You are on page 1of 53

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PERKEMBANGAN LINGKUNGAN PERKOTAAN PADA


KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH

UJIAN TENGAH SEMESTER


MATA KULIAH PENATAAN RUANG DAN ANALISIS WILAYAH

Risma Anisa Syfani ((2206138513)

JENJANG MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
SEKOLAH ILMU LINGKUNGAN
JAKARTA, APRIL, 2023
ABSTRAK
Kota Semarang mempunyai luas wilayah 373,70 Km2. Secara administratif Kota
Semarang terbagi Kota Semarang mempunyai luas wilayah 373,70 Km2. Secara
administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan,
Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara garis 6o 50’ – 7o 10’ Lintang
Selatan dan garis 109o 35’ – 110o 50’ Bujur Timur. Sebagai ibukota Provinsi Jawa
Tengah, Kota Semarang adalah sebuah kota yang berkembang secara ekonomi.
Secara tidak langsung, perkembangan perekonomian di Kota Semarang memberi
pengaruh terhadap pertumbuhan tata ruang kota.

Universitas Indonesia 2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Indonesia menempati peringkat keempat sebagai salah satu negara dengan jumlah
penduduk terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat, dengan laju
pertumbuhan penduduk 1,1% pada tahun 2021. Berdasarkan data sensus penduduk
Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2020 jumlah penduduk Indonesia
tercatat sebanyak 270,2 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2020). Sejak Indonesia
menyelenggarakan sensus penduduk yang pertama pada tahun 1961, terlihat jumlah
penduduk terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Contohnya saja hasil sensus
penduduk tahun 2020 dibandingkan tahun 2010, memperlihatkan penambahan
jumlah penduduk sebanyak 32,56 juta jiwa atau rata-rata pertumbuhan penduduk
meningkat sebanyak 3,26 juta setiap tahunnya (Fuadi, 2021).

Jumlah penduduk yang begitu besar di Indonesia masih menjadi persoalan terutama
di daerah perkotaan. Saat ini mobilitas penduduk menuju daerah kota
menampakkan peningkatan yang cukup pesat, hal tersebut dikarenakan anggapan
bahwa kota merupakan tempat yang lebih menjanjikan bagi masyarakat daripada di
desa. Kota dianggap memiliki kekuatan daya tarik dengan segala fasilitas yang
dimilikinya, sehingga mempengaruhi orang untuk datang ke kota. Hal ini
berimplikasi pada perkembangan kota baik dilihat dari jumlah penduduk yang terus
bertambah di kota maupun dilihat dari perkembangan bangunan-bangunan di kota
dan fungsinya (Nasution, 2014).

Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah kota
metropolitan yang terus mengalami perkembangan pesat di berbagai bidang
pendidikan, politik, pertanian, ekonomi dan banyak bidang lainnya. Perkembangan
berbagai bidang tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan tata ruang di Kota
Semarang yang mengalami penigkatan pesat dari tahun ke tahun. Namun, belum
banyak diketahui seperti apakah perkembangan Kota Semarang sehingga
mempengaruhi tata ruang yang ada di dalam kota. Apakah pertumbuhan tata ruang
Kota Semarang sudah sesuai dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah kota
semarang atau pertumbuhan tata ruang kota semarang berada diluar kendali. Ada
beberapa aspek yang dapat menjadi dasar untuk melihat seperti apa struktur tata
ruang suatu kota. Model pendekatan untuk menyoroti dinamika suatu kota,
khususnya dalam struktur tata ruang kota tersebut dikategorikan menjadi 5
pendekatan (Yunus, H. S. 1999). Yaitu, aspek ekoligikal, aspek ekonomi, aspek
morfologikal, aspek sistem kegiatan, dan aspek ekologikal factorial. Dari kelima
aspek diatas, kajian ini menggunakan aspek ekonomi didalam melakukan
pemodelan tata ruang Kota Semarang. Pemodelan dilakukan dengan sistem
informasi geografis untuk menampilkan model tata ruang yang diinginkan.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana bentuk dan arah pertumbuhan tata ruang Kota Semarang dilihat
dari aspek kepadatan Penduduk ?
2. Bagaimana bentuk dan arah pertumbuhan tata ruang Kota Semarang dilihat
dari aspek tata guna lahan?
3. Bagaimana bentuk dan arah pertumbuhan tata ruang Kota Semarang dilihat
dari aspek kondisi topografi?

Universitas Indonesia 4
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pertumbuhan tata ruang Kota
Semarang dengan menggunakan metode konsep analisis spasial.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat teoritis dari penelitian adalah sebagai referensi bagi akademisi lainnya
yang sedang melakukan penelitian tentang objek yang sama.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagi Pemerintah, dapat sebagai implementasi konsep konsep analisis spasial
untuk perencanaan tata ruang Kota Semarang.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk
memperoleh pemahaman lebih tentang Kota Semarang seperti potensi daerah,
dan potensi permasalahan lingkungan yang dapat terjadi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ilmu Lingkungan


Ilmu lingkungan adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
manusia dan alam, bersifat interdisipliner karena masalah lingkungan terjadi
sebagai akibat dari interaksi antara manusia dan alam. Penyelesaian permasalahan
lingkungan perlu melibatkan ilmu sosial dan ilmu alam (Enger & Smith, 2016;
Miller & Spoolman, 2016).

2.1.1 Keberlanjutan
Keberlanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat
ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri (Enger & Smith, 2016). Prinsip dasar dari keberlanjutan
adalah keberlanjutan sosial, ekonomi, lingkungan. Beberapa persepsi
menghubungkan keberlanjutan dengan pembangunan berkelanjutan dan
menggambarkannya sebagai cara menjaga kapasitas ekosistem dan memastikan
bahwa generasi mendatang dapat terus berlanjut memenuhi kebutuhan mereka
(Nogueira et al., 2023).

2.1.2 Pembangunan Berkelanjutan


Ketiga prinsip keberlanjutan (sosial, ekonomi, dan lingkungan) adalah konsep yang
dibentuk untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dengan mengukur kinerja
berdasarkan implikasi terhadap sosial, ekonomi, dan lingkungan (Ziafati Bafarasat
& Oliveira, 2023). Evaluasi program dan kebijakan tidak saja berdasarkan faktor
biaya-manfaat, namun setiap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan diberikan
perhatian yang sama dalam pembangunan berkelanjutan (Yawer et al., 2023).

2.1.3 Urbanisasi
Urbanisasi dapat dicirikan sebagai pergeseran populasi desa ke kota, secara
bertahap meningkatkan kepadatan penduduk, perluasan pembangunan lahan,
pembangunan ekonomi, perbaikan struktur industri, transformasi gaya hidup, dan

Universitas Indonesia 6
perubahan pola konsumsi (Wang et al., 2022). Proses urbanisasi memiliki dampak
yang luas pada manusia yang tinggal di kota; dari individu ke keluarga, masyarakat
dan seluruh populasi. Sepanjang sejarah manusia, urbanisasi mungkin telah
menyebabkan kepunahan ribuan spesies lokal. Ketika urbanisasi menyebabkan
hilangnya spesies asli, banyak spesies tanaman dan hewan non-asli diperkenalkan
ke kota-kota - baik secara tidak sengaja atau sengaja sebagai hewan peliharaan dan
tanaman kebun (K. M. Parris, 2016). Urbanisasi yang cepat di tempat-tempat
berkembang mendorong migrasi populasi, pembangunan ekonomi, dan
kesejahteraan manusia, dengan percepatan konsumsi sumber daya alam dan
degradasi lingkungan (Huang et al., 2023). Faktor mobilitas yang meliputi
penduduk, modal, dan industri cenderung mempengaruhi hubungan antara
urbanisasi dan polusi udara dalam berbagai cara. Oleh karena itu, diperlukan
strategi untuk memastikan urbanisasi berkelanjutan dan kualitas udara yang lebih
baik (Sun et al., 2022).

2.1.4 Ekologi Perkotaan


Ekosistem perkotaan memiliki keunikan dalam karakteristik tertentu seperti
penutup permukaan kedap air tinggi, kepadatan orang tinggi, serta tingkat polusi
udara, kebisingan, cahaya tinggi, yang membedakan ekosistem perkotaan dari
ekosistem lain. Keunikan ekosistem perkotaan tidak berarti bahwa mereka memiliki
ekologi yang unik, dan kebaruan ekosistem perkotaan tidak berarti bahwa kita
memerlukan teori ekologi baru untuk memahaminya. Populasi dari semua jenis
(termasuk populasi manusia) di lingkungan perkotaan tergantung pada proses
kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi yang sama dengan populasi di jenis
lingkungan lain. Komunitas ekologis di kota-kota dibentuk oleh proses seleksi,
penyebaran, pergeseran ekologis dan diversifikasi evolusioner yang sama yang
beroperasi di padang pasir, padang rumput, hutan, sungai dan lautan. Meskipun
terdapat gangguan yang disebabkan oleh pembangunan dan pengoperasian kota,
ekosistem perkotaan masih berfungsi untuk siklus karbon, air, nutrisi, dan untuk
menyediakan layanan ekosistem seperti produksi primer, penyerapan polutan
atmosfer, naungan, pendinginan, pengendalian biologis spesies hama, dan
pengendalian limbah.
Marzluff menggambarkan ekologi perkotaan sebagai bidang interdisipliner dari
berbagai disiplin ilmu, termasuk ekologi, sosiologi, geografi, perencanaan kota,
teknik, ekonomi, kesehatan masyarakat dan antropologi. McDonnell mengusulkan
bahwa ekologi perkotaan muncul sebagai ilmu yang benar-benar inter dan
transdisipliner yang mengacu pada banyak ilmu alam dan sosial yang berbeda,
sementara Wu menyatakan bahwa "ekologi perkotaan telah berkembang menjadi
perusahaan yang benar-benar transdisipliner yang mengintegrasikan ekologi,
geografis, perencanaan, dan lingkungan sosial”. Ilmu inter dan transdisipliner yang
diterapkan dalam semua jenis ekosistem, dapat memanfaatkan teori yang ada di
masing-masing komponen disiplin ilmu yang relevan dengan masalah atau
pertanyaan tertentu yang dihadapi dan tidak perlu mengembangkan teori umum
yang baru untuk mendukung setiap masalah atau pertanyaan yang mungkin terjadi
di lingkungan perkotaan.

2.1.5 Lingkungan Perkotaan


Pemukiman manusia muncul di sekitar sistem pertanian. Perubahan dari gaya hidup
nomaden, pemburu-pengumpul menjadi lebih menetap dimulai di Timur Tengah
selama Periode Neolitik, sekitar 9500 SM. Pada 3500 SM, kota pertama didirikan
di Mesopotamia, di zaman modern Irak. Saat ini, ukuran permukiman manusia
bervariasi dari sekelompok tempat tinggal di desa hingga kota kecil, kota besar, dan
kota besar yang mendukung lebih dari 10 juta orang. Secara global, ada 740 daerah
perkotaan dengan populasi manusia >500.000 pada tahun 2008, termasuk 22
dengan populasi >10 juta. Proporsi permukaan bumi yang tergolong perkotaan saat
ini diperkirakan 3% dan terus meningkat. Namun, dampak ekologi kota dan
penduduk perkotaan jauh melampaui batas perkotaan.
Kebutuhan akan tempat tinggal yang kuat mengakibatkan pembangunan menuju
pemukiman di daerah pesisir yang lebih sejuk dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi. Teknik dan teknologi modern sekarang memungkinkan orang untuk hidup
secara massal di lanskap yang sebelumnya tidak ramah seperti gurun. Misalnya,
wilayah metropolitan Phoenix di Arizona, Amerika Serikat yang dihuni lebih dari
4,2 juta orang sementara Dubai di Uni Emirat Arab memiliki populasi lebih dari 2,4
Universitas Indonesia 8
juta. Daerah pesisir memiliki tutupan lahan perkotaan terbesar dan kepadatan
populasi manusia tertinggi dari enam ekosistem. mengajukan teori bahwa manusia
memilih habitatnya untuk memaksimalkan kebugaran individu. Secara historis, ini
akan memerlukan pemilihan habitat dengan akses ke banyak makanan dan air
bersih, tempat berlindung yang aman, dan tanpa ancaman signifikan dari manusia
lain atau hewan liar yang berbahaya. Teori tersebut mengasumsikan bahwa orang
memiliki pilihan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika mereka
merasakan kemungkinan manfaat dari melakukannya.

Ketika kehidupan perkotaan menyediakan akses ke perumahan yang layak, air


minum bersih dan perawatan kesehatan, kebugaran manusia lebih tinggi di kota
daripada di daerah pedesaan. Namun, kesehatan orang yang tinggal di daerah
kumuh perkotaan kadang-kadang bisa lebih buruk daripada orang pedesaan (dan
jauh lebih buruk daripada orang yang tinggal di bagian kota yang terencana dengan
baik), dengan tingkat penyakit tertentu, kekurangan gizi dan kematian bayi yang
lebih tinggi. Banyak orang pasti berpindah dari habitat pedesaan ke perkotaan
dengan harapan memperbaiki keadaan pribadi mereka. Pembangunan kota, laju
pertumbuhan perkotaan dan bentuk pembangunan perkotaan (misalnya urban
sprawl, perumahan dengan kepadatan tinggi, permukiman informal) dibentuk oleh
berbagai faktor ekonomi, sosial dan budaya yang saling berinteraksi dan berubah
dari waktu ke waktu.

2.1.5.1 Efek Pulau Panas Perkotaan


Pulau panas terbentuk di daerah perkotaan karena bahan yang digunakan untuk
membangun gedung, jalan, dan trotoar menyerap dan menahan lebih banyak panas
dari matahari daripada permukaan bervegetasi alami. Panas yang diserap pada siang
hari kemudian dilepaskan kembali ke atmosfer pada malam hari. Panas yang
dihasilkan oleh industri, kendaraan, dan pemanasan atau pendinginan (AC)
bangunan berkontribusi pada pulau panas perkotaan, seperti halnya polusi udara
partikulat dan kecepatan angin yang berkurang di kota-kota. Penggantian vegetasi
dengan permukaan kedap air juga mengurangi jumlah energi panas yang hilang dari
kota melalui penguapan, selanjutnya meningkatkan penyimpanan panas di siang
hari dan pelepasannya di malam hari dimana teridentifikasi peningkatan 1,4◦C pada
suhu minimum rata-rata bulan Juni dengan setiap 1000 rumah baru dibangun dalam
radius 1 km dari stasiun cuaca antara tahun 1990 dan 2004 di Phoenix, Arizona. Di
Beijing, Cina, persentase permukaan kedap air menjelaskan sekitar 80% variasi
spasial lokal pada suhu permukaan tanah selama musim panas.

Pulau panas perkotaan dapat dimitigasi dengan berbagai cara, seperti melalui
penggunaan atap yang sejuk dan material paving yang sejuk, dan dengan
meningkatkan tutupan vegetasi melalui lansekap dan pembentukan atap dan
dinding hijau. Mendinginkan kota dengan cara ini dapat memberikan berbagai
manfaat bagi masyarakat yang tinggal di sana, termasuk penghematan energi, udara
yang lebih bersih, serta peningkatan kesehatan dan kesejahteraan.

2.1.5.2 Proses Biofisik Primer yang Terkait dengan Urbanisasi


Terlepas dari perbedaan geologi, vegetasi, dan iklim di berbagai belahan dunia,
proses biofisik yang terkait dengan pembangunan kota dan kota seringkali serupa.
Habitat perkotaan juga berbagi banyak fitur fisik yang menghadirkan peluang dan
tantangan serupa untuk kegigihan spesies non-manusia. Proses biofisik primer
terkait dengan urbanisasi dijelaskan sebagai berikut:
1. Penghapusan vegetasi yang ada
Ketika sebuah kota dibangun, banyak vegetasi yang ada dihilangkan. Bergantung
pada iklim, jenis tanah, dan riwayat penggunaan lahan di daerah urbanisasi,
vegetasi yang ada ini dapat berupa hutan primer asli, hutan, padang rumput, padang
rumput, atau vegetasi gurun yang jarang. Secara umum, tutupan vegetasi di kota
menurun seiring kepadatan populasi manusia dan/atau kepadatan pembangunan
yang meningkat.Sebagai upaya mempertahankan vegetasi di lingkungan perkotaan,
Penanaman pohon di taman dan jalan dilakukan untuk mengimbangi hilangnya
vegetasi awal terhadap adanya urbanisasi. Namun, spesies yang ditanam seringkali
bukan asli daerah setempat dan tidak menggantikan komunitas vegetasi asli.

2. Konstruksi bangunan, jalan, dan infrastruktur perkotaan

Universitas Indonesia 10
Proses fisik yang paling nyata terkait dengan urbanisasi adalah pembangunan
tempat tinggal dan bangunan lain, seringkali dengan infrastruktur pendukung
seperti pagar, jalan beraspal dan jalan setapak, pasokan listrik dan air, badai -saluran
air, selokan dan lampu jalan. Permukiman formal cenderung memiliki rumah yang
dibangun dengan baik dan infrastruktur yang berkembang dengan baik. Sebaliknya,
permukiman informal seringkali berupa rumah sementara tanpa listrik, sanitasi,
pasokan air bersih atau jalan yang jelas. Kawasan pusat bisnis di banyak kota (juga
dikenal sebagai kota terdalam atau inti perkotaan) terdiri dari deretan blok
perkantoran, gedung apartemen, pertokoan, hotel, pengadilan, dan tempat ibadah
yang padat.

3. Penggantian permeabel dengan permukaan kedap air


Permukaan permeabel adalah permukaan yang memungkinkan infiltrasi air,
sedangkan permukaan kedap air (atau kedap air) adalah permukaan yang tidak
memungkinkan. Ketika kota dibangun, area yang ditutupi dengan permukaan kedap
air meningkat secara substansial karena tanah, pasir, rumput, dan pepohonan diganti
dengan bangunan dan permukaan beraspal. Saat curah hujan turun di kota, sebagian
besar jatuh di atap rumah dan bangunan lain, jalan aspal dan tempat parkir mobil,
atau jalan masuk beton dan jalan setapak. Dalam banyak kasus, sistem air hujan
membawa air hujan ini (yang seharusnya diserap ke dalam tanah) langsung ke
kanal, sungai atau laut. Selain menghambat infiltrasi air hujan, bangunan, aspal, dan
beton menyerap lebih banyak radiasi gelombang pendek dari matahari daripada
permukaan alam, dan kemudian dilepaskan sebagai panas. Permukaan kedap air
juga merupakan permukaan keras yang meningkatkan pantulan suara, berbeda
dengan permukaan lunak seperti tanah dan tumbuhan yang menyerap atau meredam
suara. Oleh karena itu, lingkungan dengan proporsi permukaan kedap air yang
tinggi cenderung lebih hangat dan lebih berisik daripada lingkungan dengan
proporsi yang lebih rendah. Akhirnya, permukaan beraspal memisahkan tanah dari
udara dan air, mengganggu proses biotik, seperti siklus hara tanah dan pertukaran
gas dan mencegah penetrasi tanah oleh akar tanaman atau hewan penggali dan
penggali.
4. Pengurangan luas ruang terbuka
Ruang terbuka (juga dikenal sebagai ruang terbuka hijau atau RTH) memiliki
beberapa bangunan atau jalan, dan termasuk taman kota, cagar alam, lahan basah,
koridor sungai, waduk, taman pasar, bandara, lapangan olahraga, lapangan golf,
tanah terlantar dan tanah kosong. Hubungan spesies-area berarti bahwa area RTH
yang lebih luas seringkali mendukung keragaman spesies yang lebih tinggi,
termasuk hewan dengan riwayat hidup yang relatif kompleks, persyaratan area yang
luas, dan yang sensitif terhadap gangguan atau kebisingan oleh manusia. RTH
berkurang dengan pembangunan gedung, jalan dan infrastruktur perkotaan lainnya
dan berbanding terbalik dengan tutupan permukaan kedap air. RTH publik di
perkotaan memberikan kesempatan bagi manusia untuk berekreasi, sekaligus
sebagai habitat tumbuhan dan hewan. Namun seiring bertambahnya populasi
manusia di kota, area RTH sering kali hilang karena pembangunan.

5. Modifikasi atau penghancuran habitat akuatik


Banyak habitat akuatik diubah atau hilang selama pembangunan kota seperti kolam
dan rawa diisi atau dibatasi dengan rapat di dalam dinding rekayasa, aliran dan
sungai diluruskan dan dibendung serta dialihkan ke bawah tanah atau di aspal
dengan beton. Beberapa dari langkah-langkah ini diambil dalam upaya untuk
mengendalikan banjir, atau untuk menghilangkan tempat berkembang biak nyamuk
pembawa patogen. Lahan basah sering dihancurkan untuk pembangunan perkotaan
yang mana sebagian besar lahan basah ini dikeringkan dan diisi untuk menyediakan
ruang bagi pembangunan perumahan dan industri.Jika lahan basah tetap berada di
lingkungan perkotaan, strukturnya dapat diubah oleh struktur hidrologi yang
berubah dan/atau praktik pengelolaan lahan. Pengelola dapat memotong vegetasi di
dalam dan sekitar rawa yang tidak terawat atau daerah tepi sungai agar terlihat rapi
dan terawat. Selain perubahan yang sengaja dilakukan orang pada habitat perairan
di kota, perubahan yang tidak disengaja terjadi dengan urbanisasi. Ini biasanya
mencakup peningkatan beban sedimen yang tertahan di sungai dan sungai, erosi
tepian dan pembesaran saluran sungai.

Universitas Indonesia 12
6. Produksi polusi dan limbah
Manusia dan industri menghasilkan polusi dan limbah, yang terkonsentrasi di area
di mana banyak orang tinggal, bepergian dan bekerja. Umumnya, mereka termasuk
limbah manusia, sampah rumah tangga dan industri, polusi atmosfer dari knalpot
industri dan mobil, bahan kimia rumah tangga dan industri, dan nutrisi seperti
nitrogen dan fosfor. Sistem untuk mengelola polusi dan limbah sangat bervariasi
antar kota, tergantung pada tingkat infrastruktur, undang-undang dan kepatuhan
terhadap perlindungan lingkungan, dan luasnya permukiman informal.
Pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan limbah manusia yang efisien
merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan penduduk perkotaan, khususnya
di tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Kota-kota di negara maju
cenderung memiliki sistem saluran pembuangan yang lebih komprehensif dan
pabrik pengolahan limbah yang lebih canggih daripada di negara berkembang, serta
kontrol legislatif yang lebih kuat terhadap produksi polusi atmosfer dan
pembuangan limbah rumah tangga dan industri.

2.1.6 Efek Stokastik Urbanisasi terhadap Populasi dan Spesies


Populasi dan spesiesnya merespons urbanisasi dengan berbagai cara. Proses
urbanisasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu proses biofisik,
introduksi biologis dan gangguan manusia. Proses ini mengubah kuantitas dan
kualitas sumber daya yang bergantung pada organisme untuk bertahan hidup, serta
distribusi mereka dalam ruang dan waktu.

Proses biofisik urbanisasi dapat memiliki efek luas pada populasi dan spesies
dengan mengubah kuantitas, kualitas, pengaturan ruang dan waktu sumber daya
yang mikroba, jamur, tanaman dan hewan bergantung pada untuk bertahan hidup,
seperti tempat berlindung, tempat bersarang, makanan, air, sinar matahari dan
nutrisi. Kota juga mengalami banyak perkenalan dan invasi biologis, dengan
beberapa spesies menyebar ke lingkungan perkotaan dan banyak lainnya yang
sengaja atau tidak sengaja diperkenalkan oleh manusia.
Selain itu, kepadatan manusia yang tinggi di perkotaan meningkatkan kemungkinan
tersebut bahwa orang akan mengganggu organisme lain dan habitatnya. Gangguan
umum termasuk menginjak-injak tumbuhan dan hewan, memanen jamur dan
tumbuhan, berburu hewan untuk makanan, dan mengubah pola perilaku hewan
yang peka terhadap kehadiran manusia . Proses-proses ini (primer dan proses
biofisik sekunder urbanisasi, pengenalan biologis dan gangguan manusia)
bergabung untuk mempengaruhi kelimpahan spesies non-manusia di lingkungan
perkotaan. Mereka melakukan ini sebagian dengan mengubah interaksi di dalam
dan antara spesies, termasuk persaingan untuk sumber daya, predasi, kanibalisme,
parasitisme, simbiosis dan mutualisme, serta interaksi yang lebih kompleks seperti
kompetisi yang dimediasi oleh predator. Pertumbuhan dan penurunan populasi
adalah fungsi dari empat proses atau tingkat vital, yaitu kelahiran, kematian,
imigrasi dan emigrasi. Oleh karena itu, cara berpikir yang logis tentang bagaimana
populasi (dan spesies mereka) menanggapi urbanisasi adalah mempertimbangkan
bagaimana urbanisasi berdampak pada tingkat tertentu, yang pada akhirnya
berakibat pada pertumbuhan atau penurunan populasi.

Tiga jenis stokastik diketahui mempengaruhi tingkat kelahiran dan kematian


individu dalam suatu populasi; stokastik lingkungan, stokastik demografis dan
bencana. Baik populasi kecil maupun besar dapat dipengaruhi oleh bencana dan
lingkungan, seperti kebakaran hutan, banjir, penyakit, badai yang intens dan
periode kekeringan yang berkepanjangan. Secara umum, proses deterministik dan
stokastik bekerja bersama untuk mempengaruhi pertumbuhan tingkat populasi di
lingkungan perkotaan dan probabilitas mereka bertahan atau punah dari waktu ke
waktu.

2.1.6.1 Efek Urbanisasi pada Biofisik Sekunder


1. Kehilangan habitat fragmentasi dan isolasi
Banyak mikroba, jamur, tanaman, dan hewan mati ketika habitatnya hilang karena
urbanisasi, meskipun beberapa spesies mikroba dan jamur dapat bertahan di tanah
dan beberapa hewan tertentu mungkin dapat menyebar dengan sukses daerah

Universitas Indonesia 14
sekitarnya. Dengan demikian, dampak hilangnya habitat pada populasi biasanya
terlihat jelas dan langsung. Sebaliknya, dampak fragmentasi habitat (pemotongan
habitat yang tersisa menjadi kecil area atau patch) dan isolasi habitat (pemisahan
fisik patch habitat oleh area “non-habitat”) bisa lebih halus dan membutuhkan
banyak generasi untuk mewujudkannya. Teori metapopulasi (Levins, 1969)
menyatakan bahwa kantong habitat yang dikelilingi oleh lanskap yang diubah dapat
dianalogikan dengan pulau-pulau samudera. Teori ini memprediksi bahwa isolasi
habitat kecil kurang mungkin mendukung populasi spesies tertentu dibandingkan
dengan isolasi habitat besar karena probabilitas kepunahan lokal yang lebih tinggi,
sedangkan habitat yang terisolasi kurang mungkin mendukung populasi
dibandingkan dengan isolasi habitat yang dekat dengan habitat yang sesuai lainnya
karena probabilitas kolonisasi (imigrasi) dari patch lain yang lebih rendah (Hanski
1994, 1998). Akibatnya, populasi di petak-petak habitat kecil dan/atau terisolasi
yang dikelilingi oleh lautan pembangunan perkotaan dapat terus hilang dari waktu
ke waktu, sebuah ide yang dikenal sebagai hutang kepunahan.

2. Perubahan Iklim
Perubahan kondisi suhu dan kelembaban akibat urbanisasi dapat mempengaruhi
siklus hidup (fenologi) jamur, tanaman dan hewan di daerah perkotaan. Di iklim
sedang, pola yang paling umum diamati termasuk tanaman berbunga, berdaun dan
berbuah lebih awal di daerah perkotaan yang lebih hangat dan reproduksi
sebelumnya pada hewan pembiakan musim semi. Respons perbedaan spesies
terhadap pemanasan dapat menjadi penting efek pada sistem trofik jika ketersediaan
puncak mangsa dan makanan puncak persyaratan predator tidak lagi bersamaan.
Penyiraman taman dan kebun buatan dapat memperpanjang dan mengurangi
variabilitas pada musim berbunga dan berbuah tanaman di lingkungan perkotaan,
dengan demikian memperpanjang periode tahun di mana bunga dan buah tersedia
sebagai asumber makanan bagi spesies lain.

3. Perubahan Karakteristik Hidrologi


Perubahan karakteristik hidrologi di aliran perkotaan, kolam dan dampak lahan
basah pada berbagai organisme air, termasuk ganggang, invertebrata, ikan dan
amfibi. aliran di sungai perkotaan dan mengakibatkan perubahan morfologi sungai
dan air kualitas mengubah ketersediaan sumber daya, seperti makanan, tempat
tinggal, lampiran dan tempat perkembangbiakan; memodifikasi interaksi antar
taksa; dan akhirnya berdampak pada vital tarif. Aliran tinggi juga dapat menyiram
hewan individu ke hilir dan menjelajahi alga dan tumbuhan dari dasar sungai.
Akibatnya, aliran perkotaan cenderung mendukung populasi spesies yang toleran
terhadap gangguan, sementara banyak spesies lainnya dikecualikan.

4. Polusi udara, air dan Tanah


Polusi perkotaan dan limbah berdampak pada populasi dan spesies di kedua habitat
darat dan habitat perairan. Dalam banyak kasus, mereka adalah sumber zat beracun,
seperti logam berat dan senyawa organik, yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitas organisme tapi di yang lain mereka menyediakan sumber daya untuk
dieksploitasi, seperti nutrisi, makanan dan tempat tinggal. Populasi spesies yang
sensitif terhadap polutan cenderung menurun sebagai konsekuensi dari tingkat
kelangsungan hidup yang lebih rendah, berkurangnya pembiakan keberhasilan,
dan/atau kemampuan yang lebih rendah untuk bersaing dengan spesies lain yang
tercemar lingkungan, sementara spesies yang toleran terhadap polusi dan limbah
dapat berkembang.

5. Polusi suara dan cahaya


Komunikasi adalah dasar dari semua hubungan sosial antar hewan. Serangga, ikan,
katak, burung, dan mamalia menggunakan sinyal akustik (suara) untuk rentang
sosial tujuan, termasuk mengemis makanan, menarik dan ikatan dengan pasangan,
membela wilayah, menjaga kontak dengan kelompok, dan peringatan bahaya dari
mendekati predator. Kebisingan dari lalu lintas jalan (di habitat darat) atau rekreasi
berperahu dan pelayaran komersial (di habitat perairan) dapat menghambat akustik
komunikasi dengan mengurangi jarak dimana sinyal dapat dideteksi. Ini dikenal
sebagai gangguan akustik atau masking. Kebisingan kendaraan yang lewat bisa juga
mengejutkan hewan, memicu respons stres fisiologis dan mengubah hewan perilaku
dalam berbagai cara.

Universitas Indonesia 16
2.1.6.2 Pengenalan Infasi Biologis
Lingkungan perkotaan dicirikan oleh kehadiran banyak pendatang jenis. Sedangkan
sebagian besar spesies tersebut sengaja atau tidak sengaja diperkenalkan oleh
orang-orang, yang lain telah pindah ke kota-kota tanpa bantuan untuk
mengeksploitasi ceruk atau sumber daya tertentu
1. Tanaman dan jamur
Kota-kota di seluruh dunia memiliki banyak pelabuhan yang diperkenalkan
tanaman, termasuk taman favorit seperti mawar, camelia, daffodil, jacarandas,
bugenvil, melati dan kamboja, tanaman pangan seperti tomat, labu dan bumbu
kuliner, serta banyak "gulma" yang berasal dari kebun dan pertanian. Tanaman
introduksi bertanggung jawab atas banyak pola yang diamati dari keanekaragaman
tanaman yang tinggi di kota-kota, sedangkan tanaman asli yang awalnya ada di
suatu daerah mungkin menjadi punah secara lokal atau bahkan global setelah
urbanisasi.

2. Hewan
Selain banyaknya tanaman dan jamur yang diperkenalkan, kota-kota sering
mendukung tinggi kepadatan hewan introduksi. Predator mamalia seperti kucing,
anjing, dan rubah hampir ada di mana-mana di daerah perkotaan; memperkenalkan
tokek menempel di dinding rumah; ikan dan kura-kura eksotis ditemukan di banyak
kolam dan sungai kota; keturunan tentang burung beo domestik yang melarikan diri
mengoceh di pepohonan taman lingkungan; cacing tanah eksotis menggali tanah
hutan kota; sedangkan non-pribumi laut hewan seperti cacing polychaete, bryozoa,
bintang laut, dan kerang menghuni pelabuhan dan pelabuhan yang berdekatan
dengan kota.

2.1.6.3 Gangguan Manusia


Manusia yang tinggal di kota mengganggu organisme lainnya dengan berbagai
cara: mereka mengumpulkan jamur, tumbuhan dan hewan untuk dimakan atau
dijual di pasar; memindahkan mereka dari satu tempat ke tempat lain;
menghilangkan tanaman yang tidak mereka sukai; memotong dan/atau menginjak-
injak; mengumpulkan batu dan kayu tumbang yang menyediakan habitat bagi
invertebrata dan vertebrata; dan mengubah perilaku berbagai hewan dengan
kehadiran mereka. Secara umum intensitas gangguan manusia di perkotaan
meningkat dengan kepadatan populasi manusia, tetapi juga bervariasi dengan
praktik budaya, sikap sosial dan status sosial ekonomi suatu lingkungan. jamur yang
dapat dimakan, tumbuhan dan hewan, serta pohon dan kayu tumbang yang dapat
digunakan untuk bahan bakar, cenderung berada di bawah tekanan yang jauh lebih
besar dari manusia dalam keadaan miskin lingkungannya daripada di lingkungan
yang makmur. Secara umum intensitas gangguan manusia di perkotaan meningkat
dengan kepadatan populasi manusia, tetapi juga dipengaruhi dengan praktik
budaya, sikap sosial dan status sosial ekonomi suatu lingkungan.

2.1.7 Respon Komunitas Terhadap Urbanisasi


Dampak urbanisasi pada komunitas ekologi berfokus pada empat proses yaitu
seleksi tingkat komunitas, pergeseran ekologis, penyebaran ekologis, dan
diversifikasi. Banyak teori dan model ekologi yang ada termasuk teori relung
ekologi, gradien lingkungan, model persaingan sumberdaya, jaring makanan dan
teori komunitas yang berlaku di lingkungan perkotaan. Urbanisasi juga memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap komunitas darat, air tawar, dan laut diluar batas
geografis kota.

2.1.7.1 Teori Niche (Relung) Dalam Ekologi Perkotaan: Relung Ekologi dan
Gradien Lingkungan
Pada tingkat komunitas ekologi, proses seleksi bergantung pada perbedaan
fungsional antar spesies dan antar individu dari spesies yang sama. Perbedaan-
perbedaan mempengaruhi cara setiap spesies berinteraksi dengan lingkungannya ,
maupun dengan spesies lain yang ditemuinya. Seleksi dapat bersifat konstan (ketika
kapabilitas suatu individu dalam spesies tidak berubah, dan perbedaan antar spesies
terjadi dengan cara yang konsisten), atau bisa bergantung terhadap kepadatan
(ketika kapabilitas individu dalam suatu spesies tergantung kepada kepadatan
individu dari spesies itu dan/atau spesies lain yang ada dalam komunitas). Konstan
ataupun tergantung dengan kepadatan, maka seleksi juga dapat bervariasi pada
ruang dan waktu.

Universitas Indonesia 18
Relung ekologi adalah ruang lingkungan multidimensi tempat suatu spesies dapat
hidup. Istilah relung pertama kali digunakan dalam ekologi oleh grinnel (1917),
tetapi kemudian didefinisikan oleh Hutchinson (1957) sebagai ruang lingkungan
multidimensi dimana satu spesies dapat eksis. Setiap dimensi ruang mewakili
variabel atau sumberdaya lingkungan yang relevan dengan spesies yang
bersangkutan, sehingga dianggap kontinum atau gradien. Sebagai contoh, mari
mempertimbangkan dua variabel lingkungan, yaitu suhu udara rata-rata tahunan
dan curah hujan rata-rata tahunan. Satu spesies pohon tumbuh subur dalam kondisi
sejuk dan lembab, sementara yang lain pohon tumbuh subur dalam kondisi lebih
panas dan lebih kering. Kedua spesies pohon menempati bagian yang berbeda dari
ruang lingkungan yang ditentukan oleh dua variabel iklim, dan kelimpahan masing-
masing spesies diharapkan bervariasi sepanjang gradien iklim. Ruang lingkungan
yang membatasi relung suatu spesies, memperoleh dimensi tambahan untuk setiap
variabel lingkungan tambahan yang dipertimbangkan seperti kedalaman tanah dan
aspek radiasi matahari.

Gradien lingkungan adalah variasi lingkungan (abiotik) sebagai sesuatu yang


teratur dalam ruang, seringkali dengan perubahan bertahap pada lingkungan
tertentu, contohnya seperti gradien suhu dan curah hujan. McDonnel dan Pickett
(1990) pertama kali mempresentasikan konsep gradien pedesaan-perkotaan yang
menganggap bahwa, perkotaan dan pedesaan berada di ujung yang berlawanan dari
gradien dampak manusia terhadap bumi dan ekosistemnya. Mempertimbangkan
perkotaan sebagai gradien yang analog dengan klasifikasi biner sederhana
(perkotaan atau bukan) mewakili kemajuan penting dalam ekologi perkotaan.
Gradien pedesaan-perkotaan seringkali kompleks mewakili sejumlah variabel
lingkungan yang bervariasi di seluruh ruang disaat berpindah dari lingkungan
perkotaan ke pedesaan.
Rantai makanan memiliki sejumlah tingkat trofik, dimulai dari saprotrof
(mikroorganisme pengurai bahan organik), dan autotrof (mikroorganisme yang
menghasilkan makananannya sendiri seperti tumbuhan) di bagian dasar, disusul
dengan herbivora (hewan pemakan tumbuhan), predator primer (hewan pemakan
herbivora), predator sekunder (hewan pemakan predator primer) dan omnivora
(hewan pemakan tumbuhan dan hewan). Organisme dalam empat kelompok
terakhir ini semuanya heterotrof, disebut demikian karena mereka mengonsumsi
organisme lain untuk makanan. Tingkat trofik tertinggi dari rantai makanan berisi
predator teratas atau puncak, yang tidak memiliki predator sendiri, meskipun
mereka seringkali memiliki berbagai parasit. Rantau makanan bisa sangat kompleks
dan oleh karena itu cenderung memiliki karakteristik tertentu, termasuk proporsi
predator puncak, spesies perantara dan spesies basal (spesies yang tingkatannya
berada pada bagian dasar), dan jumlah tingkat trofik di rantai makanan.

2.1.7.2 Teori Niche (Relung) Dalam Ekologi Perkotaan: Model Habitat


Model habitat adalah model konseptual atau statistik yang menghubungkan variabel
respon (seperti kemungkinan kemunculan atau kelimpahan suatu spesies, atau
kekayaan spesies komunitas ekologis) terhadap satu atau lebih variabel lingkungan.
Model habitat konseptual (dikenal sebagai indeks kesesuaian habitat) dapat
dibangun dengan sedikit atau tanpa data lapangan, sebagai gantinya mengandalkan
pendapat ahli untuk mengidentifikasi hubungan antara spesies atau komunitas yang
diminati dan variabel lingkungan yang mempengaruhi distribusinya. Model habitat
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi variabel lingkungan yang
mempengaruhi keberlangsungan tipe habitat tertentu atau komunitas ekologis
dalam lanskap perkotaan. Studi kasus mencakup kemungkinan lahan pertanian di
pinggiran kota Beijing, Cina diubah menjadi lahan pemukiman atau industri.

2.1.7.3 Teori Niche (Relung) Dalam Ekologi Perkotaan: Ecological Guilds dan
Model Persaingan Sumber Daya
Ecological guilds adalah sekelompok spesies simpatrik yang mengeksploitasi kelas
sumber daya lingkungan yang sama (misalnya, jenis makanan, tempat berlindung,
atau tempat bersarang tertentu) dengan cara yang serupa. Daripada menganggap
Universitas Indonesia 20
semua spesies dalam komunitas ekologis sebagai pesaing potensial, membagi
spesies simpatrik ke dalam kelompok adalah cara yang efektif untuk berkonsentrasi
pada kelompok tertentu dengan hubungan fungsional tertentu. Spesies yang
beradaptasi dengan kekacauan, sebagian besar mencari makan di area dengan
vegetasi yang lebat; dan ini tampaknya paling sensitif terhadap urbanisasi.

Ketika dua atau lebih spesies dengan relung fundamental yang tumpang tindih
menempati wilayah geografis yang sama, mereka akan sering bersaing untuk
mendapatkan sumber daya. Persaingan ini dapat memiliki pengaruh penting pada
distribusi aktual atau relung yang terealisasi dari setiap spesies di wilayah geografis
tersebut. Prinsip eksklusi kompetitif memprediksi bahwa dua spesies dengan relung
fundamental yang identik tidak dapat hidup berdampingan tanpa batas waktu,
karena satu spesies (pesaing unggul) pada akhirnya harus mengecualikan yang lain.

2.1.7.4 Pergeseran Ekologi


Pergeseran ekologis terjadi ketika kelimpahan spesies bervariasi secara acak
sepanjang waktu karena spesies dalam kelompok yang sama secara ekologis setara,
atau karena spesies yang berdiferensiasi khusus dengan ukuran populasi kecil
punah karena efek stokastik demografis. Meskipun tidak semua spesies dalam
komunitas cenderung ekuivalen secara ekologis, pergeseran mungkin terjadi dalam
spesies netral yang terkait dalam komunitas yang lebih besar. Pergeseran ekologi
menyebabkan kelimpahan spesies berfluktuasi secara acak, menurunkan
keanekaragaman dalam komunitas dan meningkatkan perbedaan di antara
komunitas yang setara. Dalam teori alami keanekaragaman spesies, komposisi
ekosistem berkembang tanpa seleksi. Relung spesies yang hilang secara acak dapat
diisi oleh spesies serupa yang ada, atau yang baru berevolusi, atau spesies yang
datang dari daerah lain. Perubahan iklim dapat mempercepat proses pergeseran
spesies.

2.1.7.5 Persebaran
Persebaran adalah proses ekologis yang melibatkan pergerakan individu atau
beberapa individu menjauh dari populasi tempat mereka dilahirkan ke lokasi atau
populasi lain, tempat mereka akan menetap dan bereproduksi. Dua bentuk
penyebaran yang paling umum adalah: kelahiran atau penyebaran. Persebaran
adalah respon terhadap perkawinan sedarah, kompetisi, predasi, parasitisme,
kualitas lanskap, dan struktur lanskap. Teori Metakomunitas didefinisikan sebagai
sekelompok komunitas lokal yang menempati satu habitat yang dihubungkan oleh
persebaran beberapa spesies yang berpotensi berinteraksi.

2.1.7.6 Diversifikasi
Diversifikasi adalah evolusi garis keturunan baru (genotipe baru, bentuk, varietas,
sub-spesies, dan spesies baru) dari garis keturunan yang sudah ada. Urbanisasi
menyebabkan diversifikasi alopatrik. Diversifikasi Alopatrik geografis adalah
kondisi yang berlangsung ketika populasi spesies yang sama terisolasi satu sama
lain di tempat yang berbeda sehingga tidak adanya pertukaran gen. Populasi akan
saling menjauh, perbedaan genetik pun terjadi karena adanya seleksi (adaptasi
terhadap kondisi lokal), terkadang menjadi tidak kompatibel secara reproduksi,
sehingga keduanya telah menjadi spesies yang berbeda. Contoh burung kutilang
Carpodacus mexicanus memiliki paruh yang lebih panjang, lebih dalam, dan lebih
kuat dalam populasi perkotaan daripada populasi pedesaan. Adaptasi terhadap
sumber makanan dapat menyebabkan perbedaan genetik antara populasi.

2.1.8 Respon Ekosistem terhadap Urbanisasi


2.1.8.1 Dampak dan Mitigasi Urbanisasi terhadap Siklus Karbon
Urbanisasi dapat menyebabkan terciptanya kumpulan karbon baru di daratan seperti
bangunan dan tempat pembuangan sampah, yang dapat berkontribusi terhadap
emisi karbon. Selain itu, urbanisasi secara tidak langsung dapat mempengaruhi
siklus karbon dengan memfasilitasi pelepasan dan penyerapan karbon. Perluasan
kota dapat menyebabkan hilangnya penyimpanan karbon karena perluasan area
terbangun, dan konsumsi energi juga dapat berkontribusi terhadap emisi karbon.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak urbanisasi terhadap siklus karbon
dapat bervariasi, tergantung pada konteks dan lokasi tertentu.

Universitas Indonesia 22
Kawasan Hutan Lindung Angke-Kapuk memiliki 15 jenis pohon mangrove, yang
terdiri atas 8 jenis asli setempat dan 7 jenis introduksi dari kawasan lain. Jenis-jenis
asli kawasan HLAK adalah A. officinalis, R. apiculata, R mucronata, S. caseolaris,
E. agallocha, X. moluccensis dan T. catappa. Sedangkan jenis introduksi adalah B.
gymnorrhiza, C. inophyllum, C. manghas, P. falcataria, T. indica, A. mangium, dan
A. auriculiformis. Terjadi pengurangan dan penambahan jumlah luasan mangrove
di beberapa titik pada pesisir Muara Angke dari tahun 2013, 2017, dan 2020 yang
kemungkinan besar disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan mangrove di kawasan
Jakarta Utara sebagai tempat sosial masyarakat sekitar.

Proyek reklamasi Kapuk telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan,


terutama terhadap ekosistem mangrove yang telah berubah menjadi area perumahan
dan komersial . Proyek reklamasi di pesisir utara Jakarta, termasuk Angke Kapuk,
juga telah ditemukan memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Dampak-
dampak ini termasuk perusakan habitat alami, hilangnya keanekaragaman hayati,
dan meningkatnya kerentanan terhadap bencana alam seperti banjir dan kenaikan
permukaan air laut.Hasil evaluasi ekosistem mangrove di Angke Kapuk
menunjukkan bahwa luasnya adalah 291,17 ha dengan kerapatan 272,79 ha jarang,
16,83 ha sedang, dan 1,54 ha lebat. Hutan mangrove di Teluk Jakarta telah terancam
oleh kegiatan reklamasi, dan luas hutan mangrove telah berkurang secara signifikan
dari 42.000 ha pada masa penjajahan Belanda menjadi hanya 4.000 ha saat ini. Luas
hutan yang tersisa di Teluk Jakarta hanya sekitar 322,6 ha akibat reklamasi Pantai
Indah Kapuk oleh PT. Mandara Permai.Kondisi ekosistem mangrove penting untuk
diketahui karena terkait dengan keberlangsungan dan ketersediaan jasa ekosistem.
Jasa ekosistem sangat terkait dengan ekosistem dalam memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat. Strategi mitigasi yang harus dilakukan sebagai upaya
untuk mengurangi emisi karbon dan mengembalikan keseimbangan siklus karbon
di kawasan urban seperti PIK antara lain dengan dengan meningkatkan jumlah RTH
di kota, melakukan konservasi tanah dan karbon, serta membangun konsep karbon
biru.
Penyebab utama hilangnya hutan mangrove adalah aktivitas antropogenik seperti
perikanan, perkebunan, pertanian, logging, industri, pemukiman, tambak garam,
dan pertambangan . Dampak adanya aktivitas antropogenik berupa pengembangan
Kawasan PIK sangat berpengaruh terhadap siklus air. Adanya perubahan tata guna
lahan dari hutan mangrove yang direklamasi untuk pembangunan Kawasan PIK
berdampak pada penurunan tutupan vegetasi yang memiliki jasa ekosistem penting
bagi manusia. Hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

Ekosistem pesisir pantai dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan
dalam jangka waktu yang relatif lama. Vegetasi pantai seperti mangrove dan lamun
dapat berperan dalam menyerap karbon dan membantu mengurangi emisi gas
rumah kaca. Estimasi serapan karbon mangrove per ha dapat bervariasi tergantung
pada lokasi dan spesies mangrove yang ada di daerah tersebut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa serapan karbon mangrove tergantung pada spesies mangrove
dan metode pengukuran yangdigunakan.Contohnya Rhizophora sp. memiliki nilai
serapan karbon dioksida 398,60 ton CO2/ha.

2.1.8.2 Dampak dan Mitigasi Urbanisasi terhadap Siklus Air


Penyebab utama hilangnya hutan mangrove adalah aktivitas antropogenik seperti
perikanan, perkebunan, pertanian, logging, industri, pemukiman, tambak garam,
dan pertambangan . Dampak adanya aktivitas antropogenik berupa pengembangan
Kawasan PIK sangat berpengaruh terhadap siklus air. Adanya perubahan tata guna
lahan dari hutan mangrove yang direklamasi untuk pembangunan Kawasan PIK
berdampak pada penurunan tutupan vegetasi yang memiliki jasa ekosistem penting
bagi manusia. Hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

Aktivitas manusia seperti pembangunan gedung, jalan, dan permukiman dapat


mengubah aliran air permukaan dan mempercepat aliran air ke sungai, sehingga
mengurangi waktu yang tersedia untuk air meresap ke dalam tanah. Konsumsi air
yang berlebihan di daerah perkotaan dapat mengganggu siklus air dan

Universitas Indonesia 24
menyebabkan kondisi geografis yang berbahaya. Aktivitas manusia, seperti
kepadatan penduduk yang tinggi dan peningkatan permintaan sumber daya,
termasuk air, dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap siklus air. Hal ini
dapat menyebabkan kekurangan air bersih, yang dapat berdampak langsung pada
pertanian dan produksi pangan.

Mengutip dari berbagi sumber, telah ada beberapa keluhan terkait pencemaran air
di Kawasan PIK. Salah satunya adalah dari kontaminan parasetamol yang
berdampak pada nelayan di sekitarnya. Sumber utama pencemaran di Pantai Indah
Kapuk adalah air limbah perumahan dan komersial, industri, pertanian, limbah
padat, dan kebocoran dari tangki septic. Ada juga keluhan tentang kualitas air di
daerah tersebut, termasuk rasa asin dan bau. Selain itu, seorang nelayan di Muara
Angke melaporkan adanya pencemaran di perairan sekitar Pantai Indah Kapuk yang
berasal dari limbah yang dibuang oleh pabrik-pabrik di daerah tersebut. Selain itu,
sebuah penelitian menemukan adanya mikroplastik di saluran pencernaan ikan
komersial di lepas pantai Pantai Indah Kapuk. Studi terbaru menemukan adanya
peningkatan polusi mikroplastik di sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
selama pandemi COVID-19, dengan limbah yang berasal dari masker medis dan
sumber-sumber lainnya. Kelimpahan mikroplastik yang ditemukan di sungai
berkisar antara 4,29 hingga 23,49 partikel per 1000 liter air, dengan rata-rata 9,02
partikel per 1000 liter. Peningkatan polusi mikroplastik menjadi perhatian karena
dapat berdampak negatif pada kehidupan laut dan kesehatan manusia.

Limbah domestik dari tingginya aktivitas manusia di Kawasan PIK juga sangat
berpengaruh terhadap status mutu air. Parameter salinitas, BOD, COD, nitrit, fosfat
total, dan hidrogen sulfida di Danau Ebony Kawasan PIK tidak sesuai baku mutu
air kelas II. Tingkat pencemaran berdasarkan IP menunjukkan kondisi perairan
yang tercemar sedang dan berdasasrkan OWQI kondisi perairan Danau Ebony
tercemar berat.

Mitigasi terhadap berbagai dampak urbanisasi terhadap siklus air harus


mempertimbangkan keseluruhan system yang ada di Kawasan PIK. Penanaman
pohon, tumbuhan, penambahan RTH untuk menambah daerah resapan air harus
segera dilakukan secara intensif, termasuk restorasi hutan mangrove. Restorasi
hutan mangrove adalah usaha untuk menanam kembali hutan mangrove yang telah
rusak atau terdegradasi, dengan tujuan untuk memulihkan fungsi ekologis dan
ekonomis dari ekosistem mangrove.

2.1.8.3 Dampak dan Mitigasi Urbanisasi terhadap Siklus Nitrogen


Siklus nitrogen adalah proses konversi senyawa yang mengandung unsur nitrogen
menjadi berbagai macam bentuk kimiawi yang lain. Nitrogen (N2) merupakan gas
yang dominan di atmosfer bumi dalam siklus global. Nitrogen terlebih dahulu
diubah menjadi ammonia (NH4+) oleh bakteri diazotrof atau nitrogen oksida (NOx)
melalui petir yang dikenal sebagai proses fiksasi nitrogen.

Organisme seperti bakteri anaerob tertentu di tanah dan sedimen laut atau
dalam simbiosis dengan tanaman misalnya, rhizobium di bintil akar kacang-
kacangan. Organisme tersebut memperbaiki nitrogen.Dengan menggabungkan gas
N2 dengan hidrogen untuk menghasilkan amonia.

Oksidasi N2 yang tersambar petir selama badai listrik menghasilkan


nitrogen oksida reaktif.

Kemudian bergabung dengan radikal hidroksil (OH) untuk membentuk asam nitrat
(HNO3), yang kemudian berpindah ke lingkungan yaitu darat, air tawar atau laut di
permukaan bumi melalui proses presipitasi.

2.1.9 Ekologi Perkotaan Manusia


Di era percepatan urbanisasi ini, lebih banyak orang tinggal di kota daripada
sebelumnya. Kota adalah pusat upaya manusia, kreativitas, komunitas, dan
kehidupan. Kota menawarkan peluang, pekerjaan, keterlibatan, pemenuhan, dan
harapan untuk masa depan yang lebih baik. Secara umum, tingkat kemiskinan di
perkotaan lebih rendah daripada pedesaan. Kota yang dirancang dengan baik
memberikan cara hemat ruang dan energi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,

Universitas Indonesia 26
dan sosial manusia dalam skala besar. Penduduk kota yang paling makmur
menikmati standar hidup dan kemudahan, dengan rumah yang aman, listrik, air
bersih, ventilasi yang memadai, pemanasan dan pendinginan yang efektif, serta
akses ke pendidikan, dan perawatan kesehatan yang berkualitas.

Pada kondisi terburuknya, kota dapat menjadi pusat pengangguran, kekerasan,


kemiskinan, kekotoran, dan keputusasaan manusia. Luasnya kota, kepadatan
populasi manusianya, dapat membuat kota menjadi terasing. Penduduk termiskin
di banyak kota tinggal di perumahan di bawah standar, penuh sesak, tidak aman,
seringkali tanpa pemanas dan pendingin yang efektif, tanpa ventilasi dan sanitasi
yang memadai, atau tanpa akses ke air minum bersih. Di sebagian besar kota,
lingkungan yang lebih miskin memiliki tutupan vegetasi yang lebih rendah, lebih
sedikit taman dan pohon jalanan, dan tutupan permukaan kedap air yang lebih
tinggi. Perbandingan antara tutupan hijau yang kontras antara Kebun Raya di
Atlanta yang dikenal sebagai kota pepohonan, dengan pemukiman padat, Favela
(Brasil) ditunjukkan pada Error! Reference source not found.2.1

(a) (b)

Gambar 2.1 Tutupan hijau perkotaan yang kontras:


(a) Kebun Raya Atlanta di Atlanta, Georgia, AS, (b) pemukiman Favela di Brasil
(Sumber: K. M. Parris, 2016)

Pengalaman manusia perkotaan dapat bervariasi di lokasi yang sama dari waktu ke
waktu, karena kota-kota mengikuti berbagai lintasan dari bentuk awalnya hingga
ekspansi dan industrialisasi, diikuti oleh resesi, kerusakan kota dan, dalam beberapa
kasuspembaharuan kota lebih lanjut.Karakteristik bentuk perkotaan dapat
mendorong atau menghambat kesehatan dan kesejahteraan populasi manusia.

2.1.9.1 Bentuk Perkotaan


Kesempatan untuk terhubung dengan alam di cagar alam perkotaan dan taman
lingkungan, dapat memiliki berbagai efek positif pada kesehatan mental dan
kesejahteraan psikologis, mengurangi stres dan kelelahan mental, memulihkan
perhatian, meningkatkan kemampuan berpikir, dan memberikan rasa keterikatan
pada tempat dan kepuasan hidup yang lebih tinggi. Taman umum dan kebun
komunal, juga dapat berfungsi sebagai titik fokus untuk keterlibatan masyarakat,
meningkatkan interaksi antar tetangga, meningkatkan kohesi sosial, dan
memperkuat ikatan sosial. Ketersediaan, kedekatan, aksesibilitas, dan kualitas
taman di lingkungan perkotaan semuanya berkorelasi dengan aktivitas fisik yang
lebih tinggi di antara penduduk.

Kepadatan perkotaan yang rendah (urban sprawl), meningkatkan ketergantungan


pada mobil pribadi untuk alat transportasi sekaligus mengurangi kesempatan bagi
penduduk untuk berjalan kaki atau bersepeda di sekitar lingkungan mereka, serta
ke dan dari tempat kerja. Lokasi perumahan yang terletak jauh dari tempat kerja,
ketersediaan transportasi umum dan fasilitas seperti toko dan sekolah merupakan
karakteristik dari banyak kota di seluruh dunia. Lingkungan seperti ini menghambat
aktivitas fisik dan berkorelasi positif dengan kelebihan berat badan dan obesitas di
kalangan penduduk.

Kepadatan pemukiman yang lebih tinggi, konektivitas jalan yang baik, akses untuk
berjalan kaki dan jalur sepeda, dan penggunaan lahan campuran (dengan jarak yang
lebih pendek antara rumah, toko, dan tempat kerja), berkorelasi dengan tingkat
berjalan kaki dan bersepeda yang lebih tinggi untuk transportasi. Walkability
lingkungan perkotaan telah mendapatkan perhatian penelitian dan kebijakan yang
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan walkability lingkungan berkorelasi
negatif dengan tingkat obesitas di antara penduduknya. Lingkungan yang dapat

Universitas Indonesia 28
dilalui dengan berjalan kaki dapat diidentifikasi dengan tiga parameter: kepadatan
populasi, desain ramah pejalan kaki, dan keberagaman tujuan.

Karakteristik bentuk perkotaan tidak hanya memfasilitasi atau menghambat


aktivitas fisik penduduk kota, tetapi juga mencerminkan tingkat tatanan sosial di
suatu lingkungan. Gangguan lingkungan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan tempat-tempat dengan tingkat ancaman yang dirasakan tinggi
terhadap keselamatan pribadi. Tanda-tanda gangguan lingkungan termasuk
bangunan bobrok, jendela tertutup, grafiti, kebisingan, sampah, kejahatan, mabuk
di tempat umum, penjualan umum, penggunaan obat-obatan terlarang, dan adanya
pemuda nakal dan/atau geng jalanan.

Banyak penelitian telah menunjukkan gangguan lingkungan untuk memprediksi


kesehatan mental yang lebih buruk di penduduk, termasuk peningkatan tingkat
kecemasan, kemarahan dan depresi. Dampak negatif dari gangguan lingkungan
pada kesehatan mental dapat berasal dari keterasingan subjektif. Hal ini pada
gilirannya mungkin berasal dari persepsi ketidakberdayaan, perasaan tidak percaya,
isolasi sosial, dan runtuhnya norma sosial yang mengatur perilaku yang dapat
diterima. Dengan demikian, meskipun ada banyak orang lain di lingkungan
tersebut, penghuni cenderung tidak membentuk ikatan sosial dan jaringan
pendukung yang menciptakan rasa kebersamaan dan memiliki. Gangguan
lingkungan juga dapat memprediksi kesehatan fisik yang lebih buruk, karena
kurangnya keamanan atau persepsi bahaya dapat membuat orang muda enggan
bermain di luar ruangan, dan olahraga oleh orang dewasa. Dari sampel lebih dari
2000 orang dewasa di Los Angeles, California, mereka yang menganggap
lingkungannya tidak aman memiliki indeks massa tubuh 2,81 kg/m2 lebih tinggi
daripada mereka yang menganggap lingkungannya aman, mengendalikan jenis
kelamin, etnis, dan penyakit kronis.

2.1.9.2 Polusi dan Limbah


Aktivitas manusia di lingkungan perkotaan menghasilkan banyak jenis polusi dan
limbah, masing-masing dengan berbagai dampak potensial terhadap kesehatan dan
kesejahteraan penduduk kota. Populasi manusia di perkotaan menghasilkan sampah
dalam jumlah besar, termasuk sampah rumah tangga (misalnya sisa makanan,
kertas, plastik, dan kemasan lainnya), besi tua, sampah elektronik, dan sampah
berbahaya. Produksi limbah padat global diperkirakan sebesar >3,5 juta ton/hari
pada tahun 2010, dan diperkirakan akan meningkat menjadi >6 juta ton/hari pada
tahun 2025 dan >12 juta ton/hari pada tahun 2100. Para pemulung melakukan
layanan penting dengan mengambil dan mendaur ulang berbagai plastik, logam,
komponen komputer, cartridge printer, dan limbah elektronik lainnya, dan dapat
menghasilkan lebih banyak uang dengan melakukan hal itu daripada pekerjaan lain.

Polusi udara di kota-kota mengandung beragam campuran gas (misalnya nitro


oksida, sulfur dioksida, karbon monoksida) dan partikel, yang sebagian besar
dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, pemanas
rumah tangga, dan dari aktivitas memasak. Terlepas dari kekhawatiran yang lebih
besar terkait polusi udara luar ruangan di kota-kota, polusi udara dalam ruangan
sebenarnya bertanggung jawab atas beban penyakit yang lebih besar di seluruh
dunia. Di negara maju, polusi udara dalam ruangan yang disebabkan oleh emisi
berbahaya dari produk rumah tangga dan kantor, seperti formaldehida dan senyawa
organik yang mudah menguap (volatile matter organic) telah mendapatkan
perhatian penelitian yang lebih besar.

Senyawa VOC umumnya ditemukan dalam cat, lem, plastik, serat sintetis dan
pelarut dan dapat mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di dalam ruangan daripada
di luar ruangan. VOC tertentu seperti benzene dan 1,3-butadiene diketahui bersifat
karsinogenik pada manusia, dan paparan VOC dalam ruangan dikaitkan dengan
peningkatan risiko terhadap penyakit leukemia dan limfoma. Produk rumah tangga
beraroma seperti penyegar udara, deterjen pencuci piring dan pakaian, serta
pelembut kain juga mengandung berbagai macam VOC, beberapa di antaranya
diklasifikasikan sebagai beracun atau berbahaya.

Universitas Indonesia 30
2.1.9.3 Perubahan Iklim di Lingkungan Perkotaan
Efek panas perkotaan dapat memperburuk suhu diurnal dan nokturnal yang tinggi
selama gelombang panas musim panas, membuat kondisi menjadi lebih tidak
menyenangkan dan lebih berbahaya bagi penduduk kota. Permukaan kota yang
memanas dengan cepat di siang hari dan kemudian melepaskan panasnya dalam
waktu yang lama di malam hari, membuat penduduk kota mengalami tekanan
termal yang berkelanjutan selama periode cuaca panas, dan meningkatkan tingkat
morbiditas dan mortalitas. Berbagai penyebab kematian meningkat frekuensinya
selama gelombang panas, termasuk henti jantung, stroke, dan gagal.

Suhu yang meningkat juga mempengaruhi perilaku manusia di perkotaan; studi


lapangan dan percobaa laboratorium telah menunjukkan bahwa suhu tinggi
meningkatkan iritabilitas dan agresi. Kejahatan meningkat seiring peningkatan
suhu. Panas ekstrem dan dampak buruknya terhadap populasi perkotaan
diperkirakan akan meningkat akibat perubahan iklim, termasuk jumlah dan panjang
gelombang panas serta tingkat agresi dan kejahatan.

2.1.9.4 Kesenjangan Kesehatan di Kota-Kota Dunia


Orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan cenderung memiliki kesehatan yang
lebih baik dan harapan hidup yang lebih besar daripada orang-orang pedesaan.
Misalnya, perempuan perkotaan yang miskin cenderung tidak didampingi oleh
bidan yang terampil selama persalinan, yang mengarah ke risiko komplikasi yang
lebih tinggi yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian ibu. Di Bangladesh,
tingkat persalinan terampil berkisar dari 6% untuk wanita perkotaan termiskin
sampai 75% untuk yang terkaya. Sebuah studi di 21 negara mengungkapkan bahwa
perempuan perkotaan 50% lebih mungkin dibandingkan laki-laki perkotaan, dan
80% lebih mungkin dibandingkan perempuan pedesaan untuk menjadi positif HIV,
dengan masalah yang diperparah oleh status sosial ekonomi yang rendah.

Beban kesehatan kaum miskin perkotaan disebabkan berbagai hal, termasuk


kualitas perumahan yang buruk, sanitasi yang tidak memadai, akses yang tidak
memadai terhadap air minum bersih, akses yang buruk ke perawatan kesehatan,
tingkat kejahatan kekerasan yang lebih tinggi, dan prevalensi perilaku pengambilan
risiko yang lebih. Sifat tempat tinggal yang tidak aman dan fasilitas toilet bersama
di permukiman padat penduduk membuat perempuan lebih berisiko mengalami
kekerasan seksual dan HIV. Kemiskinan, tunawisma dan kekurangan pangan juga
dapat menyebabkan perempuan bertukar seks untuk makanan atau akomodasi, yang
pada gilirannya meningkatkan risiko tertular HIV.

2.1.10 Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem di Kota


Daerah perkotaan dan pinggiran kota masih mendukung beragam spesies asli dan
komunitas ekologi, dari yang terancam punah hingga yang saat ini paling tidak
menjadi perhatian konservasi. Selain nilai intrinsiknya, keanekaragaman hayati di
kota memiliki manfaat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia yang
tinggal di perkotaan. Sebuah badan substansial pengetahuan dari bidang ekologi
perkotaan, kesehatan penduduk, epidemiologi dan psikologi lingkungan
menunjukkan bahwa biodiversitas perkotaan meningkatkan “liveability cities” atau
kondisi lingkungan perkotaan yang kuat dan lengkap, aksesibilitas dan mobilitas
berkelanjutan, ekonomi lokal yang beragam dan tangguh, ruang publik yang
dinamis, dan keterjangkauan untuk manusia.

Jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh manusia dari fungsi ekosistem,
termasuk makanan nabati dan hewani, kayu, serat tanaman, udara bersih, air bersih
dan iklim yang lebih nyaman. Layanan penting yang disediakan oleh ekosistem
perkotaan meliputi siklus nutrisi, pendinginan, penyerapan polutan atmosfer,
penyerapan karbon, produksi primer dan sekunder (termasuk pertanian perkotaan),
siklus hidrologi, pengendalian biologis spesies hama dan pengolahan limbah.
Konservasi keanekaragaman hayati dan penyediaan jasa ekosistem di kota-kota
dapat menjadi tantangan, dengan banyak kepentingan yang bersaing dalam
operasional karena terbatasnya peluang untuk membeli tanah untuk taman baru.

McKinney (2002) pertama kali menggunakan istilah penghindar perkotaan, adaptor


dan pengeksploitasi untuk menggambarkan tiga kelompok spesies yang merespons
urbanisasi dengan cara yang berbeda. Dia mendefinisikan penghindar perkotaan

Universitas Indonesia 32
sebagai spesies yang sangat sensitif terhadap penganiayaan manusia dan gangguan
habitat, seperti karnivora bertubuh besar, burung bersarang di tanah, dan
tanaman suksesi akhir. Dia menganggap adaptor perkotaan sebagai spesies yang
dapat bertahan dengan sukses di habitat pinggiran kota dengan memanfaatkan
sumber daya yang tersedia. Kelompok ini seperti burung omnivora, mamalia
penggali, predator berukuran sedang, tanaman suksesi awal dan burung yang
tersebar di semak. Pengeksploitasi adalah sekelompok kecil spesies yang
menunjukkan respons positif yang kuat terhadap sumber daya yang disediakan oleh
manusia di lingkungan perkotaan, dan mencapai kepadatan yang tinggi di kota-kota
di seluruh dunia. Kelompok ini termasuk hewan seperti merpati batu Columba livia,
jalak Eropa sturnus vulgarus, tikus rumah Mus musculus, tikus hitam Rattus rattus,
kecoa (berbagai spesies), dan keanekaragaman tanaman ruderal dengan biji yang
tersebar dan toleransi yang tinggi terhadap gangguan.

2.1.10.1 Mengintegrasikan Ekologi Perkotaan dengan Perencanaan dan


Desain Kota
Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem yang efektif di lingkungan
perkotaan akan membutuhkan masukan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk
ekologi, perencanaan kota, arsitektur lansekap, ekonomi ekologi, teknik dan
manajemen lanskap. Perencanaan konservasi dapat diintegrasikan ke dalam
perencanaan kota skala luas melalui penilaian strategis terhadap kemungkinan
dampak lingkungan yang terkait dengan pembangunan perkotaan. Penilaian
lingkungan strategis dapat memberikan perlindungan yang lebih baik untuk
keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem di kota daripada penilaian dampak
lingkungan yang lebih kecil.

2.1.10.2 Perlindungan Keanekaragaman Hayati Fitur Landskap dan


Pentingnya Aset Biofisik
Petak-petak vegetasi asli yang tersisa, vegetasi sekunder, lahan basah sementara dan
permanen, aliran dan saluran drainase sering mendukung keanekaragaman spesies
yang tinggi yang tidak ditemukan di tempat lain dalam lanskap perkotaan, dan
menyediakan juga layanan ekosistem yang penting. Sejumlah kecil vegetasi yang
tersisa di kota-kota dapat terus mendukung unsur keanekaragaman spesies asli yang
sangat tinggi, meskipun sebuah kota telah tumbuh di sekitar mereka. Lapangan golf
juga menampung lebih banyak spesies burung dan kelelawar dan mendukung
hampir dua kali aktivitas pengembangbiakan burung sebagai dua tipe habitat
lainnya. Pentingnya lapangan golf sebagai surga bagi keanekaragaman hayati dan
penyedia jasa ekosistem cenderung meningkat karena tanah di sekitarnya
mengalami dampak antropogenik yang lebih besar.

Tren menuju pengisian perkotaan dan pembangunan rumah yang lebih besar, berarti
bahwa tutupan proporsional taman pribadi (dan dengan demikian jasa ekosistem
dan keanekaragaman hayati yang mereka dukung) menurun di banyak kota. Bentuk
perkotaan ini meningkatkan penggunaan AC di musim panas dan konsumsi energi
secara keseluruha, serta mengurangi volume air hujan yang diserap oleh tanah dan
meningkatkan limpasan besar secara langsung ke sungai.

2.1.10.3 Memelihara atau Membangun Kembali Konektivitas Lanskap


Fitur habitat di kota-kota, seperti taman, lahan basah dan petak-petak sisa vegetasi
sekunder, sering dipisahkan satu sama lain oleh hamparan jalan, bangunan, dan
prasarana perkotaan lainnya. Melestarikan fitur linier yang belum dikembangkan
untuk bertindak sebagai koridor atau saluran antara fitur lanskap keanekaragaman
hayati akan membantu menjaga konektivitas antar
populasi untuk beberapa taksonomi kelompok di lingkungan perkotaan,
termasuk arthropoda, amfibi dan mamalia.

Manusia secara pribadi dapat membantu pergerakan hewan dan tumbuhan melintasi
lanskap perkotaan, baik dengan memindahkan (translokasi) tanaman individu atau
hewan dari satu lokasi ke lokasi lain, atau dengan membantu hewan yang
bermigrasi untuk tiba dengan selamat di tempat tujuan.

2.1.10.4 Menggunakan Ruang Kecil


Lingkungan perkotaan bisa sangat ramai dengan struktur buatan manusia,
permukaan beraspal sehingga menjadi sulit untuk menemukan ruang untuk daerah
Universitas Indonesia 34
alami dan vegetasi, tanah permeabel, lahan basah, dan fitur lanskap lainnya yang
bertindak sebagai habitat keanekaragaman hayati dan penyedia jasa ekosistem.
Salah satu solusi untuk masalah ini adalah dengan menggunakan ruang kecil di
seluruh kota - horisontal, vertikal, dan segala sesuatu di antaranya.

Menurut Rosenzweig (2003), ekologi rekonsiliasi adalah cabang ekologi yang


menekankan konservasi keanekaragaman hayati dalam lanskap yang didominasi
manusia, termasuk lanskap perkotaan. Pertama kali diperkenalkan pada tahun
2003, ekologi rekonsiliasi dapat didefinisikan sebagai "ilmu menemukan,
membangun dan memelihara habitat baru untuk melestarikan keanekaragaman
spesies di tempat-tempat di mana orang tinggal, bekerja atau bermain". Salah satu
fokus ekologi rekonsiliasi adalah perubahan skala kecil atau lokal terhadap
lingkungan perkotaan yang dapat membantu melestarikan dan meningkatkan
keanekaragaman hayati, baik di lahan publik maupun swasta.

Contoh pemanfaatan ruang kecil adalah dengan membuat fasad hijau menggunakan
vegetasi untuk menutupi permukaan kota vertikal. Mereka terdiri dari tanaman
memanjat yang tumbuh baik secara langsung terhadap dinding luar bangunan atau
pada struktur pendukung yang melekat pada dinding, termasuk teralis, kabel baja,
kawat dan jala. Fasad hijau menawarkan sejumlah manfaat di lingkungan
perkotaan, termasuk naungan, pendinginan (melalui evapotranspirasi), peningkatan
reflektansi radiasi solar, pengurangan kecepatan angin di permukaan dinding,
penyerapan polutan atmosfer ,dan habitat keanekaragaman hayati.

Fasad hijau dapat sangat berguna di jalan - jalan kota yang sempit, di mana ada
sedikit ruang untuk menanam pohon di permukaan tanah. Kondisi iklim mikro
(seperti suhu dan kecepatan angin) pada dinding perkotaan bisa ekstrem, sehingga
diperlukan pemilihan tanaman yang cermat, media tanam, dan sistem irigasi untuk
memastikan bahwa fasad hijau berkembang. Urbanisasi menciptakan berbagai
habitat baru untuk hewan dan tumbuhan, termasuk fitur seperti koridor jalan, kereta
api, bangunan, jembatan, taman rekreasi, kebun private, lahan basah yang
dibangun, kolam taman, dinding laut buatan, dan struktur laut lainnya seperti
dermaga dan ponton. Habitat ini menyediakan sumber daya penting bagi
keanekaragaman hayati (tanah, nutrisi, makanan, air, tempat tinggal, tempat
bersarang, bertengger dan berkembang biak, atau substrat untuk menetap).

Universitas Indonesia 36
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk
memperoleh data pendukung berdasarkan teori-teori yang sudah ada.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian yang dilakukan berlokasi di Kota Semarang. Lokasi tersebut ditetapkan
sebagai lokasi penelitian dikarenakan lokasi ini terletak di daerah perkotaan yang
dapat berdampak pada perubahan tata ruang karena perkembangan yang sangat
pesat dan tingkat kepadatan penduduk yang cukup meningkat signifikan. Waktu
penelitian dilakukan selama 1 Bulan (tanggal 19 April 2023 sampai 19 Mei 2023)
dari proses persiapan sampai pelaksanaan

3.3 Variabel Penelitian


Ringkasan jenis variabel dan definisi operasional variabel yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat di Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Satuan


atau Sub- Variabel atau Sub-
Variabel Variabel

1 Tata guna Fungsi wilayah kota • Studi pustaka -


lahan semarang

2 Kepadatan Tingkat kepadatan penduduk • Studi pustaka -


penduduk kota semarang 2018-2022
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Satuan
atau Sub- Variabel atau Sub-
Variabel Variabel

3 Respon Interaksi antar populasi dan • Studi pustaka -


Komunitas spesies berdasarkan proses • Observasi
seleksi, pergeseran ekologi,
persebaran, dan diversifikasi

3.4 Data Penelitian


Pembahasan data penelitian terdiri atas dua pokok bahasan. Pokok bahasan tersebut
meliputi jenis data, dan metode pengumpulan data.

3.4.1 Jenis Data


Sumber data dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan dua cara yang berasal
dari data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa hasil
observasi lapangan Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi pustaka
khususnya pada buku Ecology of Urban Environment karya Kirsten M.
Parris tentang keterkaitan teori-teori yang dibahas dengan kondisi aktual di
lapangan, serta data spasial tentang perubahan pengembangan lahan.

Universitas Indonesia 2
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian


4.1.1 Kota Semarang
4.1.1.1 Letak Geografis
Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada posisi antara
garis 650’ – 710’ Lintang Selatan dan garis 10935-11050’ Bujur Timur. Dari
ketinggiannya, Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis
pantai. Kota Semarang mempunyai luas sebesar 373,70 km2 dengan batas wilayah
sebagai berikut :
• Batas Utara : Laut Jawa
• Batas Timur : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak.
• Batas Selatan : Kabupaten Semarang.
• Batas Barat :Kabupaten Kendal.

4.1.1.2 Kondisi Topografi


Kemiringan lereng di Kota Semarang didominasi kelas kemiringan lereng datar
(<8%) dengan luas 33493,75 Ha. Urutan kedua yaitu kelas kemiringan lereng agak
curam (15-25%) dengan luas 3401 Ha, kemudian kelas kemiringan lereng curam
(25 - 40%) dengan luas 1547 Ha. Sedangkan yang paling sedikit adalah kelas
kemiringan lereng sangat curam (> 40%) dengan luas 505,2 Ha. Persentase untuk
masing-masing kelas kemiringan lereng terhadap luas wilayah adalah kelas
kemiringan lereng datar 86%, landai 0%, agak curam 8,7%, curam 4% dan sangat
curam 1,3%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.1 Luas Lahan Berdasarkan Kelas Lereng Kabupaten Semarang
No Kelas Skor Luas (Ha) Persentase (%)
1 Datar 5 33493,75 86%
2 Landai 4 0 0%
3 Agak Curam 3 3401 8,7%
4 Curam 2 1547 4%
5 Sangat Curat 1 505,2 1,3%
Jumlah 38946,95 100%
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Semarang, 2015

Universitas Indonesia 4
Gambar 4.1 Peta Topografi KotaSemarang
Sumber : BAPPEDA Kabupaten Semarang, 2020
4.1.1.3 Administrasi
Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan 177
kelurahan. Dari 16 kecamatan yang ada terdapat 2 kecamatan yang mempunyai
wilayah terluas yaitu kecamatan Mijen (57,55 km2 ) dan kecamatan Gunungpati
(54,11 km2 ). Kedua kecamatan tersebut termasuk dalam daerah “kota atas” yang
sebagian besar wilayahnya masih terdapat areal persawahan dan perkebunan,
sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah kecamatan Semarang
Selatan (5,93 km2 ) diikuti oleh kecamatan Semarang Tengah (6,14 km2).
Kecamatan Semarang Selatan dan Semarang Tengah merupakan daerah pusat kota
yang sekaligus sebagai pusat perekonomian/bisnis Kota Semarang, sehingga
sebagian besar dari wilayahnya banyak terdapat bangunan lain Kawasan Simpang
Lima, Kawasan Tugu Muda, Pasar Bulu, Pasar Peterongan, Pasar Johar dan
sekitarnya yang dikenal dengan “Kota Lama” Semarang. Berikut ini merupakan
tabel kecamatan di Kota Semarang beserta luasan wilayahnya :

Tabel 4.2 Kecamatan di Kota Semarang beserta Luasan Wilayahnya


No. Kecamatan Luas Area (km2)
1. Semarang Tengah 6,14
2. Semarang Utara 10,97
3. Semarang Timur 7,70
4. Gayamsari 6,18
5. Genuk 27,39
6. Pedurungan 20,72
7. Semarang Selatan 5,93
8. Candisari 6,54
9. Gajahmungkur 9,07
10. Tembalang 44,20
11. Banyumanik 25,69
12. Gunungpati 54,11
13. Semarang Barat 21,74

Universitas Indonesia 6
No. Kecamatan Luas Area (km2)
14. Mijen 57,55
15. Ngaliyan 37,99
16. Tugu 31,78
Jumlah 373,70
Sumber : Kabupaten Semarang dalam Angka, 2022

Kecamatan Mijen merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah paling besar
di Kota Semarang yaitu 57,55 km2, sedangkan kecamatan terkecil di Kota
Kedudukan Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah dan ditunjang
lokasi yang strategis pada jalur lalu lintas ekonomi Pulau Jawa menjadikan Kota
Semarang tidak hanya berperan sebagai pusat pemerintahan tetapi juga salah satu
pusat ekonomi di Jawa Tengah. Kota Semarang memiliki lokasi strategis sebagai
koridor pembangunan di Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu
gerbang yaitu koridor pantai utara, koridor selatan, koridor timur dan koridor barat,
dan juga didukung sejumlah fasilitas transportasi seperti Pelabuhan Tanjung Emas,
Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Terminal Terboyo, serta Stasiun Kereta
Api Tawang dan Poncol yang semakin menguatkan peran Kota Semarang sebagai
simpul aktivitas pembangunan sekaligus gerbang perekonomian di Provinsi Jawa
Tengah dan bagian tengah Pulau Jawa.
Gambar 4.2 Peta Administrasi Kota Semarang

Universitas Indonesia 8
9

4.1.1.4 Tata Guna Lahan


Penggunaan lahan di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah didominasi oleh kawasan
tanah terbuka dan lingkungan terbangun (permukiman) dengan luas 32311 Ha.
Urutan kedua yaitu kawasan pertanian lahan kering, tegalan, sawah seluas 4852,2 Ha.
Diikuti dengan kawasan hutan, perkebunan, tambak seluas 2236,7 Ha. Dan di urutan
terakhir yaitu kawasan tubuh air seluas 138,9 Ha. Berikut ini merupakan tabel jenis
penggunaan lahan beserta luasannya untuk tiap kecamatan di Kabupaten Semarang
Tabel 4.3 Jenis Penggunaan Lahan tiap Kecamatan di Kota Semarang
Penggunaan Lahan
Jalan,
Kecamatan Sawah Tadah Perkeb Hutan
Irigasi Kebun Rumah Sungai,
Total Hujan unan Rakyat
Kuburan
Semarang
64,00 0,00 64,00 4021,70 0,00 0,00 909,14 300,41
Tengah
Semarang
866,60 679,90 186,70 1017,85 79,00 780,00 1838,85 145,25
Utara
Semarang
1941,70 1851,70 90,00 811,40 0,00 773,00 1113,43 161,77
Timur
Gayamsari 1108,80 1049,40 59,40 589,20 0,00 189,50 1018,13 89,37
Genuk 2933,80 2462,40 471,40 967,60 227,40 295,20 1796,71 160,30
Pedurungan 2312,60 1223,80 1088,80 718,90 263,70 114,70 1269,98 117,72
Semarang
1460,40 1007,70 452,70 798,30 926,20 254,80 1353,53 166,89
Selatan
Candisari 1225,00 1214,00 11,00 2173,00 42,00 0,00 914,41 89,72
Gajahmungk
461,00 420,00 41,00 3202,10 348,90 418,00 531,87 201,13
ur
Tembalang 729,70 617,00 112,70 2931,20 149,60 531,60 547,09 95,00
Banyumanik 915,70 827,00 88,70 648,50 0,00 0,00 730,83 136,81
Gunungpati 1556,00 1191,00 365,00 1134,00 0,00 252,00 902,30 100,00
Semarang
1099,50 639,70 459,80 949,60 538,60 303,70 1293,50 101,06
Barat
Mijen 2041,70 1479,80 561,90 1058,50 421,80 497,03 1176,55 171,22
Ngaliyan 1186,80 345,60 841,20 875,20 0,00 0,00 1517,62 89,17
Tugu 1255,00 914,00 341,00 1711,10 603,00 723,50 514,66 100,77
Jumlah 23745,30 17383,97 6361,33 25559,04 5204,96 6032,68 21540,98 2811,96
Sumber : Kabupaten Semarang dalam Angka, 2022
Gambar 4.3 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Semarang

Universitas Indonesia 10
11

4.1.1.5 Kependudukan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2022), jumlah penduduk Kota Semarang
sebanyak 1.040.629 jiwa. Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan
lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki, yakni 529.427 orang penduduk
perempuan dan 511.202 orang pe nduduk laki-laki. Hal ini juga ditunjukkan dengan
angka sex rasio di bawah 100%. Kecamatan dengan angka sex rasio di atas 100%
terdapat di 3 kecamatan yakni Kecamatan Tengaran, Kecamatan Sumowono, dan
Kecamatan Bandungan. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki
di 3 kecamatan tersebut lebih banyak dibanding jumlah penduduk perempuan.
Secara rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Semarang sebesar 1.095 orang/
km2, kecamatan dengan kepadatan penduduk terbesar adalah Kecamatan Ungaran
Barat, Kecamatan Ambarawa, dan Kecamatan Ungaran Timur, masing-masing
dengan kepadatan penduduk mencapai 2.424 orang/ km2, 2.239 orang/ km2 dan
2.216 orang/ km2. Berikut data jumlah penduduk Kabupaten Semarang tahun 2018,
2019, 2020, 2021, dan 2022 :
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Kabupaten Semarang Tahun 2018, 2019, 2020, 2021,
dan 2022
Jumlah Penduduk (orang)
No Kecamatan
2014 2015 2016 2017 2018
1 Semarang 49.823 50.227 50.625 51.029 51.399
Tengah
2 Semarang 68.326 69.301 70.273 71.254 72.207
Utara
3 Semarang 43.771 43.869 43.955 44.013 44.071
Timur
4 Gayamsari 26.558 26.588 26.614 26.650 26.657

5 Genuk 60.168 60.235 60.286 60.409 60.424

6 Pedurungan 38.816 39.153 39.486 39.790 40.099

7 Semarang 63.549 64.280 65.008 65.865 66.573


Selatan
8 Candisari 41.927 42.308 42.681 43.105 43.462

9 Gajahmungkur 38.165 38.523 38.876 39.248 39.583

10 Tembalang 30.361 30.496 30.625 30.792 30.904


Jumlah Penduduk (orang)
No Kecamatan
2014 2015 2016 2017 2018
11 Banyumanik 60.881 61.459 62.025 62.651 63.193

12 Gunungpati 55.366 56.020 56.667 57.229 57.849

13 Semarang 58.815 60.021 61.240 62.231 63.437


Barat
14 Mijen 42.277 42.546 42.804 43.069 43.306

15 Ngaliyan 20.166 20.188 20.205 20.094 20.098

16 Tugu 54.363 55.404 56.452 57.344 58.380

Jumlah 987.597 1.000.887 1.014.198 1.027.489 1.040.629

Sumber : Kabupaten Semarang dalam Angka, 2022

Universitas Indonesia 12
Gambar 4.4 Peta Kepadatan Penduduk
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka didapatkan kesimpulan sebagai


berikut :

5.1 Kesimpulan
Tingkat kestrategisan suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan pada tingkat
kepadatan penduduk dan tataguna lahan .
Kota Semarang sebagai salah satu kota besar yang ada di Indonesia memiliki
potensi yang cukup besar sebagai kawasan permukiman. Perkembangan wilayah
hunian dan bisnis di Kota Semarang sangat tinggi. Namun penataan ruang di kota
semarang masih perlu diperhatikan dengan tata guna lahan dan kepadatan penduduk
saat ini.

5.2 Saran
Kota Semarang masih harus mengimplementasikan penataan ruang dengan
memperhatikan kondisi tataguna lahan, kepadatan penduduk dan topografi guna
untuk menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan perkotaan, terutama
dalam pengendalian polusi dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Universitas Indonesia 14
DAFTAR PUSTAKA

a. Referensi
Chintantya, D., & Maryono. (2017). Peranan Jasa Ekosistem dalam Perencanaan
Kebijakan Publik di Perkotaan. Proceeding Biology Education Conference,
14, 144–147.

Djamil, M. H. A. G., Gumilang, M. R., & Hantono, D. (2022). Dampak Reklamasi


terhadap Lingkungan dan Perekonomian Warga Pesisir di Jakarta Utara.
Jurnal Pembangunan Wilayah Dan Kota, 18(3), 283–295.
https://doi.org/10.14710/pwk.v18i3.36930

Enger, E. D., & Smith, B. F. (2016). Environmental Science (M. G. Hill (ed.);
Fourteenth). McGraw-Hill Higher Education.

Fuadi, H. (2021). Analisis Dampak Peningkatan Laju Pertumbuhan Penduduk


(Data Sp2020) Terhadap Pengendalian Kuantitas Penduduk Di Nusa Tenggara
Barat. Elastisitas - Jurnal Ekonomi Pembangunan, 3(2), 148–155.
https://doi.org/10.29303/e-jep.v3i2.45

Huang, H., Zhuo, L., Li, Z., Ji, X., & Wu, P. (2023). Effects of Multidimensional
Urbanisation on Water Footprint Self-Sufficiency of Staple Crops in China.
Journal of Hydrology, 618 (February), 129275.
https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2023.129275

Kusumahadi, K. S. (2020). Analisis keanekaragaman jenis burung di Kawasan


pantai indah kapuk kota jakarta utara. Jurnal Ilmu Dan Budaya, 41(69), 8155–
8168. http://journal.unas.ac.id/ilmu-budaya/article/view/892

Miller, G. T., & Spoolman, S. E. (2016). Environmental Science (Fifteenth).

Nasution, E. H. (2014). Strategi Pemerintah Kota Binjai Dalama Penataan Ruang

15 Universitas Indonesia
Sesuai Dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Binjai.

Nogueira, C., Marques, J. F., & Pinto, H. (2023). Civil Economy as a Path Towards
Sustainability: An Empirical Investigation. Journal of Cleaner Production,
383(September 2022). https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.135486

Parris, K. M. (2016). Ecology of Urban Environments.

Sofian, A., Kusmana, C., Fauzi, A., & Rusdiana, O. (2019). Evaluasi Kondisi
Ekosistem Mangrove Angke Kapuk Teluk Jakarta Dan Konsekuensinya
Terhadap Jasa Ekosistem. Jurnal Kelautan Nasional, 15(1), 1–12.
https://doi.org/10.15578/jkn.v15i1.7722

Sun, B., Fang, C., Liao, X., Guo, X., & Liu, Z. (2022). The Relationship Between
Urbanization and Air Pollution Affected by Intercity Factor Mobility: A Case
of the Yangtze River Delta Region. SSRN Electronic Journal, 100(November
2022), 107092. https://doi.org/10.2139/ssrn.4183169

Tirtaningtyas, N. F. (2021, May 8). Hutan Lindung Angke Kapuk, Tempat Asik
Pengamatan Burung di Jakarta. Mongabay.
https://www.mongabay.co.id/2021/05/08/hutan-lindung-angke-kapuk-
tempat-asik-pengamatan-burung-di-jakarta/

Wang, C., Wang, L., Zhan, J., Liu, W., Teng, Y., Chu, X., & Wang, H. (2022).
Spatial Heterogeneity of Urbanization Impacts on Ecosystem Services in the
Urban Agglomerations Along the Yellow River, China. Ecological
Engineering, 182 (June), 106717.
https://doi.org/10.1016/j.ecoleng.2022.106717

Yawer, A. S., Bakr, A. F., & Fathi, A. A. (2023). Sustainable Urban Development
of Historical Cities: Historical Mosul City, Iraq. Alexandria Engineering
Journal, 67, 257–270. https://doi.org/10.1016/j.aej.2022.12.042

Universitas Indonesia 16
Ziafati Bafarasat, A., & Oliveira, E. (2023). Social Sustainability: Do-it-Yourself
Urbanism, Start-it-Yourself Urbanism. Geoforum, 141(July 2022), 103726.
https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2023.103726

Hanski, I. (1999). Metapopulation ecology. Oxford University Press.

Levin, S. A. (1992). The problem of pattern and scale in ecology. Ecology, 73(6),
1943-1967.

b. Pustaka Lain

Badan Pusat Statistik Kota Semarang Dalam Angka. (2022). Provinsi DKI Jakarta
Dalam Angka 2023.

BPS. (2021). Provinsi Jawa Tengah Dalam Angka 2022 (BPS (ed.)). CV. Nario
Sari.

17 Universitas Indonesia

You might also like