Professional Documents
Culture Documents
Admin,+07 Welas Asih Diri
Admin,+07 Welas Asih Diri
Welas Asih Diri dan Kesejahteraan Subjektif pada Remaja dengan Orang Tua
Bercerai
Ayulanningsih, Karjuniwati
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Abstrak. Kesejahteraan subjektif merupakan elemen penting kesehatan mental pada remaja.
Kesejahteraan subjektif yang tinggi pada remaja akan membantu pula dalam optimalisasi
perkembangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara welas asih diri dan
kesejahteraan subjektif pada remaja dengan orang tua bercerai di kota Banda Aceh. Subjek
dalam penelitian ini berjumlah 40 orang remaja yang orang tuanya bercerai di kota Banda Aceh.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah non-probability sampling dengan teknik quota sampling dan snowball
sampling. Hasil analisis data diuji dengan teknik korelasi Spearman. Hasil uji korelasi
menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar .348 dengan taraf signifikansi .028 (p < .05). Hal ini
menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara welas asih diri dan kesejahteraan subjektif pada
remaja dengan orang tua bercerai di kota Banda Aceh.
Kata Kunci: kesejahteraan subjektif, remaja yang orangtuanya bercerai, welas asih diri
Abstract. Subjective well-being is one of the important elements of mental health in adolescents.
A high level of subjective well-being among adolescents will help them to optimize their
development. This research aims to determine the relationship between self-compassion and
subjective well-being in adolescents with divorced parent in Banda Aceh city. The samples of
this research were 40 adolescents with divorced parent in Banda Aceh city. This research used
quantitative methods. The data, however, was revealed by using the method of non-probability
sampling with quota sampling and snowball sampling technique. Output data analysis applied
the Spearman correlation technique. The result of correlation test showed a correlation
coefficient (r) by .348 with a significance level of .028 (p < .05). It means that there is a relation
between self-compassion and subjective well-being among adolescent with divorced parent in
Banda Aceh city.
Keywords: adolescents with divorced parent, self-compassion, subjective well-being
85
Ayulanningsih, Karjuniwati
Afek negatif yang sering dirasakan oleh asih diri memiliki efek untuk meningkatkan
remaja dengan orang tua bercerai dapat kesejahteraan subjektif pada diri individu. Ada
menurunkan tingkat kesejahteraan subjektif dari perbedaan yang signifikan antara kelompok
remaja tersebut. Yárnoz-Yaben dan Garmendia yang mendapatkan intervensi welas asih diri dan
(2016) menemukan bahwa kesejahteraan kelompok kontrol (Karakasidou & Stalikas,
subjektif remaja dengan orang tua bercerai 2017). Hal ini semakin menegaskan bahwa welas
mengalami dampak negatif yang lebih besar asih diri memang memiliki peran yang vital dalam
daripada remaja dengan keluarga utuh. Studi yang peningkatan kesejahteraan subjektif seseorang.
dilakukan oleh Afifi et al. (2007) memaparkan Emosi negatif yang dirasakan oleh remaja
hasil bahwa, tingkat kesejahteraan subjektif dapat diatasi dengan terlebih dahulu menerima
pada remaja cenderung rendah ketika remaja segala kenyataan dan masalah yang sedang
memiliki persepsi kuat pada ketegangan orang terjadi, serta memiliki sikap belas kasih
tua yang membicarakan tentang perceraian. terhadap diri sendiri. Sikap belas kasih ini dapat
Terdapat beberapa hal yang dapat menjadi langkah awal dalam mengatasi emosi
berpengaruh pada kesejahteraan subjektif negatif tersebut. Sikap belas kasih ini sering
remaja dengan orang tua bercerai. Studi yang disebut welas asih diri (Ramadhani &
dilakukan oleh Astuti dan Anganthi (2016) Nurdibyanandaru, 2014). Lebih lanjut, Neff
menemukan beberapa faktor, antara lain: (a) menjelaskan bahwa welas asih diri dapat
strategi koping, (b) faktor ekonomi, (c) jenis membantu individu untuk tidak mencemaskan
kelamin, (d) pola asuh orang tua, dan (e) kekurangan yang ada pada dirinya sendiri,
dukungan sosial. Faktor lain yang dapat karena orang yang memiliki welas asih diri
memengaruhi kesejahteraan remaja ialah welas dapat memperlakukan dirinya dan orang lain
asih diri (self-compassion) (López et al., 2018; secara positif serta memahami
Mülazým & Eldeleklioðlu, 2016; Reginasari & ketidaksempurnaan manusia (Neff, 2011).
Gusniarti, 2016). Selain itu, studi oleh Bluth dan Dengan demikian, ketika seorang remaja
Blanton (2015) menegaskan bahwa welas asih memiliki welas asih diri pada dirinya sendiri,
diri memiliki korelasi signifikan dengan hal ini akan mendorong munculnya penerimaan
keseluruhan kesejahteraan emosi pada konteks atas kondisi yang terjadi. Dengan demikian,
remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Sun et kesejahteraan subjektif akan lebih
al. (2016) mengkaji tentang remaja yang memungkinkan untuk dicapai.
membuktikan bahwa welas asih diri Peneliti belum menemukan adanya
berkorelasi pada kesejahteraan remaja. penelitian welas asih diri dan kesejahteraan
Selain studi korelasional, ternyata melalui subjektif khususnya pada subjek remaja dengan
penelitian eksperimen, terbukti bahwa welas orang tua bercerai. Berdasarkan alasan tersebut
dan beberapa uraian di atas, peneliti tertarik untuk beberapa skala psikologi. Skala pertama adalah
melakukan penelitian lebih lanjut terkait Self-compassion Scale yang disusun oleh Neff
hubungan antara welas asih diri dan kesejahteraan (2003a) berjumlah 26 butir yang terdiri dari lima
subjektif pada remaja dengan orang tua bercerai pilihan jawaban. Nilai Alpha Cronbach pada skala
di kota Banda Aceh. Hipotesis penelitian yang ini adalah .78 untuk subskala Self-Kindness; .80
diajukan adalah ada hubungan positif antara welas untuk subskala Common Humanity; dan .81
asih diri dan kesejahteraan subjektif. untuk subskala Mindfulness.
Kemudian, untuk pengukuran
Metode
kesejahteraan subjektif menggunakan dua skala.
Desain penelitian Skala kesejahteraan subjektif pertama adalah The
Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang disusun
Penelitian ini merupakan penelitian
oleh Diener et al. (1985) berjumlah lima butir yang
kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi.
terdiri dari tuju pilihan jawaban. Skor Alpha
Penentuan sampel pada penelitian ini
Cronbach untuk skala ini adalah .87. Skala
menggunakan teknik snowball sampling. Teknik
kesejahteraan subjektif kedua adalah Scale of
sampling tersebut merupakan teknik penentuan
Positive and Negative Experience (SPANE) yang
sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
disusun oleh Diener et al. (2009) berjumlah 12 butir
kemudian membesar (Sugiyono., 2014). Ada
yang terdiri dari lima pilihan jawaban. Skor Alpha
kriteria yang ditetapkan dalam snowball
Cronbach skala ini, untuk subskala Afek Positif
sampling, yakni remaja dengan orang tua yang
adalah .84; untuk subskala Afek Negatif sebesar .80;
telah bercerai. Pemilihan jenis sampling ini akan
serta untuk Afek yang Seimbang sebesar .88.
memudahkan peneliti saat mencari subjek
dengan karakteristik tersebut yang jumlahnya Metode analisis data
Tabel 1
Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin
Kategorisasi n %
Laki-laki 24 60
Perempuan 16 40
N 40 100
Tabel 2
Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Usia
Kategorisasi usia n %
Usia 13 tahun 3 7.5
Usia 14 tahun 6 15
Usia 15 tahun 5 12.5
Usia 16 tahun 9 22.5
Usia 17 tahun 8 20
Usia 18 tahun 9 22.5
N 40 100
Berdasarkan Tabel 1, tampak bahwa subjek dengan sebaran frekuensi yang hampir sama.
penelitian berjenis kelamin laki-laki cenderung Selanjutnya, peneliti melakukan analisis deskripsi
lebih mendominasi. Berdasarkan Tabel 2, tampak untuk rentang waktu perceraian orang tua dilihat
bahwa proporsi di setiap kategori relatif seimbang dari kondisi terkini.
Tabel 3
Deskripsi Rentang Waktu Perceraian Orang Tua
Kategorisasi n %
1 tahun 6 15
2 tahun 18 45
3 tahun 11 27.5
4 tahun 3 7.5
5 tahun 2 5
N 40 100
Pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa kategori rentang waktu dua tahun, sementara
rentang waktu perceraian orang tua subjek persentase paling rendah berada pada kategori
penelitian ini memiliki persentase tertinggi pada rentang waktu lima tahun.
Tabel 4
Deskripsi Kategorisasi Self-compassion
Kesejahteraan subjektif Welas asih diri
Kategorisasi
n % n %
Rendah 27 67.5 26 65
Sedang 8 20 13 32.5
Tinggi 5 12.5 1 2.5
N 40 100 40 100
penelitian yang dikemukakan oleh Neff (2003c) tingkat welas asih diri pada subjek penelitian.
yang menyatakan bahwa masa remaja adalah Individu yang tumbuh dalam pola pengasuhan
periode kehidupan di mana level welas asih diri yang penuh kasih sayang dan kehangatan di
berada pada level terendah dibandingkan dalam keluarganya cenderung memiliki welas
dengan periode kehidupan yang lain, hal ini asih diri yang tinggi, dan begitu juga sebaliknya.
disebabkan karena pada masa ini, welas asih Individu yang mengalami kehangatan di dalam
diri mulai berkembang. Lebih lanjut, Neff keluarga akan memiliki hubungan yang saling
(2003c) menjelaskan bahwa perkembangan mendukung. Oleh sebab itu, anak akan merasa
kognitif yang dihadapi remaja umumnya bahwa ada pemahaman dan kasih sayang
diistilahkan dengan adanya egosentrisme antar-anggota keluarga, sehingga cenderung
remaja, serta adanya tekanan sosial yang erat memiliki welas asih diri yang lebih tinggi.
kaitannya dengan adanya keinginan untuk Sebaliknya, individu yang kurang perhatian dan
dapat menyatu dengan teman sebaya, dan lain sangat kritis (atau mengalami perlakuan yang
sebagainya. Ada dua bentuk egosentrisme salah baik secara psikologis, seksual, maupun
remaja yang kemungkinan dapat memengaruhi fisik ketika mereka masih anak-anak), maka
terbentuknya welas asih diri. Pertama adalah individu tersebut akan cenderung memiliki level
audiens imajiner (imaginary audience), yaitu welas asih diri yang lebih rendah. Hal tersebut
remaja membayangkan bahwa perilaku sesuai dengan hasil penelitian ini yang
mereka adalah fokus dari perhatian orang lain. memperlihatkan bahwa, situasi perceraian
Bentuk yang kedua adalah fabel pribadi yang terjadi pada remaja dapat menjadi faktor
(personal fable), yaitu remaja percaya bahwa pendukung terhadap tinggi rendahnya tingkat
pengalaman mereka bersifat unik dan orang lain welas asih diri pada remaja.
tidak mungkin memahami apa yang mereka Individu dengan tingkat kesejahteraan
alami. Dengan adanya egosentrisme tersebut, subjektif yang rendah, umumnya lebih banyak
remaja cenderung akan lebih sulit untuk mengalami emosi negatif dibandingkan dengan
mengembangkan welas asih diri dalam dirinya. emosi positif dan merasa kurang puas terhadap
Tinggi atau rendahnya welas asih diri kehidupannya. Individu dengan kesejahteraan
seseorang dapat disebabkan oleh beberapa subjektif yang rendah bukan berarti tidak
faktor. Menurut Neff (2003b), ada beberapa pernah merasakan afek positif, tetapi lebih
faktor yang dapat memengaruhi welas asih diri: banyak merasakan emosi atau afek negatif di
(a) gender, (b) fase perkembangan/periode dalam kehidupannya. Berbeda dengan individu
kehidupan, (c) lingkungan keluarga, dan (d) dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang
budaya. Kondisi lingkungan keluarga dapat tinggi. Pada umumnya individu tersebut lebih
menjadi salah satu faktor yang memengaruhi banyak mengalami afek positif dibandingkan
dengan afek negatif dan merasa puas terhadap itu, kelemahan dalam penelitian ini dapat
kehidupannya. Individu dengan kesejahteraan dijadikan masukan bagi penelitian selanjutnya.
subjektif yang tinggi bukan berarti tidak pernah
Simpulan
merasakan afek negatif, mereka lebih banyak
merasakan emosi atau afek positif Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat
dibandingkan afek negatif (Dewi & Utami, disimpulkan bahwa hipotesis penelitian ini
2013). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diterima yaitu terdapat hubungan antara welas
dikatakan bahwa remaja yang terlibat dalam asih diri dan kesejahteraan subjektif pada
penelitian ini sebagian besar memiliki remaja yang orang tuanya bercerai di kota
kesejahteraan subjektif yang rendah. Banda Aceh. Hasil penelitian ini menemukan
Diener (2000) menyatakan bahwa bahwa terdapat hubungan positif antara welas
individu dengan tingkat kesejahteraan subjektif asih diri dengan kesejahteraan subjektif, hal ini
yang rendah, memandang rendah hidupnya dan dapat diartikan bahwa semakin tinggi welas
menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal asih diri maka akan semakin tinggi tingkat
yang tidak menyenangkan, oleh sebab itu, timbul kesejahteraan subjektif, dan sebaliknya
emosi yang tidak menyenangkan seperti semakin rendah welas asih diri maka akan
kecemasan, depresi, dan kemarahan. Di sisi lain, semakin rendah tingkat kesejahteraan
individu dengan kesejahteraan subjektif yang subjektif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
tinggi, pada umumnya memiliki sejumlah bahwa sebagian besar remaja yang orang
kualitas yang mengagumkan bahwa individu ini tuanya bercerai di kota Banda Aceh berada pada
akan lebih mampu mengontrol emosinya dan tingkatan welas asih diri yang rendah dan
menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup sebagian kecil berada pada tingkatan welas asih
penelitian ini. Pertama adalah berkaitan dengan yang orang tuanya bercerai berada pada
jumlah subjek yang masih terbatas dan belum kategori rendah, sebagian kecil berada pada
memperdalam hasil variabel penelitian, Bluth, K., & Blanton, P. W. (2015). The influence
of self-compassion on emotional well-
terutama berkaitan dengan dinamika atau being among early and older adolescent
gambaran kesejahteraan subjektif dan welas males and females. The Journal of Positive
Psychology, 10(3), 219–230. https://
asih diri pada remaja yang orang tuanya doi.org/https://doi.org/10.1080/
bercerai. Selanjutnya, subjek penelitian tidak 17439760.2014.936967
hanya remaja, akan tetapi juga dapat dilakukan Bluth, K., Mullarkey, M., & Lathren, C. (2018).
Self-compassion: A potential path to
pada orang dewasa yang mengalami perceraian adolescent resilience and positive
langsung agar hasil penelitian lebih variatif. exploration. Journal of Child and Family
Studies, 27(9), 3037–3047. https://
Selain itu, variabel welas asih diri dan doi.org/https://doi.org/10.1007/
kesejahteraan subjektif juga dapat dikaji s10826-018-1125-1
dengan faktor-faktor lain seperti religiusitas, Dewanti, P. A., & Suprapti, V. (2014). Resiliensi
remaja putri terhadap problematika pasca
optimisme, harga diri, serta berbagai faktor bercerai. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan
lainnya sehingga dapat memperkaya penelitian. Perkembangan, 3(3), 164–171.
Dewi, P. & Utami, M. (2013). Subjective well
Referensi being anak dari orangtua yang bercerai.
Afifi, T. D., McManus, T., Hutchinson, S., & Baker, Jurnal Psikologi, 35(2), 194–212. https:/
B. (2007). Inappropriate parental divorce /doi.org/https://doi.org/10.22146/
disclosures, the factors that prompt jpsi.7952
them, and their impact on parents’ and Diener, E. (2000). Subjective well-being.the
adolescents’ well-being. Communication science of happiness and a proposal for
Monographs, 74(1), 78–102. https:// a national index. American Psychologist,
doi.org/10.1080/03637750701196870 55, 34–43. https://doi.org/https://
Anderson, J. (2014). The impact of family doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.34
structure on the health of children: Diener, E., & Biswas, D. R. (2009). Scale of
Effects of divorce. Linacre Quarterly, positive and negative experience
81(4), 378–387. https://doi.org/https:/ (SPANE). http://
/ d o i . o r g / 1 0 . 1 1 7 9 / i nte rn a l. p syc h o lo g y. i ll i no i s . e du /
0024363914Z.00000000087 ~ediener/SPANE.html
Astuti, Y., & Anganthi, N. R. N. (2016). Subjective Diener, E. D., Emmons, R. A., Larsen, R. J., &
well-being pada remaja dari keluarga Griffin, S. (1985). The satisfaction with
broken home. Jurnal Penelitian life scale. Journal of Personality
Humaniora, 17(2), 161–175. https:// Assessment, 49(1), 71–75. https://
doi.org/https://doi.org/10.23917/ doi.org/10.1207/s15327752jpa4901_13
humaniora.v17i2.2508
Esmaeili, N. S., Yaacob, S. N., Juhari, R., & Marsh, I. C., Chan, S. W. Y., & Macbeth, A. (2017).
Mansor, M. (2011). Post-divorce parental Self-compassion and psychological
conflict, economic hardship and distress in adolescents — a meta-analysis.
academic achievement among Mindfulness, 9(4), 1011–1027. https://
adolescents of divorced families. Asian doi.org/https://doi.org/10.1007/
Social Science, 7(12), 119. https:// s12671-017-0850-7
doi.org/10.5539/ass.v7n12p119
Matondang, A. (2014). Faktor-faktor yang
Haimi, M., & Lerner, A. (2016). The impact of mengakibatkan perceraian dalam
parental separation and divorce on the perkawinan. JPPUMA Jurnal Ilmu
health status of children, and the Ways to Pemerintahan Dan Sosial Politik
Improve it. Journal of Clinical & Medical Universitas Medan Area, 2(2), 141–150.
Genomics, 4(1), 1–7. https://doi.org/ https://doi.org/https://ojs.uma.ac.id/
h t tp s : / / do i . o r g / 1 0 . 4 1 7 2 / 2 4 7 2 - index.php/jppuma/article/view/919
128x.1000137
Mülazým, Ö. C., & Eldeleklioðlu, J. (2016). What
Hamama, L., & Ronen-Shenhav, A. (2012). Self- is the role of self-compassion on
control, social support, and aggression subjective happiness and life
among adolescents in divorced and two- satisfaction? Journal of Human Sciences,
parent families. Children and Youth 13(3), 3895. https://doi.org/https://
Services Review, 34(5), 1042–1049. doi.org/10.14687/jhs.v13i3.4001
h t tp s : / /do i . org / h t tp s : / /do i . org /
10.1016/j.childyouth.2012.02.009 Nasri, S. A., Nisa, H., & Karjuniwati. (2018).
Bagaimana remaja memaafkan
Isik, M. A. (2016). The socio-psychological perceraian orang tuanya: Sebuah studi
impact of divorce on school children fenomenologis. SEURUNE: Jurnal
through analysis of interviews Psikologi Unsyiah, 1(2), 102–120.
implemented to students and school
psychologists in Tirana/Albania. Neff, K. D. (2003a). Development and validation
European Journal of Interdisciplinary of a scale to measure self-compassion. Self
Studies, 2(4), 137–144. https://doi.org/ and Identity, 2, 223–250. https://doi.org/
10.26417/ejis.v6i1.p137-144 10.1080/15298860309027
Karakasidou, E., & Stalikas, A. (2017). The Neff, K. D. (2003b). Development and
effectiveness of a pilot self-compassion validation of a scale to measure self-
program on well being components. compassion. Self and Identity, 2, 223–250.
Psychology, 8(4), 538–549. https:// h t t p s : / / do i . o r g / 1 0 . 1 0 8 0 /
doi.org/https://doi.org/10.4236/ 15298860390209035
psych.2017.84034 Neff, K. D. (2003c). Self-compassion: An
Klingle, K. E., & Van Vliet, K. J. (2019). Self- alternative conceptualization of a
compassion from the adolescent healthy attitude toward oneself. Self and
perspective: A qualitative study. Journal Identity, 2, 85–101. https://doi.org/
of Adolescent Research, 34(3), 323–346. 10.1080/15298860390129863
h t tp s : / /do i . org / h t tp s : / /do i . org / Neff, K. D. (2011). Self-compassion, self-esteem,
10.1177/0743558417722768 and well-being. Social and Personality
López, A., Sanderman, R., Ranchor, A. V., & Psychology Compass, 5(1), 1–12. https:/
Schroevers, M. J. (2018). Compassion for /doi.org/https://doi.org/10.1111/
others and self-compassion: Levels, j.1751-9004.2010.00330.x
correlates, and relationship with Ramadhani, F., & Nurdibyanandaru, D. (2014).
psychological well-being. Mindfulness, Pengaruh self-compassion terhadap
9(1), 325–331. https://doi.org/https:// kompetensi emosi remaja akhir. Jurnal
doi.org/10.1007/s12671-017-0777-z