You are on page 1of 43

BAGIAN DESEMBER 2023

UNIVERSITAS REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN

“MULTIPLE TRAUMA”

Disusun Oleh :

NAMA : Resky Gau

NIM : N11121057

PEMBIMBING KLINIK :

dr. I Made Wirka, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

2023

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Resky Gau


No. Stambuk : N11121057
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Universitas Tadulako
Judul Refleksi Kasus : Multiple Trauma
Bagian : Stase Bedah

Bagian Ilmu
RSUD
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas

Palu, Desember 2023


Pembimbing Mahasiswa

dr. I Made Wirka, Sp.B Resky Gau

2
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL ................................................................................................. 1

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... 2

DAFTAR ISI ........................................................................................... 3

BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 5


2.1 Defenisi .......................................................................... 5
2.2 Epidemiologi .................................................................. 6
2.3 Etiologi ........................................................................... 7
2.4 Patofisiologi ................................................................... 8
2.5 Manajemen Diagnosis .................................................. 11
a. Anamnesis ................................................................ 11
b. Pemeriksaan Fisik ................................................... 11
c. Pemeriksaan Penunjang ......................................... 15
2.6 Komplikasi .................................................................... 19
2.7 Penatalaksanaan ........................................................... 21
2.8 Prognosis ........................................................................ 39
BAB III : PENUTUP .......................................................................... 40
3.1 Kesimpulan .................................................................... 40
3.2 Saran .............................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 41

3
BAB I

PENDAHULUAN

Istilah “politrauma” dan “Multiple Trauma” sering digunakan dalam praktik


trauma dan literatur. Secara konvensional, ini mengacu pada banyak cedera yang
melibatkan banyak organ atau sistem(1). Politrauma masih menjadi masalah
kesehatan global dan telah diidentifikasi sebagai masalah utama dalam layanan
kesehatan di masa depan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Meskipun ada
kemajuan dalam algoritma diagnostik dan pengobatan, trauma masih menjadi
penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia(2).

Politrauma yang melibatkan cedera pada beberapa sistem organ


menimbulkan tantangan besar dalam manajemen darurat dan pemulihan jangka
panjang. Menghindari komplikasi yang berbahaya sambil menangani kondisi yang
mengancam jiwa sering kali memerlukan penilaian yang mempertimbangkan
pemberian pengobatan definitif yang cepat terhadap masalah tertentu
dibandingkan dengan pengelolaan langkah demi langkah yang hati-hati terhadap
seluruh sistem perawatan pasien. Penatalaksanaan pada pasien politrauma telah
banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir, karena pesatnya perkembangan
teknik multi-fraktur. Meskipun penerapan metode diagnosis dan pengobatan yang
baik, tidak ada pengurangan komplikasi dan pembatalan akibat trauma, yang
dijelaskan oleh tingkat keparahan cedera ini(3).

“Golden hour” adalah istilah yang sangat terkenal yang digunakan oleh ahli
bedah trauma. Secara konvensional, istilah ini mengacu pada jam pertama setelah
cedera di mana pasien harus menerima perawatan definitif untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas(1). Penatalaksanaan pasien ini dimulai di lokasi trauma
dan harus selalu mengikuti rangkaian perawatan melalui fase pra-rumah sakit,
perawatan darurat, dan penatalaksanaan operasi primer. Perawatan pasien
Politrauma harus sejalan dengan protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS)
dan harus mencakup semua ABCDE pada survei primer(4).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFENISI
Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah
satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal,
kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas
fungsional(5,6).
Definisi dan klasifikasi 'Politrauma' telah berkembang selama beberapa
dekade terakhir. Definisi formal pertama dari “Politrauma” dalam literatur
Inggris dibuat oleh Border et al., pada tahun 1975 dimana pasien politrauma
didefinisikan sebagai pasien yang mengalami dua atau lebih cedera yang
signifikan. Tscherne et al., pada tahun 1984 menambahkan konsep ''cedera
signifikan'', dengan politrauma yang didefinisikan sebagai dua atau lebih
cedera, di antaranya setidaknya satu cedera atau jumlah seluruh cedera
mengancam nyawa menurut definisi aslinya. Untuk memberikan penilaian
objektif yang mencakup elemen anatomi dan fisiologis politrauma, sebuah
panel ahli internasional dari seluruh dunia memulai langkah untuk
mengembangkan definisi pasien politrauma yang lebih baik dan didukung
database yang sekarang disebut “Definisi Berlin”(1).
Tabel 2.1 . Sejarah defenisi politrauma atau meltipel trauma(17)

5
Sesuai dengan ‘definisi Berlin’ yang baru, Politrauma didefinisikan
sebagai “cedera signifikan pada 3 titik atau lebih di 2 atau lebih area tubuh
dengan satu atau lebih variabel dari lima parameter fisiologis yaitu usia,
kesadaran, hipotensi, koagulopati, dan asidosis”(1).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Trauma telah menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan di
seluruh dunia dan oleh karena itu menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama. Menurut WHO, hampir 6 juta orang meninggal setelah cedera
setiap tahunnya. Angka ini mewakili 10% kematian di dunia. Trauma adalah
penyebab utama kematian pada anak-anak dan dewasa muda di bawah usia 45
tahun. Trauma menjadi penyebab utama kematian pada orang berusia 1
hingga 44 tahun. Setiap hari, sekitar 9 orang meninggal dan lebih dari 1000
orang terluka akibat kecelakaan lalu lintas (KLL). Setiap tahun di Inggris dan
Wales, dengan populasi 57 juta jiwa, 10.000 orang meninggal karena
cedera(17,18).
Di negara maju, trauma masih menjadi penyebab utama kematian pada
kelompok usia 1-44 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab
kematian nomor satu pada kelompok usia 15-24 tahun dan urutan kedua pada
kelompok usia 25-34 tahun. Lebih dari lima juta orang di seluruh dunia
meninggal setiap tahunnya karena cedera akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh,
tenggelam, luka bakar, keracunan, kekerasan, atau perang. Kematian akibat
penyakit ini menyumbang 9% dari kematian global, lebih banyak
dibandingkan gabungan kasus HIV/AIDS, malaria, dan tuberculosis. Korps
Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Korlantas POLRI)
mencatat jumlah kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2018 sebanyak
109,21 dengan jumlah korban luka berat sebesar 7,68% dan angka kematian
sebesar 17,00%. Penelitian yang dilakukan di Unit Gawat Darurat RSUP
Sanglah Bali juga menunjukkan bahwa dari 60 kasus trauma multipel yang
datang dengan rata-rata usia pasien 37±19,61 tahun, angka kematiannya
sebesar 11,7%(7).

6
Gambar 2.1. Persentase kematian global karena cedera/trauma(19)

2.3 ETIOLOGI
Cedera dan trauma di dunia akibat kekerasan dan hampir seperempatnya
akibat kecelakaan lalu lintas. Cedera merupakan masalah yang terus
berkembang; cedera akibat kekerasan dan kecelakaan lalu lintas diperkirakan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan meningkat peringkatnya jika
dibandingkan dengan penyebab kematian lainnya, dan kematian akibat
kecelakaan lalu lintas diperkirakan akan menjadi penyebab kematian kelima
pada tahun 2030(19).
Penelitian yang dilakukan Ciechanowicz, et al. penyebab trauma multiple
dan kematian terbanyak adalah trauma lalu lintas 22 kasus (69%), jatuh dari
ketinggian 8 (25%) dan mekanisme lain 2 (6%)(8).

7
Tabel 2.2. Penyebab Politrauma dan trauma multipel(8)
Kecelakaan Lalulintas (KLL)
a. Pejalan kaki/pengendara sepeda
b. Pengemudi/penumpang mobil
c. Pengendara sepeda motor
Jatuh dari Ketinggian
a. Dari tangga
b. Dari ketinggian
c. Jatuh di rumah
d. Upaya bunuh diri
Lain-lain
a. Kekerasan (senjata api, tajam, dan tumpul)

2.4 PATOFISIOLOGI
Pada korban trauma tumpul, mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan
pola cedera tertentu. Pada trauma tembus akibat luka pisau atau cedera akibat
benda tajam berkecepatan rendah, kerusakan jaringan diperkirakan terjadi
terutama di sepanjang jalur benda tersebut. Namun, jenis dan tingkat
keparahan cedera akibat luka tembak bergantung pada beberapa faktor.
Besarnya kerusakan jaringan berhubungan dengan energi kinetik peluru yang
merupakan faktor berat (kaliber) dan kecepatan peluru. Luka tembak
menyebabkan trauma pada jaringan di sekitarnya melalui laserasi langsung,
luka remuk, gelombang kejut, dan kavitasi perpindahan jaringan ke depan dan
secara radial. Karena kekuatan dinamis ini, senjata berkecepatan tinggi,
seperti senapan, menyebabkan cedera yang lebih luas dibandingkan senjata
berkecepatan rendah (pistol). Mirip dengan pisau, peluru pistol dan pelet
senapan (dari jarak jauh) umumnya menyebabkan cedera berdasarkan laserasi
langsung dan benturan yang ditimbulkan oleh rudal di sepanjang jalurnya.
Luka tembak dari jarak dekat ditandai dengan cedera jaringan yang massif (18).
Mekanisme cedera dapat diklasifikasikan menjadi tumpul, tembus, termal,

8
dan ledakan. Dalam semua kasus, energi ditransfer ke jaringan atau, dalam
kasus energi (panas) ditransfer dari jaringan(20).
Tabel 2.3. Mekanisme cedera/trauma dan pola cedera yang ditimbulkan(20)

Gambaran klinis politrauma tergantung pada tingkat keparahan penyakit


traumatis, akibat kombinasi perubahan umum dan lokal yang terjadi pada

9
tubuh akibat cedera, serta reaksi patologis dan adaptif. Klasifikasi patogenetik
dari perjalanan penyakit traumatis(6):
1. Tahap reaksi akut suatu organ terhadap trauma (syok), tahap ini
berhubungan dengan periode awal syok dan syok pasca trauma dan dapat
dianggap sebagai induksi sindrom disfungsi organ multiple/multiple organ
dysfunction syndrome (MODS). Periode ini berlangsung dari beberapa jam
hingga 2 hari sejak cedera.
2. Periode awal gejala dan komplikasi (pasca syok atau periode peralihan),
ditandai dengan fase awal MODS, gangguan atau fungsi stabil organ
individu, yang berlangsung dari 3 hingga 7 hari.
3. Periode akhir gejala dan komplikasi dimulai setelah hari ke 7 dan
dibedakan berdasarkan komplikasi yang menentukan prognosis dan hasil
akhir penyakit.
4. Masa rehabilitasi ditandai dengan pemulihan total atau tidak.

Tahap pertama
Syok traumatis ditandai dengan sindrom insufisiensi perfusi (gangguan
hemodinamik akut) sebagai respons terhadap kerusakan mekanis yang parah
dan kehilangan darah(6).
Tahap kedua
Berkembangnya gejala MODS, disfungsi organ dan sistem. Pada tahap
ini, disfungsi beberapa organ disebabkan oleh reaksi inflamasi sistemik
sebagai respons terhadap cedera organik. Tingkat keparahannya tergantung
pada tingkat keparahan traumanya(6).
Tahap ketiga
Periode akhir munculnya tanda-tanda penyakit traumatis, di mana fungsi
organ dan jaringan yang rusak dipulihkan secara optimal, proses reparatif
dilakukan. Beberapa pasien pada tahap ini mengalami perubahan distrofi dan
proses sklerotik pada organ yang terkena serta gangguan sekunder pada
fungsinya, dan mengalami berbagai komplikasi seperti abses, phlegmon,

10
osteomielitis, tromboflebitis, dan sepsis. Periode ini bisa berlangsung selama
beberapa bulan dan memerlukan perawatan khusus(6).
Tahap keempat
Rehabilitasi penyakit traumatis berakhir dengan pemulihan penuh atau
tidak lengkap(6).

2.5 Manajemen Diagnosis


a. Anamnesis
Setiap penilaian medis lengkap mencakup riwayat mekanisme cedera
atau trauma. Seringkali, riwayat seperti itu tidak dapat diperoleh dari
pasien yang mengalami trauma; oleh karena itu, keluarga harus
memberikan informasi ini. Anamnesis dan riwayat AMPLE adalah
mnemonik yang berguna untuk tujuan ini(20):
Allergies/Alergi
Medications currently used/Obat-obatan yang sedang digunakan
Past illnesses/Pregnancy/Penyakit/Kehamilan yang lalu
Last meal/Makanan terakhir
Events/Environment related to the injury/Peristiwa/Lingkungan yang
berhubungan dengan cedera
Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera.
Pengetahuan tentang mekanisme cedera dapat meningkatkan pemahaman
tentang keadaan fisiologis pasien dan memberikan petunjuk untuk
mengantisipasi cedera. Beberapa cedera dapat diprediksi berdasarkan arah
dan jumlah energi yang berhubungan dengan mekanisme cedera. Pola
cedera juga dipengaruhi oleh kelompok umur dan aktivitas. Cedera dibagi
menjadi dua kategori besar: trauma tumpul dan trauma tembus. Jenis
cedera lain yang informasi riwayatnya penting mencakup cedera termal
dan cedera yang disebabkan oleh lingkungan berbahaya(20).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada multiple trauma dimulai dengan Pemeriksaan
umum nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu dan saturasi oksigen dinilai

11
dan dicatat. Pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala, struktur
maksilofasial, tulang belakang leher dan leher, dada, perut dan panggul,
perineum/rektum/vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf (9,20).
Kepala
Mengevaluasi kepala untuk mengidentifikasi semua cedera neurologis
terkait dan cedera signifikan lainnya. Seluruh kulit kepala dan kepala
harus diperiksa untuk mengetahui adanya laserasi, kontusio, dan bukti
adanya patah tulang. Karena edema di sekitar mata nantinya dapat
menghalangi pemeriksaan mendalam, maka mata harus dievaluasi ulang
untuk(20):
a. Ketajaman penglihatan
b. Ukuran pupil
c. Perdarahan pada konjungtiva dan/atau fundus
d. Cedera tembus
e. Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi edema)
f. Dislokasi lensa
Struktur Maksilofasial
Pemeriksaan wajah harus mencakup palpasi seluruh struktur tulang,
penilaian oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak.
Trauma maksilofasial yang tidak berhubungan dengan obstruksi jalan
napas atau perdarahan besar harus ditangani hanya setelah pasien stabil
dan cedera yang mengancam nyawa telah ditangani(20).

Gambar 2.2. Trauma multiple pada daerah kelapa dan wajah (ATLS)

12
Leher
Pasien dengan trauma maksilofasial atau kepala harus dianggap
mengalami cedera tulang belakang leher/servikal (misalnya patah tulang
dan/atau cedera ligamen), dan gerakan tulang belakang leher harus
dibatasi. Tidak adanya defisit neurologis tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya cedera pada tulang belakang leher dan cedera
tersebut harus diperkirakan sampai evaluasi tulang belakang leher selesai.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri tekan
tulang belakang leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan fraktur
laring dapat diketahui pada pemeriksaan mendetail. Arteri karotis harus
dipalpasi dan diauskultasi untuk mengetahui adanya bruit(19,20).
Dada
Evaluasi visual pada dada, baik anterior maupun posterior, dapat
mengidentifikasi kondisi seperti pneumotoraks terbuka dan faill chest.
Evaluasi lengkap pada dinding dada memerlukan palpasi seluruh rongga
dada, termasuk tulang clavicula, tulang costae, dan tulang sternum.
Tekanan pada tulang dada bisa terasa nyeri jika tulang dada retak atau
terjadi pemisahan kostokondral. Kontusio dan hematoma pada dinding
dada akan mengingatkan dokter akan kemungkinan adanya cedera
tersembunyi. Cedera dada yang signifikan dapat bermanifestasi dengan
nyeri, dispnea, dan hipoksia. Evaluasi meliputi inspeksi, palpasi,
auskultasi dan perkusi. Auskultasi dilakukan pada bagian atas dinding
dada anterior untuk pneumotoraks dan pada dasar posterior untuk
hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh dan penurunan tekanan nadi dapat
mengindikasikan tamponade jantung. Selain itu, tamponade jantung dan
tension pneumothorax diduga disebabkan oleh adanya distensi vena
leher. Perkusi dada menunjukkan hiperresonansi(19,20).
Abdomen dan Pelvis
Pemeriksaan awal yang normal pada perut tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya cedera intraabdomen yang signifikan. Pemeriksaan
perut mengikuti format ‘look, listen, feel’ atau 'lihat, dengar, rasakan'.

13
Pasien harus diperiksa sepenuhnya, dan perut anterior harus diperiksa
apakah ada luka, lecet, dan memar. Sisi flank dan perut bagian belakang
serta punggung harus diperiksa. Auskultasi sulit dilakukan di ruang
resusitasi yang bising, namun dapat menunjukkan tidak adanya bising
usus yang disebabkan oleh darah bebas intraperitoneal atau cairan
gastrointestinal. Perkusi dan palpasi dapat menunjukkan nyeri tekan atau
peritonisme. Alat kelamin dan perineum harus diperiksa, dan
pemeriksaan rektal dilakukan selama log-roll. Patah tulang panggul dapat
dicurigai dengan ditemukannya ekimosis pada sayap iliaka, pubis, labia,
atau skrotum. Nyeri pada palpasi cincin panggul merupakan temuan
penting pada pasien yang waspada. Selain itu, penilaian denyut perifer
dapat mengidentifikasi cedera pembuluh darah(19,20).

Gambar 2.3. Trauma multiple yang terdiri dari trauma dada dan trauma
abdomen(20)
Perineum, Rectum, dan Vagina
Perineum harus diperiksa apakah ada kontusio, hematoma, laserasi,
dan perdarahan uretra. pemeriksaan rektal dapat dilakukan untuk menilai
keberadaan darah dalam lumen usus, integritas dinding rektal, dan
kualitas tonus sfingter. Pemeriksaan vagina sebaiknya dilakukan pada
pasien yang berisiko mengalami cedera vagina. Dokter harus menilai

14
adanya darah di rongga vagina dan laserasi vagina. Selain itu, tes
kehamilan harus dilakukan pada semua wanita usia subur(19,20).
Sistem Muskuloskeletal
Ekstremitas harus diperiksa dengan format ‘look, feel, move’ atau
'lihat, rasakan, gerakkan' untuk mengetahui adanya memar dan kelainan
bentuk. Palpasi tulang dan pemeriksaan nyeri tekan dan gerakan
abnormal membantu dalam identifikasi fraktur tersembunyi(19,20).
Sistem Neurologis
Pemeriksaan neurologis komprehensif mencakup evaluasi motorik dan
sensorik pada ekstremitas, serta evaluasi ulang tingkat kesadaran pasien
serta ukuran dan respons pupil. Skor GCS memfasilitasi deteksi dini
perubahan dan tren status neurologis pasien(19,20).
Tabel 2.4. Pemeriksaan Neurologi pada pasien dengan trauma(21)

c. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pengujian laboratorium pada pasien trauma harus dipandu oleh
penilaian klinis dan kebutuhan dinamis masing-masing pasien. Jika
digunakan secara bijaksana, studi diagnostik ini dapat memberikan
ukuran obyektif mengenai kecukupan resusitasi, memandu keputusan
transfusi, menilai koagulopati, memberikan informasi dasar untuk
penilaian yang sedang berlangsung, dan membantu dalam pengelolaan
kondisi komorbiditas, seperti gangguan ginjal dan diabetes mellitus.
Kadar elektrolit, pemeriksaan fungsi hati, rasio normalisasi

15
internasional (INR), urinalisis, golongan darah dan skrining (atau
pencocokan silang, tergantung pada tingkat keparahan cedera), kadar
laktat, dan defisit basa harus ditentukan pada semua pasien trauma
yang sakit kritis. Tes kehamilan harus dilakukan pada semua pasien
trauma wanita usia subur. Pengujian serum β-human chorionic
gonadotropin (β-hCG) dapat menghindari keterlambatan dalam
memperoleh spesimen urin. Penentuan tingkat laktat, defisit basa, dan
kesenjangan anion dapat membantu mengidentifikasi hipoperfusi
subklinis dan melacak kecukupan resusitasi. Kadar laktat serum serial
berguna dalam menilai upaya resusitasi pada pasien trauma dengan
tanda vital abnormal atau temuan lain yang menunjukkan
hipovolemia(18).
b. Radiologi
Pendekatan awal untuk evaluasi radiologi pasien trauma meliputi
serangkaian radiograf foto polos trauma (lateral c-spine, supine chest
radiograph, dan pelvis). Radiografi seri trauma harus diikuti dengan
penilaian terfokus dengan sonografi pada trauma atau Focused
Assessment With Sonography In Trauma (FAST). Survei pencitraan
sekunder melibatkan pemeriksaan cepat dari kepala hingga kaki,
termasuk CT dan angiografi. Rekomendasi alur kerja pencitraan yang
paling umum diikuti pada pasien politrauma tergantung pada stabilitas
hemodinamik(10).
Bukti sonografi dari cairan intra-abdomen bebas, perdarahan panggul,
hemo-atau pneumotoraks, dan efusi perikardial atau tamponade
jantung mengarahkan manajemen bedah pada pasien. Pemeriksaan
abdomen dengan temuan cairan bebas yang relevan pada pasien
hipotensi dapat mengidentifikasi pasien yang membutuhkan
laparotomi darurat, dengan sensitivitas yang baik. Sebagai catatan,
tidak adanya cairan intraperitoneal pada USG tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya cedera intra-abdomen atau retroperitoneal.
Whole Body CT (WBCT) digunakan pada kasus multitrauma untuk

16
mengurangi waktu diagnosis, dapat digunakan pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil(17-20).

Gambar 2.4. Pasien multipel trauma dengan fraktur torakolumbalis. Contoh


kasus 1 (A, B dan C): Fraktur T12-L1 tipe C berhubungan dengan trauma
kranioensefalik dan hemotoraks. Contoh kasus 2 (D, E, F dan G): Fraktur L1-L2
tipe C berhubungan dengan patah tulang parah pada ekstremitas atas dan bawah
(11)
.
Pada tahun 2014, konsensus internasional mengusulkan definisi dan
mengidentifikasi pasien “politrauma” sebagai pasien dengan cedera signifikan
pada tiga titik atau lebih pada dua atau lebih lokasi anatomi Abbreviated
Injury Score (AIS) yang berbeda dalam hubungannya dengan satu atau lebih
variabel tambahan seperti: tekanan darah sistolik lebih rendah atau sama
dengan 90 mmHg, skor Glasgow lebih rendah atau sama dengan 8, kelebihan
basa lebih rendah atau sama dengan -6 mmol/L, rasio normalisasi
internasional lebih tinggi atau sama dengan 1,4 atau usia lebih tinggi atau
sama dengan 70 tahun(12).
Tabel 2.5. Kriteria diagnosis politrauma atau multiple trauma(13)

Tabel 2.6. Abbreviated Injury Score (AIS)(17)

17
Injury Severity Score (ISS) adalah sistem penilaian anatomi yang memberikan
skor keseluruhan untuk pasien dengan multipel trauma. Setiap cedera diberi
skor skala cedera yang disingkat (AIS) dan dialokasikan ke salah satu dari
enam wilayah tubuh. Skor AIS tertinggi di setiap wilayah tubuh digunakan.
Skor tiga bagian tubuh yang mengalami cedera paling parah dikuadratkan dan
dijumlahkan untuk menghasilkan skor ISS(14).

Skor ISS bernilai dari 0 hingga 75. Jika suatu cedera diberi nilai AIS 6
(Cedera yang tidak dapat bertahan hidup), skor ISS secara otomatis
ditetapkan menjadi 75. Skor ISS sebenarnya adalah satu-satunya sistem
penilaian anatomi yang digunakan dan berkorelasi linier dengan angka
kematian, morbiditas, rawat inap di rumah sakit dan ukuran keparahan
lainnya. Trauma mayor dianggap bila ISS>15. Bolorunduro dkk.
mengkategorikan dan memvalidasi ISS sebagai berikut(14):
<9 = Ringan
9 – 15 =Sedang
16- 24 = Parah
>/=25 = Mendalam

18
Tabel 2.7. Cara menentukan Injury Severity Score (ISS) menggunakan
Abbreviated Injury Score (AIS)(14)

2.6 Komplikasi
Kombinasi multiple trauma pada trauma tulang, abdomen, dan thoraks,
pendarahan hebat, kontaminasi mikroba pada luka, dan syok traumatis
merupakan penyebab tingginya persentase komplikasi. Osteomielitis sering
berkembang karena osteonekrosis lokal dan gangguan sirkulasi tulang. Angka
kejadian komplikasi lokal pasca politrauma ditemukan meningkat 2-3 kali
lipat, begitu pula dengan komplikasi patah tulang(6).
Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian komplikasi pada pasien dengan
trauma multipel telah meningkat. Penyebabnya adalah adanya gangguan
hemodinamik sentral. Politrauma disertai dengan perdarahan sehingga diikuti
spasme pembuluh darah. Karena gangguan metabolisme jaringan terjadi,
reaktivitas imun tubuh menurun tajam, menyebabkan berkembangnya
komplikasi penyakit menular. Kisaran komplikasi multiple trauma yang
terkait dengan infeksi sangat luas. Ini termasuk komplikasi setelah operasi
bedah toraks, abdomen, neurologis, urologi, traumatologis dan berbagai
operasi lainnya (luka bernanah, abses, phlegmon, dll.) serta komplikasi umum
seperti trakeobronkitis, pneumonia, tromboflebitis, sistitis, pielonefritis
ascendant, meningoensefalitis, sepsis dan seterusnya(6).

19
Selain penyakit menular, yang menghalangi seseorang untuk keluar dari
rumah sakit dan menjalani proses rehabilitasi dengan sukses, terdapat
sekelompok besar penyakit tidak menular, yang meliputi: anemia pasca
trauma, fat embolism, phlebothrombosis dan pulmonary embolism, acute
peptic ulce, dan hemopleuritis(6).

Gambar 2.5. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan multiple trauma
atau politrauma. Keterangan : : ISS, Injury Severity Score; MOF, Multi-organ
Failure; ARDS, Adult Respiratory Distress Syndrome(2).

20
2.7 Penatalaksanaan
Trauma multipel yang melibatkan berbagai organ dapat berakibat fatal
karena rumitnya cedera yang terjadi. Langkah-langkah utama pengobatan
pada kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut(15):
(1) Stabilisasi tanda-tanda vital,
(2) Deteksi dini lokasi cedera,
(3) Pengobatan serial termasuk pembedahan, serta pengobatan
endovaskular menggunakan pendekatan multidisiplin.
Penatalaksanaan pasien Politrauma dimulai di lokasi trauma dan harus
selalu mengikuti rangkaian perawatan melalui fase pra-rumah sakit, Unit
Kecelakaan dan Gawat Darurat, serta intervensi bedah pengendalian
kerusakan yang diperlukan. Tujuan dari tim trauma adalah untuk mencatat
masalah pasien, menetapkan prioritas untuk menyelamatkan nyawa dengan
menggunakan protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS) dan
menstabilkan pasien sebelum memindahkan pasien ke perawatan khusus (2).
Sistem Advanced Trauma Life Support (ATLS) didasarkan pada pendekatan
tiga tahap(19):
a. Survei primer dan resusitasi : penilaian cepat dan pengobatan cedera
yang mengancam jiwa.
b. Survei sekunder : evaluasi terperinci dari kepala hingga ujung kaki
untuk mengidentifikasi semua cedera lainnya.
c. Perawatan definitif : perawatan spesialis terhadap cedera yang
teridentifikasi.
a. Primary Survey
Primary Survey mencakup ABCDE perawatan trauma dan
mengidentifikasi kondisi yang mengancam jiwa dengan mengikuti urutan
berikut(20):
Airway : Pemeliharaan jalan napas dengan pembatasan gerakan tulang
belakang leher
Breathing and ventilation : Pernapasan dan ventilasi
Circulation : Sirkulasi dengan kontrol perdarahan

21
Disability : Disabilitas (penilaian status neurologis)
Exposure/Environmental control : Paparan/Pengendalian lingkungan
Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D pada pasien trauma
(penilaian 10 detik) dengan mengidentifikasi diri mereka sendiri,
menanyakan nama pasien, dan menanyakan apa yang terjadi. Respons
yang tepat menunjukkan bahwa tidak ada gangguan besar pada saluran
napas (yaitu, kemampuan berbicara dengan jelas), pernapasan tidak
mengalami gangguan yang parah (yaitu, kemampuan menghasilkan
pergerakan udara untuk memungkinkan berbicara), dan tingkat kesadaran
tidak menurun secara nyata (yaitu, cukup waspada untuk
menggambarkan apa yang terjadi). Kegagalan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan adanya kelainan pada A, B, C,
atau D yang memerlukan penilaian dan penatalaksanaan segera(20).
a. Airway : pemeliharaan jalan napas dengan pembatasan gerak
tulang servikal
Pada evaluasi awal pasien trauma, pertama-tama kaji jalan
napas untuk memastikan patensinya. Penilaian cepat terhadap
tanda-tanda obstruksi jalan napas ini mencakup pemeriksaan
benda asing; mengidentifikasi fraktur wajah, mandibula, dan/atau
trakea/laring serta cedera lain yang dapat mengakibatkan obstruksi
jalan napas; dan pengisapan untuk membersihkan akumulasi darah
atau sekret yang dapat menyebabkan atau menyebabkan
penyumbatan jalan napas. Mulailah tindakan untuk membangun
jalan napas yang paten sambil membatasi gerakan tulang belakang
leher(20).
Jika pasien mampu berkomunikasi secara verbal,
kemungkinan besar jalan napas tidak akan berada dalam bahaya;
namun, penilaian berulang terhadap patensi jalan napas adalah
tindakan yang bijaksana. Selain itu, pasien dengan cedera kepala
parah yang mengalami perubahan tingkat kesadaran atau skor

22
Glasgow Coma Scale (GCS) 8 atau lebih rendah biasanya
memerlukan pemasangan saluran napas definitive(20).
Berbagai manuver tersedia untuk mengamankan jalan napas
yang paten, namun manuver yang digunakan untuk mengamankan
jalan napas dapat menyebabkan atau memperburuk cedera tulang
belakang leher, sehingga pembatasan gerakan tulang belakang
leher wajib dilakukan selama prosedur ini. Manuver dan teknik
yang dapat digunakan untuk mengamankan jalan napas yaitu(20):
1) Chin-Lift Maneuver
Manuver chin-lift dilakukan dengan meletakkan jari salah
satu tangan di bawah mandibula lalu mengangkatnya
perlahan ke atas hingga membawa dagu ke anterior. Dengan
ibu jari tangan yang sama, tekan perlahan bibir bawah untuk
membuka mulut. Ibu jari juga boleh diletakkan di belakang
gigi seri bawah sekaligus mengangkat dagu dengan lembut.
Jangan melakukan hiperekstensi leher saat melakukan
manuver chin-lift(20).

Gambar 2.6. Chin-Lift Maneuver(19,20)


2) Jaw-Thrust Maneuver
Untuk melakukan manuver dorong rahang, pegang sudut
mandibula dengan tangan pada masing-masing sisi dan
kemudian gerakkan mandibula ke depan. Bila digunakan
dengan masker bag, manuver ini dapat menghasilkan kuncian
yang baik dan ventilasi yang memadai. Seperti pada manuver

23
chin-lift, hati-hati jangan sampai mengekstensikan leher
pasien(19,20).

Gambar 2.7 Jaw-Thrust Maneuver dan Jaw thrust dengan O2 mask(19,20)


3) Nasopharyngeal Airway
Nasopharyngeal Airway dimasukkan ke dalam salah satu
lubang hidung dan dimasukkan secara perlahan ke dalam
orofaring posterior. Mereka harus dilumasi dengan baik dan
dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampaknya tidak
terdapat obstruksi. Jika ditemukan hambatan selama
memasukkan di jalan napas, hentikan dan coba lubang hidung
lainnya(19,20).

24
Gambar 2.8 Nasopharyngeal airway(19)
4) Oropharyngeal Airway
Oropharyngeal Airway dimasukkan ke dalam mulut di
belakang lidah. Teknik yang disukai adalah memasukkan
saluran napas oral secara terbalik, dengan bagian melengkung
mengarah ke atas, hingga menyentuh langit-langit lunak.
Pada saat itu, putar perangkat 180 derajat sehingga
lengkungannya menghadap ke bawah, dan selipkan pada
tempatnya di atas lidah. Jangan gunakan cara ini pada anak-
anak, karena memutar alat dapat merusak mulut dan faring.
Sebagai gantinya, gunakan blade lidah untuk menekan lidah
lalu masukkan perangkat dengan sisi melengkung menghadap
ke bawah, berhati-hatilah agar tidak mendorong lidah ke
belakang, yang akan menghalangi jalan napas. Kedua teknik
ini dapat menyebabkan tersedak, muntah, dan aspirasi; oleh
karena itu, gunakan dengan hati-hati pada pasien yang
sadar(19,20).

Gambar 2.9 Oropharyngeal Airway (Solomon)

25
5) Extraglottic and Supraglottic Devices
Perangkat ekstraglotis, atau supraglotis, berikut ini berperan
dalam menangani pasien yang memerlukan bantuan saluran
napas lanjutan, namun intubasi gagal atau kecil
kemungkinannya berhasil. Ini termasuk laryngeal mask
airway (LMA), intubasi laryngeal mask airway, laryngeal
tube airway, intubasi laryngeal tube airway, dan multilumen
esophageal airway(20).

Gambar 2.10 laryngeal mask airway/LMA (kiri atas), supraglottic airway (Kanan
atas), laryngeal tube airway (kiri bawah), dan multilumen esophageal airway
(kanan bawah)(20)
6) Airway Defenitif
Ingatlah bahwa jalan napas definitif memerlukan tube yang
ditempatkan di trakea dengan manset dipompa di bawah pita
suara, selang dihubungkan ke ventilasi yang diperkaya

26
oksigen, dan jalan napas diamankan di tempatnya dengan
metode stabilisasi yang sesuai. Ada tiga jenis saluran napas
definitif: orotrakeal tube, nasotrakeal tube, dan bedah saluran
napas (krikotiroidotomi dan trakeostomi)(20).

Gambar 2.11 Teknik Intubasi(20)

Gambar 2.12 Needle Cricothyroidotomy(20)


b. Breathing : Pernafasan dan Ventilasi
Kepatenan jalan napas saja tidak menjamin ventilasi yang
memadai. Pertukaran gas yang memadai diperlukan untuk
memaksimalkan oksigenasi dan eliminasi karbon dioksida.
Ventilasi memerlukan fungsi paru-paru, dinding dada, dan
diafragma yang memadai; oleh karena itu, dokter harus segera
memeriksa dan mengevaluasi setiap komponen(20).

27
Untuk menilai distensi vena jugularis, posisi trakea, dan
pergerakan dinding dada, paparkan leher dan dada pasien.
Lakukan auskultasi untuk memastikan aliran gas di paru-paru.
Inspeksi visual dan palpasi dapat mendeteksi cedera pada dinding
dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perkusi pada dada juga
dapat mengidentifikasi kelainan, namun pada resusitasi yang
bising, evaluasi ini mungkin tidak akurat(20).
Penatalaksanaan segera adalah dengan menstabilkan tulang
belakang leher, mengendalikan perdarahan ekstremitas yang
parah, mengamankan jalan napas, memberikan oksigen dengan
aliran tinggi, dan memberikan ventilasi pada paru-paru jika
pernapasan tidak ada atau tidak memadai. Sangat penting untuk
segera mengidentifikasi dan menangani cedera dada yang
mengancam jiwa selama survei awal/primer, karena ventilasi
tekanan positif pada paru-paru dapat menyebabkan kerusakan
yang cepat; simple pneumothorax dapat diubah menjadi tension
pneumothorax, dan tension pneumothorax akan meningkatkan
tekanan, menyebabkan kolaps dan cardiac arrest. Oleh karena itu,
jika pasien diintubasi dan diberi ventilasi, tanda-tanda
pneumotoraks harus segera dicari dan, jika ada, dilakukan
dekompresi dan drainase. Cedera yang berpotensi mengancam
jiwa kemudian dapat diidentifikasi pada survei sekunder(19).
Setiap pasien yang terluka harus menerima oksigen
tambahan. Jika pasien tidak diintubasi, oksigen harus diberikan
melalui alat penampung masker untuk mencapai oksigenasi yang
optimal. Gunakan oksimeter denyut untuk memantau kecukupan
saturasi oksigen hemoglobin(19).
c. Circulation : Sirkulasi dengan Kontrol Perdarahan
Gangguan peredaran darah pada pasien trauma dapat
disebabkan oleh berbagai cedera. Volume darah, curah jantung,
dan perdarahan merupakan masalah peredaran darah utama yang

28
perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, identifikasi syok
bergantung pada penilaian klinis pasien secara cepat, dengan
pengukuran tanda-tanda vital yang tepat. Urutan “look, listen,
feel” harus diterapkan untuk mengidentifikasi tanda-tanda syok
hipovolemik; tekanan darah dan denyut nadi saja tidak cukup(19,20).
Kontrol perdarahan yang pasti sangat penting, bersamaan
dengan penggantian volume intravaskular yang tepat. Akses
vaskular harus dibuat; biasanya dua kateter vena perifer berukuran
besar dipasang untuk memberikan cairan, darah, dan plasma(19,20).
Resusitasi volume yang agresif dan berkelanjutan bukanlah
pengganti pengendalian perdarahan yang definitif. Syok yang
berhubungan dengan cedera paling sering berasal dari
hipovolemik. Dalam kasus seperti ini, mulai terapi cairan IV
dengan kristaloid. Semua larutan IV harus dihangatkan baik
dengan penyimpanan di lingkungan yang hangat (yaitu, 37°C
hingga 40°C, atau 98,6°F hingga 104°F) atau diberikan melalui
perangkat penghangat cairan. Bolus 1 L larutan isotonik mungkin
diperlukan untuk mencapai respons yang sesuai pada pasien
dewasa. Jika pasien tidak responsif terhadap terapi kristaloid awal,
ia harus menerima transfusi darah. Cairan diberikan secara
bijaksana, karena resusitasi yang agresif sebelum mengendalikan
perdarahan telah terbukti meningkatkan mortalitas dan
morbiditas(19,20).
Pasien trauma yang terluka parah berisiko mengalami
koagulopati, yang selanjutnya dapat dipicu oleh tindakan
resusitasi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan siklus perdarahan
berkelanjutan dan resusitasi lebih lanjut, yang dapat diatasi dengan
penggunaan protokol transfusi masif dengan komponen darah
yang diberikan dengan rasio rendah yang telah ditentukan(19,20).
Satu studi yang mengevaluasi cairan pasien trauma di UGD
menemukan bahwa resusitasi kristaloid lebih dari 1,5 L secara

29
independen meningkatkan kematian. Beberapa pasien luka parah
datang dengan kondisi koagulopati, sehingga memberikan asam
traneksamat terlebih dahulu pada pasien luka parah. Penelitian
militer di Eropa dan Amerika menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup ketika asam traneksamat diberikan dalam
waktu 3 jam setelah cedera. Bila bolus di lapangan, infus tindak
lanjut diberikan selama 8 jam di rumah sakit(19,20).
Pedoman Advanced Trauma Life Support (ATLS) saat ini
menstandarkan rasio cairan pengganti terhadap kehilangan dan
merekomendasikan 1 L larutan isotonik diinfuskan pada semua
pasien yang mengalami syok. Jika pasien dewasa tidak responsif
terhadap terapi kristaloid liter awal, darah diindikasikan tranfusi
darah. Protokol transfusi masif biasanya digunakan pada pasien
dengan syok hemoragik berat. Data terbaru menunjukkan bahwa
penggunaan rasio plasma, trombosit, dan sel darah merah 1:1:1
dapat mengakibatkan hemostasis lebih awal, meskipun tidak ada
perbedaan signifikan dalam angka kematian yang tercatat. Kami
merekomendasikan penggunaan rasio produk darah 1:1:1 atau
1:1:2 berdasarkan kebijakan dan prosedur institusi tertentu.
Penggunaan cairan secara bijaksana akan mencegah resusitasi
berlebihan dan komplikasi terkait(18).
Penggunaan agen antifibrinolitik, asam traneksamat (TXA),
telah terbukti menurunkan angka kematian pada pasien trauma
yang berisiko mengalami perdarahan besar jika diberikan dalam
satu jam pertama setelah cedera. Setiap pasien trauma dengan
perdarahan signifikan secara klinis, atau mereka yang yang
mengalami syok, harus menerima 1 g TXA intravena selama 10
menit, diikuti dengan infus 1 g selama 8 jam. Infus TXA harus
dipisahkan dari produk darah baik untuk sementara atau melalui
jalur IV/IO terpisah. Pemberian TXA hingga 3 jam setelah trauma

30
menunjukkan manfaat kematian, namun pemberian lebih awal
(dalam waktu satu jam) lebih baik(18).
Pengendalian perdarahan dicapai dengan memberikan
tekanan langsung pada luka yang berdarah dengan balutan yang
sesuai, dan meninggikan bagian yang terkena jika memungkinkan.
Luka dapat dibalut dengan balutan, dan balutan melingkar
diterapkan di sekitar dan di atas luka yang dibalut. Perban spesialis
telah dirancang untuk tujuan ini, seperti Olaes™ Modular
Bandage. Tourniquet telah dikembangkan untuk mengendalikan
perdarahan ekstremitas perifer, dengan perangkat seperti Combat
Application Tourniquet (C-A-T ™). Setelah dipasang dengan
benar, ekstremitas distal menjadi iskemik dan perfusi harus
dipulihkan dalam waktu 2 jam, untuk menghindari kerusakan
iskemik yang berkepanjangan, namun tourniquet tidak boleh
dilonggarkan atau dilepas sampai ahli bedah tersedia untuk
memperbaiki cedera secara pasti. Dua tourniquet harus dipasang
pada ekstremitas bawah dan satu pada lengan(19).
d. Disability (Evaluasi Neurologis)
Evaluasi neurologis yang cepat menentukan tingkat
kesadaran pasien serta ukuran pupil dan reaksinya;
mengidentifikasi adanya tanda-tanda lateralisasi; dan menentukan
tingkat cedera tulang belakang, jika ada(20).
Cedera otak primer diakibatkan oleh efek struktural dari
cedera pada otak. Pencegahan cedera otak sekunder dengan
mempertahankan oksigenasi dan perfusi yang adekuat merupakan
tujuan utama penatalaksanaan awal. Pasien yang terbukti
mengalami cedera otak harus dirawat di fasilitas yang memiliki
dokter dan sumber daya untuk mengantisipasi dan mengelola
kebutuhan pasien tersebut. Ketika sumber daya untuk merawat
pasien-pasien ini tidak tersedia, pengaturan pemindahan harus
dimulai segera setelah kondisi ini diketahui. Demikian pula,

31
konsultasikan dengan ahli bedah saraf setelah cedera otak
diketahui. Ventilasi harus dipantau dengan kapnografi, dan
volume menit disesuaikan untuk menjaga EtCO2 tetap rendah (4,5
kPa). Tingkat saturasi oksigen harus dipertahankan di atas 95%
dan estimasi gas darah arteri berurutan harus dilakukan untuk
memastikan tekanan parsial oksigen dipertahankan dalam kisaran
normal (> 13 kPa). Cedera otak sekunder harus diminimalkan
dengan oksigenasi yang optimal, ventilasi dan manajemen tekanan
darah(19,20).
e. Exposure and Environmental Control
Selama survei awal, lepas seluruh pakaian pasien, biasanya
dengan memotong pakaiannya untuk memudahkan pemeriksaan
dan penilaian menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi
pasien dengan selimut hangat atau alat penghangat eksternal untuk
mencegah pasien mengalami hipotermia di area penerima trauma.
Hangatkan cairan infus sebelum dimasukkan, dan pertahankan
lingkungan yang hangat. Hipotermia dapat terjadi saat pasien
datang, atau dapat terjadi dengan cepat di UGD jika pasien tidak
mengenakan pakaian dan diberi cairan bersuhu ruangan atau darah
yang didinginkan secara cepat. Karena hipotermia merupakan
komplikasi yang berpotensi mematikan pada pasien cedera,
lakukan tindakan agresif untuk mencegah hilangnya panas tubuh
dan memulihkan suhu tubuh(20).
b. Secondary survey
Survei sekunder adalah evaluasi terperinci dari kepala hingga ujung
kaki untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak diketahui pada
survei primer. Pemeriksaan ini dilakukan setelah survei awal selesai, jika
pasien cukup stabil dan tidak memerlukan perawatan definitif segera;
sebenarnya hal ini mungkin terjadi setelah operasi, atau di unit perawatan
intensif (ICU). Pentingnya survei sekunder adalah bahwa cedera yang
relatif ringan (misalnya dislokasi sendi kecil dan patah tulang) dapat

32
terlewatkan selama survei primer dan resusitasi namun dapat
menyebabkan morbiditas jangka panjang jika diabaikan(20).
Survei sekunder tidak dimulai sampai survei primer (ABCDE)
selesai, upaya resusitasi dilakukan, dan perbaikan fungsi vital pasien
telah terlihat. Bila ada sumber daya tambahan yang tersedia, sebagian
survei sekunder dapat dilakukan sementara lainnya evaluasi survei
primer. Metode ini sama sekali tidak boleh mengganggu kinerja survei
primer, yang merupakan prioritas tertinggi(20). Komponen survei sekunder
adalah(19):
1. Riwayat Sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
3. Periksa ‘tabung dan jari di setiap lubang’
4. Pemeriksaan neurologis
5. Tes diagnostik lebih lanjut
6. Evaluasi ulang.
Pasien trauma harus dievaluasi ulang terus-menerus untuk
memastikan bahwa temuan baru tidak diabaikan dan untuk menemukan
adanya kemunduran pada temuan sebelumnya. Pemantauan terus
menerus terhadap tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan keluaran urin
sangat penting. Untuk pasien dewasa, diinginkan untuk mempertahankan
keluaran urin pada 0,5 mL/kg/jam. Pada pasien anak yang berusia lebih
dari 1 tahun, keluaran 1 mL/kg/jam biasanya sudah cukup. Analisis ABG
berkala dan pemantauan CO2 end-tidal berguna pada beberapa pasien.
Meredakan rasa sakit yang parah merupakan bagian penting dari
pengobatan pasien trauma. Banyak cedera, terutama cedera
muskuloskeletal, menimbulkan nyeri dan kecemasan pada pasien yang
sadar. Analgesia yang efektif biasanya memerlukan pemberian opiat atau
ansiolitik secara intravena (suntikan intramuskular harus dihindari)(20).

33
Tabel 2.8. Secondary Survey of Trauma Patients(18)

34
Gambar 2.13 Field Triage Decision Scheme. EMS, emergency medical
services(21)

35
Tabel 2.9 Primary survey dan Secondary survey(22)

c. Perawatan Definitif
Politrauma telah berkembang selama beberapa dekade, begitu pula model
dan prinsipnya manajemen definitif yaitu :
1) Traumatic brain injury (TBI) dan Ektremitas
Pada pasien dengan cedera ekstrakranial dan TBI, gangguan sawar
darah otak mempotensiasi masuknya sitokin proinflamasi, dan oleh
karena itu, otak lebih rentan terhadap gangguan sekunder, seperti
iskemia, hipotensi, sepsis, kejang, atau intervensi bedah. Bila
didapatkan lesi intrakranial yang indikasi untuk dilakukan operasi
(perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan intraserebral).
Head Up 30o dan Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk
resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang
terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen
untuk nyeri ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada

36
penderita. Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide
atau ondansentron) dan anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin
atau omeprazole) jika penderita muntah. Berikan Cairan hipertonik
(mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak operable
pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg.
BB pada keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x
100 cc manitol 20% dalam 24 jam. Berikan Phenytoin (PHT)
profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan dosis 300
mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi
kejang, PHT diberikan sebagai terapi. Dengan demikian
penatalaksanaan fraktur ekstremitas dengan TBI yang terjadi
bersamaan harus bergantung pada kondisi fisiologis, tingkat
keparahan cedera otak, stabilitas hemodinamik saat datang, sifat
cedera ekstremitas, dan jika kondisi umum memungkinkan, fiksasi
definitif dini harus menjadi hal yang biasa dan bukan pengecualian(4).
2) Trauma Thoraks dan Ekstremitas
Mengingat kontroversi ini, kuantifikasi tingkat keparahan
trauma dada dianggap memungkinkan prediksi komplikasi dan
memungkinkan penatalaksanaan yang lebih baik pada pasien
politrauma dengan cedera dada. Selanjutnya, ketersediaan sistem
penilaian mengenai trauma dada seperti Thoracic Trauma Severity
(TTS) telah meningkatkan prediksi komplikasi. Pape dkk.
menerbitkan rekomendasi mengenai manajemen fraktur pada pasien
politrauma. Mereka menganjurkan pendekatan bedah bertahap untuk
stabilisasi patah tulang dibandingkan fiksasi beberapa patah tulang
secara bersamaan dalam waktu 24 jam setelah cedera pada pasien
tidak stabil yang berisiko dan fiksasi patah tulang definitif pada
pasien stabil berdasarkan fisiologi masing-masing pasien. Mengingat
manfaat fiksasi fraktur dini pada pasien politrauma dengan cedera
dada dengan penurunan komplikasi dan mortalitas, fiksasi fraktur

37
definitif mungkin harus terus dilakukan pada pasien politrauma stabil
dengan trauma dada(4).
3) Trauma abdomen dan ekstremitas
Trauma merupakan salah satu penyebab paling umum perdarahan
yang tidak terkontrol pada trauma. Penggunaan laparotomi yang
dapat mengurangi angka kematian yang berhubungan dengan kondisi
seperti sindrom kompartemen abdomen. Demikian pula, Vallier et al
melaporkan bahwa fiksasi fraktur definitif dini termasuk fiksasi
tulang belakang aman pada pasien politrauma. Karena manfaat fiksasi
fraktur dini terhadap fungsi paru dan mortalitas secara keseluruhan,
fiksasi fraktur dini mungkin harus terus dilakukan pada pasien stabil
yang dipilih secara hati-hati dengan cedera perut(4).

Gambar 2.14 Alogaritma Multipel Trauma(1)

38
Meskipun definisi suatu penyakit rumit dan seringkali bersifat filosofis,
politrauma tentu saja mampu memenuhi kriteria praktis apa pun untuk
penyakit akut atau jangka panjang. Namun, hal tersebut hanya dianggap
sebagai sebuah kecelakaan dan digambarkan sebagai sekedar daftar trauma
yang ditangani oleh beberapa subspesialis yang berkompenten pada organ
atau bagian tubuh tertentu. Pengobatan penderita politrauma dan pencegahan
komplikasi memerlukan perawatan medis khusus. Dan melakukan manipulasi
semacam itu hanya mungkin dilakukan di rumah sakit multidisiplin yang
memiliki semua peralatan dan dokter yang diperlukan(6,16).
2.8 Prognosis
Meskipun prognosisnya buruk, pasien tetap memiliki mobilitas dan
fungsi yang cukup untuk menghindari ketergantungan total pada orang lain
dalam tugas dan aktivitas sehari-hari. Pemulihan kemampuan dan otonomi
yang berarti terus dibangun kembali. Sebenarnya, pasien dengan trauma
multipel yang parah memiliki prognosis kelangsungan hidup yang baik,
namun kualitas hidup pasca trauma masih belum sepenuhnya memuaskan.
Terutama masalah psikologis dan nyeri kronis yang menyebabkan hilangnya
kualitas dalam kehidupan sehari-hari. Diketahui bahwa mengetahui parameter
yang mempengaruhi efek trauma setelah trauma sangat penting untuk
perencanaan, pengorganisasian, dan implementasi program rehabilitasi di
fasilitas yang sangat terspesialisasi setelah trauma besar. Diketahui bahwa
sekitar 50% pasien yang mengalami cedera parah mempunyai satu atau lebih
masalah kronis, dan sekitar 25% tidak dapat kembali bekerja sepenuhnya(3).

39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada region atau organ.
2. Mekanisme multipel trauma diakibat dari mekanisme trauma tumpul dan
penetrasi.
3. Manajemen penegakkan diagnosis multipel trauma berdasarkan
konnsensus internasional.
4. Penatalaksaan multipel trauma berdasarkan prinsip Advanced Trauma
Life Support (ATLS) primary dan secondary survey serta perawatan
defenitif sesuai dengan organ yang mengalami trauma.
3.2 Kesimpulan
Sebaiknya dalam pembuatan menggunakan kaidah-kaidah kedokteran
berdasarkan EBM agar dapat diterapkan dalam praktik klinis sehari-hari.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Upadhyaya GK, Iyengar KP, Jain VK, Garg R. Evolving concepts and
strategies in the management of polytrauma patients. J Clin Orthop Trauma.
2021;12(1):58–65.
2. Iyengar KP, Venkatesan AS, Jain VK, Shashidhara MK, Elbana H, Botchu R.
Risks in the Management of Polytrauma Patients: Clinical Insights. Orthop
Res Rev. 2023;15:27–38.
3. Nathaniel P, Sarella K, Maddali SS, Asogwa PO, Kakarparthy R. A Case
Report on Complex Polytrauma with Multiple Complications. Clinical and
Pharmaceutical Research. 2023;3(2):1–4.
4. Devendra A, Nishith P G, Dilip Chand Raja S, Dheenadhayalan J,
Rajasekaran S. Current updates in management of extremity injuries in
polytrauma. J Clin Orthop Trauma. 2021;12(1):113–22.
5. Kozhakhmetov TK, Baymakhanov AN, Oshybayeva AY, Smagulov AM,
Кожахметов ТК, Баймаханов АН, et al. Etiology, Frequency and
Consequences of Polytrauma. Literature Review. Rev Sci Healthc.
2021;23(3):24-34.
6. Gaol HRJL, Wiargitha K, Widiana GR. Korelasi antara parameter faal
hemostasis dan kadar serum laktat sebagai indikator mortalitas pada pasien
multiple trauma di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Bali-
Indonesia. Intisari Sains Medis. 2020;11(2):429–33.
7. Nasution, Ahmad Akbar, OK Ilham Abdullah Irsyam, and M. Hidayat Siregar.
Association of Multiple Trauma Referral Distance with Mortality in H. Adam
Malik General Hospital Medan. Sumatera Medical Journal. 2023;6(2): 93-99.
8. Ciechanowicz D, Samojło N, Kozłowski J, Pakulski C, Żyluk A. Incidence
and etiology of mortality in polytrauma patients: an analysis of material from
Multitrauma Centre of the University Teaching Hospital no 1 in Szczecin,
over a period of 3 years (2017-2019). Polish J Surg. 2020;92(3):1–5.
9. Rizk YE, Rizk ME, Abd El-Rahman AH, El-Nahas AM, El Sherbini AM.
Injury Severity Score (ISS) versus Revised Trauma Score (RTS) as a

41
predictive value and outcome in polytrauma patients. Benha J Appl Sci.
2020;5(6):1–7.
10. Thippeswamy PB, Rajasekaran RB. Imaging in polytrauma Principles and
current concepts. J Clin Orthop Trauma. 2021;16:106–13.
11. Ricciardi GA, Garfinkel IG, Carrioli GG, Svarzchtein S, Casteulani AC,
Ricciardi DO. Early postoperative complications of thoracolumbar fractures in
patients with multiple trauma according to the surgical timing. Rev Esp Cir
Ortop Traumatol. 2021;8(9):1-9.
12. Jeanmougin T, Cole E, Duceau B, Raux M, James A. Heterogeneity in
defining multiple trauma: a systematic review of randomized controlled trials.
Crit Care. 2023;27(1):1–10.
13. Pape HC, Leenen L. Polytrauma management What is new and what is true in
2020 ? J Clin Orthop Trauma. 2021;12(1):88–95.
14. Javali RH, Patil A, Srinivasarangan M. Comparison of Injury Severity Score ,
New Injury Severity Score , Revised Trauma Score and Trauma and Injury
Severity Score for Mortality Prediction in Elderly Trauma Patients. Indian
Journal of Critical Care Medicine. 2019:23(2);0–4.
15. Kim SH, Song S, Cho HS, Park CY. Hybrid approach for treatment of
multiple traumatic injuries of the heart, aorta, and abdominal organs. Korean J
Thorac Cardiovasc Surg. 2019;52(5):372–5.
16. Balogh ZJ. Polytrauma: It is a disease. Injury. 2022;53(6):1727–9.
17. Pepe, C. H., et al. Textbook of Polytrauma Management A Multidisciplinary
Approach. 3rd Edition. Switzerland : Springer Nature. 2022.
18. Walls, R.M. at al. Rosen’s Emergency Medicine: Concepts And Clinical
Practice. Philadelphia :ELSEIVER. 2023.
19. Blom, A. et al. Apley and Solomon’s System of Orthopaedics and Trauma.
10th Edition. Boca Raton : CRC Press Taylor & Francis. 2018.
20. Stewart, R.M., et al. Advanced Trauma Life Support® Student Course
Manual. 10th Edition. United States of America : American College of
Surgeons. 2018.

42
21. Feliciano, D.V., et al. Trauma. 9th Edition. United States of America :
McGraw-Hill Education
22. Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Bedah Saraf. Jakarta : Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf
Indonesia. 2016.

43

You might also like