Professional Documents
Culture Documents
Desain Penelitian - Proposal - Alexander C.T
Desain Penelitian - Proposal - Alexander C.T
PROPOSAL TESIS
Disusun Oleh:
ALEXANDER CHRISTIAN TIBARRENA
NIM: 21010122413027
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh:
ALEXANDER CHRISTIAN TIBARRENA
NIM: 21010122413027
Draft Tesis ini telah disetujui untuk diajukan sebagai bahan Ujian Proposal Tesis
Mengetahui,
Dr. Kresno Wikan Sadono, ST, M.Eng Dr. rer.nat. Thomas Triadi P, ST, M. Eng
NIP. 19820716 201212 1 004 NIP. 19771211 200501 1 002
ii
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR TABEL
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
tindakan apa yang harus dilakukan untuk menjamin rembesan tidak membahayakan
keamanan bendungan. Jadi, pengendalian rembesan merupakan faktor yang sangat penting
dalam desain, pelaksanaan konstruksi dan O&P bendungan terkait kondisi keamanan
bendungan. Dam safety guidelines yang dikeluarkan oleh Washington Departmen of
Ecology tahun 2005 dalam Azdan & Samekto (2008) mendapatkan data bahwa kegagalan
bendungan yang diakibatkan rembesan sebesar 25%, pada laporan yang sama juga
menyebutkan usia bendungan (setelah penggenangan) yang rawan terhadap kegagalan
bendungan adalah pada rentang 0-5 tahun. Frekuensi kegagalan bendungan akibat
rembesan dan bocoran pada rentang waktu tersebut sebesar 50% dibanding pada rentang
periode 6-100 tahun.
Bendungan Tiu Suntuk merupakan salah satu dari sekian banyak bendungan yang
dibangun dalam periode 2018 - 2023. Bendungan yang terletak di wilayah Kabupaten
Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kapasitas tampungan sebesar 55.90
juta m3 menggenangi area seluas 336.99 ha.
Secara umum daerah rencana Bendungan Tiu Suntuk dan sekitarnya hingga ke
daerah genangan waduk tersusun oleh satuan batuan breksi tuff, intrusi andesit, kolluvial
dan alluvial dengan kenampakan bentang alam merupakan satuan morfologi dataran dan
perbukitan. Dalam pelaksanaan pembangunannya terdapat permasalahan teknis karena
kondisi aktual geologi pondasi bendungan. Hal ini membuat para teknisi kesulitan
menentukan metode perbaikan pondasi bendungan dan proteksi terhadap kemungkinan
terjadinya kebocoran pada pondasi bendungan.
Permasalahan pondasi bangunan utama Bendungan Tiu Suntuk berkembang
seiring tahapan pembangunan bendungan, dimana dengan semakin tersingkapnya kondisi
geologi bawah permukaan oleh proses penggalian pondasi, terutama geohidrologi di
terowongan pengelak, kolam olak bangunan pelimpah dan perbaikan pondasi di alur
sungai (river bed).
Tantangan besar yang dihadapi berkaitan dengan munculnya air tanah pada tahap
konstruksi diantaranya adalah harus dilakukan pengurasan (dewatering) di rencana parit
halang (cut-off trench = COT) dan perbaikan pondasi lainnya akibat potensi artesis yang
muncul. Melihat kondisi tersebut sudah dilakukan berbagai macam metode perbaikan
2
yang telah diusulkan sejak tahap desain maupun saat tahap pelaksanaan konstruksi karena
dikhawatirkan akan menimbulkan rembesan penyebab kebocoran pada bendungan.
Melihat kondisi pondasi bendungan seperti uraian diatas maka diperlukan
pengawasan secara kontinu terhadap keamanan Bendungan melalui inspeksi keamanan
Bendungan dan evaluasi instrumen yang terpasang untuk mencegah hal – hal yang tidak
diinginkan. Bila terjadi keruntuhan berupa jebolnya Bendungan dapat berakibat sangat
fatal yaitu berupa korban jiwa yang besar dan kerugian ekonomis yang sangat tinggi. Oleh
karena itu perlu kiranya dilakukan analisis rembesan yang terjadi pada bendungan untuk
mengevaluasi efektifitas penanganan kebocoran yang telah dilakukan menggunakan
grouting melalui data bacaan instrumentasi pada pondasi bendungan.
3
1.4 PEMBATASAN MASALAH
Batasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini hanya membahas rembesan yang terjadi pada tubuh dan pondasi
bendungan melalui data pencatatan instrumentasi dan pemodelan SEEP/W
2. Analisis efektifitas grouting terhadap rembesan dari hasil data bacaan
instrumentasi ditinjau dari debit rembesan pada piezometer hulu dan hilir pada
pondasi bendungan
3. Analisis efektifitas grouting terhadap rembesan dari hasil data bacaan
instrumentasi kemudian dibandingkan dengan pemodelan SEEP/W
4. Analisa rembesan ditinjau pada kondisi steady state. Kondisi steady state
dianggap mewakili skenario rembesan pada saat operasional bendungan secara
normal
5. Tidak melaksanakan pengujian di Laboratorium Mekanika Tanah.
6. Tidak melaksanakan kajian terhadap perbaikan pondasi.
4
Suntuk terletak pada koordinat 8°47ʹ25ʺ LS dan 116°56ʹ30ʺ BT atau UTM : X = 491.954
; Y = 9.027.924 dan secara topografi lokasi Bendungan berada di Sungai Brang Ene, DAS
Brang Ene, Wilayah Sungai Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat. (Gambar 1.1)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BENDUNGAN
Bendungan adalah bangunan yang berupa urugan tanah, urugan batu, beton, dan
atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula
dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang, atau menampung lumpur
sehingga terbentuk waduk (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015).
Bangunan pelengkap adalah bangunan atau komponennya dan fasilitas yang secara
fungsional berhubungan dengan bendungan antara lain : pelimpah, bangunan pengeluaran,
bangunan sadap utama dan konduit, pintu air, dan fasilitas pembangkit listrik yang
merupakan bagian dari bendungan termasuk peralatannya. Menurut Soedibyo (2003),
Bendungan menurut konstruksinya dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: bendungan beton
(Concrete Dams), bendungan urugan (Fill Dams, Embankment Dams), dan bendungan
lainya.
6
4. bendungan beton kombinasi (combination concrete dams, mixed type
concrete dams).
Adalah merupakan kombinasi antara lebih dari satu tipe. Apabila suatu
bendungan beton berdasar berat sendiri berbentuk lengkung maka disebut
concrete arch gravity dams. Apabila suatu bendungan beton merupakan
gabungan beberapa lengkung maka disebut concrete multiple arch dams.
Terdapat pula suatu bendungan yang sebagian panjangnya berbentuk
lengkung dan beton dengan penyangga lainnya (Itaipu, Funil). Terdapat
pula suatu bendungan yang sebagian panjangnya dengan panyangga
sedang yang lainya berbentuk lengkung (Roselend).
7
2. Bendungan Zonal
Bendungan urugan tipe zonal merupakan bendungan dengan timbunan
yang membentuk tubuh bendungan itu sendiri dari material dengan
gradasi yang berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu.
Bendungan zonal ini terdiri atas beberapa lapisan (zona), yaitu zona lolos
air atau pervious (shell), zona kedap air atau impervious (core), dan zona
filter (Gambar 2.2)
8
Gambar 2. 4 Bendungan Zonal Tipe Inti Miring
(Sosrodarsono, 1977)
C. Bendungan Inti Tegak (Central Core Fill Type Dam)
Bendungan inti tegak merupakan bendungan zonal dengan zona
kedap air yang lerletak di bidang tengah dari tubuh bendungan
dengan kedudukan vertikal (Gambar 2.5).
9
k < 10-4 cm/detik, maka bahan kedap air (inprevious).
B. Lapisan Kedap Air (Core)
Core merupakan inti yang lerletak di bagian tengah bendungan.
Core ini terbuat dari bahan yang kedap air (inprevious) dengan
nilai k < 10-4 cm/detik, sehingga dapat menahan kebocoran
bendungan dari rembesan air yang terjadi.
C. Lapisan Filter
Diantara shell dan core, tetdapat bahan transisi yang berupa
lapisan filter. Syaral suatu bahan sebagai lapisan filter, yaitu:
- Apabila bahan yang dilindungi oleh filter diperkenankan
mengandung bahan kasar, maka diameter maksimum
harus dibatasi tidak bolch lebih dari 25 mm.
- Bahan untuk filter tidak boleh mempunyai daya lekat (non
kohesif) dan bahan yang melewati saringan no. 200 tidak
lebih dari 5%.
- Nilai koefisien permeabilitas (k) dari fitter adalah lebih
besar dari nilai k pada core, tetapi lebih kecil dari pada
nilai k pada shell, sehingga kcore < kfilter < kshell.
Dengan adanya filter, maka susunan koefisien permeabililas dan
gradasi material berubah secara bertahap, sehingga dari inti
bendungan hingga keluar tubuh bendugan akan makin besar
koefisien permeabilitas dan gradasi materialnya. Hal ini
bermanfaat dalam mencegah terangkutnya butiran halus dari
material core ke dalam shell akibat aliran air rembesan.
3. Bendungan Bersekat
Bendungan urugan digolongkan dalam tipe sekat apabila di lereng hulu
tubuh bendungan dilapisi dengan sekat tidak lolos air (dengan kekedapan
yang tinggi), seperti lembaran baja tahan karat beton, aspal, plastil, dan
lain sebagainya. Lebih jelas mengenai bendungan bersekat dapat dilihat
10
pada Gambar 2.6
11
Tipe bendungan urugan (embankment dams) pada umumnya didasarkan
pada material dominan yang digunakan untuk pembangunan bendungan tersebut
(earth fill atau rock fill). Pengelompokkan selanjuhya diklasifikasikan oleh
penempalan material yang membentuk tubuh bendungan. Jika terdapat
bendungan dengan material dominan pada lapisan pervious adalah batuan dan
lapisan inti (impervious) mangguakan tanah lempung, yang terletak di tengah
tubuh bendungan dengan kedudukan vertikal, maka dapat disebut bendungan tipe
urugan batu dengan inti tanah dan berjenis zona inti tegak.
Menurut Rizal (2004), Bendungan timbunan batuan terdiri dari beberapa
komponen, yaitu bagian timbunan batuan utama, zona kedap air, dan bagian
pendukung lainya. Timbunan batuan utama memberikan dukungan struktural
untuk bendungan dengan bobot dan stabilitas internalnya. Zona kedap air adalah
bagian pada bendungan yang berfungsi untuk menahan air, terdiri dari membran
yang menahan air dan zona transisi yang mentransfer beban air ke batuan.
Membran dapat berupa selimut tebal atau inti tanah atau diafragma tipis atau dek
kayu, beton, baja, aspal, pecahan batu kering atau pasangan batu. Bagian
pendukung tambahan membantu menopang membran atau bagian dari timbunan
batuan utama. Komponen-komponen ini mirip dengan cangkang, inti, dan
perlengkapan bendungan penimbunan tanah dan dianalisis dengan cara yang
serupa. Filter dan transisi di bendungan inti-batuan dapat diklasifikasikan sebagai
bagian pendukung tambahan. Filter dirancang untuk mengalirkan air rembesan
dengan aman dari inti bumi ke bagian luar bendungan. Jenis atau tipe bendungan
urugan batuan berdasarkan penampangnya dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Batuan dan tanah komposit, dapat dibagi menjadi:
§ Bendungan Urugan Batu Inti Tegak.
§ Bendungan Urugan Batu Inti Miring.
§ Bendungan Urugan Batu Tirai.
2. Batuan dengan selaput membran untuk menahan air, dapat dibagi menjadi:
§ Bendungan Urugan Batu dengan membran tipis pusat.
§ Bendungan Urugan Batu dengan membran tipis atau dek hulu.
12
Jenis bendungan dengan urugan batuan mempunyai keandaalan pada sisi
ekonomi adalah karena penggunaan bahan lokal yang murah, dan pada sisi teknis
yaitu pada kondisi tanah untuk pondasi tidak baik, dimana beban sendiri material
batuan akan menghambat pengangkatan hidrostatis. Selain itu, tipe material
batuan sangat cocok dilaksanakan pada wilayah yang jika tidak tersedia tanah
yang memebuhi syarat dan jika tersedia banyak batuan yang sesuai dengan
persyaratan. Pada tahap pelaksanaan membutuhkan waktu yang relatif lebih
singkat dari timbunan tanah karena kemampuan dalam beradaptasi dengan cuaca
buruk dan karena proses pengisian tidak harus berhenti untuk operasi
pemadatannya.
Kualitas batuan merupakan faktor utama dalam pemilihan bendungan
urugan batuan dalam desain struktur. Pengujian ekstensif diperlukan untuk
menilai apakah batuan tersebut cocok untuk konstruksi. Ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Penggalian.
Pertimbangan biaya pengeboran dan peledakan merupakan sebagian
besar dari harga satuan batuan penimbun. Kuarsit (batuan metamorf umum)
misalnya memiliki jumlah yang sangat baik untuk timbunan batuan tetapi
sangat mahal untuk dibor. Cara pemecahan batu juga penting, batu pasir
menghasilkan banyak kehalusan, yang lain menghasilkan potongan batu tulis
datar yang tidak cocok untuk penimbunan batuan.
2. Daya Tahan Batu.
Belum ada pengujian yang secara spesifik dapat menentukan daya tahan
dan keawetan batuan. Uji sampel bisa dilakukan dengan mengambil jenis
batu yang sama dengan konstruksi yang terdahulu. Uji kekuatan tekan dapat
dilakukan setelah setiap rangkaian pengujian basah kering, di mana sampel
mengalami siklus pembasahan dan pengeringan atau pembekuan dan
pencairan secara bergantian.
3. Kekuatan Batu.
Secara umum kekuatan yang disarankan adalah 35 Mpa atau lebih
diinginkan untuk bendungan dengan ketinggian lebih dari 40 m, sedangkan
13
kekuatan serendah 14 Mpa lebih cocok untuk bendungan dengan ketinggian
kurang dari 15 m. jika batu mengalami kerapuhan, yaitu adalah
kecenderungan menjadi bubuk selama penghancuran adalah masalah yang
penting karena terlalu banyak bahan yang tidak dapat memenuhi persyaratan
maka dapat mengganggu kekuatan konstruksi secara serius.
4. Kekuatan Geser.
Metode terbaik untuk menentukan kekuatan geser pada material sampel
batuan adalah dengan uji triaksial
14
2. Pengelolaan bendungan untuk pendayagunaan waduk, meliputi:
a. Penatagunaan waduk
b. Penyediaan air dan atau daya air
c. Penggunaan atau pengusahaan air dan atau daya air
d. Pengusahaan kawasan bendungan beserta waduknya.
3. Pengelolaan bendungan untuk pengendalian daya rusak air, meliputi :
Pengurangan besaran banjir agar daya rusak air terkendali yang diselaraskan
dengan system peringatan dini diwilayah sungai yang bersangkutan.
4. Pedoman operasi dan pemeliharaan termasuk pemantauan dan pola operasi, meliputi:
a. Ketentuan/Petunjuk umum
b. Organisasi OP
c. Petunjuk operasi
d. Petunjuk pemeliharaan
e. Petunjuk pemantauan atau pengamatan bendungan
f. Sistem pelaporan
g. Perkiraan biaya
15
(slope stability) dan penyebab lain (gempa, sabotase, likuifaksi). Dam safety guidelines
yang dikeluarkan oleh Washington Departmen of Ecology tahun 2005 mendapatkan data
bahwa kegagalan bendungan yang diakibatkan rembesan sebesar 25% seperti yang terlihat
dalam Tabel 2.1 (Azdan & Samekto, 2008).
Tabel 2. 1 Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan di Dunia
Pada laporan yang sama usia bendungan (setelah penggenangan) yang rawan terhadap
kegagalan bendungan adalah pada rentang 0-5 tahun. Frekuensi kegagalan bendungan
akibat rembesan dan bocoran pada rentang waktu tersebut sebesar 50% dibanding pada
rentang periode 6-100 tahun (Tabel 2.2)
Tabel 2. 2 Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan Ditinjau dari Usia
Bendungan
Waktu Penyebab keruntuhan (%) Rerata
setelah pengisian Overtopping Kebocoran Saluran Rembesan Gelincir (%)
0–1 9 23 16 29 19
1–5 17 50 34 24 31
5 – 10 9 9 13 12 11
10 – 20 30 9 13 12 16
20 - 50 32 9 24 23 22
50 - 100 3 0 0 0 1
16
2.3 REMBESAN PADA BENDUNGAN
Salah satu masalah utama yang sering terjadi dan dapat menyebabkan kegagalan
pada Bendungan Urugan adalah rembesan (seepage), hal ini berarti rembesan yang terjadi
di bawah pondasi dan di kaki (abutment) tidak boleh melebihi batas yang ditentukan. Pada
umumnya batas debit rembesan maksimum dikaitkan dengan tinggi bendungan, panjang
bendungan utama, kapasitas waduk, debit rata-rata tahunan dan permeability dari inti
bendungan tersebut.
Didalam sertifikasi desain keamanan bendungan di Indonesia digunakan acuan
bahwa rembesan dianggap aman jika kurang dari 1% limpasan tahunan rata-rata dan
kurang dari 0,05% dari gross storage capacity (Dharmayasa et al., 2014). Jumlah
rembesan yang diijinkan menurut Look (2007) dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Kriteria rembesan pada tubuh bendungan (Look, 2007)
Setiap tanah dapat meloloskan air melalui pori-porinya. Tetapi setiap material
mempunyai nilai laju kecepatan mengalirkan cairan yang berbeda-beda. Hal ini tergantung
dari properties tanahnya, kecepatan laju pengaliran rembesan inilah yang disebut nilai
permeabilitas tanah. Pada ruang-ruang kosong yang terdapat di antara butiran tanah,
terdapat tekanan pori yang terjadi akibat dari aliran air yang mengalir di antara butiran
tanah tersebut. Tekanan pori diukur terhadap tekanan atmosfer. Tekanan atmosfer
merupakan tekanan pada titik dimana pun di bumi, yang besarnya 76 cm Hg. Permukaan
lapisan tanah yang tekanannya sama dengan tekanan atmosfer dinamakan muka air tanah
atau permukaan freatik (phreatic line). Dibawah muka air tanah merupakan tanah jenuh,
sedangkan diatas muka air merupakan tanah kering. Pada saat bendungan beroperasi,
dapat terjadi rembesan di dalam tubuh bendungan. Setidaknya terdapat dua bahaya yaitu
17
rembesan dan juga menurunnya stabilitas tubuh bendungan. Stabilitas bendungan
menurun dikarenakan meningkatnya air di dalam tubuh bendungan, sehingga kekuatan
geser (kohesi dan sudut geser) antar partikel tanah sehingga stabilitas menurun. Analisa
rembesan dilakukan dengan menggambar garis rembesannya (phreatic line), yang dapat
dilihat pada Gambar 2.7 (Santosa et al., 1998)
18
Gambar 2. 8 Teori Bernoulli (Tanchev, 2014)
Pehitungan gradien hidrolik berdasarkan konsep Teori Bernoulli dapat dilihat
pada Persamaan (2.2)
!"
𝑖 = !# (2.2)
dimana :
i = Gradien Hidrolik
ΔL = Panjang aliran yang mengalami kehilangan tinggi tekan (m)
Δh = Kehilangan energi (head loss) antara titik A dan B (m)
= hA – hB
H = Tinggi energi total (m)
Nilai dari head loss berdasarkan pada Teori Bernoulli, yaitu bahwa dibawah
muka air tanah, air pori dapat berada dalam keadaan statis dengan tekanan hidrostatis
bergantung pada kedalamannya, atau dapat juga merembes ke lapisan-lapisan tanah karena
adanya gradien hidrolik, seperti telah dijelaskan di atas. Pada perhitungan tekanan air pori
berlaku Teori Bernoulli, namun tinggi kecepatan (velocity head) diabaikan karena
kecepatan rembesan pada tanah biasanya kecil. Persamaan (2.3) menunjukkan perhitungan
tinggi energi total dengan kecepatan yang diabaikan (Tanchev, 2014).
u
ℎ = 𝑧 + γw (2.3)
dimana:
h = Tinggi energi total (m)
z = Elevasi dari datum (m)
19
u = Tekanan air pori (kN/m3)
γw = Berat volume air (9,8 kN/m3)
dimana:
q = Debit rembesan (m /detik per meter panjang « m /detik)
k = Koefisien permeabilitas (m/detik)
H = Tinggi bendungan (m)
Nf = Jumlah garis aliran
Nd = Jumlah garis ekipotensial
Ah = Tinggi setiap garis ekipotensial (head loss)
20
Menurut Casagrande (1937) dalam Santosa et al. (1998), garis rembesan pada
tubuh bendungan mempunyai bentuk dasar parabola. Garis rembesan pada bendungan
tersebut mempunyai sudut (a) yang berbeda-beda pada bagian hilirnya, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.10 (Santosa et al., 1998).
yo = −𝑑 + (𝑑2 + 𝐻21
21
dimana :
q = Debit rembesan (m/detik per meter panjang)
k = Koefisien permeabilitas (m/detik)
α = Sudut yang terbentuk
𝑑 𝑑2 𝐻21
a= −* +
cos 𝑎 𝑐𝑜𝑠2 𝑎 𝑠𝑖𝑛2 𝑎
Pada bagian hilir (downstream) tubuh bendungan, terdapat area yang merupakan
keluarnya rembesan (exit seepage). Pada titik ini gradien hidroliknya dapat juga disebut
dengan exit gradient. Sehingga, exit graident (ie) adalah nilai kehilangan energi per
panjang pada area exit seepage, yang terletak di bagian downstream dari tubuh bendungan.
Exit gradient pada bendungan diambil dengan mengambil suatu area dari flownet yang
terletak pada keluaran rembesan (biasanya pada kaki bendungan bagian downstream),
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.11 (US Army Corps of Engineers, 1993).
Gambar 2. 11 Exit Seepage pada Tubuh Bendungan (US Army Corps of Engineers, 1993)
Jika nilai exit gradient terlalu besar, maka dapat berpotensi menyebabkan piping.
Gradien dimana terjadi keadaan ini dinamakan critical gradient (icr) (US Army Corps of
Engineers, 1993). Sehingga, nilai ie harus kurang dari nilai icr. Persamaan untuk critical
gradient ditunjukkan pada Persamaan (2.7)
(!"#
𝑖&' = (2.7)
1+e
dimana :
Gs = Berat jenis tanah (Specific Gravity)
e = Angka pori (void ratio)
Nilai dari berat jenis tanah, angka pori, dan kadar pori suatu butiran tanah
bergantung pada susunan partikel yang berada pada tanah tersebut. Suatu butiran tanah
22
memiliki susunan butiran partikel yang terdiri dari udara (air), air (water), butiran tanah
(solid), yang dapat dilihat pada Gambar 2.12 (Bowles, 1997).
23
Berdasarkan US Army Corps of Engineers (1993), jika ie < 0,3 - 0,4, maka tubuh
bendungan aman terhadap potensi piping. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi,
maka bendungan dapat dibuat berzona atau dengan penggunaan drainase seperti vertikal
maupun horizontal drain, untuk mengontrol seepage pada tubuh bendungan yang
berpotensi sebagai penyebab terjadinya piping tersebut. Penentuan dalam penggunaan
drainase dapat juga ditentukan dari panjang parabola yang membentuk sudut rembesan.
Untuk bendungan tanpa drainase, garis rembesan yang berbentuk parabola memotong
permukaan tubuh bendungan pada titik C, dimana merupakan exit seepage seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.13 (US Army
Corps of Engineers, 1993)
Jika a = 1800 , maka dibutuhkan horisontal drain, sedangkan jika a < 900 , maka
tidak dibutuhkan horizontal drain (US Army Corps of Engineers, 1993). Hubungan a
dengan 𝛥𝑎 1+𝛥𝑎 dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Kharagpur, 2012)
24
Tabel 2. 4 Hubungan a dengan 𝛥𝑎 1+𝛥𝑎 (Kharagpur, 2012)
∆2
α(0)
𝛼 + ∆2
300 0,36
600 0,32
900 0,26
1200 0,18
1350 0,14
1500 0,10
1800 0,0
Dapat dilihat pada Tabel 2.4 bahwa semakin kecil sudut yang terbentuk, maka
31
,431
semakin besar. Hal ini berarti bahwa nilai a + Δα (bilangan pembagi) kecil, sehingga
sudut rembesan yang terbentuk mengecil yang menunjukkan bahwa bentuk parabola dari
rembesan tidak besar, jadi potensi erosi yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada
tubuh bendungan semakin kecil. Hal tersebut berbanding terbalik bila sudut rembesan
semakin besar, maka nilai a + Δα pun juga besar. Sehingga, garis parabola rembesan juga
besar yang berpotensi sebagai penyebab terjadinya erosi. Oleh karena itu, perlu diberikan
drainase pada tubuh bendungan.
Fungsi drainase pada tubuh bendungan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai kontrol dari rembesan yang keluar dari downstream tubuh bendungan dan
mencegah erosi (piping) pada kemiringan downstream.
2. Mengurangi tekanan air pori pada area downstream bendungan sehingga
meningkatkan stabilitas lereng hilir dalam melawan kelongsoran. Pemilihan drainase
bergantung pada tersedianya material filter, tipe bendungan, tipe material shell, dan
lain sebagainya. Material untuk drainase merupakan material lolos air
Menurut Bureau of Indian Standard (1999), drainase yang dapat digunakan pada
tubuh bendungan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Drainase Horisontal (Horizontal Drainage)
Drainase horisontal ini dipasang secara bergradasi menggunakan material
pervious yang dipasang secara horisontal. Drainase horisontal dapat dibuat dari campuran
25
pasir dan kerikil. Dengan adanya drainase ini, aliran rembesan dapat masuk ke drainase
untuk kemudian dikeluarkan melalui bagian hilir bendungan, sehingga mengurangi
potensi terjadinya erosi pada hilir bendungan. Penempatan drainase horisontal pada tubuh
bendungan dapat dilihat pada Gambar 2.14 (Kharagpur, 2012)
Dengan adanya drainase vertikal ini, aliran rembesan dapat lebih terarah untuk
masuk ke drainase vertikal dan tidak menimbulkan erosi pada material tubuh bendungan,
menjaga bagian shell tetap kering, lalu menuju ke drainase horisontal, untuk kemudian
mengalir keluar dari tubuh bendungan
Instrumentasi Bendungan adalah semua semua peralatan yang dipasang pada
pondasi, tubuh bendungan, waduk atau lokasi lain yang dapat mengukur kinerja atau
perilaku bendungan baik pada saat konstruksi, operasi atau pemeliharaan. Sehingga
26
apabila dijumpai suatu kondisi yang diluar kebiasaan, atau melebihi batas dapat dideteksi
sedini mungkin untuk dilakukan usaha pencegahan dan perbaikan agar tidak terjadi
kegagalan.
27
hidrolik. Toleransi debit rembesan adalah bahwa debit air rembesan harus dibatasi
maksimal 2% - 5% dari debit rata-rata yang masuk kedalam waduk. Makin besar debit
rata-rata, persentase maksimal yang diambil harus makin kecil (Soedibyo, 1987). Selain
itu, analisis terhadap rembesan yang melewati tubuh bendungan juga dapat diketahui dari
index rembesannya (QI). Jika QI < 1, maka rembesan yang terjadi pada tubuh bendungan
kemungkinan dapat menimbulkan kebocoran dan ketidakstabilan pada tubuh bendunga
(Novak et al., 2001). Persamaan index debit rembesan ditunjukkan pada Persamaan (2.12).
5
𝑄𝐼 = ,666 .8.9.:
(2.12)
dimana :
QI = Seepage index (index debit rembesan)
q = Debit rembesan melalui tubuh bendungan per satuan lebar (liter/ detik/m)
A = Luasan elemen (m)
k = Koefisien permeabilitas
i = Gradien hidraulik yang melewati tubuh bendungan
Debit rembesan pada bendungan dapat dihitung secara analitis dengan cara
menggambarkan flownet. Penggambaran flownet ini dapat digunakan untuk mengetahui
nilai exit gradient (ie) dan critical gradient (icr) dimana nilai ie harus kurang dari icr. Selain
itu, debit rembesan juga dapat diketahui dengan pengamatan instrumen v-notch yang
terpasang pada bendungan
2.5 GROUTING
Pembangunan bendungan besar dalam pelaksanaannya terkadang berada pada
lokasi yang kurang baik, sehingga memerlukan penanganan khusus. Perbaikan pondasi
(foundation treatment) menjadi andalan yang telah diregistrasi/dibakukan sejak tahun
1930. Salah satu metode yang digunakan untuk perbaikan pondasi adalah grouting.
Berdasarkan Pedoman Grouting untuk Bendungan (Departemen PU, 2005),
grouting adalah suatu proses pemasukan suatu cairan dengan tekanan kedalam rongga atau
pori, rekahan dan kekar pada batuan, yang dalam waktu tertentu cairan tersebut akan
menjadi padat dan keras secara fisika maupun kimiawi. Grouting merupakan suatu metode
atau teknik yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan bawah tanah dengan cara
memasukkan bahan yang masih dalam keadaan cair, dengan cara tekanan, sehingga bahan
28
tersebut akan mengisi semua retakan-retakan dan lubang-lubang yang ada di bawah
permukaan tanah, kemudian setelah beberapa saat bahan tersebut akan mengeras, dan
menjadi satu kesatuan dengan tanah yang ada sehingga kestabilan suatu permukaan tanah
akan tetap terjaga. Grouting juga dapat diartikan sebagai metode penyuntikan bahan semi
kental (slurry material) ke dalam tanah atau batuan melalui lubang bor, dengan tujuan
menutup diskontruksi terbuka, rongga-rongga dan lubang-lubang pada lapisan yang dituju
untuk meningkatkan kekuatan tanah (Dwiyanto, 2005). Sedangkan bahan-bahan yang
biasanya dijadikan sebagai material pengisi pada grouting diantaranya campuran semen
dan air; campuran semen, abu batu dan air; campuran semen, clay dan air; campuran
semen, clay, pasir dan air; aspal; campuran clay dan air dan campuran bahan kimia.
Adapun tujuan dari grouting (Departemen PU, 2005) adalah:
§ Menurunkan permeabilitas
§ Meningkatkan kuat geser
§ Mengurangi kompresibiltas
§ Mengurangi potensi erosi internal, terutama pada pondasi alluvial
Manfaat dari suatu pekerjaan grouting antara lain adalah sebagai berikut
(Dwiyanto, 2005):
a. Menahan aliran air dan mengurangi rembesan
b. Menguatkan tanah dan batuan
c. Mengisi rongga dan celah pada tanah dan batuan sehingga menjadi padat
d. Memperbaiki kerusakan struktur
e. Meningkatkan kemampuan anchor dan tiang pancang
f. Menghindarkan dari material fluida yang dapat merusak tanah atau batuan
Menurut Pangesti (2005), fungsi grouting di dalam tanah atau batuan dapat dibagi
menjadi tiga (Gambar 2.16), yaitu:
a. Penetrasi atau Penembusan (permeation/penetration)
Grouting mengalir ke dalam rongga tanah dan lapisan tipis batuan dengan pengaruh
minimum terhadap struktur asli.
b. Kompaksi atau Pemadatan (compaction/controlled displacement)
Material grouting dengan konsistensi sangat kental dipompakan ke dalam tanah
sehingga mendorong dan memadatkan.
29
c. Rekah Hidrolik (hydraulic fracturing)
Apabila tekanan grouting lebih besar dari kuat tarik batuan atau tanah yang di
grouting, akhirnya material pecah dan grouting dengan cepat menembus zona rekahan
Gambar 2. 16 Fungsi dari grouting di Tanah dan Batuan (Departemen PU, 2005)
30
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat dituliskan sebuah persamaan tentang
efektivitas grouting pada Persamaan 2.13
Efs = 100 – (KG/K) 100 (2.13)
Dimana:
Efs = Efektivitas grouting dalam persen (%)
Kg = Kelulusan air sesudah grouting
K = kelulusan air sebelum grouting
Kelulusan air dapat diambil dari besarnya koefisien kelulusan air (K) atau
koefisien Lugeon (Lu). Dalam penentuan besarnya efektivitas grouting diambil koefisien
Lugeon pada pilot hole dibandingkan dengan koefisien Lugeon dari check hole yang
berdekatan. Karena belum diperoleh klasifikasi efektivitas grouting yang dijabarkan
dalam bentuk kualitatif. Berdasarkan penilaian subjektif dan kualitatif, penggolongan
efektivitas grouting dan pengaruhnya dapat dilihat pada Tabel. 2.5 (Departemen PU,
2005).
Tabel 2. 5 Efektivitas Grouting Dan Pengaruhnya
31
Efektivitas grouting terhadap debit rembesan (Ec) dapat dihitung dengan
Persamaan 2.16
@! -@
𝑄= @!
(2.16)
Dimana:
Ec = Efektivitas debit akibat grouting
Q0 = Jumlah besarnya debit sebelum di grouting
Q = Jumlah besarnya debit sesudah di grouting
K1 = koefisien permeability sebelum di grouting
K2 = koefisien permeability daerah yang di grouting
L1 = Panjang aliran rembesan
L2 = Lebar daerah yang digrouting
Dari data pengamatan instrumentasi dapat digunakan untuk melihat efisiensi
grouting dengan Persamaan (2.17)
E = {(U2 – U1)/U2} x 100% (2.17)
Dimana:
E = Efisiensi grouting
U2 = tekanan pisometrik pembacaan di hulu
U1 = tekanan pisometrik pembacaan di hilir
Ilustrasi penampang pisometrik serta perubahan permeabilitas dalam efektifitas
dan efisiensi gruting dapat dilihat pada Gambar. 2.17
32
2.6 INSTRUMENTASI PEMANTAUAN REMBESAN
Peralatan Instrumentasi berfungsi sebagai alat pemantauan perilaku bendungan
dan kondisi waduk agar dapat dideteksi secara dini apabila terjadi suatu tanda-tanda yang
tidak normal (abnormal) yang dapat membahayakan keamanan bendungan. Instrumen
memegang peran penting untuk analisis perilaku bendungan dalam merespon suatu
kondisi. Analisis ini diperlukan guna menjamin keamanan bendungan. Pemantauan
bendungan dilakukan melalui pengukuran besarnya pergerakan yang terjadi pada tubuh
bendungan, tekanan air pori pada pondasi dan tubuh bendungan, dan untuk memantau
rembesan. Secara umum manfaat utama instrumen adalah untuk:
1. Perkiraan secara analitis keamanan bendungan
2. Perkiraan perilaku jangka panjang
3. Evaluasi legal (aspek hukum)
4. Perbaikan, pengembangan, dan verifikasi untuk desain yang akan datang
Selain manfaat dasar di atas instrumen juga mempunyai manfaat untuk penelitian
dari data-data yang dihasilkan sehingga akan mempunyai manfaat praktis dan teoritis.
Analisis rembesan memerlukan beberapa instrumen dasar antara lain:
a. Pneumatic Piezometer
Piezometer digunakan untuk mengetahui tekanan air pori dan gaya tekan keatas
yang bekerja pada bendungan. Piezometer pipa terbuka dapat langsung dibaca elevasi air
dengan deep meter. Tetapi piezometer digital mengukur tekanan dengan satuan mili
Ampere dan harus diterjemahkan ke tinggi air. Konversi ini langsung tersambung dengan
data center menjadi database, selain proses akuisisi data yang mudah frekuensi
pengukuran juga dapat dilakukan lebih sering untuk piezometer digital. Saat ini
implementasi piezometer digital sangat diandalkan untuk bendungan-bendungan baru.
Secara umum untuk mengetahui elevasi tekanan air pori dari bacaan piezometer (reading)
adalah dengan menambahkan elevasi titik piezometer yang dipasang dengan Persamaan
(2.18). Nilai bacaan (reading) sendiri mempunyai rumus berbeda-beda tergantung
pabrikannya.
𝐸𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑖𝑒𝑧𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 = 𝑟𝑒𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 + 𝑒𝑙𝑒𝑣𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑙𝑎𝑡 (2.18)
b. V-Notch (SMD)
V-Notch adalah alat ukur debit yang sering diguankan untuk mengukur kuantitas
rembesan pada sebuah bendungan. Alat ukur ini berbentuk segitiga sama kaki terbalik,
33
dengan sudut puncak di bawah. Sudut puncak dapat merupakan sudut siku atau sudut lain,
misalnya 60° atau 30°. Alat ukur V-Notch sering digunakan untuk mengukur debit-debit
yang kecil yaitu sekitar 200 lt/detik. Ambang pada alat ukur V-Notch merupakan suatu
pelimpah sempurna yang melewati ambang tipis. Syarat pelimpah ambang sempurna ini
jika H/B < 0,2, jika nilainya 0,2 - 0,4 termasuk kategori pelimpah ambang sebagian
(Gambar 2. 18)
34
(intake/spillway). Pemasangan papan duga ini harus mempunyai range ukur mulai pada
elevasi kurang dari Low Water Level sampai dengan lebih dari Flood Water Level atau
disesuaikan dengan tujuannya.
35
Parameter Material Pemodelan Rembesan
Pada pemodelan rembesan memerlukan beberapa material properties
(parameter tanah), yaitu Kohesi (Kpa), Berat Isi Tanah (kN/m3), Sudur Geser
Dalam (ϕ), Koefisien Permeabilitas (K). Pemodelan dengan metode finite
element sangat sensitif terhadap material properties sehingga parameter ini harus
diketahui dengan jelas.
A. Kohesi (c)
Kohesi adalah gaya tarik menarik antara partikel tanah. Pasir
memiliki nilai kohesi yang sangat kecil dan bahkan hampir tidak ada (nol)
dikarenakan butiran pasir yang tidak saling mengikat. Lempung mempunyai
nilai kohesi (c) karena sifatnya yang liat. Semakin tinggi nilai c, semakin liat
lempung tersebut. Nilai ini didapat dari pengujian Triaxial Test dan Direct
Shear Test. Hubungan antara nilai kohesi dengan jenis tanah dapat dilihat
pada Tabel 2.6 (Bowles, 1997) serta nilai kohesi untuk batuan utuh
ditunjukkan pada Tabel 2.7 (Look, 2007)
36
Batu gamping, batu
pasir, gampingan,
Sedimen-keras 10 – 30 35 – 45
batu lempung
gampingan
Beku-asam Granit 30 – 50 45 – 55
Beku-basa Basalt 30 – 50 30 – 40
B. Berat Isi
Berat isi Berat isi merupakan sifat tanah atau batuan yang
menggambarkan taraf kemampatannya (Das,1995). Faktor yang
mempengaruhi berat isi adalah besarnya ruang pori atau porositas, semakin
besar porositas dan jumlah ruang porinya maka berat isinya akan makin kecil.
(Look, 2007) membuat kisaran nilai berat isi untuk tanah dan pecahan batuan
seperti pada Tabel 2.8
Tabel 2. 8 Kisaran Nilai Berat Isi (Unit Weigth) Untuk Tanah Dan
Pecahan Batuan (Look, 2007)
37
C. Sudut geser dalam (𝝋)
Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser
dalam. Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan
tanah akibat tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga
didapatkan dari pengukuran engineering properties tanah berupa triaxial test
dan Direct Shear Test. Hubungan antara sudut geser dalam dan jenis tanah
ditunjukkan pada Tabel 2.9
Tabel 2. 9 Hubungan sudut geser dalam dan jenis tanah (Das, 1995)
38
Tabel 2. 10 Nilai jenis koefisien permeabilitas (K)
39
BAB III
DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN
40
358 m, kemiringan lereng bagian hilir adalah 1 : 2.00 serta kemiringan dibagian hulu
adalah 1 : 2.50. Pelimpah Bendungan Tiu Suntuk bertipe side channel dengan panjang
total pelimpah 360.13 m, elevasi puncak mercu +92.50, dan rencana kala ulang banjir
sebesar 344,54 m3/s.
Permasalahan pondasi bangunan utama Bendungan Tiu Suntuk berkembang
seiring tahapan pembangunan bendungan, dimana dengan semakin tersingkapnya kondisi
geologi bawah permukaan oleh proses penggalian pondasi, terutama geohidrologi di
terowongan pengelak, kolam olak bangunan pelimpah dan perbaikan pondasi di alur
sungai (river bed). Sumber-sumber air tanah muncul di bagian dasar (invert) terowongan
pengelak, di kolam olak bangunan pelimpah dan di galian pondasi bendungan utama.
Tantangan besar dihadapi berkaitan masalah air tanah yang muncul, diantaranya
pada tahap konstruksi adalah pengurasan (dewatering) di rencana parit halang (cut-off
trench = COT) dan perbaikan pondasi lainnya diantaranya potensi artesis yang muncul.
Pekerjaan ini banyak menemui kesulitan karena urug (caving) dan hasilnya kurang
meyakinkan sehingga perlu peningkatan dengan perbaikan metode penambahan baris dan
pendalaman lubang grout.
41
Bendungan Tiu Suntuk merupakan bendungan tipe urugan batuan yang memiliki
inti kedap air berupa lapisan tanah lempung yang berada tegak di tengah tubuh bendungan.
Material timbunan pada Bendungan Tiu Suntuk adalah berupa kerikil, kerakal, batuan,
pasir dan tanah dibentuk dengan kemiringan dan ketinggian tertentu sehingga dapat
membendung atau menaikkan muka air pada bagian hulu.
3.1.1 Waduk
§ Daerah Aliran Sungai : 127.51 km²
§ Elevasi puncak tubuh bendungan : El. 97.00
§ Elevasi Muka Air Tinggi (HWL) : El. 95.53
§ Elevasi Muka Air Normal (NWL) : El. 92.50
§ Elevasi Muka Air Rendah/Mati (LWL) : El. 62.10
§ Kapasitas Tampungan Bruto : 55.90 x 106 m³
§ Kapasitas Tampungan Effektif : 52.70 x 106 m³
§ Kapasitas Tampungan Mati : 3.21 x 106 m³
§ Luas Daerah Genangan (HWL) : 307.89 Ha
§ Debit Banjir Rencana Q 5 Th : 423.48 m3/det
§ Debit Banjir Rancangan Q 10 Th : 497.17 m3/detik
§ Debit Banjir Rencana Q 25 Th : 590.66 m3/det
§ Debit Banjir Rencana Q 50 Th : 659.23 m3/det
§ Debit Banjir Rencana Q 100 Th : 727.66 m3/det
§ Debit Banjir Rencana Q 1000 Th : 953.21 m3/det
42
§ Debit Banjir Rencana Q PMF : 1,874.00 m3/det
43
§ Dimensi Pintu : 4.80 mH x 10.00 mL
§ Saluran Transisi
§ Panjang : 139.15 m
§ Lebar : 20.00 m
§ Kemiringan : 0.001
§ Saluran Peluncur
§ Panjang : 171.98 m
§ Lebar : 20.00 m
§ Kemiringan : 0.25
§ Peredam Energi
§ Tipe : Sky Jump
§ Panjang : 50.00 m
§ Lebar : 20.00 m
§ Elevasi Dasar : + 44.00
§ Panjang Total Pelimpah : 360.13 m
4. Intake/Bangunan Pengambilan
§ Tipe : Submerge intake
§ Dimensi : 2,50 x 2.50 m
§ Tinggi : 12.00 m
§ Diameter Pipa : 1.00 m
§ Elevasi Ambang : 62.00 m
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
45
Gambar 4. 1 Bagan Alir Penelitian
46
4.2 PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data dalam rangka identifikasi masalah meliputi data teknis
bendungan yaitu pengumpulan data yang berkaitan dengan tipe bendungan, tinggi
bendungan, elevasi bagian penting pada tubuh bendungan dan As-Built drawing yang
memuat hal-hal berkaitan dengan dimensi dan geometri dari bendungan yang akan
dievaluasi. Data analisis dan evaluasi geologi berkaitan dengan data batuan serta mekanika
tanah termasuk data parameter material yaitu berat volume tanah (γ), kohesi (c), sudut
geser (∅), dan koefisien permebilitas (k) hasil dari penyelidikan di lapangan dan juga hasil
analisa di laboratorium sehingga diketahui sifat dan karakteristik (parameter material)
serta data sesar dan problem geologi serta kajian geologinya.
Yang terakhir, adalah data pengamatan instrumentasi yang akan digunakan dalam
analisis adalah data sekunder. Data sekunder yang diambil adalah pembacaan instrumen
di lapangan yang dipasang pada bendungan. Pada penelitian ini akan mengambil data
pengamatan Instrumentasi yang memonitoring rembesan yang terjadi di Bendungan Tiu
Suntuk yaitu seepage Measuring Device (V-notch) dan Pneumatic Piezometer.
Data-data tersebut didapatkan dari laporan Akhir Pembangunan, Laporan
Pengajuan Sertifikasi Operasional, Laporan Inspeksi, dan laporan rutin pembacaan
instrumentasi, dan laporan-lporan lain yang terkait dengan Bendungan Tiu Suntuk.
Sumber data adalah dari instansi terkait yang membangun dan mengoperasikan
Bendungan Tiu Suntuk yaitu Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara 1, serta instansi
pembina yaitu Balai Teknik Bendungan Kementerian PUPR. Pengumpulan data dilakukan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian.
Pengambilan data dilakukan di Bendungan Tiu Suntuk, Sumbawa Barat.
47
Gambar 4. 2 Peta Intrumentasi di Bendungan Tiu Suntuk
4.4.1 Data Pengukuran Seepage Measuring Device (V-Notch)
Alat ini dipergunakan untuk mengukur rembesan yang terjadi pada
tubuh bendungan dan diharapkan rembesan yang terjadi tidak melebihi batasan
yang diijinkan. Bangunan V – Notch tubuh bendungan dipasang sebanyak 1 buah.
Data yang akan digunakan adalah data bacaan periode tahun 2022 awal
hingga tahun 2022 akhir pada bangunan V – Notch untuk mengukur rembesan
pada bagian kiri dan kanan dari tubuh bendungan yang dipasang pada hilir tubuh
bendungan.
48
Gambar 4. 3 Denah letak Seepage Measuring Device (SMD/V-Notch)
49
4.4.2 Data Pengukuran Pneumatic Piezometer
Untuk mengukur tekanan air pori yang terjadi pada pondasi maupun pada
timbunan tubuh bendungan khususnya timbunan inti (material clay/lempung) dan material
filter. Batasan tekanan pori adalah pada tekanan pori 3 kg/cm2 s/d 10 kg/cm2 dengan
akurasi pembacaan 2%. Secara detail tekanan air pori yang terjadi dapat dianalisis yang
mana tekanan air pori yang terjadi umumnya dibawah tekanan air pori kritis.
Peralatan tekanan pori berupa Pneumatic Piezometer yang sudah dipasang pada
tubuh bendungan Tiu Suntuk adalah berjumlah sebanyak 20 buah. Lokasi pemasangan
Pneumatic Piezometer berada pada 3 baris sepanjang bentang tubuh bendungan.
50
4.4 ANALISIS REMBESAN
Pemodelan Rembesan
Pemodelan rembesan menggunakan program komputer Geostudio
SEEP/W, merupakan program yang digunakan untuk analisis rembesan.
Aplikasinya pada bendungan urugan adalah untuk analisis rembesan yang
melewati tubuh dan fondasi bendungan, infiltrasi air lewat drainase dan sumur
injeksi. Program SEEP/W dapat menganalisis antara lain: Analisis steady dan
transient; Cara pandang 2-dimensional, Axisymmetric, dan plan; Infinite
element, Batasan kondisi berupa tekanan atau jumlah aliran air; Batasan kondisi
yang berubah berdasarkan waktu; Penggambaran garis phreatik dengan kondisi
tidak jenuh diatasnya; dan Infiltrasi akibat hujan.
Pemodelan rembesan menghasilkan banyak data garis freatik, arah dan
kecepatan aliran, pore water pressure, kuantitas rembesan pada bagian tubuh
bendungan tertentu dll. Penggunaan data tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
51
analisa. Keluaran (output) pemodelan rembesan tersebut harus
dikonfirmasi/validasi dengan data hasil pengukuran V-Notch Weir Instrument.
Jika hasil pemodelan dianggap masih terlalu jauh dengan hasil pembacaan
instrumen, maka dapat dilakukan perbaikan pemodelan dengan merubah asumsi
parameter pemodelan.
Terdapat beberapa tahap untuk melakukan pemodelan dengan software
Geostudio, sebagai berikut:
a. Input Data
1. Geometri Bendungan
Data geometri bendungan terbaik diperoleh dari As Built drawing
bendungan yang akan ditinjau.
2. Data Parameter Material
Sebelum menggunakan data material harus ditentukan terlebih dahulu
jenis material apa saja yang digunakan pada bendungan yang ditinjau.
Diantaranya yaitu material: inti, transisi, shell, rip-rap, drain, pondasi dan
grouting. Masing-masing mempunyai karakteristik, sehingga data
terbaik adalah hasil uji lab saat bendungan tersebut dilaksanakan. Data
input pada SEEP/W dapat dilihat pada Tabel 4.1.
52
b. Data Instrumen
Data instrumen diperlukan untuk mengkonfirmasi pemodelan yang
dilakukan. Data instrumen yang diperlukan untuk pemodelan adalah elevasi
muka air waduk dan kuantitas rembesan yang terukur melalui V-Notch Weir. Data
tersebut digunakan untuk membandingkan hasil pemodelan dengan debit
rembesan terukur di lapangan. Kedua data ini harus didapatkan secara paralel
pada waktu yang relatif bersamaan untuk dapat dilakukan analisis temporal. b.
Kondisi Batas Pemodelan rembesan pada bendungan dapat dilakukan dalam
berbagai kondisi yang mungkin terjadi. Normalnya stability analysis dan seepage
analysis dilakukan mulai pada tahap end of construction (γwet), steady state dan
transient analysis (rapid draw down). Pada penelitian mempunyai tujuan utama
untuk mendapatkan profil rembesan berdasarkan rasio parameter rembesan.
Sehingga penelitian ini fokus pada seepage analysis disaat kondisi air waduk
steady pada level tertentu (terisi), sehingga analisa dilakukan pada kondisi batas
steady state.
c. Diskretisasi (meshing)
Dalam manual SEEP/W secara umum semakin rapat maka semakin
teliti. Dalam berbagai kasus meshing sudah cukup antara 800-1000 elemen untuk
pemodelan sederhana. Meshing yang terlalu rapat dan detail akan menyebabkan
proses komputasi menjadi lambat dan juga tidak efektif dengan hasil yang tidak
signifikan. Tetapi ini merupakan bagian dari art of engineering sesuai dengan
kebutuhan peneliti.
d. Analisis dan Interprestasi Hasil
Setelah geometri, parameter, kondisi batas dan diskretisasi ditetapkan
maka program dapat dijalankan. Selanjutnya dapat dilakukan analisa sesuai
dengan tujuan yang akan ditinjau. Hasil dari pemodelan ini dikalibrasi terhadap
debit rembesan terukur melalui instrumen sebelum dilakukan perhitungan rasio
parameter (profil rembesan).
e. Corrective dan Improvement (Kalibrasi dan Verifikasi)
Analisis yang bersifat corrective dilakukan jika pada hasil pemodelan
terjadi perbedaan yang signifikan terhadap debit terukur. Jika dapat memperbaiki
53
model, analisis corrective ini bisa menjadi rekomendasi pada lokasi penelitian
yang ditinjau. Sedangkan improvement analysis digunakan jika ingin
mengembangkan model yang sudah ada sehingga akan didaptkan pemodelan
yang dianggap lebih aman secara teknis dan efisien secara ekonomis. Corrective
dan Improvement modelling didapat dengan cara merubah parameter tanah dan
juga geometri. Kondisi awal initial state dan kondisi batas dapat disesuaikan
dengan tujuan analisis yang ingin dilakukan.
54
BAB V
RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN
5. Penulisan dan Submit Jurnal direncanakan akan mulai disusun dan di submit pada bulan
Mei sampai dengan Juni 2023 (4 bulan).
55
6. Seminar Hasil dan Seminar Akhir direncanakan akan dilakukan pada akhir masa
penyusunan thesis yang dilakukan peneliti pada bulan Nopember.
56
DAFTAR PUSTAKA
Arshad, I., & Babar, M. M. (2014). Finite Element Analysis of Seepage through an Earthen
Dam by using Geo-Slope (SEEP/W) software. International Journal of Research, 1(8),
619–634.
Retrieved from http://edupediapublications.org/journals/index.php/ijr/article/view/532
Astuti, Y., Masrevaniah, A., & Marsudi, S. (2012). Analisa Rembesan Bendungan Tiu Suntuk
Terhadap Bahaya Piping Untuk Perencanaan Perbaikan Pondasi. Jurnal Teknik
Pengairan, 3(Mei 2012), 51–60.
Retrieved from https://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/view/147
Dinas Pekerjaan Umum Penata Ruang Perumahan Dan Pemukiman. (2018). Laporan Utama
Sertifikasi Desain Bendungan Tiu Suntuk Di Kabupaten Sumbawa Barat. Sumbawa
Barat.
Badan Standarisasi Nasional (2015), SNI 8062:2015 Tata cara desain tubuh bendungan tipe
urugan, Badan Standarisasi Nasional.
Bathe, K.J. (1982). Finite Element Procedures in Engineering Analysis. Prentice-Hall, Inc.:
United States of America.
Bowles, E. Bowles (1997). Foundation Analysis and Design. The McGraw-Hill Companies,
Inc. United States of America
Das, B.M. (2007). Principles of Foundation Engineering (6th ed.). Brooks/Cole - Thomson
Learning, California, USA.
Das, B.M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7th ed.). Cengage Learning,
Stamford, USA.
57
Georg Kempfert, H. (2006). Excavations and Foundations in Soft Soils.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, (2015). Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia No.27/PRT/M/2015 tentang
Bendungan.
Kharagpur. (2012). Module 4, Hydraulic Structures for Flow Diversion and Storage (No.
Version 2 CE IIT).
Maulana, R. E., Atmanto, I. D., & Pardoyo, B. (2016). Analisa Instrumentasi Geoteknik Untuk
Evaluasi Keamanan Bendungan Urugan Tanah Di Lodan Kabupaten
Rembang. JURNAL KARYA TEKNIK SIPIL, 4(4), 561-567.
Nanda, T. N., & Hamdhan, I. N. (2016). Analisis Rembesan dan Stabilitas Bendungan Tiu
Suntuk dengan Metode Elemen Hingga Model 2D dan 3D (Hal. 148-
159). RekaRacana: Jurnal Teknil Sipil, 2(4), 148.
Novak, P., Moffat, A.I.B., Nalluri, C. & Narayan, P., 2001. Hydraulic Structures. Spoon Press.
London.
Orfa, L. E & Samad, A. (2019). Analisis Perilaku Instrumen Pembacaan Tekanan Air Pori Pada
Bendungan Tiu Suntuk. Seminar Nasional Teknologi dan Rekayasa (SENTRA)
Setyawati. H, Najib, & Hidayatilla. A.S, 2016. Analisis Rembesan pada Perencanaan
Pembangunan Bendungan Logung, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Semarang:
Universitas Diponegoro
Sherard, J. L., Woodward, R. J., Gizienski, S. F., & Clevenger, W. A. (1963). Earth and rockfill
dams. John Willy & Sons, New York.
Singh, B & Varshney, RS. (1995). Engineering for Embankment Dams. A.A. Balkema,
Rotterdam.
58
Siswanto. (2019). Analisis Rembesan Pada Bendungan Urugan Batu Zonal Inti Tegak.
Semarang: Universitas Diponegoro
Sosrodarsono, S., & Takeda, T. (1977). Bendungan Tipe Urugan. Jakarta: PT Pradnya
Paramitra.
Tanchev, L. (2014). Dams and Appurtenant Hydraulic Structures (2nd ed.). London: Taylor
and Francis Group
Terzaghi, K., & Peck, K., B. (1967). Soil Mechanics in Engineering Practice, John Wiley and
Sons Inc., New York.
59