse Slip

45 21 6 45
1 59

22 20 3 5
10
Thrust
45 45

45 45
Lag
Pitch of net slip

Dip of fault
Normal Slip

Dip of fault

Gambar 3.10. Diagram klasifikasi sesar menurut (Rickard, 1972)

Tabel 3.16. Penamaan sesar berdasarkan jenisnya (Rickard, 1972)

1 Thrust slip fault 1 Lag slip fault


2

2 Reverse slip fault 1 Normal slip fault


3

3 Right thrust slip fault 1 Left lag slip fault


4

4 Thrust right slip fault 1 Lag left slip fault


5

5 Reverse right slip fault 1 Normal left slip fault


6

6 Right slip fault 1 Left normal slip fault


7

60
7 Right slip fault 1 Left slip fault
8

8 Lag right slip fault 1 Thrust left slip fault


9

9 Right lag slip fault 2 Left thrust slip fault


0

1 Right normal slip fault 2 Left reverse slip fault


0 1

1 Normal right slip fault 2 Reverse left slip fault


1 2

Gambar 3.11. Simple – Shear model dalam himpunan suatu system


“ Wrench Fault “, Harding 1974.

61
2. Sesar naik (reverse fault) terbentuk apabila Shmax merupakan principle
stress maksimum, Shmin adalah principle stress menegah, dan Sv adalah
principle stress minimum.
3. Sesar mendatar (strike-slip fault) terbentuk apabila Shmax merupakan
principle stress maksimum, Sv adalah principle stress menegah, dan Shmin
merupakan principle stress minimum. Sesar mendatar terbagi atas:
a. Sesar Mendatar Sinistral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan kirinya
lebih mendekati pengamat.
b. Sesar Mendatar Dextral, yaitu sesar mendatar yang blok batuan
kanannya lebih mendekati pengamat.
3.4.4 Aspek Batupasir
Batupasir merupakan batuan yang tersusun oleh material renggang (loose)
namun kompak atau padat yang terdiri dari fragmen, mineral, pasir atau batuan
lainnya yang didukung oleh matriks berukuran pasir sangat halus sampai dengan
pasir sangat kasar dan selalu dijumpai fragmen dengan komposisi kuarsa dan
mineral lain seperti feldspar, mika, karbonat serta mineral lain yang terkadang
hadir diantara butiran mineral kuarsa (Nurwidyanto dkk, 2006). Prediksi porositas
dari suatu batupasir melalui pengamatan petrografis secara akurat dapat dilakukan
dengan melakukan pendekatan empiris. (Warmada, 1999)
Batupasir memiliki beberapa kenampakan fisik yang dapat dibedakan dari
batupasir jenis yang lainnya yaitu struktur, tekstur dan komposisi. Kenampakan
fisik ini kemudian dapat dirinci menjadi beberapa parameter empiris batupasir
dengan mengetahui parameter-parameter batupasir tersebut.
3.4.4.1 Parameter Empiris Batupasir
Pada batuan sedimen klastik terdapat parameter yang dapat diamati secara
jelas berupa tekstur, struktur, kandungan fosil dan komposisi mineral. Tekstur
batuan klastik dihasilkan oleh proses fisika sedimentasi dan dianggap mencakup
ukuran butir, bentuk butir (bentuk, pembundaran dan tekstur permukaan) dan
kemas (orientasi butir dan hubungan antar butir) (Boggs, 1987). Hubungan antar
tekstur primer ini menghasilkan parameter-paremeter yang lain seperti bulk
density, porositas dan permeabilitas. Batupasir termasuk batuan sedimen klastik

62
yang didominasi oleh butiran-butiran yang berukuran pasir sehingga memiliki
parameter tekstur, struktur dan komposisi mineral yang selanjutnya dapat diangap
sebagai parameter empiris dari batupasir tersebut. (Warmada, 1999)
3.4.4.2 Porositas
Porositas merupakan suatu perbandingan volume rongga-rongga antar pori
terhadap volume total seluruh batuan dimana pori sendiri merupakan ruang dalam
batuan yang terisi oleh fluida. Porositas terbentuk melalui proses-proses geologi
yang bekerja pada saat terjadinya pengendapan ataupun sedimentasi batuan.
Proses geologi berdasarkan waktu terjadinya dapat dibagi menjadi dua yaitu pada
saat pengendapan (depositional) dan setelah pengendapan (pastdepositional).
Proses-proses pada saat pengendapan ini mengontrol tekstur dari batupasir
tersebut yang berkaitan dengan ukuran butir, bentuk butir, derajat pemilahan
(sortation) (Gambar 3.10).

Gambar 3.10. Derajat pemilahan (sortation). (Folk, 1968)

Kebundaran (roundness) dan hubungan antar butir (kemas). Sedangkan


proses-proses setelah pengendapan dipengaruhi oleh aktifitas pelapukan baik
fisika maupun kimia. Porositas tidak dipengaruhi oleh ukuran butir tetapi fungsi
dari sortasi. Porositas berkurang secara progresif dari pasir bersortasi sangat baik
sampai pasir yang bersortasi sangat jelek (Scherer, 1987). Selanjutnya Scherer
(1987) menyatakan bahwa parameter yang paling berpengaruh terhadap porositas
adalah

63
umur, mineralogi (kandungan butiran kuarsa), sortasi dan kedalaman terpendam
maksimum.
Berdasarkan pada asalnya porositas dapat dibedakan menjadi porositas
primer (primary porosity) dan porositas sekunder (secondary porosity) (Gambar
3.11). Porositas primer merupakan porositas yang terbentuk bersamaan pada saat
batuan sedimen terendapkan, sedangkan porositas sekunder terbentuk sesudah
batuan sedimen terendapkan. Porositas primer dibagi menjadi 3 tipe yaitu
intergranular atau interpartikel, intragranular atau intrapartikel dan interkristalin.

Gambar 3.11. Tipe porositas primer dan porositas sekunder. (Scherer, 1987)

a. Intergranular/interpartikel merupakan pori-pori yang berada diantara partikel-


partikel atau butiran.
b. Intragranular/intrapartikel merupakan pori-pori yang berada di dalam
partikel-partikel atau butiran.
c. Interkristalin merupakan pori-pori yang terdapat diantara kristal- kristal
mineral yang relatif sama ukurannya yang terbentuk secara kimiawi.
Sedangkan porositas sekunder dapat dibagi menjadi 3 yaitu pelarutan
(solution), rekahan (fracture) dan intercrystalline.
1. Pelarutan (solution) merupakan pori yang terbentuk akibat dari pelarutan
semen atau butiran kerangka (fragmen batuan) dalam batuan sedimen.
2. Rekahan (fracture) merupakan pori yang terbentuk akibat dari adanya

64
rekahan akibat dari aktifitas tektonik.
3. Intercrystalline merupakan pori-pori yang timbul dalam semen atau diantara
mineral-mineral autigenik (mineral hasil proses kimiawi dan biokimia).
Pengukuran porositas batupasir dapat diukur dengan beberapa teknik
pengukuran mulai dari pengukuran kualitatif secara murni hingga pengukuran
kuantitatif. Estimasi atau perkiraan nilai porositas secara kuantitatif dapat
dilakukan dengan menggunakan sayatan tipis petrografi yang sebelumnya sampel
telah diresapi dengan menggunakan cairan Blue Dye terlebih dahulu sebelum
dilakukan pembuatan sayatan. Proses peresapan ini dilakukan untuk mencegah
pori-pori menjadi rusak pada saat pembuatan sayatan batuan dan warna yang
dihasilkan dari cairan tersebut dapat membuat pori-pori menjadi mudah terlihat
pada saat dilakukan analisis dengan mikroskop. Nilai porositas dari beberapa
macam batuan dapat dilihat dalam (Tabel 3.16) menurut Morris dan Johnson
dalam Todd (1980) sedangkan untuk pegangan kualitas terhadap nilai porositas
mengacu pada klasifikasi Todd (1959). (Tabel 3.17)

Tabel 3.16. Porositas pada berbagai macam batuan.


(Morris dan Johnson dalam Todd (1980)

65
Tabel 3.17. Kualitas terhadap nilai porositas. (Todd, 1959)

3.4.4.3 Akuifer
Akuifer berasal dari bahasa latin yaitu aqui dari aqua yang berarti air dan
ferre yang berarti membawa (Todd, 1959) sehingga akuifer dapat diartikan
sebagai lapisan pembawa air. Berdasarkan hal tersebut maka disimpulkan bahwa
akuifer merupakan lapisan bawah tanah yang mengantung air dan mampu
mengalirkan air. Suatu batuan dapat dikatakan sebagai akuifer apabila memiliki
pori-pori dan rongga-rongga yang saling terhubung antara satu dengan yang
lainnya yang berfungsi sebagai penyimpan dan mengalirkan air menuju rongga-
rongga tersebut. Berdasarkan pada perlakuan airtanah yang bergantung pada sifat
fisik batuan seperti tekstur, maka sifat batuan terhadap airtanah tersebut dapat
dibedakan menjadi 4 jenis yaitu akuifer, akuiklud, akuifug dan akuitard.
a. Akuifer merupakan lapisan batuan pembawa airtanah atau lapisan yang
permeable. Batuan-batuan yang memiliki susunan sedemikian rupa yang
dapat mengalirkan air yaitu batupasir, pasir, kerikil, batugamping dan
sebagainya.
b. Akuiklud merupakan lapisan yang kedap air atau lapisan yang impermeable
dimana lapisan ini dapat menyimpan air namun tidak dapat mengalirkannya.
Contoh batuannya yaitu lempung, batulempung, tuf dan berbagai batuan
dengan ukuran butir lempung.
c. Akuifug merupakan lapisan yang kedap air dimana pada lapisan ini batuan
tidak dapat menyimpan ataupun mengalirkan air. Contohnya yaitu granit,
batuan beku dan batuan yang kompak.
d. Akuitard merupakan lapisan batuan yang dapat menyimpan air namun hanya

66
dapat mengalirkan air dalam jumlah yang terbatas. Akuitard umumnya
terdapat diantara akuifer dan akuiklud.
Sedangkan jenis-jenis akuifer berdasarkan pada litologi penyusunnya dapat
dibedakan menjadi empat macam yaitu akuifer bebas, akuifer tertekan, akuifer
bocor dan akuifer menggantung. (Gambar 3.12)

Gambar 3.12. Jenis-jenis akuifer. (Harlan and others, 1989)

a. Akuifer bebas (unconfined aquifer) merupakan akuifer dimana muka airtanah


merupakan bidang batas sebelah atas dari zona jenuh air yang memiliki
permeabilitas tinggi.
b. Akuifer menggantung (perched aquifer) merupakan akuifer yang memliki
massa airtanah terpisah dari airtanah induknya oleh suatu lapisan relatif kedap
air dan tidak terlalu luas yang letaknya diantara zona jenuh air.
c. Akuifer bocor (leakage aquifer) merupakan akuifer dimana airtanah terletak
dibawah lapisan setengah kedap air terletak diantara akuifer bebas dan akuifer
tertekan.
d. Akuifer tertekan (confined aquifer) merupakan akuifer dimana lapisan atas
dan bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air yang memiliki tekanan lebih

67
besar dari tekanan atmosfer.

3.4.4.4 Software ImageJ


Software ImageJ ini merupakan salah satu qualitative image analysis tool
yang berguna untuk mengolah dan menganalisis citra atau gambar berbasis Java.
Software ini memungkinkan penggunanya untuk dapat membuat grafik dari data
yang ada untuk menganalisis gambar mikroskop, pengukuran area, perhitungan
partikel, segmentasi dan pengukuran fitur spasial atau temporal dari elemen
biologis. Beberapa fitur utama yang tersedia dalam software ini antara lain fungsi
paralel, perhitungan (calculations), pengukuran (measurements), output, scaling,
pengeditan foto, plug-in, macro dan warna.
Fungsi utama dalam software ImageJ yang digunakan untuk mendapatkan
nilai porositas yaitu fungsi pengukuran (measurements).
Fungsi ini memungkinkan kita dalam mengukur ataupun menentukan jarak
luas area dan pengukuran geometris lainnya berdasarkan pada gambar yang telah
ditentukan.

68

You might also like