You are on page 1of 4

Bab IX

Pertumbuhan Versus Pemerataan Ekonomi


Muqaddimah

Bukti historis dan empiris telah membuktikan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru malah sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi yang pernah diperoleh selama ini hanya bersifat semu bukan riil. Pertumbuhan ekonomi
yang tinggi saja tidaklah cukup namun harus ditopang dengan pemerataan. Ukuran pertumbuhan yang
selama ini dipakai yaitu GNP atau Produk Domestik Bruto telah terbukti gagal. Pertumbuhan ideal
haruslah pertumbuhan yang riil yaitu pertumbuhan orang per orang bukan pertumbuhan agregat.
Sehingga dapat dikatakan ukuran GNP yang merupakan produk sistem ekonomi Kapitalis telah gagal.
Ukuran yang riil justru terletak dari kemakmuran orang per orang bukan aggregat, inilah yang
ditawarkan dalam Sistem Ekonomi Islam. Konsep Sistem Ekonomi Islam telah meletakkan pondasi yang
benar dan kokoh yaitu pertumbuhan riil dan kemakmuran orang per orang.

Indonesia pernah mengalami tingkat pertumbuhan yang sangat signifikan dalam sejarahnya
pada tahun 1995. Pada tahun 2005, angka pertumbuhan ekonomi nasional adalah 8,07%. Angka ini naik
dibanding angka tahun 1994 yang hanya 7,48% (kompas, 30 April 1996). Angka yang fantastik! Kenapa
tidak, karena dengan angka pertumbuhan tersebut, membuat negeri ini mendapat julukan sebagai
negara macan asia. Meski saat ini pertumbuhannya melambat pada periode yang sama pada tahun lalu.
Hal ini sebagaimana data yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), mencatat bahwa
pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019 hanya 5,05 persen secara tahunan atau melambat dibandingkan
periode yang sama tahun lalu, 5,27 persen (CNN, 05 Agustus 2019).

Banyak penaksiran yang muncul berkaitan dengan angka pertumbuhan ekonomi nasional
tersebut. Sebagian kalangan mempertanyakan dengan kritis angka fantastik itu. Sebagian lain menilai
angka pertumbuhan itu sebagai prestasi luar biasa, dan pada waktu itu kalangan DPR komisi 6
menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi itu, disatu sisi menunjukkan tingginya
dinamika ekonomi dalam negeri, tapi di sisi lain pertumbuhan ekonomi tersebut mengandung sejumlah
kekhawatiran. Kekhawatirannya, boleh jadi angka pertumbuhan yang tinggi tersebut didongkrak oleh
aktivitas dunia usaha besar atau konglomerat

Kekhawatiran tersebut memang terbukti 2 tahun kemudian, ketika bangsa ini menghadapi krisis
moneter pada bulan September 1997. Pada tahun yang sama 16 bank swasta dilikuidasi dan pada tahun-
tahun berikutnya banyak bank yang masuk daftar BTO (Bank Take Over). Tidak hanya bank, dunia usaha
lainnya pun banyak yang berguguran. Ini menunjukkan bahwa angka pertumbuhan yang fantastik
tersebut ternyata hanya angka semu bukan angka riil.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pertumbuhan
ekonomi, dan apa hubungannya dengan pemerataan ekonomi? Dan bagaimana pula hubungan dua
perkara ini dengan Islam. Atau bagaimana sesungguhnya Islam membahas masalah ekonomi, terutama
dilihat dari segi pemecahan problematika dasar ekonomi.
Pertumbuhan Ekonomi dan Ukuran Pertumbuhannya
Sebagian besar dunia sekarang, menganggap pertumbuhan ekonomi (economic growth) sebagai
tujuan ekonomi yang paling utama. Mereka menganggap jika pertumbuhan ekonomi suatu bangsa amat
tinggi, berarti problematika utama ekonomi relatif mampu ditanggulangi.

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan perkembangan GNP (Gross National Product) Potensial di


suatu negara (Samuelson dan W.D. Nordhaus, Makro Ekonomi, hal.256). Pertumbuhan ekonomi bisa
berarti pertumbuhan output per kapita, artinya pertumbuhan upah riil dan meningkatnya standar hidup.
Bisa juga mencerminkan output suatu negara, tenaga kerja dan stock modal. Dengan kata lain,
pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh pesat diakibatkan oleh faktor investasi, tabungan dan atau
aktivitas dunia usaha yang dilakukan para konglomerat.

Sebenarnya ukuran pertumbuhan ekonomi mulai digunakan pada tahun 1930, ketika pemikiran
Keynes sedang naik daun. Ukuran itu disebut Perhitungan Pendapatan Nasional atau National
Accounting (Ormerod, 1998). Ukuran ini menjadi standar bagi semua negara baik negara maju maupun
negara berkembang. Namun demikian, dalam kenyataannya patut dipertanyakan, apakah pertumbuhan
ekonomi yang tinggi menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat secara keseluruhan? Hal
ini dipertanyakan karena dalam kenyataannya (terutama Indonesia) walaupun dengan tingginya angka
pertumbuhan bahkan fantastik, justru perekonomian negara goncang, bahkan malah ambruk. Tingkat
pengangguran semakin melebar, tingkat kemiskinan semakin tinggi.

Jumlah
Pemasukan/pendapatan
GNP =

Masalah Ekonomi Kapitalis


Menurut An-Nabhani (1996) pada dasarnya ada tiga permasalahan mendasar yang menjadi
pembahasan dalam ekonomi kapitalis yaitu; (1) Masalah kelangkaan (Scarcity); (2) Masalah nilai (Value)
dan (3) Masalah harga (Price). Dalam masalah pertumbuhan ekonomi, para pakar ekonomi kapitalis
dihadapkan dengan kenyataan bahwa salah satu dari tiga permasalahan tersebut yakni menyinggung
masalah kelangkaan, atau keterbatasan barang-barang dan jasa yang berhubungan dengan kebutuhan
manusia.

Menurut mereka, barang dan jasa tidak mampu (terbatas) dalam memenuhi kebutuhan
manusia, sementara kebutuhan manusia akan barang dan jasa itu tak terbatas (Al-Maliki, 2001).
Disinilah menurut mereka munculnya masalah ekonomi yaitu: banyaknya kebutuhan, sementara alat
pemuasnya amat terbatas. Dengan demikian, bagi mereka masalah sebenarnya adalah kebutuhan-
kebutuhan dan barang-barang tersebut bukan manusianya. Jadi masalahnya adalah bagaimana
meningkatkan produksi suatu barang untuk memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan hal tersebut, pakar ekonomi kapitalis melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan
produktivitas ekonomi dalam bentuk ouput produksi yang makin meningkat, agar mencukupi apa yang
dibutuhkan oleh manusia yang kebutuhannya tak pernah terbatas, tanpa memperhatikan lagi aspek
pemerataannya (distribusi).

Kemudian disamping itu, mereka mencampuradukkan barang-barang ekonomi dan cara


pemerolehannya dalam satu pembahasan. Padahal antara pembahasan barang-barang ekonomi dan
cara pemerolehannya berbeda satu sama lain. Pembahasan yang berhubungan dengan barang-barang
ekonomi disinggung dalam ilmu ekonomi, sedangkan pembahasan yang berhubungan dengan cara
pemerolehannya disinggung dalam sistem ekonomi. Dengan kata lain, mereka mengintegrasikan antara
ilmu ekonomi (economic science) dengan sistem ekonomi (economic system) dalam perspektif yang
sama, tanpa sedikitpun pembedaan antara keduannya (Al-Khalidi, 2002; hal. 63).

Dalam sistem kapitalis, sarjana-sarjana ekonomi mengatakan bahwa penambahan pemasukan


negara akan memperbaiki pemasukan individu. Mereka menyangka bahwa negara yang terdiri atas
1.000.000 penduduk dan pemasukkannya 500.000.000 rupiah, maka pemasukan (income) individu
adalah 500 rupiah. Dan apabila pemasukkan negera meningkat menjadi 700.000.000 rupiah, maka
pemasukan individu akan meningkat sebesar 200 rupiah (Az-Zain, 1988).

Ilmu Ekonomi dan Sistem Ekonomi


Sistem ekonomi menjelaskan tentang distribusi harta/kekayaan, pemilikan serta menjelaskan
berbagai transaksi terhadap harta kekayaan tersebut (An-Nabhani, 1996; 29). Sementara ilmu ekonomi
menyinggung tentang produktivitas, kualitas maupun kuantitas produksi, membahas apa yang harus
dihasilkan dan bagaimana cara menghasilkan, atau dengan teknik, teknologi apa yang harus digunakan,
agar setiap input digabungkan dan diolah supaya menghasilkan output yang diinginkan.

Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara sistem ekonomi dengan ilmu ekonomi.
Ilmu ekonomi bersifat universal, tidak terikat dengan ideologi/pandangan hidup tertentu. Sedangkan
sistem ekonomi terikat dengan ideologi/pandangan hidup tertentu. Makanya, sistem ekonomi mengikuti
ideologi yang mendasarinya. Berdasarkan hal tersebut, sistem ekonomi terdiri dari tiga sistem ekonomi
yaitu sistem ekonomi Islam, sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis.

Ketika pemikiran Kapitalis mengintegrasikan antara pembahasan tentang pemenuhan


kebutuhan dengan pembahasan mengenai alat pemuas kebutuhan dari aspek bahwa alat tersebut
mampu memenuhi kebutuhan saja, maka pandangan kaum Kapitalis yang didasarkan kepada produksi
kekayaan lebih besar dibanding dengan pandangan mereka yang dibangun berdasarkan distribusi untuk
memenuhi kebutuhan individu, bahkan kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat tersebut menjadi
sekunder (Al-Khalidi, 2002).

Itulah sebabnya, falsafah sistem ekonomi Kapitalis diorientasikan untuk merealisasikan satu
tujuan, yaitu meningkatkan kekayaan negara secara makro, ketika pada saat yang sama diupayakan agar
bisa mencapai tingkat produksi setinggi-tingginya. Maka, tercapainya kemakmuran rakyat merupakan
konsekuensi logis dari pertambahan pendapatan negara secara makro.
Lain halnya dengan sistem ekonomi Sosialis yang didalamnya jaminan merupakan usaha untuk
mewujudkan persamaan hak milik, bukan jaminan akan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap
individu. Sama saja bagi mereka, apakah persamaan ini menjamin kebutuhan-kebutuhan pokok atau
tidak; karena hasil dari usaha ini adalah tidak adanya milik produksi (Az-Zain, 1988).

Pemerataan dalam Perspektif Ekonomi Islam


Sesungguhnya sistem ekonomi Islam membahas tentang bagaimana kebutuhan-kebutuhan
pokok bagi setiap individu rakyat bisa dipenuhi, bukan membahas bagaimana agar barang-barang
ekonomi bisa diproduksi. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang unik. Pembahasan
sistem ekonomi Islam mencakup pada tiga pilar mendasar yaitu; kepemilikan, pengembangan
kepemilikan dan pendistribusian. Sistem ekonomi Islam tidak mencampuradukan pembahasan ilmu
ekonomi dengan sistem ekonomi.

Apabila kita mengkaji sistem ekonomi Islam, maka kita jumpai kesempurnaan pemecahannya,
jaminan pemerataan serta keadilan dari segi pendapatan, tidak dijumpai lagi kecemburuan ekonomi
(kesenjangan antara kaya dan miskin). Sehingga problematika ekonomi menurut Islam sebenarnya
hanyalah bertumpu pada distribusi barang dan jasa kepada masing-masing individu rakyat secara
menyeluruh dan memuaskan, atau bertumpu pada pemerataan, bukan hanya pertumbuhan. Dan bukan
berpijak pada kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh umat/bangsa secara total, tanpa diperhatikan
lagi masing-masing individunya. Jadi problematikanya adalah ‘kemiskinan yang menimpa individu’ dan
bukan ‘kemiskinan yang menimpa suatu negara/bangsa’.

GNP (Gross National Product) yang merupakan ukuran pertumbuhan yang digunakan dalam
sistem ekonomi kapitalis tidak berlaku dalam sistem ekonomi Islam. Dan bukan ukuran yang
menunjukkan kaya atau miskinnya suatu negara. Dan ini telah terbukti dari berbagai negara, yang GNP-
nya besar tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan rakyatnya.

Khatimah

Suatu masyarakat takkan mungkin hidup sejahtera tanpa didukung oleh kekuatan dan
kebenaran sistem kehidupannya, yang diantaranya adalah sistem ekonomi. Bila kita melihat sejarah
kaum manapun di dunia, kita tidak menemukan satu kaum yang bisa bertahan berabad-abad (± 13
abad), selain sejarah agung masyarakat Islam. Sistem kehidupan yang diterapkan beradal dari Rabb
Pencipta dan Pemelihara manusia beserta alam semesta. Dan sistem ekonominya telah mampu
mewujudkan masyarakat yang didambakan, yakni masyarakat yang makmur secara individual/personal,
bukan hanya makmur secara komunal/masyarakat. Dan sesungguhnya, bila secara individual suatu
kaum sudah sejahtera, maka secara komunal, pastilah suatu bangsa juga sejahtera.

You might also like