Professional Documents
Culture Documents
Kesenjangan Dan Pendidikan Di Indonesia: Hari Nugroho Indera Pattinasarany
Kesenjangan Dan Pendidikan Di Indonesia: Hari Nugroho Indera Pattinasarany
net/publication/351563822
CITATIONS READS
0 7,057
13 authors, including:
All content following this page was uploaded by Kevin Kurniawan on 27 October 2022.
1
Sources: BPS. (2017). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin Kelompok Umur Sekolah,
dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2015. Badan Pusat Statistik; BPS. (2017). Indikator Pendidikan, 1994-2016.
Badan Pusat Statistik.
Apabila kita memperhatikan gambar di atas, School Enrollment Rate atau yang dikenal
sebagai angka partisipasi sekolah, mempunyai pola-pola tertentu. Secara garis besar, terjadi
kesenjangan dalam partispasi sekolah. Tingginya partisipasi sekolah pada usia 7-12 (Sekolah
Dasar), lalu terjadinya penurunan pada usia 13-15 (Sekolah Menengah Pertama), kemudian
terjadi penurunan secara cukup drastis pada usia 16-18 (Sekolah Menengah Atas dan Sekolah
Menengah Keterampilan) serta usia 19-24 (perguruan tinggi). Secara garis besar, tingkat
partisipasi Sekolah Dasar yang bermula dengan sekitar 98% menurun menjadi 70% pada Sekolah
Menengah Atas dan keterampilan, dan menurun sampai sekitar 20% pada tingkat perguruan
tinggi.
Di lain data, Angka partisipasi murni (APM) pendidikan pada tahun 2019 untuk tingkat
SD mencapai 97,18 persen; SMP sebesar 79,35 persen; SMA sejumlah 60,70 persen; dan
perguruan tinggi sebanyak 18,85 persen (Data Badan Pusat Statistik 1994-2019). Terjadi
penurunan partisipasi yang hampir sama dari tingkat SD ke SMP (sebesar 18,23 persen), dan dari
SMP ke SMA (sebanyak 18,70). Namun, penurunan drastis terjadi pada partisipasi pendidikan
dari tingkat pendidikan SMA ke perguruan tinggi yaitu sebesar 41,85 persen.
Hampir seluruh warga negara Indonesia memperoleh pendidikan dasar, bahkan
kesempatannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun tidak demikian untuk pendidikan
menengah (SMP dan SMA), bahkan perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa
partisipasi pendidikan menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Dengan kata lain,
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah tingkat partisipasinya.
Meskipun dari tahun ke tahun selama satu dekade, terlihat bahwa adanya tingkat
partisipasi yang lebih tinggi pada kelompok Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun
fenomena “Putus Sekolah” terjadi dengan cukup tajam pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
2
Sekolah Menengah Keterampilan (SMK), terlebih lagi ketika peserta didik memasuki Perguruan
Tinggi (PT). Hal ini menunjukkan bagaimana kesenjangan partisipasi sekolah adalah gejala yang
cukup mengkhawatirkan. Secara makro, institusi pendidikan Indonesia masih belum cukup
memadai untuk menekan masalah kesenjangan partisipasi sekolah dalam rana pendidikan. Dan
secara jangka panjang, kesenjangan partisipasi sekolah akan berubah menjadi kesenjangan
sosial-ekonomi, di mana tidak setiap individu mempunyai latar belakang pendidikan yang sama
untuk partisipasi dan berkompetisi dalam sektor ekonomi (Kurniawan, 2018)
Sumber: The World Bank and Government of Australia (Septemner 2019). Aspiring Indonesia – Expanding the
Middle Class.
Data World Bank dan Pemerintah Australia tersebut memperlihatkan bahwa capaian
pendidikan penduduk miskin paling banyak pada tingkat SD, dan tidak ada yang menempuh
pendidikan tinggi. Untuk penduduk rentan, pendidikan tingkat SD juga yang paling banyak
dimiliki, namun sekitar 3 persen penduduk memiliki pendidikan diploma. Penduduk aspiring
middle class dan kelas tengah 1 memiliki capaian pendidikan yang hampir sama. Pendidikan
tertinggi yang paling banyak dicapai adalah jenjang SMA, dan ada penduduk yang
berpendidikan D4/S1 sebesar 7 persen dan 25 persen untuk aspiring middle class dan kelas
tengah 1 secara berturut-turut. Untuk kelas tengah 2 dan kelas atas juga memperlihatkan pola
3
serupa, dimana lebih dari setengahnya berpendidikan D4/S1, yaitu sekitar 60-67 persen. Selain
itu, tidak ada yang gagal menyelesaikan pendidikan SMA di kedua kelas tersebut.
Source: The World Bank. (2012). Indonesia: Preparing Indonesian Youth for Transition: Issues and Policy Agenda
for Senior Secondary Education.
Apa yang sebetulnya menjadi sebab akan terjadinya kesenjangan tersebut? Bila kita
memperhatikan gambar di atas ini, terlihat sebuah informasi mengenai biaya-biaya yang perlu
ditanggung oleh seseorang untuk mencukupi kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pendidikan
bukan hanya kebutuhan yang langsung berhubungan dengan pendidikan, seperti biaya seragam,
buku, dan sebagainya, tetapi juga kebutuhan pendukung pendidikan seperti biaya transportasi,
alat tulis, biaya ujian, biaya makan, dan sebagainya.
Dengan mempertimbangkan akan adanya kesenjangan kelas sosial di Indonesia,
seseorang yang berasal dari kategori “Poorest” tetap perlu menanggung biaya pendidikan
setidaknya sebesar Rp 2.500.000 dibandingkan yang berada dalam kategori “Richest” yang dapat
menanggung sekitar Rp. 3.500.000. Hal ini menandakan bahwa meskipun terjadi kesenjangan
pendapatan ekonomi antarkelas sosial, namun biaya ekonomi tetap cukup seragam dan dianggap
“memberatkan”, khususnya bagi mereka yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah dan
kelas sosial yang paling rendah.
Maka, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika pada akhirnya para peserta didik yang
berasal dari kelas menengah ke bawah dan kelas bawah terpaksa meninggalkan sekolah untuk
bekerja. Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan riil yang perlu dicukupi terlebih dahulu sebelum
peserta didik dapat melanjutkan rencana mereka untuk bersekolah (Moeliodihardjo, 2014;
Suryadarma, et al, 2006; Pattinasarany, 2012; Weston, 2008). Ketika seorang peserta didik sudah
mencapai tahap “usia bekerja”, mereka akan condong untuk meninggalkan proses pendidikan
demi mendapatkan pekerjaan di tengah kondisi tersebut. Kesenjangan ekonomi membuat
4
kesenjangan pertisipasi pendidikan, dan kesenjangan partisipasi pendidikan akan terus
melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi.
Referensi:
Jacob, W. James and Donald B. Holsinger. 2009. “Inequality in Education: A Critical Analysis”,
https://www.researchgate.net/publication/226378965.
5
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jendral Pusat Data dan Statistik Pendidikan
dan Kebudayaan. Indonesia, Education Statistics in Brief. Jakarta: MOEC.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jendral Pusat Data dan Statistik Pendidikan
dan Kebudayaan. APK dan APM SD, SMP, SMA. Jakarta: MOEC.
The World Bank dan Australian Government. 2019. Aspiring Indonesia, the Expanding Middle
Class. Washington DC: The World Bank.
BPS. 2017. Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin Kelompok Umur
Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2015. Badan Pusat Statistik
The World Bank. (2012). Indonesia: Preparing Indonesian Youth for Transition – Issues and
Policy Agenda for Senior Secondary Education.
Pattinasarany, I.R.I. 2012. Intergenrational Vertical Social Mobility Studies on Urban Society in
the Province of West Java and East Java. University of Indonesia.
Kurniawan, Kevin Nobel. 2018. Education as the Institutional Means Towards Postmaterialism.
International Journal of Latest Research in Humanities and Social Science, 1(9): 16-28.