You are on page 1of 18

CASE BASED DISCUSSION

TINEA CORPORIS REKUREN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
di RS Islam Sultan Agung Semarang
Periode 21 Februari 2022 – 19 Maret 2022

Disusun Oleh :
Puteri Bella Timoriana

Pembimbing :
dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2022
BAB I

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Puteri Bella Timoriana


NIM : 30101607716
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : UNISSULA
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Periode Kepaniteraan : 21 Februari 2022 – 19 Maret 2022
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Judul Laporan : Tinea Corporis
Pembimbing : dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK, FINSDV
Diajukan dan disahkan : Maret 2022

Semarang, Maret 2022


Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSI Sultan Agung Semarang

(dr. Hj. Pasid Harlisa, Sp.KK, FINSDV)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung zat


tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan keratin.
Insiden dan prevalensi dermatofitosis dalam masyarakat baik di dalam maupun di
luar negeri cukup tinggi. [2]
Tinea korporis merupakan infeksi jamur superficial golongan dermatofita
(Trichophyton, Microsporus, Epidermophyton) yang menyerang daerah kulit tidak
berambut/halus (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan
glutea tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki [1,2].

2.2 Epidemiologi
Infeksi tinea corporis terdapat di seluruh dunia terutama daerah tropis yang
mempunyai kelembapan tinggi seperti Negara Indonesia. Penyakit ini menyerang pria
maupun wanita dan terjadi pada semua umur terutama dewasa (usia produktif).
Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami factor
predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat,
selain pajanan terhadap jamur lebih lama [2].

Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Dari data beberapa


rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998 didapatkan persentase dermatomikosis
terhadap seluruh kasus dermatosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6%
(Padang). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008 terdapat 274
(7,02%) kasus baru dermatomikosis superfisialis, 58 kasus (21,16%) diantaranya
adalah tinea korporis [1].

2.3 Etiologi

Dermatofita yang menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya


yaitu: [1,3]
1. Antropofilik
Merupakan transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi misalnya
pakaian, handuk, sprei, lantai kolam renang, udara sekitar rumah sakit/klinik
dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent “carrier”).
2. Zoofilik
Merupakan transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah atau tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah
anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
3. Geofilik
Merupakan transmisi jamur yang berasal dari tanah ke manusia. Secara
sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.

Tabel 1. Spesies dermatofita penyebab infeksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya udara lembab, lingkungan yang


padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber penularan disekitarnya, obesitas,
penyakit sistemik penggunaan antibiotika dan obat steroid, higiene juga berperan untuk
timbulnya penyakit ini [6].

2.4 Patogenesis

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas,
lembab, higiene sanitasi, pengeluaran keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan
lingkungan. Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi
dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi, dan
perkembangan respon pejamu.[3]

Infeksi dermatofita melibatkan 3 step utama yaitu :

a. Perlekatan pada keratinosit

Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat


pada jaringan keratin diantaranya sinar ultraviolet, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit
serta asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat
fungistatik.
b. Penetrasi

Setelah terjadi perlekatan, spora berkembang dan menembus stratum


korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik,
yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu memfasilitasi penetrasi jamur kejaringan. Pertahanan baru muncul
ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis. Diperlukan
waktu 4–6 jam untuk penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada
keratin.
c. Pembentukan respon penjamu

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita.
Pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi
primer menyebabkan inflamasi minimal dan trichopiton tes hasilnya negative.
Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Antigen dermatofita diproses oleh sel
langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe.
Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi
untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan
barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang
bermigrasi.
2.5 Gejala Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis tinea corporis berupa rasa gatal pada lesi terutama saat
berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk menggaruk lesi yang pada
akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di daerah yang lembab. Kelainan yang
terlihat pada lesi berupa makula eritematosa atau plak merah atau hiperpigmentasi
yang berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Pada daerah tepi terdapat
skuama halus, vesikel dan papul yang aktif, sedangkan pada daerah tengah lebih
tenang (central healing). Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis. [1,4,5]
Pada perjalanan penyakit yang kronik dan menahun dapat dijumpai
likenifikasi. Tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh. Disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et
corporis apabila bersama-bersama dengan kelainan pada sela paha. Pada kasus
menahun juga tidak menimbulkan gatal, dan dapat menyerupai iktiosis. [2,6].
Tempat predileksi dari tinea corporis yaitu pada bagian tubuh yang tidak
berambut dan lembab seperti thorax, abdomen, glutea, dan ekstremitas. Penegakan
diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status lokalis dan pemeriksaan
penunjang [1,2,6].

Gambar 1. Central Healing. Bagian tepi lesi lebih aktif (tanda peradangan)
lesi bulat, berbatas tegas,terdiri atas eritema, papul ditepi lesi. Daerah tengahnya lebih
tenang, bagian tepi terlihat aktif.
Gambar 2. Tinea korporis, bentuk Gambar 3. Tinea korporis, luas, batas
subakut, lesi polimorf, batas tegas, tegas
central healing

Gambar 4. Tinea Korporis. Gambar 5. Tinea korporis. Lesi sirsinar,


Makula Hiperpigmentasi, polisiklis berbatas tegas, polimorfik dengan tepi aktif

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis tinea


Corporis diantaranya :
1. Pemeriksaan KOH
Pengambilan sampel terdiri rambut sampai akar rambut serta skuama. Setelah
sampel diambil kemudian sampel diletakkan di atas gelas alas, kemuadian
ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH 10% - 20%.
Setelah sediaan dicampurkan dengan KOH, ditunggu 15-20 menit untuk
melarutkan jaringan. Lalu diamati di mikroskop: tampak hifa panjang, spora dan

artrospora. [8]
2. Lampu Wood
Untuk membedakan dengan penyakit dermatofit yang lain dapat dilakukan
pemeriksaan lampu wood. Tidak semua dermatofita akan berflouresensi dibawah
sinar ultraviolet. Beberapa dermatofita yang memberikan hasil yang positif pada
pemeriksaan ini antara lain spesies zoofilik M.canis dan M.audouinii yang
menyebabkan tinea kapitis akan memberikan fluoresensi hijau kebiruan, tinea
versikolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur yang berfluoresensi kuning
keemasan dan eritrasma oleh karena Corynebacterium minutissimum yang
berpendar merah koral terang [4,6].
3. Pemeriksaan Kultur
Dengan pembiakan yang bertujuan untuk mengetahui spesies jamur
penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam agar
Sabouroud Dekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan
antibiotik seperti khloramfenikol ke dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu
24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh
diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan dan ada atau tidaknya hifa. Bila
dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada
tinea unguium. [1,6,8]
4. Pemeriksaan Histologis
Pemeriksaan histologis akan tampak neutrofil di stratum corneum, sedangkan pada
biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin pada tinea corporis
menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrate inflamasi superfisial
(rembesan sel radang ke permukaan) [3].

2.7 Diagnosis Banding

1. Ptiriasis Rosea
Erupsi papuloskuamosa akut yang sembuh sendiri, denga morfologi khas
berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan
lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lesi di awali suatu bercak yang
besar dan di sekitarnya terdapat bercak agak kecil. Ukuran bercak bervariasi dari
seujung jarum pentul sampai sebesar uang logam. Sebagian kecil penderita
disertai gejala prodromal ringan seperti badan lemah, sakit kepala, dan sakit
tenggorokan. Sebagian penderita juga mengeluhkan gatal ringan. Tempat
predileksi penyakit ini pada batang tubuh, lengan atas dan proximal tungkai atas
sehingga menyerupai pakaian renang jaman dulu. [2].
2. Dermatitis Seboroik

Peradangan yang erat dengan keaktivan glandula sebasea yang aktif pada bayi
dan insiden puncak pada usia 18-40 tahun. Manifestasi pada dermatitis seboroik
didapatkan eritema, skuama yang berminyak dan kekuningan, eksematosa ringan
dengan batas tidak tegas, rambut rontok mulai dari verteks dan frontal, disertai rasa
gatal dan menyengat. Krusta tebal dapat berbau tidak sedap dan meluas ke dahi,
glabela, telinga postaurikular, leher, daerah supraorbital, liang telinga luar, lipatan
nasolabial, sternal, payudara, interskapular, umbilikus, lipat paha dan anogenital.
[2,6]

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik dan residif,
mempunyai dasar genetik, dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan
diferensiasi epidermis. Keluhan biasanya berupa bercak merah bersisik mengenai
bagian tubuh terutama daerah ekstensor dan kulit kepala disertai rasa gatal.
Pengobatan menyembuhkan sementara kemudian dapat muncul kembali. Bentuk
psoriasis yang paling banyak yaitu psoriasis tipe plakat atau psoriasis vulgaris.
Kelainan kulit ini berupa plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama
berwarna keperakan. Daerah yang terkena biasanya: siku, lutut, kepala, celah
intergluteal, palmar dan plantar. [2,8]

2.8 Penatalaksaan

Terapi pada penyakit kulit tinea korporis dibagi menjadi dua bagian yaitu
terapi umum dan khusus. Pada terapi umum bertujuan untuk menghilangkan faktor
predisposisi seperti memakai baju yang menyerap keringat dan tidak terlalu ketat serta
meningkatkan kebersihan badan supaya lingkungan kulit tidak lembab dan tidak
menjadi tempat proliferasi jamur. Kemudian terapi khusus tinea corporis berupa
medikamentosa yang terdiri dari obat topikal dan sistemik [1,4].

Terapi topical di rekomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit yang


hidup pada jaringan kulit. Terapi topical yang sering dugunakan yaitu ketokonazol 2%
cream dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari. Bila menggunakan obat
topical, terapi dilanjutkan hingga 1 minggu setelah lesi sembuh.

Terapi topical lainnya:

- Golongan allilamin (aftifine 1%, butenafin 1%, terbinafin 1%)


- Campuran Asam salisilat 5%, Asam benzoate 10% (Salep whietfield)
- Mikonazol 2%, Klotrimazol 1% [1,5,6].

Jika lesi luas atau gagal dengan terapi topical, dapat digunakan obat oral.
Antijamur oral diberikan pada infeksi yang luas, lesi yang lebih inflamasi, tidak dapat
mentoleransi obat topikal, gagal dengan pengobatan topikal dan penderita dengan
infeksi kronis [4]. Obat oral (sistemik) antifungi yang digunakan antara lain:

- Griseofulvin 500-1000 mg/hari (dewasa) atau 10-20 mg/kgBB/hari (anak-


anak) dosis tunggal selama 2-6 minggu, atau
- Terbinafin 250 mg/hari (dewasa) selama 1-2 minggu, atau
- Itrakonazol 2 x 100 mg /hari selama 2 minggu, atau
- Ketokonazol 200 mg/hari selama 10 -14 hari [4,5].
2.9 Prognosis

Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan


penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang memperberat atau
memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat
dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan
kebersihan kulit yang selalu dijaga.[5,6].
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. S
b. Umur : 34 tahun
c. Jenis kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Suku : Jawa
f. Alamat : Gemulak, Sayung, Demak
g. No. RM : 0142xxxx
h. Status Pasien : BPJS
B. ANAMNESIS
a. KELUHAN UTAMA
- Subjektif : Gatal dan merasa tidak nyaman
- Objektif : Kulit menebal dan bersisik
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien laki laki berusia 34 tahun datang ke poli kulit dan kelamin RSI
Sultan Agung Semarang pada tanggal 1 Maret 2022 pukul 11.30 WIB dengan
keluhan gatal pada pantat kanan dan kiri sudah sejak 2 minggu yang lalu.
Gatal pada awalnya dirasakan pada pantat sebelah kiri dan disusul pada pantat
sebelah kanan. Awalnya luka berukuran kecil disertai benjolan-benjolan kecil
dan akibat terlalu sering digaruk terlalu sering, lama-lama luka dirasakan
semakin melebar dan menebal disertai sisik kering. Keluhan gatal diraskan
terus menerus dan lebih berat saat pasien berkeringat dan lebih nyaman saat
udara sejuk atau dingin. Pasien juga mengeluhkan perih saat terkena air atau
saat sedang mandi. Keluhan tersebut sangat mengganggu pasien.
c. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Keluhan serupa pertama kali timbul 1 tahun yang lalu. Keluhan
tersebut sudah dilakukan pengobatan di RSI Sultan Agung Semarang
hingga sembuh.
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
d. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Tidak ada yang menderita hal serupa
e. RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien memiliki kebiasaan jarang mengeringkan badan setelah mandi
dan sering memakai celana dalam yang lembab.
f. RIWAYAT ALERGI
- Pasien tidak mempunyai alergi terhadap makanan /obat-obatan.
g. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
- Kesan ekonomi : baik

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

a. KEADAAN UMUM : Baik


b. KESADARAN : Composmentis
c. TANDA VITAL
- Tek.Darah : 145/99 mmHg
- Nadi : 85 x/menit
- Suhu : 36 o C
- RR : 20 x/menit
d. STATUS GIZI
- BB : 104,3 kg
- TB : - cm
- IMT : - kg/m²
e. PEMERIKSAN FISIK
- KEPALA : Mesocephal
- MATA
a. Conjungtiva : Tidak dilakukan Pemeriksaan
b. Sklera : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Lain-lain : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- LEHER
a. KGB : Tidak dilakukan Pemeriksaan
b. Thyroid : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Lain-lain : Terdapat skuama halus berbatas tegas
- THT
a. Telinga : Tidak dilakukan Pemeriksaan
b. Hidung : Tidak dilakukan Pemeriksaan
c. Tenggorokan : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- MULUT : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- JANTUNG
Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- PARU
Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- ABDOMEN
Inspeksi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Palpasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- GENITALIA : Tidak dilakukan Pemeriksaan
- EKSTREMITAS : Tidak dilakukan Pemeriksaan

f. Status Dermatologik
a. Inspeksi :
I. Satu
- Lokasi :
Pantat Kanan
- UKK :
Plakat berwarna coklat tua,
berbatas tidak tegas
dengan disertai
skuama, erosi dan krusta
II. Dua
- Lokasi :
Pantat kiri
- UKK :
Pakat berwarna coklat tua,
batas tidak tegas, disertai
skuama krusta dan erosi

b. Palpasi :
Tidak dilakukan pemeriksaan
c. Auskultasi:
Tidak dilakukan pemeriksaan

D. DIAGNOSIS BANDING
a. Tinea Corporis
b. Ptiriasis Rosea
c. Dermatitis Seboroik
d. Psoriasis

E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan KOH

F. DIAGNOSIS KERJA
Tinea Corporis Rekuren

G. RENCANA TERAPI

R/ Itrakonazol 100 mg tab No. XXX

s.2.d.d.tab I
R/ Ketokonazole cream 2% tube No. I

Asam Salisilat 5%

s.m.f.l. da in pot

s.u.e dioles 2x sehari

R/ Loratadine 10 mg tab no. X

s.1.d.d. tab 1

H. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Ad Bonam
 Quo ad sanationam : Ad Bonam
 Quo ad kosmetikan : Dubia ad Bonam

I. EDUKASI
Aspek klinis
- Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
- Gunakan pakaian dalam dengan kondisi kering dan bersih.
- Hindari memanipulasi keluhan dengan menggaruk
- Mengeringkan tubuh dengan handuk setelah mandi dan hindari penggunaan
handuk secara bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang mungkin
terkontaminasi.
- Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menggunakan pakaian.
- Minum obat dan oleskan obat secara teratur.
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan cara mencuci pakaian secara
teratur.
Aspek Islami

- Selalu berdoa memohon kesembuhan kepada Allah.


- Mengambil sisi positive dari cobaan yang telah diberikan.
- Selalu berikhtiar untuk kesembuhan penyakit.
BAB IV

PEMBAHASAN

Tinea korporis adalah penyakit kulit yang banyak dijumpai masyarakat


Indonesia dikarenakan negara tropis yang cenderung lembab. Infeksi jamur ini
merupakan golongan dermatofita yang menyerang daerah kulit tidak berambut/halus
(glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea tetapi tidak
termasuk lipat paha, tangan dan kaki. Etiologi tersering penyakit tinea corporis adalah
Tricophyton rubrum. Gambaran klinis lesi berupa makula eritematosa atau plak merah
atau hiperpigmentasi yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas.
Pada daerah tepi terdapat skuama halus, vesikel dan papul yang aktif, sedangkan pada
daerah tengah lebih tenang (central healing). Pada perjalanan penyakit yang kronik dan
menahun dapat dijumpai likenifikasi dan tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi.

Pada anamnesis, pasien mengeluhkan gatal pada pantat kanan dan kirinya.
Keluhan pada awalnya muncul pada 1 tahun yang lalu dan sudah dilakukan pengobatan
hingga sembuh, namun muncul kembali dalam 2 minggu terakhir. Keluhan tersebut
berlangsung secara terus menerus dan biasanya terjadi saat pasien sedang berkeringat.
Pasien memiliki kebiasaan jarang mengeringkan badan setelah mandi dengan handuk,
dan sering menggunakan celana dalam yang lembab atau basah. Pasien juga memiliki
postur tubuh obesitas.

Pada pemeriksaan status dermatologis, ditemukan plakat berwarna coklat tua


pada pantat kanan dan kiri disertai skuama, erosi dan krusta.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada kasus ini didapatkan


diagnosis tinea corporis rekuren. Adapun penatalaksanaan yang menjadi pilihan yakni
antimikotik topical dan sistemik serta antihistamin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ermawati Y. Penggunaan Ketokonazol pada Pasien Tinea Corporis. Medula, Volume
1, Nomor 3, Oktober 2013
2. Sri Linuwih SW Menaidi, et all. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.7. Jakarta:
FKUI; 2017. 103-116
3. Sewon Kang, Masayuki Amagai, Anna L Brucknerr, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine 9th ed. New York Mc Graw Hill, 2019
4. John W elly, Sandra Rosenfeld, 2014. Diagnosis and Management of Tinea Infections
5. Gupta AK, Foley KA, Versteeg SG. New antifungal agents and new formulations
against dermatophytes. Mycopathologia. 2017
6. Prof. Dr. R.S Siregar, SpKK. 2005 Atlas Saripati Penyakit Kulit edisi 2. EGC
7. Dwi Murtiastutik, Evy Ervianty, Indropo Agusni. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan
Kelamin.UNAIR Bag. SMF. Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
8. PERDOSKI, Panduan Praktik Klinis, Tahun 2017.

You might also like