You are on page 1of 11

Sumbangan Pemikiran Dewan Kesenian Lampung dan

Akademi Lampung untuk Kongres Kebudayaan Indonesia 2023

Setelah membaca Daftar Usulan Hasil Pembahasan Masalah Pra-Kongres Kebudayaan Indonesia
Tahun 2023, kami dari Dewan Kesenian Lampung dan Akademi Lampung bermaksud memberikan
sumbangan pemikiran untuk Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 sebagai berikut:
Hasil sidang Komisi Tata Kelola Pelibatan Masyarakat dalam Perencanaan dan Pelaksanaan
Kebijakan Daerah dalam Pra-Kongres Kebudayaan di Jakarta, 6-8 Oktober 2023 mengajukan Daftar
Usulan di antaranya untuk program jangka pendek Oktober 2023-Desember 2024:
1. Penguatan Inmendagri No. 5A/1993 menjadi SKB 2 Menteri – Kemendagri dan
Kemendikbudristek untuk posisi dan relasi Dewan Kesenian dengan Pemerintah Daerah.
Terhadap usulan ini dapat disarankan bahwa penguatan Inmendagri No. 5A/1993 bukan dalam
bentuk perundang-undangan SKB (Surat Keputusan Bersama) 2 Menteri, melainkan Peraturan
Presiden (Perpres). Adapun pertimbangannya adalah karena:
(1) dalam Tata Urut (Hierarki) Peraturan Perundang-undangan kedudukan Peraturan Presiden
(Perpres) lebih tinggi daripada Surat Keputusan Bersama (SKB), dan dengan demikian
kedudukan dan kepastian hukumnya akan lebih kuat daripada SKB.
(2) perihal lembaga Kebudayaan sudah terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan seperti diatur dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 39, dan Pasal 40.
Dalam hal ini, Dewan Kesenian adalah salah satu lembaga kebudayaan. Maka, di dalam
Peraturan Presiden dimaksud perlu ditegaskan mengenai eksistensi Dewan Kesenian sebagai
salah satu lembaga kebudayaan.
(3) Sebagai bandingan, bahwa Strategi Kebudayaan yang merupakan turunan atau penjabaran
dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ketentuan lebih
lanjutnya juga diatur dalam Peraturan Pelaksanaan berupa peraturan perundang-undangan
Peraturan Presiden (Perpres) yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun
2022 tentang Strategi Kebudayaan.
(4) Apabila dicermati lebih jauh, maka ketentuan lebih lanjut Peraturan Pelaksanaan dari
Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan diatur dalam bentuk
Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah, alih-alih Surat Keputusan Bersama antar-
menteri. Lihat misalnya Pasal 25 mengenai ketentuan lebih lanjut pemeliharaan Objek
Pemajuan Kebudayaan, Pasal 27 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan
Objek Pemajuan Kebudayaan, Pasal 29 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai publikasi
terhadap iformasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan, pemeliharan, dan
penyelamatan Objek Pemajuan Kebudayaan, Pasal 33 ayat (2) mengenai ketentuan lebih
lanjut mengenai pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan untuk membangun karakter
bangsa dan meningkatkan ketahanan budaya, Pasal 34 ayat (3) mengenai ketentuan lebih
lanjut mengenai pengolahan Objek Pemajuan Kebudayaan menjadi produk, Pasal 36 ayat (2)
mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terhadap produk, Pasal 40 mengenai
ketentuan lebih lanjut mengenai Pembinaan Pemajuan Kebudayaan, Pasal 50 ayat (2)
mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pihak dan tata cara pemberian
penghargaan, Pasal 51 ayat (3) mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Sumber
Daya Manusia Kebudayaan dan tata cara pemberian fasilitas; Pasal 52 ayat (2) mengenai
ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Setiap Orang dan tata cara pemberian insentif.
(5) Memang ada ketentuan lebih lanjut dari Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang
Pemajuan Kebudayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri seperti misalnya mengenai izin
Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan [Pasal 37 ayat (4)], ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif [Pasal 38 ayat (4)]. Namun, pengaturan
dalam bentuk Peraturan Menteri lebih bersifat teknis, tata cara, atau menyangkut izin. Akan
halnya eksistensi Dewan Kesenian sebagai salah satu lembaga kebudayaan kiranya dapat
diatur dalam bentuk Peraturan Presiden, dan tidak direduksi dalam Surat Keputusan
Bersama (SKB) 2 menteri.
(6) Dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembinaan Pemajuan
Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Dalam hal ini, Dewan Kesenian sebagai salah satu lembaga kebudayaan berperan di dalam
melakukan pembinaan Pemajuan Kebudayaan. Jika ketentuan lebih lanjut mengenai
Pembinaan Pemajuan Kebudayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka idealnya
eksistensi Dewan Kesenian sebagai salah satu lembaga kebudayaan diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang kedudukannya setara atau setingkat lebih rendah daripada
Peraturan Pemerintah, bukan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 menteri yang
kedudukannya jauh di bawah Peraturan Pemerintah.

Peraturan Presiden (Perpres) dimaksud harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya dalam hal Pembinaan. Dalam konsiderans
Menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 ditegaskan “bahwa untuk memajukan
Kebudayaan Nasional Indonesia, diperlukan langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan
melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat
Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian da;am
Kebudayaan.
Pembinaan dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 diartikan sebagai “upaya pemberdayaan
Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan dalam
meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat.”
Selanjutnya, dalam “Bagian Kelima: Pembinaan” Pasal 39 terdapat tiga ayat berikut:
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan Pembinaan Pemajuan
Kebudayaan.
(2) Pembinaan dilakukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu Sumber Daya Manusia
Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan.
(3) Peningkatan mutu Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata
Kebudayaan dilakukan melalui:
a. peningkatan pendidikan dan pelatihan di bidang Kebudayaan;
b. standardisasi dan sertifikasi Sumber Daya Manusia Kebudayaan sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan, dan/atau
c. peningkatan kapasitas tata kelola lembaga Kebudayaan dan pranata Kebudayaan.

Dalam Pasal 40 dinyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pembinaan Pemajuan
Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Di dalam Peraturan Presiden dimaksud perlu ditegaskan bahwa Dewan Kesenian sebagai salah
satu lembaga kebudayaan yang melakukan Pembinaan Pemajuan Kebudayaan.
Karena di dalam Inmendagri No. 5A/1993 intruksi Mendagri baru sebatas ditujukan kepada
Gubernur se-Indonesia, maka di dalam Peraturan Presiden dimaksud perlu diperluas juga dengan
memerintahkan Bupati/Walikota se-Indonesia untuk membentuk Dewan Kesenian dan membangun
Gedung Kesenian.
Untuk posisi dan relasi Dewan Kesenian dengan Pemerintah Daerah dapat disampaikan saran
sebagai berikut:
 Dewan Kesenian sebagai mitra kerja Pemerintah Daerah di dalam memajukan kesenian di
daerah (provinsi/kabupaten/kota);
 Gubernur/Bupati/Walikota sebagai Pelindung Dewan Kesenian.
 Memberikan pertimbangan dan saran kepada Pemerintah Daerah dan terlibat langsung
dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesenian.

Hasil sidang Komisi Tata Kelola Pelibatan Masyarakat dalam Perencanaan dan Pelaksanaan
Kebijakan Daerah dalam Pra-Kongres Kebudayaan di Jakarta, 6-8 Oktober 2023 mengajukan Daftar
Usulan di antaranya untuk program jangka pendek Oktober 2023-Desember 2024: (2) Membuat
usulan tertulis untuk pembentukan Kementerian Kebudayaan pada saat Kongres Kebudayaan 2023.
Hasil sidang Komisi Tata Kelola Organisasi Masyarakat Bidang Kebudayaan mengangkat masalah
(1) lemahnya konsolidasi dalam membangun kesadaran bersama sehingga kebudayaan
diarusutamakan, (2) rendahnya kesadaran pengarusutamaan kebudayaan di masyarakat, (3) tidak
adanya Departemen atau Kementerian Kebudayaan.
Terhadap usulan ini kami mendukung sepenuhnya pembentukan Kementerian Kebudayaan,
dalam hal ini tidak digabungkan dengan Kementerian Pendidikan atau Kemendikbudristek atau
Kementerian Pariwisata seperti terjadi pada kabinet-kabinet sejak tahun 1945 sampai 2023.
Pengalaman membuktikan bahwa Kebudayaan selalu dinomorduakan dibanding Pendidikan atau
Pariwisata manakala digabungkan. Seolah-olah Kebudayaan hanyalah embel-embel bagi mereka yang
pemahaman kebudayaannya lemah. Padahal, Kebudayaan sebagai segala sesuatu yang berkaitan
dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat, meliputi tujuh unsur kultural. Menurut Clyde
Kluckhon, di dalam setiap kebudayaan terdapat tujuh unsur kultural, yaitu bahasa, adat-istiadat,
pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, sistem kemayarakatan, hukum, seni. Atau di dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 tentang Pemajuan Kebudayaan yang memprioritaskan Objek
Pemajuan Kebudayaan meliputi (a) tradisi lisan, (b) manuskrip, (c) adat istiadat, (d) ritus, (e)
pengetahuan tradisional, (f) teknologi tradisional, (g) seni, (h) bahasa, (i) permainan rakyat, dan (j)
olahraga tradisional.
Menyadari luasnya cakupan Kebudayaan di atas idealnya dibentuk Kementerian Kebudayaan
tersendiri, tidak digabungkan dengan Kementerian lain. Di samping itu, Kebudayaan juga mesti
befungsi sebagai pengarusutamaan untuk semua program kementerian (departemen). Selain itu,
Sumber daya Pemajuan Kebudayaan yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga belum
dikkordinasikan secara efektif. Paling sedikit ada 22 kementerian dan lembaga yang satuan
kerjanya memiliki tugas dan fungsi terkait dengan kebudayaan. Hanya sebagian yang berada di
bawah garis koordinasi kementerian koordinator yang membidangi Kebudayaan.
Demikian pula di tingkat Pemerintah Daerah, perlu dibentuk Dinas Kebudayaan tersendiri,
tidak digabungkan dengan dinas lain seperti Dinas Pendidikan atau Dinas Pariwisata. Data Pokok
Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) memberikan gambaran yang lengkap mengenai kondisi
birokrasi di bidang kebudayaan tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Kebudayaan menjadi urusan wajib
nonpelayanan dasar, akan tetapi perhatian dari Pemerintah Daerah provinsi ataupun
kabupaten/kota masih terbatas. Hal ini terlihat dari data bahwa sebesar 4,06% (empat koma enam
persen) dari seluruh kabupaten/kota yang memiliki dinas khusus untuk menangani urusan
Kebudayaan terpisah dari urusan yang lain. Dengan kata lain, belum banyak pimpinan di daerah
yang menyadari potensi dari kekayaan intelektual dan ekspresi budaya serta cagar budaya yang
ada di daerahnya, sedangkan selebihnya menggabungkan urusan Kebudayaan dengan urusan
pariwisata, pendidikan, komunikasi dan informatika, atau pemuda dan olahraga. Penggabungan
seperti ini berpengaruh terhadap fokus kegiatan, pengerahan sumber daya, serta kemungkinan
kerjasama dari dinas yang bersangkutan.

Salah satu usulan hasil pembahasan masalah Kelompok Tata Kelola Pelibatan Masyarakat
dalam Perencanaan dan Kebijakan adalah terbentuknya Undang-Undang Penyelenggaraan
Kesenian dalam jangka menengah Februari 2024 - Desember 2026. Jika memang diperlukan
adanya pengaturan tentang penyelenggaraan kesenian, disarankan agar dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, bukan
dalam bentuk Undang-Undang. Pengaturan dalam bentuk Undang-Undang cukup satu saja yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Adapun pengaturan
tentang penyelenggaran kesenian merupakan ketentuan lebih lanjut dari Undang-Undang No.
5/2017 yang mengambil bentuk perundang-undangan yang lebih rendah seperti Peraturan
Presiden atau Peraturan Pemerintah. Hal ini akan lebih mudah dan lebih cepat di dalam proses
pembuatan dan pengesahannya dibandingkan dengan pembuatan Undang-Undang yang mesti
melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Dalam tautan ini Pasal 43 dan 44 Undang-
Undang tentang Pemajuan Kebudayaan perlu mendapat perhatian di dalam menyusun Perpres
atau Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Kesenian. Pasal 43 di antaranya
menggariskan “Dalam Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Pusat bertugas: (a) menjamin
kebebasan berekspresi, (b) menjamin pelindungan atas ekspresi budaya, (d) memelihara
kebinekaan, (f) menyediakan sarana dan prasarana Kebudayaan, (g) menyediakan sumber
pendanaan untuk Pemajuan Kebudayaan, (h) mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat
dalam Pemajuan Kebudayaan.
Pasal 44 di antaranya menggariskan “Dalam Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Daerah,
sesuai dengan wilayah administratifnya, bertugas: (a) menjamin kebebasan berekspresi, (b)
menjamin pelindungan atas ekspresi budaya, (d) memelihara kebinekaan, (f) menyediakan sarana
dan prasarana Kebudayaan, (g) menyediakan sumber pendanaan untuk Pemajuan Kebudayaan,
(h) mendorong peran aktif dan inisiatif masyarakat dalam Pemajuan Kebudayaan. (j)
menghidupkan dan menjaga ekosistem Kebudayaan yang berkelanjutan.

Hasil sidang Komisi Tata Kelola Pelibatan Masyarakat dalam Perencanaan dan Pelaksanaan
Kebijakan Daerah dalam Pra-Kongres Kebudayaan di Jakarta, 6-8 Oktober 2023 mengajukan
Daftar Usulan di antaranya untuk program jangka panjang Februari 2024 – 2029 terbentuknya
“Majelis/Dewan Kesenian Nasional.”
Kami dari Dewan Kesenian Lampung dan Akademi Lampung mendukung sepenuhnya
pembentukan Majelis/Dewan Kesenian Nasional. Dalam hal ini kami mengusulkan nama Dewan
Kesenian Indonesia. Adapun pertimbangannya bahwa nomenklatur “Dewan Kesenian” sudah
dikenal oleh kalangan seniman dan masyarakat serta memiliki nilai sejarah karena, setidaknya,
untuk menyebut salah satu contoh, Dewan Kesenian Jakarta, sudah berdiri sejak tahun 1968 dan
pada 2023 sudah berusia 55 tahun. Demikian pula di daerah-daerah provinsi/kabupaten/kota juga
memakai nomenklator “Dewan Kesenian” seperti digariskan dalam Inmendagri No. 5A Tahun
1993. Bahwa di beberapa daerah seperti Bali memakai nomenklatur lain kiranya tidak mengurangi
nilai sejarah dan popularitas dari nomenklatur “Dewan Kesenian.” Keterangan (adjektiva)
“Indonesia” di dalam nama “Dewan Kesenian Indonesia” kiranya juga dapat langsung dipahami
daripada nama “Dewan Kesenian Nasional.” Dengan keterangan “Indonesia” juga dengan
sendirinya mencakup pengertian “nasional” (adjektiva (kata yang menjelaskan nomina atau
pronomina) ‘bersifat kebangsaan’; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri’; meliputi suatu
bangsa’), dan juga tanah-air, dan bahasa sebagaimana muncul dalam rumusan Sumpah Pemuda.
Dewan Kesenian Indonesia di samping berfungsi sebagai “badan kontak” dan “sekretariat
bersama” antar-Dewan Kesenian se-Indonesia, kiranya juga memiliki tugas pokok untuk
mengurus “kesenian Indonesia.” Kesenian Indonesia tidak sama dengan kesenian daerah atau
kesenian etnik yang terdapat di Indonesia. Jika kebudayaan nasional Indonesia diartikan sebagai
keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-kebudayaan yang hidup dan berkembang di
Indonesia (lihat Pasal (1) angka 2 UU No. 5/2017), maka secara tentatif kesenian Indonesia dapat
diartikan sebagai keseluruhan proses dan hasil interaksi antara-kesenian yang hidup dan
berkembang di Indonesia.
Kesenian Indonesia terdiri atas tujuh cabang kesenian, yaitu sastra Indonesia, teater Indonesia,
film Indonesia, musik Indonesia, tari Indonesia, seni rupa Indonesia, seni media baru Indonesia.
Setakat kini, beberapa cabang kesenian Indonesia masih dalam proses kelahirannya. Sastra
Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sudah lebih dulu lahir. Berdasarkan penelitian
Claudine Salmon, titimangsa sastra Cina Peranakan atau sastra Melayu keturunan etnik Tionghoa
di Indonesia jauh mendahului sastra yang ditulis oleh orang Indonesia “asli.” Karena mereka juga
menulis dalam bahasa Melayu (bahkan ada juga yang menulis dalam bahasa Jawa seperti Liem
Khing Hoo, 1905-1945) yang kemudian melalui Sumpah Pemuda pada 1928 secara politis
dinamakan sebagai Bahasa Indonesia, maka karya sastra mereka terbilang sebagai sastra
Indonesia awal. Dengan demikian, novel Indonesia pertama bukanlah Azab dan Sengsara, tetapi
Tjhit Liap Seng (Bintang Toedjoeh). Bukan terbit pada awal 1920, tetapi 35 tahun sebelumnya
(1886). Bukan buah pena Merari Siregar, seorang Batak, melainkan seorang Tionghoa dari Bogor,
Lie Kim Hok (1853-1912).
Teater Indonesia juga sudah ditemukan pada 1970-an. Mari kita mulai dengan sebuah gurauan.
Puluhan tahun silam, Asrul Sani terlibat komedi konyol di Amsterdam, Negeri Belanda. Alkisah,
seorang kawannya pindah rumah, tapi tak menyurati pihak Balai Kota. Suatu hari, seorang Pak Pos
membawa sepucuk surat yang dialamatkan kepada si Kawan. Tapi Pak Pos ogah menyerahkannya
karena tak mungkin memberikannya kepada seseorang yang tidak ada!
“Bagaimana saya tidak ada? Ini, saya berdiri di depan Tuan,” kata si Kawan.
“Tuan tak melapor pindah kemari, jadi Tuan tidak mungkin ada di sini,” balas si Pak Pos.
Olok-olok Asrul Sani pada diskusi teater – serangkaian dengan Pasar Tontonan Jakarta yang
dimotori oleh Teater Koma – di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, pada
Agustus 1997, itu, tak pelak suatu sindirian atas sinisme yang menyebut teater modern Indonesia
belum pernah ada – hanya karena teater di sini dicontek dari Barat, dan karenanya diposisikan
sebagai cacat primordial. “Saya merasa kedudukan teater modern Indonesia sama dengan nasib
kawan saya itu,” sambung Asrul.
Terhadap sinisme yang menyebut teater Indonesia belum pernah ada, kita dapat juga
menyikapinya dengan cara lain, bukan melulu sindiran. Adalah Putu Wijaya, dalam sejumlah tulisan
dan kesempatan, mendeklarasikan yang disebutnya Tradisi Baru dalam Teater Indonesia. Dan itu
berarti Teater Indonesia sudah lahir!
Tradisi Baru, diilhami oleh kreasi dari Taman Ismail Marzuki pada tahun tujuh puluhan, adalah
bagian dari debat panjang tentang suatu identitas budaya Indonesia. Dalam tesisnya bertitel “Putu
Wijaya: A New Tradition in Indonesian Theatre” (1991) untuk meraih gelar Master of Arts pada
Departemen Studi-studi Pertunjukan Universitas New York, Cobina Gillit kembali menandaskan
bahwa Teater Indonesia sejatinya memang ada. Dan itu dilakukannya melalui penelitian terhadap
lakon sekaligus pementasan Aib karya Putu Wijaya yang dipentaskan pada 1988 di TIM, Jakarta. Ini
tampak pada bagian Pendahuluan yang bersubjudul “Definisi Teater Indonesia” yang kemudian
diulangi kembali -- dalam hal ini sebagai hipotesis yang terbuktikan – pada bab penutup “Sebuah
Tradisi Baru” di bawah sub-bab “Definisi Teater Indonesia.”
Sebagai peneliti teater, Cobina menyodorkan analisis tajam terhadap gejala perteateran garda-
depan (avant garde) yang muncul di Indonesia. Menurut pengakuan sarjana Amerika ini, dia tertarik
pada persoalan: Apa yang membuat sesuatu menjadi Indonesia? Soal ini diangkatnya mengingat pada
kenyataannya banyak orang Amerika – tempat Cobina berasal – mengasosiasikan “seni-seni
tradisional” dengan Indonesia. Sesuatu yang kontemporer, seolah-olah, bukanlah bagian yang
sebenarnya dari kebudayaan Indonesia. Dan demikian pula dengan teaternya.
Maka, gagasan bahwa teater garda-depan Indonesia kontemporer merupakan bagian penting dari
tur-tur seni pertunjukan dari Indonesia, yang digagasnya di Amerika, mendapat perlawanan keras. Di
antaranya dari Rachel Cooper, Koordinator Seni Pertunjukan pada Festival Indonesia di Amerika
Serikat (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, KIAS) tahun 1990. Dari situ kemudian dia
mencoba membuktikan kesalahan asosiasi tadi yang diklaimnya sebagai salah cerna terhadap
Indonesia.
Pandangan barusan ini penting untuk meluruskan asosiasi tadi, dan dapat dimanfaatkan untuk
memperkenalkan teater garda-depan Indonesia kontemporer kepada dunia. Meminjam pernyataan
Putu Wijaya sepulangnya dari lawatan ke Amerika, “Kita kurang pengumuman ke mancanegara
mengenai teater modern,” – yang dituturkannya di Bandarlampung pada 21 September 1988. Saat itu,
Putu Wijaya sedang berada di Bandarlampung untuk membacakan sejumlah cerita pendeknya.
Jika yang dibeberkan di atas terjadi pada tingkat eksternal, maka di tingkat internal pun setali tiga
uang pula keadaannya. Kritikus teater di Indonesia umumnya salah paham terhadap teater Putu
Wijaya atau mereka yang bekerja dalam Tradisi Baru. Kekeliruan mereka karena menghubungkannya
dengan “isme-isme Barat” – modernisme semisal teater absurd serta posmodernisme; yang membuat
Teater Indonesia Kontemporer tampak salah dan dibuat-buat. Karenanya, Cobina menyangkal
pendapat Emanuel Subangun yang mengklaim teater Putu sebagai posmodernisme. Sebaliknya, dia
mengedepankan tesis lain, yaitu interkulturalisme. “Menangkap semangat tradisional Indonesia
adalah apa yang menjadi ciri karya Putu,” tandas Cobina. Atau, meminjam istilah Putu, “Tradisi
Baru.” Sekali lagi, pandangan barusan ini perlu untuk meluruskan penfasiran yang keliru terhadap
teater Putu atau mereka yang bekerja dalam Tradisi Baru – yang malangnya juga terjadi di negeri
sendiri. Bersamaan dengan itu, diharapkan, akan hapuslah sinisme yang menyebut teater modern
Indonesia belum pernah ada. Sebaliknya, akan mendudukkan teater modern Indonesia yang sudah
cukup lama lahir itu – beserta segenap pencapaiannya – pada singgasana estetikanya sendiri.
Cobina menulis, “Sewaktu saya menulis tentang produksi Putu Wijaya berjudul Aib ini, saya pun
sedang bekerja sebagai Manajer Produksi Amerika untuk grup pertunjukan Putu, 1 Teater Mandiri.
Saat itu saya sedang menjadual sebuah tur untuk Putu bersama grupnya di bawah payung Festival
Indonesia, sebuah perayaan selama lima belas bulan tentang Kebudayaan Indonesia yang dimulai
pada September 1990. Dengan saksama saya bekerja bersama Rachel Cooper, Koordinator Festival
Indonesia dalam Seni Pertunjukan, yang baru-baru ini berkunjung ke Jakarta dan memvideo-tape-
kan produksi Putu yang paling mutakhir, Yel, yang secara khusus diciptakan untuk tur di Amerika.
Putu mengikuti garis-garis pedoman yang diajukan Koordinator: sedikit untuk tidak berdialog, atau
dialog dalam bahasa Inggris, sehingga penonton Amerika dapat memahami apa yang dikatakan;
jumlah pemain yang kecil; dan sedikit persyaratan teknis. Apa yang Putu ciptakan adalah sesuatu
yang mengalir, pertunjukan teater-tari yang sangat bergaya dengan dialog dalam bahasa Indonesia
yang sangat jarang. Pertunjukan itu dibuka dengan sebuah tirai putih pada panggung tengah. Di
belakangnya adalah para aktor dan wayang yang memerankan suatu wayang kulit (lakon bayangan
wayang) dengan bentuk-bentuk fantastik yang menyimpang. Mereka melukiskan kematian
“tradisional” melalui adegan-adegan dari boneka-boneka wayang golek (wayang tiga dimensi dari
Jawa Barat) yang teraniaya, dan wanita serta anak-anak yang dimangsa oleh rahang-rahang yang
sangat besar. Kemudian, dari aurat sesosok monster yang pendek dan gemuk, muncullah produksi-
produksi masyarakat industri: mobil-mobil, gedung-gedung pencakar langit, kereta-kereta. Layar
terangkat. Pria dan wanita dengan kedok putih yang mirip-kematian bergerak dengan lamban ke
bawah panggung untuk menghadapi suatu bagian menggelombang yang terbuka luas dari kain yang
memerangkap dan menggerakkan mereka. Pada akhir pertunjukan para aktor bergerak kembali ke
belakang layar bayangan, dan gambar-gambar menyimpang yang mengerikan memudar. Pertunjukan
itu digabung dengan musik perkusi dan gamelan yang direkam menjadi satu melebihi suatu sulaman
jari tangan.
Rachel Cooper tampaknya kecewa dengan kreasi Putu, dan khawatir bahwa dalam rekaman video
itu tidak akan ada kepentingan yang cukup menghasilkan untuk memperoleh sponsor untuk tur itu.
Alasannya adalah bahwa Yel tidak cukup “Indonesia” untuk mendapat sponsor-sponsor yang
mendukungnya untuk Festival Indonesia. Sejak Maret 1990 ketika saya mulai mengerjakan tugas
merencanakan sebuah tur untuk grup Teater Mandiri-nya Putu, saya telah mengalami perlawanan
terhadap gagasan bahwa teater garda depan Indonesia kontemporer adalah suatu bagian penting dari
tur-tur seni pertunjukan dari Indonesia. Kenyataannya adalah bahwa mayoritas orang Amerika
mengasosiasikan “seni-seni tradisional” dengan Indonesia. Sesuatu yang kontemporer bukanlah
bagian yang sebenarnya dari kebudayaan Indonesia.
Persoalan apa yang membuat sesuatu menjadi Indonesia ini menarik perhatianku. Indonesia
adalah suatu satuan politik yang relatif baru. Meskipun dinasti Majapahit menyatakan kerajaan
Nusantaranya pada abad ke-15 dengan batas-batas yang sama dengan Indonesia dewasa ini, itu
adalah suatu negeri yang didasarkan pada penaklukan, bukan nasionalisme. Nasionalisme yang
membuka jalan untuk semboyan nasional, “Bhinneka Tunggal Ika,” tidak mulai menghimpun
momentum hingga 1928 dengan Sumpah pemuda. Sumpah Pemuda menyatakan satu bangsa, satu
tanah air, satu bahasa, dengan maksud untuk menekan pendudukan Belanda. Bahasa nasional yang
dientaskan, Bahasa Indonesia, berdasarkan pada bahasa perdagangan Melayu yang telah dipakai di
Asia tenggara selama berabad-abad. Bahasa Indonesia mencerminkan banyak kebudayaan yang telah
melakukan kontak dengan Indonesia melalui kata-kata yang digabungkan dari bahasa Sanskerta,
Portugis, Arab, Belanda, dan Inggris.
Sampai waktu pengentasannya sebagai bahasa nasional pada 1928 oleh kaum nasionalis
Indonesia, Bahasa Indonesia tidak dipakai secara luas oleh penduduk Indonesia. Itulah sebabnya,
tidak banyak pertukaran silang-budaya di dalam Indonesia sendiri yang seharusnya kenyataan bahwa
sebagai suatu bangsa kepulauan banyak penduduk yang tidak bersama-sama memakai suatu bahasa
bersama. Bahasa Indonesia tidak dikenal secara luas untuk paling sedikit dua dasawarsa setelah
promosinya sebagai bahasa resmi disebabkan tingkat buta huruf yang tinggi di bawah kekuasaan
Belanda. Bahasa Indonesia tidak berkembang sampai Belanda terusir samasekali pada 1947 sehingga
terdapat sedikit keuntungan yang membuat tingkat buta huruf menurun dengan pembentukan
sekolah-sekolah dan universitas baru.
Dewasa ini pun, teater tutur tradisional dibentuk dalam bahasa-bahasa lokal. Seorang Indonesia
dari daerah lain bisa mengakui stilisasi dan gambaran-gambaran dari gerakan, tapi dia takkan
mengerti apa yang sedang diucapkan. Keragaman budaya, bahasa, dan tradisi-tradisi ini membuat
sukar mengidentifikasi sesuatu sebagai “Indonesia.” Pun seorang Indonesia kalau ditanya siapa
dirinya, akan menjawab dengan khas, “Aku seorang penari,” atau, “Saya orang Jawa,” sebelum, “Saya
orang Indonesia.”
Maka adalah mengherankan, ketika pertunjukan sebuah teater tertulis dan disutradarai oleh orang
Indonesia, yang secara stilistika menyatukan Indonesia modern dengan genre pertunjukan tradisional
dapat memiliki “keindonesiaan”-nya dianggap sebagai persoalan. Keberatan-keberatan Ms. Cooper
mengenai pertunjukan itu tentulah hak bagi kemodernannya, pandangan “Barat.” Tapi apakah kata
“modern” dan “barat” memiliki persamaan arti? Dan apakah istilah-istilah ini benar-benar berlaku
untuk teater Putu?
Keberatan Ms. Cooper juga telah mempergunakan gaya Putu ketika diperbandingkan dengan
sutradara-sutradara teater kontemporer yang lain di Indonesia. Tak sama dengan banyak koleganya,
Putu tidak mempergunakan seni tradisi Indonesia yang sama konkretnya kira-kira, sebagaimana W.S.
Rendra, Arifin C. Noer, dan Sardono W. Kusumo. Seniman-seniman ini telah mempergunakan
kostum-kostum, struktur-struktur, dan tarian tradisional yang sesungguhnya sebagai konsep kerjanya
yang menolak. Pada sisi lain, Putu justru memerhatikan dengan mengekspresikan “suatu semangat
Indonesia” melalui keseniannya, yang bukan hanya termasuk teater, tapi juga sastra, jurnalisme,
televisi, dan paling belakangan ini, film.
Gagasan mempergunakan genre-genre tradisional ini yang sama baiknya dengan semangat
tradisional adalah suatu tujuan yang sama-sama ditanggung oleh banyak seniman dan penulis
Indonesia kontemporer yang bekerja di dalam Tradisi Baru. Terma ini, pertama-tama disusun oleh
Putu, yang kini dipakai oleh banyak orang untuk menggambarkan keadaan kesenian dan sastra baru
di Indonesia dewasa ini. Itu terutama merupakan suatu gerakan urban yang berusaha menangkap
kembali dan mempersembahkan kembali “yang tradisional” dalam cara-cara baru. Itu “mendekati
tradisi sebagai suatu sumber inspirasi seraya membicarakannya, dan untuk, masyarakat
kontemporer. Kreasi-kreasi di dalam tradisi baru tidak lebih lama dimiliki suatu kelompok etnik
tunggal karena mereka menggambarkan tradisi kultural dari seluruh Indonesia.” (Rafferty 1988: 3).
Pada waktu yang bersamaan, itu merupakan suatu gerakan antarbudaya karena dia menggambarkan
banyak kebudayaan dari seluruh Indonesia, Asia dan Barat, dan sinkretik karena para seniman dalam
Tradisi Baru bukan mencoba mengacaukan gaya-gaya yang berbeda menjadi suatu gaya baru yang
tunggal, juga mereka tidak merasa perlu memuja perbedaan mereka.
Secara stilistika, ini dapat dicapai dalam dua cara. Pertama adalah dengan menggabungkan
struktur tradisional dengan karakteristik fisikal menjadi sesuatu yang baru, seperti menggunakan
kostum tradisional, atau menggunakan bentuk-bentuk tarian tradisional yang sesungguhnya atau
wayang kulit yang dianyam menjadi modern. Cara kedua adalah menangkap semangat tradisional
sebagaimana Putu mendefinisikannya, “Sekalipun segala-sesuatu mengenai produksi sangat modern,
semangatnya tetap dapat menjadi tradisional” Menangkap semangat tradisional Indonesia adalah apa
yang menjadi ciri karya Putu. “Semangat” ini adalah mengenai nilai-nilai tradisional, baik secara
tematik dalam cerita maupun dalam cara yang di dalamnya produksi disusun sejak permulaan latihan
sampai akhir pertunjukan. Beberapa dari nilai-nilai ini ditemukan dalam gagasan keluarga dan
gotong-royong (saling kerjasama). “Semangat” adalah juga spiritualitas: jenis yang lebih penting
daripada religi, yang mengejawantahkan dirinya dalam suatu energi yang dihasilkan oleh sekelompok
orang yang bekerja menuju suatu tujuan bersama.
Interkulturalisme adalah penempatan kembali – selalu dengan sangat halus, tapi bukan lambat –
internasionalisme. Bangsa merupakan kekuatan modernisme; dan kebudayaan-kebudayaan – aku
menekankan kemajemukan – adalah kekuatan … ( ) … posmodernisme. (Schechner 1983: 100)
Richard Schechner menulis hal ini hampir sepuluh tahun yang lalu (dihitung mundur dari tahun
1991 saat tesis ini ditulis – penerj.). Sementara itu, istilah “interkulturalisme” memang memasuki
latar depan teori pertunjukan pada tahun 1990-an, itu masih sering mengandung internasionalisme,
yang dalamnya orang-orang atau grup-grup dari negeri-negeri (bangsa-bangsa) yang berbeda –
karena itu kebudayaan-kebudayaan yang berbeda – bergabung bersama menciptakan suatu
pertunjukan. Hasil pertunjukan antarbudaya akan turun di mana saja sepanjang rangkaian kesatuan
ini: multikultural, yang dalamnya kebudayaan-kebudayaan tetap berbeda dan saling merebut satu
sama lain untuk menunjukkan perbedaan atau variasi estetik; sinkretik, yang dalamnya unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda dirangkai bersama-sama, tetap memakai identitasnya, juga bekerja sama di
dalam suatu skor yang tunggal’ atau peleburan, yang dalamnya kebudayaan-kebudayaan yang
berbeda menyatu untuk membentuk sesuatu yang baru samasekali, kebudayaan yang manapun tidak
dapat diidentifikasi lagi.
Teater Putu bergeser ke sana-kemari dalam rangkaian kesatuan ini tapi pada dasarnya dicirikan
oleh suatu sinkretik interkulutralisme. Apa yang membuat teaternya berbeda adalah karena
interkulturalismenya bukanlah internasionalisme, tapi nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu
upaya untuk menemukan identias kultural Indonesia yang menemukan sumbernya dalam seni
tradisional Indonesia yang asli (dari banyak kebudayaannya, tapi utamanya Bali) agar dia dapat
berbicara kepada khalayak urban yang multikultural mengenai isu-isu kontemporer.”
Akhirnya, seraya membayangkan tesis Cobina Gillitt ini yang mendedahkan bahwa teater
Indonesia memang sudah ada, sebagai semacam laporan pindah bagi seorang kawan Asrul Sani pada
lelucon di awal tulisan, maka sudah waktunya kini si Pak Pos menyerahkan sepucuk surat itu –
karena Teater Indonesia memang sudah ada! “Bagaimana Teater Indonesia tidak ada? Ini, dia berdiri
di depan Anda.”
Adakah Musik Indonesia? Apakah misalnya musik etnik, musik pop, atau musik dangdut dapat
diklaim sebagai musik Indonesia? Niscaya tidak. Musik Indonesia akan lahir dari musik kontemporer,
yaitu semacam pencarian untuk menciptakan musik Indonesia yang bertolak dari musik tradisi yang
terdapat di pelbagai etnik di Nusantara. Hal ini tampak juga pada kreasi Guruh Sukarno Putra dalam
album “Indonesia Mahardika” Guruh Gipsy yang bertolak dari musik Bali, Harry Roesli yang
berangkat dari musik Sunda, Jadoeg Ferianto yang bertolak dari musik Jawa, Cak Nun dan Kyai
Kanjeng yang juga berangkat dari musik Jawa dan Islam, serta Ben Pasaribu yang bertolak dari musik
etnik Batak. Dapat disebut juga Rahayu Supanggah, Franky Raden dan Dwiki Dharmawan yang
bertolak dari musik etnik Sunda.
Tari Indonesia juga tidak sama dengan tari etnik. Bagong Kusudiarjo melalui padepokan tarinya di
Yogyakarta merintis suatu jenis tarian baru yang mencampurkan berbagai tari etnik. Sardono W.
Kusumo juga mencipta tari kreasi baru yang berangkat dari tradisi Jawa. Boleh jadi tari Indonesia
akan lahir dari kreasi-kreasi semacam ini.
Bagaimana dengan seni rupa Indonesia, atau seni lukis Indonesia? Apakah sudah diawali dengan
genre “Mooie Indie’ (Hindia Molek) semasa Hindia Belanda? Ataukah sudah terjadi capaian lain
sehingga dapat diklaim sebagai seni lukis dan/atau seni rupa Indonesia? Soal ini kiranya dapat
dianggap sebagai tantangan bagi para perupa/pelukis untuk mempersembahkan seni rupa Indonesia.
Bagaimana pula dengan film Indonesia yang galibnya terus menerus berwajah “Indo”? Barangkali
film-film karya Garin Nugroho dapat dilabeli sebagai film Indonesia.
Belakangan, muncul seni media baru. Pertanyaannya adalah mungkinkah kita memberi warna
Indonesia pada seni media baru itu?
Di sinilah perlunya Dewan Kesenian Indonesia memiliki tugas pokok untuk mengurus “kesenian
Indonesia.”

You might also like