You are on page 1of 17

MAKALAH AGAMA ISLAM

( TALAK, IDDAH DAN RUJUK)

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

KELOMPOK 6 :

1. ASRA
2. NURUL IKAWATI
3. NURHASLINDA DARWIS
4. ACO ARHAM
5.ANDI RIZA ARDIA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


BINA BANGSA MAJENE
T.A. 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga
merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemaslahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan atau dikenal
dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah. Akan tetapi, pada
kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi
kebahagiaan. Terkadang, ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang berujung
pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah, dan sebagainya. Talak dapat
dilaksanakan dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk
mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat
melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, seingga tujuan rumah
tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah
tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-
penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian
perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang
menimpa suami atau istri.
Dalam makalah ini akan di uraikan dan di jelaskan tentang permasalahan diatas
mengenai talak, iddah dan rujuk,
BAB II
PEMBAHASAN

 TALAK

A. Pengertian Talak
Talak ( ‫ )الطالق‬menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil
dari lafazh ‫ إلطالق‬yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak
menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan.
[Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus
Salam (III/12)]

B. Macam-macam Talak

1). Menurut Penyampaiaannya


Dari segi kalimatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak shariih (tegas) dan talak
kinaayah (kiasan).

a. Talak shariih adalah talak yang kalimatnya dapat langsung dipahami ketika diucapkan
dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.
Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita
yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal dengan kata-kata
talak atau cerai.

Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah
talaknya. Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan
talak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

“Tiga hal yang apabila dikatakan dengan sungguh-sungguh maka dia menjadi
serius dan bila dikatakan dengan main-main, akan jadi serius pula, yaitu nikah, talak, dan
rujuk.”
[Hadits Riwayat Abu Dawud dalam “Aunul Ma”bud (VI/262 no. 2180), Tirmidzi (II/328
no. 1195), Ibnu Majah (I/658 no. 2039), Al-Hakim (II/198) dari Abu Hurairah radhiyallahu
“anhu]

Maka talak yang lafadznya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan bercanda,
talaknya jatuh dan dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah (IX/220), Zaadul
Ma”ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]

b. Talak kinaayah adalah talak yang redaksinya mengandung beberapa kemungkinan


makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah
kepada keluargamu), dan yang semisalnya.

Jika seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh kecuali
perkataan tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami mengatakannya dengan niat
untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya. Tetapi apabila suami tidak
berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak jatuh.

Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah riwayat dari “Aisyah radhiyallahu’anha, dia berkata, “Tatkala
putri Al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam
dan beliau mendekatinya, ia (putri Al-Jaun) mengatakan, “A”uudzu billahi minka” (Aku
berlindung kepada Allah darimu). Maka beliau shallallahu “alaihi wa sallam bersabda
kepadanya,

“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah engkau
kepada keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-Nasa”i (VI/150)]

Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada keluargamu,” yang
diucapkan seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan talak. Sehingga apabila ucapan
tersebut diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai
talak satu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-
Kubra (VII/342).

Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ka”ab bin Malik radhiyallahu “anhu, tatkala
ia bersama dengan dua orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi” Al-“Amri dan Hilal
bin Umayaah Al-Waqifi) yang dihajr (diboikot) oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa
sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk bersama dengan beliau. Maka
Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar
kepadanya,

“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka”ab) bertanya, “Aku
ceraikan atau apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Sekedar menjauhinya
saja dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Maka kemudian aku (Ka”ab) berkata
kepada istriku, “Kembalilah engkau kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka
hingga Allah menetapkan putusan dalam masalah ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari
(no. 4418), Muslim (no. 2769), Abu Dawud dalam “Aunul Ma”bud (VI/285 no. 2187) dan
An-Nasa”i (VI/152)]

Dalam riwayat ini, Ka”ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada keluarganya
karena perintah dari Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan bukan karena niat Ka”ab
untuk menceraikan istrinya. Sehingga dengan demikian, perkataan Ka”ab tersebut hanyalah
dihukumi sebagai kiasan saja dan tidak mengakibatkan jatuhnya talak.

2). Menurut Masa Berlakunya


Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga:
munjazah (langsung), mu”allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).

a. talak munjazah adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar talaknya
jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada istrinya, “ Anti thaaliq”
(engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu
juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut
kepada istrinya.

b. talak mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang
diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “ Jika engkau pergi ke
rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.

Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:
1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri
melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang
demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana
sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-
apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan
suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah. Demikian keterangan yang
dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu” Al-Fataawaa (XXXIII/44-46,
58-60, 64-66).

c. talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang
suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana
jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya
waktu yang disebutkan dalam kalimat talak. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah,
XXIX/37)

3). Menurut Keadaan Istri

1. Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah
dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci
dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak
ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa
haidh terakhir istrinya berakhir.

Allah Ta”ala berfirman,

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik,
atau melepaskan dengan baik…” (Qur’an Surah Al-Baqarah : 229)

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…” (Qur’an Surah
Ath-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu
“Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu’anhu menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,

“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci,
lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya
menjadi istri atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh
dengannya. Itu adalah masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan
istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud
dalam “Aunul Ma”bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa”i (VI/138)]

Sedangkan talak bid”i adalah talak yang menyelisihi ketentuan syari”at, sehingga hukum
talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku
manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci
setelah ia mencampuri istrinya, atau seorang suami yang melontarkan tiga talak sekaligus
dengan satu lafazh atau dalam satu majelis.

Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau
tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu
dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I”laamul
Muwaqqi”iin (IV/377-426), Al-Jaami” fii Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal.
79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]

4. Menurut Berat Ringannya Akibat


Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj”i dan talak ba-‘in. Talak
ba-‘in terbagi lagi menjadi dua, yaitu: talak ba-‘in shughra dan talak ba-‘in kubra.

a. Talak raj”i adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa
menerima pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului dengan talak sama
sekali atau baru didahulu dengan talak satu kali. Seorang wanita yang mendapat talak
raj”i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam
masa “iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja
suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa “iddahnya, dan tidak
disyaratkan adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.

Allah Ta”ala berfirman,

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Tidak
boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa
menanti, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)

b. Talak ba-‘in adalah talak yang terjadi setelah masa “iddah istri karena talak raj”i telah
selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.

Talak ba-‘in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. Talak ba-‘in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk
rujuk kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta
dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:

1. Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah selesai;
2. Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
3. Istri minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian
tersebut dianggap sebagai talak ba-‘in, sehingga apabila suami ingin merujuknya
maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri
ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai
hal ini dalam Shahiih Fiqhis Sunnah (III/274-278)]

b. Talak ba-‘in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta”ala berfirman,

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik,
atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak
mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang
(harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang
diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)

Setelah talak ba-‘in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan
mantan istrinya, baik ketika dalam masa “iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat
berikut:

a. Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan


nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang
telah ditalak tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa
menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami
pertama dengan suami kedua maupun tidak.

b. Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
[Lihat Shahiih Fiqhis Sunnah (III/278-279)]

Adapun perbedaan antara talak ba-‘in sughra dan talak ba-‘in kubra adalah ketentuan
dalam proses rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak ba-‘in kubra, mantan
istri bisa kembali kepada mantan suami, jika dia telah dinikahi laki-laki lain dan sudah
terjadi hubungan badan. Sementara talak ba-‘in sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali
mantan suami yang telah menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan laki-
laki lain

3). Menurut Jumlahnya


a). Talak Satu, b). Talak Dua, c). Talak Tiga
C. Rukun dan Syarat Talak

1. Suami
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami
tidak berhak menjatuhkannya.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
a. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai.
Demikian kesepakatan para ulama mazhab
b. Berakal Sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila tidak sah. Begitu
pula dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar.
c. Atas kehendak sendiri.
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian kalau seorang laki-laki
mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main, maka menurut Imamiyah
talaknya dinyatakan tidak jatuh.

2. Istri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak
dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
a. Perempuan yang dinikahi dengan sah
b. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah
c. Belum habis masa iddahnya, pada talak raj’i
d. Tidak sedang haid

3. Sighat Talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan pada suami terhadap istrinya yang
menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa
ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa sighat talak itu ada dua yaitu, sighat yang yang
jelas (sharih) dan sighat sindiran (kinayah).
1. Kata-kata yang jelas (sharih)
Kata-kata talak yang sharih artinya lafal yang di gunakan itu terus terang menyatakan
perceraian. Misal, Suami berkata kepada istrinya “Engkau telah aku ceraikan”, “Aku
telah menjatuhkan talak untukmu”, atau “Engkau tertalak” dan lain sebagainya.
2. Kata-kata yang tidak jelas (kinayah)
3. Kata-kata talak yang tidak jelas yaitu kata yang mengandung sindiran atau yang
mengandung arti samar-samar seperti suami berkata kapada istrinya, “pulanglah kerumah
4. orang tuamu sekarang”, atau “beriddahlah engkau dan bersihkanlah kandunganmu” dan
lain sebagainya.

D. Hukum Talak

1. Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan
suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari
kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai
melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi
keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama
seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya
setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
2. Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan
hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki
kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga
dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
3. Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri
dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa
dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal
ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah
ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
4. Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan
talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin
Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya
berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia
berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’
‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa’id bin
Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
5. Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam
keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak
bid’i

 IDDAH

A. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari adad artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan atau istri
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah, iddah mengandung arti
lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah bercerai atau ditinggal
mati suaminya.
Jadi, iddah adalah satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup atau
mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan.

B. Macam-macam Iddah

1. Iddah Talak
Iddah talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Iddah Talak pun di bagi
menjadi dua yaitu:
a. Perempuan yang masih haid. Iddahnya adalah tiga kali suci atau tiga kali haid, sesuai
dengan Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 228 :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak
boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.
b. Perempuan yang belum haid atau tidak lagi haid (menopause). Iddahnya adalah tiga bulan
sesuai dengan Firman Allah dalam Surat At Talaq ayat 4:

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-


perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid”.
 Wanita al-Murtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak
teratur. Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan:

 Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah
karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang masih ada harapan untuk
sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk bersabar sampai siklus haidnya kembali
normal, meskipun waktunya panjang. Setelah siklus haid kembali normal maka dia menjalani
masa iddahnya dengan hitungan quru’ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum.
 Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah
namun sebabnya tidak diketahui. Dalam kondisi ini, wanita wajib menunggu selama 9 bulan,
sehingga diketahui dengan pasti bahwa rahimnya bersih, kemudian melakukan ‘iddahnya
selama 3 bulan. Dengan demikian, ‘iddahnya menjadi 1 tahun. [Lihat Ad-Dasuqi (II/470), Al-
Mughni (VII/466), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/420-421), Mausu’ah Fiqhiyah
Kuwaitiyah (XXIX/329)]Hal ini berdasarkan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu, tentang wanita murtabah namun sebabnya tidak diketahui, “Hendaklah ia menunggu
selama sembilan bulan, kemudian jika tidak nampak pada dirinya (tanda-tanda) kehamilan,
maka hendaklah ia melakukan ‘iddah selama tiga bulan, maka semuanya menjadi satu tahun
penuh.” [Riwayat Imam Asy-Syafi’i dalam Musnadnya (II/107 Syifaa-ul ‘Ayy)]

 Wanita al-mustahadhah. Dalam kondisi istihadhah, wanita ada dua keadaan:

 Dia dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah, maka ‘iddahnya
adalah tiga kali siklus haid.
 Dia tidak dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Wanita yang
mengalami kondisi semacam ini disebut al-mutahayyirah (wanita yang ragu), dan
masa ‘iddahnya adalah selama 3 bulan. [Lihat Fat-hul Baari (IV/312), Ad-
Dasuqi (II/470), Mughni Muhtaaj (III/385), Al-Mughni (III/468), dan Ensiklopedi Fiqh
Wanita (II/ 421)]Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
 “…jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga
bulan…” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)

2. Iddah Hamil
Iddah Hamil adalah iddah yang terjadi apabila perempuan yang diceraikan itu sedang
hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya. Firman Alloh swt. Dalam
Surat At Talaq ayat 4:

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

Catatan:

 Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi,
setelah dia melahirkan, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang
barunya tidak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya.
[Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab ‘Iddah (no. 325) dan Terj. Subulus
Salam (III/108-109)]

 Wanita hamil yang mengalami keguguran sehingga mengakibatkan luruhnya janin


dari rahimnya maka masa ‘iddahnya selesai bersamaan dengan gugurnya janin.
[Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam Al-Majmu’ Al-Kamilah
Limu’allafatisy Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di (VII/384-385) dan Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita (II/224-225). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/109)]
 Wanita yang ditalak oleh suaminya dan belum dicampuri, maka tidak
ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita mukmin,


kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa
‘iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan..” (Qs. Al-Ahzaab: 49)

3. Iddah Wafat
Iddah wafat yaitu iddah yang terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati
suaminya. Dan adapun iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Firman Allah dalam Surat
Al Baqarah ayat 234:

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri


(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat”.

Wanita menuntut cerai kepada suaminya (melakukan khulu’), maka tidak ada
‘iddah baginya, karena khulu’ adalah fasakh (pembatalan akad nikah) dan bukan
talak. Namun wanita tersebut menunggu selama satu kali haidh, setelah itu halal
baginya untuk menikah lagi. [Lihat Zaadul Ma’ad (V/199), Ensiklopedi Fiqh
Wanita (II/428)]Sebagaimana diriwayatkan dari Rubayi’ binti Mu’awwidz,

“Bahwasanya dia mengajukan khulu’ dari suaminya, lalu dia mendatangi ‘Utsman
bin ‘Affan dan bertanya kepadanya, ‘Apakah ada kewajiban ‘iddah kepadaku?’
Utsman menjawab, ‘Tidak ada ‘iddah kepadamu, kecuali kamu baru saja
bersenggama dengannya sehingga datang kepadamu haidh satu kali.’ ‘Utsman
melanjutkan perkataannya, ‘Dan aku mengikuti apa yang diputuskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masalah ini kepada Maryam al-
Mughaliyah.’ Dia (Maryam) adalah istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang
mengajukan khulu’ darinya.” [Hadits shahih li ghairih. Riwayat An-Nasa’i (VI/186)
dan Ibnu Majah (no. 2058)]

Setelah mengetahui batasan waktu yang ditetapkan oleh Islam untuk wanita yang menjalani
masa ‘iddah, maka kita pun perlu mengetahui apa saja yang ditetapkan oleh syari’at untuk
wanita yang sedang dalam masa ‘iddah.

1. Wanita tersebut wajib untuk tetap tinggal di rumah suaminya atau di rumah
mahramnya. Dan dia tidak keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan yang
mendesak dan bergegas kembali apabila kebutuhannya telah terpenuhi.
2. Wajib bagi wanita tersebut untuk menjauhi segala bentuk perhiasan, wewangian, dan
aktivitas berhias, seperti bercelak, mengenakan inai (pacar) dan sebagainya yang
dapat membangkitkan hasrat lawan jenis untuk meminangnya. [Lihat Al-‘Adad wal
Ihdaad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa’ (II/599), Terj. Subulus
Salam (III/117-123), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/408-411)]

C. Hikmah Iddah
Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan
2. Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan
semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjungjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif
mengkaji masalahnya, dan memberikan waktu berpikir panjang.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup
lama dalam ikatan akadnya

 RUJUK

A. Pengertian Rujuk
Menurut bahasa arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a – yarji’u –rujk’an yang berarti
kembali, dan mengembalikan. Ulama Hanafinah memberikan makna ruju’ sebagaimana di
kemukakan oleh Abu Zahrah sebagai berikut:“Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam
masa iddah talak (raj’i)”
Sedangkan menurut Asy Syafi’i: “Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan
sebagai suami istri ditengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj’i)”. Dapat
dirumuskan bahwa rujuk ialah “mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh
setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam
masa iddah, dengan ucapan tertentu”.

Rujuk setelah perceraian suami istri dapat dibagi menjadi 2, yaitu :


Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 1 dan 2 (talak raj’iy)
Dalam suatu hadist disebutkan : dari Ibnu Umar r.a. waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia
berkata, “Adapun engkau yang telah menceraikan ( istri) baru sekali atau dua kali, maka
sesungguhnya Rasulullah SAW telah menyuruhku merujuk setelah perceraian suami istri
istriku kembali” (H.R. Muslim)

Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan perkawinan, maka bila seorang suami
telah menceraikan istrinya, ia telah diperintahkan oleh Allah SWT agar merujuk setelah
perceraian suami istriinya kembali.

Firman Allah SWT :

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujuk
setelah perceraian suami istriilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuk setelah perceraian suami istrii mereka
untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu,
dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah).
Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah
kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-
Baqarah : 231)

Rujuk setelah perceraian suami istri untuk talak 3 (talak ba’in)


Hukum rujuk setelah perceraian suami istri pada talak ba’in sama dengan pernikahan
baru, yaitu tentang persyaratan adanya mahar, wali, dan persetujuan. Hanya saja jumhur
berpendapat bahwa utuk perkawinan ini tidak dipertimbangkan berakhirnya masa iddah.

Rukun rujuk
 Ada suami yang merujuk atau wakilnya
 Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampuri
 Kedua belah pihak sama-sama suka dan ridho
 Dengan pernyataan ijab dan qobul
 Misalnya, “Aku rujuk engkau pada hari ini” atau “Telah kurujuk istriku yang bernama
………… pada hari ini” dan lain sebagainya yang semakna.

Tata cara rujuk setelah perceraian suami istri


Pasangan mantan suami istri yang akan melakukan rujuk setelah perceraian suami istri
harus datang menghadap PPN (Pegawai Pencatat Nikah) atau Kepala Kantor Urusan Agama
(KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk
setelah perceraian suami istri dari Kepala Desa/ Lurah serta Kutipan dari Buku Pendaftaran
Talak/ Cerai atau Akta Talak/ Cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuk setelah perceraian suami istrinya kepada
istri disaksikan minimal dua orang saksi
PPN mencatatnya dalam Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri, kemudian
membacanya dihadapan suami-istri tersebut terhadap saksi-saksi, dan selanjutnya masing-
masing membubuhkan tanda tangan.
PPN membuatkan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri rangkap dua
dengan nomor dan kode yang sama

Kutipan diberikan kepada suami-istri yang rujuk setelah perceraian suami istri
PPN membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk setelah perceraian suami istri dan
mengirimnya ke Pengadilan Agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan
Suami-istri dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri
datang ke Pengadilan Agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali Akta
Nikahnya masing-masing
Pengadilan Agama memberikan Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan dengan menahan
Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk setelah perceraian suami istri.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak bai’in,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi
dalam talak raj’i.

Rukun talak itu ada 3 yaitu :


1. Suami
2. Istri
3. Shighat talak

Iddah adalah satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup
atau mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan.

Macam-macam Iddah:
1. Iddah cerai
2. Iddah hamil
3. Iddah wafat/mati

Rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi
talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan
ucapan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

 Al Quranul Karim.
 Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet.
Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
 Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-
Sunnah, Jakarta
 Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
 Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir,
Bogor
 Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus
Sunnah, Jakarta
 Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
 Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
 Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
 Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
 Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir
Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
 Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka
Darul Haq, Jakarta
 Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
 Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-
Taufiqiyyah, Kairo
 Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet.
Darus Sunnah, Jakarta
 Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin
Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
 Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-
Wathaan, Riyadh
 Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka
Imam asy-Syafi’i, Bogor
 ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh
 Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet.
Maktabah al-Ma’arif, Riyadh

 Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-
Sunnah, Jakarta

 Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
 Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir,
Bogor
 Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus
Sunnah, Jakarta
 Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
 Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
 Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
 Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
 Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir
Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
 Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka
Darul Haq, Jakarta
 Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
 Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-
Taufiqiyyah, Kairo
 Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet.
Darus Sunnah, Jakarta
 Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin
Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
 Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-
Wathaan, Riyadh
 Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka
Imam asy-Syafi’i, Bogor
 ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh

You might also like