You are on page 1of 65

MATA KULIAH TELAAH LITERATUR TESIS

Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Telaah Literatur Tesis

Dosen Pengampu :

Prof. Dwi Yuwono Puji Sugiharto M.Pd., Kons

Mulawarman S.Pd.,M.Pd.,Ph.D.

Disusun Oleh :

ANNISA AMALIA UTARI

(2301120009)

PROGRAM STUDI MAGISTER BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2023

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Systematic Literature Review (SLR)
hasil Telaah Literatur Sistematik dengan mengangkat tema “Penyesuaian Diri pada Remaja
Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan”.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Telaah Literatur
Tesis yakni Bapak Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd., Kons dan Bapak Mulawarman, Ph.D
karena telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan Systematic Literature
Review (SLR) dalam telaah literatur ini. Tak lupa pula kami menyampaikan terima kasih
banyak pada beberapa pihak yang mendukung sehingga laporan ini selesai.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dari
penyusunan laporan telaah literatur sistematik ini, namun kami berharap laporan ini akan mem-
berikan manfaat bagi pembaca.

Semarang, 21 Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3

A. Tema Telaah Literatur Tesis ........................................................................ 4


B. Latar Belakang .......................................................................................... 4
C. Pertanyaan Penelitian (Research Questions) dan PICOC/S/TF ................... 5
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ....................................................................... 6
E. Database yang digunakan ........................................................................... 6
F. Kata kunci (Keyword) berdasarkan Boolean Operator ................................ 7
G. Diagram Alur/ PRISMA ............................................................................. 8
H. Deskripsi Hasil ........................................................................................... 8
I. Kesimpulan dan Ucapan Terimakasih ......................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 13

LAMPIRAN ........................................................................................................ 14

3
Telaah Literatur sistematik

A. Tema Telaah Literatur Tesis


Tema atau topik penelitian dalam telaah literatur sistematis ini ialah
penyesuaian diri pada remaja. Hal ini berkaitan dengan Penyesuaian Diri pada Remaja
Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan
B. Latar Belakang Pemilihan Tema
Panti asuhan adalah lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu
anak yang sudah tidak memiliki orang tua dan anak terlantar. Panti asuhan yaitu tempat
untuk merawat, dan mendidik anak yatim, piatu dan terlantar. Keluarga merupakan
lingkungan terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan pendidikan pertama
untuk anak-anak. Kasih sayang dari keluarga adalah sumber kebahagiaan yang tidak
tergantikan oleh apapun. Panti asuhan biasanya, menampung anak yatim, piatu, anak
yang keluarganya memiliki ekonomi rendah dan anak terlantar atau anak korban
perceraian orang tua. Panti asuhan memiliki Kriteria, berikut contih kriteria dalam
menerima anak-anak yang ingin dititipkan di panti asuhan. Kriteria tersebut yaitu, anak
minimal berusia 3 tahun, memiliki identitas yang jelas, anak yang ditinggal meninggal
orang tua yatim atau piatu, anak yang orang tuanya memiliki faktor ekonomi yang
rendah, anak korban perceraian, dan ada juga Batasan waktu yaitu ditetapkannya
tinggal dipanti hingga anak tersebut lulus SMA.

Keluarga terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang hidup bahagia,
damai, tentram, dan sejahtera apabila anggota keluarga tersebut dapat menjaga dan
menyadari tugasnya masing-masing. Tidak semua keluarga berjalan sesuai dengan
keinginan dan harmonis. Terdapat juga keluarga yang memiliki ketidakharmonisan,
biasanya hal ini berawal dari hubungan perkawinan kedua orang tua yang gagal atau
bercerai. Berbagai studi menunjukan anak korban perceraian orang tua mengalami
permasalahan perilaku, penyesuaian diri, rendahnya kesejahteraan subjektif,
permasalahan emosi, rendahnya kualitas hidup, rendahnya harga diri, resiko tinggi
terhadap depresi, ketidakpuasan hidup, kesepian, serta resiko munculnya perilaku anti
sosial dan Kriminal.

Perceraian merupakan terputusnya suatu rumah tangga dan suami istri yang
memutuskan untuk meninggalkan (Asriandari, 2015 (dalam Syamsul et al.,n.d.). Goere
Levinger mengatakan bahwasannya perceraian rumah tangga memiliki beberapa faktor,

4
yaitu: (1) Pasangan lalai akan kewajiban rumah tangga; (2) Finansial, kurangnya
penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga; (3) Terjadi kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT); (4) Sering adanya suara dengan nada tinggi dan kata-kata kasar;
(5) Perselingkuhan; (6) Kebiasaan buruk pasangan yang menyalahi aturan, seperti
mabuk, terlibat narkoba, perjudian, dan lain sebagainya; (7) Ketidakcocokan dalam
hubungan seksual; (8) Adanya campur tangan dari pihak lain; (9) Berkurangnya
intimacy, passion, dan, commintment; (10) Tuntutan pasangan yang berlebihan
sehingga menimbulkan konflik secara terus menerus (Ismiati, 2018).
Remaja yang menjadi korban perceraian orang tua dapat mengalami kesulitan
dan kendala dalam menyesuaikan dirinya pada suatu kondisi yang baru. Hal ini dapat
mengakibatkan timbul perasaan gelisah, sedih, dan dapat mengganggu hubungan
sosialnya seperti dalam berinteraksi dengan temannya, orang lain, dan bahkan akan
mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan pertemanan. Penyesuaian diri penting
untuk remaja ketika berada dalam lingkungan yang baru demi terciptanya hubungan
sosial yang baik. Remaja dalam perkembangannya tidak terlepas dari peran orang tua
yang merupakan sosok untuk menjadi panutan dalam membentuk kepribadiannya.
Namun, tidak semua remaja memiliki kesempatan untuk tinggal dengan orang tuanya.
Remaja yang tinggal di Panti Asuhan merupakan remaja yang memiliki masalah dalam
kehidupannya, seperti remaja yang tidak memiliki orang tua, remaja yang orang tuanya
berpisah atau bercerai, remaja yang masih memiliki orang tua lengkap namun orang
tuanya tidak sanggup untuk menyukupi kebutuhan sehari-hari.Keputusan orang tua
mengharuskan remaja untuk dapat menerima keadaannya bahwa ia harus tinggal di
panti asuhan.
C. Pertanyaan Penelitian (Research Question) dan PICOC/S/TF
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka pernyataan penelitian dalam
telaah literatur ini mencakup beberapa aspek, sebagai berikut :
RQ 1 Bagaimanakah Karakteristik penyesuain diri pada remaja korban
perceraian orang tua di Panti Asuhan?
RQ 2 Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi penyesuain diri pada remaja
korban perceraian orang tua?

5
Tujuannya :
1. Untuk mengetahui Karakteristik penyesuain diri pada remaja korban perceraian
orang tua di Panti Asuhan
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyesuain diri pada
remaja korban perceraian orang tua.

Adapun PICOC/S/TF sebagai berikut :


P Remaja di Panti Asuhan.
O Karakteristik dan Faktor-faktor penyesuaian diri remaja korban perceraian
orang tua.
T Tahun 2019-2023

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


Setelah menyusun pertanyaan penelitian, berikut adalah beberapa kriteria
inklusi dan eksklusi dalam telaah literatur sistematik ini. :
Kriteria Inklusi Ekslusi
Populasi Remaja di panti asuhan Remaja dengan usia selain 12-
(12-18 Tahun) 18 Tahun, anak-anak, dan
Lansia
Outcome Karakteristik dan Faktornya Selain karakteristik dan Faktor.
Desain penelitian Kualitatif. Deskriptif dan Review dan Meta-Analysis
kualitatif Model Studi Kasus.

Tahun publikasi 2019-2023 Dibawah tahun 2019


Bahasa Bahasa Indonesia Selain Bahasa Indonesia

E. Database
Sumber artikel yang dicari dalam systematic Literature Review ini
menggunakan kriteria publikasi 5 Tahun terakhir (2019-2023), database yang
digunakan yaitu Google Scholar.

6
F. Kata kunci

Pencarian dalam artikel didasarkan pada kata kunci yang menggunakan Boolean
Operator, sebagai berikut :

Populasi Intervensi Outcome


Adaptasi, Remaja Pasca Perceraian Orang tua Karakteristik dan Faktornya
Penyesuaian diri Remja Broken Home
Resiliensi Remaja

Pencarian berdasarkan Boolean Operator

#1 Adaptasi, Remaja OR Penyesuaian diri OR Resiliensi Remaja


#2 Pasca Perceraian Orang tua OR Broken Home
#3 Karakteristik AND Faktor-faktor

Dari hasil penyusunan Kata kunci diatas maka pencarian artikel pada database Google
Scholar sebagai Berikut :

Database Pencarian
Google Scholar Adaptasi remaja OR Penyesuaian diri remaja
OR Resiliensi remaja AND Pasca Perceraian
Orang tua OR Broken Home AND Karakteristik
AND Faktornya.

7
G. Diagram Alur atau Diagram PRISMA
Berikut ini adalah bagian alur PRISMA untuk penyaringan artikel yang
digunakan sebagai kajian literatur ini :

H. Deskripsi Hasil
1. Analisis Hasil

Awal pencarian artikel dimulai dengan memasukan kata kunci ke Google Scholar,
kemudian pencarian dengan kata kunci “Penyesuaian diri” dan “Remaja korban perceraian
orang tua” digabungkan dengan Boolean Operator “AND” mendapatkan hasil arikel sebanyak
3.720 artikel. Kemudian, artikel yang tidak sesuai dengan kritria waktu (tahun 2019-2023)
dikeluarkan sebanyak 3.182 artikel dan menyisakan 538 artikel. kemudian diseleksi lagi
berdasarkan judul dengan kriteria ekslusi, dikeluarkan sebanyak 505 artikel. Dan terakhir
diseleksi sesuai dengan abstrak dan Fullpapaer, dikeluarkan 29 Artikel karena 12 artikel tidak
sesu ai dengan kriteria abstrak dan 17 artikel tidak fullpaper.

8
Tersisa 4 artikel yang membahas mengenai penyesuaian diri remaja korban dari
perceraian orang tua. Terdapat 4 Artikel yang akal dianalisa lebih lanjut yaitu artikel yang
ditulis dari Melda Cici Fitriana, Ardian Praptomojati, Talenta Adiyanti Putri dan Riza Noviana
Khoirunnisa, dan Abriela A. Manoppo,dkk. Berdasarkan hasil Analisa yang dilakukan sebagai
berikut :

Judul Artikel, Tujuan Jenis Metode


NO Populasi Sampel Hasil
Penulis ,Tahun Penelitian Penelitian pengumpulan data

32 siswa yang Berdasarkan hasil pengumpulan


diamati (4 siswa data, analisis, penyajian, hasil
belum menerima penelitian dan pembahasan yang
Untuk diri, 4 mampu dilakukan di Panti Asuhan
damengetahui menerima dirinya, Muhammadiyah Perkotaan Budi
bagaimana 5 siswa mampu Utomo hasilnya :
Adjustment
karakteristik Kualitatif. melakakuan 1. Kemampuan menerima dan
Remaja Korban
1. adjustment Deskriptif Metode wawancara Tindakan sesuai memahami diri sendiri, khusus
Parents Divorce
remaja korban dan observasi potensinya, 3 siswa dari 5 remaja putri korban
di Panti Asuhan
Parents divorce kurang nyaman perceraian terdapat 4 remaja
Budi Utomo
di Panti Asuhan dengan putra yang belum dapat
Muhammadiyah
Budi Utomo lungkungan panti menerima dirinya secara utuh
Metro
Muhammaidyah asuhan, 5 remaja dan utuh,
Metro memiliki rasa 2. Kemampuan menerima dan
hormat, 3 remaja menilai lingkungan secara
tertutup dan 2 objektif, khusus dari 5 remaja
remaja terbuka,2 korban perceraian, 4 mempunyai
remaja sulit kemampuan menerima dan
mengontrol emosi, menilai lingkungan secara
dan 5 remaja objektif dan positif,
mematuhi aturan). 3. Kemampuan bertindak sesuai
potensi yang dimiliki, khususnya
remaja korban perceraian
mempunyai kemampuan
bertindak sesuai potensi yang
dimiliki.
4. Merasa aman dan tidak lagi
dihantui rasa cemas atau takut,
ada 2 remaja yang merasa tidak
nyaman

9
Tujuan
penelitian untuk Hasil penelitian menunjukkan
Dinamika mengetahui Subjek penelitian bahwa kenakalan remaja terjadi
Psikologis Remaja bagaimana Metode merupakan seorang karena didasari oleh kebutuhan
Korban Perceraian: dinamika Kualitatif wawancara,observasi anak laki-laki subjek untuk mendapatkan
Sebuah Studi Kasus psikologis dengan dan tes psikologis. berusia 13 tahun perhatian dari lingkungannya.
Kenakalan Remaja remaja korban metode dengan orangtua Adanya pola pikir yang salah,
perceraian studi kasus yang telah bercerai yaitu “Aku akan mendapatkan
hingga akhirnya dan tinggal di Panti perhatian jika aku bandel dan
2. mengalami Asuhan mengganggu orang lain” menjadi
kenakalan dasar kenapa subjek berperilaku
remaja negatif. Perilakunya ini juga
sebagai cara subjek untuk
mengkompensasikan perasaan
inferiornya.
Hasil bahwa kedua subjek
memiliki kemampuan resiliensi
yang berbeda. Subjek Budi
memiliki kemampuan resiliensi
Tujuan dari yang lebih baik dikarenakan
penelitian ini masih adanya dukungan dari
3. Resiliensi Pada untuk orang terdekat sehingga dapat
Remaja Korban mengetahui kualitatif Wawancara, Subjek terdiri dari membantu mengembangkan
Perceraian Orang gambaran dan dengan observasi, dua orang yang kemampuan resiliensi yang ada
Tua faktor yang pendekatan dokumentasi, dan memiliki usia 20- pada dirinya, yaitu subjek
mempengaruhi studi kasus focus group 21 yang telah menjadi lebih mandiri dan
kemampuan discussion menjadi korban menerima keadaan. Sedangkan
resiliensi pada perceraian. subjek Cantik memiliki
remaja korban Pengambilan data kemampuan resiliensi yang
perceraian menggunakan kurang baik karena subjek masih
orang tua. teknik wawancara. merasa pesimis, ragu akan masa
depan, dan trauma terhadap
pernikahan yang menyebabkan
dirinya ragu akan keberhasilan
suatu pernikahan.

10
Remaja awal yang Hasil yang diperoleh dalam
merupakan korban penelitian ini yaitu remaja
Resiliensi untuk perceraian orang mampu mengembangkan ke
mengatasi dan Kualitatif tua dimana terjadi enam aspek resiliensi yaitu
Resiliensi Remaja beradaptasi dengan konflik dalam Regulasi Emosi, Pengendalian
4 Awal Pasca ketika pendekatan Wawancara, rumah tangga pada Impuls, Optimisme, Empati,
Perceraian Orang menghadapi Studi observasi, pertengahan tahun Efikasi Diri dan Reaching Out,
Tua Di Kelurahan kejadian yang Kasus dokumentasi 2019 dimana orang sedangkan Analisis Penyebab
Pakowa Kecamatan berat atau tua subjek Masalah masih kurang Nampak,
Wanea Kota masalah yang memutuskan untuk namun secara umum subjek
Manado terjadi dalam berpisah dan saling sudah bisa dikatakan sebagai
kehidupan. D meninggalkan. remaja yang resilien.

2. Pembahasan Hasil

Dalam penelitian ini dilakuakan evaluasi terhadap 4 artikel yang menbahas mengenai
penyesuaian diri remaja korban perceraian orang tua di panti asuhan. Kajian sistematis ini
menunjukan bahwa adanya pengaruh dari perceraian orang tua terhadap remaja terutama pada
proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya. Dilihat melalui metode pengumpulan
data dari 4 artikel dapat didapatkan bahwa permasalahan yang terjadi pada remaja korban
perceraian orang tua yang pertama yaitu pada Kemampuan menerima dan memahami diri
sendiri, Kemampuan menerima dan memahami diri. Remaja yang mengalami perceraian orang
tuanya sering kali membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki keluarga utuh dan
merasa sedih, tertekan, hancur, dan merasa dunia tidak adil terhadap dirinya.

Kedua Kemampuan menerima dan mengevaluasi lingkungan sekitar secara objektif.


Kemampuan remaja dalam menerima lingkungannya dapat ditunjukkan dengan cara mereka
beradaptasi dengan orang-orang di panti asuhan, melakukan aktivitas yang biasa terdapat di
panti asuhan, serta mengikuti dan menerima tanggung jawab masing-masing sebagai anak
angkat seperti menerima tugas kelas, tidur, dan memasak. Ketiga Kemampuan bertindak sesuai
potensi yang dimiliki. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang mereka ikuti, baik di sekolah
maupun di panti asuhan. Kegiatan yang ada di panti asuhan seperti hafalan, kegiatan aisyiah,
murojaah. Keempat, Memiliki perasaan yang aman dan tidak cemas yaitu dari kelima remaja
korban perceraian memiliki perasaan senang dan bahagia ketika tinggal di panti asuhan. Tapi
terdapat remaja yang merasakan kurang nyaman untuk tinggal di panti asuhan. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor penyebab seperti, merasa khawatir dengan keluarga yang

11
merawatnya sejak orang tua bercerai dan tinggal di rumah sendirian, merasa terganggu dengan
teman-teman yang selalu mengejek dirinya selama tinggal di Panti Asuhan.

Kelima, Rasa Hormat pada orang lain dan jiwa toleransi. Remaja korban perceraian
orang tua mempunyai rasa saling menghormati, menghargai, mengerti keadaan satu sama lain,
membantu satu lain, mampu bekerjasama dan saling mempunyai jiwa toleransi yang baik.
Keenam, Terbuka dan sanggup menerima umpan balik yaitu dari kelima remaja korban
perceraian, setiap individu dari mereka memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Dan yang
terakhir, Memiliki kestabilan emosi. Remaja biasanya memilik tingkat kestabilan emosi yang
rendah karena remaja korban perceraian orang tua sulit mengendalikan emosinya ketika sedang
sedih, marah, kesal ataupun kecewa.

Selain data yang diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi. Diperoleh juga
data Asesmen kepribadian juga menunjukkan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang besar
untuk bisa menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. Hal ini didasari oleh
keinginannya untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Hanya saja, Bagus
kurang memiliki kemampuan manajemen konflik yang baik. Hal ini mengarahkannya kepada
perilaku-perilaku yang kurang sesuai dengan norma ketika menghadapi konflik. Pola
pemikiran Bagus juga tampak cenderung bersifat egosentris. Salah satunya disebabkan karena
perasaan tidak aman yang besar pada dirinya. Bagus tampak memiliki kebutuhan untuk bisa
lebih dekat dengan figur ibunya. Tampak adanya perasaan kurang berperan, kurang mampu
dipercaya, kurang diperhatikan, dan kurang berharga pada Bagus di dalam lingkungan
keluarganya.

I. Kesimpulan dan Ucapan Terimakasih


Kesimpulan
Perceraian orangtua dapat menjadi pengalaman yang sangat menekan bagi
remaja. Remaja akan merasa kehilangan figur orangtua dan merasakan atmosfer
keluarga yang berbeda. Kemampuan resiliensi merupakan hal yang penting dan harus
dimiliki oleh remaja agar remaja yang mengalami keterpurukan, dapat bangkit dan
melakukan upaya yang positif dalam penyelesaian masalahnya. Remaja diharapkan
mampu mengembangkan aspek resiliensi yaitu Regulasi Emosi, Pengendalian Impuls,
Optimisme, Empati, Efikasi Diri dan Reaching Out, sedangkan Analisis Penyebab
Masalah masih kurang Nampak, namun secara umum subjek sudah bisa dikatakan
sebagai remaja yang resilien.

12
Penulis mengucapkan (kepada Bapak DYP. Sugiharto dan Bapak Mulawarman)
selaku dosen Mata Kuliah Telaah Literatur Tesis, dan terima Kasih telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam pengerjaan penulisan Artikel ini.

DAFTAR PUSTAK

LAMPIRAN

JURNAL ILMU PERILAKU http://jip.fk.unand.ac.id


Volume 2, Nomor 1, 2018 :1 -14
ISSN (Online) : 2581-0421

Dinamika Psikologis Remaja Korban Perceraian:


Sebuah Studi Kasus Kenakalan Remaja

Ardian Praptomojati 1
1
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada ardian.praptomojati@gmail.com

Abstract. Parental divorce can be a very stressful experience for adolescents. Adolescents will lose
their parent figure and feel different atmosphere in the family. This study aimed to identify the
psychological dynamics of adolescents that have experienced parental divorce developing into juvenile
delinquency. This was a case study research. The subject of this study was a 13-year-old boy with
divorced parent and lived in an orphanage. Data were collected through observations, interviews, and
psychological tests. The result revealed that juvenile delinquency happens because of the need of
gaining attention from others. The wrong mindset "I will get attention if I commit juvenile
delinquency and disturb others" became the basis of the subject’s socially inappropriate behaviors. It
was the way to compensate his inferior feelings.
Keywords : Adolescent, Parental Divorce, Juvenile Delinquency

Abstrak. Perceraian orangtua dapat menjadi pengalaman yang sangat menekan bagi remaja.
Remaja akan merasa kehilangan figur orangtua dan merasakan atmosfer keluarga yang berbeda.
Penelitian ini bertujuan melihat dinamika psikologis remaja korban perceraian orangtua yang
selanjutnya berkembang menjadi kenakalan remaja. Metode penelitian yang digunakan adalah studi
kasus. Subjek penelitian merupakan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dengan orangtua yang
telah bercerai dan tinggal di Panti Asuhan. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan tes
psikologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja terjadi karena didasari oleh
kebutuhan subjek untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya. Adanya pola pikir yang salah,
yaitu “Aku akan mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain” menjadi dasar
kenapa subjek berperilaku negatif. Perilakunya ini juga sebagai cara subjek untuk
mengkompensasikan perasaan inferiornya.
Kata Kunci: Remaja, Perceraian Orangtua, Kenakalan Remaja

13
Keluarga merupakan lingkungan yang orangtua menjadi faktor yang penting dalam
sangat erat kaitannya dengan pembentukan diri perkembangan konsep diri (Emam & Abu-Serei,
anak (Kagan, 1999; Mackay, 2005; Santrock, 2014), efikasi diri (Mishra & Shanwal, 2014),
2011; Wenar & Kerig, 2006). Secara ideal, serta harga diri anak
perkembangan anak dan remaja akan optimal (Blattner, Liang, Lund, & Spencer, 2013;
apabila mereka bersama keluarga yang Weber, 2001; Yabiku, Axinn, & Thornton, 1999).
harmonis sehingga berbagai kebutuhan yang Indonesia menjadi salah satu negara
diperlukan dapat terpenuhi (Wenar & dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi.
Kerig, 2006). Dalam keluarga, peran Data Badan Pusat Statistik (BPS)

JURNAL ILMU PERILAKU 1

14
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah kasus perceraian di Indonesia mengalami
peningkatan. Pada tahun 2013, tercatat ada 324.247 kasus talak dan perceraian, kemudian tahun
2013 jumlahnya meningkat menjadi 344.237 kasus, dan terakhir pada tahun 2015 tercatat ada
347.256 kasus talak dan perceraian

(BPS, 2017).

Berbagai studi menunjukkan bahwa perceraian memberikan dampak yang besar bagi anak-
anak mulai dari dampak ringan sampai berat, dari yang tampaknya kecil hingga sangat signifikan, dan
dari yang jangka pendek hingga jangka panjang (Fagan & Churchill, 2012). Berbagai studi
menunjukkan bahwa anak korban perceraian dapat mengalami permasalahan perilaku (Aseltine,
1992; Babalis, Tsoli, Nikolopoulos, & Maniatis, 2014; Morrison & Coiro, 1999), permasalahan
penyesuaian diri (Landsford, 2009), rendahnya kesejahteraan subjektif (Dewi & Utami, 2008),
permasalahan emosi (Aseltine, 1992), rendahnya kualitas hidup (Eymann, Busaniche, Llera, Cunto, &
Wahren, 2009), rendahnya harga diri (Esmaeili & Yaacob, 2012), risiko tinggi terhadap depresi
(Uphold-Carrier & Utz, 2012), kecemasan (Pálmarsdóttir, 2015), kesepian dan ketidakpuasan hidup
(Çivitci, Çivitci, & Fiyakali, 2009), prestasi yang rendah di sekolah (Aseltine, 1992; Babalis et al., 2014),
ketergantungan alkohol (Thompson Jr., Lizardi, Keyes, & Hasin, 2008), risiko yang tinggi terhadap
keterlibatan obat-obat terlarang (Needle, Su, & Doherty, 1990), serta risiko munculnya perilaku
antisosial dan kriminal (Wells & Rankin, 1991).

Adofo dan Etsey (2016) dalam studinya menguraikan bahwa dampak perceraian orangtua bagi
remaja dapat termanifestasikan dalam internalizing behavior ataupun externalizing behavior.
Internalizing behavior meliputi ketakutan, rasa malu, depresi, rendahnya harga diri, kesedihan,
kecemasan, kebingungan, rasa tidak aman, rasa sakit, dan rendahnya kepercayaan diri. Externalizing
behavior meliputi perilaku agresi, kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain,
ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan figur otoritas, perilaku bermasalah di sekolah,
kenakalan remaja, perilaku mabuk-mabukan, perilaku seksual berisiko, mencuri, merokok, dan
keterlibatan dengan obat-obat terlarang. Lebih jauh, riset menunjukkan bahwa remaja laki-laki
memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami permasalahan internalizing behavior dan
externalizing behaviours daripada remaja perempuan.

Masa remaja menjadi periode yang sangat penting dan kritis dalam kehidupan manusia
(Santrock, 2011). Hurlock (2002) menyebutkan bahwa masa remaja sering diibaratkan sebagai masa
storm dan stress, masa transisi baik secara fisik maupun psikologis dari masa anak-anak menuju ke
masa dewasa. Banyak studi menunjukkan bahwa remaja korban perceraian yang dibesarkan oleh
orangtua tunggal memiliki risiko yang tinggi terhadap gangguan perilaku dan kenakalan remaja
(Aseltine, 1992; Fagan & Churchill, 2012; Fry, 2010; Singh & Kiran, 2012; Thornberry, Smith, Rivera,
Huizinga, & Stouthamer-Loeber, 1999; Wenar & Kerig, 2006). Ketidakhadiran salah satu figur
orangtua dalam kehidupan remaja berpengaruh besar terhadap perkembangan dan kondisi
psikologis remaja. Remaja akan mengalami krisis kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya
sehingga ia pun merasa tidak aman secara emosional (emotionally insecure) (Fagan & Churchill,
2012). Ia akan mengalami kebingungan, marah, dan putus asa sehingga mengarahkan kepada
reaksireaksi perilaku di luar norma sebagai bentuk pelariannya. Thornberry dan koleganya (1999)
menambahkan bahwa adanya perubahan-perubahan kondisi yang terjadi pada keluarga yang
bercerai, menuntut remaja untuk dapat melakukan penyesuaian diri ke depannya. Ketika dia tidak
mampu mengontrol kemarahan, tekanan, dan emosi negatif lainnya, maka mengarahkan pada
perilaku kenakalan remaja dan perilaku maladaptif lainnya.

15
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR), kenakalan


remaja masuk dalam kategori conduct disorder, yang didefinisikan sebagai pola perilaku pelanggaran
hak orang lain atau pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berulang dan menetap. Hal ini
dapat termanifestasi dalam perilaku agresi terhadap orang atau hewan, perusakan terhadap properti
orang lain, senang melakukan kecurangan, kebohongan, atau pencurian, dan pelanggaran norma-
norma yang serius. Wenar dan Kerig (2006) menguraikan bahwa kenakalan remaja dapat
dikategorikan dalam beberapa dimensi. Pertama, destructive (seperti kekejaman terhadap orang lain,
penyerangan) dan nondestructive (menipu, melanggar aturan). Dimensi kedua fokus kepada apakah
gangguan perilaku tersebut overt (memukul, berkelahi, penganiayaan) atau covert (berbohong,
mencuri).

Intensitasnya pun mulai dari mild (ringan), moderate (sedang), hingga severe (parah). Onset dapat
terjadi pada masa anak-anak (awal usia 10 tahun) maupun masa remaja.

Melihat besarnya dampak negatif perceraian terhadap tingginya risiko kenakalan remaja, maka
penting untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis remaja korban perceraian hingga akhirnya
mengalami kenakalan remaja. Menjadi penting pula untuk menganalisis developmental pathway anak
dengan melihat riwayat perkembangan anak selama hidupnya hingga terdeteksi munculnya
permasalahan atau psikopatologi (Wenar & Kerig, 2006). Hal ini untuk mengidentifikasi pada titik
kapan anak atau remaja menunjukkan perilaku psikopatologis dan apa penyebab yang mendasari
psikopatologi tersebut muncul dan berkembang dari track perkembangan yang awalnya normal
menjadi abnormal. Pada penelitian ini, teori yang digunakan untuk membahas dinamika psikologis
subjek adalah Teori Kognitif Keperilakuan. Teori Kognitif Keperilakuan menekankan bahwa perilaku
abnormal dapat terjadi karena adanya kesalahan berpikir (distorsi kognitif) pada individu (Beck,
2011).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika psikologis
remaja korban perceraian yang selanjutnya berkembang menjadi kenakalan remaja. Pertanyaan
penelitian yang diajukan adalah: 1) Bagaimana dinamika psikologis remaja korban perceraian hingga
terjadi permasalahan kenakalan remaja? 2) Faktor protektif apa saja yang berperan di dalamnya? 3)
Faktor risiko apa saja yang berperan di dalamnya?

Metode
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk mendapatkan
gambaran lebih jelas mengenai aspek-aspek yang diteliti. Subjek penelitian dalam penelitian ini
adalah seorang remaja awal dengan kondisi kedua orangtuanya yang telah bercerai dan tinggal di
Panti Asuhan. Subjek memiliki gangguan perilaku dan dilaporkan banyak pihak telah mengganggu
lingkungan sekitarnya. Data penelitian diperoleh melalui observasi, wawancara, dan tes psikologi.
Observasi dilakukan menggunakan metode pencatatan anecdotal record, yang bertujuan untuk
mengetahui aktivitas dan interaksi subjek dengan anggota keluarga di rumah, di sekolah, dan juga di
Panti Asuhan. Wawancara dilakukan terhadap orang tua, saudara (kakak dan adik), teman, guru,
pramusosial, pekerja sosial, dan psikolog di Panti Asuhan. Tes psikologi yang diberikan meliputi
asesmen kecerdasan yakni Standar Progressive Matrices (SPM) dan asesmen kepribadian, yakni Tes
Proyektif (BAUM, DAP, HTP, dan Wartegg). Ketiga metode digunakan untuk meningkatkan kredibilitas
penelitian kualitatif atau yang biasa disebut dengan triangulasi (Poerwandari, 2011). Berbagai data
yang telah terkumpul kemudian dianalisis melalui beberapa tahapan. Pada mulanya, data-data
diorganisasikan dan didapatkan tema-tema spesifik. Setelah data dipahami, peneliti melakukan

16
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

analisis awal dengan cara memadatkan dan mengaitkan data. Peneliti mencoba menemukan pola
dan hubungan dari tema-tema. Terakhir, temuan penelitian ditinjau menggunakan teori-teori
psikologi sehingga didapatkan dinamika psikologis subjek penelitian.

Hasil Hasil Observasi dan Wawancara


Subjek penelitian (selanjutnya disebut dengan Bagus) adalah remaja laki-laki berusia 13 tahun
dan duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Bagus adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia
memiliki seorang kakak perempuan beda ayah dan seorang adik kandung laki-laki. Ibu Bagus hidup
merantau dan cenderung berpindah-pindah. Ibu Bagus sudah bercerai dua kali. Bagus adalah anak
dari pernikahan ibunya yang kedua. Perceraian pertama dikarenakan suami meninggalkannya. Pada
pernikahan keduanya, Ibu Bagus merasa terpaksa karena dijodohkan oleh orangtuanya. Ibu dan ayah
Bagus berpisah karena beberapa kali ibu memergoki ayah Bagus berusaha merenggut kegadisan anak
pertamanya. Suami juga tidak pernah memberi nafkah dan bertanggung jawab pada keluarga. Ibu
Bagus tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil dengan luas tidak lebih dari 3x5 meter bersama kakak
perempuan Bagus, sedangkan Bagus dan adiknya tinggal bersama di Panti Asuhan. Setiap dua minggu
sekali di akhir pekan, Bagus dan adiknya pulang ke rumah.

Sejak kecil Bagus tinggal bersama ibu kandungnya. Pada usia 9 tahun, Bagus dititipkan di
Pondok Pesantren. Karena tidak betah, maka ia kemudian dipindahkan ke Panti Asuhan. Beberapa
alasan yang mendasari orangtua menitipkan Bagus ke Panti Asuhan antara lain: (1) keluarga memiliki
kondisi ekonomi yang rendah sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan anak baik secara fisik
dan pendidikan formal; (2) keluarga tidak punya tempat tinggal menetap; dan (3) hubungan keluarga
inti dan keluarga besar yang kurang harmonis.

Sehari-hari, Ibu Bagus bekerja untuk membiayai hidup ketiga anaknya. Ibu Bagus mengaku
merasa benci dengan ayah Bagus. Ibu cenderung tidak mengijinkan Bagus dan adiknya untuk tinggal
bersama ayahnya karena dipandang memberi pengaruh yang buruk. Menurut hasil wawancara, sejak
kecil Bagus dikenal sebagai anak yang aktif, susah diatur, mudah tersulut emosinya, dan bandel. Ibu
Bagus kerap membandingkan Bagus dengan adiknya yang tergolong lebih penurut dan tidak bandel.

Hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa Ibu Bagus adalah orangtua yang tergolong
keras dan kaku. Jika berbicara dan memberitahu anak kerap kali menggunakan nada yang keras,
bahkan tak jarang membentak dan memarahi. Ibu juga kerap menggunakan cara fisik jika anak dirasa
bandel. Di rumah, Bagus kerap bertengkar dan berkonflik dengan ibunya. Ibu kerap melabeli Bagus
secara negatif jika tidak mau menurut kepadanya. Bagus sendiri cenderung lebih banyak acuh jika
disuruh ibunya. Tampak adanya hubungan yang kurang hangat antara Bagus dengan ibunya. Bagus
juga kerap pergi tanpa pamit dari rumah terutama pada saat berkonflik dan marah dengan sang ibu.

Bagus memiliki kakak tiri perempuan yang sangat peduli dan perhatian kepadanya. Pada awal
ketika ibu Bagus menikah dan mengandung Bagus, sang kakak sangat tidak senang dan
membencinya. Kakak kerap berperilaku kasar dan kurang bersahabat dengan Bagus dan adiknya.
Namun kini kakak merasa sangat sayang pada Bagus dan adiknya. Ia justu menjadi sosok yang peduli
dengan pendidikan serta kehidupan Bagus dan adiknya.
Hasil wawancara kepada teman, pramusosial, dan pekerja sosial di Panti Asuhan
mengungkapkan bahwa selama ini Bagus dipandang sebagai anak yang memiliki tingkat agresivitas
tinggi. Bagus kerap mengganggu teman-temanya, berkata kasar, memukul, dan memprovokasi
temannya untuk bertindak kasar. Ia juga kurang disiplin dan semaunya sendiri. Di sekolah, guru

17
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

mengungkapkan bahwa hampir setiap harinya Bagus selalu berulah, entah itu mengusili temannya,
berkata kasar, berteriak-teriak di kelas, ataupun ramai di kelas.

Hasil observasi menunjukan bahwa jika berinteraksi dengan anak yang lebih muda darinya,
Bagus cenderung senang menjahilinya dan membuat ulah. Bagus akan berhenti menjahili sampai
anak tersebut marah atau menangis atau setelah diingatkan oleh orang yang lebih dewasa. Jika
diingatkan atau dinasihati oleh anak yang berada di bawah usianya atau seusianya, Bagus justru akan
marah dan tidak terima. Bagus juga kerap memprovokasi temannya untuk bertindak kasar seperti
memukul. Di sekolah, Bagus kerap ditegur oleh gurunya karena sering ramai sendiri dan mengganggu
teman di kelasnya. Beberapa perilaku Bagus yang mencolok baik ketika di Panti Asuhan maupun di
sekolah adalah perilaku menjahili temannya, berteriak-teriak hingga mengganggu orang lain,
memukul, berkata kasar, dan ramai sendiri hingga membuat gaduh lingkungan.

Di Panti Asuhan, Bagus kerap mengeluhkan bahwa dirinya sakit kepala, dada sakit, dan
beberapa keluhan sakit lainnya. Ketika ditanya lebih jauh dan diminta untuk diperiksakan ke dokter, ia
menolaknya. Pernah pula Bagus naik ke atas genteng dan mengatakan bahwa dirinya ingin lompat. Ia
kerap mengatakan “Tidak ada yang sayang dan perhatian denganku”.

Hasil Tes Psikologi


Berdasarkan asesmen kecerdasan dengan menggunakan Standar Progressive Matrices (SPM),
Bagus memiliki skor 43 sehingga dapat dikategorikan memiliki tingkat inteligensi rata-rata karena
menghasilkan persentil 25 dan berada pada tingkat atau grade (III-). Asesmen kepribadian
menggunakan Tes Proyektif (BAUM, DAP, HTP, dan Wartegg) menunjukkan bahwa Bagus memiliki
kebutuhan yang besar akan rasa aman, serta membutuhkan banyak dorongan. Ada kecenderungan
untuk mengharapkan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Jika dibandingkan dengan anak-
anak seusianya, Bagus memiliki kontrol diri yang kurang baik. Kendali dirinya cenderung kaku didasari
atas rasa tertekan dan tidak mampu. Sering kali ia membiarkan dorongan-dorongan dengan kontrol
yang tidak cermat. Lebih jauh, titik berat klien lebih pada keinginan, ingin berkuasa, angkuh, dan
sombong. Hal ini sering kali sebagai kompensasi dirinya untuk menutupi perasaan inferiornya. Bagus
juga mengalami kesulitan di dalam mengekspresikan emosinya. Hal ini tidak terlepas dari
kecenderungan Bagus yang impulsif dan sulit untuk tenang.
Asesmen kepribadian juga menunjukkan bahwa Bagus memiliki kebutuhan yang besar untuk
bisa menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. Hal ini didasari oleh keinginannya untuk
mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain. Hanya saja, Bagus kurang memiliki
kemampuan manajemen konflik yang baik. Hal ini mengarahkannya kepada perilaku-perilaku yang
kurang sesuai dengan norma ketika menghadapi konflik. Pola pemikiran Bagus juga tampak
cenderung bersifat egosentris. Salah satunya disebabkan karena perasaan tidak aman yang besar
pada dirinya. Bagus tampak memiliki kebutuhan untuk bisa lebih dekat dengan figur ibunya. Tampak
adanya perasaan kurang berperan, kurang mampu dipercaya, kurang diperhatikan, dan kurang
berharga pada Bagus di dalam lingkungan keluarganya.

Riwayat Perkembangan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, riwayat kehidupan Bagus sejak kecil telah
dirangkum pada Tabel 1.

18
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Tabel 1. Rangkuman Riwayat Perkembangan Bagus

Diskusi
Sejak kecil, Bagus sering diperlakukan keras dan kasar oleh ibunya. Kata-kata keras, kalimat-
kalimat labeling, serta hukuman fisik membuatnya kurang mampu menghargai ibunya. Pengalaman
tersebut juga berpengaruh terhadap bagaimana Bagus menilai dan menggambarkan dirinya sendiri.
Santrock (2011) menjelaskan bahwa masa kanakkanak merupakan masa pertumbuhan dan
pembelajaran yang pesat. Pengalaman yang diperoleh anak pada masa ini memiliki dampak yang
besar terhadap perkembangannya di masa depan. Albert Bandura mengungkapkan bahwa anak
adalah seorang pembelajar yang paling cepat. Anak-anak akan melakukan proses belajar melalui
pengamatan terhadap apa yang dilakukan orang lain (Santrock, 2011). Pada masa ini, anak juga
mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang menjadi milik atau bagian dari
dirinya dan hal-hal lain yang dilihat, didengar, diraba, atau diciumnya ketika dia mulai membentuk
suatu lukisan dan gambaran tentang siapa dirinya

(perkembangan konsep diri) (Schultz, 1991).

Bagus berasal dari keluarga yang bercerai. Kedua orangtuanya telah lama berpisah dan tidak
tinggal satu rumah lagi. Sumber kasih sayang dan perhatian yang dimiliki Bagus sudah tidak lengkap

19
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

lagi. Figur ibu yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan afeksinya, namun dipandang Bagus
kurang mampu memenuhi kebutuhan afeksinya karena ibunya dipandang sebagai sosok yang keras
dan emosional serta memiliki keterbatasan ekonomi. Akibatnya, Bagus pun berusaha mencari figur
lain yang dapat menggantikannya, salah satunya adalah ayah kandungnya yang tinggal terpisah
dengannya. Hal inilah yang menjadi alasan Bagus kerap pergi tanpa izin dari rumah ibunya ke rumah
ayahnya, terutama ketika ia sedang merasa kecewa dan marah dengan ibunya. Bagus benar-benar
mendambakan sosok yang mampu memuaskan kebutuhan afeksinya. Namun ternyata pada
kenyataannya ayah Bagus pun juga dipandang kurang mampu memenuhi kebutuhan afeksinya,
bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-harinya saja dirasa kesulitan. Sebagai
kompensasinya, Bagus selalu berusaha untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang di luar dari
kedua orangtuanya dengan cara dan pemikirannya sendiri.

Bagus tidak mengembangkan kelekatan (attachment) yang baik dengan orangtuanya. Santrock
(2011) menjelaskan kelekatan sebagai ikatan emosional yang erat antara dua orang. Pada masa bayi,
kontak yang menimbulkan rasa nyaman dan kepercayaan menjadi faktor penting dalam
perkembangan kelekatan. Kelekatan yang aman (secure attachment) diharapkan dapat mampu
mengurangi risiko munculnya perilaku maladaptif.
Sebaliknya, anak dengan kelekatan yang penuh dengan rasa kecemasan dapat berisiko untuk
mengalami depresi, kemandirian yang kompulsif, agoraphobia, rasa berkabung yang kronis dalam
peristiwa-peristiwa, kenakalan yang persisten, serta masalah yang berkaitan dengan kecemasan,
kemarahan, dan keintiman (Colin, 1996). Secure attachment juga berkaitan dengan perkembangan
yang lebih positif pada masa kanak-kanak, seperti harga diri yang lebih tinggi dan hubungan dengan
teman sebaya yang lebih baik, daripada insecure attachment (dalam Leon, 2003). Pada kasus Bagus,
terjadinya perceraian orangtua mengganggu kelekatan yang aman pada anak. Ditambah lagi adanya
pertengkaran orangtua yang menghambat tercapainya secure attachment pada anak (dalam Leon,
2003). Sikap ibu yang kerap menjelek-jelekkan sang ayah di depan Bagus juga menjadi pengaruh yang
negatif bagi Bagus.

Kedua orangtua Bagus kerap bertengkar sejak Bagus kecil. Perceraian yang terjadi membuat
Bagus semakin tertekan. Banyak studi menunjukkan bahwa perceraian memiliki efek yang negatif
pada perkembangan anak. Anakanak yang orangtuanya bercerai akan menanggung beban besar yang
mereka tidak dapat pahami sendiri. Mereka juga cenderung akan menyalahkan diri mereka sendiri,
memiliki kekhawatiran tentang siapa yang akan merawat mereka, dengan siapa mereka akan tinggal,
dan bagaimana mereka harus memilih antara dua orang tua (dalam Mahmud, Yunn, Aziz, Salleh, &
Amat, 2011). Wyman, Cowen, Hightower, dan Pedro-Caroll (1985) dalam studinya menemukan
bahwa anak-anak dengan orangtua bercerai memiliki tingkat kecemasan yang tinggi serta
memandang kompetensi kognitif diri mereka jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal
dalam keluarga utuh. Studi metanalisis Amato (dalam Wenar & Kerig, 2006) juga menunjukkan
bahwa anak-anak dengan orangtua yang bercerai memiliki tingkat penyesuaian psikologis, harga diri,
serta pencapaian akademik yang lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan keluarga utuh. Banyak
dari mereka mengalami masalah perilaku dan kesulitan menjalin hubungan interpersonal.

Sama halnya dengan yang terjadi pada Bagus dimana ia menyimpan rasa kecemasannya sejak
kecil. Tahun-tahun awal kehidupan yang merupakan perkembangan konsep diri anak (Schultz, 1991)
menjadi kabur dan mengarahkannya kepada tingkat keberhargaan diri yang rendah, terlebih karena
perceraian dan konflik orangtua (Leon, 2003). Hilangnya figur yang seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan afeksi membuat anak merasa semakin tidak berharga dalam keluarga (hal ini terlihat
dalam hasil tes grafis). Bagi

20
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Bagus, keluarganya tidak dapat memberikan perhatian yang diharapkan sehingga ia berusaha untuk
melakukan halhal yang dapat mendatangkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya, seperti
mengganggu teman, memukul, berteriakteriak, berkata-kata kotor, ramai di kelas, dan lain
sebagainya. Dengan berperilaku demikian, dirinya menjadi merasa diperhatikan oleh orang-orang di
sekitarnya.

Maccoby (dalam Leon, 2003) mengatakan bahwa pada masa prasekolah, anak-anak belajar
untuk mengembangkan kontrol diri dan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka. Pada
beberapa kasus, anak-anak mungkin masih mengalami kesulitan di dalam mengatur perilaku mereka
terutama yang berhubungan dengan perasaan yang kuat seperti rasa takut, marah, atau sedih.
Perceraian orangtua dapat membangkitkan emosi yang kuat tersebut sehingga akan mempengaruhi
regulasi perilaku mereka. Perasaan tertekan anak-anak kerap diekspresikan dalam bentuk perilaku
karena kemampuan verbal yang masih terbatas. Hal inilah yang terjadi pada Bagus sejak kecil dimana
kekecewaannya selalu diekspresikan dengan perilaku-perilaku yang kurang tepat hingga sampai saat
ini.

Berdasarkan pendekatan kognitif keperilakuan, kasus Bagus dapat dijelaskan bahwa kondisi
yang dialami merupakan akibat adanya pemikiran dan pemahaman yang salah. Dengan
mengidentifikasi pengalaman awal (early experience) seseorang, maka akan mampu membantu
menemukan bagaimana ia mengembangkan core belief atau kepercayaan tertentu yang
mempengaruhi perilaku mereka dalam waktu sekarang ini. Hal ini karena core belief terkadang
muncul tidak disadari karena sudah terbentuk sejak kecil. Core belief sendiri merupakan kepercayaan
paling mendasar yang terkadang salah diinterpretasi oleh seseorang sebagai kebenaran dan fakta.

Secondary belief atau conditional belief merupakan asumsi negatif yang menghubungkan belief
dengan cara berpikir sehari-hari. Conditional belief ini juga membuat peraturan untuk hidup. Beliefs
ini kemudian dihubungkan oleh assumption ke pemikiran sehari-hari (automatic thoughts).
Assumptions adalah ide yang didapatkan oleh seseorang mengenai dirinya sendiri, orang lain, dan
kehidupan pada umumnya yang menyebabkan individu mengembangkan aturan dalam hidup
tertentu. Assumptions ini juga menimbulkan aturan dalam hidup untuk melindungi diri (Wilding &
Milne, 2008).

Dalam kasus, Bagus memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak disayang dan diperhatikan
oleh siapapun. Kemudian hal ini memunculkan asumsi bahwa ia akan mendapatkan perhatian jika
mengganggu orang lain. Dengan begitu, ketika subjek berhadapan pada situasi tertentu atau
berinteraksi dengan orang lain, negative automatic thought yang muncul pertama kali adalah “Aku
harus bandel dan mengganggu orang lain agar diperhatikan”. Berdasarkan pola pemikiran yang salah
tersebut maka memunculkan pola perilaku yang tidak tepat seperti menjahili teman-teman,
memukul, berkata-kata kotor, berteriakteriak hingga mengganggu, atau membuat gaduh lingkungan.
Secara ringkas, dinamika psikologis Bagus berdasarkan pendekatan kognitif keperilakuan dapat
dilihat pada Gambar 1.

21
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Early Experience
Sejak kecil selalu dititipkan di institusi yang mau menampungnya (Po ndok Pesantren, Panti Asuhan)
Kedua orangtua yang tidak akur dan sering bertengkar sehingga sangat sedikit sumber perhatian dan kasih
sayang yang didapatkan
Seringnya dibanding-bandingkan dengan adiknya ; kakak tiri sangat membencinya

Core Belief
Tidak ada yang menyayangi dan memberi perhatian kepadaku

Secondary Conditional Belief / Assumption


Aku akan mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain

Automatic Thought Reaction


Situation
“Aku harus bandel dan  Menjahili teman atau anak yang
Situasi ketika bertemu atau
mengganggu orang lain lebih muda darinya
bersama dengan orang lain
agar diperhatikan”  Memukul teman atau anak yang
lebih kecil darinya
 Berkata-kata kasar kepada orang
lain
 Berteriak di kelas atau di ruangan
sehingga membuat gaduh
 Ramai sendiri dan membuat
gaduh kelas
Untuk memahami permasalahan subjek lebih jauh, sangat penting pula untuk mengidentifikasi
faktor risiko dan faktor protektif pada subjek. Faktor risiko adalah segala kondisi yang dapat
mendorong muncul dan berkembangannya psikopatologi, sedangkan faktor protektif adalah segala
hal yang mampu mendukung dan menjaga perkembangan yang positif dari anak (Wenar & Kerig,
2006). Analisis faktor risiko dan faktor protektif menjadi sangat penting untuk menjadi dasar
pengambilan langkah yang tepat dalam usaha pengatasan permasalahan anak. Hal ini sebagai cara
untuk mempertahankan anak agar mampu berkembang tetap berada pada garis perkembangan yang
normal. Analisis faktor risiko dan faktor protektif Bagus berdasarkan konsep Wenar dan Kerig (2006)
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Faktor Risiko dan Faktor Protektif Bagus

22
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

23
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Penutup
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan orang-
orang di sekitarnya menjadi suatu hal yang didambakan oleh anak dan remaja, tidak terkecuali
subjek. Keluarga subjek telah bercerai sehingga orangtua subjek kurang mampu memberikan
kebutuhan afeksi pada subjek secara penuh. Hal ini kemudian mengarahkan subjek untuk melakukan
perilaku-perilaku maladaptif dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dari orangorang di
sekitarnya. Adanya labelling dan hukuman yang keras baik secara verbal maupun nonverbal dari ibu
membentuk subjek menjadi remaja yang inferior dan memiliki pola pikir yang maladaptif. Untuk
mengkompensasi perasaan inferiornya tersebut, ia melakukan tindakan-tindakan yang kurang tepat
karena dipandangnya mampu mendatangkan perhatian dari orang lain. Hal ini didapatkannya dari
proses belajarnya yang salah selama ini. Adanya pola berpikir yang salah yakni “Aku akan
mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain” menjadi dasar munculnya
perilaku maladaptif tersebut. Berdasarkan temuan penelitian, menjadi sangat penting bagi orangtua
untuk dapat menanamkan nilai-nilai dan pemikiran positif kepada anak sejak dini. Dalam hal ini
bukan berarti anak korban perceraian pasti akan mengalami kenakalan remaja. Hal ini kembali lagi
kepada peran dan pola asuh orangtua dalam mendidik dan mengasuh anak, salah satunya dalam
pemenuhan kebutuhan afeksi, kasih sayang, dan pemahaman diri pada anak.

Daftar Pustaka

Adofo, P. Y. & Etsey, Y. K. A. (2016). Family processes in one-parent, step parent, and intact
families: The child's point of view. Pyrex Journal of Psychology and Counseling, 2(4), 21-27.
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders
fourth edition text revision. Washington, DC: Author.
Aseltine, R. H. (1992). The impact of parental divorce on adolescents (Disertasi tidak
dipublikasikan). University of Michigan, Michigan.
Babalis, T., Tsoli, K., Nikolopoulos, V., & Maniatis, P. (2014). The effect of divorce on school
performance and behavior in preschool children in Greece: An Empirical Study of
Teachers’ Views. Scientific Research, Psychology, 5(1), 20-26.
Badan Pusat Statistik. (2017). Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012–2015.
Diunduh dari

https://www.bps.go.id/linkTableDinam is/view/id/893
Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (2nd ed.). New York: The Guilford
Press.
Blattner, M. C. C., Liang, B., Lund, T., & Spencer, R. (2013). Searching for a sense of purpose: The
role of parents and effects on self-esteem among female adolescents. Journal of
Adolescence, 36, 839–848.
Colin, V. L. (1996). Human attachment. New York: McGraww-Hill Companies, Inc.
Çivitci, N., Çivitci, A., & Fiyakali, N. C. (2009). Loneliness and life satisfaction in adolescents with
divorced and nondivorced parents. Educational
Sciences: Theory & Practice 9(2), 513-525 Dewi, P. S. & Utami, M. S. (2008). Subjective well-
being anak dari orang tua yang bercerai. Jurnal Psikologi, 35(2), 194 – 212.

24
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Emam, M. M. & Abu-Serei, U. S. (2014). Family functioning predictors of selfconcept and self-
esteem in children at risk for learning disabilities in Oman: Exclusion of parent and gender
contribution. International Education Studies, 7(10), 89-99.
Esmaeili, N. S. & Yaacob, S. N. (2012). Correlates of self-esteem among adolescents of divorced
families.
Archives Des Sciences, 65(8), 52-59.
Eymann, A., Busaniche, J., Llera, J., Cunto, C. D., & Wahren, C. (2009). Impact of divorce on the
quality of life in schoolage children. Jornal de Pediatria, 85(6), 547-552.
Fagan, P. F. & Churchill, A. (2012). The Effects of Divorce on Children. Marri

Research. Diunduh dari

http://marri.us/wpcontent/uploads/publications/research_ papers/EF12A22. pdf


Fry, J. A. (2010). Change in family structure and rates of violent juvenile delinquency (Tesis tidak
dipublikasikan). Virginia Polytechnic Institute and State
University, Virginia.
Hurlock, E. B. (2002). Development psychology: A life-span aprroach (Psikologi
Perkembangan, Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan).
Diterjemahkan oleh

Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.


Kagan, J. (1999). The role of parents in children’s psychological development.
Pediatrics, 104(1). 164-167.
Lansford, J. E. (2009). Parental divorce and children's adjustment. Perspectives on Psychological
Science, 4(2), 140-152
Leon, K. (2003). Risk and protective factors in young children’s adjustment to parental divorce: a
review of the research. Family Relations, 52, 258-270.
Mackay, R. (2005). The impact of family structure and family change on child outcomes: a
personal reading of the research literature. Social Policy Journal of New Zealand, 4, 111-133.
Mahmud, Z., Yunn, Y. P., Aziz, R., Salleh, A., & Amat S. (2011). Counseling children of divorce.
World Applied Sciences Journal 14 (Learning Innovation and Intervention for Diverse
Learners), 2127.
Mishra, S. & Shanwal, V. K. (2014). Children’s self-concept and perception of parents’ behavior.
Children’s SelfConcept and Perception of Parents’
Behavior, 1(1), 28-30.
Morrison, D. R. & Coiro, M. J. (1999). Parental conflict and marital disruption: Do children
benefit when high-conflict marriages are dissolved? Journal of Marriage and Family, 61(3), 626-
637.
Needle, R. H., Su, S. S., & Doherty, W. J. (1990). Divorce, remarriage, and adolescent substance
use: A prospective longitudinal study. Journal of Marriage and Family, 52(1), 157-169
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

25
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Pálmarsdóttir, H. M. L. (2015). Parental divorce, family conflict and adolescent depression and
anxiety (Tesis tidak dipublikasikan). Reykjavik University, Reykjavik.
Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13th Ed.). New York: McGraw-Hill.

Singh, H. & Kiran, U. V. (2012). Effect of single parent family on child delinquency. International
Journal of Science and Research (IJSR), 3(9), 866868.
Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan, model-model kepribadian sehat.
Yogyakarta: Kanisius.
Thompson Jr, R. G., Lizardi, D., Keyes, K. M., & Hasin, D. S. (2008). Childhood or adolescent
parental divorce/separation, parental history of alcohol problems, and offspring lifetime alcohol
dependence. Drug and Alcohol
Dependence, 98, 264–269.
Thornberry, T. P., Smith, C. A., Rivera, C., Huizinga, D., & Stouthamer-Loeber, M. September
(1999). Family disruption and delinquency. Juvenile Justice
Bulletin. 1-7.
Uphold-Carrier, H. & Utz, R. (2012). Parental divorce among young and adult children: A long-
term quantitative analysis of mental health and family solidarity. Journal of Divorce &
Remarriage, 53(4), 247-266.
Yabiku, S. T., Axinn, W. G., & Thornton, A. (1999). Family integration and children's self-esteem.
American Journal of Sociology, 104(5), 1494-1524.
Weber, A. D. (2001). Influence of family environment on self-esteem and hostility (Disertasi tidak
dipublikasikan). Southern Illinois University,
Carbondale.

Wells, L. E. & Rankin, J. H. (1991). Families and delinquency: A meta-analysis of the impact of
broken homes. Social
Problems, 38(1), 71-93.
Wenar, C. & Kerig, P. (2006). Developmental psychopathology: From infancy through adolescence (5th
Ed.). London: McGraw-
Hill.
Wilding, C., Milne, A. (2008). Cognitive behavioural therapy. London: Hodder Headline.
Wyman, P. A., Cowen, E. L., Hightower, A. D., Pedro-Carroll, J. L. (1985). Perceived competence,
self-esteem and anxiety in latency-aged children of divorce. Journal of Clinical Child
Psychology, 14(1), 20-26.

26
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

ADJUSTMENT REMAJA KORBAN PARENTS DIVORCE


DI PANTI ASUHAN BUDI UTOMO MUHAMMADIYAH METRO

Melda Cici Fitriana1, Mudaim2, Nurul Atieka3


1,2,3
Jurusan Ilmu Pendidikan Bimbingan dan Konseling, Universitas Muhammadiyah Metro
E-Mail: meldaci84@gmail.com1, mudaim792@gmail.com2. n.atieka@gmail.com3,

Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana karakteristik adjustment remaja korban Parents divorce di
Panti Asuhan Budi Utomo Muhammaidyah Metro. Jenis penelitiian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek
penelitian ini adalah Remaja Korban Parents divorce dan Pengasuh Panti Asuhan. Data yang diperoleh melalui
metode wawancara. Analisis data menggunakan model miles yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data dan menarik kesimpulan. Pengujian Keabsahan data dapat dilakukan dengan cara triangulasi sumber.
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu dari kelima remaja korban parents divorce terdapat: (1) 4 remaja belum
bisa menerima dirinya. (2) 4 remaja mampu menerima dan menilai lingkungan secara objektif. (3) 5 remaja
mampu melakukan tindakan sesuai dengan potensi yang dimiliki. (4) 3 remaja merasakan kurang nyaman tinggal
di panti asuhan. (5) 5 remaja mempunyai rasa hormat. (6) 3 remaja mempunyai sifat tertutup dan 2 remaja
memiliki kepribadian terbuka. (7) 2 remaja belum bisa mengontrol kestabilan emosi. (8) 5 remaja mematuhi
aturan.

Kata Kunci: Penyesuain Diri, Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Abstract
The purpose of the study was to determine the adjustment characteristics of adolescent victims of parents divorce
at the Budi Utomo Muhammaidyah Metro Orphanage. This type of research is qualitative research. The subjects
of this study were Teenage Victims of Parents Divorce and Orphanage Caregivers. The data obtained through
the interview method. Data analysis uses the miles model, namely data collection, data reduction, data
presentation and drawing conclusions. Testing the validity of the data is done by means of triangulation of
sources. The conclusion in this study is that of the five teenage victims of parents divorce there are: (1) 4 teenagers
who have not been able to accept themselves. (2) 4 teenagers are able to accept and evaluate the environment
objectively. (3) 5 teenagers are able to take action according to their potential. (4) 3 teenagers feel uncomfortable
living in an orphanage. (5) 5 teenagers have respect. (6) 3 teenagers have a closed personality and 2 teenagers
have an open personality. (7) 2 teenagers have not been able to control their emotional stability. (8) 5 teenagers
obey the rules.

Keywords: Adjustment, Teenage Victims of Parental Divorce

PENDAHULUAN
Panti asuhan adalah lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu anak yang
sudah tidak memiliki orang tua dan anak terlantar. Panti asuhan yaitu tempat untuk merawat,
dan mendidik anak yatim, piatu dan terlantar. Keluarga merupakan lingkungan terdekat untuk
membesarkan, mendewasakan, dan pendidikan pertama untuk anak-anak. Kasih sayang dari
keluarga adalah sumber kebahagiaan yang tidak tergantikan oleh apapun. Menurut kementerian
Republik Indonesia (dalam Amorisa, 2018: 15) “Keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal
di suatu tempat dalam satu atap dan saling ketergantungan satu sama lain”. Hal ini berarti dalam
suatu keluarga harus mampu untuk memahami satu sama lain agar menjadi keluarga yang utuh.

27
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang hidup bahagia, damai,
tentram, dan sejahtera apabila anggota keluarga tersebut dapat menjaga dan menyadari
tugasnya masing-masing. Tidak semua keluarga berjalan sesuai dengan keinginan dan
harmonis. Terdapat juga keluarga yang memiliki ketidakharmonisan, biasanya hal ini berawal
dari hubungan perkawinan kedua orang tua yang gagal atau bercerai. Menurut Dogun (dalam
Galih, 2020: 297) menjelaskan bahwa “kasus perceraian membawa akibat yang sangat
mendalam. Peristiwa ini mengakibatkan ibu dan ayah menjadi kurang mampu mengatasi
kehidupan anaknya sehari-hari”. Remaja merasa orang tua sudah tidak peduli dengan dirinya
sehingga menyebabkan hubungan antara anak dengan orang tua akan semakin renggang.
Perceraian merupakan berakhirnya hubungan suami istri karena ketidakcocokan antara kedua
belah pihak dan diputuskan oleh hukum. Menurut Harlock (dalam Zianah, 2014: 22)
menyatakan bahwa “rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan
hubungan keluarga dari pada rumah tangga yang pecah karena kematian”. Hal ini disebabkan
karena perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri namun, pada semua pihak
bersangkutan seperti keluarga dan anak-anak. Menurut Adrian (dalam Putri, 2013: 40)
menjelaskan bahwa:
Perceraian bagi anak adalah tanda kematian keutuhan keluarga, rasanya separuh diri anak
telah hilang, hidup tidak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka
harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam, perasaan
kehilangan, penolakkan dan ditinggalkan.
Remaja yang menjadi korban perceraian orang tua dapat mengalami kesulitan dan
kendala dalam menyesuaikan dirinya pada suatu kondisi yang baru. Hal ini dapat
mengakibatkan timbul perasaan gelisah, sedih, dan dapat mengganggu hubungan sosialnya
seperti dalam berinteraksi dengan temannya, orang lain, dan bahkan akan mengalami kesulitan
dalam menjalin hubungan pertemanan. Penyesuaian diri penting untuk remaja ketika berada
dalam lingkungan yang baru demi terciptanya hubungan sosial yang baik. Menurut Willis
(dalam Putri, 2013: 40) menjelaskan bahwa “penyesuaian diri merupakan kemampuan
seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar dengan lingkungan sehingga individu merasa
puas”. Hal ini bertujuan untuk melepaskan diri dari hambatan dan ketidakenakan yang timbul
pada dirinya, sehingga dapat menjadi penentu bagi remaja dalam menyesuaikan diri dengan
baik ataupun tidak baik pada lingkungan.
Remaja dalam perkembangannya tidak terlepas dari peran orang tua yang merupakan
sosok untuk menjadi panutan dalam membentuk kepribadiannya. Namun, tidak semua remaja
memiliki kesempatan untuk tinggal dengan orang tuanya. Remaja yang tinggal di Panti Asuhan

28
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

merupakan remaja yang memiliki masalah dalam kehidupannya, seperti remaja yang tidak
memiliki orang tua, remaja yang orang tuanya berpisah atau bercerai, remaja yang masih
memiliki orang tua lengkap namun orang tuanya tidak sanggup untuk menyukupi kebutuhan
sehari-hari. Anak-anak yang tinggal di Panti Asuhan Budi Utomo rata-rata disebabkan karena
korban dari perceraian orang tuanya. Keputusan orang tua mengharuskan remaja untuk dapat
menerima keadaannya bahwa ia harus tinggal di panti asuhan. Menurut Desmita, (dalam Novi,
2019: 20) menjelaskan bahwa:
Remaja mulai berpikir dan menginterpretasikan kepribadian dengan cara sebagaimana
yang dilakukan oleh para ahli teori kepribadian berpikir dan menginterpretasikan
kepribadian dan memantau dunia sosial mereka dengan cara-cara yang unik.

Hasil prasurvei yang dilakukan peneliti di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammadiyah
Metro pada tanggal 28-29 Juni 2022 menemukan bahwa remaja yang memiliki kemampuan
menerima dan memahami dirinya sendiri terdapat 3 remaja yang menerima dengan positif dan
2 yang negatif, kemampuan menerima dan menilai lingkungan sekitar secara objektif terdapat
2 remaja yang menerima dengan positif dan 3 negatif, remaja yang memiliki rasa hormat dan
toleransi yang positif berjumlah 2 dan negatif 3, mampu terbuka dan sanggup menerima umpan
balik terdapat 1 remaja yang menerima dengan positif dan 4 negatif, serta remaja yang mampu
mematuhi norma yang berlaku terdapat 2 yang menerima dengan positif dan 3 negatif.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti jabarkan di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul “Penyesuaian Diri Remaja Korban
Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammadiyah Metro”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan pendekatan ini untuk mengumpulkan informasi
aktual secara rinci dan menggambarkan realita yang ada berupa angka-angka. Menurut
Moleong (2014: 6) penelitian kualitatif yaitu:
Penelitian kualitatif untuk menafsirkan hal-hal yang dapat disaksikan melalui panca indra
dan diterangkan serta dinilai secara ilmiah apa yang dipahami oleh subyek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik serta berupa keterangan
dalam bentuk kata-kata dan wacana pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan
memanfatkan berbagai metode ilmiah.

Penelitian deskriptif kualitatif merupakan sebuah penelitian yang mengakaji peristiwa


sosial sehingga menghasilkan kesimpulan dari proses atau peristiwa yang bersifat deskriptif.
Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui Karakteristik Penyesuaian Diri

29
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Remaja Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan Budi Utomo. Menurut Sukmadinata
(2013: 73) yaitu:
“Deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan gejala-gejala
yang ada, baik bersifat natural maupun rekayasa manusia, lebih memperhatikan
mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar kegiatan”.

Pengumpulan data diperoleh dari kehadiran peneliti/human instrument.Sugiyono


(2019: 292) menyebutkan bahwa “Peneliti berperan sebagai perencana, pelaksanaan,
pengumpulan data, analisis, penafsir data dan menjadi pelapor dari hasil penelitiannya”.
Kehadiran peneliti sangat berperan dalam proses perencanaan sampai mendapatkan hasil
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan data yang akurat. kehadiran peneliti merupakan
kunci utama dalam penelitian kualitatif. Tanpa kehadiran peneliti, data yang akan diperoleh
tidak menjamin keasliannya. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini untuk mencari informasi,
mengumpulkan data melalui wawancara, dan pengamatan secara langsung.
Data diartikan sebagai informasi yang diperoleh melalui suatu pengamatan atau
observasi dan sumber-sumber data tertentu. Menurut Arifin (2014: 191) “Data merupakan
sekumpulan fakta mengenai suatu fenomena, baik angka-angka ataupun berupa kategori seperti
senang, baik, buruk yang diolah menjadi informasi”. Peneliti memperoleh data dari sumber
data di lokasi penelitian.Sumber data merupakan suatu tempat peneliti memperoleh sebuah data
penelitian. Sumber data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian kualitatif, yang
akan digunakan untuk menjadi sumber informasi dalam data yang ingin diperoleh. Menurut
Sugiyono (2015: 208) “Sumber data dalam penelitian adalah manusia dan benda seperti alat
dokumentasi”. Sumber data merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian kualitatif dan
sumber data dalam penelitian dapat berupa manusia dan benda seperti alat dokumentasi.
Sumber data dalam penelitian ini adalah remaja korban perceraian orang tua dan pengasuh
panti asuhan.
Prosedur pengumpulan/perekaman data dalam penelitian ini menggunakan teknik
wawancara dan observasi. Menurut Esteberg (Sugiyono, 2015: 233) ada tiga jenis wawancara
yaitu:
1. Wawancara Terstruktur
2. Wawancara Semistruktur
3. Wawancara Tidak Terstruktur

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur.
Peneliti mengajukan berbagai pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada satu tujuan.

30
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Wawancara tidak terstruktur akan lebih efektif untuk menggali data dalam proses penelitian.
Kisi-kisi wawancara sebagai berikut:
Tabel 1.
Kisi-kisi Pedoman Wawancara Tidak Terstruktur
No Fokus Penelitian Indikator Aspek Yang Ditanyakan Pertanyaan
Penyesuaian Diri a. Kemampuan 1) Penerimaan diri secara utuh
Remaja Korban Menerima dan 2) Membandingkan diri dengan
Perceraian Orang Memahami orang lain
Tua Dirinya Sendiri 3) Kondisi setelah orang tua
bercerai
b. Kemampuan 1) Penyesuaian diri di lingkungan
Menerima dan panti asuhan
Menilai
Lingkungan
Sekitar Secara
Objektif
c. Kemampuan 1) Kemampuan bertindak sesuai
bertindak sesuai dengan potensi yang dimiliki
dengan potensi
yang dimiliki
d. Memiliki 1) Merasa nyaman dan aman
perasaan yang tinggal di panti asuhan
aman dan tidak
lagi dihantui oleh
rasa cemas
ataupun
ketakutan
e. Rasa Hormat 1) Memiliki rasa hormat dan
pada Manusia hubungan yang baik serta
dan Mampu memiliki rasa toleransi terhadap
Bertindak orang lain
Tolerans
f. Terbuka dan 1) Terbuka dan sanggup menerima
Sanggup umpan balik
Menerima
Umpan Balik
g. Memiliki 1) Kondisi kestabilan emosi
kestabilan 2) Kondisi emosi saat
psikologis menghadapi masalah
terutama
kestabilan emosi
h. Mematuhi dan 1) Mematuhi peraturan yang
bertindak sesuai berlaku di panti asuhan
norma yang
berlaku

Peneliti menggunakan teknik analisis data sebagai salah satu proses dalam sebuah
penelitian. Peneliti menggunakan analisis data agar dapat mengarahkan serta membantu
peneliti menemukan jawaban dari rumusan masalah penelitian. dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik analisis data model Milles dan Huberman sebagaimana yang dijelaskan
oleh Sugiyono (2016: 336-339) yaitu:
1. Pengumpulan Data
2. Reduksi Data

31
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

3. Penyajian Data
4. Penarikan Kesimpulan

Teknik analisis data dilakukan oleh peneliti secara sistematis agar memperoleh data
yang valid. Pengolahan data dalam analisis data diperoleh dari hasil wawancara kepada sumber
data dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti saat berada di lokasi penelitian. Peneliti
melakukan analisis data supaya mendapatkan data yang valid, mudah dipahami, serta
menghasilkan data yang tepat dan sesuai dengan fokus penelitian.
Data yang diperoleh peneliti di lapangan perlu diuji keabsahannya atau kevalidannya.
Kriteria utama dalam keabsahan data dalam penelitian kualitatif adalah valid, reliabel dan
objektif. Pengecekan keabsahan penemuan data sangat penting dalam penelitian, karena
bertujuan untuk menguji data yang didapatkan peneliti di lapangan sehingga akan menentukan
mutu hasil penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi.
Penerapan teknik triangulasi sebagai suatu pendekatan analisa data yang mensintesis data dari
berbagai sumber. Menurut Moleong (2014: 330) “Teknik pengecekan keabsahan data memakai
sesuatu atau objek yang berbeda dengan lainnya”. Penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber yaitu data yang sama dengan sumber yang berbeda. Triangulasi sumber pada penelitian
ini yaitu, pengasuh panti, remaja panti asuhan dan dokumen penting yang menjadi penunjang
dalam penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
Hasil analisis data yang telah diperoleh peneliti dalam melaksanakan penelitian pada
Penyesuaian Diri Remaja Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan Budi Utomo
Muhammadiyah Metro yaitu:
1. Kemampuan menerima dan memahami diri sendiri, dari kelima remaja korban
perceraian orang tua di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammadiyah Metro, masih
terdapat individu yang belum bisa menerima kondisi dirinya. Hal ini sesuai dari hasil
wawancara oleh informan pertama yaitu “SN” di halaman asrama putri Panti Asuhan
Budi Utomo Muhammadiyah Metro, pada hari Sabtu, 30 Juli 2022, pukul 15.30 WIB
(W/01/F1/a/88) :
“Remaja SN belum mampu menerima keadaan dirinya saat ini dan sering
membandingkan dirinya dengan teman-teman yang mempunyai keluarga utuh.
Setelah orang tuanya bercerai, remaja SN cenderung diam dan kurang berinteraksi
dengan orang lain”.

32
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

2. Kemampuan menerima dan menilai lingkungan sekitar dari kelima remaja korban
perceraian 4 diantaranya mampu menerima dan menilai lingkungan sekitar secara
objektif dan positif. Kemampuan remaja menerima lingkungan terlihat dari cara
mereka menyesuaikan diri dengan orang-orang yang ada di panti asuhan, melakukan
kegiatan yang terdapat di panti asuhan, mengikuti dan menerima tugasnya masing-
masing sebagai anak asuh seperti menerima pembagian kelas belajar, kamar tidur,
jadwal memasak dan kerja bakti. Hal ini dijelaskan oleh informan 06 yaitu pengasuh
panti asuhan mengenai kemampuan menerima dan menilai lingkungan sekitar secara
objektif (W/06/F1/b/123):
“Remaja dapat menerima dan menilai lingkungan sekiar dengan objektif. Remaja
perlahan-lahan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar, mampu
mengerti keadaan satu sama lain dan mampu untuk bekerjasama”.

3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi yang dimiliki, dari kelima remaja
korban perceraian mampu dalam melakukan tindakan sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Remaja melakukan tindakan sesuai dengan potensi yang dimiliki yang akan
lebih memudahkan remaja dalam beraktifitas. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara
informan kelima yaitu “QA” di halaman asrama putri Panti Asuhan Budi Utomo

33
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Muhammdiyah Metro, pada hari Minggu, 31 Juli 2022, pukul 16.25 WIB
(W/05/F1/c/120):
“Remaja QA melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Remaja mengikuti kegiatan sesuai dengan potensi yang dimiliki”.

4. Memiliki perasaan yang aman dan tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun
ketakutan, dari kelima remaja korban perceraian memiliki perasaan senang dan
bahagia ketika tinggal di panti asuhan. Tapi terdapat 3 remaja yang merasakan kurang
nyaman untuk tinggal di panti asuhan. Hal ini dijelaskan oleh informan 06 yaitu
pengasuh panti asuhan mengenai memiliki perasaan yang aman dan tidak lagi dihantui
oleh rasa cemas ataupun ketakutan (W/06/F1/d/124):
“Terdapat beberapa remaja yang memang merasa lebih nyaman dan aman tinggal
di panti asuhan dibanding dirumah. Hal ini dikarenakan semua fasilitas setiap anak
terpenuhi baik biaya kehidupannya dan biaya pendidikannya. Namun, ada
beberapa remaja yang memang lebih betah tinggal dirumah, karena mereka ingin
selalu bersama keluarga yang merawatnya setelah orang tua bercerai, baik itu
ayahnya atau ibunya bahkan keluarga yang ikut membesarkannya”.

5. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleransi, dari kelima remaja korban
perceraian orang tua mempunyai rasa saling menghormati, menghargai, mengerti
keadaan satu sama lain, membantu satu lain, mampu bekerjasama dan saling
mempunyai jiwa toleransi yang baik. Hal ini dijelaskan oleh informan 06 yaitu
pengasuh panti asuhan rasa mengenai hormat pada manusia dan mampu bertindak
toleransi (W/06/F1/e/125):
“Remaja memiliki hubungan yang baik dengan pengasuh dan temannya. Remaja
menghormati dan menerima pengasuh sebagai orang tuanya dan remaja memiliki
jiwa toleransi yang tinggi satu sama lain”.

6. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik, terdapat 3 remaja yang mempunyai sifat
tertutup, susah dalam berinteraksi dengan orang lain dan tidak mudah untuk percaya
kepada orang lain. Namun, remaja tersebut dapat menerima umpan balik atau

34
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

masukan dari temannya. Untuk 2 remaja lainnya memiliki kepribadian terbuka dengan
orang lain tapi, susah untuk menerima masukan dari orang lain. Hal ini dijelaskan oleh
informan 06 yaitu pengasuh panti asuhan mengenai terbuka dan sanggup menerima
umpan balik (W/06/F1/f/126):
“Setiap remaja memiliki karakter yang berbeda ada yang tertutup dan ada yang
terbuka. Namun dibalik karakter mereka yang berbeda-beda mereka tetep bisa
saling menerima umpan balik atau penelaian orang lain tentang dirinya”.

7. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi, dari kelima remaja korban
perceraian hampir semuanya memiliki kestabilan emosi yang baik. Hal ini dijelaskan
oleh informan 06 yaitu pengasuh panti asuhan mengenai kestabilan emosi
(W/06/F1/g/126):
“Remaja dapat mengontrol emosinya dengan cara lebih memilih diam, tidak panik,
dan sering menyendiri untuk menenangkan dirinya ketika sedang menghadapi
masalah”.

8. Mematuhi dan bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, dari kelima remaja
korban perceraian, remaja sudah mampu dalam memahami aturan dan bertindak
sesuai dengan norma yang berlaku di panti asuhan. Hal ini dijelaskan oleh informan
06 yaitu pengasuh panti asuhan mengenai mematuhi dan bertindak sesuai norma yang
berlaku (W/06/F1/h/127):
“Remaja sudah mengerti peraturan dan tindakan yang harus dilakukan. Namun,
memang masih terdapat beberapa remaja yang pernah melanggar aturan seperti,
membawa hp, mewarnai rambut dan meminta uang kepada orang tua”.

B. Pembahasan Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil Penelitian dan temuan penelitian maka hasil pembahasan mengenai
Penyesuaian Diri Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan Muhammadiyah Metro yaitu:
1. Kemampuan Menerima dan Memahami Dirinya Sendiri
Kemampuan menerima dan memahami dirinya secara utuh yaitu dari kelima
remaja korban perceraian orang tua di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammadiyah
Metro, masih terdapat 4 remaja yang belum bisa menerima dirinya dan keadaannya
secara utuh. Remaja yang menjadi korban perceraian orang tua masih sering
membandingkan dirinya dengan orang lain yang mempunyai keluarga utuh dan
merasa sedih, terpuruk, perasaannya hancur, dan merasa bahwa dunia ini tidak adil
bagi dirinya.
2. Kemampuan Menerima dan Menilai Lingkungan Sekitar Secara Objektif
Kemampuan menerima dan menilai lingkungan sekitar secara objektif yaitu dari
kelima remaja korban perceraian 4 diantaranya mampu menerima dan menilai
lingkungan sekitar secara objektif dan positif. Kemampuan remaja menerima

35
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

lingkungan terlihat dari cara mereka menyesuaikan diri dengan orang-orang yang ada
di panti asuhan, melakukan kegiatan yang terdapat di panti asuhan, mengikuti dan
menerima tugasnya masing-masing sebagai anak asuh seperti menerima pembagian
kelas belajar, kamar tidur, jadwal memasak dan kerja bakti.

3. Kemampuan Bertindak Sesuai Dengan Potensi yang Dimiliki


Kemampuan bertindak sesuai potensi yang dimiliki yaitu dari kelima remaja
korban perceraian mampu dalam melakukan tindakan sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang mereka ikuti, baik di sekolah maupun
di panti asuhan. Kegiatan yang ada di panti asuhan seperti hafalan, kegiatan aisyiah,
murojaah dan kebanyakan remaja mengikuti kegiatan tapak suci.
4. Memiliki Perasaan yang Aman dan Tidak Lagi Dihantui Oleh Rasa Cemas
Ataupun Ketakutan
Memiliki perasaan yang aman dan tidak cemas yaitu dari kelima remaja korban
perceraian memiliki perasaan senang dan bahagia ketika tinggal di panti asuhan. Tapi
terdapat 3 remaja yang merasakan kurang nyaman untuk tinggal di panti asuhan. Hal
ini dikarenakan beberapa faktor penyebab seperti, merasa khawatir dengan keluarga
yang merawatnya sejak orang tua bercerai dan tinggal di rumah sendirian, merasa
terganggu dengan teman-teman yang selalu mengejek dirinya selama tinggal di Panti
Asuhan.
5. Rasa Hormat pada Manusia dan Mampu Bertindak Toleransi
Rasa Hormat pada orang lain dan jiwa toleransi yaitu dari kelima remaja korban
perceraian orang tua mempunyai rasa saling menghormati, menghargai, mengerti
keadaan satu sama lain, membantu satu lain, mampu bekerjasama dan saling
mempunyai jiwa toleransi yang baik.
6. Terbuka dan Sanggup Menerima Umpan Balik
Terbuka dan sanggup menerima umpan balik yaitu dari kelima remaja korban
perceraian, setiap individu dari mereka memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
Terdapat 3 remaja yang mempunyai sifat tertutup, susah dalam berinteraksi dengan
orang lain dan tidak mudah untuk percaya kepada orang lain. Namun, remaja tersebut
dapat menerima umpan balik atau masukan dari temannya. Untuk 2 remaja lainnya
memiliki kepribadian terbuka dengan orang lain tapi, susah untuk menerima masukan
dari orang lain.
7. Memiliki Kestabilan Psikologis Terutama Kestabilan Emosi

36
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Memiliki kestabilan emosi yaitu dari kelima remaja korban perceraian hampir
semuanya memiliki kestabilan emosi yang baik. Remaja dapat mengendalikan
emosinya ketika sedang sedih, marah, kesal ataupun kecewa. Terlihat dari cara mereka
yang dapat mengendalikan emosi dengan cara diam, menyendiri, dan menenangkan
diri. Namun, terdapat 2 remaja yang masih belum bisa mengontrol kestabilan
emosinya dan cenderung lebih memperlihatkan perasaan atau ekspresi wajahnya
sesuai isi hatinya di depan orang lain dan sering panik ketika menghadapi masalah.
8. Mampu Mematuhi dan Bertindak Sesuai Dengan Norma yang Berlaku
Mampu mematuhi dan bertindak sesuai norma yaitu dari kelima remaja korban
perceraian, remaja sudah mampu dalam memahami aturan dan tindakan sesuai dengan
norma yang berlaku di panti asuhan. Remaja dapat bertanggung jawab dan siap
menerima sanksi apabila melanggar norma.

SIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisi, paparan data, temuan penelitian dan
pembahasan yang telah dilaksanakan oleh peneliti di Panti Asuhan Budi Utomo
Muhammadiyah Metro, maka peneliti akan menarik kesimpulan mengenai Penyesuaian Diri
Remaja Korban Perceraian Orang Tua di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammdiyah Metro
sebagai berikut:
1. Kemampuan Menerima dan Memahami Dirinya Sendiri, yaitu dari kelima remaja
korban perceraian terdapat 4 remaja yang belum bisa menerima dirinya dan
keadaannya secara utuh diantaranya yaitu remaja SN, AP, NU, SD.
2. Kemampuan Menerima dan Menilai Lingkungan Sekitar Secara Objektif, yaitu dari
kelima remaja korban perceraian 4 diantaranya mampu menerima dan menilai
lingkungan sekitar secara objektif dan positif, diantaranya yaitu remaja SN, NU, SD,
QA.
3. Kemampuan Bertindak Sesuai Dengan Potensi yang Dimiliki, yaitu remaja korban
perceraian mampu dalam melakukan tindakan sesuai dengan potensi yang dimiliki,
diantaranya yaitu remaja SN, AP, NU, SD, QA.
4. Memiliki Perasaan yang Aman dan Tidak Lagi Dihantui Oleh Rasa Cemas Ataupun
Ketakutan, terdapat 2 remaja yang merasakan kurang nyaman yaitu remaja SN dan
AP.

37
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

5. Rasa Hormat pada Manusia dan Mampu Bertindak Toleransi, yaitu terdapat remaja
yang memiliki rasa hormat diantaranya SN, AP, NU, SD, QA.
6. Terbuka dan Sanggup Menerima Umpan Balik, yaitu terdapat remaja kepribadian
tertutup diantaranya SN, AP, NU dan remaja kepribadian terbuka yaitu SD, QA.
7. Memiliki Kestabilan Psikologis Terutama Kestabilan Emosi, yaitu terdapat 2 remaja
yang belum bisa mengontrol kestabilan emosinya diantaranya yaitu remaja SD dan
QA.
8. Mampu Mematuhi dan Bertindak Sesuai Dengan Norma yang Berlaku, yaitu remaja
sudah mampu dalam memahami aturan diantaranya yaitu SN, AP, NU, SD, QA.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai Penyesuaian Diri Remaja Korban Perceraian
Orang Tua di Panti Asuhan Budi Utomo Muhammadiyah Metro, saran yang dapat penulis
sampaikan kepada:
1. Remaja Korban Perceraian Orang Tua, sebaiknya kita dapat menerima keadaan atau
kondisi saat ini dengan positif, melalui penyesuaian diri yang baik, mampu lebih
terbuka dengan orang lain.
2. Orang Tua, sebaiknya orang tua dapat menjalin hubungan komunikasi yang baik
dengan anak dan bertanggung jawab atas kewajibannya sebagai orang tua terhadap
anak.
3. Pengasuh Panti Asuhan, dapat mempertahankan hubungan yang baik, mampu
mempererat kedekatan dengan mengadakan pembinaan tentang bagaimana cara
menerima diri dengan kondisi yang dialami oleh anak asuh yang tinggal di Panti
Asuhan.
4. Penulis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya,
sehingga dapat mengembangkan dan mengkaji lebih lanjut dalam penyesuaian diri
remaja korban perceraian orang tua.

DAFTAR PUSTAKA
Amorisa. (2018). Menilik Ulang Arti Keluarga Pada Masyarakat Indonesia. Jurnal
Kependudukan Indonesia. Vol 13. No 1. Hal 15-26. ISSN: 2563-2611.

Arifin. (2014). Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Galih. (2020). Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Hubungan Sosial Remaja.Vol 1.No 2.
Hal 2716-4772. ISSN: 2716-4144.

38
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

RESILIENSI PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA

Talenta Adiyanti Putri


Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA. talenta.18138@mhs.unesa.ac.id

Riza Noviana Khoirunnisa


Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA. rizakhoirunnisa@unesa.ac.id

Abstrak
Perceraian orang tua memberikan dampak terhadap perkembangan kemampuan resiliensi anak.
Kemampuan resiliensi penting dimiliki oleh remaja agar remaja yang mengalami keterpurukan
dapat bangkit dan melakukan upaya yang positif dalam penyelesaian masalahnya. Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui gambaran dan faktor yang mempengaruhi kemampuan resiliensi
pada remaja korban perceraian orang tua. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek terdiri dari dua orang yang memiliki usia 20-21
yang telah menjadi korban perceraian. Pengambilan data menggunakan teknik wawancara.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ditemukan hasil bahwa kedua subjek memiliki
kemampuan resiliensi yang berbeda. Subjek Budi memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik
dikarenakan masih adanya dukungan dari orang terdekat sehingga dapat membantu
mengembangkan kemampuan resiliensi yang ada pada dirinya, yaitu subjek menjadi lebih mandiri
dan menerima keadaan. Sedangkan subjek Cantik memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik
karena subjek masih merasa pesimis, ragu akan masa depan, dan trauma terhadap pernikahan yang
menyebabkan dirinya ragu akan keberhasilan suatu pernikahan. Kata Kunci: perceraian orang tua,
resiliensi, remaja

Abstract
Parental divorce has an impact on the development of children's resilience abilities. It is important
for adolescents to have resilience abilities so that adolescents who experience adversity can rise up
and make positive efforts in solving problems. The purpose of this study was to determine the
description and factors that influence the ability of resilience in adolescent victims of parental
divorce. The method used in this research is qualitative with a case study approach. The subjects are
20-21 years old who had become victims of divorce. Data were collected using interview techniques.
Based on the research that has been done, it was found that the two subjects had different
resilience abilities. Budi subjects have better resilience abilities because there is still support from
the closest people so that they can help develop the resilience abilities that exist in themselves,
namely the subject becomes more independent and accepts the situation. While Cantik has poor
resilience because the subject still feels pessimistic, doubts about the future, and is traumatized by
marriage which causes him to doubt the success of a marriage.

Keywords: Parental divorce, resilience, adolescene.

39
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

PENDAHULUAN
Keluarga dianggap sebagai lingkungan terdekat bagi tiap anak dan keharmonisan hubungan keluarga
dapat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Anak yang berasal dari keluarga
harmonis akan menunjukan sikap dan bawaan diri yang ceria dan penuh semangat. Hal ini
sependapat dengan Darahin (dalam Nurhasnah, 2021) bahwa keluarga yang memiliki kehangatan,
kasih sayang, pujian, dan dukungan yang kuat akan membentuk konsep diri positif terhadap anak.
Sedangkan hal ini berkebalikan dengan anak yang berasal dari keluarga yang retak. Hal ini ditunjukan
oleh penelitian dari Nadea (dalam Hadianti et al., 2017) bahwasannya struktur anak nakal yang
mana separuh nya berasal dari orang tua single parent dan 19,5% berasal dari keluarga broken home.
Salah satu contoh hubungan yang retak dalam keluarga adalah adanya perceraian.

Perceraian merupakan terputusnya suatu rumah tangga dan suami istri yang memutuskan untuk
meninggalkan (Asriandari, 2015 (dalam Syamsul et al., n.d.). Goere Levinger mengatakan
bahwasannya perceraian rumah tangga memiliki beberapa faktor, yaitu: (1) Pasangan lalai akan
kewajiban rumah tangga; (2) Finansial, kurangnya penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan rumah
tangga; (3) Terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); (4) Sering adanya suara dengan nada
tinggi dan kata-kata kasar; (5) Perselingkuhan; (6) Kebiasaan buruk pasangan yang menyalahi aturan,
seperti mabuk, terlibat narkoba, perjudian, dan lain sebagainya; (7) Ketidakcocokan dalam hubungan
seksual; (8) Adanya campur tangan dari pihak lain; (9) Berkurangnya intimacy, passion, dan,
commintment; (10) Tuntutan pasangan yang berlebihan sehingga menimbulkan konflik secara terus
menerus (Ismiati, 2018).

Jumlah kasus angka perceraian di Indonesia pada tahun 2015-2018 terjadi peningkatan. Badan
Pusat Statistik yang menunjukan bahwa tahun 2015 kasus perceraian mencapai angka 353. 843,
tahun 2016 meningkat sebanyak 365.654, tahun 2017 meningkat sebanyak 374.516, dan pada
tahun 2018 semakin kian meningkat menjadi 408.202 kasus (Statistika, 2019). Hal ini tentunya
memiliki dampak pada anak, yaitu: (1) Memunculkan rasa benci terhadap orang tuanya; (2)
Kebencian terhadap orang tua dapat menimbulkan kelainan seksual; (3) Ketika telah berumah
tangga, anak cenderung melakukan hal serupa; (4) Perasaan stres, tertekan, dan depresi yang
mana memunculkan perilaku pendiam, jarang bergaul, dan turunnya prestasi sekolah, atau
perilaku sebaliknya, seperti pergaulan yang salah; (5) Trauma terhadap perceraian, timbul rasa
takut akan penerimaan orang tua baru dan takut akan pernikahan (Ismiati, 2018).
Anak remaja yang menjadi korban perceraian rumah tangga juga merasa kehilangan salah satu
tokoh panutan mereka. Hal ini menyebabkan tuntutan anak dalam penyesuaian diri kembali pada
sang anak. Sejalan dengan Mone (2019) bahwasannya perceraian orang tua menimbulkan
beberapa resiko untuk anak, yaitu: (1) Anak merasa kehilangan sosok ayah atau ibu; (2)
Menurunnya prestasi belajar; (3) Dapat menyalahkan diri nya atas kasus perceraian orang tuanya;
(4) Merasa khawatir kehilangan kasih sayang. Ukoli et al., (2020) juga menjelaskan bahwa remaja
yang memiliki orang tua bercerai dan tidak tinggal serumah dapat menimbulkan kenakalan remaja
yang didasari oleh kebutuhan individu untuk mendapatkan perawatan lingkungan dan
pemenuhan kebutuhan hidup yang seharusnya diperoleh dari kedua orang tua.

Anak remaja dapat bangkit atau tidaknya dari suatu ketepurukan dapat dipengaruhi berdasarkan
kemampuan resiliensi yang mereka miliki. VanBreda (VanBrenda, A, 2001) menjelaskan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan atau kekuatan individu untuk bangkit dari keterpurukannya.
Adanya keingingan sang anak untuk bangkit dari keterpurukan ini dapat menjadikan kuatnya
mental sang anak. Hal ini dijelaskan juga oleh Reivich dan Shatte (2002) bahwa resiliensi adalah
kemampuan individu untuk bangkit menanggapi kesulitan dengan cara yang sehat dan produktif.
Holaday dan McPhearson (Holaday & McPhearson, 2011) menunjukan bahwa terdapat hal-hal
40
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

yang dapat mempengaruhi resiliensi diantaranya, yaitu: (1) dukungan sosial yang mencakup
pengaruh budaya dan komunitas, dukungan keluarga dan personal dan dukungan sekolah; (2)
sumber daya psikologis; (3) keterampilan kognitif mencakup kontrol pribadi individu dan
pemaknaan, kecerdasan, dan coping style). Resiliensi juga dapat dipengaruhi karena beberapa
faktor, yaitu: (1) keluarga, Pola kedekatan hubungan dengan orang tua seperti bentuk perhatian,
kepedulian, pola asuh, perkembangan individu, kondisi sosial ekonomi, harmonisnya hubungan
keluarga; (2) individu, berasal dari diri individu seperti sociable, self efficacy, bakat, self confident,
dan harga diri tinggi; (3) komunitas, memberikan pengaruh resiliensi dalam bentuk perhatian dari
komunitas dan aktif di dalam komunitas tersebut (Hadianti et al., 2017).

Reivich dan Shatte (2002) menjabarkan beberapa aspek resiliensi, yaitu regulasi emosi, empati,
peningkatan aspek positif, dan pengendalian impuls, efikasi diri, optimisme, dan analisis penyebab
masalah. Pertama, Regulasi emosi adalah kemampuan dalam menenangkan diri agar tetap tenang
dalan kondisi yang menekan. Individu yang dapat mengatur emosi dan memahami emosi dirinya
maupun orang lain dengan baik, maka individu tersebut cenderung memiliki self esteem dan
hubungan yang baik dengan individu lain. Ketrampilan individu untuk fokus dan tenang dapat
meregulasi emosi dengan mudah. Kedua, Empati yaitu ketika individu mampu untuk memahami dan
mengetahui kondisi psikologis individu lain. Ketiga, reaching out ketika individu mampu memberikan
pencapaian atau keberhasilan terhadap permasalahan. Keempat, pengendalian impuls yaitu
kemampuan individu dalam pengendalian suatu keinginan, dorongan, dan tekanan yang ada pada
diri. Kelima, efikasi diri adalah kemampuan individu saat memecahkan suatu permasalahan dalam
memperoleh keberhasilannya. Keenam, optimisme adalah sikap percaya untuk menghadapi dan
menangani permasalahan dan yakin akan masa depan cemerlang. Terakhir, analisis penyebab
masalah adalah kemampuan individu menganalisis penyebab dari permasalahan yang ada pada
dirinya. Setiap anak memiliki kemampuan resiliensi yang berbeda-beda.

Connor Davidson menyatakan aspek-aspek lain diantaranya, yaitu: (1) Kompetensi pribadi; (2)
Spiritualitas; (3) Penerimaan diri; (4) Kontrol diri; (5) Percaya diri Masa remaja dapat disebut sebagai
masa peralihan antara anak-anak menuju dewasa yang biasanya ditandai dengan adanya
pertumbuhan dan perkembangan biologis serta psikologis (Connor & Davidson, 2003). Menurut
Grotberg (dalam (Wahidah, 2018) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi remaja dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, diantaranya yaitu I Have, I am, dan I can. Pertama,
I have merupakan dukungan dari luar diri individu (eksternal support) yang dapat membantu
individu menjadi resilien. Salah satu contohnya yaitu role model yang baik. Kedua, I am merupakan
kekuatan yang berasal dari dalam diri individu yang mana secara perlahan dapat berkembang. I am
meliputi optimisme, empati, kualitas diri, kepercayaan diri, dan kemampuan pribadi. Terakhir, I can
merupakan kemampuan individu dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang mana meliputi
individu mampu untuk menyelesaikan tugas dan memunculkan ide kreatif untuk mengatasi
permasalahan.

Sarwono (2011) menjelaskan bahwasannya perkembangan merupakan suatu usaha penyesuaian diri
atau coping yang mana nantinya secara aktif dapat mengatasi stres dan mencari solusi dari berbagai
macam masalah yang sedang dihadapi. Hal ini ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Dekuanti (2019) dengan judul “Resiliensi Remaja Dengan Orang Tua Bercerai Yang Tinggal Bersama
Keluarga Besar” yang menyatakan bahwa dari tiga subjek, ketiga nya memiliki kemampuan resiliensi
baik. Hal ini ditunjukan subjek memiliki harga diri, optimisme masa depan, memiliki otonomi dan
kebanggan atas dirinya sendiri. Selain itu, penelitian Septiyani (2018) dengan judul “Resiliensi
Remaja Broken Home (Studi Kasus Remaja Putri di Desa Luwung RT 03 RW 02 Kecamatan rakit
Kabupaten Banjarnegara)” menunjukan bahwa subjek memiliki kemampuan resiliensi dengan baik

41
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

karena subjek telah mengetahui penyebab perceraian orang tuanya. Hal ini menyebabkan subjek
dapat mengambil hikmah dari perceraian orang tuanya, dapat mengontrol emosi, dan optimis akan
cita-cita masa depan.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti tidak semua remaja korban perceraian
orang tua dapat bersikap resilien terhadap permasalahannya. Peneliti menemukan fakta bahwa
resilien atau tidak resiliennya remaja dapat dipengaruhi oleh kondisi keluarga sebelum dan sesudah
perceraian, dan dinamika pemecahan masalah remaja. Sebelum perceraian orang tua, Subjek
pertama, cenderung mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya dan jarang mengalami
pertengkaran. Namun, setelah adanya perceraian subjek merasa kurang mendapatkan perhatian,
arahan, dan dorongan atau motivasi diri namun orang tua selalu memberikan tekanantekanan
terhadap subjek. Hal ini menimbulkan dampak bagi subjek, yaitu adanya perasaan stres, pesimis,
dan kebingungan dalam pencapaian keinginannya di masa depan.

Perbedaan kondisi sebelum dan sesudah pada subjek kedua. Sebelum perceraian orang tua, Subjek
kedua tidak merasa dekat dengan Ayah dan kerap kali bertengkar dengan sang Ayah. Namun, Subjek
kedua memiliki kedekatan yang erat dengan sang Ibu. Setelah perceraian orang tua, Subjek
cenderung merasa kaget dikarenakan adanya perubahan ekonomi. Hal ini menimbulkan perasaan
negatif subjek dan rasa benci terhadap salah satu orang tuanya. Subjek kedua dapat dikatakan
bangkit dari permsalahannya dengan memunculkan sikap yang sesuai dengan aspek-aspek dan
faktor dari resiliensi..

Fakta bahwa tidak semua remaja korban perceraian orang tua dapat resilien diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan Detta dan Abdullah (2017) dengan judul
“Dinamika Resiliensi Remaja Dengan Keluarga Broken Home” menunjukan hasil bahwa pada subjek
pertama memiliki kemampuan resiliensi baik pada segi spiritual dan proses belajar pengevaluasian
akan permasalahan yang dimiliki. Pada subjek kedua didapatkan hasil bahwa kemampuan resiliensi
kurang baik karena subjek masih takut akan pengalaman perceraian yang mana hal ini
menyebabkan individu ragu dengan kemampuan yang dimilikinya dan berpikir bahwa permasalahan
tersebut terjadi hingga masa depan. Penelitian Rizkiani & Susandari (2018) dengan judul “Studi
Deskripsif Mengenai Resiliensi pada Remaja Broken Home di Komunitas HOLD ON Kota Bandung”
juga menunjukan hasil bahwa subjek yang diteliti memiliki resiliensi rendah, namun memiliki self
efficacy dan reaching out yang tinggi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui gambaran dan faktor yang
mempengaruhi resiliensi pada remaja korban perceraian orang tua.

METODE
Penelitian dengan judul “Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua” ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hal ini bertujuan untuk mengekplorasi mengenai
peristiwa atau kejadian yang dialami subjek. Sutopo dan Arief (dalam Suwendra, (2018))
menjelaskan bahwasannya penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan
mendeskripsikan suatu peristiwa, sikap, persepsi, dan pemikiran individu. Studi kasus ini dipilih agar
peneliti mendapatkan informasi dan mendalami suatu kasus. Creswell, J. W., & Creswell (2018)
menjelaskan juga bahwasannya studi kasus merupakan pendekatan dari metode kualitatif yang
bersifat mendalam terhadap suatu kasus yang dianggap unik pada fenomena tertentu. Penelitian
kualitatif ini ingin mengetahui gambaran dan faktor yang mempengaruhi resiliensi pada remaja
korban perceraian orang tua.

42
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Teknik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Purposive
sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kriteria tertentu
(Sugiyono, 2017). Pada pemilihan subjek terdapat beberapa kriteria yang diberikan, yaitu : (1) Subjek
berusia 15-22 tahun; (2) Orang tua mengalami perceraian. Berdasarkan kriteria tersebut peneliti
menemukan dua orang subjek sebagai berikut:
Tabel 1.
Subjek Penelitian

Subjek Nama Umur


Subjek 1 Cantik 20 tahun
Subjek 2 Budi 21 tahun

Pada penelitian kualitataif ada beberapa teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi,
dokumen, dan focus group discussion (FDG) (Rahmat, 2009). Akan tetapi, pada penelitian ini
menggunakan metode wawancara sebagai teknik pengumpulan datanya. Wawancara yang dilakukan
ini bersifat wawancara semi terstuktur yaitu wawancara dilakukan dengan cara memberikan
pertanyaan secara terbuka dan dilakukan dengan fleksibel, terkontrol, namun tetap memiliki alur
dan tidak keluar dari tema pembicara. Tujuan dari wawacara ini ialah agar peneliti dapat memahami
fenomena yang terjadi. Rahmat (2009) menunjukan bahwa terdapat beberapa cara yang dilakukan
seorang peniliti, yaitu: (1) Peneliti menggunakan intonasi suara yang tegas; (2) Berbicara tidak terlalu
cepat ataupun lambat; (3) Memperhatikan sensitifitas pertanyaan; (4) Kontak mata; (5) Memiliki
kepakaan secara nonverbal.

Data-data yang telah diperoleh nantinya akan dianalisis. Penelitian ini menggunakan uji kredibilitas
dengan metode member checking dan uji triangulasi data. Member checking merupakan
penyerahan hasil dari penelitian akan kepada subjek untuk di check kembali dengan tujuan untuk
memastikan sesuai atau tidaknya hasil penelitian dengan maksud subjek. Hal ini dilakukan agar
meningkatkan validasi data. Uji triangulasi data merupakan menghubungkan hasil wawancara
dengan subjek dan significant other.

Pada penelitian kualitatif ini teknik analisis data ada beberapa macam, diantaranya, yaitu: discourse
analysis, hematic analysis, dan content analysis (Heriyanto, 2018). Teknik analisa data dalam
penelitian ini menggunakan analisis tematik. Analisis tematik merupakan teknik analisis data
dengan cara mengidentifikasi pola untuk mengetahui dengan detail data-data kualitatif (Heriyanto,
2018). Penggunaan analisis tematik dapat mempermudah peneliti untuk mengidentifikasi beberapa
tema yang muncul dan akan diinteprestasikan menjadi pembahasan.

HASIL
Data ini diperoleh dari dua subjek remaja yang merupakan korban dari perceraian orang tua. Data
telah dianalisis berdasarkan beberapa tema utama, yaitu kondisi subjek sebelum perceraian orang
tua, kondisi subjek setelah perceraian orang tua, kemampuan penyelesaian masalah, dan faktor
resiliensi.
Tema: Kondisi sebelum perceraian orang tua
Terkait kondisi sebelum perceraian orang tua terdiri dari dua dua subtema:

43
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Subtema: Hubungan dengan orang tua


Sebelum orang tua bercerai, Cantik (20 th) merupakan anak tunggal yang mana dirinya
mendapatkan perhatian dan kedekatan dengan orang tuanya. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan
subjek
“ya sama kayak orang tua pada umumnya, peduli dan dimarahi kalau emang ada salah ya
selebihnya sama.” (Cantik, 28 Januari 2022)

Hal ini berbeda dengan Budi (21 th) sebagai subjek kedua. Sebelum orang tua bercerai dirinya
merasa hanya dekat dengan sang Ibu dan kurang dekat dengan sang Ayah karena sifat Ayah yang
cenderung pendiam dan tidak banyak bicara. Selain itu dirinya sering beradu argumen dengan sang
ayah. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Deket banget, banget. kadang kalo aku mau makan, aku manggil mamaku dulu buat
nemenin, jadi biar makan bareng” (Budi, 4 Februari 2022) “aku sebener e ga seberapa
deket sama ayahku, makanan senenengane ae ga tau aku. bapak ku itu pendiam sama ga
banyak ngomong” (Budi, 4 Februari 2022)
“panutan sebagai peran ayah dalam mengerjakan tugas ae, tapi engga lek kayak ngunu,
makane aku sering tukaran karena negur itu” (Budi, 30 Maret 2022)

Perilaku Budi (21 th) yang kerap kali beradu argumen dengan sang ayah ditegaskan kembali oleh
Rara (26 th) selaku saudara kandung dan Lala (22 th) selaku pasangan subjek
“bapake yo ngebiarno Budi, wes ancen ga akur kan jadi yo ngunu” (Rara,3 April 2022)
“kalau sama bapak e ga deket bahkan mereka sering berantem, eh tapi ga sering seh tapi ya
berantem berantem gitu lah” (Lala, 20 Februari
2022)

Sub tema: Tanggung jawab orang tua


Kedua subjek menyatakan bahwa kedua orang tua nya masih bertanggung jawab untuk
membiayai keluarga. Hal ini dinyatakakan oleh kedua subjek
“ya sama kayak orang tua pada umumnya(tanggung jawab), peduli dan dimarahi kalau
emang ada salah ya selebihnya sama.” (Cantik, 28 Januari 2022).

“dapet kalau nafkah, cuman kebiasan buruk e tadi ae yang masalah dan semakin lama malah
jadi, akhire pisah dan engga ada tanggung jawab e” (Budi, 30 Maret 2022)

Tema: Kondisi setelah peceraian


Terkait kondisi sebelum perceraian orang tua terdiri dari empat subtema:
Subtema:Penyebab perceraian orang tua
Terkait alasan atau penyebab perceraian orang tua, kedua subjek memiliki pemahaman yang
berbeda. Subjek Cantik (20 th) menyatakan bahwa orang tua nya bercerai ketika dirinya berusia
delapan tahun dan belum mengetahui penyebab perceraian orang tuanya. Pada saat itu Ia hanya
merasakan pasrah dan mengikuti keputusan orang tua nya. Namun, ketika Cantik (20 th) menginjak
SMP dirinya baru mengetahui penyebab perceraian orang tua dikarenakan ketidakcocokan. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek
“T: Ketika Cantik dengar kalo orang tua Cantik bercerai, apa yang kamu lakukan?

44
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Cantik: Gaada se karena waktu itu masih kecil jadi juga belum tau apa-apa bisanya cuma
nurut, mau dibawa mama ataupun ayah kala itu ya nurut ajadeh ngikut yang katanya itu
baik” (Cantik, 28 Januari 2022)
“T: dari adanya kasus perceraian orang tua mu, apakah kamu tau penyebab perceraian itu?

Cantik: awalnya aku gatau, ya taunya cuman pisah aja tapi semakin gede aku tau dan alasan
utamanya karena mereka ga cocok sih. aku taunya pas SMP tapi lupa tepatnya pas kelas
berapa” (Cantik, 28 Januari 2022)

Peristiwa yang dialami subjek Cantikntik berbeda dengan Subjek Budi (21 th). Subjek Budi (21 th)
menyatakan bahwa orang tuanya bercerai ketika dirinya menginjak usia SMA dengan alasan
perselingkuhan. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek “alasan mereka pisah karena ayahku.
ayahku kan kayak garangan, punya uang dikit cari mangsa
jadi ya milih pisah” (Budi, 4 Februari 2022)

Subtema: Hubungan dengan orang tua


Setelah adanya perceraian orang tua, hubungan subjek Cantik (21 th) hubungannya dengan
kedua orang tuanya semakin merenggang, bersikap individu, dan kurang perhatian. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Sekarang gabisa sama-sama dengan orang tua lagi sih yang paling besar, jadi ya apa-apa
jadinya sendiri, gaada dampingan khusus dari mereka” (Cantik, 28 Januari 2022) “iya,
mulai individu gitu kan, kayak ya bertanggung jawabnya hanya dari segi materi aja sih.”
(Cantik, 28 Januari 2022 “kalau hubungan (komunikasi dengan orang tua) masih sama ya,
masih jarang komunikasi, jarang ketemu, cuman sekedar tanya nilai doang.” ((Cantik, 28
Maret 2022), B23-24)

“T: Untuk perhatian-perhatian kecil seperti telpon, tanya kabar, jalan-jalan bareng, itu masih
dilakukan ?
Cantik: engga, ya ada seh tapi jarang” (Cantik,

28 Januari 2022

Subjek Cantik (20 th) menambahkan alasan lainnya bahwa dirinya kini hanya tinggal bersama
sang nenek saja sedangkan dirinya tidak memiliki kedekatan dengan sang nenek. Hubungan yang
kurang baik antara subjek dengan orang tua dan neneknya menyebabkan dirinya menjadi kesepian.
Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Aku sama eyang sekarang” (Cantik, 28 Januari 2022).
“[...]sama eyang biasa aja aja ga terlalu deket, sesekali ngobrol, dirumah kayak biasa aja ga
banyak obrolan lebih sering marah-marah” (Cantik, 28 Maret 2022)
“so far se iya ngerasa gitu (kesepian) bahkan disaat ada di tempat rame pun sama” (Cantik,
28

Januari 2022)
Hubungan dengan orang tua setelah bercerai ini hampir serupa dengan Budi (21 th). Budi (21
th) memiliki hubungan yang kurang dekat dengan sang ayah. Namun dirinya menyatakan bahwa
dirinya sangat dekat dengan sang ibu. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek “Deket banget,
banget. kadang kalo aku mau makan, aku manggil mamaku dulu buat nemenin, jadi biar makan
bareng” (Budi, 4 Februari 2022) “kalo bapak udah gaada (tangggung jawab), dia menghilang

45
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

kayak anjing, sampai sekarang aja aku gatau dia dimana. Kalo mama masih perhatian, masih
sama” ((Budi, 4 Februari 2022)

Subtema: Tanggung jawab


Kedua orang tua subjek memberikan perlakuan berbeda mengenai tanggung jawab setelah bercerai.
Cantik (20 th) menyatakan bahwa orang tua masih memberikan tanggung jawab namun dalam
bentuk materi. Sedangkan Budi (21 th) menyatakan bahwa dirinya mendapat tanggung jawab penuh
dari sang ibu namun tidak dengan sang ayah. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“iya, mulai individu gitu kan, kayak ya bertanggung jawabnya hanya dari segi materi aja sih.”
(Cantik,

28 Januari 2022)

“kalo bapak udah gaada (tangggung jawab), dia menghilang kayak anjing, sampai sekarang
aja aku gatau dia dimana[...]” (Budi, 4 Februari

2022)

Subtema: Dampak perceraian orang tua


Adanya percereraian orang tua tentunya akan berdampak pada kehidupan sang anak. Kedua
subjek merasa bahwa pada awalnya perceraian orang tuanya menyebabkan mereka menjadi sulit
mengendalikan emosi. Cantik (21 th) menyatakan bahwa dirinya kerap kali sering menangis ketika
dihadapi sebuah permasalahan ataupun ketika dirinya dalam kondisi baik-baik saja. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek
“[...]kalo bener-bener masalah nya di depan mata tiba-tiba nangis aja gitu. Bahkan ada momen
dimana enggak kenapa-kenapa gaada masalah, engga ada apaapa tapi kebawa pingin nangis dan
ya akhirnya nangis juga padahal engga ngapa-ngapain” (Cantik, 28

Januari 2022)

Pernyataan Cantik (21 th) ditegaskan oleh Fafa (21 th) selaku teman dekat subjek, yakni:
“Waktu dia SMA kak, dia sempet cerita kalau nilainya mulai turun karena dia merasa bosan
dituntut terus menerus sama orang tua dan eyangnya, akhirnya dia berantem sama orang
tuanya dan yang bisa dilakukan Cuma nangis”

(Fafa, 1 April 2022)

Pada saat SMA, Budi (21 th) pun juga menyatakan bahwa dirinya sering berkata kasar dan
pemarah. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“[...]Dulu kalo marah kata-kata ku kasar tapi sekarang wes engga“ (Budi, 4 Februari 2022)
“T: itu tawuran sering?

Budi: iya sering, maka ne sampek dipanggil kepsek” (Budi, 30 Maret 2022)
Hal ini ditegaskan oleh Lala (22 th) selaku pasangan subjek dan Rara (26 th) selaku saudara kandung
subjek “Sering berantem sama bapak e tadi, terus kayak mudah marah gitu ya masio hal sepele,
Terus contohnya tementemenku dijak i tukaran kabeh” (Lala, 20 Februari 2022)

“gara-gara tawuran, kadang dee (dia) belani mama ne, wes banyak ancen dee (dia)
ngamukan” (Rara, 3 April 2022)

46
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Adapun dampak lain yang dirasakan kedua subjek adalah hilangnya dampingan dari kedua orang
tua. Sejak perceraian orang tuanya, subjek Budi (21 th) tidak lagi mendapatkan dampingan penuh
dari kedua orang tuanya. Akan tetapi, dirinya masih mendapatkan dampingan dari ibu dan saudara
kandungnya saja. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Kalo mama masih perhatian, masih sama (perhatian dan tanggung jawab)” (Budi, 4
Februari 2022)
“yang paling berperan besar mama, mbak ku sama L, soale mereka yang dukung aku, lek ga
gitu paling aku mboh yaopo saiki hahaha” (Budi, 30 Maret 2022)

Hal ini berbeda dengan Cantik (20 th) yang mana dirinya kehilangan pendamping dari kedua orang
tuanya sehingga dirinya merasa kesepian dan tertekan atas tuntutan prestasi oleh kedua orang
tuanya. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Sekarang gabisa sama-sama dengan orang tua lagi sih yang paling besar, jadi ya apa-apa
jadinya sendiri, gaada dampingan khusus dari mereka” (Cantik, 28 Januari 2022)

“so far se iya ngerasa gitu (kesepian) bahkan disaat ada di tempat rame pun sama” (Cantik,
28 Januari 2022)
“Ngerasa udah pressure aja waktu itu, kan selama dari SMP mereka cerai itu mesti dituntut
untuk dapat nilai tinggi tapi semakin jauh ke SMA rasanya gapernah cukup aja buat mereka,
akhirnya aku lepasin semua” (Cantik, 28 Januari 2022)

“Kalau dari prestasi se pas awal masih stabil baru dari SMA itu udah puncak kehancuran
prestasi, kalau pergaulan sejauh ini aman, masih bener-bener aja, kegiatan sehari-hari se ya
kayak remaja pada umumnya” (Cantik, 28 Januari 2022)

Perceraian orang tua ini menimbulkan dampak tambahan untuk Cantik (20 th), diantaranya yaitu: (1)
pribadi tertutup; (2) tidak mudah percaya orang lain; (3) hilangnya minat berumah tangga. Hal ini
ditunjukan subjek oleh pernyataan
“jadi ga percaya sama orang lain itu efek terbesarnya sih” (Cantik, 28 Maret 2022)
“minat nikah aja ngga” (Cantik, 28 Januari 2022)

“[...]selama gaada yang bisa buat aku yakin kalau nikah itu akan baik-baik saja rasae
aku gamau ngelakuin itu.” (Cantik, 28 Januari

2022)

Pernyataan subjek pun ditegaskan kembali oleh teman dekat subjek


“Dia orangnya itu tertutup dan nggak gampang percaya sama deket dengan orang lain.
Mungkin karena efek dari permasalahannya itu ya mbak jadinya dia lebih memilih buat
percaya ke diri sendiri aja dan nyenengin diri sendiri.” (Sasa, 5 Februari

“Kalo yang saya lihat iya tertutup karena dia akan cerita kalo temennya itu udah deket
banget sama dia, orang yang dia percaya” (Fafa, 1 April 2022

“[...]tapi sejauh ini dia lebih enjoy sama hidupya sendiri” (Fafa, 1 April 2022)

Tema: Dinamika mengatasi permasalahan


Setiap individu memiliki kemampuannya masingmasing untuk bangkit dalam menghadapi kesulitan
yang mereka alami, diantaranya yaitu:

47
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Subtema: Regulasi emosi


Pada aspek regulasi emosi menunjukan bahwa kedua subjek memiliki kemampuan regulasi emosi
yang berbeda. Budi (21 th) cenderung memiliki kemampuan regulasi yang lebih baik dibandingkan
Cantik (20 th). Hal ini dikarenakan Budi (21 th) dapat mengendalikan emosinya dengan sikap tenang,
dan menerima masalalu. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“aku wes ngelupain yang lalu, wes maafin juga[…]” ((Budi, 30 Maret 2022) “T: kalo ketemu
kamu (ayah) emang engga emosi?
“Budi: paling cuman keinget yang dulu tapi wes engga, wes biarkan yang dulu, lek tak pikir
kayak gini udah yang bener, daripada sama mamaku nanti malah sakno mamaku” (Budi, 30
Maret 2022)

“sekarang wes ngontrol emosi pas marah. Dulu kalo marah kata-kata ku kasar tapi sekarang
wes engga” (Budi, 4 Februari 2022) “selain cerita sama cewekku paling main sama temen
atau jalan-jalan sama cewekku. Tapi lek wes tenang baru aku selesaiin” (Budi, 4 Februari

2022)

“Budi: kan kalau kontrol itu bisa janjian sama dokter e lagian kuliahku online, jadi wes
dibawa enjoy ae lah” (Budi, 30 Maret 2022)

Pernyataan subjek ditegaskan kembali oleh Rara (26 th) selaku saudara kandung dan Lala (22 th)
selaku pasangan subjek
“sekarang udah bisa ngendaliin emosi, pokok e pas dia pertengahan kuliah itu dia berubah,
wes bisa tenang dan ngendaliin emosi” (Lala, 20

Februari 2022)

“lek (kalau) sekarang, Budi lebih tenang dee (dia), wes mandiri lah istilah e, engga manja”

(Rara, 3 April 2022)

Perbedaan ditunjukan oleh subjek Cantik (20 th) yang mana dirinya masih cenderung labil dalam
mengatasi emosinya. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“[...]auto nangis sih dan udah gabisa berkatakata sama sekali walaupun mungkin di dalam
hati pingin jawab, pingin kasih sanggahan tapi mesti kalah sama emosional nangis tadi[...]
(Cantik, 28 Januari 2022)
“kalau sekarang sudah lumayan bisa ngurangin tapi terkadang sesekali masih kayak gitu sih
(menangis), cuman intesitasnya udah ga sesering
dulu” (Cantik, 28 Januari 2022)

Subtema: Empati
Pada aspek empati, kedua subjek menunjukan kemampuan empati yang berbeda. Cantik (20 th)
belum mampu untuk menyadari alasan dan tindakan yang dilakukan oleh nenek dan orang tua.
Subjek hanya menganggap bahwa tindakan orang tua dan neneknya hanya marah-marah saja.
“eyang sama aja se kayak orang tua hehe sedikit peduli banyak marah-marah” (Cantik, 28
Januari 2022)

“T: Dari omelan eyang mu ini, apa kamu pernah terpikirkan kalau misalnya omelan nya dia
itu sebenernya menunjukan perhatian? contohnya kayak kamu bangun siang dimarahin, kalo

48
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

dari sisi lain kita bisa lihat nih kalo eyang ngelarang bangun siang karena biar kamu engga
malas, gitu?
Caantik: Mmmm... iya sih, eyang itu emang keras kalo didik” (Cantik, 28 Maret 2022)
Sedangkan Budi (21 th) memiliki kemampuan yang cukup baik, dirinya dapat mengerti perasaan
ibunya.
“Jelas kaget, kecewa karena ayahku ninggalin mamaku. Tapi mending gitu daripada nyakitin
mamaku terus” (Budi, 4 Februari 2022) “[...]wes biarkan yang dulu, lek tak pikir kayak gini
udah yang bener, daripada sama mamaku nanti malah sakno mamaku” (Budi, 30 Maret
2022)

“yang ganti (mencari nafkah) mbak, tapi aku ga tega jadi bantu nyari kerja sisan. Dulu
pernah casual di hotel, kerja pelayan di restoran. Jadi kuliah nyambi kerja. tapi Sekarang
sudah keluar disuruh berhenti sama mama kata e fokus kuliah ae” (Budi, 4 Februari 2022)

Subtema: Efikasi diri


Pada aspek efikasi diri menunjukan bahwa Budi (21 th) memiliki kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan Cantik (20 th). Hal ini dikarenakan Budi (21 th) memiliki keyakinan dalam
menyelesaikan permasalahannya dan dirinya juga tidak memiliki ketakutan dalam pernikahan. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek “T: Selain proyek an itu apa kamu udah nyiapin alternatif lain?
Budi: Selain proyekan paling aku masukin lamaran mandiri, pokoke sampe dapet” (Budi, 30
Maret 2022)

“kalau boleh kasih rating 1-10, seberapa yakin kamu sama dirimu sendiri bisa nyelesaiin
itu? Budi: 8,5 soale kan aku masi penelitian” (Budi, 30 Maret 2022)

“T: Alhamdullilah, adanya kejadian ini semua, kamu punya ketakutan untuk berhubungan
dengan lawan jenis ga?

Budi: Enggak, aku punya cewek dari SMP sampai sekarang[...]” (Budi, 30 Maret 2022)
Hal ini dibenarkan oleh Lala (22 th) selaku orang terdekat subjek
“Dari dulu dia emang udah ada pandangan” (Lala, 20 Februari 2022)
“T: alhamdullilah sekarang lebih mandiri, tanggung jawab sama dewasa ya mbak.. terus Budi
sama L itu udah lama ta mbak?
R: wes lama itu dari SMP” (Rara, 3 April 2022)

Sedangkan Cantik (20 th) hingga saat ini masih merasa tidak berguna, tidak memiliki
keyakinan dapat menyelesaikan permasalahan, dan tidak memiliki keyakinan dalam suatu
hubungan rumah tangga. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek “bener-bener engga berani,
sekalipun berani paling di awal-awal dan waktu didebat juga pasti diem bahkan nangis makanya
sampai sekarang gaperna berani ngasih jawaban atau sanggahan walaupun ditanya cuma bisa
jawab iya atau engga” (Cantik, 28 Januari 2022) “[...]selama gaada yang bisa buat aku yakin
kalau nikah itu akan baik-baik saja rasae aku gamau ngelakuin itu.” (Cantik, 28 Januari 2022)
“Sejauh ini masih ngerasa useless ajasi” (Cantik,

28 Januari 2022)

49
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Hal ini dibenarkan oleh Sasa (20 th) selaku SO subjek “ngerasa ngga ada yang ngertiin dia gitu,
jadi merasa gaada yang ngedukung itu yang ngebuat dia ngerasa useless” (Sasa, 5 Februari
2022)
Subtema: Optimisme
Pada aspek ini menunjukan bahwa Budi (21 th) memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan
dengan Cantik (20 th). Hal ini dikarenakan Budi (21 th) telah memiliki pandangan akan masa depan
dan yakin untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan
subjek
“T: Selain proyek an itu apa kamu udah nyiapin alternatif lain?

Budi: Selain proyekan paling aku masukin lamaran mandiri, pokoke sampe dapet” (Budi, 30
Maret 2022)
“T: target habis lulus kira-kira apa Budi?

Budi: aku se pingin e nyari kerja sing selaras”

(Budi, 30 Maret 2022)

Pernyataan subjek ditegaskan kembali Lala (22 th) selaku pasangan subjek
“Dari dulu dia emang udah ada pandangan”

(Lala, 20 Februari 2022)

Hal ini berbanding terbalik dengan Cantik (20 th). Hingga saat ini Cantik (20 th) cenderung merasa
pesimis dan bingung atas masa depannya. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“Sebenernya pengen (mengeluarkan isi hati) tapi dari awal udah ngerasa engga bakal
diterima juga jadi yauda, terima aja” (Cantik, 28 Januari 2022)
“Belum pernah (mengutarakan pendapat), tapi ya sama aja sih takut dimaraih dan aku harus
nurutin maunya mereka. Jadi daripada berkepanjangan mending aku diem.” (Cantik, 28
Januari 2022)
“T: [...]menurutmu dari 1 sampai 10 berapa siih keyakinan kamu dalam mencapai hal itu?
Cantik: nah ini gimana ya ngasih score nya soalnya kadang juga pesimis” (Cantik, 28

Januari 2022)

Pernyataan subjek ditegaskan kembali oleh Fafa (20 th) selaku teman dekat subjek
“sejauh ini sih yang saya tahu dia cuman mau hidup sendiri kak, kayak ngehasilin uang
sendiri Cuma kadang dia pesimis” (Fafa, 1 April 2022)
“kadang dia semangat kadang dia ragu bisa apa
engganya kak” (Fafa, 1 April 2022)

Subtema: Analisis masalah


Pada aspek ini menunjukan bahwa kedua subjek memahami alasan perceraian orang tuanya.
Hal ini ditunjukan oleh pernyataan kedua subjek “[...]semakin gede aku tau dan alasan utamanya
karena mereka ga cocok sih. aku taunya pas SMP tapi lupa tepatnya pas kelas berapa” (Cantik, 28
Januari 2022)

50
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

“alasan mereka pisah karena ayahku. ayahku kan kayak garangan, punya uang dikit cari
mangsa jadi ya mamaku milih pisah” (Budi, 4 Februari 2022)

“T: Oh iya, kamu bilang tinggal sama ponakan juga kan, nah yang jaga ponakanmu itu siapa
kalau semisal mbakmu lagi kerja? BUDI: Mbakku kan cerai wes an, suami e yo ngunu iku
lah, akhir e anak e sing jaga mama atau aku” (Budi, 30

Maret 2022)

Akan tetapi, Budi (21 th) cenderung lebih baik dalam menganalisis permasalahannya. Budi (21 th)
mengerti situasi dan permasalahan dalam keluarganya. Hal ini ditunjukan oleh sikap Budi (21 th)
“T: Oh iya, kamu bilang tinggal sama ponakan juga kan, nah yang jaga ponakanmu itu siapa
kalau semisal mbakmu lagi kerja? Budi: Mbakku kan cerai wes an, suami e yo ngunu iku lah,
akhir e anak e sing jaga mama atau aku”

(Budi, 30 Maret 2022)

Sedangkan Cantik (20 th) belum dapat menganalisis permasalahan pada dirinya. Hal ini ditunjukan
dari pernyataan subjek “T: kendala apa yang membuat kamu merasa pesimis? Cantik: Entahlah,
ngerasa gitu aja” (Cantik, 28 Januari 2022)

Subtema: Kontrol impuls


Pada aspek ini menunjukan bahwa Budi (21 th) memiliki kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan Cantik (20 th). Hal ini dikarenakan Cantik (20 th) belum dapat mengontrol
dorongan diri dan cenderung menghindari masalah. Pernyataan ini ditunjukan dari pernyataan
subjek Cantikntik (20 th) “[...]pingin bisa independent tapi setelahnya yauda balik lagi” (Cantik, 28
Januari 2022)
“ya yauda lupain, anggep aja ga liat dan engga ada masalah apa-apa” (Cantik, 28 Januari
2022) “Aku lebih ke menyendiri, jalan-jalan, foto-foto, gitu sih. Biar lupa sedihku tadi”
(Cantik,28 Januari 2022)

“kalo eyang marah-marah aku biasanya diem langsung masuk kamar, nangis yaudah aku
biarin
aja” (Cantik, 28 Maret 2022) “T: kamu udah coba untuk PDKT ke eyang belum?

Cantik: Engga berani, udah aku biarin aja gitu, daripada nanti debat lagi “(Cantik, 28 Maret
2022)
“Menghilang hehe, enggak mau ketemu mereka HP mati, sama nginep di rumah saudara
tanpa mereka tau” (Cantik, 28 Januari 2022)

Perbedaan ditunjukan oleh subjek Budi (21 th) yang mana dirinya dapat menahan emosi
negatifnya dengan cara mencari solusi tanpa merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan
subjek “T: Healing-healing gitu ya berarti
Budi: iyo gitu lah, buat tenangin kepala ae, nanti kalau sudah aku langsung selesaiin, jadi
aku jalan-jalan itu yo sama mikir tapi ibarat e dengan cara yang tenang” (Budi, 30 Maret
2022) “selain cerita sama cewekku paling main sama temen atau jalan-jalan sama cewekku.
Tapi lek wes tenang baru aku selesaiin” (Budi, 4 Februari 2022)

Hal ini di tegaskan kembali oleh Rara (26 th) selaku saudara subjek

51
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

“Budi itu sekarang anak e tanggung jawab, walaupun dee (dia) keluar rumah sek, tapi pas
uda tenang pasti diselesaikno kok[...]” (Rara, 3

April 2022)

Subtema: Reaching out


Pada aspek ini menunjukan bahwa Budi (21 th) memiliki kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan Cantik (20 th). Hal ini dikarenakan Cantik (20 th) hingga saat ini belum
bertindak untuk menyelesaikan permasalahannya.

Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek


“T: [...] kira-kira sampai kapan kamu mau berdiam diri Ca?
Cantik: Aku gatau pastinya, bener bener engga berani aja, kan sekarang kondisi juga lagi
baikbaik aja jadi yauda gini ae gapapa, diterima aja” (Cantik, 28 Maret 2022) “T: [...]apa
kamu sudah pernah mencoba buat mengambil hati eyang mu?

Cantik: Belum sih, kalo eyang marah-marah aku biasanya diem langsung masuk kamar,
nangis
yaudah aku biarin aja.” (Cantik, 28 Maret 2022)

Sedangkan Budi telah berhasil untuk menyelesaiakan permalahannya, seperti menggantikan peran
pekerjaan sang ayah, mencari solusi atas permasalahan finansial. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan
subjek
“[...]Intinya untuk saat ini aku udah bisa memahami sekitar contoh kecil kayak benerin
listrik, gantiin lampu, pasang LPG, semua yang dilakuin ayahku dulu aku pelajari. Jadi
dirumah aku pengganti ayah”. (Budi, 4 Februari 2022) “yang ganti (mencari nafkah) mbak,
tapi aku ga tega jadi bantu nyari kerja sisan. Dulu pernah casual di hotel, kerja pelayan di
restoran. Jadi kuliah nyambi kerja. tapi Sekarang sudah keluar disuruh berhenti sama mama
kata e fokus kuliah ae” (Budi, 4 Februari 2022)

Tema: Faktor resiliensi


Berhasil atau tidaknya resiliensi individu dapat juga dicermati dari beberapa faktor resiliensi. Adapun
faktor resiliensi yang muncul pada penilitian ini, yaitu:
Subtema: I have
Pada penelitian ini Budi (21 th) menyatakan bahwa dirinya memiliki arahan dan dukungan dari ibu,
saudara, dan pasangannya. Hal ini ditunjukan oleh pernyataan subjek
“yang paling berperan besar mama, mbak ku sama Lala, soale mereka yang dukung aku, lek
ga gitu paling aku mboh yaopo saiki hahaha” (Budi, 30 Maret 2022)

“T: mereka udah ngelakuin apa ke kamu sampai kamu berubah jadi menerima masalalu?
BUDI: mbakku sama mamaku ngasih arahan akhir e aku mikir itu (Budi, 30 Maret 2022)

Subtema: I can
Pada penelitian ini Budi (21 th) dapat mengatasi solusi finansial, menumbuhkan kesadaran melalui
tanggung jawab atau peran diri, dan dapat memecahkan solusi tanpa merugikan orang lain. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek

52
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

“yang ganti (mencari nafkah) mbak, tapi aku ga tega jadi bantu nyari kerja sisan. Dulu
pernah casual di hotel, kerja pelayan di restoran. Jadi kuliah nyambi kerja. tapi Sekarang
sudah keluar disuruh berhenti sama mama kata e fokus kuliah ae.” (Budi, 4 Februari 2022)
“[...]Intinya untuk saat ini aku udah bisa memahami sekitar contoh kecil kayak benerin
listrik, gantiin lampu, pasang LPG, semua yang dilakuin ayahku dulu aku pelajari. Jadi
dirumah aku pengganti ayah.” (Budi, 4 Februari 2022) “T: Healing-healing gitu ya berarti

Budi: iyo gitu lah, buat tenangin kepala ae, nanti kalau sudah aku langsung selesaiin, jadi
aku jalan-jalan itu yo sama mikir tapi ibarat e dengan cara yang tenang” (Budi, 30 Maret
2022)

Hal ini di tegaskan kembali oleh Rara (26 th) selaku saudara subjek
“dia keluar rumah main sama temene, biasa e lek udah engga emosi baru pulang terus baru
bisa dibilangin pelan-pelan” (Rara, 3 April 2022) “Budi itu sekarang anak e tanggung
jawab, walaupun dee (dia) keluar rumah sek, tapi pas uda tenang pasti diselesaikno kok, jadi
aku sama
mama e engga khawatir” (Rara, 3 April 2022)

Subtema: I am
Pada penelitian ini, Budi (21 th) merasa mampu dan yakin terhadap kemampuan dirinya. Hal ini
ditunjukan oleh pernyataan subjek “T: Selain proyek an itu apa kamu udah nyiapin alternatif lain?
Budi: Selain proyekan paling aku masukin lamaran mandiri, pokoke sampe dapet” (Budi, 30
Maret 2022) “T: Selain proyek an itu apa kamu udah nyiapin alternatif lain?

Budi: Selain proyekan paling aku masukin lamaran mandiri, pokoke sampe dapet” (Budi, 30
Maret 2022)

“T: kalau boleh kasih rating 1-10, seberapa yakin kamu sama dirimu sendiri bisa nyelesaiin
itu?
Budi: 8,5 soale kan aku masi penelitian” (Budi,
30 Maret 2022)

Hal ini berbeda dengan Cantik (20 th) yang mana dirinya masih merasa pesimis dan tidak percaya diri
pada kemampuannya.

“T: kamu udah coba untuk PDKT ke eyang belum?

Cantik: Engga berani, udah aku biarin aja gitu, daripada nanti debat lagi” (Cantik, 28 Maret
2022)

“Sebenernya pengen (mengeluarkan isi hati) tapi dari awal udah ngerasa engga bakal
diterima juga jadi yauda, terima aja” (Cantik, 28 Januari 2022)

“Belum pernah (mengutarakan pendapat), tapi ya sama aja sih takut dimaraih dan aku harus
nurutin maunya mereka. Jadi daripada berkepanjangan mending aku diem.” (Cantik, 28
Januari 2022)

“T: [...]menurutmu dari 1 sampai 10 berapa siih keyakinan kamu dalam mencapai hal itu?
Cantik: nah ini gimana ya ngasih score nya soalnya kadang juga pesimis” (Cantik, 28

Januari 2022)

53
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Berdasarkan faktor resiliensi, hasil penelitian menunjukan bahwa Cantik (20 th) belum memenuhi
faktor resiliensi dikarenakan dirinya cenderung untuk menghindari permasalahan.

PEMBAHASAN
Perceraian merupakan terputusnya komitmen hubungan suami dan istri dalam rumah tangga yang
telah disahkan oleh agama dan hukum dapat dikarenakan oleh berbagai macam alasan. Pada
penelitian ini ditemukan bahwa alasan perceraian kedua orang tua subjek berbeda. Alasan orang tua
Budi bercerai dikarenakan adanya perselingkuhan dari salah satu pihak sedangkan alasan perceraian
dari orang tua Cantik adalah ketidak cocokan. Perselingkuhan dan ketidak cocokan dalam suatu
hubungan rumah tangga dapat menjadi faktor dari penyebab perceraian. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Harjianto dan Jannah (2019) bahwa ketidakcocokan dan perselingkuhan dapat
menyebabkan perceraian. Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh Goere Levinger (Ismiati, 2018)
bahwasannya ketidakcocokan dan perselingkuhan merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan perceraian.

Perceraian dalam suatu hubungan rumah tangga tentu mempengaruhi kondisi keluarga sebelum
bercerai dan setelah bercerai. Berdasarkan temuan penelitian, subjek Budi dan Cantik memiliki
kondisi yang berbeda pula. Cantik merasa bahwa sebelum adanya perceraian dirinya dekat dan
mendapat perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Orang tua Cantik juga memberikan
tanggunggung jawab secara materi dan juga batin kepada subjek. Pada subjek Budi merasakan
perbedaan yang mana dirinya merasa bahwa sebelum perceraian orang tua, dirinya memiliki
kedekatan dengan sang ibu saja dikarekanakan ayah yang cenderung pendiam, tidak banyak bicara,
dan sering kali beradu argumen dengan dirinya. Meskipun begitu Budi merasa bahwa sebelum
adanya perceraian ayahnya memberikan tanggung jawab berupa materi dan memenuhi peran
seorang laki-laki dalam rumah tangga, seperti membantu memperbaiki listrik, memasang gas,
mencuci, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kondisi langsung berubah pada saat orang tua kedua
subjek memutuskan untuk bercerai.

Perubahan kondisi menimbulkan dampak bagi kedua subjek. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan ditemukan bahwa perceraian orang tua memiliki dampak bagi kedua subjek yaitu kesulitan
mengendalikan emosi dan kehilangan figur kedua orang tua. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh
Untari et al., (2018) yang menunjukan hasil bahwa perceraian orang tua memberikan lebih banyak
dampak psikologis bagi anak, diantaranya yaitu: (1) mudah marah; (2) sulit berkonsentrasi; (3)
hilangnya rasa hormat kepada orang tua; (3) kurang responsif terhadap lingkungan; (4) egois; (5)
tidak beretika; (6) merasa tidak ada lingungan dari orang tua secara utuh. Pada penelitian yang
dilakukan Mone (2019) juga menjelaskan bahwasannya perceraian orang tua dapat menimbulkan
beberapa resiko untuk anak, yaitu: (1) Anak merasa kehilangan sosok orang tua; (2) Menurunnya
prestasi belajar; (3) Dapat menyalahkan diri nya atas kasus perceraian orang tuanya; (4) Merasa
khawatir kehilangan kasih sayang. Selain dampak tersebut, Cantik merasakan dampak lain, yaitu
pribadi yang senang menyendiri, tidak mudah percaya orang lain, turunnya prestasi, dan hilangnya
minat berumah tangga. Dampak lain yang dirasakan Cantik tersebut serupa dengan pernyataan dari
Ismiati (2018) bahwa perceraian orang tua dapat menimbulkan perasaan stres, tertekan, dan depresi
yang mana memunculkan perilaku pendiam, jarang bergaul, dan turunnya prestasi sekolah.

Upaya dalam mengatasi dampak tersebut, subjek harus dapat bangkit dari keterpurukan yang
dialaminya. Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa individu harus memiliki kemampuan
untuk bangkit dalam menanggapi kesulitan dengan cara yang sehat dan produktif, yang disebut
dengan resiliensi. Dinamika resiliensi dapat dilihat melalui aspek-aspek dan faktorfaktor resiliensi.

54
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Aspek-aspek resiliensi dijabarkan oleh Reivich dan Shatte (2002), yaitu regulasi emosi, empati,
reaching out, dan pengendalian impuls, efikasi diri, optimisme, dan analisis penyebab masalah.

Regulasi emosi, merupakan kemampuan dalam menenangkan diri agar tetap tenang dalam kondisi
yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Pada regulasi emosi, ketika subjek BUDI dalam keadaan
yang menekan dirinya cenderung untuk menenangkan diri sejenak kemudian bercerita kepada ibu,
saudara, atau pasangan yang telah subjek percaya dan menyebabkan proses emosi yang ada pada
subjek menjadi lebih stabil. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Grotberg (Desmita,
2017(Mona et al., 2021)) bahwa kepercayaan dapat menjadi faktor penting untuk memunculkan
resiliensi. Tindakan subjek pun dibenarkan oleh saudara dan pasangannya bahwa subjek lebih
tenang dalam menghadapi permasalahan. Hal tersebut berbeda dengan Cantik, dirinya lebih
memilih untuk diam, menangis, dan menyendiri tanpa bercerita kepada siapapun. Tindakan Cantik
tersebut menyebabkan dirinya kesulitan dalam mengendalikan emosi. Pada pengendalian emosi,
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa ketepatan pengekspresian emosi yang dilakukan
individu merupakan suatu kemampuan individu resilien.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan Budi dalam meregulasi
emosi relatif cukup baik dibandingkan Cantik.

Empati, individu mampu untuk memahami dan mengetahui kondisi psikologis individu lain (Reivich
& Shatte, 2002). Pada kemampuan empati menunjukan hasil bahwa kedua subjek memiliki
kemampuan empati yang berbeda. CA belum mampu untuk menyadari alasan dan tindakan yang
dilakukan oleh nenek dan orang tua. Hal ini ditunjukan dari sikap dan tanggapan subjek bahwa
dirinya menganggap orang tua dan neneknya hanya marah-marah saja. Sedangkan Budi mampu
memahami perasaan dan kondisi psikologis ibu dan memahami kondisi keluarganya. Reivich dan
Shatte (2002) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan dalam memahami dan
mengetahui kondisi psikologis individu lain. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Budi cenderung memiliki kemampuan empati yang lebih baik dibandingkan dengan Cantik.

Efikasi diri dan optimisme, merupakan kemampuan dan keyakinan individu untuk menyelesaikan
suatu permasalahannya (Reivich & Shatte, 2002). Pada kemampuan efikasi diri dan optimisme, Budi
memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu menyelesaikan permasalahannya, tidak memiliki
ketakutan dalam pernikahan, dan memiliki pandangan akan masa depannya. Hal ini buktikan dengan
sikap subjek dalam mencari peluang pekerjaan dan keyakinannya dalam penyelesaian tugas yang
dimiliki. Sikap dan tindakan Budi juga mencerminkan kegigihan dirinya untuk mencapai keberhasilan.
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan kembali bahwa kemampuan dan keyakinan dalam
memecahkan suatu permasalahan untuk suatu keberhasilan dan semakin tingginya efikasi diri
individu ditunjukan oleh sikap yang pantang menyerah. Sikap dan tindakan dari Budi berbanding
terbalik dengan sikap Cantik. Cantik cenderung merasa tidak berguna, pesimis, dan tidak yakin
terhadap dirinya sendiri. Sikap Cantik pun dibenarkan oleh teman dekat subjek bahwa Cantik masih
merasa tidak berguna dan pesimis dikarenakan subjek tidak mendapat dukungan dari keluarganya.
Kepercayaan diri dan harapan merupakan faktor terpenting dari adanya pembentukan diri individu
yang optimis (Reivich & Shatte, 2002). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
Budi cenderung memiliki kemampuan efikasi diri dan optimisme yang lebih baik dibandingkan
dengan Cantik.

Analisis masalah, pada kemampuan analisis masalah, kedua subjek mampu memahami alasan
perceraian orang tuanya. Namun, Budi cenderung memiliki kemampuan analisis dan pemecahan
masalah yang baik dibandingkan dengan Cantik. Hal ini ditunjukan dari sikap dan tindakan Budi yang
mana dirinya dapat memahami permasalahan dan mencari solusi atas permasalahannya. Tindakan

55
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

dari Budi pun berbanding terbalik dengan Cantik yang mana dirinya belum dapat menganalisis
permasalahan pada dirinya. Hal ini ditunjukan ketika Cantik merasa pesimis dalam menggapai suatu
keberhasilannya, namun dirinya menyatakan tidak mengetahui penyebabnya. Ketidakmampuan
Cantik untuk menganalisis permasalahan menyebabkan dirinya menjadi tidak resilien. Hal ini sesuai
dengan penjelasan dari Reivich dan Shatte (2002) bahwa ketidaktahuan individu untuk mengetahui
penyebab masalah secara tepat dapat menyebabkan individu melakukan kesalahan yang sama dan
tidak resilien. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa BUDI cenderung memiliki
kemampuan analisis yang baik dibandingkan dengan

Cantik.

Kontrol impuls, Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa tinggi atau rendahnya pengendalian
impuls akan mempengaruhi keyakinan diri dalam menghadapi berbagai kondisi. Berdasarkan
pernyataan tersebut diketahui bahwa Cantik cenderung belum memiliki mengendalikan impuls
dengan baik. Hal ini ditunjukan oleh tindakan Cantik yang lebih memilih untuk menyendiri atau
melupakan ketika dihadapkan oleh suatu permasalahan. Selain itu, Cantik juga belum mampu untuk
mengontrol dorongan atau motivasi pada dirinya. Hal ini ditunjukan ketika Cantik berkeinginan untuk
mandiri namun dirinya masih merasa pesimis akan tujuannya. Hal ini berbanding terbalik dengan
Budi yang mana ketika dirinya mengetahui permasalahan penurunan finansial, dirinya dapat mencari
solusi tanpa merugikan orang lain.

Reaching out, merupakan kemampuan individu memberikan pencapaian atau keberhasilan terhadap
permasalahan (Reivich & Shatte, 2002). Pada penelitian ini nampak bahwa Budi mampu
menyelesaiakan permalahannya, seperti menggantikan peran pekerjaan sang ayah, mencari solusi
atas permasalahan finansial. Hal tersebut menyebabkan dirinya semakin berkembang. Berbeda
dengan Budi, hingga saat ini Cantik masih belum bertindak untuk mengatasi permasalahannya
dikarenakan dirinya masih merasa nyaman dengan pilihan yang telah diambil saat ini. Reivich dan
Shatte (2002) juga menjelaskan bahwasannya tidak semua individu memiliki kemampuan reaching
out dengan baik karena sebagian individu malu ketika harus keluar dari zona nyamannya. Hal ini lah
yang menyebabkan individu gagal dalam mencapai keberhasilannya. Berdasarkan penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa Budi memiliki kemampuan reaching out yang lebih baik
dibandingkan Cantik.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa Budi lebih mampu untuk bangkit dari
keterpurukannya dikarenakan dirinya memiliki dukungan eksternal dari keluarga, pasangan, dan
dorongan diri sendiri. Dukungan eksternal dan internal tersebut menyebabkan dampak positif bagi
perkembangan Budi, yaitu menerima keadaan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah
Aryadelina & Laksmiwati (2019) bahwa remaja yang menjadi korban perceraian orang tua akan
memasuki fase Succumbing (menyerah), fase survival (bertahan) yang dapat terbentuk dikarenakan
dukungan orang terdekat, dan fase recovery (menerima kondisi terpuruk).

Perbedaan pun ditunjukan Cantik. Cantik memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik
dikarenakan kurangnya dukungan internal dan eksternal subjek untuk mengatasi permasalahan,
pesimis, dan ragu akan masa depan. Hal tersebut menyebabkan subjek cenderung untuk
menghindari permasalahannya. Adanya hal tersebut dikarenakan subjek Cantik masih memiliki
trauma terhadap komitmen pernikahan yang mana hal tersebut menyebabkan dirinya ragu akan
keberhasilan pernikahan. Hasil temuan pada subjek Cantik memiliki kesamaan dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Detta dan Abdullah (2017) bahwa pada subjek kedua memiliki
kemampuan resiliensi kurang baik dikarenakan masih adanya perasaan takut akan pengalaman

56
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

perceraian yang menyebabkan individu ragu terhadap kemampuan yang dimilikinya dan berpikir
bahwa permasalahan tersebut terjadi hingga masa depan.

Dinamika resiliensi juga dapat ditunjukan berdasarkan faktor-faktor. Grotberg (dalam (Wahidah,
2018)) menjelaskan bahwa faktor-faktor resiliensi terbagi atas tiga bagian, yaitu I Have, I am, dan I
can. I have adalah dukungan eksternal yang diperoleh individu untuk mencapai resiliensinya. Hal ini
tercerminkan pada Budi yang mana dirinya mendapatkan dukungan dan arahan dari ibu, saudara,
dan pasangannya. I can adalah kemampuan individu untuk menyelesaikan permasalahan. Hal ini
tercerminkan pada Budi ketika dirinya berhasil mengatasi solusi finansial, menggantikan peran
pekerjaan ayah, dan memecahkan solusi tanpa menimbulkan kerugian pada orang lain. Terakhir, i am
adalah dorongan dalam diri individu yang mampu mencapai resilien. Dorongan ini meliputi
optimisme, empati, kualitas diri, kepercayaan diri, dan kemampuan pribadi. Hal ini tercermin pada
Budi yang memiliki keyakinan dan kepercayaan diri hingga diriya mampu berkembang dan menjadi
resilien. Berdasarkan hasil penelitian Cantik belum memenuhi faktor-faktor resiliensi. Hal ini
dikarenakan strategi pemecahan masalah pada dirinya yaitu menghindari permasalahan.

Berdasarkan gambaran dan faktor resiliensi, maka keseluruhan hasil dari penelitian menemukan
bahwa subjek Budi memenuhi seluruh aspek dan faktor resiliensi. Maka dari itu, Budi dapat
dikatakan resilien. Budi memiliki resiliensi yang baik dikarenakan dirinya memiliki dorongan diri yang
kuat dan juga dukungan eksternal dari orang terdekat sehingga dirinya menjadi individu yang optimis
serta yakin dengan diri sendiri dan masa depan, dapat mengatur emosi dengan baik, dapat
menganalisis dan memecahkan masalah dengan baik, mandiri, dan menerima keadaan. Hal ini
berbanding terbalik dengan Cantik. Cantik tidak memenuhi aspek dan juga faktor resiliensi. Maka
dari itu, Cantik dianggap kurang resilien. Cantik cenderung memiliki kemampuan resiliensi kurang
baik dikarenakan kurang adanya motivasi dan optimisme dalam dirinya untuk mencapai perubahan.
Dukungan eksternal dari orang terdekat pun juga tidak dimiliki Cantik yang mana hal ini
menyebabkan dirinya kesepian, tidak mudah percaya orang lain, pesimis, ragu akan masa depan.
Perceraian orang tua Cantik juga menimbulkan trauma sehingga menimbulkan keraguan pada
keberhasilan dalam pernikahan. Tidak adanya dukungan dan dampingan dari orang terdekat dan
dorongan diri ini juga menyebabkan Cantik memilih untuk menghindari permasalahan yang
dimilikinya. Padahal, dukungan keluarga terhadap resiliensi pada remaja merupakan hal penting.
Ariyanti (2018) menambahkan bahwa dukungan keluarga secara positif dapat mempengaruhi
kemampuan resilensi remaja untuk mengatasi permasalahannya. Penelitian Cahyani & Rahmasari
(2018) juga menegaskan dengan penelitiannya bahwa resiliensi dapat tercapai dikarenakan adanya
dukungan keluarga.
Hasil keseluruhan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua remaja memiliki kemampuan
resiliensi yang sama. Hasil temuan yang sama pada penelitian ini ditunjukan oleh penelitian dari
Detta & Abdullah (2017) yang menunjukan hasil bahwa kedua subjek memiliki kemampuan resiliensi
yang berbeda. pada subjek pertama memiliki kemampuan resiliensi baik, sedangkan pada subjek
kedua memiliki kemampuan resiliensi kurang baik karena subjek masih takut akan pengalaman
perceraian yang menyebabkan individu ragu dengan kemampuan yang dimilikinya dan berpikir
bahwa permasalahan tersebut terjadi hingga masa depan.

PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian gambaran dinamika resiliensi pada penelitian ini mengacu pada aspek
dan faktor resiliensi. Berdasarkan aspek resiliensi:

1. Regulasi emosi

57
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Pada situasi yang menekan, subjek Budi memilih menenangkan diri sejenak kemudian
bercerita kepada orang terdekat. Sedangkan subjek Cantik memilih menangis, diam, menyendiri,
dan tidak ingin bercerita.

2. Empati
Subjek Cantik belum mampu memahami alasan dan tindakan yang dilakukan orang
terdekatnya. Sedangkan Budi mampu memahami situasi dan

kondisi psikologis orang terdekatnya

3. Efikasi dan optimisme


Subjek Budi memiliki keyakinan diri dan percaya atas dirinya sendiri dalam menyelesaikan
permasalahannya. Selain itu Budi telah memiliki pandangan untuk masa depannya. Sedangkan
subjek Cantik cenderung merasa tidak berguna, pesimis, dan tidak yakin terhadap dirinya
sendiri.

4. Analisis masalah
Subjek Cantik merasa pesimis dalam mencapai keberhasilannya, tetapi dirinya tidak
mengetahui penyebabnya. Subjek Budi mengetahui tiap permasalahan yang dimilikinya dan
mampu mengatasinya dengan cukup baik.

5. Kontrol impuls
Subjek Budi dapat menekan dorongan motivasi dirinya agar tetap konsisten mencapai
keberhasilannya dan dirinya mampu mengatasi permasalahan tanpa merugikan orang lain.
Subjek Cantik belum mampu menekan dorongan motivasi pada dirinya.

6. Reaching out
Subjek Budi mampu menyelesaiakan permalahannya, yaitu menggantikan peran pekerjaan sang
ayah, mencari solusi atas permasalahan finansial. Subjek Cantik belum mampu mengatasi
permasalahannya dan memilih untuk menghindari masalah.

Berdasarkan beberapa aspek tersebut, diketahui bahwa subjek Budi memiliki kemampuan resiliensi
yang lebih baik dikarenakan subjek memenuhi aspek-aspek resiliensi. Sedangkan, subjek Cantik
memiliki kemampuan resiliensi yang kurang baik dikarenakan subjek belum memenuhi aspek-aspek
resiliensi. Hal ini menyebabkan subjek Cantik masih merasa pesimis, ragu akan masa depan, dan
trauma terhadap pernikahan. Berdasarkan faktor-faktor resiliensi, yaitu:

1. I have, subjek Budi memiliki dukungan dan arahan dari orang terdekat
2. I can, subjek Budi berhasil mengatasi solusi finansial, menggantikan peran pekerjaan ayah, dan
memecahkan solusi tanpa menimbulkan kerugian pada orang lain.
3. I am, subjek Budi memiliki keyakinan dan kepercayaan diri hingga diriya mampu berkembang dan
menjadi resilien.
Faktor-faktor resiliensi belum dapat dipenuhi oleh subjek Cantik. Hal ini dikarenakan strategi
pemecahan masalah pada dirinya yaitu menghindari permasalahan.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, adapun saran dari peneliti yang dapat diberikan yaitu:

1. Bagi orang tua yang bercerai

58
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Saran yang akan disampaikan peneliti kepada orang tua yang bercerai adalah tetap perhatikan
tumbuh kembang anak walaupun keadaan sudah tidak lagi menjadi suamiistri. Hal ini dikarenakan
anak diusia remaja memerlukan arahan dalam pengambilan tiap keputusan agar anak dapat
mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik. Selain itu, orang tua memiliki peran penting
untuk membentuk identitas diri agar ketika dewasa anak tidak merasa kebingungan akan identitas
dirinya. 2. Bagi remaja korban perceraian orang tua

Adakalanya sebagai anak yang mengetahui kabar tersebut mencoba untuk memahami perasaan dan
menenangkan diri terlebih dahulu. Jika merasa emosi yang ada di dalam diri susah untuk
dikendalikan, remaja dapat mencari bantuan kepada anggota keluarga terdekat atau teman dekat.
Akan tetapi, apabila emosi tak kunjung dapat dikendalikan hingga mengganggu aktifitas sehari-hari
disarankan untuk berkonsultasi pada psikolog.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya dapat memperdalam lagi penelitian dengan memperbanyak subjek


dan/atau mencari perbedaan kemampuan resilien pada gender perempuan dan laki-laki agar
dapat mengetahui ada atau tidaknya pengaruh gender terhadap resiliensi remaja korban
perceraian orang tua

DAFTAR PUSTAKA
Ariyanti, P. C. (2018). Hubungan antara dukungan keluarga dengan resiliensi pada remaja di
keluarga miskin. Universitas Muhammadiyah Malang.
Aryadelina, M., & Laksmiwati, H. (2019). Resiliensi Remaja dengan Latar Belakang Orang Tua
yang Bercerai. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 6(2), 1–10.
Cahyani, Y. U., & Rahmasari, D. (2018). Resiliensi remaja awal yang orangtuanya bercerai.
Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 5(3), 1–7.
Connor, K., & Davidson, J. (2003). Development of a new resilience scale: the Connor-Davidson
Resilience Scale (CD-RISC). Depress
Anxiety, 18(2), 76–82.

https://doi.org/10.1002/da.10113
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design : Qualitative, quantitative, and mixed
methods approaches (fifth edit). SAGE
Publications , Inc .
Dekuanti, N. D. (2019). Resiliensi Remaja Dengan Orang Tua Bercerai Yang Tinggal Bersama
Keluarga Besar [Universitas Airlangga]. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/93969
Detta, B., & Abdullah, S. M. (2017). Dinamika Resiliensi Remaja Dengan Keluarga Broken

Home. InSight, 19(2), 71–86.

https://doi.org/https://doi.org/10.26486/psiko logi.v19i2.600
Hadianti, S. W., Nurwati, R. N., & Darwis, R. S. (2017). Resiliensi Remaja Berprestasi Dengan
Latar Belakang Orang Tua Bercerai. Jurnal Penelitian & PKM, 4(2), 129–389.
https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jppm

.v4i2.14278

59
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Harjianto;, & Jannah, R. (2019). Identifikasi faktor penyebab perceraian sebagai dasar konsep
pendidikan pranikah di kabupaten Banyuwangi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi, 19(1), 35–41. https://doi.org/10.33087/jiubj.v19i1.541
Heriyanto. (2018). Thematic Analysis sebagai Metode Menganalisa Data untuk Penelitian Kualitatif.
ANUVA, 2(3), 317–324.
https://doi.org/DOI:10.14710/anuva.2.3.317-

324
Holaday, M. ., & McPhearson, R. W. (2011). Resilience and severe burns. Journal of Counseling
& Development, 75(5), 346–356.

https://doi.org/10.1002/j.1556-

6676.1997.tb02350.x
Ismiati. (2018). Perceraian Orangtua Dan Problem Psikologis Anak. Jurnal At-Taujih

Bimbingan Dan Konseling Islam, 1(1), 1–16. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/tau


jih.v1i1.7188
Mona, Y. G., Naharia, M., & Kapahang, G. L. (2021). Resiliensi remaja Korban Perceraian

Orang Tua di Panti Adsuhan Bahasa Kasih Bintang. Psikopedia, 2(1), 21–29.

https://ejurnal-mapalusunima.ac.id/index.php/psikopedia/article/vie w/2104
Mone, H. F. (2019). Dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan psikososial dan prestasi
belajar. Harmoni Sosial: Jurnal

Pendidikan IPS, 6(2), 155–163.

https://doi.org/10.21831/hsjpi.v6i2.20873
Nurhasnah. (2021). Hubungan Keharmonisan Keluarga Dengan Konsep Diri
Siswa. Perspektif Pendidikan dan Keguruan, 12(1),
15–21.

https://doi.org/https://doi.org/10.25299/persp ektif.2021.vol12(1).6375
Rahmat, P. S. (2009). Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5(9), 1–8.
Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 keys to finding your inner strength and
overcoming life’s hurdles. Three Rivers Press.
Rizkiani, D., & Susandari. (2018). Studi Deskripsif Mengenai Resiliensi pada Remaja Broken Home di
Komunitas HOLD ON Kota Bandung. Prosiding SPeSIA Seminar Penelitian Sivitas AKademika,
317–322. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.29313/.v0 i0
Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja Edisi

Revisi. In Psikologi Remaja. https://doi.org/10.1108/09513551011032482

.Bastian
Septiyani. (2018). Resiliensi Remaja Broken Home (Studi Kasus Remaja Putri di Desa Luwung RT 03
RW 02 Kecamatan rakit Kabupaten Banjarnegara) [Institut Agama Islam Negeri Purwokerto].
http://repository.iainpurwokerto.ac.id/id/epri nt/3449
Statistika, B. P. (2019). Ramai RUU Ketahanan Keluarga, Berapa Angka Perceraian di

60
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Indonesia? Katadata.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2 020/02/20/ramai-ruu-ketahanan-
keluargaberapa-angka-perceraian-di-indonesia
Sugiyono. (2017). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Suwendra, I. W. (2018). Metodologi penelitian kualitatif dalam ilmu sosial, pendidikan,
kebudayaan dan keagamaan (1 ed.).

Nilacakra.
Syamsul, Bakri, B., & Tamu, S. P. (n.d.). Dampak Perceraian Terhadap Tumbuh Kembang Anak Di
Kabupaten Gorontalo. Jurnal Of Public Administration Studies, 2(1), 11–23.
https://doi.org/https://doi.org/10.32662/gjpad s.v2i1.569
Ukoli, J. M. J., Mandang, J. H., & Kaumbur, G. E. (2020). Dinamika Psikologis Remaja Awal
Korban Perceraian Orang Tua Yang Melakukan Kenakalan Remaja di Minahasa Utara.
Psikopedia, 1(1), 45–51.
Untari, I., Putri, K. P. D., & Hafiduddin, M. (2018). Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap
Kesehatan Psikologis Remaja. Profesi (Profesional Islam), 15(2), 99–106.

https://doi.org/https://doi.org/10.26576/profe si.272
VanBrenda, A, D. (2001). A Literature review with special chapters on deployment resilience in
military families.
Wahidah, E. Y. (2018). Resiliensi Perspektif Al Quran. Jurnal Islam Nusantara, 2(1), 105– 120.

https://doi.org/10.33852/jurnalin.v2i1.73

61
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

Psikopedia Vol. 3 No. 1 Maret 2022


ISSN: E-ISSN 2774-6836

RESILIENSI REMAJA AWAL PASCA PERCERAIAN ORANG


TUA DI KELURAHAN PAKOWA KECAMATAN WANEA
KOTA MANADO

Abriela A. Manoppo
Program Studi Psikologi Universitas Negeri Manado Email: abrielamanoppo@gmail.com

Deetje J. Solang
Program Studi Psikologi Universitas Negeri Manado Email: deetjesolang@unima.ac.id

Dewo A. N. Narosaputra
Program Studi Psikologi Universitas Negeri Manado Email: dewonarosaputra@unima.ac.id

Abstrak : Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan
memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai
suami istri. Perceraian dalam hal ini juga dapat mengakibatkan perubahan struktur dan relasi dalam
keluarga yang artinya pasca perceraian anak hanya dapat tinggal bersama salah satu orang tuanya
saja.Sedangkan Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika
menghadapi kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Dalam penelitian ini
subjek merupakan remaja awal yang merupakan korban perceraian orang tua dimana terjadi konflik
dalam rumah tangga pada pertengahan tahun 2019 dimana orang tua subjek memutuskan untuk
berpisah dan saling meninggalkan. Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan
Studi Kasus, pada 1 subjek yang berusia 13 tahun. Dengan sumber data yang digunakan berupa
sumber data primer dan data sekunder, sedangkan teknik yang digunakan dalam memperoleh data
yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Proses analisis data dengan reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu remaja mampu
mengembangkan ke enam aspek resiliensi yaitu Regulasi Emosi, Pengendalian Impuls, Optimisme,
Empati, Efikasi Diri dan Reaching Out, sedangkan Analisis Penyebab Masalah masih kurang Nampak,
namun secara umum subjek sudah bisa dikatakan sebagai remaja yang resilien.

Kata Kunci : Perceraian, Remaja Awal, Resiliensi.

Abstract: Divorce is a break in the family because one or both partners decide to leave each other so
that they stop performing their obligations as husband and wife. Divorce in this case can also result in
changes in the structure and relationships in the family, which means that after the divorce the child
can only live with one of his parents. Resilience is the ability to cope and adapt when faced
Psikopedia Vol. 3 No. 1 Maret 2022
ISSN: E-ISSN 2774-6836

with severe events or problems that occur in life. In this study, the subject was an early teenager who
was a victim of parental divorce where there was a conflict in the household in mid-2019 where the
subject's parents decided to separate and leave each other. This study uses a qualitative method with a

62
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

case study approach, on 1 subject aged 13 years. The data sources used are primary data sources and
secondary data sources, while the techniques used in obtaining data are observation, interviews and
documentation. The process of data analysis with data reduction, data presentation, and drawing
conclusions. The results obtained in this study are that adolescents are able to develop the six aspects
of resilience, namely Emotion Regulation, Impulse Control, Optimism, Empathy, Self-Efficacy and
Reaching Out, while the Analysis of Causes of Problems is still less visible, but in general the subject
can be said to be a resilient teenager.

Keyword : Divorce, Early Teens, Resilience.

PENDAHULUAN
Perceraian orangtua merupakan salah satu kejadian yang dapat membuat remaja menjadi stres
dan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan psikologis (Masten, et al, dalam Chen & George, 2005).
Perceraian juga meningkatkan risiko dalam masalah penyesuaian pada remaja (Kelly & Emery, 2003).
Remaja yang memiliki pengalaman perceraian orangtua akan rentan memiliki simptom internalisasi
termasuk status kesejahteraan psikologis seperti perasaan depresi, self-esteem, dan timbulnya pikiran
bunuh diri. Remaja juga menunjukkan perilaku eksternalisasi termasuk agresi pada orang lain,
menggunakan alkohol dan obat-obatan serta perilaku kejahatan. Selain itu, remaja menunjukkan
perilaku eksternalisasi seperti performansi pendidikan yang lebih rendah dan berisiko dua atau tiga
kali lebih memungkinkan untuk keluar dari sekolah dan berisiko dua kali untuk memiliki anak saat
remaja (Kelly & Emery, 2003). Perceraian orang tua tentunya dapat menimbulkan beragam
konsekuensi atau dampak yang harus diterima oleh anak. Adapun dampak tersebut diantaranya yakni
terjadinya krisis kesejahteraan pada psikologi anak seperti timbulnya stress, depresi, ataupun
perasaan malu atau minder pada anak di lingkungan sosialnya. Selanjutnya, perceraian dalam hal ini
juga dapat mengakibatkan perubahan struktur dan relasi dalam keluarga yang artinya pasca
perceraian anak hanya dapat tinggal bersama salah satu orang tuanya saja.
Kemampuan resiliensi menjadi penting untuk dimiliki oleh anak ketika menghadapi perceraian,
mengingat dengan adanya resiliensi anak dapat bertindak secara positif dalam meminimalisir
dampak – dampak yang ditimbulkan akibat perceraian. Selain itu, remaja resilien menunjukan bahwa
mereka memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan
bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan
(Desmita,2015). Bila remaja korban perceraian mampu resilien, mereka juga dapat mengatasi risiko
dan kesulitan tanpa memperoleh dampak negative yang jelas dari perceraian (Smith & Carlson,1997).
Hal ini karena resiliensi mengacu pada kompetensi yang dumungkinkan muncul dibawah tekanan
yang berkepanjangan, seperti peristiwa perceraian orang tua (Desmita,2005). Dengan kata lain,
remaja korban perceraian memiliki karakteristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah
kesulitan dan mencapai atau bahkan melampaui tingkst fungsi sebelumnya (Hawley & De Haan,1996,
dalam Dreeff & Merwe,2004). Pada dasarnya, remaja memilili kapasitas untuk resilien, yaitu dapat
menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.
Dalam penelitian ini subjek merupakan remaja awal berinisial M yang berusia 13 tahun yang
merupakan korban perceraian orang tua dimana terjadi konflik dalam rumah tangga pada
pertengahan tahun 2019 dimana orang tua subjek memutuskan untuk berpisah dan saling
meninggalkan pada akhirnya mama subjek pergi dari rumah dan meninggalkan papa subjek. Dan saat
ini subjek tinggal bersama mama dan adiknya.
Penelitian ini juga diharapkan mampu secara menyeluruh menuntaskan perihal bagaimana
resiliensi terbentuk pada diri remaja yang pernah mengalami perceraian orang tua. Berdasarkan yang
telah dipaparkan diatas, maka perlu adanya penelitian mengenai resiliensi remaja awal pasca

63
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

perceraian orang tua agar menjadi acuan untuk para remaja dalam meminimalisir dampak yang
terjadi serta diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat bagi remaja yang memiliki
masalah yang sama. Maka dari itu untuk merealisasikan hal tersebut peneliti melakukan penelitian
dengan judul :

“RESILIENSI REMAJA AWAL PASCA PERCERAIAN ORANG

TUA”

METODE
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Metode penelitian kualitatif sebagai metode ilmiah sering digunakan dan dilaksanakan oleh
peneliti dalam bidang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan sejumlah penelitian perilaku
lainnya termasuk dalam ilmu pendidikan. Lebih tegas Cresswel (2010). menjabarkan bahwa peneliti
kualitatif adalah sebuah proses inkuiri yang menyelidiki masalah-masalah sosial dan kemanusiaan.
Studi kasus adalah studi yang digunakan untuk dapat mengkaji suatu permasalahan dengan batasan
yang terperinci, selain itu juga untuk mendapatkan data secara mendalam, dan melampirkan
berbagai sumber informasi. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, peneliti melakukan langkah-
langkah dalam mengumpulkan data yaitu: Wawancara, Observasi, dan Dokumentasi. Untuk teknik
analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Untuk uji keabsahan data
menggunakan triangulasi sumber yang berasal dari informan penelitian dan juga triangulasi metode.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Reivich and Shatte (dalam
Asriandi, 2015) menyebutkan beberapa aspek resiliensi diantaranya regulasi emosi, pengendalian
impuls, optimis, analisis penyebab masalah, empati, efikasi diri, reaching out. a. Regulasi Emosi
Berdasarkan hasil wawancara, subjek memiliki regulasi emosi yang cukup baik. Dapat dilihat dari
hasil wawancara subjek yang menunjukan ketika subjek mengalami tekanan ia tetap tenang dan tidak
terbawa emosi yang dirasakan. Misalnya saat subjek menenangkan kakaknya yang menangis karena
mengetahui perpisahan kedua orangtuanya. Subjek menahan kesedihannya dan berusaha tetap
tenang.
b. Pengendalian Impuls
Berdasarkan hasil wawancara, terlihat bahwa subjek mampu mengendalikan keinginan, dorongan,
dan kesukaan. Saat subjek menginginkan sesuatu ia akan meminta tetapi apabila subjek tidak
mendapatkan apa yang diinginkan maka subjek tidak akan memaksakan keinginannya. Dari hasil
tersebut dapat dilihat bahwa subjek mampu mengendalikan keinginan, dorongan, dan kesukaan.
c. Optimisme
Dari hasil wawancara subjek mengatakan memiliki cita-cita untuk menjadi seorang tentara. Hal ini
menunjukan bahwa subjek memiliki harapan akan masa depannya. Untuk mencapai masa depannya
subjek berusaha dengan cara belajar sungguhsungguh di sekolah, berdoa, dan berlatih secara fisik. Ini
menunjukan subjek memiliki kesungguhan untuk dapat meraih cita-citanya d. Empati

Dari hasil wawancara subjek menampakkan aspek empati. Ketika subjek melihat orang lain
disekitarnya mengalami masalah subjek akan berusaha membantu serta memberikan solusi untuk
menyelesaikan masalah. Subjek menunjukan kemampuannya dalam menempatkan diri pada posisi
orang lain..

64
Resiliensi Pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua

e. Analisis penyebab masalah


Dari hasil wawancara, subjek terlihat kurang mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah
yang dialami. Subjek tidak tahu alasan mengapa orangtuanya bertengkar hingga kemudian bercerai.
Subjek hanya menanyakan kepada ayahnya masalah yang dialami, namun ketika ayah subjek tidak
memberikan jawaban, subjek hanya menerima dan tidak lagi mencari tahu mengapa sampai
orangtuanya bercerai. Subjek hanya menerima semua yang dialami tanpa mencari tahu penyebab
masalah yang sebenarnya. f. Efikasi dari
Subjek memiliki keyakinan dalam menyelesaikan masalah, baik itu masalahnya sendiri maupun
masalah orang lain yang ada disekitarnya. Subjek juga sering membantu menyelesikan masalah yang
dialami temannya dengan cara membantu memberikan nasehat serta solusi kepada temannya yang
mengalami masalah. Selain itu subjek memiliki keyakinan yang kokoh dalam mencapai
kesuksesannya. Dilihat dari rencana subjek dalam mencapai cita-citanya. g. Reaching out
Berdasarkan hasil wawancara, subjek mampu untuk menemukan dan membentuk suatu
hubungan dengan orang lain, meminta bantuan, berbagi cerita dan perasaannya. Dilihat ketika
Subjek mengalami masalah atau kesedihan ia meminta bantuan kepada kakak-kakaknya.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian menunjukan subjek mampu menjadi pribadi yang resilien. Meskipun subjek
adalah korban perceraian orangtua yang harus dihadapkan dengan keadaan keluarga yang tentu
tidak diinginkan subjek namun subjek tetap mampu mengatasi segala tekanan yang ada.
Hal itu dibuktikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki subjek diantaranya :
kemampuan meregulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, efikasi diri, dan reaching
out. Sedangkan kemampuan menganalisis penyebab masalah yang dimiliki subjek kurang tampak. Hal
ini disebabkan subjek selalu menerima dengan lapang dada setiap permasalahan yang dialami dan
tidak suka berbantah-bantah dan memaksakan kehendaknya. Maka secara umum subjek dapat
dikatakan pribadi yang resilien, walaupun ada 1 aspek yang kurang tampak pada pribadi subjek
Bagi penelitian selanjutnya yang akan meneliti mengenai resiliensi remaja awal korban
perceraian orangtua, diharapkan dapat menemukan hal yang baru hal yang lebih unik, dan dapat
dikaji dengan sudut pandang yang lebih kompleks

dan signifikan

DAFTAR PUSTAKA
Asriandari, E. (2015). Resiliensi

Remaja Korban Perceraian


Orangtua. Jurnal Psikologi Konseling Edisi 9 Tahun Ke-4, 1-8.

Ayu Dewanti P., and Veronika

Suprapti, (2014). Resiliensi

putri terhadap problematika pasca orang tua bercerai. Journal: Psikologi Pendidikan Dan
Perkembangan.

Chen, J. D., and George, R. A. (2005). Cultivating resilience in children from divorced families. The
Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 13 (4). 452-455. doi:
10.1177/1066480705278686

65

You might also like