You are on page 1of 11

MAKALAH

PERAN PERAWAT DALAM INFORMANT CONSENT DI


TINJAU DARI PRESPEKTIF KUHPERDATA

Dosen Pengampu :
Dr.Ta’adi,SKp.Ns.SH.,MH.Kes

NAMA MAHASISWA : DARMAWANTI HALILU

NIM : 22.C2.0035

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

ANGKATAN 37

SEMARANG

2024
A. Latar Belakang

Salah satu peran perawat adalah sebagai pelindung dan advokat bagi pasien yaitu

untuk membela hak pasien, hak legal pasien salah satunya adalah informed consent.

Informed consent merupakan persetujuan pasien setelah adanya informasi dari dokter

untuk dilakukan suatu tindakan medik. Persetujuan tindakan medik merupakan

persetujuan seseorang untuk dilakukan sesuatu, seperti pelaksanaan prosedur

operasi maupun tindakan diagnostik. Persetujuan tindakan didasarkan pada

keterbukaan dan keterangan terhadap berbagai resiko yang potensial, keuntungan,

dan alternatif yang ada untuk pasien (Arofiati and Rumila, 2009).

Pelaksanaan informed consent terhadap pasien merupakan wewenang dokter

untuk mendapatkan persetujuan tindakan medik yang akan dilakukan sedangkan

peran perawat adalah mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi pasien dari

kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostik maupun

pengobatan.

Informed consent atau biasa dikenal dengan Surat Persetujuan Tindakan Media

merupakan suatu kesepakatan dua belah pihak antara tenaga Kesehatan dengan

pasien yang dimulai dengan pemberian informasi terkait berita yang dialami dan

dirasakan pasien yaitu tentang penyakit dan atau prosedur Tindakan yang akan

diberikan dan dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada pasien yang kemudian

dilanjutkan dengan penandatangan surat persetujuan ataupun penolakan oleh pasien,

sesuai dengan aspek legal dan prosedur sebagai perlindungan hukum bagi praktik

keperawatan (Retnowati and Sundari, 2021).


Dalam pelayanan kesehatan terdapat hak dan kewajiban para pihak yang

mempunyai kewenangan untuk memberikan pelayanan kesehatan dan penerima

pelayanan kesehatan yang muncul akibat adanya perjanjian diantara keduanya

(Mustopa, 2023).

Ketika memberikan suatu pelayanan Kesehatan kepada masyarakat hal itu

berkaitan dengan hak asasi manusia atau biasa disebut degan HAM. Hak asasi

manusia merupakan salah satu ciri khas utama terkait negara hukum, karena dalam

negara hukum koma, perspektif hak asasi manusia sangatlah diperhatikan, karena

Indonesia merupakan salah satu negara hukum yang juga memperhatikan rasa dan

sifat kemanusiaan yang tercantum dalam hak asasi manusia, maka dalam pandangan

ilmu hukum terkait informed consent merupakan salah satu hal yang mendapat

perhatian atau menarik perhatian tersendiri (Perwira, 2014). Hukum juga memiliki

peranan terhadap pengembangan gagasan atau ide tentang informed consent.

Sambil tetap melakukan praktik dalam lingkup praktik yang mereka tetapkan,

perawat dapat menjadi bagian penting dari proses. Perawat dapat memahami pasien,

membantu dokumentasi persetujuan, menangani kecemasan pasien, dan menemukan

pengambil keputusan pengganti yang tepat saat diperlukan. Jika perawat dan ahli

bedah yang berpengetahuan bekerja sama demi kebaikan pasien, proses informed

consent dapat diselesaikan dengan baik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang

fakta dan persyaratan proses informed consent, perawat dan ahli bedah masing-

masing dapat mengurangi risiko litigasi dengan sepenuhnya memenuhi kewajiban

hukum yang ditetapkan oleh undang-undang informed consent. (Strini, Schiavolin and

Prendin, 2021).
Persetujuan mengenai suatu tindakan yang akan dilakukan dokter maupun nakes

atas ijin pasien, dapat tertulis maupun tidak tertulis disebut sebagai informed consent.

Informed consent ini dilakukan dokter langsung kepada pasien atau keluarganya, yang

berupa penjelasan lengkap mengenai tindakan, resiko, dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan. Untuk kemudian dapat disepakati

oleh pasien atau keluarganya yang ditandai dengan menandatangani lembar informed

consent secara tertulis. Dalam hal ini pasien ataupun keluarga pasien berhak

memutuskan untuk menerima ataupun menolak tindakan pelayanan kesehatan yang

akan dilakukan (Sumantri, 2021).

Peran perawat untuk isu etik telah menjadi perhatian, lebih jauh, salah satunya

yakni peran perawat dalam praktik proses informed consent. Dalam penelitian Ulrich,

dkk (2013) disebutkan bahwa, praktik isu etik dan pelayanan pasien yang paling sering

terjadi ditemukan dan menimbulkan stres bagi perawat yakni salah satunya ialah

informed consent terhadap pengobatan dan autonomy dengan nilai sebanyak 61,3%.

Perawat dapat berperan sebagai advokat ketika perawat menyadari dalam proses

informed consent pasien membutuhkan informasi lebih dan membantu mereka untuk

memutuskan tentang keputusan tindakan kesehatan mereka dan meyakinkan bahwa

hak pasien dalam memutuskan telah memenuhi kriteria autonomy. Disamping peran

sebagai advokat, perawat memiliki peran sebagai saksi. Perawat sebagai saksi

berperan dan bertanggung jawab bahwa pasien memberikan persetujuan secara

sukarela, pasien menunjukkan bahwa pasien sadar dan kompeten untuk memberikan

persetujuan dan tanda tangan pasien ialah asli (Hanoom, 2016).


Perawat hendaknya mengoptimalkan perannya sebagai advokat yaitu dengan

memberikan informasi sebanyak-banyaknya tentang kondisi pasien dan proses

kesembuhannya, menjadi penghubung antara pasien dan tim kesehatan lain,

membela hak-hak pasien dan melindungi pasien dari tindakan yang merugikannya.

Rumah sakit diharapkan dapat lebih meningkatkan pengetahuan perawat tentang

advokasi, meminimalkan kendala-kendala dalam pelaksanaan peran advokasi dan

mempertimbangkan untuk dibentuknya prosedur tetap

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mengidentifikasikan rumusan masalah sebagai yaitu “bagaimana Peran Perawat

dalam Informant Consent di tinjau dari prespektif KUHPerdata”?

C. Pembahasan

1. Informan Consent

Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya

tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam

bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya informed consent adalah suatu

proses komunikasi antara dokter dengan pasien mengenai kesepakatan tindakan

medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien. Penandatanganan formulir

informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang

telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien

menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed

decision). Oleh karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second

opinion), dan dokter yang merawatnya.

Penanggung jawab perawatan pasien, misalnya seorang dokter,

bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan atau informasi kepada pasien.

Dalam situasi tertentu, dokter dapat memberikan otoritasnya kepada tenaga

kesehatan lain, tetapi dia tetap bertanggung jawab secara hukum. Secara yuridis,

seorang perawat tidak berwenang melakukan proses "informed consent"; jika diberi

wewenang, dokter harus memastikan bahwa perawat yang diberi tugas benar-

benar memahami masalah dan dapat memberikan penjelasan yang dipahami

pasien. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum, dokter tetap bertanggung

jawab atas "informed consent". (Hanoom, 2016).

Formulir Informed Consent ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan

disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti

bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian

tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan

arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent)

yang diberikan oleh pasien.

2. Peran Perawat dalam Informant Consent di tinjau dari prespektif KUHPerdata

Dewasa ini dengan kecanggihan ilmu teknologi dan semakin

berkembangnya ilmu pengetahuan, seorang pasien memiliki pengetahuan yang

luas dalam bidang kedokteran dan keperawatan, oleh karena itulah pasien selalu

ingin terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan

perawatannya. Keinginan pasien tersebut sebenarnya telah dirumuskan dalam


bentuk informed consent, yaitu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya

medis setelah memperoleh informasi dari tenaga kesehatan mengenai tindakan

medis yang akan dilakukan.

Sebelum melaksanakan Perjanjian Terapeutik tentunya harus didahului

adanya persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter kepada pasien.

Kata Perjanjian Terapeutik memang tidak dikenal dalam KUHPerdata. Hanya saja,

unsur yang terdapat dalam Perjanjian Terapeutik dapat dikategorikan sebagai

perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1319 KUHPerdata, untuk semua

perjanjian tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya.

Dalam transaksi terapeutik, hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik

pasien maupun dokter. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata, "Tiada sepakat yang

sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan

paksaan atau penipuan", keabsahan suatu perjanjian secara yuridis ditentukan

oleh kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, dengan tanpa adanya

kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

Perawat memberikan perlindungan terhadap pasien untuk mencegah

terjadinya penyimpangan/malpraktik yang pada dasarnya setiap profesi kesehatan

sudah harus memahami tanggung jawab dan integritasnya dalam memberikan

pelayanan kesehatan Para professional kesehatan terutama perawat harus

memahami hak – hak dan kewajiban pasien sebagai penggunan layanan

kesehatan.

Pada tahap pembuatan keputusan perjanjian (informed consent), peran

advokasi seorang perawat harus dilakukan. Perawat sebagai salah satu tenaga
kesehatan harus menerangkan secara lisan mengenai prosedur yang akan dijalani

pasien, sebelum menyerahkan formulir informed consent yang akan

ditandatangani oleh pasien atau wali pasien. Perawat hendaknya mengoptimalkan

perannya sebagai advokat yaitu dengan memberikan informasi sebanyak-

banyaknya tentang kondisi pasien dan proses kesembuhannya, menjadi

penghubung antara pasien dan tim kesehatan lain, membela hak-hak pasien dan

melindungi pasien dari tindakan yang merugikannya. Rumah sakit diharapkan

dapat lebih meningkatkan pengetahuan perawat tentang advokasi, meminimalkan

kendala-kendala dalam pelaksanaan peran advokasi dan mempertimbangkan

untuk dibentuknya prosedur tetap (Elmiyati and Husniah Sallang, 2022).

Peran perawat dalam informan consent juga sebagai Partisipan

berpendapat bahwa perannya sebagai counsellor adalah mengatasi tekanan

psikologis dengan mencari penyebab kecemasannya, memberikan keyakinan

dalam mengurangi kecemasan pasien. Konseling adalah proses membantu

pasien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial,

untuk membangun hubungan interpersonal yang baik, dan untuk meningkatkan

perkembangan seseorang dimana didalamnya diberikan dukungan emosional dan

intelektual. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan partisipan melalui perannya

sebagai counsellor sebagaimana yang terungkap diatas. Partisipan lainnya

berpendapat bahwa peran perawat sebagai advocate adalah menggali respon

pasien dan mengklarifikasi informasi yang pasien belum mengerti serta

memberikan motivasi dalam mengambil keputusan (Mahmud, 2016)


Perawat mempunyai kewajiban hukum untuk mendapatkan informed

consent dari pasien sebelum memberikan pengobatan. Literatur juga menekankan

pentingnya peran perawat dalam proses informed consent . Secara keseluruhan,

perawat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa pasien mendapat

informasi lengkap dan terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan melalui

perolehan Informan Consent.

Pemberian informasi dalam bentuk informed consent ini merupakan

tanggung jawab seorang dokter. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, dokter

tersebut dapat mendelegasikan wewenangnya kepada tenaga kesehatan lain,

akan tetapi tanggung jawab hukum tetap ada padanya.

Secara yuridis, seorang perawat sebenarnya tidak berwenang

melaksanakan proses “informed consent”. Hal ini menjadi tugas dokter, dan kalau

ada pendelegasian wewenang, maka dokter harus yakin benar bahwa perawat

yang diberi tugas benarbenar menguasai masalah dan mampu memberikan

penjelasan yang dipahami oleh pasien. Oleh karena itu dari sudut hukum tanggung

jawab mengenai “informed consent” tetap ada pada dokter (Sumantri, 2021).

D. Simpulan dan rekomendasi

1. Simpulan

Meskipun tanggung jawab utama atas persetujuan tindakan medis berada di tangan dokter,

peran perawat juga penting, terutama sebagai advokat pasien. Dalam hukum perdata

belum disebutkan jenis hukuman pelanggaran jika perawat tidak menerapkan

informan concent
2. Rekomendasi

Diharapkan adanya penerapan hukum pidana yang jelas bagi perawat yang

melakukan tugas sebagai advokat dalam menerapkan informan consent pada

pasien.

Bagi Profesi Keperawatan, perlu mengembangkan pengetahuan tentang

pentingnya peran perawat dan sikap perawat pada pemberian informed consent sebagai

upaya membela dan melindungi hak pasien

E. Referensi

Arofiati, F. and Rumila, E. (2009) ‘Hubungan antara Peranan Perawat dengan Sikap
Perawat pada Pemberian Informed Consent Sebagai Upaya Perlindungan Hukum
Bagi Pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2009 The Relation
between the Role of Nurses with the Nurses Attitudes in the PKU Muh’, Mutiara
Medika, 9(2), pp. 58–63. Available at:
http://journal.umy.ac.id/index.php/mm/article/view/1605/1650.
Elmiyati, N. K. and Husniah Sallang (2022) ‘Peran Advokat Perawat di Ruang Inap
Rumah Sakit Umum Daerah Luwuk Banggai Provensi Sulawesi Tengah’,
Kesehatan, 03, pp. 37–41.
Hanoom, R. N. (2016) ‘Hubungan Pengetahuan dan Sikap Perawat dengan Pelaksanaan
Peran Perawat dalam Proses Informed Consent di RSUD dr. Rasidin Padang’,
Revista CENIC. Ciencias Biológicas, 152(3), p. 28.
Mahmud (2016) ‘Peran Perawat Dalam Informed Consent Pre Operasi Di Ruang Bedah
Rumah Sakit Umum Pemangkat Kalimantan Barat’, Universitas Diponegoro, 15(1),
pp. 165–175.
Mustopa, C. A. (2023) ‘Informed Consent Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Terkait
Peraturan Yang Berlaku Di Indonesia’, Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains
dan Sosial Humanioral, 1(2), pp. 1–13. doi: 10.11111/nusantara.xxxxxxx.
Perwira (2014) ‘Memahami Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia. Koleksi Pusat
Dokumentasi’, ELSAM.
Retnowati, A. and Sundari, E. (2021) ‘Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Malpraktik
Medis Pada Rumah Sakit’, Justitia et Pax, 37(1), pp. 39–59. doi:
10.24002/jep.v37i1.3303.
Strini, V., Schiavolin, R. and Prendin, A. (2021) ‘The role of the nurse in informed consent
to treatments: An observational-descriptive study in the padua hospital’, Clinics
and Practice, 11(3), pp. 472–483. doi: 10.3390/clinpract11030063.
Sumantri, A. K. (2021) ‘Kajian hukum persetujuan tindakan medis (informed consent)
pada tindakan pelayanan kesehatan’, Scientia Journal, 10(2), pp. 80–89. Available
at:
https://lpm.unaja.ac.id/index.php/SCJ/article/view/13%0Ahttps://lpm.unaja.ac.id/in
dex.php/SCJ/article/download/13/13.

You might also like