You are on page 1of 39

HUKUM ACARA

PERADILAN TATA
USAHA NEGARA
DR. H. AJI SUDARMAJI, S.H., M.H.
EKSISTENSI PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA DI INDONESIA

A. ARTI PENTING DIBENTUKNYA PTUN


Negara Republik Indonesia sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negera RI 1945,
berujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
negara dan bangsa yang sejahtera, aman
tertib dan berkarakter. Dalam negara hukum
persamaan kedudukan setiap warga negara
dijamin di hadapan hukum.
Negara hukum menghendaki segala tindakan atau
perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas
atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis
maupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Negara
hukum pada dasarnya tertuma bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut
Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh
dua prinsip, prinsip HAM dan Prinsip Negara Hukum.
Menurut Philipus M. Hadjon Negara hukum hanya 3
macam konsep yaitu rechtsstaat, the rule of law, dan
Pancasila.
Indonesia sebagai negara hukum mendasarkan pada
falsafah Negara Pancasila, yang menurut Philipus M.
Hadjon merumuskan elemen-elemen atau unsur-unsur
negara hukum Pancasila sebagai berikut:
1) keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat berdasarkan asas kerukunan;
2) hubungan fungsional yang proporsional antara
kekuasaan negara;
3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah
dan peradilan merupakan sarana terakhir;
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Salah satu langkah untuk membina,
menyempurnakan dan menertibkan
aparatur dibidang tata usaha negara,
maka dibentukalah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, sebagaimana diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 TAHUN 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ada 2 (dua) alasan penting dibentuknya Peradilan
Tata Usaha Negara:
1. Ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada
hak-hak perorangan sekaligus hak ,asyarakat atas
tindakan sewenang-wenang penguasa yang
merugikan kepentingan warga.
2. Untuk pemerintah, wajib secara terus menerus
membina, menyempurnakan danmenerbitkan
apartur di bidang Tata Usaha Negara agar mampu
menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan
berwibawa serta dalam melaksnakan tugasnya
selalu berdasarkan hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie, selain arti penting
Peradilan Tata Usaha Negara ebagaimana
yang dijelaskan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, para ahli juga
mengemukakan pandangan atau
pemikirannya sendiri tentang perlunya
dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara adalah
dalam rangka mengisi dan menegakkan
negara hukum Indonesia, karena salah satu
unsur negara hukum adalah terdapatnya
Peradilan Tata Usaga Negara.
Meskipun Undang-Undang Peradilan Tata
Usaha Negara diundangkan pada tanggal 29
Desember 1986, namun Pengadilan Tata
Usaha Negara baru dibentuk pada tahun 1991
dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tentang Penerapan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Yang secara efektif dimulai di
seluruh Indonesia sejak ditetapkan Peraturan
Pemerintah tersebut, yaitu pada tanggal 14
Januari 1991.
1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan
oleh :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan:
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara
berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota.
(2) PengadilanTinggi Tata Usaha Negara
berkedudukan di ibukota Provinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
ASAS-ASAS BERACARA DI PTUN
Beberapa Asas Terkait Penyelesaian Pokok
Sengketa:
1) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya
Ringan Asas ini sebenarnya terbagi menjadi tiga,
yakni asas Peradilan Cepat, Peradilan
Sederhana, dan Peradilan Biaya Ringan, namun
biasanya menjadi satu topik pembahasan. Asas
yang pertama misalnya Asas Peradilan Cepat
(Speedy Trial).
Asas ini diadopsi dalam semua ranah peradilan
termasuk peradilan Tata Usaha Negara.
Untuk asas selanjutnya yakni Peradilan
Sederhana. Arti dari asas sederhana ini
adalah proses yang ada dalam hukum
acara peradilan tidaklah rumit, mudah
dipahami dan dijalani. Terakhir adalah
asas biaya ringan yang berarti proses
peradilan tidak memerlukan biaya yang
banyak, dan membebani para pihak yang
beracara mau pun membebani negara
dalam membiayai proses persidangan
dalam perkara probono.
2) AsasPresumptio Justae Causa atau Het
Vermoeden van Rechtmatigheid
Secara harafiah jika diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia ia berarti asas praduga
keabsahan. Dalam ranah hukum
administrasi ia dikenal sebagai
“vermoeden van de rechtmatige toestand
totdat het tegendeel hiervan wordt
bewezen” yakni asas ini berisi kaidah
bahwa suatu norma (termasuk Keputusan)
dianggap sah sampai dibuktikan
sebaliknya.
Dalam konteks peradilan tata usaha negara
berarti ada dua pihak yang berwenang
membatalkan atau menyatakan tidak sah suatu
keputusan (dalam hal ini juga tindakan) yakni
internal pemerintahan sesuai kewenangannya
masing-masing, dan juga pengadilan melalui
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Asas ini mengandung makna bahwa setiap
tindakan penguasa selalu dianggap rechtmatig
sampai ada pembatalan. Dengan adanya asas
ini, maka setiap gugatan tidak menunda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat.
3) Pengujian Marginale Toetsing
Pengadilan dalam menguji
keabsahan suatu Keputusan/
Tindakan Administrasi Pemerintahan
hanya menggunakan pengujian
marjinal, dalam artian hakim hanya
menguji dari segi hukumnya saja
(rechtmatigheid), bukan dari segi
tujuan/kemanfaatan(doelmatigheid).
4) Hakim Bersifat Aktif dan Berperan sebagai Dominus
Litis
Maksud dari Hakim Bersifat Aktif dan berperan
sebagai Dominus Litis adalah dalam rangka
mencari kebenaran materil. Kebenaran Materil
(materiele waarheid) dalam konteks hukum acara
peradilan TUN berarti kebenaran yang sebenar-
benarnya tentang suatu sengketa TUN bukan
hanya berdasarkan dalil dari para pihak. Dominus
Litis berasal dari dua kata Bahasa Latin yakni
Dominus yang artinya “pemilik/penguasa”, dan
litis yang artinya “perkara” secara harafiah
Dominus Litis berarti pihak yang menguasai
perkara.
Artinya hakim dalam perkara atau sengketa
TUN berperan sebagai pihak yang menguasai
perkara, ia dapat memerintahkan pihak
untuk melakukan hal-hal tertentu yang terkait
penyelesaian sengketa. Selain itu Keaktifan
hakim ini dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dalam kedudukan atau relasi
kuasa yang timpang antara Pemerintah
(Tergugat) dengan warga negara
(Penggugat)
Berbeda dengan proses pemeriksaan dalam
hukum acara perdata, di mana hakim bersifat
pasif (lijdelijk). Peranan hakim yang bersifat aktif
(nie lijdelijkeheid van de rechter) dalam proses
persidangan dikarenakan hakim dibebani tugas
untuk mencari kebenaran materiil. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengidikasinya
hakim aktif telah dirmuskan dalam:
a. Pasal 63
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi
gugatan yang kurang jelas.
Dalam pemeriksaan persiapan Hakim: wajib
memberi nasihat kepada penggugat untuk
memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari dan dapat meminta
penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan. Apabila
dalam jangka waktu tiga puluh hari penggugat
belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan
tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut
tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi
dapat diajukan gugatan baru.
b. Pasal 85
Untuk kepentingan pemeriksaan dan
apabila Hakim Ketua Sidang memandang
perlu ia dapat memerintahkan
pemeriksaan terhadap surat yang
dipegang oleh Pejabat Tata Usaha
Negara, atau pejabat lain yang
menyimpan surat, atau meminta
penjelasan dan keterangan tentang
sesuatu yang bersangkutan dengan
sengketa.
5) Ajaran Pembuktian Bebas (Vrije Bewijs)
Yang dimaksud Asas Pembuktian Bebas
adalah Hakim bebas menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian. Hal ini juga merupakan
implikasi dari adanya asas Hakim sebagai
Dominus Litis. Namun kebebasan hakim ini
dibatasi oleh jenis alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat digunakan
dalam penyelesaian sengketa TUN, serta
jumlah minimal alat bukti yang dapat
digunakan untuk memutus suatu sengketa
TUN.
Asas tersebut berbeda dengan pembuktian
menurut hukum acara perdata. pembuktian
tersebut diatur dalam Pasal 1865 BW yang
menyebutkan: Setiap orang yang mendaalilkan
bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guba
neneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut. Berdeda dengan
pembuktian dalam hukum acara perdata, maka
dengan memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung
pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para
pihak, hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat
menentukan sendiri:
a. Apa yang harus dibebani pembuktian.
b. Siapayang harus dibebani pembuktian,
hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja
yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
c. Alatbukti mana saja yang diutamakan
untuk digunakan dalam pembuktian,
dan
d. Kekuatan pembuktian yang telah
diajukan.
6) Tindakan Penguatan (Affirmative Action)
Tindakan Penguatan (Affirmative Action) ini
berarti tindakan-tindakan sementara untuk
menguatkan posisi dari suatu golongan yang
dianggap lebih lemah dari yang lainnya.
Istilah Affirmative Action dapat ditemukan di
dalam Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita
(Convention on Elimination of Discrimination
Against Women - CEDAW) yang telah
diratifikasi Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
Undang-Undang Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita.
Asas Tindakan Penguatan ini juga merupakan
turunan dari asas Dominus Litis. Perwujudan dari
asas ini dalam konteks Hukum Acara Peradilan
TUN adalah dengan adanya tahapan
Pemeriksaan Persiapan dengan tujuan
mempersiapkan gugatan serta meminta data
baik berupa keterangan, surat atau dokumen
dari pihak Tergugat atau pihak lainnya jika
memang belum ada di tangan Penggugat dan
dirasa perlu untuk diperiksa, serta meminta
keterangan para pihak dengan tujuan agar
Penggugat (warga masyarakat) bisa mengakses
segala hal yang ia perlukan untuk membela
haknya di persidangan.
7) Putusan Pengadilan bersifat Erga Omnes
Secara harafiah Erga Omnes berarti mengikat
bagi semua. Artinya dalam konteks putusan
pengadilan adalah Putusan Pengadilan bersifat
mengikat bagi semua pihak baik pihak yang
bersengketa mau pun di luar pihak yang
bersengketa. Hal ini berbeda dengan asas dalam
peradilan perdata yakni putusan hanya mengikat
bagi pihak yang bersengketa (inter-partes). Oleh
karena itu dalam perkara perdata seluruh pihak
yang terkait dalam suatu sengketa harus dijadikan
subjek dalam sengketa, jika pihak tidak lengkap
maka gugatan yang diajukan menjadi kurang
pihak (plurium litis consortium).
Berbeda dengan perkara perdata, dalam sengketa
TUN adanya pihak ketiga dalam perkara yang
sedang berjalan tidaklah menjadi kewajiban namun
pihak ketiga tetap diberi ruang untuk bergabung
dalam perkara yang sedang berjalan.
Asas Erga Omnes ini juga terkait dengan
pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal pihak
Tergugat (Pejabat/Badan TUN) tidak menaati dan
menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap, maka atasan pejabat wajib memerintahkan
Tergugat untuk menjalankannya, dan menjatuhkan
sanksi administratif sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku meski pun ia bukan pihak
dalam sengketa.
8) Ultra Petita Terbatas
Maksud dari Ultra Petita adalah hakim
memutus melebihi atau di luar dari apa
yang diminta oleh para pihak. Apabila
dilihat dari tujuan keberadaan lembaga
peradilan sebagai pihak yang
menjalankan fungsi menyelesaikan
sengketa, sangat logis jika dikatakan hakim
hanya dapat memeriksa dan mengadili
apa yang diajukan para pihak saja.
Akan tetapi berbeda dengan peradilan lainnya,
peradilan tata usaha negara dalam hal ini juga
berfungsi sebagai kontrol dan pengawasan
terhadap pemerintahan baik secara reflektif mau
pun represif, sehingga hakim dalam penyelesaian
sengketa selain memeriksa apa-apa yang diajukan
dalam dalil-dalil para pihak juga dapat memeriksa
aspek-aspek lainnya sepanjang tidak dilarang oleh
undang-undang yang juga merupakan turunan
dari asas hakim sebagai dominus litis. Untuk
menjalankan fungsi pengawasan ini maka hakim
dapat diperbolehkan memberikan “efek kejut”
yang disebut sebagai tindakan corrective justice.
Dalam konteks peradilan tata usaha negara
berarti hakim dapat melakukan reformatio in
peius, yakni mengubah keadaan Penggugat
menjadi lebih buruk dari apa yang diakibatkan
Keputusan/Tindakan, atau juga reformatio in
melius yakni mengubah keadaan Penggugat
menjadi tidak lebih buruk dari sebelum
Keputusan/Tindakan dilakukan. Dalam praktik
pun hal ini sudah sering dilakukan. Reformatio in
Peius pertama kali diperkenalkan di peradilan
tata usaha negara melalui Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI pada Putusan No.
No.5K/TUN/1992 Tanggal 25 Nopember 1993.
Akan tetapi perlu diingat pula bahwa penggunaan
sarana Reformatio in Peius dan Reformatio in Melius
ini hanyalah dalam keadaan darurat saja yang
benar-benar harus digunakan (katup pengaman/
safety valve/veiligheidsklep) karena dalam hukum
administrasi juga dikenal adagium le juges ne
remplace pas l'administration (hakim tidak boleh
menggantikan posisi/kedudukan administrasi
pemerintahan) sehingga pada dasarnya hakim
tidak berwenang mengubah isi keputusan dan
hanya menilai apakah keputusan telah sesuai atau
tidak dengan hukum (asas rechtmatigheid van
bestuur).
Menurut pandangan Zairin Harahap yang
menyimpulkan asas hukum acara Peradilan Tata
Usaha Negara, sebagai berikut:
a. Asas praduga rechtmatig (vermoeden van
rechtmatigheid).
b. Asas audi et alteram partem, yakni para pihak
harus didengar keterangannya.
c. Asas kesatuan beracara.
d. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka.
e. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat dan biaya ringan.
f. Asas dominus litis.
g. Asas sidang terbuka untuk umum.
h. Asas peradilan berjenjang.
i. Asas peradilan sebagai upaya terakhir untuk
mendapatkan keadilan.
j. Asas objektivitas.
k. Gugatan pada dasarnya tidak menenuda
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang dipersengketakan.
KOMPETENSI PERADILAN Kompetensi relatif:
kewenangan suatu
badan pengadilan
ditentukan oleh batas
RELATIF wilayah/daerah
hukumnya.
KOMPETENSI
PERADILAN
Kompetensi absolut:
ABSOLUT kewenangan suatu
badan pengadilan
untuk mengadili suatu
perkara menurut materi
(obyek)nya
SENGKETA TUN
Orang, Badan
Hukum Perdata
(Penggugat)
SUBJEK Melawan:
SENGKETA Badan/Pejabat
SENGKETA TUN (Tergugat)
TUN
OBJEK Keputusan
SENGKETA Tata Usaha
Negara
Pasal 3 (1) Negatif tdk diterbitkan
OBJEK Tidak Tertulis
SENGKETA (2) Fiktif Negatif menolak
TUN Pasal 1
angka 9 UU
No.51/2009 Pasal 2 UU PTUN
KEPUTUSAN Tertulis  Kpts perbuatan hukum pdt.
(BESCHIKKING) (Positif)  Kpts bersifat umum.
PEJABAT TUN  Kpts memerlukan
persetujuan.
 Kpts berdasarkan hkm
pidana.
TIDAK TERMASUK  Putsan pengadilan.
OBJEK SENGKETA  Kpts tata usaha TNI.
TUN  Kpts KPU.
ALUR PEMERIKSAAN SENGKETA TUN

UPAYA
ADMINISTRASI
ALUR
PEMERIKSAAN
GUGATAN
KE PTUN
 PERMA RI No.6/2018 Tentang PEDOMAN PENYELESAIAN SENGKETA ADMINISTASI
PEMERINTAHAN, Tgl. 4 Desember 2018

GA
UPAYA KEBERATAN
SENGKET -
ADMINSTRA BANDING PTUN
A TUN GA
SI ADMINISTRAS
Upaya Administratif
L
I
masih bersifat
Psl. 48 UU TUN & Penjelasannya
Psl. 2 (1), (2) PERMA RI No.6/2018 internal, biasanya
Psl. 129 (1), (2) UU No. 5/2014 ybs maju sendiri,
ASN namun tdk
Psl. 2 (1), (2) PP No. 79/2021 menutup
Psl.75 s/d 78 UU No. 30/2014 kemungkinan
ADSPEM menggunakan
Advokat
sekian – terima kasih

You might also like