You are on page 1of 4

The reason why I fucking hate social media so much

Mungkin background semua ini berawal dari perjalanan gua pertama kali punya
sebuah akun medsos pertama kali. Gua inget persis waktu itu tahun 2014, kalo gak salah gua
masih kelas 3 SD. Long story short, waktu itu gw mencoba pertama kali platform Facebook.
Waktu itu memang Facebook sangat populer waktu itu. Gua pernah ada di komunitas video
game, jual beli barang, group meme bahkan. Di umur gua yang masih bocah banget kayaknya
gua udah sedikit paham tentang sistem bagaimana media di internet itu bekerja, setidaknya di
Facebook.
Gua waktu itu bisa dibilang cukup dikenal di beberapa komunitas, gua emang
berusaha aktif dan berkontribusi terhadap “Internet society” waktu itu, memang pada
masanya kayak menjadi hal yang mengasyikkan sih juju raja. Semua orang kreatif, semua
orang punya visi terhadap apa yang mereka ingin sampaikan. Satu hal yang gua sangat
apresiasi dari Facebook waktu itu adalah betapa terbukanya platform tersebut buat berdiskusi
dan itu memang sesuatu yang sepertinya gak ada di platform lain. Media mana coba yang
menyediakan sebuah fitur grup yang dimana ada sekumpulan orang yang bisa berdiskusi
terhadap sesuatu yang sama-sama mereka suka. Menurut gua waktu Facebook itu sangat hal
yang begitu revolusioner sebagai media massa.
Hal yang paling menarik dan salah satu hal yang bisa membuat gua bener-bener betah
di Facebook adalah disitu adalah tempat yang cukup bebas untuk berpendapat, berdiskusi,
kreatif. Gua pernah waktu itu bikin sebuah meme dan sempet viral lah katakana waktu itu,
kayaknya tahun 2016 deh. Facebook memang konsumsi terbesar gua waktu itu. Tidak ada hal
yang terfabrikasi, hampir semua orang kayaknya komunikatif juga waktu itu, dan yang paling
penting adalah semua orang bagi gua waktu itu sangat genuine.
Maju sedikit waktu itu kalau gak salah kelas 9 SMP, gua lagi-lagi mencoba platform
baru yaitu Instagram, sejujurnya gua agak kurang cocok sama Instagram soalnya kayak
kenapa gua harus pake media ini. Sebuah media yang menurut gua cukup inklusif dan
kayaknya pointless. Kayak lu nge-post foto/video trus di like orang, trus ngapain abis itu?
Kalo di komen orang, masih oke lah. Soalnya concern gua yang utama adalah bagaimana kita
menggunakan sebuah media untuk ”memberdayakan” sebuah informasi yang dimana
informasi itu tuh punya value apa enggak. Kalo dari perspektif gua, waktu itu gua masih
belum bisa melihat sebuah value yang ada di Instagram, mungkin terminologi yang tepat buat
menggambarkan aplikasi Instagram saat ini adalah aplikasi buat orang memenuhi kebutuhan
star syndrome. I’m sorry, I looked that way.
Gua setuju itu tidak teraplikasikan dalam semua hal, penggunaan Instagram juga
macem-macem juga, ada orang yang memang personal branding, bikin sebuah project
bahkan, jadi platform buat nunjukin karya. Sebenarnya itu sangatlah bagus jika orang-orang
memang menggunakannya seperti itu. Itulah value yang gua katakan tadi. Dari situlah gua
mikir sebenernya kalo buat main-main aja juga gua gak mempersalahkan siapapun terserah
mereka mau emang hobinya main Instagram juga gak masalah, kalau capek main Instagram
juga gak masalah, gabut buka Instagram juga gak masalah. Gua gak mencoba menyalahkan
penggunaan Instagram sebagaimana orang mengkonsumsi media ini untuk kebutuhan
mereka, hanya saja emang ini bukan suatu hal buat gua, gak cocok aja emang. “Apakah gua
harus peduli sama orang-orang ini di sosmed?”, Enggak juga kan. Itulah kenapa gua memilih
menghindar aja.
Tadi gua sempet bilang tentang gua bikin meme di Facebook terus viral dan segala
macem, emang value-nya apa? Justru itu poinnya, bagaimana kita memaknai sebuah kata
value tersebut bisa menjadi sebuah kesalahan tafsir terhadap sebuah worldview yang akan
disampaikan. Menurut gua, meme tersebut masih ada value di dalamnya, kenapa? Karena gua
membagikan itu masih terhadap orang yang memang memiliki minat dalam hal itu dan hal
yang gua bagikan itu adalah hal yang orisinil. Memang bukan hal yang dapat mengubah
dunia, tetapi emang semua hal yang punya value harus bisa mengubah dunia, menurut gua
enggak.
Lambat laun gua mulai coba media lain, kayak Twitter itu gua baru nyoba pas awal
SMA, cuma gua ada akun twitter udah dari kelas 5 SD. Bisa dibilang track record gua di
twitter emang gak baik sih. Banyak hal negatif yang gua lakukan di Twitter, salah satunya ya
jadi akun anon jahat, hate speech, ribut sama kpop-ers alay, ngebercandain orang kena
mental illness. Itu belum semua, gua tau gua itu emang salah banget. Disitulah mulai ada
sebuah toxicity gua melihat sebuah media internet bisa sejauh apa. Sebenarnya hal ini juga
gara-gara banyak hal yang menyebabkan gua jadi kayak gini sih, akar penyebabnya mungkin
itu. Di era ini juga sebenarnya gua juga melihat banyak visi dari media sosial yang pernah
gua coba itu punya visi yang berbeda dari awal gua nyemplung. Mulai dari target pasar
mereka, kebijakan dan peraturan mereka, lalu skena pasar mereka arahnya kemana.
Sebenarnya bukan masalah major dan gak mengganggu sama sekali, apalagi bagi gua sebagai
user. Tetapi ketika gua mencoba melihat bigger picture-nya disitulah mungkin awal dari
alasan gua menghindar dari ini semua.
Ini mungkin sebuah konsep yang cukup rumit klo dijelasin semua, gua juga gak bisa
mendeskripsikannya. Tapi intinya kayak gini, sosial media baru-baru ini tuh secara garis
besar semuanya sama, bagaimana cara mereka bekerja itu kayak sebuah pattern. Sebuah
algoritma kompleks yang dimana kita semua tuh gak ada yang tahu bagaimana ini sistemnya
gimana. Disini gua mencoba menyimpulkan bahwa penggunaan dari sosial media ini sangat-
sangat mempengaruhi bagaimana sistem kerja otak, mental, bagaimana cara kita berfikir,
reasoning kita dalam memilih sesuatu. Percaya atau enggak, society kita saat ini itu disetir
sama media sosial
Satu hal yang gua bisa lihat positifnya dari maraknya media massa sekarang itu
adalah usaha UMKM jadi bisa lebih berkembang dan persebaran informasi udah sangat amat
mudah untuk diakses semua orang, itu doang kayaknya. Tapi gini mungkin argumennya,
“Tapi kan ada positifnya tapi kok masih gak mau main sosmed?”, balik lagi terhadap value
yang gua pegang, pertama “Apakah gua lagi merintis sebuah bisnis yang membutuhkan
media sosial sebagai media promosi?”, Enggak. Lalu, “Kan masih banyak informasi yang
berguna, kenapa masih gak mau main?”, Simple, karena gua gak peduli. Udah itu aja
mungkin simple-nya. Gua gak peduli juga gua bukan seorang yang ignorant, gua masih
mencoba baca buku buat mencari informasi dan gua juga terkadang masih beli barang-barang
lokal yang bisa gua jangkau. Gua gak perlu menjadi relateable atau respons terhadap tren,
menurut gua yang terpenting adalah bagaimana kita punya sebuah reasoning dan tindakan
yang tepat terhadap bagaimana cara menanggapi perkembangan zaman. Pada akhirnya gua
memilih cara lain, kenapa? Ya, hidup-hidup gua terserah gua.
Disinilah bakal sedikit serius karena ini adalah hal yang paling menyita concern gua
terhadap penggunaan media sosial. Lagi-lagi gua gak peduli terhadap bagaimana orang-orang
menggunakan dan mengkonsumsi media internet, itu sebuah pilihan dan gua sama sekali
tidak menyalahkan apapun tentang itu. Begini, mungkin awal yang tepat buat memulai topik
ini itu membahas bagaimana sistem self control kita masing-masing. Pada dasarnya manusia
punya kemampuan untuk berpikir terhadap toleran mereka untuk menerima dan memutuskan
terhadap hal-hal yang ada dalam pikiran masing-masing. Disini gua menempatkan diri gua
sendiri sebagai user. Bisa dikatakan gua adalah orang yang punya cukup self control, sebuah
imunitas terhadap media yang gua konsumsi, dan batasan-batasan yang gua buat terhadap diri
gua sendiri untuk tidak terdoktrin terhadap media massa sekarang. Semuanya gua bangun
memang dari gua melakukan kesalahan-kesalahan yang pernah gua buat, gua masih manusia
yang penuh dosa. Gua pernah nyakitin seseorang di internet, gua juga pernah kecanduan
”scroll”, melakukan tindakan rasisme terhadap kalangan tertentu, mengkonsumsi pornografi
dan banyak hal yang memang tidak etis, gua jujur aja gua adalah manusia yang pernah
tenggelam waktu itu.
Gua bukan seorang expert, tapi gua melakukan sebuah pengamatan dalam hal ini.
Menurut gua ada sebuah detail kecil dalam penggunaan media sosial yang dimana itu bisa
merubah sistem pikiran kita dalam berperilaku, berpikir, dan bertindak. Dalam hal ini
algoritma memiliki peran besar dalam society sekarang. Bagaimana kita menanggapi sesuatu
dan bagaimana kita menyikapi itu ada pengaruh yang cukup major dari media sosial dan
konsumsi dari media yang kita liat tiap hari. Gua berani ngomong bahwa 80% hal yang kita
pikirin, kita lakukan, kita inginkan itu pasti ada pengaruhnya dari sosial media. Percaya atau
enggak, itu mungkin sebuah dampak yang mungkin tidak terasa, kata relateable baru-baru ini
bukanlah sebuah kata yang menggambarkan adanya keterkaitan dan kesamaan antar aspek
sosial, itu sebenernya hanya terminologi dari buaian kalau kita udah terpengaruh sama sosial
media.
Bagaimana sebuah pattern dan pola algoritma media massa sekarang bekerja
tergantung media yang kita konsumsi. Itulah bahaya yang dihadapkan baru-baru ini, resiko
buat kecanduan dan bagaimana kita berpikir tentang sesuatu itu banyak pengaruh secara pasif
dari media yang kita konsumsi. Bigger picture yang gua lihat disini bisa dikatakan bahwa ini
sangat berpengaruh terhadap kapasitas kita terhadap makhluk yang memiliki akal. Menurut
gua ini memiliki hubungan dengan visi dari media massa baru-baru ini, gua bisa katakana
bahwa sangat sedikit concern korporasi-korporasi terhadap keamanan dan kesehatan jasmani
maupun rohani dari para user, korporat hanya peduli terhadap keberlanjutan media dan
produk mereka. Kalaupun mereka peduli, media massa sekarang gak aka nada yang berhasil
dan koran akan makin berjaya sekarang. Konsep-konsep yang gua amati sebenernya sangat
kompleks dari praktik-praktik yang kita lakukan sehari-hari. Kalau dari perspektif gua yang
sekarang mendalami bidang arsitektur, media yang seharusnya menjembatani begitu banyak
industri terjadi banyak praktik yang kurang ideal dan mungkin juga malpraktik.
Banyak hal yang keliru dan juga seharusnya tidak ada tetapi malah menjadi sebuah
hal yang dimaklumi dalam prakteknya. Seolah-olah semuanya hanyalah fabrikasi dari para
korporat, pemegang pasar, mafia dan para sosok-sosok dibalik panggung yang mengatur
semuanya. Dalam realitanya memang angka dan grafik yang menjadi concern utama dari
praktisi ini, siapa yang tidak suka engagement dan uang? Semua orang pasti. Tetapi hal ini
tuh terjadi ketidak seimbangan sehingga banyak pihak yang menyalah gunakan hal ini hanya
untuk keuntungan sendiri, tanpa mempedulikan dampak sosial yang akan terbangun akan hal
ini. Diatas kertas memang pengaruhnya kecil, tapi ketika kita lihat bigger picture-nya, berapa
orang yang memakai media sosial sekarang? Apakah semua orang punya awareness yang
cukup terhadap hal ini? Memang ironis kalau dilihat dari sisi kemanusiaan kalau banyak
orang yang telah dibodohi oleh korporat-korporat ini.
Akhir kata, gua bukan orang yang besar buat mengubah dunia, gua juga bukan hal
yang punya power buat membenarkan ini semua. Sebenarnya banyak juga hal positif yang
dapat diambil dari media massa sekarang ini, hanya saja gua masih tidak menemukan value
yang bisa gua ambil. Kalaupun menggunakan hanya sekadar formalitas, gua masih mencoba
menolak itu, kenapa? Gua tau sebuah efek domino itu nyata, gua punya masa lalu yang suram
akan hal ini, gua sadar kapasitas gua dalam menghadapi ini, dan gua takut akan dampak hal
negatif yang akan terjadi karena gua sadar akan itu semua. Hidup ini emang pilihan, dalam
hal ini gua memilih untuk concern terhadap dampak yang beresiko bagi gua akan hal ini.

You might also like