You are on page 1of 14

KETERANGAN SAKSI AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN

PERKARA PERDATA

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Hukum Acara Perdata Kelas G


Tahun Akademik 2023/2024

Dosen Pengampu:
Marjo, S.H., M.Hum.
Ardina Nur Amalia, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Ivana Trisha (11000121130435)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Seseorang dapat dikatakan telah melanggar hukum apabila dapat dibuktikan dengan alat
bukti baik itu dalam proses persidangan perkara pidana maupun perdata. Membuktikan
dalam hukum acara perdata adalah untuk mencari kebenaran formil, maka cukup pada
kepastian hakim dan tidak perlu pada keyakinan hakim. Hakim perdata dalam mencari
kebenaran formil dan keadilan didasarkan pada hukum tertulis (undang-undang) maupun
hukum tidak tertulis, bahkan tidak jarang digunakan yurisprudensi. Menguti pendapat
Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa mencari kebenaran formil, berarti bahwa
seorang hakim tidak boleh melewati batas-batas yang diajukan para pihak yang
berperkara.1

Alat-alat bukti yang dipergunakan dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR
yang terdiri dari alat bukti surat, alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti
pengakuan, dan alat bukti sumpah. Selain kelima macam alat bukti tersebut, masih ada
alat bukti lain yaitu pemeriksaan di tempat yang diatur dalam Pasal 153 HIR dan saksi
ahli yang diatur dalam Pasal 154 HIR.

Saksi ahli mempunyai tujuan untuk memberikan kepastian kepada hakim dan
memberikan keterangan yang obyektif dan tidak memihak, maka saksi ahli sering
dipergunakan hakim untuk membuktikan suatu perkara yang tidak diketahuinya.
Kesaksian dari saksi ahli dalam praktik digunakan untuk memperkuat pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan.

Suatu tahap proses penyelesaian sengketa perdata, melalui pengadilan negeri bagi para
pihak berperkara (baik penggugat ataupun tergugat) dalam praktik sering dilakukan
pemanggilan ahli guna memberikan keterangan sesuai kompetensinya atau keahliannya
yang fungsi atau tujuaanya untuk meneguhkan dalil salah satu pihak dalam persidangan

1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta: 2002, hlm. 130.
perkara perdata. Keterangan biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat juga diberikan
dalam berbentuk affidavit (keterangan tertulis).

Keterangan seorang ahli dalam persidangan merupakan salah satu bagian yang turut
memegang peranan penting, namun pada prakteknya, keterangan ahli tersebut pada
akhirnya dapat diabaikan oleh Majelis Hakim, dalam pertimbangan hukum putusannya
dan yang bersangkutan lebih menerima dalil/argumentasi dari pihak counterpart sehingga
hal tersebut mempengaruhi hasil persidangan dan berujung pada gugatan/permohonan
diterima atau ditolak.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana syarat menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara perdata?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi ahli dalam persidangan perkara perdata?
3. Bagaimana urgensi keterangan saksi ahli dalam persidangan perkara perdata?
BAB II
PEMBAHASAN

I. Syarat Saksi Ahli dalam Persidangan Perkara Perdata

Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta.
Realitanya dapat terjadi:
- penggugat sama sekali tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil
gugatan, atau
- alat bukti tulisan yang ada tidak mencukupi minimal pembuktian karena alat bukti
tulisan yang ada hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.
Dalam keadaan seperti itu, jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan jalan
menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri
kejadian yang diperkarakan.2

Agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka keterangan saksi harus memenuhi
dua syarat yang meliputi syarat formil dan materiil, yakni:
- Syarat formil
Keterangan saksi hanya dapat dianggap sah jika memenuhi syarat formil, yaitu
saksi memberikan keterangannya di bawah sumpah. Keterangan saksi yang tidak
disumpah bukan merupakan alat bukti dan hanya boleh digunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu, keterangan saksi juga dapat
dianggap sah apabila diucapkan di muka sidang pengadilan.

- Syarat materiil
Dalam hal kesaksian, dikenal prinsip unus testis nullus testis (satu saksi bukan
saksi). Artinya, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian karena tidak memenuhi syarat materiil. Keterangan seorang saksi
hanya cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.
Dengan demikian, keterangan saksi dianggap sah sebagai alat pembuktian jika
didukung alat bukti yang sah lainnya.

2
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta: 1987, hlm. 371.
Saksi yang tidak boleh didengar berdasarkan Pasal 145 ayat (1) HIR:
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salahs atu pihak menurut keturunan
lurus
- Istri atau suami salah satu pihak, meskipun telah bercerai
- Anak-anak yang tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15
tahun
- Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang

Saksi berbeda dengan ahli, yakni:


- Saksi keterangannya diberikan secara lisan (Pasal 164 HIR), saksi ahli
keterangannya dapat diberikan baik lisan maupun tertulis/expertise report (Pasal
154 HIR)
- Isi keterangan saksi harus yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi,
adapun ahli keterangannya dalah berupa pendapat yang diperoleh berdasarkan
keahlian/pendidikannya yang ia miliki/peroleh
- Saksi tidak bisa digantikan orang lain, adapun ahli bila berhalangan bisa
menunjuk orang lain yang kualifikasinya sama (misalnya asistennya)

Pemeriksaan saksi ahli diatur dalam Pasal 154 HIR maupun pasal 215-229 Rv. Pasal ini
tidak menyebut saksi ahli, tetapi mengangkat ahli. Namun dalam praktik pengadilan
sudah baku menyebut saksi ahli.

Saksi ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman khusus di bidang
tertentu yang dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Saksi ahli memberikan
pendapat berdasarkan pendidikan, pelatihan, sertifikasi, keterampilan, atau pengalaman
yang diterima oleh hakim sebagai ahli.

Seseorang dikatakan ahli apabila dia:3


- Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu pengetahuan tertentu
sehingga orang itu benar-benar kompeten di bidang tersebut
- Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan atau hasil pengalaman

3
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ed. 2, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta: 2021, hlm. 881.
- Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau pengalaman
yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat
membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang
biasa.

Tentang isi keterangan oleh saksi ahli serta syarat apa yang harus dipenuhi agar
keterangan saksi ahli mempunyai nilai tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Syarat dari keterangan saksi ahli yaitu:
- Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk
dalam ruang lingkup pengetahuannya
- Bahwa yang harus diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat
dengan perkara yang sedang diperiksa (Prisco Jeheskiel Umboh, 2013: 120)

Terhadap ahli berlaku juga ketentuan Pasal 145 HIR yang dipertegas dalam Pasal 154
ayat (3) HIR, bahwa:
- yang tidak cakap atau yang dilarang jadi saksi tidak cakap menjadi ahli
- dengan demikian, baik yang tidak cakap abslut (keluarga sedarah dan semenda
garis lurus dan istri atau suami salah satu pihak), maupun yang tidak cakap secara
relatif (anak-anak ataua orang gila), dilarang bertindak menjadi ahli.

Tidak sembarangan orang dapat diangkat sebagai ahli. Spesialisasinya harus sesuai
dengan bidang yang disengketakan. Misalnya dalam perkara perkapalan, maka agar
seseorang dapat menjadi ahli, orang tersebut harus memiliki pengetahuan spesialisasi di
bidang perkapalan yang jauh melebihi pengetahuan umum tentang perkapalan yang
dimiliki masyarakat biasa.

Apabila ahli yang diangkat tidak memiliki kualifikasi yang dikemukakan, pihak yang
berperkara dapat mengajukan keberatan atau menolaknya. Seperti ahli di bidang
perbankan tidak dapat diangkat sebagai ahli dalam perkara konstruksi pembangunan
jalan. Jika terjadi hal semacam itu, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan.
II. Kekuatan Pembuktian Saksi Ahli dalam Persidangan Perkara Perdata

Alat bukti saksi ahli dalam pemeriksaan sengketa perdata tidak memberikan kekuatan
pembuktian yang sempurna. Kekuatan pembuktian saksi ahli bersifat bebas dalam arti
hakim boleh memakai atau tidak memakai dalam suatu pemeriksaan sengketa perdata.
Hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli tertentu tersebut, hakim bebas untuk
menilainya bahkan hakim boleh berpendapat lain dari keterangan ahli jika bertentangan
dengan keyakinannya, jika hakim ingin menggunakan atau ingin mengikuti pendapat ahli
tersebut, maka hakim harus yakin bahwa hal tersebut adalah benar dan sesuai dengan
keyakinannya.4

Ketentuan Pasal 154 HIR dan Pasal 181 RBg menjelaskan bahwa keterangan ahli
didengar oleh majelis hakim di depan persidangan atas dasar adanya permintaan dari para
pihak atau atas perintah hakim karena jabatanya. Kemudian keterangan atau kesaksian
ahli tersebut diberikan dibawah sumpah dengan lafal sumpah dalam praktik lazimnya
berbunyi, “saya bersumpah bahwa saya akan memberikan pendapat soal-soal yang
dikemukakan menurut pengetahuan saya sebaik-baiknya”.5

Cara pengangkatan atau penunjukan ahli diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR dan Pasal
215 Rv, yakni:6
1. Oleh hakim secara ex officio
Apabila hakim berpendapat bahwa perkara yang diperiksa perlu mendapat
penjelasan yang lebih terang dari seorang ahli, maka atas inisiatif sendiri dapat
menunjuk ahli secara ex officio. Untuk itu, dia tidak memerlukan persetujuan dari
para pihak. Namun perlu diperhatikan bahwa orang yang ditunjuk sebagai ahli
harus benar-benar memenuhi syarat sebagai ahli sesuai dengan spesialisasi yang
dikuasainya dalam perkara yang disengketakan.

4
Catur Nugroho Jati, Kajian Kekuatan Pembuktian Saksi Ahli sebagai Alat Bukti dalam Pemeriksaan Sengketa
Perdata, Jurnal Verstek Vol. 1 No. 2, 2013, Surakarta, hlm. 62.
5
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Untuk Mahasiswa Dan Praktisi,
Mandar Maju, Bandung: 2003, hlm. 120-122.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ed. 2, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta: 2021, hlm. 882-883.
2. Atas permintaan salah satu pihak
Ahli dapat ditunjuk atau diangkat atas permintaan pihak-pihak yang berperkara.
Salah satu pihak:
- dapat mengajukan oermintaan kepada hakim agar ditunjuk seorang ahli
- secara yuridis, berdasarkan permintaan itu hakim diharuskan
mengabulkannya.

Pada dasarnya menurut pasal 154 ayat (3) HIR tidak semua orang dapat didengar sebagai
saksi ahli. Ada larangan tertentu yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga berlaku
bagi saksi ahli ini dalam praktek umumnya diergunakan agar hakim memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu hal yang bersifat teknis. Maka kekuatan
pembuktian tergantung kepada kebijaksanaan dan keyakinan hakim.7

Meskipun undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk mengikuti pendapat


ahli, dari segi hukum pembuktian, pendapat ahli:8
1. Tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti
2. Tempat dan kedudukannya, hanya berfungsi menambah atau memperkuat atau
memperjelas permasalahan perkara
Oleh karena itu, saksi ahli bukan berfungsi sebagai akat bukti. Pada dirinya tidak pernah
terpenuhi batas minimal pembuktian. Apabila sama sekali tidak ada alat bukti yang sah
memenuhi syarat formil dan materil, dan yang ada hanya pendapat ahli, maka tidak dapat
dibenarkan mempergunakannya sebagai alat bukti tunggal, meskipun hakim meyakini
kebenaran itu.

Sejauh mana pendapat ahli dapat berfungsi dan berkualitas menambah alat bukti yang
ada, dapat dikemukakan pedoman berikut:9
- apabila alat bukti yang ada sudah mencapai batas minimal pembuktian

7
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktek Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:
2007, hlm.189.
8
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ed. 2, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta: 2021, hlm. 887.
9
Ibid.
- hanya saja, nilai kekuatan pembuktiannya masih kurang kuat, dalam hal inilah
hakim diperbolehkan mengambil pendapat ahli untuk menambah nilai kekuatan
pembuktian yang ada

Selama alat bukti yang ada hanya terbatas kualitasnya sebagai bukti permulaan, maka
pendapat ahli tidak mampu menambahnya untuk mencapai batas minimal pembuktian.
Sebab yang dapat menambah bukti permulaan mencapai batas minimal hanyalah alat
bukti lain, sedangkan pendapat ahli tidak termasuk alat bukti. Oleh karena itu, tidak
mungkin dapat berfungsi untuk menambah alat bukti yang tidak mencapai batas minimal
pembuktian.10

III. Urgensi Keterangan Saksi Ahli dalam Persidangan Perkara Perdata

Menurut ketentuan Pasal 295 HIR, yang diakui sebagai alat bukti yang sah dalam hukum
acara perdata, hanya:
1. Keterangan saksi
2. Surat-surat
3. Pengakuan
4. Penunjukan (tanda-tanda)
Ketentuan dalam rumusan ketentuan Pasal 295 HIR tersebut hanya ditentukan adanya 4
(empat) alat bukti yang sah, berbeda dengan ketentuan Pasal 164 HIR bahwa yang
termasuk alat bukti, yaitu:
1. Surat
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

Penunjukkan terhadap keterangan ahli dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 306 Ayat
(1) HIR, yang menentukan bahwa berita orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk

10
Ibid.
menyatakan pertimbangan dan pendapatnya tentang hal ihwal atau keadaan sesuatu
perkara, hanya boleh dipakai untuk memberi keterangan kepada hakim.11

Dalam ketentuan Pasal 306 Ayat (1) HIR menunjukkan bahwa keterangan ahli bukan
merupakan alat bukti yang sah, melainkan hanya boleh dipakai untuk memberi
keterangan kepada hakim. Hal ini dapat dipahami bahwa dasar pikiran pembentuk HIR
pada saat itu, yang tidak memasukkan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti,
karena pemberi keterangan ahli merupakan orang-orang yang tidak melihat, mendengar,
ataupun mengalami sendiri peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa. Dengan
demikian, keterangannya juga tidak langsung mengenai peristiwa itu sendiri, walaupun
memiliki sangkut paut erat dengan peristiwa itu.12

Meskipun saksi ahli bukan merupakan alat bukti yang sah, tetapi keterangan saksi ahli
tetap diperlukan dalam persidangan. Mengenai urgensi dihadirkannya saksi ahli yang
sesuai dengan keahliannya dan kemampuannya secara profesional dalam persidangan
adalah untuk menambah atau memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Hal
tersebut karena tidak semua hakim dalam persidangan memiliki kemampuan atau
keahlian dalam bidang perkara perdata yang sedang ditangani, dan sangat sering
diperlukan saksi ahli untuk memberikan keterangan yang dapat membantu hakim dalam
membuat suatu putusan.13

Hadirnya saksi ahli dapat dimintakan oleh para pihak atau atas inisiatif hakim sendiri.
Apabila penggugat atau tergugat membutuhkan saksi ahli untuk menguatkan
dalil-dalilnya, maka bisa mengajukan permohonan kepada hakim untuk menghadirkan
saksi ahli. Apabila permohonan tersebut diterima oleh hakim, hakim dapat
memerintahkan juru sita untuk memanggil saksi ahli yang dimaksud. Demikian pula
sebaliknya apabila pihak penggugat atau tergugat tidak membutuhkan saksi ahli tetapi
hakim membutuhkan, dalam hal hakim merasa kekurangan referensi atau untuk kejelasan
suatu kasus yang dihadapinya, maka hakim sendiri karena jabatannya dapat memanggil

11
R. Tresna, Komentar H.I.R., Cet. 6, Pradnya Paramita, Jakarta: 1976, hlm, 264.
12
Lonna Yohanes Lengkong, Keterangan Ahli sebagau Alat Bukti dalam Penyelesaian Sengketa Perdata, Jurnal
Hukum to-ra: Hukum untuk Mengatur dan Melindungi Masyarakat Vol. 6 No. 3, Jakarta, 2020, hlm. 322-323.
13
Ibid, hlm. 326-327.
saksi ahli yang dimaksud sehigga dalam membuat putusan dapat seadil-adilnya tidak
merugikan salah satu pihak.14

Pengajuan saksi ahli tersebut dimaksudkan untuk menguatkan dalil-dalil yang telah
disampaikan dimuka persidangan. Hal ini dapat dikarenakan pihak penggugat dalam
menggajukan gugatannya menyadari bahwa adanya kekurangan bukti-bukti. Bukti disini
merupakan bukti konkret yang dapat memenangkan tuntutannya.

14
Ibid, hlm. 327.
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Seseorang dikatakan ahli apabila dia memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di
bidang ilmu pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten di bidang
tersebut. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan atau hasil
pengalaman. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau
pengalaman yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya
dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang
biasa. Apabila ahli yang diangkat tidak memiliki kualifikasi yang dikemukakan, pihak
yang berperkara dapat mengajukan keberatan atau menolaknya.

Alat bukti saksi ahli dalam pemeriksaan sengketa perdata tidak memberikan kekuatan
pembuktian yang sempurna. Hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli tertentu tersebut,
hakim bebas untuk menilainya bahkan hakim boleh berpendapat lain dari keterangan ahli
jika bertentangan dengan keyakinannya, jika hakim ingin menggunakan atau ingin
mengikuti pendapat ahli tersebut, maka hakim harus yakin bahwa hal tersebut adalah
benar dan sesuai dengan keyakinannya.

Pendapat ahli tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, serta tempat dan
kedudukannya hanya berfungsi menambah atau memperkuat atau memperjelas
permasalahan perkara. Oleh karena itu, saksi ahli bukan berfungsi sebagai akat bukti.
Pada dirinya tidak pernah terpenuhi batas minimal pembuktian. Apabila sama sekali tidak
ada alat bukti yang sah memenuhi syarat formil dan materil, dan yang ada hanya
pendapat ahli, maka tidak dapat dibenarkan mempergunakannya sebagai alat bukti
tunggal, meskipun hakim meyakini kebenaran itu.

Mengenai urgensi dihadirkannya saksi ahli yang sesuai dengan keahliannya dan
kemampuannya secara profesional dalam persidangan adalah untuk menambah atau
memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Hal tersebut karena tidak semua
hakim dalam persidangan memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang perkara
perdata yang sedang ditangani.
II. Saran

Sebaiknya ke depan dalam pembuktian, para pihak harus mencermati alat bukti yang
dibawanya terkait batas minimal pembuktian karena saksi tidak dapat berdiri sendiri.
Dalam pemeriksaan perkara-perkara sebaiknya mendengarkan keterangan ahli di
bidanynya untuk membantu majelis hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Hal ini bertujuan agar putusan pengadilan bisa memenuhi rasa keadilan bagi para pihak
yang berperkara.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
1. Mertokusumo, Sudikno. 2002. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Yogyakarta: Liberty.
2. Mulyadi, Lilik . 2007. “Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktek Peradilan
Indonesia”. Jakarta: Sinar Grafika.
3. M. Yahya Harahap. 2021. “Hukum Acara Perdata”, Ed. 2, Cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika.
4. Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. “Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Untuk Mahasiswa Dan Praktisi”. Bandung: Mandar Maju.
5. Subekti. 1987. “Hukum Pembuktian”. Jakarta: Pradnya Paramita.

Jurnal
1. Catur Nugroho Jati. 2013. “Kajian Kekuatan Pembuktian Saksi Ahli sebagai Alat Bukti
dalam Pemeriksaan Sengketa Perdata”. Jurnal Verstek Vol. 1 No. 2.
2. Lonna Yohanes Lengkong. 2020. “Keterangan Ahli sebagau Alat Bukti dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata”. Jurnal Hukum to-ra: Hukum untuk Mengatur dan
Melindungi Masyarakat Vol. 6 No. 3.

You might also like