You are on page 1of 18

Kesetaraan Gender Dalam Berpendidikan Tinggi

Resti Wicitra Anggraini (1904871)

Bangsa Indonesia sebelum zaman emansipasi


menganggap perempuan sebelah mata oleh kaum laki-laki.
Dibuktikan dengan apa yang terjadi pada perempuan di masa itu
yang justru berbanding terbalik dengan kaum laki-lakinya. Laki-
laki memiliki kebebasan untuk mendapatkan pendidikan hingga
jenjang yang tinggi. Mereka pula dapat melakukan aktivitas
bebas di luar rumah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada
zaman tersebut, pendidikan dan pekerjaan adalah hak laki-laki,
sedangkan perempuan hanya boleh melakukan aktivitasnya di
dalam rumah serta lingkungan sekitar rumah saja.
Mengulas sedikit sejarah bahwa terdapat dua tokoh
perempuan yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan
layaknya seperti laki-laki. Kedua tokoh tersebut ialah Siti
Walidah dan R. A. Kartini, yang memiliki keinginan sama yaitu
menyadarkan perempuan Indonesia bawa pendidikan juga
penting untuk kaum perempuan. Dengan segala hambatan yang
ada, kedua tokoh tersebut hanya bisa mendobrak pemikiran
masing-masing untuk mendirikan tempat sekolah atau kelompok
pengajian berisikan kaum perempuan di daerah mereka tinggal.
Dari perjuangan tersebut, terkait peran perempuan dalam
hal pendidikan sudah seharusnya perempuan mendapatkan hak
untuk memperoleh pendidikan layaknya seorang laki-laki dan
sepenuhnya tanpa ada instrik sosial. Perempuan seharusnya tidak
lagi mengalami ketertinggalan pemikiran dan pemahaman, karena
aspek pendidikan bagi perempuan berpengaruh besar pada segala
bidang, salah satunya diperlukan pembekalan untuk perempuan
menjadi ibu rumah tangga.
Melihat kenyataan pada zaman sekarang, khususnya bagi
sebagian masyarakat awam, sering kali menyinggung bahwa
pendidikan tinggi tidak begitu penting untuk perempuan. Beredar
opini bahwa posisi perempuan hanyalah di dalam rumah dan
mengurus segala urusan rumah tangga saja. Tidak jarang di
beberapa daerah terpencil masih terdapat masyarakat yang
menjodohkan anaknya saat sudah atau belum lulus sekolah. Hal
ini tentu memberi tekanan kepada perempuan untuk harus bisa
mengurus rumah tangganya tanpa tahu seperti apa cara mengurus
rumah tangga yang benar. Stigma mengenai perempuan yang
hanya akan mengurus rumah tangga ini tentunya akan membuat
seorang perempuan semakin merasa kehilangan percaya dirinya
untuk berkesempatan berpendidikan tinggi. Hal ini patut untuk
ditepis demi menjadikan perempuan berkualitas serta
mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan.

A. Perempuan dan Pendidikan


Belakangan ini terdengar bahwa pada tahun 2045
Indonesia akan mengalami bonus demografi (YunarsihSri,
2021). Tentunya hal ini menjadi dampak yang positif apabila
sumber daya manusianya berkualitas. Begitupun sebaliknya,
dapat menjadi dampak yang buruk apabila sumber daya
manusianya tidak berkualitas. Salah satu faktor penentu
kualitas sumber daya manusia dalam bangsa ini adalah
kualitas perempuan di masa kini juga mendatang.
Peningkatan kualitas perempuan harus menjadi perhatian
pemerintah. Kualitas perempuan diperlukan demi
meningkatkan kualitas hidupnya, juga untuk melahirkan
generasi yang berkualitas juga melalui perannya sebagai ibu
yang cerdas dan memiliki karakter. Oleh karena itu,
pendidikan merupakan salah satu jalan dalam peningkatan
mutu perempuan. Yang menjadi masalah sekarang adalah
upaya peningkatan kualitas perempuan masih mengalami
banyak kendala yang serius. Dibutuhkan langkah dan upaya
bersama demi mengatasi segala problematika perempuan,
baik di rumah hingga di sekolah. Tanpa suatu perjuangan,
perempuan akan selalu terpinggirkan dan tidak memiliki daya
saing yang kuat untuk hidup layak.
Keluarga merupakan tempat pertama perempuan meniti
kualitas dirinya sekaligus tempat yang bisa memadamkan
cahaya terang masa depannya. Mulai dari rumah diputuskan
apakah perempuan berhak mendapatkan pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi yang sama halnya dengan laki-laki,
atau justru sebaliknya yang mendapatkan perlakuan tidak adil
khususnya dalam bidang pendidikan. Apabila melihat fakta,
banyak perempuan yang tidak berpendidikan bahkan 15%
dari jumlah banyaknya perempuan di Indonesia tidak
mengenyam pendidikan sama sekali (PutriRizky, 2021).
Entah itu disebabkan karena kemauan orang tuanya, karena
kemiskinan, atau karena pernikahan dini.
Dalam halnya pekerjaan, perempuan hanya dijadikan
pekerja kasar yang digaji secukupnya karena pendidikannya
yang rendah, melihat di zaman sekarang yang rerata
persyaratan untuk bisa bekerja yaitu melalui ijazah minimal
tingkat SMA/SMK. Dengan berpegang pada ijazah tersebut
justru hampir dipastikan tidaklah lagi diterima bekerja di
suatu perusahaan. Hal inilah yang mengartikan bahwa
pendidikan itu penting, karena ketika seseorang memiliki
gelar pendidikan yang tinggi mereka cenderung memiliki
pengetahuan dan kreatifitas yang lebih besar untuk
memberikan kemajuan dalam pekerjaan dan berkontribusi
pada tempat mereka bekerja. Apabila terus seperti ini maka
kemungkinan memunculkan dampak pada ketimpangan atau
diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja nantinya.
Maraknya kasus kekerasan seksual juga tidak ada
hentinya dan sudah sangat sering dijumpai di berita. Anak
perempuan kerap menjadi korban kekerasan seksual, bahkan
dari ayah, ayah tiri, paman, atau teman terdekatnya sendiri.
Tidak hanya itu, seusia remaja hingga perempuan dewasa pun
terdengar mengalami kasus yang serupa. Mirisnya, karena
berbekal minimnya pengetahuan, perempuan sebagai korban
kekerasan tersebut tidak tahu harus melakukan apa untuk
melindungi dirinya. Contoh lainnya apabila terdapat kasus
seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual
sedangkan ibunya tidak begitu paham tentang apa yang harus
dilakukannya maka tentu berdampak pula pada anak yang
dibiarkannya itu. Kejadian tersebut tidak hanya
menghancurkan masa depan mereka saja tetapi juga
meninggalkan jejak trauma pada mentalnya yang
membutuhkan penanganan serius. Oleh karena itu, perempuan
harus memiliki kesempatan menduduki pendidikan setinggi-
tingginya agar bisa mencegah dan tahu apa yang harus
diperbuat saat menjadi korban kekerasan seksual demi
mendapatkan perlindungan dan hukum yang setimpal bagi
pelaku.
Menjawab permasalahan tersebut tidaklah cukup dengan
melahirkan regulasi perlindungan perempuan saja, tetapi juga
bagaimana komitmen pencegahan dan pelaksanaan regulasi
oleh pihak-pihak yang berwenang, mulai dari sosialisasi,
pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Perlindungan
terhadap perempuan harus menjadi agenda bersama sehingga
perempuan akan dapat menyelesaikan pendidikan yang
setinggi-tingginya dengan sangat baik. Melalui perempuan
dengan penididkan yang tinggi akan dapat menjalankan
perannya dengan baik bahkan sebagai penentu berkualitas
atau tidaknya generasi bangsa yang akan datang.

B. Persepsi atau Stigma Masyarakat terhadap Perempuan


Berpendidikan Tinggi
Perkembangan pendidikan di Indonesia mengalami
kemajuan yang terbilang cukup signifikan. Semenjak
pemerintah menggalakkan program wajib belajar 12 tahun,
peningkatan kualitas sarana dan prasarana belajar mengajar
ke pelosok desa, dan terdapatnya beberapa alternatif yang
dapat meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan
(SetiawanYuli, 2014). Hal tersebut dapat dijadikan solusi dari
rendahnya tingkat pendidikan yang sempat dialami oleh
Bangsa Indonesia. Namun meskipun begitu, masih ada
permasalahan yang cukup sulit teratasi yaitu pendidikan
terkhusus bagi perempuan. Permasalahan gender sedari dulu
hingga sekarang yang masih sering diperdebatkan.
Hingga kini, banyak pemikiran dari sebagian masayarakat
yang menyatakan bahwa perempuan tidak seharusnya sekolah
terlalu tinggi karena nantinya hanya akan kembali ke dapur.
Perempuan juga dikatakan tidak perlu terlalu pintar dan
terlalu lama untuk menempuh pendidikan karena nantinya
akan susah untuk mendapatkan pasangan. Lain daripada itu
juga perempuan dilarang untuk bersekolah atau melanjutkan
kuliah di daerah yang jauh dari tempat tinggalnya karena
nantinya akan mengurus keluarga juga. Beberapa pemikiran
atau stigma masyarakat ini masih tertanam yang
mengakibatkan pengaruh sehingga terdapat batasan
pergerakan perempuan.
Konsep pendidikan yang cukup sensitif dengan gender ini
memiliki beberapa aspek yang berpengaruh. Salah satu aspek
yang dapat mempengaruhinya yaitu sosio kultural. Sistem dan
aturan yang menentukan bagaimana seseorang berperilaku
dan bersikap pada masing-masing gender, seperti perempuan
harus mengurus segala keperluan dan pekerjaan rumah
sedangkan laki-laki dapat bebas melakukan kegiatan di luar
rumah tanpa terhalang apapun. Laki-laki juga dibebaskan
untuk menduduki pendidikan setingi-tingginya sedangkan
perempuan hanya boleh di rumah saja serta menunggu orang
tua mereka menjodohkannya dengan laki-laki dimana laki-
laki tersebut sudah pasti bukan pilihannya.
Menyinggung pembahasan ini, fakta di lapanganpun
terjadi saat penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata di salah
satu desa yang berletak di kecamatan Gelam, Serang, Banten.
Saat menjalankan beberapa program kerja yaitu mendata
jumlah perempuan yang tidak memiliki penghasilan sendiri,
juga mendata banyaknya perempuan yang menikah dengan
usia muda, nyatanya tidak sedikit perempuan yang sudah
menikah di usia muda dan sekarang hanya menjadi ibu rumah
tangga saja atau tanpa penghasilan. Tentunya mereka tidak
memiliki kesempatan untuk bersekolah tinggi mendapatkan
pengetahuan yang lebih luas serta pengalaman. Kasus seperti
ini bisa jadi dilatar belakangi dengan minimnya pengetahuan
atau bekal pendidikan yang dimiliki dan diduga karena
maraknya stigma masyarakat terkait kedudukan perempuan di
daerah desa tersebut. Tingkat kedewasaan pemikiran,
pengendalian emosi, kebijaksanaan dan kesabaran merupakan
bagian penting dari lancarnya rumah tangga tersebut. Maka
dari itu apabila hal-hal itu belum dapat terpenuhi maka
pernikahan yang sudah dilaksanakan memungkinkan
terjadinya perceraian.
Berlanjut pada pola asuh anak, apabila perempuan dengan
usia muda yang telah menikah dan tidak menduduki
pendidikan tinggi ditambah minimnya pengetahuan pastinya
berpengaruh terhadap pola asuh atau parenting bagi anaknya.
Terbukti dengan kejadian di lapangan yang masih banyak
terdapat anak-anak yang kurang sopan dan kurang bisa
mengatur atau mengendalikan emosionalnya saat bermain
bersama teman-temannya. Kepribadian anak tersebut
dipengaruhi dari faktor pola asuh orang tuanya. Maka dari itu,
dapat disimpulkan bahwa banyaknya kasus pernikahan diri
juga tingkat perceraian disebabkan oleh banyaknya pula
stigma negatif terkait perempuan dan kurangnya bekal
pendidikan dari perempuan itu sendiri.
Ketidaksetaraan pada riwayat pendidikan juga termasuk
ke dalam aspek yang menyebabkan tidak meratanya peranan
sosial serta lapangan pekerjaan. Dalam hal mengemukakan
pendapat juga terhalang, yang mana hal ini berbanding
terbalik dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal
mendukung kesetaraan pendidikan yang menjadi hak
perempuan untuk dapat memperoleh pendidikan. Dalam pasal
48 dijelaskan, “Wanita berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan” (Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia,
2019). Mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah sudah
berupaya dalam mengusahakan kesetaraan di lingkup
pendidikan, yaitu dengan diberlakukannya aturan dimana
wajib belajar 12 tahun tidak hanya laki-laki saja tetapi juga
semua berhak memperoleh pendidikan. Ini berarti bahwa
perempuan juga memiliki hak untuk berpendidikan hingga ke
jenjang yang lebih tinggi.
Mengutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), Nadiem Anwar Makarim yang menyatakan
bahwa perempuan nantinya akan menjadi sekolah pertama
untuk anak-anaknya. Melalui pendidikan juga dapat menjadi
modal bagi kaum perempuan untuk ikut berkontribusi di
lingkungan masyarakat. Perempuan memiliki hak untuk
menentukan cita-cita yang akan dicapainya, karena tidak
seharusnya hak dalam pendidikan serta pilihan hidup
seseorang dibatasi hanya karena dia bergender perempuan
(WahyuniNatasia, 2021).

C. Alasan Perempuan Harus Berpendidikan Tinggi


Rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan yang
tinggi bagi perempuan, tentu menjadi sebuah hal yang patut
disayangkan. Merasa tidak perlu, tidak berkewajiban atau
bahkan tidak begitu menginginkan adalah sejumlah alasan
yang kerap dilontarkan sehingga perempuan sering
mengesampingkan pendidikan. Biasanya hal tersebut menjadi
alasan bagi perempuan yang masih sendiri atau belum mejadi
ibu rumah tangga. Beberapa alasan lainnya bahkan lebih
sering lagi terdengar dari perempuan nyang sudah berumah
tangga seperti sibuk mengurus anak dan suami, sehingga
dipertanyakan untuk apa sekolah atau kuliah lagi sedangkan
statusnya sudah menikah dan berpikir bahwa anak-
anaknyalah yang sekolah atau melanjutkan perkuliahan. Ada
pula yang beranggapan tidak perlu sekolah atau kuliah karena
tidak akan bekerja juga nantinya di kantoran. Di luar daripada
itu, perempuan juga harus mengupayakan yang terbaik untuk
hidupnya sendiri dan untuk keluarganya nanti, sama halnya
dengan laki-laki. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan yang tinggi merupakan salah satu hal yang
penting bagi perempuan, sebab ini akan sangat mempengaruhi
kualitas kehidupan mereka nanti di masa yang akan datang.
Perempuan akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang
mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap perjalanan
atau proses rumah tangganya. Sehingga banyak yang
menyebutkan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan
tinggi hanya untuk hal ini. Tetapi, dalam hal ini bukan berarti
perempuan tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi,
meskipun kelak perempuan akan mengerjakan semua
pekerjaan rumah tangga setelah menikah nanti. Oleh karena
itu tanggung jawab yang besar inilah yang kemudian menjadi
sebuah alasan wajib bagi perempuan untuk menempuh
pendidikan hingga paling tinggi, sebab masa depan rumah
tangga akan ada di tangannya. Laki-laki selaku kepala rumah
tangga mungkin saja akan menjadi tulang punggung keluarga,
namun perempuanlah yang pada umumnya menjadi sosok
yang dituntut harus serba bisa karena akan menangani banyak
hal lainnya di luar daripada nafkah dalam rumah tangga itu
sendiri. Salah satu contohnya seperti mengurus dan
merancang masa depan anak-anak, dimana perempuan akan
berperan lebih banyak daripada laki-laki. Seorang anak akan
tumbuh di tangan seorang perempuan, sehingga penting bagi
perempuan yang memiliki anak untuk mempunyai sejumlah
pengetahuan yang luas untuk mumpuni dalam mengasuh
anak-anaknya. Dibutuhkan pula sejumlah pengalaman dan
juga kemampuan yang baik untuk mengurus berbagai hal
dalam ruang tangga, dan tentunya hal tersebut akan menjadi
sesuatu yang lebih mudah atau bisa disebut dengan bekal
apabila perempuan mendapatkan pendidikan yang tinggi dan
layak sebelum menikah.
Kemampuan yang dimiliki oleh perempuan tentu harus
berkembang dari waktu ke waktu, entah perempuan tersebut
akan bekerja atau hanya akan menjadi seorang ibu rumah
tangga saja. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi akan
lebih siap untuk menghadapi semua perkembangan teknologi
dan juga informasi yang terjadi. Jika tidak, maka sejumlah
kendala mungkin saja akan dihadapinya ketika menjalankan
perannya sebagai perempuan pekerja atau berkarir bahkan
sebagai ibu rumah tangga. Bukan hanya itu saja, apabila
seorang perempuan tidak bisa mengimbangi kemajuan
teknologi yang telah terjadi, maka besar kemungkinan
perempuan tersebut akan mengalami kesulitan dalam
mengontrol dan melakukan berbagai hal yang terbaik untuk
anak-anaknya kelak. Anak-anak akan bertumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan kemajuan zaman
dengan teknologi internet. Tanpa adanya sebuah pengawasan
yang tepat dari seorang ibu dikarenakan ibunya tersebut tidak
paham akan semua perkembangan dengan baik maka bukan
hanya dirinya sendiri namun juga masa depan anaknya tidak
akan tertata dengan sebagaimana mestinya.
Saat seorang perempuan bekerja dan menempati posisi
atau sebuah jabatan, sering terdapat berbagai kendala yang
menjadi penghalang untuknya dalam mengembangkan karir,
salah satunya karena terbatasnya bekal pendidikan yang
dimilikinya. Masih terkait dengan perkembangan zaman tadi,
perempuan juga telah memiliki kesempatan yang sangat luas
untuk berkarir. Oleh karena itu sangat penting bagi
perempuan untuk berpendidikan tinggi ketika memasuki
dunia kerja, sebab bisa menjadi salah satu penentu di dalam
perkembangan karir ke depannya. Dengan bekal pendidikan
yang memadai, maka perempuan akan lebih siap untuk
bersaing mendapatkan berbagai posisi strategis di dalam
perusahaan dengan laki-laki.

D. Menepis Stigma Negatif Perempuan dan Pendidikan


Tinggi
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang berpikir
bahwa perempuan tidaklah perlu berpendidikan tinggi karena
kelak setiap perempuan akan menjadi ibu rumah tangga.
Stigma tersebut memicu hilangnya semangat dan munculnya
pikiran untuk tidak menempuh pendidikan tinggi. Harus
diingat bahwasanannya pendidikan sangatlah penting karena
melalui pendidikanlah yang akan mempengaruhi generasi ke
generasi selanjutnya. Di Indonesia sendiri memang tidak
semuanya bisa menempuh pendidikan yang tinggi dengan
penyebab yang berbagai macam. Namun yang perlu diketahui
bahwa saat ini banyak sekali perguruan tinggi yang dapat
disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan seseorang,
seperti banyaknya perguruan tinggi dengan biaya yang cukup
murah ditambah pula dengan tersedianya beasiswa yang bisa
dicoba. Menempuh pendidikan setinggi-tingginya tidak hanya
dipergunakan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan
saja, tetapi juga mempengaruhi kualitas kehidupan. Banyak
sekali pelajaran yang dapat diambil saat menempuh
pendidikan dengan tinggi, seperti mendapatkan banyak
pengalaman dan ilmu yang akan membentuk cara berpikir
serta menjadikan seseorang berwawasan luas, dengan begitu
akan meningkatkan kualitas diri yang nantinya bisa
diterapkan pada kehidupan kelak.
Sama halnya dengan laki-laki, setiap perempuan memiliki
hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara, karena setiap
perempuan pastinya menginginkan hal yang terbaik untuk
dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Oleh karena itu
orang tua tentu bangga apabila anak perempuannya berhasil
menjadi perempuan yang cerdas dan sukses. Tidak hanya
laki-laki saja, peranan perempuan di dalam kehidupan juga
sangatlah penting. Salah satu contohnya yaitu kesuksesan
suami atas dorongan dan semangat serta doa dari istri, juga
kecerdasan anak yang diturunkan dari ibunya. Karena bagi
anak, sekolah pertama adalah ibunya. Dengan mempunyai
bekal di pendidikan tinggi, akan menjadikan perempuan lebih
siap serta mampu untuk menghadapi rintangan ketika sudah
berumah tangga nanti.
Untuk melawan stigma negatif terkait perempuan
berpendidikan tinggi tidaklah mudah. Dimulai dengan
menjelaskan hingga memperlihatkan hasil dengan nyata.
Memang benar bahwa tempat perempuan nantinya hanya di
dapur dan mengurus rumah tangga. Namun pekerjaan menjadi
ibu rumah tangga tidak hanya mengurus rumah saja, tetapi
memiliki tugas yang lebih berat daripada itu, yang
mewajibkan seorang perempuan untuk menuntut ilmu.
Dimana ilmu tersebut akan berguna untuk mendampingi
anak-anaknya hingga dewasa dengan memberikan didikan
yang terbaik. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa pendidikan
pertama bagi seorang anak adalah keluarga, oleh karenanya
peran dari seorang ibu sangatlah penting. Mendidik dan
membesarkan anak dengan mengikuti perkembangan zaman
bukanlah hal yang mudah. Seorang perempuan diwajibkan
untuk memberikan edukasi yang baik dan benar kepada anak
serta menjadikan anak sebagai generasi penerus bangsa yang
berkualitas.
Misalnya seperti di masa pandemi kemarin, dimana anak-
anak tidak bisa sekolah tatap muka dan diharuskan belajar di
rumah atau daring. Dengan begitu peranan ibu sangatlah
penting untuk menggantikan peran guru di sekolah. Terlepas
dari mendidik anak, terdapat hal lain yang bisa dijalankan
lebih baik apabila memiliki bekal ilmu, seperti manajemen
keuangan di dalam keluarga, membantu pasangan
menyelesaikan masalah dengan bijak, bisa berpikir secara
rasional dan tidak mudah ditipu.
Dilihat dari sisi politik, mengutip dari salah satu artikel
berita yang menyebutkan bawa regulasi di Indonesia
menetapkan bahwa ambang batas keterlibatan perempuan
dalam berpartai politik hanya sebatas 30%. Angka tersebut
hingga pada pemilu 2019-2024 bahkan belum terpenuhi yang
hanya didapatkan data sebesar 20,5% saja (MufaridaBinti,
2021). Hal ini tentunya menjadi isu krusial yang perlu dikaji
kembali. Jika ditinjau dari sisi sejarah, hal ini bisa terjadi
karena adanya kekhawatiran perempuan untuk menjadi
seorang pemimpin yang biasanya dilakukan seorang laki-laki.
Tentunya hal tersebut menjadi stigma berbekas pada masa
lalu yang masih melekat kuat pada perempuan Indonesia
hingga kini.
Kini sudah saatnya stigma tersebut ditepis dan membuat
masyarakat sadar bahwa opini perempuan tidak perlu
berpendidikan tinggi tidaklah benar. Apapun keputusan yang
dipilih oleh seorang perempuan untuk menjadi ibu rumah
tangga ataupun berkarir itu tentu sudah dipertimbangkan
olehnya dengan sebaik mungkin. Bass (1990) dan Klenke
(1996) menyatakan bahwa perempuan untuk tampil sebagai
pemimpin diibaratkan sebagai fenomena atap kaca yaitu
adanya hambatan yang seolah-olah tidak terlihat dan tembus
pandang, tetapi dalam kenyataannya merintangi akses
perempuan dalam kaum minoritas lain dalam menuju
kepemimpinan puncak (MeilanieRetno, 2021).
Terpenting wajib untuk seorang perempuan untuk
berpendidikan tinggi selagi mampu. Perempuan tidak
seharusnya ragu untuk menuntut ilmu setinggi mungkin,
karena tidaklah akan menyesal orang yang menuntut ilmu
setinggi-tingginya, maka dari itu pergunakanlah waktu dan
bersungguh-sungguhnya dalam menuntut ilmu sebagai bekal
di kemudian hari.

REFERENSI
Meilanie, R. (2021, April 21). Kartini Masa Kini: Mendobrak Stigma
Perempuan Sebagai Strata Kedua Di Bumi Pertiwi. Retrieved
from Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Malang: https://bemu.umm.ac.id/id/berita/kartini-masa-kini-
mendobrak-stigma-perempuan-sebagai-strata-kedua-di-bumi-
pertiwi.html

Mufarida, B. (2021, Februari 28). Keterwakilan Perempuan di Parlemen


hanya 30 Persen, PKS: Butuh Support Partai Politik untuk
Mewujudkan. Retrieved from okenews:
https://nasional.okezone.com/read/2021/02/28/337/2369653
/keterwakilan-perempuan-di-parlemen-hanya-30-persen-pks-
butuh-support-partai-politik-untuk-mewujudkan

Putri, R. A. (2021, Juli 07). Dear Perempuan, Pendidikan Tinggimu


untuk Kamu Sendiri. Retrieved from Magdalene:
https://magdalene.co/story/dear-perempuan-pendidikan-
tinggimu-untuk-kamu-sendiri

Setiawan, Y. (2014, Juli 11). Kemdikbud Upayakan Wajib Belajar 12


Tahun Melalui PIP. Retrieved from Direktorat Sekolah
Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi:
https://smk.kemdikbud.go.id/konten/1906/kemdikbud-
upayakan-wajib-belajar-12-tahun-melalui-pip

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia.


(2019, September 29). Retrieved from Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia: https://www.walhi.or.id/undang-undang-no-
39-tahun-1999-tentang-hak-asasi-manusia

Wahyuni, N. C. (2021, Maret 08). Nadiem dan Franka Makarim “Satu


Panggung” Bahas Kepemimpinan Perempuan. Retrieved from
BeritaSatu:
https://www.beritasatu.com/archive/742979/nadiem-dan-
franka-makarim-satu-panggung-bahas-kepemimpinan-
perempuan

Yunarsih, S. L. (2021, Desember 27). Intisari Online. Retrieved from


Memanfaatkan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas
2045: https://intisari.grid.id/read/033064751/memanfaatkan-
bonus-demografi-menuju-indonesia-emas-2045

You might also like