Professional Documents
Culture Documents
LP Efusi Pleura
LP Efusi Pleura
DI SUSUN
OLEH :
b. Eksudat
Penimbunan non-inflamatorik cairan serosa di dalam rongga pleura
disebut hidrotoraks. Eksudat terjadi akibat peradangan dan infiltrasi
pada pleura atau jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan
pada dinding kapiler darah menyebabkan terbentuknya cairan kaya
protein yang keluar dari pembuluh darah dan berkumpul pada rongga
pleura. Penyebab efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi,
penyakit jaringan ikat, penyakit, intraabdominal, dan imunologik.
Bendungan pada pembuluh limfa juga dapat menyebabkan efusi pleura
eksudatif. Klitotoraks adalah penimbunan cairan seperti susu, biasanya
berasal dari pembuluh limfa, di rongga pleura. Kilus tampak putih susu
karena mengandung emulsi halus lemak.
c. Penyebab lain
- Gagal jantung
- Kadar protein darah yang rendah
- Sirosis
- Pneumonia
- Blastomikosis
- Emboliparu
- Perikarditis
- Tumor Pleura
- Pemasangan NGT yang tdk baik.
3. Tanda dan gejala
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami
keluhan :
a. Batuk
b. Sesak napas
c. Nyeri pleuritis
d. Rasa berat pada dada
e. Berat badan menurun
f. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil,
dam nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkolosis) banyak keringat, batuk,
g. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
h. Pada pemeriksaan fisik :
- Inflamasi dapat terjadi friction rub
- Atelektaksis kompresif (kolaps paru parsial ) dapat menyebabkan
bunyi napas bronkus.
- Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk
akan berlainan karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang
sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan.
- Focal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak, dalam
keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis ellis damoiseu)
- Didapati segitiga garland yaitu daerah yang diperkussi redup
timpani dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-
rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong
mediastinum kesisi lain. Pada auskulutasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronchi.
4. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya effusi pleura tergantung pada
keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam
keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi
melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan
tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial submesotelial kemudian
melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan
pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.
Pada kondisi tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan
cairan berupa transudat maupun eksudat. Transudat terjadi pada
peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya pada gagal jatung
kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan menyebabkan
pengeluaran cairan dari pmbuluh darah. Transudasi juga dapat terjadi pada
hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan
transudat dalam rongga pleura disebuthidrotoraks. Cairan pleura
cenderung tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi.
Penimbunan eksudat disebabkan oleh peradangan atau keganasan
pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan
absorpsi getah bening.Jika efusi pleura mengandung nanah, keadaan ini
disebut empiema. Empiema disebabkan oleh prluasan infeksi dari struktur
yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia, abses
paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila efusi pleura
berupa cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan
karena trauma maupun keganasan.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
engembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung
pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun
secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan
terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan
menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan
partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan
analisa gas darah.
Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5-15 ml cairan yang
cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura
viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya
tekanan hidrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan
ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil
lainnya (10-20 %) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga pasase
cairan di sini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura (efusi pleura) terjadi bila
keseimbangan antara produksi dan absorpsi terganggu misalnya pada
hiperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotik,
(hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Transudat
misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai
peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatik tekanan osmotik
koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh
keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya
akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung
banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah
sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.
Infeksi tuberkulosis pleura biasanya disebabkan oleh efek primer
sehingga berkembang pleuritis eksudativa tuberkulosa. Pergeseran antara
kedua pleura yangmeradang akan menyebabkan nyeri. Suhu badan
mungkin hanya sub febril, kadang ada demam. Diagnosis pleuritis
tuberkulosa eksudativa ditegakkan dengan pungsi untuk pemeriksaan
kuman basil tahan asam dan jika perlu torakskopi untuk biopsi pleura.
Pada penanganannya, selain diperlukan tuberkulostatik, diperlukan
juga istrahat dan kalau perlu pemberian analgesik. Pungsi dilakukan bila
cairan demikian banyak dan menimbulkan sesak napas dan pendorongan
mediastinum ke sisi yang sehat. Penanganan yang baik akan memberikan
prognosis yang baik, pada fungsi paru-paru maupun pada penyakitnya.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi pada fluoroskopi maupun foto thorak PA cairan
yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang
tampak hanya berupa penumpukan sostophrenicus apabila cairan tidak
tampak pada foto posterior-anterior (PA) maka dapat dibuat foto pada
posisi dekubitus lateral. Dengan foto toraks posisi lateral dekubitus
dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling
sedikit 70 cc, sedangkan dengan posisi PA paling tidak cairan dapat
diketahui sebanyak 300 cc.
b. Biopsi pleura
Dapat menunjukkan 50-70% diagnosis kasus pleuritistuberkolosis dan
tumor pleura. Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan
pleura melalui biopsi jalur perkutaneus. Komplikasi biopsi adalah
pneumothoraks, hemothoraks, penyebaran infeksi dan tumor dinding
dada.
6. Komplikasi
a. Fibro thoraks|
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditanganidengan drainase
yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan
pleura viseralis akibat efusi pleura yang tidak ditangani dengan
drainase yang baik. jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan
untuk memisahkan membrane-membran pleura tersebut.
b. Atelektaksis
Atelektasis merupakan pengembangan paru yang tidak sempurna yang
disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.
c. Fibrosis
Pada fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat
jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul
akibat cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit
paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atelektaksis
yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan baru
yang terserang dengan jaringan fibrosis.
d. Kolaps Paru.
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan
ektrinsik pada sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara
keluar dan mengakibatkan kolaps paru.
7. Penatalaksanaan
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan
memakai pipa intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental
sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan
operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam
fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya
segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi
pengeluaran cairan yang adequate.
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat
dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin,
Corynecbaterium parvum dll.
a. Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela
iga.
b. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
c. Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah
aspirasi.
d. Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen
(analisis), menghilangkan dyspnea. Pengambilan cairan melalui sebuah
jarum yang di masukkan di antara sel iga tepatnya di dalang rongga
pleura, misalnya push pada emfhisema atau untuk mengeluarkan udara
yang terdapat di dalam rongga pleura.
e. Water seal drainage (WSD) : Drainase cairan (Water Seal Drainage)
jika efusi menimbulkan gejala subyektif seperti nyeri, dispnea, dll.
Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter perlu dikeluarkan segera untuk
mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih
banyak maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam
kemudian.
f. Antibiotika jika terdapat empiema.
g. Operatif.
c. Pola eliminasi
- data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan
peristaltik usus, otot-otot traktus digestivusdan peningkatan
BAK
- data objektif : perubahan jumlah urine yang meningkat
d. Pola aktifitas dan latihan
- data subjektif : sesak napas, kelelahan, nyeri dada, penurunan
aktifitas
- data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri
e. Pola tidur dan istirahat
- d ata subjektif : sulit tidur, penurunan kebutuhan tidur karena
adanya sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
- Data objektif : palpebra inferior warna gelap dan wajah
mengantuk
f. Pola persepsi dan kognitif
- Data subjektif : perasaan nyeri
- Data objektif : bingung dan gelisah
g. Pola hubungan dan peran
Data subjektif : perubahan peran interpersonal
Data objektif : kurang berinteraksi
h. Pola persepsi dan konsep diri
- Data subjektif : perubahan persepsi diri
- Data objektif : perhatian kurang, kontak mata
i. Pola mekanisme koping
- Data subjektif : stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya
- Data objektif : ansietas
j. Pola reproduksi dan seksualitas
- Data subjektif : penurunan libido
- Data objektif : keterbatasan gerak
b) Sistem kordiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal
berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan
teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya
thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas
jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini
bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau
ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan
II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang
menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah. Adanya
takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras.
c) Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau
somnolen atau comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan
refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu
dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 4 – 5 –
6.
d) Sistem gastrointestinal
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit
atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol
atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana
nilai normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga
diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa
(tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat
hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba.
Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau
cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika
urinarta, tumor).
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.
e) Sistem muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial,
palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat
perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refil time.
Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan
otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur
dan keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan.
f) Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada
tidaknya lesi pada kulit, pada Pasien dengan effusi biasanya
akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport
O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit
(dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-
kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang. Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor
kulit menurun.
2.4 Implementasi
Menyesuaikan intervensi keperawatan
2.5 evaluasi
merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan,
untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil
dari proses keperawatan
Daftar Pustaka
Irman, Soemantri. (2008). Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan
Keperawatan. Pasien Dengan Gangguan efusi pleura. Jakarta:FKUI