You are on page 1of 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351563822

Kesenjangan dan Pendidikan di Indonesia

Chapter · May 2021

CITATIONS READS
0 7,057

13 authors, including:

Hari Nugroho Indera Pattinasarany


University of Indonesia University of Indonesia
6 PUBLICATIONS 28 CITATIONS 4 PUBLICATIONS 16 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Lucia Ratih Kusumadewi Kevin Kurniawan


University of Indonesia 28 PUBLICATIONS 20 CITATIONS
5 PUBLICATIONS 4 CITATIONS
SEE PROFILE
SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Kevin Kurniawan on 27 October 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Kesenjangan dan Pendidikan di Indonesia

Indera Ratna Pattinasarany & Kevin Nobel Kurniawan


Universitas Indonesia

Kesenjangan pendidikan merupakan isu penting dalam dunia pendidikan di berbagai


negara di dunia. Dalam kebijakan pendidikan, pencapaian kesetaraan kualitas, kesempatan, dan
outcome pendidikan telah lama menjadi tujuan pendidikan nasional di berbagai negara (Jacob
and Holsinger, 2009:9). Akses, kesempatan, inklusi, kesetaraan merupakan satu kesatuan
kerangka pikir dan kerja dari agenda pendidikan yang sejalan dengan Sustainable Development
Goals (SDG) 4 yaitu kualitas pendidikan.
Secara sederhana, dapat diketahui bahwa terjadinya kesenjangan sosial akan berdampak
kepada institusi pendidikan. Suatu lembaga pendidikan yang mempunyai sumber daya tentunya
akan berbeda dengan yang tidak mempunyai sumber daya. Ketersediaan fasilitas infrastruktur
yang memadai, tunjangan yang cukup bagi para guru, serta kemampuan peserta didik untuk
menampung biaya pendidikan dan non-biaya pendidikan adalah hal yang patut dipertimbangkan.
Sebaliknya, pendidikan yang kurang memadai juga memperkuat kesenjangan sosial.
Bukanlah sebuah pengetahuan yang baru bahwa individu yang tidak mendapatkan akses sumber
daya pendidikan yang baik akan berakhir dalam posisi sosial yang lebih marjinal. Di tengah
proses modernisasi dan perkembangan ekonomi di Indonesia, dibutuhkan individu-individu yang
terdidik dan sumber daya manusia yang mencukupi untuk mengisi posisi strategis dalam struktur
sosial-ekonomi Indonesia. Ironisnya, di tengah perkembangan Indonesia yang cenderung
menitikberatkan aspek ekonomis, pendidikan masih menjadi isu permasalahan, yang dapat
berdampak pada semakin besarnya masalah sosial dan stagnansi ekonomi.
Kesenjangan pendidikan di Indonesia telah ada selama bertahun-tahun. Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah kesenjangan melalui, antara
lain, penyediaan pendidikan dasar dan menengah, menerbitkan standar layanan untuk
implementasi pendidikan. Namun, upaya-upaya pemerintah belum sepenuhnya berhasil karena
masih diperlukannya peraturan yang lebih sistematis dan terpadu. Tulisan ini memaparkan
kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia yang dibagi dalam beberapa bahasan.

Kesenjangan Partisipasi Pendidikan Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan adalah partisipasi
pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan. Kesenjangan dalam arti ini adalah kemampuan
peserta didik untuk bisa bersekolah. Bila kesenjangan partispasi itu rendah, maka diharapkan
bahwa setiap peserta didik bisa menempuh proses pendidikan dari SD, SMP, ke SMA/SMK,
sampai ke perguruan tinggi. Sebaliknya, jika terjadi kesenjangan partisipasi tinggi, maka kita
akan menemukan bahwa terjadinya penurunan partisipasi pendidikan antara jenjang pendidikan.
Untuk menjelaskan hal ini, telah ditampilkan sebuah gambar di bawah ini untuk menggambarkan
wajah kesenjangan partisipasi pendidikan:

1
Sources: BPS. (2017). Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin Kelompok Umur Sekolah,
dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2015. Badan Pusat Statistik; BPS. (2017). Indikator Pendidikan, 1994-2016.
Badan Pusat Statistik.

Apabila kita memperhatikan gambar di atas, School Enrollment Rate atau yang dikenal
sebagai angka partisipasi sekolah, mempunyai pola-pola tertentu. Secara garis besar, terjadi
kesenjangan dalam partispasi sekolah. Tingginya partisipasi sekolah pada usia 7-12 (Sekolah
Dasar), lalu terjadinya penurunan pada usia 13-15 (Sekolah Menengah Pertama), kemudian
terjadi penurunan secara cukup drastis pada usia 16-18 (Sekolah Menengah Atas dan Sekolah
Menengah Keterampilan) serta usia 19-24 (perguruan tinggi). Secara garis besar, tingkat
partisipasi Sekolah Dasar yang bermula dengan sekitar 98% menurun menjadi 70% pada Sekolah
Menengah Atas dan keterampilan, dan menurun sampai sekitar 20% pada tingkat perguruan
tinggi.
Di lain data, Angka partisipasi murni (APM) pendidikan pada tahun 2019 untuk tingkat
SD mencapai 97,18 persen; SMP sebesar 79,35 persen; SMA sejumlah 60,70 persen; dan
perguruan tinggi sebanyak 18,85 persen (Data Badan Pusat Statistik 1994-2019). Terjadi
penurunan partisipasi yang hampir sama dari tingkat SD ke SMP (sebesar 18,23 persen), dan dari
SMP ke SMA (sebanyak 18,70). Namun, penurunan drastis terjadi pada partisipasi pendidikan
dari tingkat pendidikan SMA ke perguruan tinggi yaitu sebesar 41,85 persen.
Hampir seluruh warga negara Indonesia memperoleh pendidikan dasar, bahkan
kesempatannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun tidak demikian untuk pendidikan
menengah (SMP dan SMA), bahkan perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa
partisipasi pendidikan menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Dengan kata lain,
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah tingkat partisipasinya.
Meskipun dari tahun ke tahun selama satu dekade, terlihat bahwa adanya tingkat
partisipasi yang lebih tinggi pada kelompok Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun
fenomena “Putus Sekolah” terjadi dengan cukup tajam pada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan

2
Sekolah Menengah Keterampilan (SMK), terlebih lagi ketika peserta didik memasuki Perguruan
Tinggi (PT). Hal ini menunjukkan bagaimana kesenjangan partisipasi sekolah adalah gejala yang
cukup mengkhawatirkan. Secara makro, institusi pendidikan Indonesia masih belum cukup
memadai untuk menekan masalah kesenjangan partisipasi sekolah dalam rana pendidikan. Dan
secara jangka panjang, kesenjangan partisipasi sekolah akan berubah menjadi kesenjangan
sosial-ekonomi, di mana tidak setiap individu mempunyai latar belakang pendidikan yang sama
untuk partisipasi dan berkompetisi dalam sektor ekonomi (Kurniawan, 2018)

Kesenjangan Pendidikan berdasarkan Kelas Sosial


Pendidikan tertinggi yang dicapai penduduk Indonesia usia 25-29 tahun memperlihatkan
kesenjangan antar kelas sosial. Dalam laporan World Bank dan Pemerintah Australia, kelas
sosial dibagi menjadi 6 kelas, yaitu kelas miskin, rentan, aspiring middle class, kelas tengah 1,
kelas tengah 2, dan kelas atas (The World Bank dan Australian Government, 2019:24).
Sedangkan pembagian kelas sosial dalam laporan ini di proxy dengan pendapatan.

Sumber: The World Bank and Government of Australia (Septemner 2019). Aspiring Indonesia – Expanding the
Middle Class.

Data World Bank dan Pemerintah Australia tersebut memperlihatkan bahwa capaian
pendidikan penduduk miskin paling banyak pada tingkat SD, dan tidak ada yang menempuh
pendidikan tinggi. Untuk penduduk rentan, pendidikan tingkat SD juga yang paling banyak
dimiliki, namun sekitar 3 persen penduduk memiliki pendidikan diploma. Penduduk aspiring
middle class dan kelas tengah 1 memiliki capaian pendidikan yang hampir sama. Pendidikan
tertinggi yang paling banyak dicapai adalah jenjang SMA, dan ada penduduk yang
berpendidikan D4/S1 sebesar 7 persen dan 25 persen untuk aspiring middle class dan kelas
tengah 1 secara berturut-turut. Untuk kelas tengah 2 dan kelas atas juga memperlihatkan pola

3
serupa, dimana lebih dari setengahnya berpendidikan D4/S1, yaitu sekitar 60-67 persen. Selain
itu, tidak ada yang gagal menyelesaikan pendidikan SMA di kedua kelas tersebut.

Source: The World Bank. (2012). Indonesia: Preparing Indonesian Youth for Transition: Issues and Policy Agenda
for Senior Secondary Education.

Apa yang sebetulnya menjadi sebab akan terjadinya kesenjangan tersebut? Bila kita
memperhatikan gambar di atas ini, terlihat sebuah informasi mengenai biaya-biaya yang perlu
ditanggung oleh seseorang untuk mencukupi kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pendidikan
bukan hanya kebutuhan yang langsung berhubungan dengan pendidikan, seperti biaya seragam,
buku, dan sebagainya, tetapi juga kebutuhan pendukung pendidikan seperti biaya transportasi,
alat tulis, biaya ujian, biaya makan, dan sebagainya.
Dengan mempertimbangkan akan adanya kesenjangan kelas sosial di Indonesia,
seseorang yang berasal dari kategori “Poorest” tetap perlu menanggung biaya pendidikan
setidaknya sebesar Rp 2.500.000 dibandingkan yang berada dalam kategori “Richest” yang dapat
menanggung sekitar Rp. 3.500.000. Hal ini menandakan bahwa meskipun terjadi kesenjangan
pendapatan ekonomi antarkelas sosial, namun biaya ekonomi tetap cukup seragam dan dianggap
“memberatkan”, khususnya bagi mereka yang berasal dari kelas sosial menengah ke bawah dan
kelas sosial yang paling rendah.
Maka, bukanlah sesuatu yang mengherankan jika pada akhirnya para peserta didik yang
berasal dari kelas menengah ke bawah dan kelas bawah terpaksa meninggalkan sekolah untuk
bekerja. Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan riil yang perlu dicukupi terlebih dahulu sebelum
peserta didik dapat melanjutkan rencana mereka untuk bersekolah (Moeliodihardjo, 2014;
Suryadarma, et al, 2006; Pattinasarany, 2012; Weston, 2008). Ketika seorang peserta didik sudah
mencapai tahap “usia bekerja”, mereka akan condong untuk meninggalkan proses pendidikan
demi mendapatkan pekerjaan di tengah kondisi tersebut. Kesenjangan ekonomi membuat

4
kesenjangan pertisipasi pendidikan, dan kesenjangan partisipasi pendidikan akan terus
melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi.

Kesenjangan Jumlah dan Kualitas Guru


Jumlah guru tidak menyebar secara merata di seluruh Indonesia. Berdasarkan data tahun
2019, hampir separuh guru SD (46 persen) mengajar di wilayah Indonesia bagian Barat yaitu di
Jawa, Sumatera, dan Bali. Sedangkan 20 persen guru mengajar di Indonesia bagian Tengah
(Kalimantan dan Sulawesi), dan 34 persen sisanya mengajar di wilayah Indonesia Timur
(Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua) (Kemendikbud, Sekjen Pusat Data dan Kebudayaan,
2018:45). Jika dilihat dari kecukupannya, wilayah Indonesia bagian Barat memiliki kecukupan
guru, bahkan terdapat kelebihan guru di beberapa wilayah Jawa dan Sumatera.
Kualitas guru dalam hal ini dilihat dari ijazah tertinggi yang dimiliki guru. Secara
keseluruhan, mayoritas guru berpendidikan sarjana dan pasca sarjana, yaitu sebanyak 87,8 persen,
sedangkan 12,2 persen guru berpendidikan lebih rendah dari sarjana (Kemendikbud, Sekjen
Pusat Data dan Kebudayaan, 2018:47). Tampak bahwa secara keseluruhan guru di Indonesia
memiliki pendidikan tinggi. Namun, ketika memperhitungkan tingkat pendidikan guru
berdasarkan wilayah gegrafis, maka kesenjangan menjadi terlihat. Sebanyak 62,3 persen guru SD
yang berpendidikan sarjana dan pasca sarjana adalah guru-guru yang mengajar di Jawa, Bali, dan
Sumatera. Sedangkan lainnya (37,7 persen) mengajar di luar Jawa, Bali, dan Sumatera. Hal ini
memperlihatkan bahwa sebagian besar guru yang berpendidikan tinggi terkonsentrasi di Jawa,
Bali, dan Sumatera.
Dengan kata lain, terjadi ketidakseimbangan antara sisi supply and demand. Pada lokasi
geografis yang membutuhkan jumlah guru yang cukup banyak seperti wilayah-wilayah di luar
Jawa, Bali, dan Sumatra justru tidak mendapatkan supply tenaga kerja pendidik yang cukup.
Kesenjangan di lokasi dan wilayah yang terpencil adalah hal yang nyata. Maka, bila kita menarik
beberapa hal dari temuan sebelumnya, kesenjangan dalam partisipasi sekolah tidak hanya
disebabkan oleh adanya partisipasi yang rendah, tetapi juga oleh fasilitas pendidikan tidak
terbagi secara merata di wilayah yang lebih terpencil.
Selain itu, kondisi kesenjangan geografis yang kurang mendukung proses pendidikan,
para guru juga tidak diberikan tunjangan yang stabil. Banyak di antara mereka yang harus
mengorbankan waktu untuk mengajar selama 17 jam per minggu, tetapi mereka tetap perlu
mengerjakan pekerjaan yang kedua di luar jam mengajar di sekolah untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi. Dengan kondisi seperti ini, kita dapat memperkirakan bahwa akan terjadi penurunan
kualitas dalam proses pedagogi sebab baik kuantitas dan kualitas guru kurang didukung oleh
institusi pendidikan di Indonesia.

Referensi:

Jacob, W. James and Donald B. Holsinger. 2009. “Inequality in Education: A Critical Analysis”,
https://www.researchgate.net/publication/226378965.

5
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jendral Pusat Data dan Statistik Pendidikan
dan Kebudayaan. Indonesia, Education Statistics in Brief. Jakarta: MOEC.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Sekretaris Jendral Pusat Data dan Statistik Pendidikan
dan Kebudayaan. APK dan APM SD, SMP, SMA. Jakarta: MOEC.

The World Bank dan Australian Government. 2019. Aspiring Indonesia, the Expanding Middle
Class. Washington DC: The World Bank.

BPS. 2017. Indikator Pendidikan, 1994-2016. Badan Pusat Statistik.

BPS. 2017. Persentase Penduduk Usia 7-24 Tahun Menurut Jenis Kelamin Kelompok Umur
Sekolah, dan Partisipasi Sekolah 1, 2002-2015. Badan Pusat Statistik

The World Bank. (2012). Indonesia: Preparing Indonesian Youth for Transition – Issues and
Policy Agenda for Senior Secondary Education.

Moeliodihardjo, B.Y. 2014. Higher Education Sector in Indonesia. British Council.

Suryadarma, D, Suryahadi, A, & Sumarto, S. 2006. Causes of Low Secondary School


Enrollment in Indonesia. SMERU Research Institute.

Weston, S 2008. A Study of Junior Secondary Education in Indonesia: A Review of the


Implementation of Nine Years Universal Basic Education. United States Agency for
International Development.

Pattinasarany, I.R.I. 2012. Intergenrational Vertical Social Mobility Studies on Urban Society in
the Province of West Java and East Java. University of Indonesia.

Kurniawan, Kevin Nobel. 2018. Education as the Institutional Means Towards Postmaterialism.
International Journal of Latest Research in Humanities and Social Science, 1(9): 16-28.

View publication stats

You might also like