You are on page 1of 37
SE Menuju Pembelajaran Abad 21 PENERRIT ADAE SKETSA PEMBELAJARAN IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Indramayu © 2023, Penerbit Adab Penulis: Dr. Sudrajat, M. Pd., Prof. Dr. Saliman, M. Pd., dan Dr. Supardi, M. Pd. Editor: Nia Duniawati Desain Cover: Nurul Musyafak Layouter: Fitri Yanti Diterbitkan oleh Penerbit Adab CV. Adanu Abimata Anggota IKAPI: 354/JBA/2020 JI. Kristal Blok H2 Pabean Udik Indramayu Jawa Barat Kode Pos 45219 Telp: 081221151025 Sure: penerbitadab@gmail.com Web: https://Penerbitadab id Referensi | Non Fiksi | R/D vi + 190 him, 15,5 x 23cm No. ISBN: 978-623-162-023-1 Cetakan Pertama, September 2023 PENTRRIT ADAE Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau selurun isi buku ini dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis termasuk fotokopi, mereka, atau dengen tekrik perekaman lainya tanpa izin tertuls dari penertit. All right reserved A. Belajar dan Pembelajaran Belajar merupakan proses aktif seseorang untuk memperoleh ilmu, pengetahuan, serta apa saja yang ingin diketahui. Kegiatan belajar merupakan sebuah aktifitas aktif manusia untuk memuaskan hasrat ingin tahunya tentang misteri yang menyelimuti eksistensi manusia di muka bumi. Rasa gelisah manusia tentang bagaimanakah asal usul manusia, bagaimana terbentuknya alam semesta merupakan hal-hal yang mendorong manusia untuk selalu belajar dari alam. Alam semestalah yang memaksa manusia untuk memahami dirinya, alamnya, dan eksistensinya. Dengan memahami alam manusia dapat menggunakan apa yang disediakan oleh alam untuk kehidupannya. Dalam pepatah Minangkabau, alam takambang menjadi guru merupakan adagium yang memerintahkan bangsa Minang untuk belajar dari alam sehingga dapat memahami, memelihara, merawat, dan melestarikannya sebagai bagian dari ekosistem. Belajar merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Sebagai proses yang evolusioner belajar mengubah manusia menjadi makhluk modern dengan segala capaiannya. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap atau tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan kebiasaan. Dalam pandangan Reber (Hermawan, 2014) belajar meliputi learning as the process of acquiring knowledge, sebuah proses guna mencari dan memperoleh ilmu pengetahuan. Learning as a relative permanent change in respons potentiality which occurs because of reonfeced practice. Belajar sebagai suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Hal ini membuat individu memiliki ilmu dan pengetahuan baru, sehingga dari ilmu dan pengetahuan tersebut ia mampu bereaksi dan memberikan respon sebagai hasil dari pengalaman belajarnya di masa lalu. Reaksi yang diberikan individu relatif konsisten berdasarkan ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 2 penguasaannya terhadap latihan dan penguatan yang telah diterima pada masa sebelumnya. Penguasaan atas latihan dan penguatan yang individu terima secara terus-menerus, lambat laun akan mengkonstruksi mental individu. Winkle (Hermawan, 2014: 93) memberikan definisi belajar sebagai suatu proses mental yang mengarah pada suatu penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebiasaan atau sikap yang semuanya diperoleh, disimpan dan dilaksanakan sehingga menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif. Definisi tersebut menekankan pengertian belajar pada aspek kognitif daripada aspek tingkah laku, yakni belajar sebagai upaya memperoleh ilmu pengetahuan, pema- haman, kecakapan, kebiasaan dan sikap yang disimpan dan dilak- sanakan sehingga melahirkan perubahan pengetahuan dan tingkah laku (Hermawan, 2014: 93). Pemahaman dan kecakapan individu yang diperoleh atas penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan mampu memperkaya kognitif individu bersangkutan dan pada akhirnya akan mempengaruhi individu dalam bertindak atau bertingkah laku. Tingkah laku individu berubah seiring dengan bertambahnya ilmu dan pengetahuan yang ia terima dan ia kuasai. Perubahan yang diakibatkan oleh perilaku belajar tersebut ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Belajar menyebabkan perubahan yang disadari dan disengaja; 2) Perubahan yang berkesinambungan; 3) Belajar hanya terjadi dari pengalaman yang bersifat individual atau meng- hasilkan perubahan yang fungsional; 4) Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan ke arah yang ingin dicapai atau perubahan yang bersifat positif; 5) Belajar menghasilkan perubahan yang bersifat aktif; 6) Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh; 7) Belajar menghasilkan perubahan yang bersifat permanen; 8) Belajar menghasilkan perubahan yang bertujuan dan terarah; 9) Belajar adalah proses interaksi dan belajar berlangsung dari yang paling sederhana sampai pada yang kompleks (Arfani, 2016: 86). Dengan demikian, perubahan yang dihasilkan dari proses belajar merupakan perubahan yang sengaja diupayakan oleh individu dalam rangka mencapai tujuan tertentu kearah yang lebih baik secara berkelanjutan. Perubahan yang muncul sebagai hasil dari proses belajar juga terjadi secara sadar, kontinyu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, dan mencakup seluruh tingkah laku (Hanafy, 2014). Arti belajar juga berkaitan dengan suatu proses perubahan kepribadian seseorang dimana perubahaan tersebut dalam bentuk peningkatan kualitas perilaku, seperti peningkatan pengetahuan, keterampilan, daya pikir, pemahaman, sikap, dan berbagai kemampuan lainnya. Keterampilan yang dimiliki setiap individu adalah melalui proses belajar. Penanaman konsep membutuhkan keterampilan, baik itu keterampilan jasmani maupun rohani. Dalam hal ini, keterampilan jasmani adalah kemampuan individu dalam penampilan dan gerakan yang dapat diamati. Keterampilan ini berhubungan dengan hal teknis atau pengulangan. Sedangkan keterampilan rohani cenderung lebih kompleks, karena bersifat abstrak. Keterampilan ini berhu- bungan dengan penghayatan, cara berpikir, dan kreativitas dalam menyelesaikan masalah atau membuat suatu konsep. Menurut Arfani (2016), belajar akan terjadi dan akan diikuti dengan keadaan memuaskan, apabila diperkuat dengan: 1) Spread of effect, yaitu emosional yang mengiringi kepuasan tidak terbatas kepada sumber utama pemberi kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru; 2) Law of exercice, yaitu hubungan antara pemberi stimulus dan reaksi diperkuat dengan latihan dan penguasaan; serta 3) Law of primacy, yaitu hasil belajar yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan. Latihan dan penguasaan yang dida- patkan dari proses belajar akan memberikan kepuasan emosional pada diri individu, sehingga reaksi dalam wujud tingkah laku sebagai perubahan atas apa yang ia kuasai akan mengakar kuat dan sulit digoyahkan. Belajar sebagai aktivitas psiko-fisik yang menghasilkan perubahan atas pengetahuan, sikap dan keterampilan yang relatif konstan selalu menunjukkan kepada suatu proses perubahan perilaku seseorang berdasarkan praktek atau pengelaman tertentu (Hanavy, 2014: 77). 4 ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se Praktek maupun pengalaman yang dapat mewadahi siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan mengubah perilaku dapat dikemas dalam suatu proses pembelajaran. Menurut Darsono (dalam Arfani, 2016: 87), secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan dialogis antara guru dengan siswa dalam upaya mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Pengubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik atau kegiatan yang dimaknai sebagai proses belajar membutuhkan hubungan yang berlangsung dua arah, yakni antara guru dengan siswa. Miarso (Pribadi: 2009) memaknai istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pembelajar (learner centered). Dalam konteks tersebut, maka arah komunikasi mestinya beroreintasi pada pembelajar atau siswa, berbeda dengan teacher centered dalam kegatan pengajaran, yakni dimana aktivitas berfokus pada guru. Oleh karenanya, kegiatan pengajaran perlu dibedakan dari kegiatan pembelajaran. Menurut Miarso, pengajaran diartikan sebagai penyajian bahan ajaran yang dilakukan oleh seorang pengajar. Istilah pembelajaran telah digunakan secara luas bahkan telah dikuatkan dalam perundang-undangan, yaitu dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Sejalan dengan pandangan di atas, Gagne dkk dalam Pribadi (2009) mengemukakan perbedaan pengajaran dengan pembelajaran diantaranya: 1) Pembelajaran mengandung makna yang lebih luas dari pada istilah pengajaran. Pengajaran hanya merupakan upaya transfer of knowledge semata dari guru kepada siswa, sedangkan pembelajaran memiliki makna yang lebih luas, yaitu kegiatan yang dimulai dari mendesain, mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan yang dapat menciptakan terjadinya proses belajar; 2) Pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam diri individu Dengan kata lain, pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu. Untuk mengubah perilaku siswa kearah yang lebih baik, maka guru diharapkan mampu menciptakan suasana dan kegiatan yang berorientasi kepada siswa. Dalam pandangan Kimble (Olson & Hergenhanh, 2015: 1) bahwa pembelajaran berkaitan dengan perubahan pada tingkah laku pada individu. Dalam pandangan tersebut perubahan yang ditunjukkan oleh individu sifatnya relatif permanen, tidak terjadi secara tiba- tiba. Dalam pendapatnya Kimble (Olson & Hergenhanh, 2015: 1) pembelajaran berkaitan dengan empat hal yaitu: First, learning is indexed by a change in behavior; in other words, the results of learning must always be translated into measurable behavior. After learning, learners do something that they did not do before learning took place. Note that the behavior can be overt (correcting a golf swing or pronunciation of a Spanish word) or covert (increased blood pressure or heart rate). Second, this behavioral change is relatively permanent that is, itis neither transitory nor fixed. Third, the change in behavior need not occur immediately following the learning experience. Although there may be a potential to act differently, this potential to act may not be translated into behavior until a later time. Fourth, the change in behavior (or behavior potentiality) results from experience or practice. Fifth, the experience, or practice, must be reinforced; that is, only those responses that lead to reinforcement will be learned. Dalam pandangan Corey (Afandi, Chamalah, Wardani: 2013), pembelajaran merupakan proses pengelolaan lingkungan seseorang secara sengaja, dimana lingkungan tersebut dikelola untuk me- mungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dan dalam kondisi-kondisi khusus guna menghasilkan respon terhadap situasi ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se tertentu. Oleh karenanya, lingkungan belajar hendaknya dikelola dengan baik karena pembelajaran memiliki peranan penting dalam pendidikan. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Sagala (Afandi, Chamalah & Wardani, 2013) yang menyatakan bahwa pe- nentu utama keberhasilan pendidikan yakni membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar. Pengelolaan lingkungan belajar oleh guru dapat mestinya didasarkan teori belajar yang relevan. Pajangan gambar, artefak, portofolio atau foto-foto karya peserta didik merupakan rangsangan yang signifikan untuk mengubah perilaku menuju pembelajar yang produktif. Di dalam kelas juga dipajang foto pahlawan bangsa, lambang negara berupa bendera, foto kepala negara dan lain-lain juga memberikan rang- sangan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan atau nasio- nalisme. Kegiatan belajar yang kontekstual dan menyenangkan merupakan salah satu lingkungan belajar terpenting yang perlu men- dapat perhatian dari guru karena memiliki nurturance effect terhadap keberhasilan dan keberlangsungan siswa. Teori belajar merupakan hasil penelitian yang dapat menjelaskan bagaimana cara seseorang belajar dan dapat digunakan guru sebagai landasan dalam mengembangkan pembelajaran. Pembelajaran merupakan “a set of events embedded in purposeful activities that facilitate learning” yang artinya, pembelajaran merupakan seperangkat peristiwa yang tertanam dalam kegiatan yang bertujuan untuk memfasilitasi kegiatan belajar (Pribadi, 2009: 9). Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar. Kegiatan belajar mestinya dirancang agar dapat menumbuhkan rasa ingin tahu atau kekaguman sehingga mendorong siswa untuk mencari tahu serta memecahkan misteri yang menggelitik pikirannya. Dalam konteks tersebut, maka conditions atau situasi yang diciptakan oleh guru merupakan dirancang sesuai model pembelajaran yang telah ditentukan. Kultur kelas perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong terjadinya proses kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sesuai dengan hakikatnya, fungsi-fungsi pembelajaran menurut Arfani (2016) meliputi: 1) Pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir, yakni tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran; 2) Pembelajaran sebagai suatu proses, dimana pembelajaran diartikan sebagai rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar, mulai dari: a) Persiapan, yakni merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) dan penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, alat evaluasi, buku atau media cetak lainnya; b) Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya; c) Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya dalam bentuk pengayaan maupun remidial. Belajar merupakan aspek yang paling penting dari kehidupan manusia, karena dengan belajar manusia tumbuh dan berkembang dengan sempurna untuk mengolah dan memelihara alamnya. Melalui proses belajar, manusia secara terus-menerus mengembangkan per- adabannya baik dalam bidang teknologi, kesenian, olahraga, Bahasa, dan seluruh aspek kehidupan manusia. Peradaban manusia menjadi lebih maju, kedudukan manusia juga menjadi lebih terhormat diban- dingkan dengan makhluk hidup lainnya berkat kegiatan belajarnya. B. Teori Belajar Teori belajar merupakan hasil pemikiran maupun hasil penelitian yang menjelaskan bagaimana proses belajar berlangsung pada diri seseorang serta dapat menjadi landasan dalam mengembangkan pembelajaran (Mukminan dkk, 1998: 48). Terdapat beragam teori yang mampu menjelaskan bagaimana siswa mengalami proses belajar, serta guru dapat mengembangkan teori tersebut ke dalam suatu program pembelajaran. Teori-teori tersebut diantaranya: 8 ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se Teori Belajar Behavioristik Teori belajar mampu memifasilitasi guru dalam mempelajari perilaku siswa menggunakan berbagai pendekatan tertentu Menurut Desmita (dalam Nahar, 2016) teori belajar behavioristik merupakan teori belajar yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik dalam memahami tingkah laku manusia, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dalam teori ini, upaya mempelajari tingkah laku seseorang dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Oleh sebab itu, seseorang dianggap telah belajar apabila dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut paradigma teori behavioristik, input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons merupakan sesuatu yang amat penting dalam belajar daripada proses yang terjadi di dalamnya, sebab proses tersebut tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah 1) stimulus, yakni apa yang diberikan oleh guru; serta 2) respons, yakni apa yang diterima oleh siswa; sehingga keduanya harus dapat diamati dan diukur (Putrayasa dalam Nahar, 2016: 66). Perubahan perilaku merupakan objek yang amat penting dalam teori ini, sebab perubahan perilaku dianggap sebagai respons atas stimulus yang diberikan oleh guru. Perubahan ting- kah laku tersebut harus dapat diukur dan diamati untuk melihat keberhasilan dari proses belajar siswa. Proses belajar pada teori behavioristik dapat diamati melalui beberapa pendekatan, yaitu classical conditioning dari Ivan Petrovich Pavlov, connectionism dari Edward Lee Thorndike, serta operant conditioning dari Burrhus Frederick Skinner (Fatimah & Yaumi, 2017). Teori classical conditioning atau teori pembiasaan dikembangkan berdasar hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Petrivich Pavlov tentang prosedir penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek 9 10 tersebut (Terrace, 1973). Pengkondisian klasik ini merupakan tipe pembelajaran dimana seorang individu belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimulus. Dalam konteks ini, stimulus netral (seperti melihat seseorang) diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna (seperti makanan) dan menimbulkan kapasitas untuk mengeluarkan kapasitas yang sama (Santrock, 2008: 268). Melalui teori pembiasaan yang dikembangkannya Paviov meletakkan dasar-dasar bagi penelitian behavioristik, sekaligus meletakkan dasar bagi penelitian tentang proses belajar dan pengembangan teori belajar. Penerapan teori classical conditioning diwujudkan dalam prosedur penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek. Misalnya adalah dalam prak- tik pemberian reward dalam pembelajaran. Dengan adanya stimulus berupa hadiah (reward) yang diberikan pada siswa, maka akantimbul motivasi belajar siswa. Siswa akan memberikan perhatian lebih pada guru, memberikan perhatian lebih pada pembahasan yang sedang dipelajari, dan muncul antusiasme. Prinsip-prinsip classical conditioning menurut Pavlov adalah: 1) belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara meng- hubungkan atau mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah; 2) proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan, 3) belajar adalag membuat perubahan- perubahan pada organisme atau individu; 4) setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak; dan 5) semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi (Sujarwo, W, 2006:64). Pada penerapannya, Woolflok (dalam Baharuddin &Wahyuni, 2007: 63-64) menyarankan pembiasaan klasikal dilakukan dengan: 1) memberikan suasana yang menyenangkan Ketika memberikan tugas belajar; 2) membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau mencekam; 3) dan membantu siswa untuk mengenal perbedaan ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se dan persamaan terjadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan membuat generalisasi secara tepat. Teori connectionism atau koneksionisme pertama kalo dicetuskan oleh Edward Lee Thorndike. Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedanglan respon adalah apapun tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Pada teori konektivisme ini, terdapat dua hukum, yaitu: 1) hukum kesiapan, ketika sese- orang doipersiapkan untuk bertindak, maka melakukan tindakan merupakan imbalan, sementara tidak melakukannya adalah hukuman (Schunk, 2012). Semakin siap individu terhadap sebuah tondakan maka perilaku yang mendukungnya akan meng- hasilkan imbalan, sehingga kegiatan belajar akan lebih berhasil bila individu yang melakukannya memiliki kesiapan belajar; 2) hukum latihan, merupakan koneksi antara kondisi dan tindakan akan menjadi kuat karena latihan dan akan menjadi lemah karena kurang latihan. Hal ini menyiratkan dalam belajar perlu ada pengulangan, semakin sering suatu bahasan dipelajari, maka penguasaan akan semakin baik; 3) hukum akibat, yaitu ketika kegiatan belajar menghasilkanefek hasil belajar yang menyenangkan maka akan diulangi, sedangkan ketika kegiatan belajar memberikan hasil tidak menyenangkan maka akan dihentikan (reward and punishment); 4) hukum perpindahan asosiasi, adalah proses peralihan dari siatuasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap. Teori operant conditioning (pengkondisian operan) dari Burrhus Frederick Skinner menganggap setiap mahluk selalu dalam proses melakukan sesuatu, sehingga selalu dalam kon- disi mererima stimulan-stimulan tertentu. Stimulant inilah yang kemudian berdampak pada meningkatnya proses belajar, atau 11 12 stimulant dianggap sebagai penggugah. Stimulan dalam tapana inilah yang masuk dalam konsep pengkondisian operan mill Skinner. Prinsip pengkondisian klasik milik Pavlov hanya meng- gambarkan sedikit saja perilaku yang bisa dipelajarai. Banyak perilaku manusia yang lebih mengarah pada operan, bukan pada responden. Teori pengkondisian klasik janya menjelaskan bagaimana perilaku yang ada dipasangkan dengan rangsangan/ stimulus baru, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perilaku operan baru dimulai (Baharudian dan Wahyuni, 2007: 67). Pada teori pengkondisian operan, hal yang paling dipen- tingkan adalah respon (31) Selanjutnya dijelaskan bila ada dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu: pertama, setiap respon yang diikuti oleh stimulus yang memperkuat imbalan (reward) akan cenderung diulangi. Kedua, stimulus yang memperkuat imbalan akan meningkatkan kecepatan terjadinya respon operan. Dengan kata lain, imbalan akan mengakibtakan diulanginya suatu respon (Suwarno, 2006: 65). Prinsip-prinsip dalam teori operant conditioning adalah: 1) penguatan (reinforcemet) dimana dalam proses belajar untuk meningkatkan kemungkinan munculnya suatu respon/perilaku maka akan diberikan rangsangan. Penguatasn bisa bersifat postitif dan negatif. Penguatan positif adalah rangsangan yang diberikan untuk memperkuat munculnya perilaku yang baik sehingga respon meningkat berkat stimulus yang mendukung, Penguatan negatif adalah peningnatan frekuensi suatu perilaku positif karena hilangnya rangsangan yang merugikan (Haslinda, 2019: 87-99). Dalam kesimpulan eksperimennya, Skinner kemudian menyimpulkan bila pada awalnya dalam jangka pendek, hukuman dan imbalan dapat memiliki efek menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka Panjang, imbalan tetap memiliki efek menaikkan tingkah laku, tetapi hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara imbalan dan hukuman menjadi tidak simetris (Haryanto, 2020: 32). ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se Keberhasilan siswa dalam proses belajar dapat dilihat dari berbagaiaspek, salah satunya yakni hasil belajar. Menurut Nahar, teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon serta terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Hasil belajar yang diperoleh selain dapat diukur, juga merupakan cerminan dari apa yang siswa alami melalui proses belajar. Teori ini mendudukkan siswa yang belajar sebagai individu yang pasif serta respons atau perilaku tertentu terbentuk melalui metode pelatihan atau pembiasaan semata. Menurut teori behavioristik tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau penguatan dari lingkungan. Hal ini diperkuat oleh Rusli & Kholik yang menyatakan bahwa munculnya perilaku akan semakin kuat apabila diberikan penguatan dan akan meng- hilang bila dikenai hukuman (2016: 66). Dengan demikian, teori ini menempatkan siswa sebagai objek penerima stimulus pada suatu pembiasaan tertentu tanpa melibatkan keaktifan siswa secara mendalam, dimana perilaku sebagai hasil belajar bersifat tidak langgeng bergantung atas pengendalian dari lingkungan. Teori ini memandang bahwa peristiwa belajar semata-mata dilakukan dengan melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Para ahli behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman, sehingga menurut Zulhammi seseorang dianggap telah belajar apabila dapat menunjukkan perubahan perilaku. Aliran psikologi Behaviorisme memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Pernyataan tersebut diperkuat dengan Sujant yang menyatakan bahwa dalam teori belajar behaviorisme objek ilmu jiwa harus terlihat, dapat di indera, dan dapat diobservasi. Metode yang dipakai, yaitu mengamati serta menyimpulkan (Nahar, 2016: 67). 13 14 Teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri yang berupa 1) Aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesa- darannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalamanpen-galaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada badan yang dipelajari; 2) Segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sebagai sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin; 3) Behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang adalah sama, dimana pendidikan adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi refleks keinginan hati (Ahmadi dalam Nahar, 2016: 67). Pandngan behavioristik menekankan bila perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Proses mental adalah pikiran, perasaan, dan motif yang dialami seseorang namun sifatnya tidak bisa dilihat oleh orang lain (Santroock, 2011). Oleh karenanya, teori ini memandang manusia dari aspek jasmaniahnya saja, yakni segala aspek yang dapat diobservasi melalui indera tanpa melibatkan kondisi mental pembelajar. Hasil belajar dalam teori ini adalah segala sesuatu yang dapat diukur dan diamati seperti perubahan tingkah laku sebagai suatu respons pembelajar terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru. Siswa dikatakan telah belajar, apabila telah mengalami perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku didapatkan oleh siswa melalui pendidikan yang berupa pembiasaan-pem- biasaan, karena dalam teori ini manusia adalah sama pada mula keberadaannya di dunia. Teori ini memandang siswa adalah objek, sehingga pembelajaran dalam paradigma teori ini adalah pembelajaran yang berpusat pada guru sebagai pemberi stimulus untuk mengamati perubahan perilaku pada siswa. ‘Sketsa Pembelajaran IPS: Menuju Pembelajaran Abad 21 Se b. Teori belajar Humanistik Berlainan dengan teori behavioristik, teori belajar ini menem- patkan siswa sebagai manusia seutuhnya yang memiliki kendali atas diri dan kehidupannya. Kemuncuan Teori pendidikan humanistik bertolak dari tiga teori filsafat, yaitu: pragmatisme, progresivisme dan eksistensisalisme. 1) Menurut Dewey (dalam Qodir, 2017), terpeliharanya keberlangsungan pengetahuan dengan aktivitas yang dengan sengaja ditujukan untuk meng- ubah lingkungan merupakan ide utama pragmatisme dalam pendidikan; 2) Progresivisme menekankan pada kebebasan aktualisasi diri agar tercipta kondisi kreatif sehingga menuntut lingkungan belajar yang demokratis dalam menentukan kebi- jakannya. Progresivisme menekankan pada terpenuhi ke- butuhan dan kepentingan anak yang dibangun secara aktif oleh dirinya sendiri, dimana belajar tidak hanya dari buku dan guru, tetapi juga dari pengalaman kehidupan; 3) Eksistensialisme berpilar utama invidualisme dan menekankan pada kebebasan manusia juga memberikan pengaruh terhadap teori belajar ini. Kaum eksistensialis memandang sistem pendidikan yang tidak mengembangkan individualitas dan kreativitas anak adalah sistem pendidikan yang membahayakan. Menurut Noddings (dalam Qodir, 2017) sistem pendidikan tersebut hanya mengantarkan anak untuk bersikap konsumeristik, menjadi penggerak mesin produksi dan birokrat modern. Pemikiran pendidikan berdasarkan filsafat eksistensialisme mengantarkan pandangan bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga muncul keinginan belajar. Keinginan belajar merupakan modal utama seorang anak atau siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar sebagai pilihan sadar yang diputuskan olehnya, yakni sebagai manusia yang bebas dan berhak untuk mengaktualisasikan diri. Dengan demikian, teori belajar humanistik apabila dikembangkan kedalam pembelajaran akan membentuk suatu pembelajaran yang berpusat pada siswa. 15

You might also like