Professional Documents
Culture Documents
Revisi Tafsir Nusantara Kel Saya
Revisi Tafsir Nusantara Kel Saya
1
Nur Alfi Hasanah, 2Zhafira Qotrun Nada
1
Universitas UIN Sunan Ampel Surabaya
2
Universitas UIN Sunan Ampel Surabaya
07010321021@student.uinsby.ac.id.
07020321087@student.uinsby.ac.id.
Abstrak
Dalam kajian tentang ajaran moderat yang sempat marak di era modern terutama di
Indonesia pada kalangan masyarakat muslimin, tentunya Al-Qur’an juga memberikan
respon baik terhadap hal tersebut. Tulisan ini membahas tentang interpretasi KH.
Bisri Musthafa dalam kitab al-Ibriz pada QS. al-Qashas[28] :77, al-Baqarah[2] :143,
ali Imran[3] :110, dan al-Maidah [5] :66 dalam konteks wasathiyah. Dalam
pemaknaan ummatan wasathan ini, penulis menggunakan empat surat yang dianggap
memiliki korelasi akan konsep wasathiyah. Adapun konsep wasathiyah dalam
penafsiran Bisri Musthafa menggunakan kata ummatan wasathan, yang bermakna
golongan orang-orang tengah (adil). Menurut M. Quraisy Shihab asal dari kata
ummah adalah kata amma-ya’ummu yang berarti menuju dan meneladani, sedangkan
kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya dan kemudian
dikembangkan maknanya menjadi Tengah, tidak memihak antara yang kiri dan yang
kanan. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode deskriptif dan analisis.
Tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan bagaimana KH. Bisri Musthafa
memberikan penafsiran terhadap konsep wasathiyah yang ada dalam salah satu kitab
tafsirnya (Kitab Tafsir al-Ibriz). Kitab dengan nama lengkap Al-Ibri>z li Ma`rifah
Tafsi>r al-Qur`a>n al ’Azi>z bi al-Lughah al-Ja>wiyah ini menggunakan penafsiran
Pegon Jawa. Kitab tersebut disusun oleh Bisri Musthafa dengan harapan bahwa
dengan adanya kitab ini dapat melestarikan bahasa Jawa dan berguna untuk kalangan
masyarakat, terutama masyarakat Jawa dalam memahami makna kandungan ayat-ayat
Al-Qur`an. Hasil dari tulisan ini adalah konsep washatiyah menurut KH. Bisri
Musthafa yang didasarkan dengan kalimat ummatan wasathan merupakan golongan
orang-orang tengah (bagus, baik, moderat, adil, dan seimbang). Sehingga sebagai
generasi muda yang menjadikan diri diselimuti oleh islam, seharusnya setiap individu
generasi berusaha untuk mewujudkan wasathiyah dan membekali diri dengan
pengetahuan islami.
Kata Kunci: Wasathiyah, Bisri Musthafa, Kitab Tafsir al-Ibriz
Pendahuluan
Dalam kajian tentang ajaran moderat yang sempat marak di era modern
terutama di Indonesia pada kalangan masyarakat muslimin, tentunya berdampak pada
pada pandangan masyarakat. Bahkan dalam perdebatan mengenai ajaran moderat ini
dapat terlihat dari Al-Qur’an yang juga memberikan respon baik terhadap hal
tersebut. Dan perlu adanya penguatan yang dilakukan ditengah kalangan masyarakat
guna menjelaskan beberapa nilai pokok ajaran agama Islam dan mencoba
menegakkan keadilan beragama tanpa adanya pembedaan baik secara suku, agama,
ras, status social, dan lain sebagainya. Karena sebab inti dari ajaran Islam adalah
membentuk kemaslahatan untuk umat Islam bersama dan menghindarkan diri
menjadi perilaku perusak. Adapun nilai-nilai pokok ajaran Islam yang perlu
dikuatkan kembali seperti mewujudkan perdamaian, melestarikan lingkungan, adanya
toleransi beragama, dan lain-lain.
Pakar Tafsir Al-Qur`an Indonesia, Profesor Quraish Shihab, mengusulkan tiga
kunci bagi seseorang untuk mengamalkan wasathiyah atau moderasi beragama. Tiga
kuncinya adalah ilmu, menggantikan emosi keagamaan dengan cinta beragama, dan
senantiasa berhati-hati. Para ahli tafsir mengartikan kata wasathan sebagai yang
terbaik, selektif, adil dan seimbang. 1 Oleh karena itu, ummatan wasathan dapat
dipahami sebagai ummat Islam yang merupakan ummat terbaik, ummat terpilih,
ummat yang shaleh, dan ummat yang hidup seimbang. Ummatan wasathan menurut
KH. Bisri Musthafa merupakan golongan orang-orang tengah (bagus, baik, moderat,
adil, dan seimbang). Dalam konteks sekarang, kata ummatan wasathan dalam surat
al-Baqarah [2] ayat 143 sering diterjemahkan menjadi “ummat tengah” yang berarti
ummat moderat.
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat
pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak
menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya,
kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul
dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu
sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah[2] :143.)
1
Edi Nurhidin, “Strategi Implementasi Moderasi Beragama M. Quraish Shihab Dalam Pengembangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,” Kuttab: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam 5, no. 2 (2021): 115–29.
Islam yang wasathiyah menjadi solusi terbaik bagi kehidupan keagamaan
yang seringkali mendapatkan keseteruan kepercayaan dari berbagai ormas. Hal ini
sungguh sangat memicu sentimen masyarakat dalam menyikapi hal tersebut, seperti
yang terjadi Cikeusik Banten yang dilakukan terhadap sekumpulan jamaah dan
penistaan agama yang terjadi di Temanggung Jawa Tengah. 2 Sehingga kekerasan
yang telah dilakukan hanya untuk menindas ormas yang tidak memiliki kepercayaan
yang sama, menjadikan simbol islam terlihat menyedihkan. Persoalan seperti ini
bukan hanya terjadi. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu, sangat beragam, dari
sudut pandang agama, etnis dan budaya. Jadi segalanya itu bertentangan dengan
identitas nasional yang jamak, termasuk metode keagamaan orang yang tidak
menghargai perbedaan dan keberagaman tentu akan ditolak oleh publik.
Pluralisme bisa dikatan sebagai alam yang telah menjadi identitas bangsa ini.
Dan bentuk jamaknya adalah sunatullah dan keniscayaan perbedaan agama.
Tujuannya adalah untuk bekerja sama di wilayah yang disepakati oleh kedua belah
pihak, saling menghormati dan menghargai dalam hal-hal yang tidak dapat disatukan.
Sebagai satu bangsa, tanpa memandang perbedaan agama, suku, bahasa dan lain-lain,
kita sebenarnya memiliki masalah dalam hal yang sama yaitu kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan.3 Jadi di mana-mana komponen bangsa harus
bersinergi dengan saling menguatkan, sehingga dengan perbedaan yang ada dapat
dijadikan sebagai cara untuk bisa menemukan solusinya bersama. Islam mengajarkan
umatnya toleransi yang berarti menghormati sikap dan pendapat orang lain.
2
Muhammad Hasim Asngari, “Internalisasi Islam Rahmatan lil ‘Alamin Perspektif KH. Hasyim Muzadi
sebagai Dasar Moderasi Beragama (Studi Kasus di Pondok Pesantren Bustanul Muta’allimin Kota
Blitar),” Prosiding Nasional 4 (2021): 247–62.
3
Muhammad Harfin Zuhdi, “Pluralisme dalam Perspektif Islam,” AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam
17, no. 1 (2012): 75–100.
menafsirkan wasatiyah dengan beberapa ayat yang ditelaah oleh penulis. Kedua, dari
penelitian ini mencoba mengungkapkan korelasi antara konteks pada masa KH. Bisri
Musthafa dan konteks saat ini dalam wasatiyah yang ditekankan pada kata ummatan
wasathan. Ummatan wasathan menurut KH. Bisri Musthafa merupakan golongan
orang-orang tengah (bagus, baik, moderat, adil, dan seimbang).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis berharap dengan adanya tulisan ini
dapat menjadi rujukan dalam memahami konsep wasathiyah yang telah dituangkan
dalam kitab al-Ibriz oleh KH. Bisri Musthafa.
Pada tahun 1923 KH. Bisri Musthofa menunaikan ibadah haji bersama
keluarganya. Selama ibadah haji, ayahnya H. Zainal Musthofa sering mengalami
sakit-sakitan. Sehingga pada saat perjalanan ke Jeddah untuk kembali ke Indonesia
beliau sakit keras dan kemudian wafat pada usia 63 tahun seusai menunaikan ibadah
haji.
Sepulang dari tanah suci kakak tirinya, H. Zuhdi mendaftarkan Bisri Musthofa
di sekolah HIS (Hollands Inlands School) yang ada di Rembang. Namun setelah
mengetahui bahwa Bisri Musthofa bersekolah di HIS KH. Cholil menemui H. Zuhdi
4
Mar’atus Sholihah, Pandangan Fiqih KH. Bisri Musthofa Dalam Tafsir al-Ibriz (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah; IAIN Ponorogo 2017, 30
dan meminta untuk memindahkan Bisri Musthofa ke sekolah lainnya. Selain
dikarenakan HIS adalah sekolah milik penjajah Belanda khusus para anak pegawai
negri, KH. Cholil melarang karena ia benci pada penjajah Belanda dan khawatir jika
kelak Bisri memiliki watak seperti penjajah Belanda. Setelah keluar dari HIS Bisri
Musthofa melanjutkan Pendidikan di sekolaj Ongko Loro dan menyelesaikan
sekolahnya selama tiga tahun dengan sertifikat lulusnya
Setelah lulus di Ongko Loro Bisri Musthofa mengaji di KH. Cholil Kasingan.
Pada tahun-tahun pertama Bisri merasa tidak minat belajar disana. Ia menganggap
bahwa Pelajaran yang ada di pesantren sangat sulit dipelajari seperti nahwu dan
shorof. Selain itu, ia merasa KH. Cholil merupakan sosok yang keras dan galak dalam
mengajar, sehingga ia takut mendapat hukuman jika tidak bisa menghafal atau
memahami Pelajaran yang disampaikan.5
Sebagai menantu dari ulama besar, banyak para santri yang ingin mengaji
kepadanya karna menganggap ia telah menguasai banyak ilmu. Namun ia merasa
bahwa belum mampu dan belum cukup ilmu, akhirnya ia menerapkan sistem belajar
candak kulak (belajar sambal mengajar). Ia belajar kepada ulama senior, kyai Kamil
yang berada di Karanggeneng Rembang.7
Pada tahun 1936 ia menunaikan ibadah haji kedua kalinya di usia dua puluh
tahun. Ia begitu gigih berangkat ke Makkah dengan uang tabungan hasil jerih
payahnya menjual kitab dan dengan bekal pas-pasan. Selama disana ia ikut bersama
5
Ibid, 32-36
6
Lailatul Mukjizat, Kajian Ayat-Ayat Teologis Dalam Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa, Jurnal al-
Dirayah vol 2 no 1 (Juli;2019), 21
7
Mar’atus Sholihah, Pandangan Fiqih KH. Bisri Musthofa Dalam Tafsir al-Ibriz (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah; IAIN Ponorogo 2017, 34
Syaikh Hamid Said sebagai khadam-nya.8 Ia juga menetap disana selama satu tahun,
kemudian pada musim haji berikutnya tahun 1937 ia pulang ke Indonesia. Disana
KH. Bisri juga memperdalam agama dengan ulama-ulama diantaranya Syaikh
Hamdan al-Maghribi, syaikh Alwi al-Maliki, Sayyid Amin, Sayyid Alie dan Syaikh
Hasan Mashshat. Tak hanya ulama-ulama yang ada disana, ia juga berguru dengan
ulama-ulama Nusantara seperti KH. Abdul Muhaimin (menantu KH. Hasyim Asy’ari)
dan KH. Bakir asal Yogyakarta.9
Jepang mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama yang juga dipimpin oleh
KH. Hasyim Asyari tingkat pusat setelah tak lama Masyumi didirikan. KH. Bisri
Mustofa dan H. Machmudi Pati membantu daerah Karesidenan Pati yang dipimpin
KH. Abdul Manan.
8
Lilik Faiqoh, Tafsir Kultural Jawa; Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut KH. Bisri Musthofa, Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam vol 10 no 1 (Juni; 2016), 73
9
Mar’atus Sholihah, Pandangan Fiqih KH. Bisri Musthofa Dalam Tafsir al-Ibriz (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah; IAIN Ponorogo 2017, 35
10
Khumaidi, Implementasi Dakwah Kultural Dalam Kitab al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa, Jurnal An-
Nida vol 10 no 2 (Juli; 2018), 184
Kemudian setelah merdekanya Indonesia, terjadilah pergolakan dimana-mana
karena tentara sekutu yang berobsesi ingin merebut Indonesia kembali dari Jepang.
KH. Bisri Mustofa memutuskan untuk ikut berjuang menyerbu daerah Sayung
dengan barisan para Hizbullah dan Sabilillah, dan mengeluarkan diri dari jabatannya
sebagai pegawai di Kantor Urusan Agama Pati.
Pada pemilu 1955, KH. Bisri Mustofa menjabat sebagai ketua Partai NU
setelah sebelumnya berafiliasi dengan Masyumi. Setelah NU mengumumkan keluar
dari Masyumi, KH. Bisri Mustofa pun ikut meninggalkan Masyumi dan aktif di partai
NU. Dalam pemilu tersebut, KH. Bisri Mustofa sukses terpilih sebagai anggota
konstituante mewakili partai NU. Setelah pembubaran Majelis Konstituante pada
masa pemerintahan Sukarno, KH. Bisri Mustofa kemudian terpilih menjadi anggota
MPRS dari kalangan ulama. Selain itu, ia juga diangkat sebagai Pembantu Menteri
Penghubung Ulama. Selaku anggota MPRS, KH. Bisri turut serta dalam proses
penunjukan Letjen Soeharto sebagai Presiden, meggantikan Soekarno, dan juga turut
serta mengambil bagian dalam memimpin doa saat pelantikan.
Di era masa orde baru, ia turut serta menjadi bagian dari anggota DPRD I
Jawa Tengah yang terpilih melalui Pemilu tahun 1971, mewakili Fraksi NU. Selain
itu, ia juga menjabat sebagai anggota MPR dari perwakilan daerah Golongan Utama.
Pada tanggal 5 Januari 1973, saat terjadi fusi antara empat partai Islam yakni Partai
NU, Parmusi, PSII, dan PERTI, menjadi PPP (Partai Persatusn Pembangunan).
Dalam konteks ini, ia tergabung sebagai anggota Majelis Syuro DPP Partai Persatuan
Pembangunan. Dalam pemiliham umum tahun 1977, ulama ini mencalonkan diri
sebagai anggota DPR mewakili PPP Jawa Tengah. Namun, sekitar satu minggu
sebelum kampanye Pemilu 1977, Bisri Mustofa meninggal dunia di Rumah Sakit
Umum Dr. Karyadi Semarang akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan
gangguan paru-paru. Ia meninggal tanggal 16 Februari 1977 pada usia 63 tahun.11
Kitab al-Ibriz yang terdiri dari 30 jilid dan 2270 halaman ini disusun kurang
lebih selama empat tahun dari tahun 1957-1960 M. Kitab ini diselesaikan saat usia
KJ. Bisri Musthofa 45 tahun dan diterbitkan oleh Menara Kudus. 13 Menurut
pernyataan Nyai Ma’rufah selesainya tafsir al-Ibriz bertepatan dengan kelahiran putri
yang terakhi yaitu Atikah.14
11
Mar’atus Sholihah, Pandangan Fiqih KH. Bisri Musthofa Dalam Tafsir al-Ibriz (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah),.. 35-38
12
Khumaidi, Implementasi Dakwah Kultural Dalam Kitab al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa, Jurnal An-
Nida vol 10 no 2 (Juli; 2018), 184
13
Lailatul Mukjizat, Kajian Ayat-Ayat Teologis Dalam Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa, Jurnal al-
Dirayah vol 2 no 1 (Juli;2019), 22
14
Mar’atus Sholihah, Pandangan Fiqih KH. Bisri Musthofa Dalam Tafsir al-Ibriz (Kajian Ayat-Ayat
Ibadah), Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah; IAIN Ponorogo 2017, 46
Musthofa menyusun tafsir ini dengan menggunakan bahasa jawa / pegon agar lebih
mudah dipahami oleh Masyarakat local.15
15
Ibid, 47
16
Novika Putri Yendri, “KONSEP MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN JUZ 30 PRESPEKTIF TAFSIR AL-IBRIZ
KARYA KH. BISRI MUSTHOFA” (UIN PROF. KH SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO, 2023). 34-35
“Dumateng ngersanipun poro mitro muslimin ingkang sami mangertos
tembung daerah jawi, kawulo segahaken terjemah tafsir al-Qur`an al-Aziz mawi
coro ingkang persojo, enteng serto gampil pemahamipun.”
Bisri Musthafa menulis kitab ini selama kurun waktu 6 tahun antara tahun
1945 sampai 1960.17 Sistematika kitab al-Ibriz berbentuk setiap halaman memiliki
penafsiran disamping ayat Al-Qur'an yang telah ditafsirkan secara per-kata.
Penafsirannya menggunakan bahasa Jawa atau Pegon dengan langgam dan genre
"Pantura" (bahasa Pulau Jawa bagian Utara) yang memiliki nuansa otentik. Bisri
Musthafa menggunakan bahasa Jawa Pegon karena memang ia sangat tau apa yang
dibutuhkan oleh para santri dan pendengarnya.
Contoh dari kitab lain dapat dilihat dari penafsiran pada QS. al-Kahfi [18] :
22.18
"Faidatun: ashabul kahfi pitu mau, asma-asmane koyo kang kasebut
ngisor iki: (1) Maksalmina (2) Talmikha (3) Martunus (4) Nainus (5) Sarayulus
(6) Dzutuanus (7) Palyastatyunus, nuli asune aran (8) Qitmir. Sakwench ulama'
ono kang ngendika: (embuh dasare) anak-anak iro wulangen ashabul kahfi,
jalaran setengah saking khasiate, yen asma-asma ashabul kahfi iku ditulis ono
ing lawange omah, aman saking kobong. ditulis ono ing bondo, aman soko
kemalingan. Ditulis ono ing perahu, aman soko kerem, kabeh mau bi idznillah
ta'ala karomatan li ashabil kahfi. Sedulur kang kapingin pirso jembare dak aturi
mirsani ono ing jamal tafsir ala al-jalalain juz 3 shahifah nomer 17".
Terjemahan tafsir :
“Faidatun : tujuh ashabul kahfi, nama-namanya seperti disebutkan di
bawah ini: (1) Maksalmina (2) Talmikha (3) Martunus (4) Nainus (5) Sarayulus
(6) Dzutuanus (7) Palyastatyunus, maka anjing itu disebut ( 8) Qitmir .Beberapa
ulama yang mengatakan: (pada dasarnya) anak-anak diajarkan ashabul kahfi,
karena setengah keampuhannya, jika nama ashabul kahfi tertulis di pintu rumah,
maka aman dari api. mencuri. Di perahu tertulis, aman di mobil, semuanya bi
idznillah ta'ala karomatan li ashabil kahfi. Saudaraku yang minta lebarnya, aku
suruh lihat di jamal tafsir ala al-jalalain juz 3 shahifah nomor 17".
17
Izzul Fahmi, “Lokalitas Kitab Tafsīr Al-Ibrīz Karya KH. Bisri Mustofa,” Islamika Inside: Jurnal
Keislaman dan Humaniora 5, no. 1 (2019): 96–119.
18
KH. Bisri Mustofa, Tafsi>r al-Ibri>z li Ma’rifat Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azi>z bi al-Lug}oh Al-
Ja>wiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960), Juz 1, hal 890-891.
yang dilakukan oleh Bisri Musthafa adalah al-Ma'tsur. Namun penukilan dalam
riwayat hadis atau riwayat para sahabat tabi’in dan para ulama merupakan hasil
refleksi tafsir Bisri Musthafa sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
sumber tafsir al-Ibriz adalah bi al-Ma'tsur dan bi al-Ra'yi. Namun penafsirannya lebih
berpihak pada bi al-Ra'yi.
Corak yang digunakan Bisri Musthafa dalam tafsir Al-Ibriz tidak mempunyai
kecenderungan mainstream terhadap suatu gaya tertentu. Al-Ibriz cenderung
memadukan gaya fiqhi, sosial dan shufi, sebaliknya model Tasawuf dan memiliki
model pendidikan (tarbawi>) tidak ditemukan di dalamnya.19 Dengan kata lain,
penafsir akan memberikan penekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang
mengandung nuansa hukum, tasawuf, atau sosial. Dalam model gabungan ini harus
dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana. Mengenai metode, Bisri
menggunakan metode gabungan tahlili-ijmali, yaitu ia mengungkapkan keseluruhan
ayat Al-Quran menurut Mushaf Utsmaniyah dan memparafrasekan ayat tersebut
secara sederhana, komprehensif, dan tidak panjang lebar. Hal ini terlihat pada
penjelasannya pada QS. al-Baqarah[2] :2-5 yang dijelaskan hanya dalam beberapa
baris saja.20
19
Abu Rohkmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab-Pegon Al-Ibriz,” Analisa: Journal of Social Science
and Religion 18, no. 1 (2011): 27–38.
20
KH. Bisri Mustofa, Tafsi>r al-Ibri>z li Ma’rifat Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azi>z bi al-Lug}oh Al-
Ja>wiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960), Juz 1, hal 4.
Dalam buku karya Ali Nurdin yang berjudul Quranic Society: Menelusuri
Konsep Masyarakat Ideal Dalam al-Quran juga menyebutkan bahwa arti kata
ummah ada yang bersifat khusus dan bersifat umum. Kata ummah yang bersifat
khusus mempunyai arti para penganut agama, atau pengikut agama tertentu seperti
umat Islam, umat nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang bersifat umum berarti
setiap generasi adalah umat yang satu, dan bangsa manusia disebut umat manusia
tanpa batasan agama tertentu.
Sedangkan kata wasath dalam al-Quran disebutkan sebanyak lima kali yakni
pada surah al-Baqarah (2:143), al-Baqarah (2:238), al-Maidah (5:89), al-Qalam
(68:28), dan surah al-Adiyat (100:5).21 Wasatan sendiri secara etimologi berarti yang
Tengah-tengah.22 Menurut M. Quraisy Shihab, kata wasath berarti segala yang baik
sesuai dengan objeknya dan kemudian dikembangkan maknanya menjadi Tengah,
tidak memihak antara yang kiri dan yang kanan. Bila menghadapi dua pihak yang
berseteru dituntut untuk berada di posisi wassath supaya berlaku adil. Darisitulah
muncul makna lain dari kata wasath, yaitu adil.23
Kata ummat yang disandingkan dengan kata wasatan hanya terdapat pada
surah al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi :
َو َك ٰذ ِلَك َجَع ْلٰن ُك ْم ُاَّم ًة َّوَس ًطا ِّلَتُك ْو ُنْو ا ُش َهَد ۤا َء َع َلى الَّن اِس َو َيُك ْو َن الَّرُس ْو ُل َع َلْيُك ْم َش ِهْيًداۗ َو َم ا َجَع ْلَن ا اْلِقْبَل َة اَّلِتْي ُكْنَت
َع َلْيَهٓا ِااَّل ِلَنْع َلَم َم ْن َّيَّتِب ُع الَّرُس ْو َل ِمَّم ْن َّيْنَقِلُب َع ٰل ى َع ِقَبْي ِۗه َوِاْن َك اَنْت َلَك ِبْي َر ًة ِااَّل َع َلى اَّل ِذ ْيَن َه َدى ُهّٰللاۗ َو َم ا َك اَن ُهّٰللا
ِلُيِض ْيَع ِاْيَم اَنُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا ِبالَّناِس َلَر ُءْو ٌف َّر ِح ْيٌم
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan) agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu)
kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu
sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
21
Abdul Rauf, Interpretasi Hamka Tentang Ummatan Wasatan Dalam Tafsir al-Azhar, QOF vol 3 no 2
(Juli 2019), 165
22
Khairil Fazal, Ummatan Wasatan Dalam Pancasila Perspektif Tafsir M. Quraisy Shihab, Tafse: Journal
of Quranic Studies vol 7 no 1 (Januari 2022), 80
23
Abdul Rauf, Interpretasi Hamka Tentang Ummatan Wasatan Dalam Tafsir al-Azhar, QOF vol 3 no 2
(Juli 2019), 166
Secara terminology ummatan wasatan banyak dikemukakan oleh para
mufassir. Seperti Sayyid Quthub yang menyatakan bahwa arti dari ummatan wasatan
adalah umat pertengahan, adil serta yang menjadi saksi atas manusia seluruhnya.
Oleh karna itulah umat Islam menjadi penegak keadilan dari yang lain. Tak hanya
Sayyid Quthub, Ali as-Shabuni juga mengemukakan bahwa ummatan wasatan berarti
umat yang dapat berlaku adil dan juga umat pilihan, yang kelak pada hari kiamat akan
bersaksi bahwa telah diutus Rasulullah kepada mereka untuk menyampaikan risalah-
risalahnya. 24
Dalam kitab tafsir al-Azhar karya Hamka juga disebutkan bahwa ummatan
wasatan adalah umat yang berada ditengah, umat yang berada di jalan lurus yang
tidak bergantung pada dunia ataupun diperhamba oleh suatu benda dan materi. 25 Pada
penafsiran Ibnu Kathir dalam kitabnya dijelaskan, bahwa menurutnya kata wasath
berarti pilihan terbaik. Diungkapkan bahwa kaum Quraisy adalah orang Arab pilihan,
baik nasab mereka ataupun tempat tinggalnya. Dan juga dikatakan bahwa Rasulullah
Saw “wasatan fi qaumihi”, artinya orang yang terbaik dan termulia nasabnya.26
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwasanya ayat ini menjelaskan mengenai
tugas dan tujuan daripada umat manusia sebagai ciptaan Allah SWT, Islam sebagai
agama yang ajarannya moderat, karena Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap
adil, seimbang dan proporsional. Ajaran ini mencakup seluruh aspek kehidupan umat
Islam, baik dalam beribadah, shalat, dan bekerja. Misalnya Islam melalui Al-Quran
memerintahkan umatnya untuk mencari ridho Allah di akhirat, namun di saat yang
sama juga harus memperhatikan kehidupan duniawi.
29
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, vol 3, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, 2019), hal 28.
30
KH. Bisri Mustofa, Tafsi>r al-Ibri>z li Ma’rifat Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azi>z bi al-Lug}oh Al-
Ja>wiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960), Juz 2, hal 46-47
Kanjeng nabi madep marang kiblat baitul muqaddas iku suwene namung nam
belas atau pitulas wulan. Wusono wong-wong yahudi isih podo bahe, sedeng
kanjeng nabi dewe sak benere isih remen madep kiblat ka bah, amargo ka’bah
iku kejobo pancen kiblate eyange (nabi Ibrahim) madepe kanjeng nabi mareng
kiblat ka'bah iku luweh biso narik marang islame wong arab.
Saking kepingine kanjeng nabi diwangsulaken marang ka bah maneh, nganti
kanjeng nabi asring ndangak mirsani langit kang nuduhaken nemen anggone
nemen arep-arep tumakane wahyu. Dawuh pindah kiblat temenan bareng wus
nam belas atau pitulas wulan kanjeng nabi madep baitul muqaddas. Kanjeng nabi
tompo wahyu kang surasane supaya kanjeng nabi sak ummate madep marang
kabah naliko iku suwarane wong-wong yahudi lan wong-wong musyrik geger:
opo iku, wong madep kiblat kok ngolah ngaleh. sedelo madep ka bah, sedelo
madep baitul muqaddas sedelo mane madep ka'bah maneh. Mireng suwara geger
mau, kanjeng nabi susah, nanging ora sepiroho, sebab sak durunge mongso
kanjeng nabi wes nampa dawuh kang surasane: wong-wong bodo saking wong
yahudi lan wong musyrik bakale mesti podo nyela anggone kanjeng nabi pindah
kiblat.
Wong-wong kang podo bodo ora ngerti yen sak benere wetan kulon iku
kagungane Allah ta'ala. ono ing arah endi bae kanjeng nabi madep, iku sejatine
yo madep marang pangeran. Dene onone parentah madep baitul muqaddas atau
ka'bah iku hikmane manunggalake adepe umat Islam. Sahinggo ora namung
adepe dhodho bae kang manunggal, nanging ugo adepe ati di soperih dening
pangerane supoyo ugo manunggal".
31
KH. Bisri Mustofa, Tafsi>r al-Ibri>z li Ma’rifat Tafsi>r al-Qur’a>n al-Azi>z bi al-Lug}oh Al-
Ja>wiyah (Kudus: Menara Kudus, 1960), Juz 4, hal 159.
Dalam terjemahan penafsiran QS. Terdapat kata khoiro ummatin yang
dimaknai oleh Bisri Musthafa sebagai umat terbaik, bahkan dalam penafsirannya ia
langsung mencantumkan bahwasanya umat terbaik yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah umat Islam. Karena umat Islam sebagai umat yang dapat mewujudkan
kandungan makna dalam kitabnya, dan ia juga mencantumkan Abdullah beserta
saudaranya sebagai ahli Yahudi dan Roji Najasi dan saudaranya sebagai ahli Nasrani.
Dan dalam segi umat terbaik menurut Quraish Shihab memiliki 3 aspek
diantaranya; amar makruf, nahi munkar dan iman kepada Allah SWT. Sayyidina
Umar bin Khattab RA sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Tabari berkata:
“Barangsiapa ingin memperoleh keistimewaan tersebut harus memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan oleh Allah. Kemudian ayat di atas diperkuat dengan QS. Ali
Imran [3] :104.
Oleh karena itu, penulis dapat mencantumkan beberapa Point yang menjadi
inti dari kandungan ayat tersebut diantaranya; pertama, terdapat pada kalimat khoiro
ummatin yang memiliki makna umat-umat terbaik. Dan umat terbaik yang dimaksud
dalam Al-Qur’an adalah umat islam sesuai dengan penafsiran Bisri Musthafa. Kedua,
terdapat salah satu sifat dari golongan wasathiyah yaitu amar ma’ruf nahi munkar
(menyeru pada kebaikan dan meninggalkan pada kemaksiatan). Ketiga, pada kalimat
terakhir “namun sebagian besar ulama kitab sama-sama fasiq (kufur)” menunjukkan
bahwasannya terkadang fanatik akan agama terjadi, juga karena adanya tokoh-tokoh
agama yang sangat berpengaruh dibalik persoalan tersebut. Sehingga apabila tokoh-
tokoh tersebut sudah mengenal masyarakatnya, tentunya dengan begitu mudah
mereka memberikan doktrin-doktrin yang dapat memicu pemikiran masyarakat untuk
mengikuti ajarannya. Sama halnya sebaliknya.
4. QS. al-Maidah [5] :66
Adapun pada ayat ini, penafsiran Bisri Musthafa masih memiliki keterkaitan
dengan kisah dua ahli kitab dati Yahudi dan Nasrani yang masuk islam, sehingga
karena ketakwaanya kepada Allah membawa mereka kepada kehidupan yang damai
dan sentosa. Dalam hal ini kehidupan tersebut menjadi nilai hikmah yang ada pada
kandungan ayat ini. Sehingga siapapun yang memilih untuk masuk agama islam
tanpa paksaan dengan kelapangan hati, maka kehidupan bahagialah yang
menunggunya.
Oleh karenanya, penulis mendapatkan beberapa Point diantaranya; pertama,
terdapat kalimat ummatun muqtashidatun yang memiliki makna umat-umat yang adil,
keadilan adalah salah satu aspek dari sikap wasathiyah dalam beragama. Keadilan
merupakan ciri utama ajaran Islam. Semua umat Islam mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Berdasarkan fitrah manusia, kadarnya sama antara mukmin
yang satu dengan mukmin yang lain. seperti keadilan dalam arti pemerataan atau
34
Juz 4, Hal 160.
kesetaraan, keadilan dalam arti keseimbangan (proporsional), keadilan dalam arti
memberikan hak kepada pemiliknya, dan keadilan Ilahi. Kedua, terdapat nilai
pendidikan dimana ketika tokoh agama tersebut apabila sudah memiliki kitab, akan
lebih baik jika setelah dibaca bukan hanya disimpan sebagai informasi individu akan
tetapi juga diamalkan kepada masyarakat. Ketiga, terdapat adanya hikmah dari sikap
washatiyah keadilan yaitu kehidupan yang makmur pada kalimat “deweke mesti
Podo keparingan makmur jejiburan”.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syeikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, “TAFSIR IBNU
KATSIR” juz 2, Pustaka Imam Syafii (2004).
Al Hifnawi, Muhammad Ibrahim, TAFSIR AL- QURTHUBI, jilid 2.
Nurhidin, Edi. “STRATEGI IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA M.
QURAISY SHIHAB DALAM PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN
AGAMA ISLAM”. Jurnal Ilmu Pendidikan Islam (2010).
Asngari, Muhammad Hasim, “INTERNALISASI ISLAM RAHMATAN LIL
‘ALAMIN PERSPEKTIF KH. HASYIM MUZADI SEBAGAI DASAR
MODERASI BERAGAMA (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN
BUSTANUL MUTA’ALLIMIN BLITAR”. Prosding Nasional (2021).
Fahmi, Izzul, “LOKALITAS KITAB TAFSIR AL-IBRIZ KARYA KH. BISRI
MUSTHOFA, Islamika Inside (2019).
Faiqoh, Lilik, STUDI PENAFSIRAN DURAT LUQMAN MENURUT KH. BISRI
MUSTHOFA, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam vol 10 no 1
(2016).
Fazal, Khairil, “UMMATAN WASATAN DALAM PANCASILA PERSPEKTIF
TAFSIR M. QURAISY SHIHAB”, Tafse (2022).
Khumaidi, “IMPLEMENTASI DAKWAH KULTURAL DALAM KITAB AL-
IBRIZ KARYA KH. BISRI MUSTHOFA”, Jurnal An-Nida vol 10 no 2 (2018).
Mukjizat, Lailatul, “KAJIAN AYAT-AYAT TEOLOGIS DALAM TAFSIR AL-
IBRIZ KARYA KH. BISRI MUSTHOFA”, Jurnal al-Dirayah vol 2 no 1
(2019).
Mustofa, KH. Bisri, “TAFSI>R AL-IBRI>Z LI MA’RIFAT TAFSI>R AL-QURA>N
AL-AZI>Z BI AL-LUG}OH AL-JA>WIYAH”, Menara Kudus, (1960), Juz 1.
Rohkmad, Abu, “TELAAH KARATERISTIK TAFSRI ARAB-PEGON AL-IBRIZ”,
Analisa (2011).
Rauf, Abdul, “INTERPRETASI HAMKA TENTANG UMMATAN WASATAN
DALAM TAFSIR AL-AZHAR”, QOF vol 3 no 2 (2019).
Rohmah. Hidayatur, “Skripsi: UMMATAN WASATAN DALAM AL-QURAN SURAT
AL-BAQARAH AYAT 143 STUDI KOMPARATIF KITAB TAFSIR FI ZILALIL
QURAN”, IAIN Curup (2019).
Sholihah, Mar’atus, “PANDANGAN FIQIH KH. BISRI MUSTHOFA DALAM
TAFSIR AL-IBRIZ” (Kajian Ayat-Ayat Ibadah), IAIN Ponorogo (2017).
Yendri, Novika Putri, “KONSEP MATEMATIKA DALAM AL-QUR’AN JUZ 30
PRESPEKTIF TAFSIR AL-IBRIZ KARYA KH. BISRI MUSTHOFA”, UIN
PROF. KH SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO (2023).
Zuhdi, Muhammad Harfin, “PLURALISME DALAM PPERSPEKTIF ISLAM”,
Akademika: Jurnal Pemikiran Islam (2012).