You are on page 1of 1

write.

as

𝚙𝚕𝚎𝚊𝚜𝚞𝚛𝚎 𝚙𝚊𝚕𝚊𝚌𝚎

Major Warnings :
BDSM, dominant-submissive
relationship, prostitution, physical
abuse.

Ada sedikit kata-kata eksplisit.

Tags :
bxb, dom!Chris, sub!Minho,
top!Chris, bottom!Minho, owner-
slave, slave sex Minho, Chris has
dacryphillia ( fetish of tears), dildo,
hand-cuffs, cockring, restraining,
degrading, praising, barebacking,
face slap, butt slap, thigh slap,
mouthfuck, nipple play, hard
fingering, overstimulating,
grooming, teasing, Chris is a sadist
on bed but gentleman off bed.

Mild one because this is his first


ever experience.

Tangan Chris gemetar hebat saat


dia membolak-balik halaman buku
katalog yang sampulnya terbuat
dari kulit sintetis itu. Lembar demi
lembar, foto demi foto dia lihat.
Dari tadi, belum ada satu pun yang
berhasil menarik perhatiannya.
Wanita di depannya, yang berdiri
di balik meja resepsionis masih
sabar menunggu Chris memilih.

Hm?

Oh, bukan. Chris bukan sedang


memilih suatu barang. Bukan juga
sedang belanja. Katalog yang dia
pegang itu katalog khusus yang
tidak akan bisa dilihat di mana-
mana lagi selain di tempat ini.
Bahkan, tempat yang sedang Chris
sambangi ini juga bukan
sembarang tempat yang akan
didatangi orang pada umumnya.

“Gimana? Masih belum ngerasa


ada yang cocok?” Wanita itu
bertanya, dengan suara yang
rendah dan sensual.

Chris menggelengkan kepalanya.


Dia bisa merasakan tangannya
dingin tapi basah, “Mi Lady, ini
pengalaman pertama saya. Bisa
dibilang saya masih awam. Dan
saya nggak mau uang dan waktu
saya sia-sia.”

“Oh, kalau begitu sini saya bantu,”


wanita yang dipanggil Mi Lady tadi
meminta katalognya kembali dari
tangan Chris. Dia membalikkan
lembarannya dengan cepat seolah
hafal halaman mana yang mau dia
tunjukkan, “dominan, ya?”

Chris menaikkan satu alisnya,


“sorry?”

“Kamu dominan, kan?”

“Oh,” Chris akhirnya mengerti


maksud pertanyaannya, “iya, saya
dominan.”

“So, a rope-bunny sounds good to


you?”

Chris menelan ludahnya.


Mendengar istilah itu saja sudah
bisa bikin tubuhnya panas. Apalagi
membayangkannya. Tangan dan
kaki yang diikat, sama sekali tidak
berdaya dan tidak bisa bergerak di
bawah tangannya.

“Absolutely.”

“Ada lagi kriteria yang sekiranya


dicari?”

“As long as he submitted to me, then


everything is fine Mi Lady.

He.

Wanita yang mungkin berumur


tiga puluhan akhir dengan
dandanan serba gelap dan gothic
itu tersenyum. Bibirnya yang
disapu dengan lipstik berwarna
merah gelap seperti darah
terangkat bangga.

“Kalau gitu, saya


merekomendasikan dia,” katalog
tadi diberikan lagi pada Chris,
menunjukkan halaman yang belum
sempat dia cek sebelumnya.

Fotonya terlihat sangat jelas.


Bahkan sekali melihat wajahnya,
Chris tau dia pasti salah satu yang
termahal di tempat ini. Laki-laki
itu mempunyai fitur yang maskulin
tapi juga feminin. Dia tampan, tapi
juga cantik. Matanya yang indah
menggoda berhasil membuat Chris
merinding.

“Minho,” Chris membaca huruf


yang terangkai menjadi nama di
sebelah fotonya, “dia free
sekarang?”

“No, sebenernya dia udah di book


untuk malam ini. Tapi, if you can
pay more, I will consider it. Bisa lah,
di atur.”

“But, I bet he's one of your most


expensive slave, right?”

“Terbaik pertama malah. Tapi,


terserah kamu. Kalau mau bisa
saya atur. Kalau nggak, ya,
mungkin seminggu lagi baru bisa.”

Chris mengatupkan rahangnya


kuat-kuat. Jujur saja, masalah uang
sama sekali bukan masalah
untuknya. Sebut saja berapa
nominalnya, kartu black card-nya
siap membayar. Dan karena dia tau
finansial bukan masalah, dia juga
ingin dapat pelayanan yang paling
berkesan.

Dia tidak menjawab apa-apa


namun tangannya bergerak
mengambil dompet bermerk
terkenal dari kantong belakang
celana hitamnya. Dia langsung
mengeluarkan kartu pembayaran
andalannya dan dia letakkan di atas
katalog. Tepat di atas foto lelaki
yang bahkan sanggup
menggodanya dari selembar kertas
itu.

“Berapa jam?” Lady bertanya


sambil tangannya sibuk
memasukkan kartu ke mesin
pembayaran.

Sambil berpikir, Chris


menyandarkan badannya ke meja
resepsionis yang jelas terbuat dari
kayu jati yang sudah di varnish
mengkilap, “kalau di tengah-
tengah nanti tiba-tiba saya minta
tambah, bisa?”

“Bisa, mau upgrade room juga bisa.”

“Upgrade room?”

“Pembayaran sekarang ini masih


yang standar. Kamar kecil
berukuran empat kali lima meter
yang dilengkapi peralatan. Untuk
upgrade, ada pilihan suite room.
Lebih private, lebih nyaman,
dilengkapi tempat tidur juga kamar
mandi sendiri. Tidak jauh beda
seperti kamar hotel bintang lima
pada umumnya,” Mi Lady
membalikkan lagi lembaran katalog
ke halaman paling belakang,
menunjukkan foto untuk layanan
suite room.

“Basically, it's not a dungeon-like?”

“Betul.”

Chris mendelikkan bahunya, tanpa


berpikir terlalu panjang dia
langsung memesan pilihan suite
room, selama dua jam, bersama
dengan lelaki yang barusan dia
pilih dari katalog tadi. Minho.

Transaksi dari kartu kreditnya


sudah berhasil. Mi Lady
memberikan kembali kartu dan
kertas notanya pada Chris. Dia
meminta Chris untuk menunggu
selagi dia membawakan 'kertas
pesanan' ke lelaki tadi sekaligus
menyiapkan kamar.

Chris berjalan ke arah kursi sofa


besar yang mempunyai sandaran
tinggi. Berwarna merah anggur
dan rangka kayunya pun tidak
kalah gelap. Semua perabotan yang
ada di tempat ini bernuansa gelap
dan gothic. Sangat cocok dengan
tujuan dari tempat ini sendiri.

Sebenarnya dia sendiri pun


bingung kenapa dia bisa secara
tidak sengaja menemukan tempat
ini. Rumah yang jauh dari
pemukiman dan beroperasi
sebagai penyaluran fantasi seks.

Pleasure Palace.

Sekali dua kali Chris mampu


menahan sisi dirinya yang sudah
lama meronta ingin keluar. Tapi dia
gagal setelah dia tau ini adalah
tempat yang paling cocok
untuknya.

Suara erangan dan teriakan datang


dari lantai bawah tanah dan juga
lantai dasar di mana Chris duduk di
kursi tunggunya. Beberapa kali
terdengar suara sabetan yang
diikuti dengan lolongan nikmat
orang yang bahkan Chris tidak tau
sedang apa dan diapakan.

Kemeja hitam katunnya semakin


basah karena keringat dinginnya.
Celananya semakin sempit
mendengar dan membayangkan
apa yang sedang terjadi di kamar-
kamar sana. Chris memainkan
gelang rantai berwarna silver di
pergelangan tangannya untuk
membantu dia dari groginya.

“Tuan?” Suara Mi Lady


membangunkan Chris dari
lamunannya. Di tangannya ada
kunci berwarna tembaga dengan
gantungan kayu bernomor, dia
sodorkan kunci tadi ke pelanggan
yang akan menikmati pengalaman
pertamanya ini.

Chris langsung berdiri dari


tempatnya, tangannya meraih
kunci. Mi Lady mengarahkan
telapak tangannya ke arah tangga
yang ada di tengah ruangan, persis
di depan meja resepsionis tadi.

“Lantai tiga, di lorong kanan, pintu


kamar ke tiga. Semua alat yang
mungkin mau kamu pakai ada di
laci di bawah tempat tidur,” dia
menjelaskan arahnya, “have an
amazing time with our top first
slave!”

Chris hanya tersenyum dan tak


menjawab. Kakinya sudah
melangkahi anak tangga yang
terbalut dengan karpet halus
berbahan velvet. Masih berwarna
gelap. Dia terus melangkah,
bahkan tidak merasa lelah harus
naik dua lantai untuk mencapai ke
kamarnya.

Di lantai tiga semuanya benar-


benar sepi, entah karena tidak ada
yang menyewa suite room atau
karena memang sengaja dibuat
sangat privacy. Perabotannya
secara kasat mata terlihat jauh
lebih mahal daripada dua lantai di
bawahnya tadi. Pigura foto yang
besar berjejer di dinding.

Chris berbelok ke arah kanan dan


berjalan pelan menghampiri pintu
ke tiga. Dia berdiri di depan pintu
yang terbuat dari kayu dan
gagangnya yang berwarna emas.
Ini pertama kalinya dia ke sini,
melakukan ini. Juga kali
pertamanya dia menyalurkan
hasrat yang sudah dia kubur lama.

Tangannya mengepal, mengetuk


pintu tiga kali sebelum turun
memegang dan memutar gagang
emas tadi. Dia ayunkan terbuka
pintu kamarnya dan mendapati
ruangan yang sangat nyaman.
Bahkan tidak, dalam tanda kutip,
seseram suasana rumah ini.
Semuanya bersih dan rapi. Sedikit
lebih modern dari lainnya.

Semua furniturnya berwarna


coklat mahogani. Tempat tidur
berukuran Queen Size dengan
rangka dipan yang sederhana.
Kursi sofa di sampingnya. Ada TV
di atas lemari kecil. Dispenser air.
Cermin besar yang sengaja
menghadap ke tempat tidur.
Lumayan dingin karena AC yang
sudah dinyalakan. Di samping
pintu masuk kamar, ada pintu lagi
yang mengarah ke kamar mandi.
Hanya saja ruangan ini tidak
memiliki jendela.

Bisa dimengerti, batin Chris.

Dan yang membuat badannya


langsung merinding adalah sosok
yang sedang duduk di ujung
tempat tidur yang dibalut sprei
berwarna putih. Dia hanya
mengenakan kemeja hitam
berbahan sifon yang sangat tipis
dan brief hitam yang juga sangat
tipis untuk bagian bawah
badannya.

Benar-benar siap untuk diterkam.

Matanya melihat ke arah Chris


yang baru memasuki kamar. Sama.
Apa yang Chris rasakan sama
seperti sebelumnya ketika dia
melihat dua mata itu di atas kertas.

“Ngapain ngetok?” Tanya dia


sambil tertawa. Kuping Chris
bereaksi. Suaranya saja sudah
berhasil membuatnya menahan
nafas.

“Oh, harusnya saya langsung


masuk aja, ya?”

Dia tertawa lagi. Seluruh badan


Chris merespon.

“Saya? Barusan ngetok pintu,


sekarang pake saya? Orang yang
sopan banget ya kamu, Tuan...”
Laki-laki yang Chris yakin bernama
Minho itu sekarang sedang
membaca selembar kertas yang dia
pegang dari tadi, “Chris?”

“Mas,” Chris mengoreksi, Minho


mengangkat alisnya, “nggak usah
panggil tuan. Mas aja.”

Budaknya itu tersenyum manis,


sambil mengangguk setuju dengan
permintaan kliennya.

“Jadi, harusnya kayak gimana? Kalo


yang kayak gitu salah?” Chris
berusaha melanjutkan topik
pembicaraan yang sempat
terputus tadi.

“Bukan salah, cuma jarang aja


kasusnya kayak gini. Biasanya
orang yang nyewa aku bakal
langsung masuk dan nerkam,
nggak pake basa-basi langsung
tampar sana-sini.”

Chris menelan ludahnya.


Seandainya Minho tau dia juga
mempunyai pikiran yang hampir
sama tadi waktu matanya
menangkap figur dia pertama kali.

“Oh,” Minho masih membaca


kertas yang ada di tangannya, “hari
ini aku jadi submissive, ok.”

Sebelah alis Chris terangkat, “hari


ini?”

“Aku mau-mau aja kalo jadi dua-


duanya,” akhirnya kertas tadi
Minho letakkan di meja kecil di
samping tempat tidur, “as long as I
earn tons of money then I won't
mind.”

“Oh, tapi kalo disuruh pilih?”

Minho mendelikkan bahunya,


“yang mana aja boleh, yang penting
aku disewa.”

Dari tadi Chris bahkan belum


melangkahkan kakinya mendekat
ke arah tempat tidur. Dia masih
berdiri tepat di depan pintu,
kuncinya masih dia genggam erat
di tangan.

Di atas tempat tidur, Minho


melihat Chris dengan tatapan
heran yang dia samarkan dengan
senyumnya, “kenapa? Sini,” dia
tepuk-tepuk tempat kosong di
sampingnya.

Chris berbalik sebentar untuk


mengunci pintu kamar mereka.
Akhirnya kakinya melangkah maju
mendekat ke arah tempat tidur,
semakin mendekat ke tubuh Minho
yang sudah lebih dari 90%
terekspos. Dia lempar kunci ke
meja yang sama dengan tempat
Minho menaruh lembar kertas
tadi.

Dan sekarang dia sudah duduk


tepat di samping kanan lelaki yang
dia beli malam ini. Wangi white
musk menyerang indera
penciuman Chris, membuatnya
semakin hilang kesadaran
sekaligus memanjakan.

“Hey,” Minho mendekatkan


mukanya. Tangan kanan dia
mengambil tangan kiri Chris yang
dingin. Lembut, jauh beda dengan
permukaan telapak Chris yang
kasar, “I'm your slave tonight. Aku
nggak bisa mulai duluan kalo kamu
nggak mulai.”

Paham. Chris mengerti itu. Tapi


memang ini lah dia. Salah satu
hasrat tertahannya. Begini caranya
dia menjadi dominan, bukan
sekedar kekuatan atau fisik.

Chris membawa tangan kanannya


ke muka Minho. Dia susuri pelan
setiap sudutnya. Dari tulang
pipinya, turun ke rahang dan
berhenti agak lebih lama di bibir
merah mudanya yang merekah. Dia
tekan pelan dengan ibu jarinya. Dia
apit bibir bawah Minho dengan
ruas jari telunjuk dan jari
tengahnya.

Pelan-pelan dia mulai bawa turun


lagi tangannya. Kini menjelajahi
leher putih Minho yang masih
dihiasi dengan sedikit bekas-bekas
merah yang belum hilang.

“Ini, dari pelanggan kamu


sebelumnya?” Tanya Chris sambil
menekan satu tanda di leher yang
lebih terlihat dari lainnya.

“Ah, mungkin.”

“Hmmm. Aku nggak suka.”

“Ahhnn!”

Chris menekannya lebih keras lagi.

You might also like