You are on page 1of 40

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Dasar Stres

a. Definisi Stres

Stres merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin

“Stingere” yang berarti “keras” (stricus), yaitu sebagai keadaan

atau kondisi dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan,

mengejutkan, membingungkan, membahayakan, dan merisaukan

seseorang (Febriana & Wahyuningsih, 2018). Stres adalah

tanggapan tubuh yang bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan

terhadapnya. Stres diartikan sebagai keadaan di dalam hidup

seseorang yang menyebabkan ketegangan atau dysforia

(kesedihan) (Darmawan, 2018).

Stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara

individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara

tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada

sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres juga

dikatakan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak

menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang (Legiran, Azis

& Bellinawati, 2019).

8
9

b. Penyebab Stres

Kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut

stressor (Umar, 2019). Stressor adalah suatu peristiwa, situasi

individu, atau objek yang dapat menimbulkan stres dan reaksi

terhadap stres. Ada beberapa bentuk stressor antara lain stressor

psikologis (misalnya, krisis, frustasi, konflik dan tekanan) dan

stressor bio ekologis (misalnya, suara/bising yang menggangu,

polusi udara, suhu terlalu panas/dingin, ketidakcukupan gizi)

(Darmawan, 2018). Stresor adalah stimulus yang mengawali atau

mencetuskan perubahan (Ardhiyanti, dkk, 2018).

c. Tingkat Stres

Stres adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh terganggu

karena tekanan yang didapat secara mental maupun fisik. Tingkat

stres yaitu hasil penilaian derajat stres yang dialami individu.

Tingkat stres dapat digolongkan menjadi, stres ringan, stres sedang

dan stres berat (Mardiana & Zelfino, 2018).

1) Stres ringan

Stres ringan adalah stressor yang dihadapi setiap orang secara

teratur, umumnya dirasakan oleh setiap mahasiswa misalnya:

lupa, kebanyakan tidur, kemacetan, dikritik atau revisi skripsi

yang menumpuk. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam

beberapa menit atau beberapa jam dan biasanya tidak akan

menimbulkan bahaya (Rachmadi, 2018).


10

2) Stres sedang

Stres sedang berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai

beberapa hari. Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat

diselesaikan dengan teman atau pacar (Potter & Perry, dalam

Aulia 2018). Fase ini ditandai dengan kewaspadaan, fokus

pada indera penglihatan dan pendengaran, peningkatan

ketegangan dalam batas toleransi, dan tidak mampu mengatasi

situasi yang dapat mempengaruhi dirinya (Suzanne & Brenda,

2008 dalam Aulia 2018).

3) Stres berat

Situasi Stres yang terjadi beberapa minggu sampai tahun.

Semakin sering dan lama situasi stress, semakin tinggi resiko

kesehatan yang ditimbulkan (Mardiana & Zelfino, 2018). Stres

berat seperti perselisihan dengan dosen atau teman secara

terus-menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan

penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan lama situasi

stres, makin tinggi risiko stres yang ditimbulkan. Stressor ini

dapat menimbulkan gejala, antara lain merasa tidak dapat

merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi untuk

melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat

diharapkan di masa depan, sedih dan tertekan, putus asa,

kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak berharga

sebagai seorang manusia, berpikir bahwa hidup tidak

bermanfaat. Semakin meningkat stres yang dialami mahasiswa


11

tingkat akhir secara bertahap maka akan menurunkan energi

dan respon adaptif (Purwati, 2018).

d. Jenis stres

1) Distress

Distress (stres negatif) yaitu stres individu yang tidak

mampu mengatasi keadaan emosinya sehingga akan mudah

mengalami distress. Distress memiliki arti rusak dan

merugikan. Ciri-ciri individu yang mengalami distress adalah

mudah marah, sulit berkonsentrasi, cepat tersinggung, bingung,

pelupa, pemurung, penurunan akademik dan kesulitan

mengambil keputusan (Rachmadi, 2018).

Terjadinya gangguan penyesuaian (distress) dapat

menimbulkan gejala-gejala gangguan psikis dan fisik

(psikosomatik) sehingga seseorang tidak lagi mampu

menjalankan fungsinya secara optimal secara psikis dan fisik.

Gangguan tersebut dapat berupa gangguan tidur, gangguan

konsentrasi, gangguan pola makan dan gangguan emosi.

2) Eustress

Eustress (stres positif) yaitu stres baik atau stres yang tidak

mengganggu individu dan memberikan perasaan senang dan

bersemangat. Eustress adalah respon terhadap stres yang

bersifat positif, sehat dan konstruktif (membangun) (Rachmadi,

2018).
12

Eustress merupakan energi motivasi, seperi kesenangan,

pengharapan, dan gerakan yang bertujuan. Eustress dikatakan

juga sebagai stres yang membangun kesehatan namun, ide stres

yang sehat bersifat kontroversial karena sulit untuk dikatakan

apakah individu telah diuntungkan karena stres atau

beradaptasi dengan penyangkalan stres (Potter & Perry, 2010

dalam Aulia 2018).

e. Sumber Stres

Menurut Maramis (1999) dalam Hariandja (2018), sumber

stres yaitu, frustasi, konflik, dan tekanan. Pada fase frustasi

(frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan

seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya.

Frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan,

kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.

Konflik (conflicts), terjadi karena tidak bisa memilih antara dua

atau lebih macam keinginan, kebutuhan atau tujuan.

Tekanan (pressure), didefinisikan sebagai stimulus yang

menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat,

meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya. Tipe yang

keempat adalah perubahan (changes), tipe sumber stres yang

keempat ini seperti hal nya yang ada di seluruh tahap kehidupan,

tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu

kehidupan seseorang baik secara positif maupun negatif. Self-

Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem


13

keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan (Susane

L, 2018).

f. Respon Stres

Individu harus mampu berespons terhadap stressor dan

beradaptasi terhadap tuntutan atau perubahan yang dibutuhkan.

Adaptasi fisiologis dan psikologis memungkinkan homeostasis

tubuh. Penelitian Selye (2014) dalam Aulia (2018)

mengidentifikasi dua respon stres, yaitu Local Adaptation

Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).

1) Local Adaptation Syndrome (LAS)

Tubuh banyak menghasilkan banyak rspon terhadap stres.

Respon setempat ini termasuk pembekuan darah dan

penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya. Respon

ini berjangka pendek dan tidak terus menerus, terjadi hanya

stempat tidak melibatkan semua sistem, memerlukan stresor

untuk menstimulasikannya dan bersifat restorative. Contoh

dari Local Adaptation Syndrome (LAS) adalah respon

inflamasi dan respon refleks nyeri (Ardhiyanti, Pitriani &

Darmayanti, 2018).

2) General Adaptation Syndrome (GAS)

Selye (2014) dalam Wulandari (2018) menyatakan bahwa

dampak negatif yang terjadi akibat stres dapat dijelaskan

menurut teori sindrom adaptasi umum General Adaptation

System (GAS) dari Selye. GAS adalah respons berpola tertentu


14

terhadap tuntutan ekstra yang diterimanya. Menurut Selye ada

tiga fase spesifik, yaitu fase alarm fisiologis, resistensi dan

kelelahan. Fase alarm fisiologis atau reaksi flight (mengindar)

atau fight (melawan) sebagai reaksi siaga tubuh terhadap

ancaman dari luar. Ancaman atau stressor akan mengaktifkan

sirkuit sres atau aksis hipotalamus-pituitari-kelenjar adrenal

(aksi HPA) untuk memproduksi hormon stres. Produksi

hormon strs ini akan diarahkan untuk melindungi ubuh agar

tetap eksis terhadap ancamman.

Fase resistence atau bisa disebut tahap perlawanan. Individu

mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan

psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi.

Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis

sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba

mengatasi faktor-faktor penyebab stres.

Fase kelelahan merupakan fase perpanjangan stres yang

belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Pada tahap

ini cadangan energi telah menipis atau habis akibatnya tubuh

tidak mampu lagi menghadapi stres (Ardhiyanti, Pitriani &

Darmayanti, 2018).
15

g. Pengukuran Tingkat Stres

Perceived Stress Scale (PSS-10) merupakan kuisioner yang

terdiri dari 10 pertanyaan yang dapat mengevaluasi tingkat stress

beberapa bulan dalam kehidupan subjek penelitian. Kuisioner PSS

akan mengindikasikan seberapa sering perasaan dengan

membulatkan jawaban atas pertanyaan. 1) Tidak pernah diberi skor

0, 2) Hampir tidak pernah diberi skor 1, 3) Kadang-kadang diberi

skor 2, 4) Cukup sering diberi skor 3, dan sangat sering diberi skor

4. Kemudian penilaian tersebut diakumulasi sesuai dengan

tingkatan stress sebagai berikut: 1) Stress ringan : skor 1-14, 2)

Stress sedang : skor 15-26 dan 3) Stres berat : >26.

2. Faktor Yang Berhubungan Dengan Stres

Banyak sekali faktor determinan dan variabel telah diselidiki,

antara lain : jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

kedudukan sosial, usia, psikopatologi, bangsa dan suku, kebudayaan,

agama, musim, cuaca, malahan jam dan hari, juga tempat dan cara,

terlalu banyak untuk membicarakan semua (W.F. Maramis, 2005

dalam Aulia 2018).

Beberapa hasil penelitian berikut menunjukkan faktor-faktor

yang berkaitan dengan fenomena stres khususnya pada siswa yang

sedang menjalani pendidikan militer (non formal). Faktor-faktor

tersebut antara lain : 1) Perilaku bunuh diri, 2) Jenis kelamin, 3)

Kepribadian, 4) Usia, 5) Depresi, 6) Masalah dalam keluarga seperti:

riwayat psikopatologi keluarga, disfungsi keluarga, disharmonis


16

keluarga, persepsi individu, 7) Bullying, 8) Pelecehan fisik dan

seksual, 9) Adanya masalah di lingkungan pendidikan seperti: prestasi

buruk, kehadiran dalam menjalani pendidikan yang kurang, dan sikap

negatif terhadap tempat pendidikan.

Pada penelitian ini akan lebih spesifik dalam membahas

mengenai riwayat personal yang berhubungan dengan stres yang terdiri

dari :

1) Persepsi

Persepsi dalam arti yang sempit adalah pandangan atau

kecenderungan mental. Persepsi adalah suatu kecenderungan

untuk mereaksi suatu hal, orang atau benda dengan suka, tidak

suka atau acuh tak acuh (M. Alisuf Sabri, 2018). Dengan

demikian, pada prinsipnya persepsi itu dapat kita anggap suatu

kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu.

Kecenderungan mereaksi atau persepsi seseorang terhadap

sesuatu hal, orang atau benda dengan demikian bisa tiga

kemungkinan, yaitu suka (menerima atau senang), tidak suka

(menolak atau tidak senang) dan sikap acuh tak acuh.

Sebagaimana persepsi kita terhadap berbagai hal di dalam hidup

kita, adalah termasuk ke dalam kepribadian. Di dalam kehidupan

manusia persepsi selalu mengalami perubahan dan

perkembangan. Dalam kasus ini stres bisa terjadi apabila pribadi

yang mengalami stres tersebut lewat perbuatannya berusaha untuk


17

mempengaruhi terjadinya perubahan sikap pada orang lain, atau

mengharapkan adanya perubahan tingkah laku pada orang lain.

2) Dukungan Sosial

Faktor lain yang juga bisa mendorong orang memiliki

kecenderungan mudah stres yaitu tidak adanya dukungan sosial

dan peran bermakna di lingkungannya. Apabila seseorang

memiliki masalah terberat dan dia merasa sendirian, tidak ada

yang menghiraukan dan dia takut meraih perhatian orang lain

karena dia merasa kecil dan tak berguna., maka jalan ke arah stres

akan dekat. Adanya relasi dalam keluarga atau perkawinan yang

berkualitas baik akan sangat membantu menghindarkan tindakan

bunuh diri. Uchino (dalam Aulia 2018) menyatakan bahwa

dukungan sosial merupakan bentuk penerimaan dari seseorang

atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan

persepsi dalam diri bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai,

dan ditolong.

Kurangnya dukungan sosial dalam tahap perkembangan

siswa yaitu dewasa awal menjadi salah satu faktor risiko adanya

stres (Kimbrough dalam Aulia 2018). Penelitian yang dilakukan

Tabaac, Perrin, & Rabinovitch (2017) juga menunjukkan bahwa

dukungan sosial keluarga memiliki hubungan yang unik dan

berkebalikan dengan adanya stres di masa lampau serta percobaan

bunuh diri yang pernah dilakukan selama hidup.


18

3) Religiusitas (Religious coping)

Perlu untuk dilibatkan dalam intervensi pencegahan resiko

stres. Sebuah penelitian mengungkapkan resiko stres dapat

diturunkan dengan melibatkan peran keyakinan spiritual atau

keagamaan pada diri individu sehingga tingkat kesehatan mental

pun menjadi lebih baik dan keyakinan spiritual ini seringkali

dikaitkan dengan resiko stres yang lebih rendah serta dapat

meningkatkan status kesehatan mental yang lebih baik (Loureiro

& Lucchetti, 2018).

Dukungan agama dikenal dapat menghambat individu yang

memiliki stres dan meningkatkan harapan hidup mereka

(Lawrence, Brent, et al., 2017). Artinya terdapat faktor resiko

terkait spiritualitas yang dapat memunculkan stres pada seorang

individu. Perlunya melibatkan tokoh agama merupakan suatu hal

yang dapat diimplementasikan dalam pencegahan stres. Hal ini

dapat memberikan dorongan pada individu untuk lebih

mendekatkan diri pada Tuhan dan meningkatkan rutinitas

ibadahnya.

Penelitian kualitatif menyatakan bahwa agama merupakan

sumber harapan. Bagi sebagian orang, hal ini melibatkan perasaan

yakin akan adanya campur tangan Tuhan. Agama juga

menawarkan cara yang lebih baik untuk mengartikan cobaan yaitu

dengan memilih untuk tidak mudah stres dapat menunjukkan

kerendahan hati, loyalitas dan disiplin (Lawrence, R, et al, 2017).


19

3. Konsep Dasar Persepsi

a. Definisi Persepsi

Persepsi berhubungan dengan suatu hal yang ada pada

manusia yang berkaitan dengan penafsiran awal sebelum memulai

situasi atau kegiatan dengan menilai suatu stimulus yang

dihadapkan padanya. Menurut Walgito (2018) “Persepsi

merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka

apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi”.

Pendapat lain dari J. Cohen (dalam Riswandi, 2019) “Persepsi

adalah interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif

objek eksternal, yang dengan kata lain pengetahuan yang tampak

mengenai apa yang ada di luar sana”. Berdasarkan hal tersebut,

maka dalam persepsi dapat dikatakan karena perasaan,

kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman setiap individu

memiliki perbedaan, oleh sebab itu dalam mempersepsi sesuatu

stimulus yang ada, hasil persepsi itu mungkin akan berbeda antara

individu satu dengan individu lain.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Perbedaan persepsi seseorang tersebut menurut

Indrawijaya (dalam Purwanti, Firman, dan Sano, 2019)

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor lingkungan, faktor

konsepsi, faktor berkaitan dengan konsep tentang dirinya

sendiri dan faktor pengalaman masa lampau. Keempat faktor

tersebut merupakan hal yang mempengaruhi pembentukan


20

persepsi seseorang. Faktor lingkungan berkaitan dengan keadaan

lingkungan sekitar baik suasana, keadaan dan situasi lingkungan

yang dekat pada individu dalam suatu kegiatan. Pada waktu

tertentu, ada saja lingkungan atau keadaan yang kurang

mendukung sehingga dapat menimbulkan persepsi buruk individu

untuk melakukan suatu kegiatan tertentu.

Lain halnya dengan pendapat Rakhmat dikutip oleh Ardi &

Linda (dalam Arwidita 2020) bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Faktor fungsional

Faktor fungsional dihasilkan dari kebutuhan, kegembiraan

(suasana hati), pelayanan, dan pengalaman masa lalu

seseorang individu. Faktor ini sering muncul karena ada

dorongan dalam diri untuk memenuhi suatu kebutuhannya.

2) Faktor-faktor struktural

Faktor-faktor struktural berarti bahwa faktor-faktor tersebut

timbul atau dihasilkan dari bentuk stimuli dan efek-efek

netral yang ditimbulkan dari sistem syaraf individu. Adanya

pengaruh yang timbul dari stimuli yang datang menghasilkan

keadaan yang mempengaruhi sistem syaraf individu untuk

merespon stimuli.

3) Faktor-faktor situasional

Faktor ini banyak berkaitan dengan bahasa nonverbal.

Petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah,


21

petunjuk paralinguistik adalah beberapa dari faktor

situasional yang mempengaruhi persepsi. Ada banyak

keadaan yang dihadapkan dalam kehidupan berupa bentuk

keadaan stimulus yang membentuk persepsi individu itu

untuk kemudian diberikan respon terhadap stimulus yang

telah dipilih. Sering sekali stimulus yang muncul disertai

berbagai keadaan yang mempengaruhi persepsi individu.

4) Faktor personal

Faktor personal ini terdiri atas pengalaman, motivasi,

kepribadian. Faktor ini berasal dari dalam diri individu yang

menjadi pendorong dalam mempersepsikan suatu hal baik itu

bersifat positif maupun negatif. Ketiga keadaan diri individu

ini dapat berubah seiringnya dihadapkan banyak pilihan

situasional yang mempengaruhi persepsi untuk pertimbangan

kita.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi persepsi dapat berupa suasana hati

(mood), sistem dan pertukaran zat dalam tubuh, pengalaman,

nilai-nilai yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta

bentuk-bentuk stimulus yang mempengaruhi proses selektif

terhadap stimulus. Semakin baik kondisi individu, maka semakin

baik pula proses yang selektif stimulus untuk dipersepsikan dalam

kehidupannya. Setiap stimulus yang datang selalu melalui proses

persepsi pada stimulus itu.


22

c. Proses Terbentuknya Persepsi

Walgito (2018) menyatakan bahwa terjadinya persepsi

merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap sebagai berikut :

1) Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan

nama proses kealaman atau proses fisik, yang merupakan

proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat indera

manusia. Dalam kehidupan, individu dihadapkan pada

berbagai macam stimulus yang telah siap untuk diambil dan

kemudian diberikan respon tertentu, sehingga menghasilkan

suatu interaksi yang bermanfaat. Stimulus yang tersedia

hanya dapat ditangkap oleh indera pada manusia untuk

proses penyeleksian stimulus yang ingin ditangkap yang

kemudian ditindaklanjuti ke proses selanjutnya.

2) Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan

proses fisiologis, merupakan proses diteruskannya stimulus

yang diterima oleh reseptor (alat indera) melalui saraf-saraf

sensoris. Stimulus yang telah ditangkap oleh alat indera

manusia dan kemudian diteruskan melalui saraf sensoris

untuk selanjutnya diantarkan menuju otak sebagai proses

pemilihan respon yang tepat untuk membalas stimuli yang

telah ditangkap.

3) Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama

proses psikologik, merupakan proses timbulnya kesadaran

individu tentang stimulus yang diterima reseptor. Kesadaran


23

timbul saat individu telah yakin bahwa ia telah memperoleh

stimulus yang berhak ia berikan respon atau tidak

tergantung bagaimana ia menyeleksi stimulus yang

diperolehnya.

4) Tahap keempat, merupakan hasil yang diperoleh dari

proses persepsi yaitu berupa tanggapan dan perilaku. Hasil

ini telah terlihat bahwa individu telah merasakan stimuli itu

dan menimbulkan persepsi yang dapat berupa persepsi

positif dan dapat pula berbentuk persepsi negatif,

tergantung bagaimana penilaian individu itu terhadap

stimuli yang muncul.

d. Aspek-Aspek Persepsi

Woodworth dan Marquis dalam Walgito (2018)

mengemukakan bahwa persepsi yang dimiliki individu

mengandung beberapa aspek yaitu aspek kognitif, aspek afektif,

dan aspek konatif. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

1) Aspek Kognitif

Aspek kognitif dalam persepsi memiliki arti komponen

sikap yang berisi kepercayaan dari individu terhadap objek

sikap tertentu yang dihadapkan dalam kehidupannya.

Kepercayaan itu muncul karena adanya suatu bentuk yang

telah tersusun secara baik dalam pikiran individu yang

mempengaruhi sikapnya terhadap sesuatu. Kepercayaan itu

juga datang dari apa yang pernah individu lihat dan ketahui
24

sehingga membentuk suatu ide atau gagasan tentang

karakteristik objek. Kepercayaan ini dapat menjadi dasar

pengetahuan bagi individu tentang suatu objek dan

kepercayaan ini menyederhanakan fenomena dan konsep

yang dilihat dan yang ditemui. Perlu juga dikemukakan

bahwa kepercayaan tidak selamanya akurat, karena

kepercayaan itu muncul juga disebabkan oleh kurangnya

informasi tentang objek.

2) Aspek Afektif

Aspek afektif ini berkenaan dengan kesan atau perasaan

individu dalam menafsirkan stimulus yang dihdapkan

padanya dalam kehidupan sehingga stimulus tersebut

disadari. Aspek afektif merupakan perasaan yang

menyangkut aspek emosional subjektif dari individu terhadap

objek persepsi, berisi perasaan memihak atau tidak memihak,

mendukung atau tidak mendukung terhadap objek yang

dipersepsi.

3) Aspek Konatif

Aspek konatif memiliki arti bagaimana individu

menunjukkan perilaku dan kecenderungan berperilaku

berkaitan dengan objek sikap yang dihadapi. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa kepercayaan dan perasaan banyak

mempengaruhi perilaku. Komponen konatif meliputi perilaku

yang tidak hanya dilihat secara langsung, tetapi meliputi pula


25

bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau perkataan yang

diucapkan oleh seseorang berisi tendensi atau kecenderungan

untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu objek yang

dipersepsi.

e. Pengukuran Persepsi

Instrumen Persepsi tentang stres dengan beban kerja

disusun berdasarkan aspekaspeknya yaitu aspek kognitif yang

diartikan sebagai komponen sikap yang berisi kepercayaan dari

individu terhadap objek sikap tertentu yang dihadapkan dalam

kehidupannya. Kedua yaitu aspek afektif yang berkenaan dengan

kesan atau perasaan individu dalam menafsirkan stimulus yang

dihdapkan padanya dalam kehidupan sehingga stimulus tersebut

disadari. Selanjutnya yang terakhir aspek konatif berkenaan

dengan bagaimana individu menunjukkan perilaku dan

kecenderungan berperilaku berkaitan dengan objek sikap yang

dihadapi.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

likert dengan empat alternatif jawaban yaitu : item favourable dan

item unfavourable. Item yang mendukung pernyataan atau searah

dengan pernyataan (favourable), mempunyai sistem penilaian

jawaban sebagai berikut: sangat sesuai (SS) skor 4; sesuai (S)

skor 3; tidak sesuai (TS) skor 2; sangat tidak sesuai (STS) skor 1.

Sedangkan untuk item yang tidak mendukung pernyataan

atau tidak searah dengan pernyataan (unfavourable), sistem


26

penilaian jawaban sebagai berikut : sangat sesuai (SS) skor 1;

sesuai (S) skor 2; tidak sesuai (TS) skor 3; sangat tidak sesuai

(STS) skor 4.

4. Konsep Dasar Dukungan Sosial

a. Definisi Dukungan Sosial

Menurut Sarafino (Rokhimah, dalam Meilianawati 2018)

dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada

individu khususnya sewaktu dibutuhkan oleh orang – orang yang

memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang tersebut,

dukungan sosial dapat merujuk pada kenyamanan, kepedulian,

harga diri atau segala bentuk bantuan yang diterima individu dari

orang lain atau kelompok. Dukungan sosial merupakan transaksi

interpersonal yang mencakup afeksi positif, penegasan, dan

bantuan berdasarkan pendapat lain.

Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan

mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh

orang lain yang berarti seperti keluarga, teman, saudara, dan

rekan kerja. Menurut Brownel dan Shumaker (dalam Rima &

Raudatussalamah, 2019) terdapat efek tidak langsung dari

dukungan sosial berarti dukungan sosial memperngaruhi

kesejahteraan individu dengan mengurangi tingkat keparahan

stress dari suatu peristiwa.


27

b. Tujuan Dukungan Sosial

Aspek dukungan sosial menurut House (Handono, 2013 dalam

Meilianawati 2019) yaitu:

1) Dukungan emosional, yaitu mencakup ungkapan empati,

kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

2) Dukungan penghargaan, yaitu terjadi lewat ungkapan hormat

(penghargaan) positif bagi orang itu, dorongan maju atau

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan

perbandingan positif orang itu dengan orang lain.

3) Dukungan instrumental, yaitu mencakup bantuan langsung

untuk mempermudah perilaku yang secara langsung untuk

mempermudah perilaku secara langsung menolong individu.

Misalnya bantuan benda, pekerjaan, dan waktu.

4) Dukungan informatif, yaitu mencakup pemberian nasehat,

saran-saran, atau umpan balik.

c. Bentuk Dukungan Sosial

Menurut Sarason (dalam Kuntjoro, 2022) dukungan sosial

adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian, dari orang-orang yang

dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Terdapat

efek tidak langsung dari dukungan sosial berarti dukungan sosial

mempengaruhi kesejahteraan individu dengan mengurangi tingkat

keparahan stress dari suatu peristiwa.


28

Dukungan sosial memiliki dua komponen mendasar yaitu

jumlah individu yang tersedia dimana salah satu individu dapat

mengandalkan pada saat dibutuhkan dan tingkat kepuasaan

individu pada saat memberi dukungan. Kepuasaan dengan

dukungan sosial dipengaruhi oleh faktor kepribadian seperti harga

diri dan perasaan control atas lingkungan sekitar (Abadi.L, 2022).

Bentuk dukungan sosial menurut Cohen & Hoberman

(dalam Isnawati & Suhariadi, 2017) yaitu:

1) Appraisal Support

Yaitu adanya bantuan yang berupa nasehat yang berkaitan

dengan pemecahan suatu masalah untuk membantu

mengurangi stressor.

2) Tangiable Support

Yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan

fisik dalam menyelesaikan tugas

3) Self Esteem Support

Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan

kompeten atau harga diri individu atau perasaan seseorang

sebagai bagian dari sebuah kelompok dimana para

anggotanya memiliki dukungan yang berkaitan dengan self-

esteem seseorang.

4) Belonging Support

Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu

kelompok dan rasa kebersamaan.


29

Sedangkan menurut Cutrona & Gardner (2004) dan Uchino

(2004) (dalam Aulia 2018) dijelaskan secara rinci terdapat empat

bentuk dukungan sosial, yaitu:

1) Emotional Support

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian

terhadap orang yang bersangkutan sehingga individu merasa

nyaman, aman, juga merasa dicintai saat individu sedang

mengalami tekanan atau dalam keadaan stress.

2) Esteem Support

Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan

positif kepada orang yang sedang mengalami stress,

dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan

individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara

individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat

menyebabkan individu yang menerima dukungan

membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan

merasa bernilai. Dukungan jenis ini sangat berguna ketika

individu mengalami stress karena tuntutan tugas yang lebih

besar daripada kemampuan yang dimilikinya.

3) Tangiable or Instrumental Support

Dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata

seperti berupa materi atau jasa. Misalnya memberi atau

meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang

yang sedang mengalami stres. Dengan adanya bantuan yang


30

mengacu pada ketersediaan peralatan, materi atau jasa dapat

membantu mengatasi permasalahan – permasalahan yang

bersifat praktis.

4) Informational Support

Mencakup memberi nasehat. Petunjuk, saran ataupun umpan

balik, sehingga dapat mengarahkan bagaimana individu

memecahkan masalah yang dihadapi.

d. Faktor – faktor yang Menghambat Dukungan Sosial

Faktor – faktor yang menjadi penghambat dalam pemberian

dukungan sosial menurut Cahyadi, 2022:

1) Penarikan diri dari orang lain, disebabkan karena harga diri

yang rendah, ketakutan untuk dikritik, pengharapan bahwa

orang lain tidak menolong, seperti menghindar, mengutuk

diri, diam, menjauh, tidak mau meminta bantuan.

2) Melawan orang lain, seperti sikap curiga, tidak sensitif, tidak

timbal balik, dan agresif.

3) Tindakan sosial yang tidak pantas, seperti membicarakan

dirinya secara terus – menerus, menganggu orang lain,

berpakaian tidak pantas, dan tidak pernah merasa puas.


31

e. Pengukuran Dukungan Sosial

Ada banyak cara mengukur dukungan sosial. House,

Robbins, and Metzner menyatakan dukungan sosial diukur

berdasarkan empat fungsi dukungan sosial, yaitu :

1) Dukungan afektif berupa simpati, pengungkapan rasa cinta

dan rasa percaya

2) Dukungan instrumental berupa bantuan pada pekerjaan dan

peminjaman uang atau benda

3) Dukungan informasional berupa memberikan informasi dan

pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah

4) Dukungan evaluatif berupa pemberian evaluasi perilaku dan

hasil yang memadai

5. Konsep Dasar Religiusitas

a. Definisi Religiusitas

Beberapa ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa

Sansakerta, yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang

berarti kacau. Maka diartikan agama yaitu tidak kacau

(teratur). Dengan demikian agama adalah peraturan, dimana

artinya peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun

mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan

pergaulan hidup bersama.

Menurut Daradjat, 2018 agama adalah proses hubungan

manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakini bahwa


32

sesuatu lebih tinggi daripada manusia. Dari istilah agama

inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas.

Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan,

seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan

kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang

dianutnya. Bagi seorang muslim, religiusitas dapat diketahui

dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan

ibadah dan penghayatan atas agama islam (Fuad Nashori, dkk.

2022). Dari pengertian yang disebutkan maka religiusitas

dalam Islam menyangkut lima hal yakni aqidah, ibadah, amal,

akhlak (ihsan) dan pengetahuan.

b. Fungsi Agama Bagi Manusia

Beberapa pendapat menjelaskan mengenai fungsi agama

bagi manusia. Jalaludin menjabarkan ada delapan fungsi

agama, yakni :

1) Berfungsi sebagai Edukatif

Penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang

mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus di

patuhi. Agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan

melarang, keduanya memiliki latar belakang mengarahkan

bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan

terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-

masing.
33

2) Berfungsi sebagai Penyelamat

Manusia pada umumnya menginginkan keselamatan.

keselamatan yang dimaksud adalah keselamatan yang

meliputi dua alam, yakni dunia dan akhirat.

3) Berfungsi sebagai Pendamaian

Melalui agama seseorang yang berdosa dapat mencapai

kedamaian batin dengan tuntunan agama. Rasa berdosa

dan rasa bersalah akan hilang dari batinnya apabila

seseorang telah menebus dosanya dengan melakukan

taubat, pensucian atau penebusan dosa.

4) Berfungsi sebagai Kontrol Sosial

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma,

sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai

pengawas sosial secara individu maunpun kelompok.

5) Berfungsi sebagai Pemupuk Solidaritas

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan

merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan iman dan

kepercayaan. Rasa kesatuan inilah yang bisa membina rasa

solidaritas dalam berkelompok maupun perorangan,

bahkan biasanya dapat membina rasa persaudaraan yang

kokoh.
34

6) Berfungsi sebagai Transformatif

Ajaran dalam agama dapat mengubah kepribadian

seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai

dengan ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan yang

baru diterima kadang mampu mengubah kesetiaan kepada

adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya.

7) Berfungsi sebagai Kreatif

Agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk

bekerja produktif, bukan hanya untuk kepentingan pribadi

tetapi demi kepentingan orang lain. Penganut agama tidak

hanya disuruh untu bekerja secara rutin, akan tetapi juga

dituntut untuk melakukan inovasi dan menciptakan

penemuan baru.

8) Berfungsi sebagai Sublimatif

Ajaran agama mengkuduskan segala urusan manusa, tidak

hanya yang bersifat duniawi namun juga yang bersifa

ukhrawi. Segala usaha tersebut selama tidak bertentangan

dengan norma agama, dilakukan secara tulus ikhlas karena

dan untuk Tuhan adalah ibadah.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Robert H. Thoules, dalam Aulia (2018) mengemukakan

bahwa terdapat empat faktor religiusitas yang dimasukkan

dalam kelompok utama, yaitu : pengaruh-pengaruh sosial,

berbagai pengalaman, kebutuhan dan proses pemikiran.


35

1) Faktor sosial mencakup semua pengaruh pengaruh sosial

dalam perkembangan sikap keberagamaan, yaitu :

pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial dan tekanan-

tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri

dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh

lingkungan.

2) Faktor lain yaitu pengalaman pribadi atau kelompok

pemeluk agama. Pengalaman konfil moral dan

seperangkat pengalaman batin emossional yang terikat

secara langsung dengan Tuhan atau dengan sejumlah

wujud lain pada sikap keberagamaan juga dapat

membantu dalam perkembangan sikap keberagamaan.

3) Faktor ketiga adalah kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi

secara sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya

kebutuhan akan kepuasan agama. Melalui agama

kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Kebutuhan itu adalah

kebutuhan akan rasa kasih sayang, kebutuhan akan rasa

aman, kebutuhan akan rasa harga diri, kebutuhan akan rasa

bebas, kebutuhan rasa sukses dan kebutuhan rasa ingin

tahu (mengenal)

4) Faktor terakhir adalah peranan yang dimainkan oleh

penalaran verbal dalam perkembangan sikap

keberagamaan. Manusia adalah makhluk berpikir. Salah

satu akibat dari pemikirannya adalah bahwa ia membantu


36

dirinya menentukan keyakinan iman yang harus diterima

dan mana yang harus ditolak.

d. Pengukuran Religiusitas

Pengukuran religious coping dilaakukan dengan berbagai

metode Religous-Spiritual Coping Scale (RCOPE), mengukur

metode coping berdasarkan kategori positif dan negatif.

Kategori positif adalah penilaian religius yang luhur,

pengampunan religius, dsb (yang mencerminkan hubungan

dengan Tuhan dan dikaitkan dengan meningkatnya kualitas

kehidupan). Sementara coping negatif (penilaian ulang

kekuasaan Tuhan, merasa diabaikan atau dihukum oleh Tuhan,

dsb) mencerminkan hubungan kurang baik dengan Tuhan dan

dikaitkan dengan kesejahteraan hidup yang buruk.

6. Konsep Dasar Brimob

a. Pengertian Brimob

Korps Brigade Mobile sebagai satuan elit Polri bertugas

menanggulangi ancaman Kamtibmas yang berintensitas tinggi.

Satuan tertua di Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir

pada tanggal 14 November 1946 banyak berkontribusi kepada

bangsa dan negara dalam menjaga keamanan dan

mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dari berbagai ancaman dan gangguan Kamtibmas

seperti gerakan radikal bersenjata, aksi terorisme dan


37

pengamanan unjuk rasa yang anarkis (Korps Brimob Polri,

2022).

Korps Brimob Polri sebagai pilar utama Polri dalam

menghadapi kejahatan berintensitas tinggi ditutut harus siap

mengemban tugas dari ancaman dan gangguan keamanan yang

saat ini masih terjadi. Misalnya ancaman nyata kelompok

teroris bersenjata pimpinan Santoso menjadi pekerjaan yang

harus diselesaikan Polri khususnya Brimob yang ditugaskan

langsung dilapangan. Peran Polri juga diperlukan dalam

menyelesiakan tindak kejahatan penyanderaan yang

melibatkan antar negara yang belum lama ini terjadi. Dan yang

perlu diwaspadai adanya kelompok-kelompok yang berusaha

merubah tatanan dan dasar negara Indonesia sehingga akan

mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.

b. Peran Dan Tugas Brimob Dari Masa Ke Masa

Korps Brimob Polri sebagai pelaksana utama Mabes Polri

yang khusus menangani kejahatan berintensitas dan berkadar

tinggi, memiliki sejarah panjang dalam pengabdiannya

membela dan menjaga bangsa Indonesia. Sepanjang

perjalanannya, Brimob Polri andil dalam lembaran sejarah

perjuangan bangsa, baik dalam merebut kemerdekaan maupun

melawan pemberontak di masa-masa awal berdirinya Republik

Indonesia. Korps Brimob Polri juga tidak terlepas dari tugas

Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri.


38

Korps Brimob Polri yang merupakan cikal bakal organisasi

bentukan Jepang mengalami beberapa kali perubahan nama

mulai dari Tokubetsu Kaisatsu Tai, Polisi Istimewa, Mobrig

(Mobil Brigade) dan Brimob (Brigade Mobil) kala itu

perannya mulai kelihatan ketika pada tanggal 8 Maret 1942

Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sebelumnya

Belanda telah menjajah Indonesia kurang lebih tiga setengah

abad lamanya. Serah terima kekuasaan dari Belanda ke Jepang

dilakukan oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh

dan Letnan Jenderal Pooten yang merupakan Panglima

tertinggi angkatan perang Belanda di Indonesia. Sedangkan

Jepang diwakili oleh Panglima Tentara keenam belas, Letnan

Jenderal Imamura.

Kegembiraan dan rasa suka-cita bangsa Indonesia karena

dibebaskan oleh saudara tua dari belenggu penjajahan ternyata

tidak berlangsung lama. Kebaikan Jepang sejak awal

pendekatan hingga keberhasilannya menduduki Indonesia

semata-mata hanyalah merupakan kedok dan tipu daya.

Sasaran Jepang yang utama adalah untuk memperoleh

dukungan dan bantuan dari bangsa Indonesia dalam program

invasinya. Hal itu, terbukti sekitar setelah dua minggu berada

di Indonesia, sifat dan tujuan sebagai imperialis mulai tampak

dengan jelas.
39

Dengan dalih untuk mempermudah pengambilalihan

kekuasaan dan pemerintahan, permerintah militer Jepang

secara berturut-turut mengeluarkan peraturan-peraturan

imperialisnya yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tanggal 8 Maret

1942 dan Undang-Undang Nomor 3 Tanggal 20 Maret 1942.

Isi pokok kedua undang-undang tersebut adalah melarang

semua bentuk kegiatan pergerakan. Semua organisasi politik

dan berbagai organisasi pergerakan yang ada di Indonesia

dibekukan. Pembekuan ini dilakukan dengan alasan untuk

menciptakan kestabilan keamanan. Bendera merah putih

dilarang dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dilarang

diperdengarkan dan dinyanyikan.

Setelah sekitar dua bulan Jepang menduduki Indonesia,

situasi perang Asia Timur Raya mulai berbalik. Keunggulan

pasukan Jepang di berbagai fron telah berbalik manjadi

kekalahan. Hal ini terbukti bahwa armada Jepang di Laut

Karang dapat dihancurkan oleh sekutu pada tanggal 7 Mei

1942 dan pada 7 Agustus 1942 pasukan sekutu berhasil

menduduki kawasan Kepulauan Salomon di Samudera Pasifik.

Dikarenakan dua kekalahan yang berturut-turut serta

keterbatasan personel akhirnya Jepang memutuskan untuk

mengubah strategi perangnya. Untuk memenuhi kebutuhan

tenaga bantu militer, Jepang secara intensif mulai Maret 1943

sampai Desember 1944, telah membentuk beberapa organisasi


40

semimiliter dan militer contohnya seperti Seinendan (Barisan

Pemuda) yang bertugas untuk membantu pemerintah militer

Jepang dalam hal peningkatan produksi maupun pengamanan

garis belakang.Keibodan (Barisan Pemuda Pembantu

Polisi),bertugas memelihara keamanan dan ketertiban daerah

setempat. Heiho (Pembantu Prajurit), bertugas untuk

membantu tentara Jepang, baik di garis depan maupun

belakang. Peta (Pembela Tanah Air), merupakan organisasi

militer penuh yang dibentuk atas kehendak bangsa Indonesia.

Karena pemerintah militer Jepang menghendaki bantuan

militer sebanyak-banyaknya dari penduduk Indonesia. Karena

tuntutan dari dalam dan luar negeri terus menekan, pemerintah

militer Jepang menginginkan adanya tenaga cadangan polisi

yang dapat digerakkan dengan cepat dan memiliki mobilitas

yang tinggi. Jika keadaan memerlukan, cadangan Polisi ini

juga diharapkan dapat berperan sebagai tenaga tempur.

Keinginan pemerintah militer Jepang akhirnya terealisasi,

Jepang berhasil membentuk satuan Polisi Khusus yang

disebut Tokubetsu Keisatsu Tai.

c. Peran Brimob Menjaga Keamanan Dalam Negeri

Diera reformasi, Polri mendapatkan dukungan publik yang

begitu luas, ditandai dengan keputusan politik memisahkan

Polri dari institusi dan garis komando TNI pada 1 April 1999.

Keputusan tersebut ditetapkan dalam Tap MPR/VI/2000


41

tentang pemisahan ABRI (TNI dan Polri) serta Tap

MPR/VII/2000 tentang peran kedua lembaga tersebut dengan

menempatkan TNI di bawah Departemen Pertahanan, khusus

Polri berada langsung di bawah Presiden. Tindak lanjut dari

keluarnya kedua Tap MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU

No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan

Negara, yang berkaitan juga dengan peran dan posisi TNI

dalam peran perbantuannya pada Polri.

Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara resmi

polisi memisahkan diri dari tubuh TNI dan menjadi Polisi

Sipil. Perjalanan reformasi Polri secara garis besar dijelaskan

bahwa Polri memiliki fungsi pemerintahan negara yang

bertujuan dan berperan untuk mewujudkan keamanan dalam

negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban

masyarakat, menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta

menegakkan hukum guna terpeliharanya keamanan dalam

negeri dalam kultur Polisi sipil.

Korps Brimob Polri sebagai bagian integral Polri juga

memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melaksanakan dan

menggerakkan kekuatan Brimob Polri dalam menanggulangi

gangguan Kamtibmas berkadar tinggi, utamanya kerusuhan

massa, kejahatan terorganisasi bersenjata api, bom, bahan


42

kimia, biologi dan radioaktif yang pelaksanaan tugas Brimob

tersebut dilandaskan atas fungsi Brimob Polri sebagai satuan

pamungkas Polri (Striking Force) yang memiliki kemampuan

spesifik penanggulangan keamanan dalam negeri yang

berkadar tinggi dan penyelamatan masyarakat yang didukung

oleh personel terlatih dan memiliki kepemimpinan yang solid,

peralatan dan perlengkapan dengan teknologi modern.

Sedangkan peran Brimob Polri dalam organisasi adalah

melakukan maneuver, baik secara individual atau dalam

kelompok dengan daya gerak, daya tembak dan daya sergap

untuk membatasi ruang gerak, melumpuhkan, menangkap para

pelaku kejahatan beserta saksi dan barang bukti dengan cara :

membantu, melengkapi, melindungi, memperkuat dan

menggantikan satuan kepolisian yang ada.

Brimob Polri ditugaskan menjaga keamanan dalam negeri

dari ancaman kejahatan yang berintensitas tinggi. Keberhasilan

Korps Brimob Polri dalam menanggulangi ancaman

Kamtibmas di Indonesia, tidak terlepas adanya dukungan dari

masyarakat bangsa dan negara yang menginginkan rasa aman

dan nyaman tercipta di negeri ini. Korps Brimob Polri juga

memiliki kemampuan Search and Rescue (SAR) yang

digunakan dalam tugas-tugas kemanusiaan dalam membantu

dan mengevakuasi korban bencana alam yang terjadi di

Indonesia.
43

Intensitas perlibatan kekuatan Brimob Polri dalam

penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia

meningkat pasca serangan teror Bom Bali I. Disamping

dilibatkan dalam operasi-operasi kepolisian lainnya, khususnya

dalam menghadapi kejahatan berintensitas tinggi. Seperti

keberhasilan Polri dalam mengungkap dan menangani kasus

terorisme di wilayah Poso Sulawesi Tengah baru-baru ini juga

tidak terlepas dari adanya peran Korps Brimob Polri yang

tergabung dalam operasi Tinombala bersama dengan TNI.

Polri juga dihadapkan pada tugas menangani kejahatan

transnasional. Hal ini konsekuensi atas perkembangan dan

kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan informasi

yang kini batas-batas fisik suatu negara menjadi sesuatu hal

yang maya. Kompleksitas pelaku dan objek perbuatan serta

kesulitan akibat perbedaan hukum positif antar negara

merupakan ciri khas dari kejahatan trans nasional.

Seperti, money loundering, illegal fishing, human trafficking

dan drugs trafficking.

Dalam menghadapi ancaman tugas diera modern seperti

itulah, Polri dibawah kepimpinan Jenderal Polisi Drs M. Tito

Karnavian, MA, Ph.D menjawab dengan strategi delapan misi,

sebelas program prioritas dan sepuluh komitmen. Promoter

(Profesional, Modern dan Terpercaya) menjadi visi Kapolri

yang harus ditindaklanjuti seluruh jajaran Polri termasuk


44

Korps Brimob Polri telah membuat rencana aksi program

prioritas Kapolri fungsi Brimob sebanyak 8 program terdiri

dari 23 kegiatan dan quick wins dengan 7 kegiatan.

d. Masalah Yang Sering Terjadi Pada Siswa Yang Menjalani

Pendidikan

Menurut survey yang dilakukan Korps Brimob Polri pada

tahun T.A 2020/2021 masalah yang sering terjadi pada siswa

yang menjalani pendidikan Brimob diantaranya adalah :

1) Stres

Tekanan yang sering dialami siswa adalah saat

pelatihan fisik di lapangan, selain membutuhkan fisik yang

kuat juga membutuhkan mental yang selalu siap

(Permatasari & Siswati, 2017). Pekerjaan dengan tuntutan

tinggi akan memunculkan suatu ketegangan pada kondisi

fisik dan psikis, seperti rasa lelah, sulit kosentrasi maupun

bekerja secara efektif yang akhirnya memunculkan stres

pada pekerjaan. Stres di tempat kerja dapat muncul ketika

siswa merasa tidak bisa memenuhi berbagai tuntutan

pekerjaan dari Pimpinan dalam jangka waktu yang

ditentukan (Hestya & Maulana, 2021).

2) Kecemasan

Kecemasan menjalani pendidikan merupakan suatu

perasaan sementara yang dirasakan oleh anggota Brimob

menghadapi pendidikan karena adanya perasaan khawatir


45

dan takut terjadi sesuatu yang belum pasti dimasa yang

akan datang serta belum siap menerima segala tekanan di

kehidupan.

3) Meninggalkan Keluarga Dalam Waktu Yang Lama

Anggota Brimob cenderung merasa cemas dan

langsung menelpon keluarga untuk meminta dukungan

serta berdoa supaya diberikan kelancaran serta

keselamatan baik untuk subjek maupun keluarga.

4) Kurangnya Kesiapan Psikologis

Coping stress merupakan respon perilaku yang

dilakukan oleh individu dalam mengatasi masalah dalam

diri. Individu melibatkan orang lain seperti keluarga, istri,

anak dan teman dekat untuk mendapatkan respon atau

nasihat untuk mengurangi gejolak batin di diri individu

tersebut.
46

B. Kerangka Konseptual

Faktor-faktor yang berhubungan


dengan Stres :

Faktor Internal :

1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Perilaku Bunuh Diri
4. Kepribadian Masalah yang sering terjadi
5. Depresi pada siswa yang menjalani
Pendidikan :
6. Persepsi Individu
7. Religiusitas 1. Stres

Faktor Eksternal : 2. Kecemasan


3. Meninggalkan Keluarga
1. Dukungan Sosial dalam waktu yang lama
2. Relasi Sebaya 4. Kurangnya kesiapan
psikologis
3. Keputusasan
4. Masalah dalam Keluarga
5. Bullying
6. Pelecehan Seksual dan Fisik
7. Masalah di Sekolah

Keterangan :
: Variabel yang Di Teliti

: Varibel yang Tidak Di Teliti

Sumber : Aulia (2018), (Permatasari & Siswati, 2017), (Hestya &


Maulana, 2021), Korpsbrimob Polri

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Analisis Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Stres Siswa Dalam Menjalani
Pendidikan Di Pusdik Brimob Watukosek
47

Beberapa hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang berkaitan

dengan kejadian khususnya pada siswa yang sedang menjalani pendidikan militer

(non formal). Faktor-faktor tersebut bisa disebabkan karena faktor internal atau

faktor eksternal. Beberapa contoh faktor internal antara lain yaitu : jenis kelamin,

usia, perilaku bunuh diri, kepribadian, depresi, perepsi individu dan religiusitas.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain : dukungan sosial,

relasi sebaya, keputusasan, masalah dalam keluarga, bullying, pelecehan seksual

dan fisik, masalah di sekolah. Program Pendidikan Pusdik Brimob seringkali

mengalami masalah pada siswa yang menjalani Pendidikan diantaranya stres,

kecemasan, meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama, serta kurangnya

kesiapan psikologis.

Penelitian ini akan lebih spesifik dalam membahas mengenai riwayat

personal yang berhubungan dengan stres siswa yang terdiri dari : persepsi

infividu, dukungan sosial dan religiusitas.

You might also like