You are on page 1of 177

Bekas Jejak

Kumpulan Catatan Perjalanan Islamic Trip


Kuala Lumpur – Malaka
2019

Bekas Jejak | 1
Bekas Jejak
Kumpulan Catatan Perjalanan Islamic Trip
Kuala Lumpur – Malaka, 2019

Penulis;
Pay Jarot Sujarwo, Afiyah Latifah, Aulia Marti, D.R. Tirtasujana,
Else Hilviana, Eva Farida, Fahrurazi, Johan Jauhari, Liavi, Mahyudin,
M. Hermayani Putera, Soffie Balgies, Wahyudin Ciptadi, Yopi Indra,
Yustisi, Zaki Baihaqi.

Sumber Foto:
Wahyudin Ciptadi, Linda Ummu Vitosacha, dan para penulis

Sketsa:
Joko Hardyanto, Johan Jauhari, Rangga Firmansyah

Tata Letak:
Tedy Audioactivity

Rancang Sampul:
Joko Hardyanto

Dicetak pertama kali


Maret 2023

Islamic Trip Community


Jalan Uray Bawadi
Gang Podorukun No. 43
Pontianak
081388991924

2 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Sebelum Perjalanan Dimulai
(Sebuah Pengantar)

Pertama, saya ingin menyampaikan maaf yang sedalam-


dalamnya atas keterlambatan buku ini. Ini merupakan buku yang
sudah direncanakan bahkan sebelum perjalanan itu dimulai.
Kronologisnya, medio 2019 saya bikin open trip ke Malaka
dan Kuala Lumpur. Mengajak siapa saja untuk ikut, khususnya
mereka yang beragama Islam. Saya kasi judul perjalanan ini
Islamic Trip. Niatnya melakukan safar tanpa harus melanggar
syariat seperti (mohon maaf) yang sering kita jumpai dalam
perjalanan. Buka aurat, campur baur kehidupan sosial, khmar,
dan sebagainya.
Tak hanya itu, saya pribadi ingin ada sesuatu yang
membekas pasca perjalanan. Sukur-sukur bisa jadi amal jariyah
bagi kita semua. Oleh karena itu judul “Islamic Trip” saya tambahi
dengan kalimat “Travel Book Project”.
Maksudnya bagaimana ini?
Maksudnya, setiap peserta diharapkan menuliskan
pengalamannya sepanjang perjalanan untuk nantinya akan
diterbitkan dalam bentuk buku.
Lalu bagaimana dengan peserta yang ingin ikut trip tapi
tak bisa menulis? Untuk mengurangi beratnya beban menulis
bagi peserta, sebelum berangkat saya bikin pelatihan dasar
kepenulisan. Secara online. Diberikan kepada seluruh peserta
yang sudah mendaftar.
Singkat cerita, satu per satu para peserta mulai
mendaftar. Bahkan ada peserta yang sudah pernah ikut trip
sebelumnya sewaktu saya ke Malaysia, Vietnam dan Kamboja.
Peserta yang mendaftar tak hanya dari Pontianak tapi juga dari
berbagai kota di negeri ini. Sebut saja misalnya Jakarta, Bogor,
Surabaya, Banjarbaru, Bandung, bahkan ada yang dari kendari.
Ini perjalanan singkat. Dua malam tiga hari. Rugi kalau
dilewati dengan tidak antusias. Secara teknis, kami akan
berjumpa di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA) 2 pada

Bekas Jejak | 3
hari yang telah ditentukan untuk selanjutnya kita akan berangkat
bersama ke Malaka lanjut Kuala Lumpur.
Setelah peserta pulang mereka diberi kesempatan untuk
menulis pengalamannya. Mudah? Cepat selesai? Jawabannya
tidak. Deadline tiga bulan gagal. Masih banyak peserta yang
belum kumpulkan naskah.
Kejadiannya waktu itu Oktober 2019. Hingga tahun baru
2020 naskah juga belum terkumpul. Sampai akhirnya wabah
melanda dunia ini. Corona Virus. Saya mengakui, proyek ini
sempat terbengkalai. Naskah yang sudah masuk terpaksa harus
tertahan di dalam foder laptop cukup lama.
Sesekali saya utak-atik, mengedit yang perlu diedit,
kehabisan energi. Istirahat lagi. Lanjut lagi. Begitu lagi. Hingga
setahun pasca trip berlalu, buku belum juga terbit. Saya tak bisa
membiarkan ini berlarut-larut. Sebab bagaimanapun ini amanah.
Ada harapan dari para peserta tentang terbitnya buku ini. No
matter bagus atau tidak cerita yang disuguhkan, yang terpenting
sharing pengalaman bisa diwujudkan.
Bismillah. Saya buka lagi folder ‘Bekas Jejak’. Saya susun
naskahnya pelan-pelan. Saya edit kembali apa yang perlu diedit.
Saya kumpulkan foto-foto yang cocok untuk dimuat dalam buku.
Tinggal tata letak, naik cetak, dan buku ini akhirnya ada di tangan
pembaca.
Kepada para peserta trip, sekali lagi mohon maaf atas
keterlambatan ini. Saya percaya selalu ada value dari cerita yang
dibagi. Semoga saja value dalam buku ini menjadi begitu
berharga di tangan para pembaca, sehingga kita semua kebagian
amal jariyahnya.
Pembaca sekalian, selamat menikmati perjalanan
singkat kami. Semoga lain waktu kita dapat traveling bersama
lagi.

Salam
Pay Jarot Sujarwo

4 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Daftar Isi
Sebelum Perjalanan Dimulai (Sebuah Pengantar) ~ 3

Pay Jarot Sujarwo ~ 7


Islamic Trip ~ 8
Ihsanul Amal ~ 11
Kuala Lumpur dan Malaka ~ 13

Afiyah Latifah ~ 21
Yang Membekas Selama di Malaysia ~ 22

Aulia Marti ~ 26
Banyu Bening Menang Manfaat ~ 27
Terhipnotis Magnetisme Kota Malaka ~ 28
Becak Hias Tingkatkan Kadar Serotonin ~ 31
Macam Mak Masak ~ 32
Menyusuri Sungai Sambil Membelah Kota Malaka ~ 37
Semalam di Kuala Lumpur ~ 38

D.R. Tirtasujana ~ 43
Oleh-Oleh Langka dari Malaka ~ 44

Else Hilviana ~ 53
Perjalanan ke Sungai Pawan. Eh Salah, yang Benar Sungai
Malaka ~ 54

Eva Farida ~57


Malaka, dan Pesonanya yang Tak Lekang oleh Zaman ~ 58

Fahrurazi ~ 64
Malaka, Cerita Tentang Perjalanan ~ 65
Info Tambahan ~ 77

Johan Jauhari ~ 79
Hajar, Bleh! ~ 80
Penjelajah dan Penjajah ~ 82

Bekas Jejak | 5
Liavi Viana Dewi ~ 85
Sepuluh Ribu Langkah di Malaka ~ 86

Mahyuddin ~ 93
Di Masjid Tua ~ 94
Bahasanya Eksotis dan Sentimental ~ 96

M. Hermayani Putera ~ 102


Berselancar di Sejarah Malaka ~ 103
Bertemu Dr. Zakir Naik ~ 108
Sekilas tentang Masjid Putra ~ 109
Putrajaya Pusat Pemerintahan Malaysia Sejak Sembilan Lima ~ 110
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia ~ 111
Wisata Jelajah Sungai Malaka ~ 114
Jonker Walk ~ 115
Malaka, I Shall Return ~ 117

Soffy Balgies ~ 118


Di Malaka; Kita Ini Sama ~ 119

Wahyudin Ciptadi ~ 124


Mempelajari Arsitektur Masjid Kling Malaka ~ 125

Yopie Indra Pribadi ~ 133


Jonker dan Jebat : Antara Simbiosis Kultural dan Literasi
Epik ~ 134
Sungai Malaka Kreativitas Nirbatas ~ 138
Sensasi Bukit St Paul dan Suasananya itu ~ 142
A Famosa Narasi Geografis dan Filosofi Benteng
Pertahanan ~ 144

Yustisi ~ 150
Berguru di Tanah Seberang .151

Zaki Baihaqi ~ 157


Pertama Kali ke Luar Negeri ~ 158

Suplemen: Tuntunan Qashr dan Jamak Kala Safar ~ 166

6 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Pa
Payy Jaro
Jarott Sujar
Sujarwwo
(Pontianak)

Bekas Jejak | 7
Islamic Trip
Jika traveling sudah menjelma menjadi cita-cita bagi sebagian
besar manusia modern, benarkah cita-cita itu diridhoi yang maha
kuasa? Faktanya banyak manusia punya cita-cita bisa traveling,
kemudian terwujud, kemudian merasa sudah menang, berjaya,
untuk selanjutnya melakukan aktivitas perjalanan dengan gaya
terserah-terserah saja.
Dulu, seorang penulis perjalanan bernama Agustinus
Wibowo pernah protes dengan Lonely Planet. Buku panduan
perjalanan itu telah membuat gaya orang traveling menjadi
seragam. Merasa percaya diri berpergian tanpa guide sebab
sudah punya buku suci. Menjadi backpacker. Bertemu orang baru.
Bercakap-cakap dengan bahasa asing, keren rasanya. Tapi apa
yang terjadi?
Ternyata ‘buku panduan perjalanan’ tak hanya membuat
orang lebih mudah mengunjungi suatu tempat. Mereka, para
traveler itu, ingin punya pengalaman lebih. Inilah yang dicari.

Sket Selat Malaka


oleh: Joko Hardyanto

8 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Sharing experience antar traveler sering dijadikan alasan.
Akibatnya, terbentuklah komunitas traveler. Offline dan online.
Dibikinlah berbagai kegiatan. Kumpul. Kongkow. Antar kota, antar
provinsi, antar negara. Berbagai interaksi terjadi. Bolehkah?
Boleh-boleh saja selama semua itu tak melanggar
peraturan yang sudah dibuat Allah. Tapi silakan cek sendiri aktivitas
para traveler ini. Sebut saja misalnya Asia Tenggara. Di beberapa
kota seperti Bangkok, Phnom Penh, Ho Chi Minh, Bali, Siem Reap,
Pattaya, dan masih banyak lagi, hari ini secara terang-terangan
memperlihatkan berbagai macam kemungkaran. Dan amat sangat
disayangkan, berbagai aktivitas kemungkaran itu terselenggara
demi memanjakan para traveler. Simbiosis mutualisme katanya.
Para traveler bisa menikmati kondisi suatu negara,
sedangkan negara diuntungkan dengan terjadinya berbagai macam
transaksi dari para traveler. Yang amat sangat disayangkan, sebagian
besar transaksi yang terjadi tidak dilandasi dengan iman.
Orang barat ingin ke Thailand agar bisa naik gajah, masuk
hutan, berinteraksi dengan alam. Naik gajah selesai, lalu mereka
kongkow di kota. Orang barat ingin bisa merasakan eksotisme
Angkor Wat di Kamboja, menjelajahi Angkor Wat selesai, lalu
mereka kongkow di kota. Orang barat ingin berjemur di pantai Bali,
berjemur selesai, mereka kongkow di kota. Orang barat ingin ini
ingin itu di negeri-negeri timur, setelahnya mereka kongkow di kota.
Orang barat suka alkohol, maka orang timur sediakan
alkohol. Maka menjamurlah cafe, diskotik, restoran, hotel untuk
memanjakan orang barat. Selanjutnya terjadi interaksi dengan
orang timur. Selanjutnya terjadi tukar pemikiran. Terjadi tukar gaya
hidup. Orang barat ke timur ada yang ingin pakai sarung, orang timur
bertemu orang barat ada yang pengen telanjang di pantai. Selamat
datang di industri bisnis yang begitu menjanjikan materi di dunia.
Pariwisata. Traveling. Tapi bagaimana dengan hari akhir?
Tak banyak orang cerita tentang hari akhir dalam aktivitas
traveling di era sekarang. Betapa tidak, hari ini berbagai macam
aktivitas kita sudah dihegemoni dengan sebuah kekuatan besar
bernama sekulerisme, mengandalkan penopang ekonomi kapitalis,
bervisi liberalis. Hari ini adalah hari ini. Tak ada urusannya dengan
hari akhir. Naudzubillah.
Ini beda cerita ketika tatanan dunia dijalankan dengan

Bekas Jejak | 9
sepenuh jiwa karena Allah ta’ala. Seluruhnya. Individu, masyarakat,
ekonomi, gaya hidup, pendidikan, kenegaraan, semuanya dijalankan
dengan peraturan yang berlandaskan pada aturan Allah. Seluruh
aktivitas serta merta menjadi aktivitas yang bervisi ilahiah.
Penyimpangan terjadi? Ada. Tapi segera tertangani. Apakah ada
maksiat? Bisa jadi, tapi betapa minim jumlahnya. Negara juga punya
rule yang tegas. Base on kitabullah dan sunnah. Dan itu pernah
terjadi.
Saksikanlah Ibn Batuttah, Laksamana Cheng Ho, Sa’ad bin
Abu Waqqas, Muhammad Al Idrisi, Ibnu Madjid dan masih banyak
lainnya. Orang-orang ini menyandang gelar traveler. Tak sekadar
bikin bekas jejak, tapi menjadi inspirasi tak putus bagi generasi
setelahnya. Dan yang terpenting, perjalanan demi perjalanan
dilakukan mereka dalam rangka merealisasikan misi hidup. Misi
seorang makhluk yang sudah diciptakan. Apa misi itu?
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Inilah sesungguhnya misi hakiki manusia dan jin. Beribadah.
Termasuk saat melakukan perjalanan kemanapun. Termasuk
melakukan perjalanan ke Kuala Lumpur dan Malaka, yang kisahnya
dapat kalian baca di buku ini.

10 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Ihsanul Amal
Kenapa Kuala Lumpur – Malaka? To the point, karena dekat dan
murah. Dan yang dekat dan murah ini ternyata punya nilai
berharga. Kalau dalam banyak transaksi bisnis kita sering
mendengar istilah, “ada harga ada rupa”, itu tidak berlaku dalam
perjalanan kali ini.
Malaysia adalah destinasi paling dekat dengan
Indonesia. Siapa saja yang sudah punya pengalaman berpergian
dengan pesawat di Indonesia, hampir pasti juga tidak akan
mengalami kesulitan ketika ke Malaysia. Perbedaan mencolok
hanya pada ada tidaknya gate imigrasi. Perjalanan domestik,
kita bebas lenggang kangkung begitu keluar bandara beberapa
saat setelah landing, sedangkan perjalanan internasional kita
masih harus mengantri di counter imigrasi. Itu saja.
Apalagi Malaysia, tak terlalu repot dengan perkara
bahasa. Rumpunnya sama, Melayu. Malah akan repot jika bahasa
Jawa harus berkomunikasi dengan orang berbahasa Bugis.
Kemudian ada lagi orang Flores nimbrung yang menyahut orang
Padang. Auto pusing. Tapi itulah luar biasanya bahasa.
Komunikasi tetap saja bisa terbina.
Baik, mari kita kembali ke Kuala Lumpur – Malaka. Tapi
sebelum masuk lebih dalam mari kita awali dengan meluruskan
niat terlebih dahulu. Pertama, traveling merupakan salah satu
amal perbuatan manusia. Seluruh umat Islam sudah mengetahui
(meski masih ada yang abai), bahwa amal perbuatan ini, apapun
bentuknya, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Atau
istilah lainnya, akan dihisab.
Sebagian amal kita di dunia ini akan sangat mudah
mengantarkan kita ke surga, sebagian amal lainnya juga akan
begitu mudah menggelincirkan kita ke neraka. Untuk itu
diperlukan kesadaran penuh, bahwa apapun yang kita lakukan
di dunia ini merupakan sebuah proses yang hasilnya akan kita
petik di akhirat nanti. Termasuk traveling ke Kuala Lumpur –
Malaka.
Ihsanul Amal. Amalan terbaik adalah amalan yang

Bekas Jejak | 11
diterima oleh Allah. Tentu saja ini yang kita harapkan. Apalagi?
Memangnya mau amal kita tidak diterima oleh Allah? Para ulama
terdahulu menyimpulkan ada dua syarat pokok agar kita
mencapai ihsanul amal. Jika salah satu dari dua syarat ini tidak
terpenuhi, otomatis amal perbuatan kita tidak diterima.
Yang pertama adalah dilakukan dengan niat yang ikhlas.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung
niatnya.” Menurut Imam Bukhari, setiap amal perbuatan yang
tidak diniatkan karena Allah, maka perbuatan itu akan sia-sia.
Lurusnya niat inilah yang akan membawa seseorang pada derajat
mukhlis. Ikhlas.
Yang kedua adalah dilakukan dengan cara yang benar.
Benar yang dimaksud adalah benar menurut syariat. Dan kita
punya teladan dalam rangka melakukan seluruh amal yang
dibenarkan syariat. Yaitu Rasulullah Muhammad SAW.
Di dalam Alquran, surah Al Hasyar Ayat 7 disebutkan
bahwa “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” . Ini
artinya kita semua punya panduan dalam melakukan amal yang
benar.
Rasulullah sudah mencontohkan kepada para sahabat,
dicontoh oleh generasi berikutnya, terus menerus selama
ratusan, ribuan tahun, hingga sampai pada zaman kita.
Ingin beraktivitas yang akan diridhai Allah SWT? Dua hal
ini wajib terpenuhi. Niatnya ikhlas, caranya tidak dibenarkan
syariat, maka amal tertolak. Begitu sebaliknya, caranya benar
tapi niatnya bukan karena Allah, pun akan tertolak. Maka syarat
mutlak inilah yang menjadi acuan kita. Termasuk para pejalan
yang akan melakukan amal perbuatan selama kurang lebih tiga
hari dua malam di negeri orang.
Bismillah. Kaki-kaki itu pun melangkah. Dari rumah
masing-masing, menuju bandara di masing-masing kota,
mendarat di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA) 2.

12 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Kuala Lumpur dan Malaka
Kuala Lumpur. Kenapa namanya demikian? Bukankah
lumpur itu kotor? Kenapa dijadikan nama kota bahkan menjadi
salah satu kota yang tersohor di dunia?
Salah satu jawaban yang kerap dijadikan rujukan adalah
aktivitas pertambangan di dua sungai yang menyatu. Sungai
Klang dan Sungai Gombak bertemu di sebuah Kuala.

Sket Menara Kembar Petronas


oleh: Joko Hardyanto

Bekas Jejak | 13
Pertambangan itu menghasilkan lumpur. Sebagai pusat
pertambangan, daerah kuala menjadi ramai didatangi orang dari
mana saja. Sangat mudah ditebak, ya, wilayah ini jadi pusat
interaksi, transaksi, percampuran budaya dan sebagainya. Hingga
akhirnya menjadi kota. Di zaman modern ini siapa saja bisa
menyaksikan pertemuan dua sungai ini di depan Masjid Jameek.
Dari sinilah nama Kuala Lumpur bermula.
Tapi di zaman sekarang tak banyak orang yang hirau akan
cerita ini. Cerita sejarah tak terlalu menarik bagi para pelancong di
Kuala Lumpur. Orang-orang lebih suka me-mamerkan menara kembar
petronas. Kata-nya, belum ke Kuala Lumpur, kalau belum ke menara
kembar.
Biasanya Kuala Lumpur dijadi-kan langkah awal dalam
melakukan pengembaraan di Asia Tenggara bagi warga Indonesia.
Ini jarak yang paling dekat dari Indonesia dengan biaya yang
relatif murah. Hampir setiap provinsi di Indonesia memiliki rute
penerbangan ke Kuala Lumpur.
Tetapi ini bukan perjalanan biasa. Kita punya misi besar
dalam perjalanan kali ini. Menulis. Mencatatkan perjalanan. Agar
bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pembacanya. Agar
bisa menjadi amal jariyah bagi para penulisnya.
Malaka adalah kota berikutnya yang menjadi pilihan.
Kota bersejarah ini akan punya banyak sekali cerita untuk
dituliskan. Dari cerita tentang kejayaan Islam, pusat bandar
perdagangan, hingga Alfonso de Alburqueque yang pada
akhirnya mencatatkan sejarah kolonialisme di negeri ini. Jika

Sket Istana Kesultanan Malaka


oleh: Joko Hardyanto

14 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


tak suka sejarah, setidaknya para pejalan masih bisa menikmati
kota yang tak pernah sepi ini. Menyusuri sungai, menikmati
keindahan benteng Portugis. Berpose di bangunan berlatar
merah bata. Atau ikut larut dalam gegap gempita jalan Jongker
dan juga kelap kelip lampu becak di setiap sudut kota.
Ketika berbicara sejarah Malaka, nama Parameswara
adalah sesuatu yang tak boleh dilupakan. Dalam buku yang
berjudul Berebut Kuasa Malaka karangan Johan Wahyudi,
M.Hum., diceritakan bahwa Parameswara merupakan Pangeran
Palembang yang menikah dengan adik perempuan Raja
Majapahit, Wikramawardhana. Pada penghujung abad 14,
Parameswara melakukan tindakan makar di Palembang yang kala
itu sudah berada di bawah pemerintahan Majapahit.
Akibatnya, pada tahun 1397, Wikramawardhana
mengirimkan pasukan Majapahit untuk menghukum adik iparnya
itu. Mengetahui hal itu, sebelum pasukan Majapahit mendekati
Palembang, ia sudah meninggalkan kediamannya lalu menuju
Tumasik (hari ini Singapura).
Bersama para pengikutnya yang masih tersisa,
Parameswara menyusuri pesisir Selat Malaka. Dalam When China
Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne (2014)
Louise Levathes menjelaskan, Parameswara kemudian
mendirikan kerajaan baru di tepi Selat Malaka pada 1405 M.
Negeri inilah yang dikenal dengan nama Kerajaan Malaka.
Sewaktu mendirikan kerajaan Malaka, Parameswara
sudah beralih nama menjadi Iskandarsyah. Di tangannya Malaka
menjadi sebuah bandar dagang yang besar. Rempah-rempah
menjadi produk utama yang paling diburu oleh manusia dari
setiap sudut dunia. Selat Malaka pada masanya menjadi
pelabuhan sentral tempat para pedagang dari mana saja datang
dan pergi. Selesai masa pemerintahan Iskandarsyah pem-
bangunan Malaka dilanjutkan oleh putranya Raja Besar Muda
yang bergelar Raja Ahmadsyah.
Begitulah, Malaka menjadi salah satu kota penting di
kawasan timur dunia. Hingga akhirnya sekitar abad ke-16, Eropa
mulai memperlihatkan tajinya. Seperti kita ketahui bersama
bahwa kawasan Eropa selama ratusan tahun dilanda kegelapan.
Pemerintahan yang korup, kongkalikong antara penguasa dan

Bekas Jejak | 15
pendeta, membuat suasana sosial politik centang perenang.
Masyarakat Eropa berada di bawah garis kebodohan akut.
Hingga kemudian Eropa merasa perlu untuk bangkit.
Caranya, dengan memisahkan kehidupan yang diatur oleh
penguasa dengan peraturan-peraturan dari Tuhan (gereja).
Tuhan tak boleh ikut campur mengurusi urusan kehidupan. Tuhan
hanya bagian kecil dari spiritualitas individu saja. Tidak bisa
dibawa-bawa dalam pengelolaan kerajaan. Kelak mereka
menganut paham sekularisme yang pada akhirnya membawa
mereka pada kemenangan.
Spanyol dan Portugis menjadi dua bangsa Eropa yang
paling gigih untuk saling berlomba mendapatkan dan menguasai
daerah-daerah yang disinyalir menjadi pusat perkebunan
rempah. Betapa tidak, dua bangsa ini telah menjadi kekuatan
baru di dunia setelah sebelumnya menghancurkan sebuah
negara adidaya. Sebuah negara yang selama rentang kurang
lebih delapan abad menghadirkan cahaya yang terang benderang
di kawasan Spanyol dan Portugis. Negara adidaya itu bernama
Islam. Wilayah kekuasaannya sebelum akhirnya berganti nama
menjadi SÍanyol dan Portugis lebih populer dengan sebutan
Andalusia.

Flashback ke Negeri Asal Spanyol dan Portugis.


Mari kita flashback sebentar. Pada bagian ini kita akan
mengembara ke sebuah negeri yang pernah menjadi mercusuar
dunia. Negeri yang nantinya melahirkan negara Spanyol dan
Portugis. Dua bangsa yang sempat membelah dunia lewat
perjanjian Tordesillas. Dua bangsa yang mengarahkan layarnya
ke berbagai penjuru dunia, termasuk nusantara lewat pintu
Malaka. Menguasai rempah-rempah dengan alat yang bernama
kolonialisme. Kita lebih akrab mendengarnya sebagai penjajahan.
Negeri itu bernama Andalusia atau juga biasa dikenal
sebagai Semenanjung Iberia. Andalusia dipisahkan dengan
Maroko (Afrika Utara) oleh sebuah selat yang pada akhirnya
dikenal dengan nama Selat Gibraltar. Dalam buku berjudul
Bangkit dan Runtuhnya Andalusia karangan DR. Raghib As-Sirjani,
tentang sebab penamaan Andalusia, konon ada beberapa suku
kanibal yang berasal dari kawasan Utara

16 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Skandinavia, dari kawasan Swedia, Denmark, Norwegia,
dan sekitarnya. Mereka menyerang kawasan ini dan hidup di
sana dalam kurun waktu yang cukup lama.
Ada pula yang berpendapat bahwa suku-suku itu datang
dari wilayah Jerman. Tapi yang penting bagi kita adalah kabilah-
kabilah ini dikenal dengan sebutan suku-suku Vandal atau
Wandal dalam bahasa Arab. Sehingga wilayah itupun dikenal
sebagain Vandalisia mengikuti nama-nama suku yang hidup di
sana. Seiring perjalanan waktu, nama itu pun berubah menjadi
Vandalusia, untuk kemudian berubah lagi menjadi Andalusia.
Suku-suku tersebut sangat dikenal dengan kekejaman-
nya, sehingga kata ‘Vandalism’ dalam bahasa Inggris memiliki
makna kekejaman, keganasan, dan perusakan. Kata ini juga
bermakna, cara hidup kuno atau tidak modern. Inilah pengertian
dan ideologi yang ditanamkan oleh suku-suku Vandal tersebut.
Suku-suku ini sendiri kemudian keluar meninggalkan Andalusia,
yang kemudian dikuasai oleh kelompok-kelompok Kristen yang
dalam sejarah dikenal dengan nama “Goth/Gothic”. Mereka terus
menguasai Andalusia hingga kehadiran kaum muslimin di sana.
Di dalam peta, negeri Andalusia ini masuk dalam wilayah
Eropa. Ujungnya Eropa. Lalu dipisahkan selat selebar kurang lebih
12 KM, dilanjutkan daratan Afrika (Maroko). Sangat penting bagi
kita untuk mengetahui dan memahami tentang kondisi Eropa
khususnya Andalusia di masa lalu.
Masih mengutip penuturan DR. Raghib dalam bukunya
Bangkit dan Runtuhnya Andalusia, Eropa pada waktu itu hidup
dalam masa-masa kebodohan dan keterbelakangan yang luar
biasa. Masa kegelapan (The dark age). Kezhaliman adalah sistem
yang berlaku di sana. Para penguasa menguasai harta dan
kekayaan negeri, sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan
yang parah. Para penguasa menguasai istana dan benteng,
sementara rakyat kebanyakan bahkan tidak memiliki tempat
berteduh dan rumah yang layak. Mereka dalam kondisi
kemiskinan luar biasa. Parahnya lagi, manusia menjadi barang
dagangan. Diperjualbelikan terserah tuannya. Dijadikan budak.
Diperas tenaganya. Dihinakan kehormatannya. Moral
mengalami degradasi, kehormatan diinjak-injak.
DR Raghib sampai menggambarkan; mereka membiar-

Bekas Jejak | 17
kan rambut mereka tumbuh menjulur di wajah-wajah mereka
tanpa merapikannya. Mereka tidak mandi kecuali sekali atau
dua kali dalam setahun. Bahkan mereka menganggap semua
kotoran yang menumpuk di tubuh mereka akan menyehatkan
tubuh mereka, karena menjadi berkah dan kebaikan untuk
mereka. Sungguh sebuah kebodohan maksimal.
Kekacauan di tanah Eropa tersebut berlangsung cukup
lama. Sungguh di masa-masa kegelapan tersebut ilmu
pengetahuan rasanya begitu jauh dari Eropa. Hingga akhirnya
rombongan kaum muslimin di bawah komando Thariq bin Ziyad
datang dari Maroko. Menyeberangi selat. Mengalahkan Raja
Roderic penguasa Andalusia yang terkenal zhalim. Selanjutnya
Andalusia dikuasai pemerintahan Islam. Pelan-pelan cahaya
terang mulai menerangi negeri tersebut. Universitas berdiri.
Saintis, ulama, berlomba-lomba menebar ilmu. Masyarakat
tercerahkan. Hingga akhirnya warna Eropa benar-benar berubah.
Peradaban gelap yang penuh kebodohan berubah
menjadi mercusuar yang gilang gemilang di bawah pemerintahan
Islam.
Sejarawan mencatat, kurang lebih delapan abad Islam
berada di Andalusia. Masjid Cordova, Istana Alhambara adalah
saksi yang tak bisa membantah kegemilangan tersebut.

Sket Masjid Cordoba


oleh: Joko Hardyanto

18 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Sunatullah, kegemilangan Islam di tanah Eropa tersebut
harus memudar dan pada akhirnya runtuh. Faktor internal seperti
betapa para penguasa itu akhirnya terlalu cinta dengan dunia.
Tenggelam dalam kemewahan dan bergelimang dalam
kenikmatan yang bersifat sementara. Ini momen-momen yang
begitu menyakitkan. Kemaksiatan merajalela.
Dari eksternal musuh sudah terlalu kuat. Semangat jihad
memudar bahkan hilang. Lengkaplah sudah. Satu persatu
benteng-bentang kaum muslimin direbut. Granada menjadi
pertahanan terakhir bagi kaum muslimin. Tapi tak juga bertahan
lama. Tercatat pada tanggal 2 Januari 1492 Masehi, Granada
berhasil direbut. Itu sekaligus mengakhiri kekuasaan Islam di
Andalusia yang sudah berlangsung selama delapan abad.
Selanjutnya adalah pergiliran kekuasaan. Berkat cahaya
Islam, bangsa Eropa tak lagi bodoh. Banyak hal yang dapat mereka
pelajari. Keturunan bangsawan Eropa banyak yang
menghabiskan waktu di universitas-universitas Islam Andalusia.
Ketika jatah Eropa ambil alih kekuasaan, mereka mengatur
negeri ini dengan ilmu pengetahuan. Bedanya saat Islam
menguasai peraturan yang digunakan adalah peraturan yang
berasal dari Allah dan Rasul. Saat Eropa ambil alih kuasa, hukum-
hukum ilahiyah tersebut dicampakkan. Diganti dengan aturan
yang mereka buat sendiri. Aturan manusia yang tak akan pernah
mampu mensejahterakan rakyatnya. Leadernya adalah hawa
nafsu.
Negeri Andalusia pun dibagi-bagi kekuasaannya.
Sebagian dikuasai orang-orang dari bangsa Spanyol sebagian lagi
berada di wilayah kekuasaan bangsa Portugis. Tak lama setelah
itu Ratu Isabela penguasa Spanyol menyeponsori Christophorus
Columbus untuk berlayar menuju barat dunia. Ini adalah upaya
Spanyol untuk memulai lebih dulu pengeklaiman tanah di
Amerika.
Portugis pun demikian. Melakukan pelayaran ke negeri-
negeri jauh. Dengan teknologi yang dikuasai mereka di bidang
kelautan Portugis mampu mengarungi lautan dan menjajah
negeri-negeri jauh. Di timur, mereka berhasil mendarat di Goa
(India).
Pada tahun 1505 dari Lisboa, Portugis, ekspedisi 40 kapal

Bekas Jejak | 19
diberangkatkan. Pemimpinnya adalah sosok yang kemudian
menjadi begitu populer dengan penaklukan demi penaklukan.
Alfonso d’Albuquerque. Tujuan d’Albuquerque tak lain dan tak
bukan adalah penaklukan, penguasaan wilayah, dan penjarahan
rempah-rempah.
Pasca penaklukan Goa, Portugis menjadi kerajaan besar
paling terkemuka di Eropa. Cerita selanjutnya sudah sama-sama kita
duga. D’Albuquerque memimpin ekspedisi lanjutan. Ke negeri hijau
ranum. Gemah ripah loh jinawi. Negeri yang pada saat ini menjadi
tempat yang dikunjungi para pedagang dari seluruh dunia. Portugis
datang membawa armada lengkap dengan tentara yang artinya
mereka tidak hanya ingin berdagang, tetapi juga perang. Negeri
selanjutnya yang ditaklukan Portugis tersebut bernama Malaka.
Inilah negeri sarat dengan peristiwa sejarah. Peristiwa
kegemilangan dan keruntuhan. Peristiwa ketentraman dan
ketakutan akan teror penjajah. Inilah negeri yang akhirnya dijejaki
para pengembara dari Indonesia. Untuk tak sekadar dikunjungi
sebagai tempat wisata, tetapi juga ada harapan bahwa jejak yang
sudah tertapaki di Malaka membekas dalam cerita panjang yang
sulit terlupakan.

Inilah bekas jejak.


Selanjutnya pembaca akan menikmati suguhan
pengalaman dari para pengembara. Mereka dari Pontianak ada
Hermayani, Wahyudin, Else, juga Bude Yustisi, Aulia dan Yopi.
Dari Jakarta Ibu Linda, Ibu Liavi, Pak Rizky, Pak Deddy. Dari Bogor
ada Pak Aji, Eva Farida. Dari Surabaya Soffie, Afiyah, dan Zaki.
Dari Kendari Ustadz Mahyudin, dari Banjarbaru Kalimantan
Selatan ada Pak Johan. Seorang Mahasiswa asal Bandung yang
sedang kuliah di Malaysia juga bergabung dalam tim, bernama
RanggaFirmansyah
Saya, Pay Jarot Sujarwo bertugas sebagai teman
perjalanan mereka. Penunjuk jalan yang tentu saja tak luput dari
khilaf. Kekurangan dalam pengembaraan tentu saja terjadi.
Menjadi pelajaran berarti.
Di halaman-halaman selanjutnya kalian akan diajak ikut
merasakan pengalaman para pengembara. Para penapak jejak.
Semoga saja membekas.

20 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Afiyah Latifah
(Surabaya)

Bekas Jejak | 21
Yang Membekas
Selama di Malaysia
Aurat di Bandara
Ketika dapat info di WhatsApp Group (WAG) tentang trip
ke Kuala Lumpur dan Malaka, saya langsung tertarik. Apalagi tema
perjalanan ini menulis Islami. Saya suka menulis. Meski hanya
tulisan untuk media sosial dan hanya dilakukan saat mood saja.
Semoga saja perjalanan kali ini akan memotivasi saya untuk
semakin giat menulis.
Satu hal yang membuat saya tambah semangat adalah,
ini perjalanan pertama ke luar negeri, padahal sudah punya
paspor sejak lama. Akhirnya, deal, saya ikut.
Dari Surabaya kami berangkat bertiga. Tak membutuhkan
waktu lama bagi pesawat terbang untuk sampai di Bandara
Malaysia. MasyaAllah, ini bandara yang cukup sibuk. Tapi bukan
itu yang menarik perhatian saya, melainkan bahasa Melayu yang
terpajang di berbagai tempat di Bandara.
Balai Ketibaan dan Pintu Kecemasan adalah dua kata
yang paling saya ingat. Terdengar lucu. Nanti ketika sudah masuk
negara Malaysia, semakin banyak bahasa melayu lucu yang
tertangkap mata.
Tapi di bandara Malaysia, saya tidak hanya disuguhkan
dengan tata bahasa yang lucu. Ada juga pengalaman yang tidak
menyenangkan. Saat berada di Imigrasi untuk cek paspor.
Antriannya begitu panjang. Sangat banyak manusia. Lama kami
berada dalam antrian. Yang lumayan menjengkelkan adalah
banyak sekali orang dengan santainya membuka aurat. Mohon
maaf, para perempuan dengan celana pendek dan pakaian
minim. Astaghfirullah.
Meskipun pemandangan seperti ini tak hanya terjadi di
Bandara Malaysia, di tempat lain juga banyak, tapi sungguh, rasa-
rasanya saya ingin cepat selesai dari urusan imigrasi ini dan

22 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


bertemu dengan rombongan lainnya. Terima kasih bang Pay yang
sudah selenggarakan paket perjalanan bernuansa Islami.
Setidaknya kita tetap bisa ingat dengan Allah dalam perjalanan.
Berada dalam rombongan orang-orang taat. Membuat iman
terjaga.
Mari kita skip peristiwa di imigrasi dan langsung menuju
Malaka. Setelah berjumpa rombongan lainnya, kami berangkat
menuju Malaka. Perjalanan dengan Bis memakan waktu dua jam
lebih. Setelah di hotel dan makan, kami mulai berjalan,
menelusuri kelok liku kota tua ini.
Kesan pertama, Malaka adalah kota yang bersih. Maklum,
barangkali saya terbiasa tinggal di kota besar seperti Surabaya.
Semrawut, juga kotor. Jadi ketika kaki jejak di Malaka dan
menyaksikan kebersihan kota, saya terkesima. Malam itu ada
ribuan manusia yang tumpah di jalan Jongker, tapi masyaAllah,
tak mudah menemukan sampah berserakan. Ini perlu dicontoh
oleh siapa saja warga negara Indonesia.
Malam itu terasa nyaman jalan kaki, meski akhirnya
merasakan gempor.

Uang Saku
Pelajaran berharga dalam traveling adalah komitmen
untuk bertindak sesuai rencana. Khususnya dalam soal belanja
oleh-oleh. Ya, ampun ini sungguh sesuatu yang menggoda iman.
Dari Surabaya, saya sudah menghitung kira-kira berapa uang yang
akan saya bawa dan untuk dibelanjakan apa. Tapi ternyata, begitu
sampai di Malaysia, hasrat belanja tak tertahan. Saya bukan orang
yang punya banyak uang, maka dari itu harus serba ngirit. Oleh-
oleh sekadarnya saja.
Tapi apa nyana, di Malaysia uang saku saya terkuras.
Entah, kenapa bisa begitu. Barangkali karena saya tipe teman
setia. Mba Sofie belanja, ya saya ikut belanja. Ibu-ibu yang lain
belanja, ya saya ikutan juga. Duh, ini tidak boleh ditiru bagi siapa
saja yang hendak traveling keluar negeri. Perlu belajar
manajemen keuangan dan manajemen iman dalam hal yang satu
ini.
Mohon maaf handai taulan di Indonesia Raya kalau oleh-
olehnya tidak cukup. Soalnya uang saku saya kurang banyak.

Bekas Jejak | 23
Bahasa Inggris
Ada satu lagi pelajaran berharga bagi saya. Inilah momen
dimana saya bisa mempraktikkan Bahasa Inggris. Ya, selama ini
saya belajar bahasa inggris, namun pasif dan tak terasah. Di
Malaysia, saya berkesempatan berbahasa Inggris. Tak apalah
kalau belepotan. Yang penting berani.
Ceritanya waktu itu shower di kamar mandi tidak nyala.
Saya hubungi bang Pay. Kemudian bang Pay menghubungi
resepsionis hotel. Tak lama datang petugas hotel. Sepertinya
orang India, atau mungkin Bangladesh. Awalnya saya bercakap
bahasa Indonesia. Tapi dia tidak paham. Dalam momen seperti
inilah, tidak bisa tidak, jurus bahasa Inggris logat Surabaya saya
keluarkan
“Show me how to on-off this shower,” begitu kira-kira
kata saya padanya.
Simple. Tapi bagi saya ini punya makna. Di Surabaya belum
tentu saya memiliki kesempatan seperti ini. Beres. Shower
berjalan normal. Tak ada kendala. Kendalanya, saya yang sedikit
kampungan. Mohon maaf saudara pemirsa. I am so so sorry.
Pasca kejadian on-off shower, saya ketagihan. Waktu
belanja di Jonker Street saya praktikkan lagi Ke-english-an saya.
Beli atau tidak beli, itu tidak penting. Yang penting bisa speak-
speak English. Lumayanlah, buat bekal di hari nanti.
Apa yang terjadi saudara pemirsa?
Sepulang saya ke Surabaya, saya mengikuti Seminar
Internasional. Betapa kepercayaan diri saya melambung tinggi
saat berbicara bahasa Inggris. MasyaAllah. Sekali lagi, tidak
penting lancar atau tidak lancar. Yang penting saya berani. Coba
bayangkan kalau saya tidak ikut trip bersama bang Pay?
Bayangkan lagi seandainya shower di kamar mandi saya lancar-
lancar saja. Barangkali sampai saat ini saya tak berani berbahasa
Inggris di depan saudara saudari.

Petronas
Sebagai turis yang baru pertama kali sampai di Malaysia,
ya wajar kemudian kalau kita takjub melihat menara kembar
Petronas. Ketakjuban itu terjadi pada diri saya. Bangunan itu
tinggi menusuk langit. Lelampu gemerlap. Mata orang-orang yang

24 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


datang tertuju padanya. Ini momen yang tak boleh terlewatkan
khususnya bagi saya. Tak apalah kalau disebut kampungan, yang
penting Petronas kali ini di depan mata
Ada banyak pedagang yang menawarkan lensa untuk
kamera seluler. Katanya agar menara kembar itu bisa tertangkap
kamera secara utuh. Saya membelinya. Benar. Betapa bahagianya
saya bisa memotret petronas. Kebahagiaan tersendiri bisa
dipotret berlatar petronas. Meskipun perjalanan kali ini belum
berkesempatan masuk ke dalam menara kembar dan naik ke
atas, tapi saya cukup puas sudah bisa sampai ke sini. Semoga
lain kali bisa berkunjung lagi ke tempat ini.
Tiga hari dua malam total perjalanan. Sejujurnya tidak
cukup. Saya belum puas. Saya ingin berjalan lagi. Overall, ini
adalah perjalanan yang menggembirakan. Perjalanan yang
penuh makna. Banyak pelajaran yang bisa didapat. Bukan
bermaksud memuji-muji bang Pay, tapi saya berterima kasih
sekali bisa ikut rombongannya. Semoga diberi kesempatan
berangkat lagi.

Bekas Jejak | 25
Aulia Mar ti
Marti
(Pontianak)

26 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Banyu Bening Menang Manfaat
Bermula dari keberangkatan saya dari Kota Pontianak
menuju Kuala Lumpur, perihal saya dan suami dicegat petugas
imigrasi karena membawa air mineral, sesuai dengan aturan
International Civil Aviation Organization (ICAO) tentang Liquid,
Aerosol, Gel (LAG), maskapai Air Asia menerapkan pembatasan
terhadap bawaan penumpang yang berbentuk cairan. Diberikan
batasan, maksimal hanya 100 ml, alasannya agar aspek keamanan
dan keselamatan dalam memanfaatkan transportasi udara lebih
terjamin.
Saya tahu membawa air mineral di dalam pesawat tidak
diperbolehkan. Tapi saya ngeyel. Siapa tahu beruntung. Tapi tak
beruntung. Air mineral yang berisi penuh di botol harus
dihabiskan, dibuang, atau dikosongkan segera. Saya mencoba
menawar, bagaimana jika 100 ml saja, petugas tetap bersikeras,
botol minuman harus tidak berisi air. Akhirnya keputusan petugas
imigrasi saya terima.
Ternyata saya tidak sendirian. Calon penumpang lain juga
ketahuan membawa air mineral. Sepertinya sepasang suami
istri. Saya perhatikan berusaha menyembunyikan botol minum
di balik tubuhnya. Naas, aksi bapak tua ini ketahuan. Terpaksa ia
menenggak air dalam botol berukuran 1,5 liter. Batin saya, botol
kecil saja gagal, lha bapak ini menyembunyikan botol yang lebih
besar?
Tak diduga, saat pesawat sudah terbang, tiba-tiba ibu di
sebelah saya membuka tasnya dan mengeluarkan botol mineral.
“Kok bisa lolos, bu?”
“Iya, saya bilang, kalau saya sedang sakit dan harus
minum obat,” kata si ibu sambil tertawa. Dia berbohong kepada
petugas di bandara hanya demi air mineral. Astaghfirullah.
Setiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) 2,
saya membayangkan bakal jauh mencari air mineral. Tapi
bayangan saya ini salah. Ada beberapa fasilitas air minum gratis
di KLIA2. Airnya hangat. Saya senang kepalang. Saya selalu bekal
air hangat kemanapun agar lambung saya terjaga dan

Bekas Jejak | 27
menghindari dehidrasi. Banyu (dalam arti bahasa Jawa berarti
air, red) bening ini dipercaya memiliki banyak manfaat, karena
lebih terjamin demi kesehatan.
Tidak hanya saat dalam perjalanan, saat menikmati
kuliner saya berusaha untuk memesan air hangat. Air ini bagaikan
suplemen yang mujarab untuk menyegarkan dan menguatkan
tubuh. Menjadi sebuah keharusan. Terimakasih air hangat*

Terhipnotis Magnetisme Kota Malaka


Kota Malaka sebagai kota sejarah yang masuk dalam
daftar warisan dunia, kota yang berjuluk The World Heritage City
ini berhasil menghipnotis para pengunjung yang datang. Tak
salah jika United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization atau UNESCO pada 7 Juli 2008, menetapkan kota
ini sebagai kota bersejarah.
Tidak sedikit wisatawan yang berkunjung ke kota yang
penuh cerita dan misteri ini, karena setiap tempat yang
dikunjungi selalu membuat penasaran dan keingintahuan yang
besar. Secara pribadi, masih belum merasa puas, rasanya ingin
kembali lagi suatu saat nanti. Tempat-tempatnya sungguh
eksotis, menarik dan memanjakan mata.
Pada hari pertama tiba di Kota Malaka kami disuguhkan
kota tua bersejarah yang suasananya begitu kental. Saya sendiri
seolah-olah merasa berada di zaman itu. Saat Kesultanan Malaka
berganti menjadi wilayah jajahan Portugis, banyak bangunan
bersejarah peninggalan Portugis dibandingkan Kerajaan
Kesultanan Malaka. Karena kerajaan ini tidak meninggalkan bukti
arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai bahan
kajian sejarah. Meskipun pada awalnya, Islam belum menjadi
agama bagi masyarakat Malaka, tetapi perkembangan
berikutnya Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang
ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh penguasa
Malaka selanjutnya.
Sejarah kesultanan Malaka masih tersimpan dengan rapi.
Sejarah tersebut tertulis dan dipamerkan di Muzium Dunia
Melayu Dunia Islam. Bangunan ini telah menjadi saksi sejarah

28 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


peristiwa kemerdekaan tanah melayu pada 22 Februari 1956.
Sekarang, museum ini hanya digunakan sebagai tempat
menyimpan warisan sejarah masyarakat melayu untuk seluruh
dunia dan memamerkan khazanah islam.
Bangunan-bangunan tua lainnya seperti Stadthuys-Red
Square, Gereja St. Paul, A Famosa, Museum Setem Malaka,
merupakan peninggalan Portugis dan Belanda. Dari segi desain
arsitekturtural bangunan Belanda biasanya memiliki dinding
yang cukup tebal, memiliki karakteristik yang kuat dan nilai
historis yang dalam. Desain karakteristik ini mampu memberikan
kesan hubungan dengan masa lampau, dan menjadi salah satu
bukti jejak kolonialisme. Sampai saat ini, banyak bangunan-
bangunan tersebut yang masih dirawat utuh.
Peninggalan-peninggalan yang ada menunjukkan bahwa
kota ini pernah dimiliki negara penjajah, seperti Portugis,
Belanda dan Inggris. Kekejaman Portugis yang amat lekat adalah,
ketika mereka berhasil meruntuhkan kerajaan Malaka dan
membumi hanguskan istananya, serta menggantinya dengan
Gereja St. Paul yang berada di atas bukit dan Benteng A. Famosa
yang letaknya di kaki bukit.
Mengapa begitu banyak penjajah yang ingin berekspansi
ke kota kecil nan menawan ini? Tak lain dan tak bukan karena
rempah dan posisinya yang sangat strategis. Tidak salah jika
Parameswara memilih Malaka untuk mendirikan kursi
kerajaannya. Keserakahan Portugis dibuktikan dengan adanya
kapal perang miliknya, Flor de La Mar yang bersandar di Jalan
Bandar Hilir Bersejarah, kapal ini sempat tenggelam di Selat
Malaka karena kelebihan beban membawa harta karun berupa
emas dan uang. Sekarang kapal tersebut diabadikan dan
dijadikan museum. Bagi siapa saja yang ingin melihat keaslian
dan bentuknya setiap pengunjung dikenakan biaya masuk.
Mencoba berandai, seandainya mampu melakukan
perjalanan waktu dan kembali ke masa lalu. Mencoba untuk
belajar, memperbaiki kesalahan. Ibarat pepatah Perancis
l’histoire se répète, yang berarti sejarah akan berulang, kembali
membuktikan kebenarannya, dan akan kembali menampakkan
wajahnya dalam bentuk yang berbeda, dalam kisah, sosok dan
cerita dan setting yang berbeda, namun masih dengan esensi

Bekas Jejak | 29
dan pembelajaran yang sama. Karena memang itulah salah satu
mengapa sejarah itu ada, sebagai wahana pembelajaran.
Kehidupan adalah sejarah yang berulang, maka
belajarlah darinya.*

30 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Becak Hias Tingkatkan Kadar Serotonin
Turun dari Bis Kuala Lumpur-Malaka, waktu menunjuk-
kan pukul 18.38 waktu Kuala Lumpur, warna warni becak hias
langsung menyambut kedatangan kami. Rasa lelah hilang, karena
alunan musik dari sound system becak hias telah memberikan
asupan dan meningkatkan kadar serotonin di dalam tubuh. Zat
yang memiliki peran besar dalam perubahan suasana hati,
emosional dan perasaan atau biasa disebut hormon bahagia.
Saat malam, menaiki becak ini lebih seru dan memiliki
sensasi. Lampu hias becak membuat suasana malam makin
berseri. Ditambah lagi alunan musik dengan volume super tinggi,
menghilangkan kesan “misteri” saat melewati bangunan tua di
sekitar komplek bangunan berwarna merah yang berada di
tengah kota. Meskipun waktu sudah menunjukkan tengah
malam, namun suasana kota masih terasa ramai dengan adanya
keberadaan becak hias.
Mengunjungi bangunan bersejarah di Kota Malaka lebih
hemat dengan berjalan kaki, karena dalam waktu sehari,
wisatawan dapat berkunjung ke beberapa lokasi. Namun, jika
wisatawan ingin lebih santai, menggunakan becak hias adalah
pilihan alternatif.
Malam itu, pukul 23.35, aku dan suami setelah
menghabiskan waktu untuk menyusuri Jonker Walk dan komplek
bangunan merah, memutuskan untuk menaiki becak hias. Karena
perjalanan dari Explorer Hotel ke tempat wisata sungguh
melelahkan, kaki terasa gempor, mengingat besok perjalanan
di Kota Malaka masih dilanjutkan.
Tidak jauh dari Jembatan Tan Kim Seng, aku mengaku
menyerah, karena rasa lelah, mengantuk dan ingin segera
merebahkan diri di kasur empuk Explorer Hotel. Sudah tengah
malam rupanya, tapi suasana di kota itu seperti menyulap waktu.
Tidak tampak tengah malam, seakan-akan masih pukul 19.00,
masih saja pelancong menggunakan becak hiasnya. Si abang
tukang becak juga masih gesit dan semangat.
“Kita naik becak hias saja ya,” ungkapku kepada Pak
Yopie.

Bekas Jejak | 31
Serasa menjadi ratu dan raja yang sedang menaiki kereta
kencana, aku pun memperhatikan kondisi becak hias ini.
Rupanya, si tukang becak merakitnya sendiri. Sepeda dan becak
yang digabungkan, becaknya dihias dengan bunga dan lampu
hias warna warni.
Abang becak menjelaskan, sparepart sepeda dan becak
yang digunakannya banyak didatangkan dari Indonesia, seharga
RM 50. Ia banyak memuji kebaikan orang Indonesia, dan
mengaku kagum dengan barang-barang yang diproduksi
Indonesia.
Ia mengaku tidak ada kata libur untuk menjalankan becak
hias ini, setiap hari, mulai dari pagi hingga dini hari. Menurutnya,
becak hias merupakan penghasilan utamanya. Pantang pulang
sebelum dapat uang.
“Mau lagu ape, sebentar ye saye hidupkan,” kata Pak Cik
sambil berupaya memutarkan lagu.
Perjalanan hampir usai, gedung hotel tepat di depan
mata. Tak lama kemudian, sound system Pak Cik mengalun musik
melayu. Aku mencoba berkelakar, “Tau musiknye yeh, kite nak
sampai, die baru hidop,” kataku. Pak Cik tersenyum dan tersipu
malu, serta menghantarkan kami tepat di depan hotel.*

Macam Mak Masak


Traveling atau bepergian menjadi sebuah kegiatan yang
menyenangkan dan dapat menyegarkan pikiran. Dengan
berlibur, setidaknya otak dan tubuh bisa rehat sejenak dari
kesibukan dan penatnya pekerjaan. Selain itu, cara lain kita untuk
selalu bersyukur atas segala ciptaan Nya yang sungguh luar biasa,
yang belum pernah kita jumpai sebelumnya.
Bagi saya, yang penyuka makan, mencoba kuliner baru
adalah sebuah keharusan. Pastinya kuliner yang disantap belum
tentu ada di Indonesia, atau bisa jadi ada tapi dari segi rasa,
tekstur, dan food plating berbeda.
Nah, ketika menginjakkan kaki di Kota Malaka, banyak
tawaran kuliner yang menggugah selera. Singgah di Rumah
Makan Asam Pedas Jr, Jalan Plaza Merdeka, Taman Costa

32 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Mahkota, Malaka. Dari namanya saja, sudah pasti rumah makan
ini menyajikan asam pedas, tapi jangan salah, asam pedas yang
disajikan tentu kalah rasa dengan asam pedas yang ada di Kota
Pontianak.
Ketika saya mencoba mencicipinya, ada rasa pedar,
karena kunyit dan asam yang berlebihan sehingga tidak seimbang
dengan rempah-rempah lainnya. Kuliner lain yang coba saya
pesan adalah sotong kunyit dengan harga RM 15, nah ini baru
mantap. Cumi nya diolah menjadi tumisan, dicampur dengan
sayuran wortel dan buncis. Rasanya pas, karena ditumis kering,
sehingga rasa cuminya empuk, dan sayurannya diolah setengah
matang, krenyes-krenyes seperti kerupuk ketika dikunyah.
Saya juga mencoba ayam masak lemak seharga RM 10,
ayamnya sangat empuk dan porsi besar. Untuk pecinta makan,
ayam ini dimasak seperti kaleo atau gulai kuning, kuahnya sangat
kental dan berempah, namun dari segi rasa masih enak gulai
dan kaleo rumah makan padang. Ayam nya sangat besar, bagi
yang diet saya tidak menyarankan kuliner ini, karena sangat baik
untuk menginginkan tubuhnya gemuk, seperti saya.
Selain itu ada juga sop sayur, isinya sama seperti sop

Bekas Jejak | 33
yang ada di Indonesia. Seukuran mangkok bakso, berisikan sayur
wortel, sawi putih, buncis, dengan kuah kaldu ayam, cukuplah
saya makan berdua suami. Kami yang pecinta sayur, sangat
terpenuhi makan disini. Semua ada, begitu pula lauk pauknya,
harganya terjangkau.
Namun dari segi rasa, tergantung dari lidah masing-
masing ya. Karena kalo saya dan suami lebih suka gurih dan lezat,
karena di rumah terbiasa dengan masakan Padang, Sumatera
Barat. Kebetulan kami berdua juga berasal dari Sumatera Barat,
jadi soal rasa tidak diragukan lagi.
Macam mak masak, kalau singgah kesini. Bagi kalian yang
domisili di Kalimantan atau Sumatera tempat makan ini seperti
menu makan di rumah. Tidak asing di lidah.
Keesokan harinya, saat sarapan pagi, kami (saya dan
suami, red) mencoba mencari kuliner yang tidak berat, biasanya
di rumah sarapannya bubur atau oat dengan sayuran dan buah-
buahan. Tapi disini sulit menemukan makanan yang kami
inginkan, kami putuskan untuk memilih makanan yang tersaji di
depan hotel. Namanya Restoran Ehsania Tiga, disini makanan
yang disajikan berupa nasi goreng, nasi lemak, nasi campur atau
briyani, roti cane, roti naan, mie, bihun, kue tiau, maggi. Saya
pun memesan nasi lemak ayam seharga RM 8, nasi lemaknya
pas, ayam gorengnya super lembut, ditambah sambal dan kacang
tanah goreng, kalo mau lebih murah bisa pesan nasi lemak biasa
seharga RM 3.50, murah meriah. Sudah dapat sambal, telor mata
sapi, kacang tanah goreng. Lumayan untuk para backpaker yang
ingin menghemat isi dompet.
Jajanan di Malaka juga sangat banyak, silakan dicicipi,
karena penjualnya mayoritas berasal dari Indonesia. Salah
satunya, penjual kelapa dan kuih Keria Mahkota Alam, asli dari
Medan tapi logat Jawa. Mengaku bisa berbahasa Jawa, tapi lahir
di Medan Sumatera Utara. Lama berdomisili di Malaka demi
menyambung hidup, disusul keluarga besar lainnya. Kuih Keria
yang dijajakannya, sungguh nikmat, “Pecah!” di mulut. Tidak
cukup 1, ingin lagi dan lagi, seperti pisang goreng, tapi komposisi
kuih ini tentunya tidak menggunakan pisang. Dia hanya
menggunakan dasar tepung terigu, gula jawa, perisa dan
pengembang, sedangkan yang membuatnya nikmat saya masih

34 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


penasaran.
Lebih penasaran lagi, adalah kelapa muda yang sengaja
dibuka dari kulitnya, dengan menggunakan tanduk rusa atau
binatang lain. Saya malah mengira, membukanya dengan pisau.
Menurutnya, dengan menggunakan tanduk, melepaskan kulit
dan isi kelapa justru lebih mudah. Cepat, tepat dan cekatan.
Tidak menunggu lama, kelapa muda beserta airnya dalam bentuk
bulat sudah siap diletakan di wadah plastik kecil ukuran yang
pas dengan isi kelapa, air kelapanya tidak terlalu manis, daging
kelapanya sangat tebal. Saya mencoba es krim kelapanya, dibuat
seperti es doger kalau di Kota Pontianak menyebutnya, es batu
diserut beserta air kelapa. Sungguh nikmat disantap saat cuaca
panas dan siang hari.
Waktu makan siang tiba, kami mencoba menu makanan

lain, tidak jauh dari menu makan di rumah. Kami singgah di rumah
makan Asam Pedas Claypot, Nasi Ayam, kali ini tidak ingin
mencoba asam pedas, saya memilih menu ringan saja, sayur sawi
plus wortel dan tomat, sambal terong, dan telur mata sapi,
sedangkan suami ikan goreng, sayurnya sama dengan saya. Kami

Bekas Jejak | 35
lebih suka makan sayur ketimbang protein yang berlebihan,
karena di dalam tubuh sudah mengoleksi beragam penyakit
seperti asam urat, kolesterol, darah tinggi, asam lambung. Maka
jenis makanan yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan
tubuh. Tidak kalap, mentang-mentang suka makan, lalu semua
makanan dilahap. Hiks!
Begitu pula ketika tiba di Kuala Lumpur, saat makan
malam di Restoran Setia Cinta Sayang makanan yang disantap
pun tidak jauh dari sayur-sayuran, tentunya tidak masak
menggunakan santan. Pure dan hanya sekadar ditumis, atau
bening. Mengapa? karena selama travelling, tubuh memerlukan
asupan yang banyak, energi penuh untuk melanjutkan perjalanan
yang panjang.
Jika ingin memilih makanan halal, saya anjurkan membeli
nasi lemak di 7eleven, nasi yang dikemas dalam wadah plastik
microwave ini disimpan dalam lemari pendingin. Untuk
mengkonsumsinya, silakan meminta kepada pramuniaga
7eleven untuk menghangatkannya sekejap. Dalam kondisi panas
dan hangat, nasi lemak ini sudah siap disantap dan sangat nikmat.
Hal ini dilakukan, jika wisatawan tidak menemukan makanan
halal.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih makanan saat traveling adalah, pastikan rumah makan
dan restoran penyedia makanan memiliki logo halal. Atau
pemilik dan koki restoran adalah seorang muslim. Hindari
minuman soda perbanyaklah minum air putih. Jangan terlalu
banyak memesan makanan karena justru akan menghambat
jalannya traveling.
Ketika bangun tidur di pagi hari, minumlah air segelas
penuh atau dua gelas air. Hal ini dilakukan agar tidak lapar saat
pergi ke makan prasmanan. Semoga tips ini dapat membantu
traveler yang ingin berwisata di negeri orang, tidak hanya berlaku
di Kuala Lumpur dan Kota Malaka saja, tapi berguna juga untuk
negara-negara lain yang ingin dituju. Selamat mencoba!

36 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Menyusuri Sungai Sambil Membelah
Kota Malaka
Sungai Malaka adalah saksi bisu sejarah panjang Kota
Malaka, dari mulai zaman Kesultanan Malaka dan peradaban
melayu hingga jatuh ke tangan bangsa Portugis, Belanda dan
Inggris. Dulu, kapal-kapal dari wilayah pedalaman hilir mudik
mengangkut barang dari dan ke Pantai Malaka. Pada saat itu,
Selat Malaka adalah pelabuhan yang menghubungkan jalur
pelayaran utama dunia. Kapal-kapal dari berbagai negara seperti
China, India, Arab, dan Eropa.
Sejarah Melayu menceritakan bahwa Kota Malaka dibagi
oleh Sungai Malaka dan menjadi dua bagian, kota tersebut
digabung dengan jembatan kayu, yang berfungsi sebagai jalan
raya utama. Setiap jembatan penyeberangan diberi nama,
seperti Jembatan Kampung Morten, Jembatan Old Bus, Jembatan
Kampung Jawa, Jembatan Datuk Mohd Zin, Jembatan Pasar,
Jembatan Hang Tuah, Jembatan Tan Kim Seng, dan Jembatan
Kong Chen. Setiap jembatan memiliki arsitektur yang berbeda.
Sungai ini dulunya dilintasi oleh perahu dan sampan.
Sisi lain, di kapal-kapal besar berlabuh di pantai laut tidak jauh
dari muara sungai. Letaknya tidak jauh dari istana, hal ini
dimaksudkan agar akomodasi perdagangan berbagai barang
lebih mudah.
Kami menyusuri keindahan sungai Malaka dengan
Malaka River Cruise (MRC). Bermula dari Bandar Hilir menuju ke
muara sungai yang berada di bibir pantai dan kembali lagi ke
Bandar Hilir. Di Sungai Malaka ini, sejarah melayu begitu terasa.
Sungai ini mengalir dari hulu di Kampung Gadek ke hilir di Selat
Malaka. Tepat di sisi kanan dan kiri sungai terdapat objek wisata.
Ada jalan setapak yang bisa digunakan untuk pejalan kaki yang
ingin menikmati keindahan sungai. Banyak burung gagak
berterbangan dan biawak di tepi saluran sungai.
Jika ingin menyusuri sungai ini, lebih baik dilakukan pada
siang hari, karena banyak bangunan sejarah yang menyisakan
cerita. Banyak boat yang disediakan, aku tidak menghitungnya,

Bekas Jejak | 37
namun saat berangkat terdapat empat susun boat dan
memanjang. Bisa dipastikan lebih dari 10 boat yang digunakan
untuk mengantar penumpang. Pemandu wisata menggunakan
busana khasnya, setelan melayu lengkap bersama topi yang
hampir mirip tanjak melayu. Mulai dari atas hingga bawah,
setelan ini berwarna hitam dilengkapi list kuning di sisi lengan,
sabuk pinggang, tanjak dan baju atasannya. Tidak lupa, pakai
kacamata hitam agar lebih keren.
Sungai ini memiliki peran yang sangat penting, terutama
dalam hal transportasi. MRC membawa kami untuk mengulang
sejarah tempo dulu. Banyak bangunan tua dan kuno, tidak
berubah sedikitpun, terdapat mural di setiap dinding bangunan,
mall, pasar, pemukiman, maupun pusat bisnis, pusat
pemerintahan, hotel, hostel, tempat ibadah maupun bangunan-
bangunan yang lainnya tidak tampak semrawut, tertib, dan asri.
MRC menggantikan perannya, jika dulu adalah kapal-
kapal dagang atau nelayan yang bersandar dan hilir mudik di
wilayah Sungai Malaka, kini MRC mengubahnya dengan
mengangkut para wisatawan untuk menjelajahi pesona sungai.
Tidak terasa waktu telah berlalu, hampir 45 menit, boat
ini membawa kami untuk bersama-sama berimajinasi ke masa
silam. *

Semalam di Kuala Lumpur


Bagi para traveller yang sudah keluar masuk hotel tentu
tidak asing dengan adanya evolusi sistem security hotel. Dalam
dekade terakhir ini beberapa hotel minimal bintang tiga terdapat
evolusi terkait kunci hotel yang bentuknya seperti Anjungan
Tunai Mandiri (ATM), meskipun fisiknya sama, tapi cara
menggunakannya berbeda.
Saat mendapati kartu kunci kamar di Hotel Pacific Express
Kuala Lumpur, kami peserta trip berlomba ingin masuk lift,
petugas security pun mendampingi kami dan menanyakan di
kamar berapa. Di kartu kunci tertulis 308, saya dan suami lalu
kebingungan, karena di dinding lift semuanya bermula angka 8,
yakni 8101-8149, 8201-8246, 8301-8347, 8401-8447, 8501-8547, tapi

38 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


karena ada petugas security kami aman, ia memencet tombol 3.
Keluar dari lift, ternyata kebingungan kami belum usai,
plongak plongok. Tidak terdapat satu kamar pun. Hanya ruang
kosong, pintu besar yang sulit dibuka, dan ruang kecil khusus
untuk keadaan darurat. Saya dan suami berusaha mencari jalan.
Hanya dua pintu dan tiga lift yang masih beroperasi dengan baik.
Suami mulai panik, saya pun makin panik. Karena saat di lobby
tidak ada petunjuk apapun dari petugas hotel. Yang bisa dilakukan
adalah mencoba. Saya melihat kotak sensor kartu kunci. Jadi,
pintu besar itu bisa dibuka jika kartu kunci kamar ditempelkan
di scan panel kotak sensor yang letaknya di dinding dengan posisi
pas di atas kepala orang dewasa. Harus dilakukan bersamaan,
maka pintu berhasil dibuka dan ditarik keluar. Kami berdua
mengucap syukur, Alhamdulilah.
Tiba di kamar, saya langsung mengambil wudhu, shalat
magrib terlebih dahulu. Sebelumnya saya mencoba membuka
shower kamar mandi, terdapat dua shower, namun di satu aliran
air yang sama. Dua-duanya mengeluarkan air panas, tidak ada
pengatur air, hanya putaran kran air saja, saya mencoba mencari
pengatur panas dinginnya, tetap saja tidak ada. Saya tanya suami,
mungkin saya yang salah. Ternyata ia pun mengiyakan, memang
tidak ada pengatur panas dinginnya. Ya sudahlah, menurutku ini
tidak penting, mandi di dengan air wastafel masih bisa atau air
selang wc.
Keluar dari kamar hotel menuju lobby, kami
kebingungan, seperti terjebak di labirin. Tiba-tiba sudah urutan
angka kamar yang lebih tinggi dari kami. “Ah, sudah. Pintu
keluarnya dimana,” aku bertanya, suamiku pun ternyata bingung,
bingung yang berkelanjutan. Mencoba balik lagi ke jalan kamar,
berusaha mengingat rute yang kami lewati. Menemukan pintu
layaknya dinding. Tidak bisa dibuka. Ya ampun, kecanggihan
apalagi ini. Mata berusaha mencari, adakah petunjuk? Tidak ada.
Tapi saya melihat tombol seperti saklar lampu tidak jauh dari
posisi pintu, saya menekannya. Saya bilang ke suami, coba buka
pintunya. Dan, berhasil!
Malam itu, sepulang dari Petaling Street, kami kembali
ke hotel. Pak Deddy Mahendra salah satu peserta trip asal Jakarta
berdiri di depan hotel. Saya dan suami menyapa, sedang

Bekas Jejak | 39
menunggu siapa, ternyata Pak Deddy menunggu siapa saja yang
hendak masuk ke hotel. Karena akses masuk ke kamar
memerlukan kartu kunci kamar untuk disensor. Ternyata kami di
lantai yang sama, tidak merasa kesulitan. Alhamdulilah,
kebingungan kami usai.
Tiba di kamar, kartu kunci kami selipkan di dinding
sebagai pengisi daya listrik. Namun masih saja gelap gulita.
Suami mencoba call service, petugas hotel menanyakan di kamar
berapa, “Tunggu sebentar, nanti petugas kami kesana,” ujar suara
seorang wanita di telepon kabel yang tersambung di kamar.
Saya dan suami duduk di depan pintu, seraya membuka
pintu dan menahannya dengan kaki. Tidak lama kemudian
petugas datang, dan menaikkan stut tegangan listrik ke atas.
Kami bertanya, kenapa bisa mati listriknya. Petugas hotel bilang,
biasanya ada colokan listrik yang dayanya melebihi kapasitas
atau menge-charge handphone. Saya bilang, setiba di hotel kami
tidak mengeluarkan kabel charge, dan saya menunjukkan bawa
charge handphone masih tersimpan di koper. Kali ini petugas
hotel yang bingung, dia menggumam sendiri, “Kok bisa mati
listriknye,” ujarnya lirih.
Keesokan harinya, adalah waktu kami untuk
meninggalkan Kuala Lumpur. Jam menunjukkan pukul 03.30,
alarm handphone ku berbunyi, masih terlalu lelah dan
mengantuk. Tapi harus bangun dan berberes. Karena perjalanan
dari hotel menuju bandara memakan waktu lama. Saya
menyarankan suami untuk membeli nasi lemak di 7eleven untuk
mengganjal perut sebelum berangkat ke bandara. Tapi saat ini
saya ingin berdiam di hotel saja, posisi 7eleven juga tidak jauh,
tepat berada di samping hotel. Tapi pada saat suami akan keluar
kamar, ia pun kembali lagi. “Mi, nanti gimana buya masuk lagi ke
kamar, kan kartunya ada disini,” kata suamiku. Aku langsung tepok
jidat. Langsung teringat kejadian semalam, bagaimana kami
kebingungan masuk ruang memerlukan sensor kunci kartu.
Dalam pikiranku, bagaimana jika yang menginap disini adalah
satu keluarga, di dalamnya terdapat seorang ibu dan anak-anak
kecil, kemudian si bapak harus membeli air mineral atau cemilan
atau mengharuskan keluar hotel, sedangkan kunci kartu yang
diberikan dari petugas hotel hanya sebuah. Nah, jika si bapak

40 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


harus keluar, maka si ibu dan anak-anakpun harus dibawa.
Akhirnya, akupun turut keluar kamar, menemani pak
suami hanya untuk beli nasi lemak di lantai lobby hotel. Dengan
rasa ngantuk yang begitu hebat, aku paksakan berjalan dan
memasuki 7eleven. Mencari nasi lemak dengan segera. Pak
suami masih sibuk mencari cemilan untuk makan di pesawat.
Aku menunggu di depan kasir, melihat dua orang sedang mabuk
dan menenggak minuman keras dari kemasan kaleng. Ia berjalan
sempoyongan, mengambil sesuatu dari lemari pendingin. Aku
tak ingin melihatnya terlalu lama, aku memanglingkan
pandangan ke arah lain dan menyerahkan dua nasi lemak ke
kasir.
“How much,” kataku.
Tak lama suamiku muncul, bertanya dengan bahasa
melayu, “Ini berape?”
“Ade hargenye disitu,” jawabnya.
“Bisa bahasa Melayu juga, saya kira tidak bisa bahasa
melayu karena bukan penduduk asli Kuala Lumpur.” Lelaki ini
berasal dari India.
Kami kembali ke kamar, segera mengkonsumsi nasi
lemak yang telah dibeli. Sampai di kamar, ternyata nasi lemaknya
dingin, karena baru saja dikeluarkan dari lemari pendingin.
Allahuakbar. Otomatis kami harus turun kembali, untuk sekadar
menghangatkan nasi lemak. Akhirnya, mau tidak mau, hal
tersebut harus kami lakukan. Sepanjang jalan, aku hanya bisa
beristigfar sambil tersenyum, entahlah, senyum menertawakan
diri atau menikmati kekonyolan kami.

Bekas Jejak | 41
42 | Pay Jarot Sujarwo, dkk
D.R. Tir tasujana
Tirtasujana
(Jakarta)

Bekas Jejak | 43
Oleh-Oleh Langka dari Malaka
Jalan itu begitu lengang ketika sabtu pagi kami lalui.
Segala hiruk-pikuk yang kami temui di jum’at malam, beberapa
jam sebelumnya, tak berbekas sama sekali.
Jalan itu memang ramai saat sore sampai malam (di hari
jum’at – sabtu – minggu). Banyak Pedagang berjajar di kiri-kanan
sepanjang jalan, menjajakan beraneka ragam makanan,
minuman, dan souvenir.
Kalau ada penjual, tentu ada pembeli. Jadi, kepadatan
di situ bertambah dengan banyaknya lalu-lalang orang yang
berbelanja, atau yang sekedar melihat-lihat. Seperti saya, lebih
banyak melihat-lihat saja (beli souvenir dikit banget), karena
keterbatasan ringgit yang saya anggarkan :-).
Dalam pikiran saya malam itu, “kok kayak bazaar atau
pasar kaget yang ada di dekat rumah kalau malam minggu ya..”.
Hanya saja, yang dijual barangnya berbeda. Suasananya juga
berbeda, karena di negeri orang. Apalagi sepanjang langkah
ditemani istri tercinta.. Cobain deh, pasti rasanya beda hehe..
Itulah Jonker Walk. Ini hanya salah satu tempat menarik
yang kami kunjungi ketika rombongan trip kami ke Melaka (atau
orang juga menyebutnya Malaka/Malacca). Daerah di Malaysia
yang pernah menjadi jajahan Portugis ini memiliki banyak spot
menarik lainnya juga bagi wisatawan. Jalan lebar yang
menampilkan sosok bangunan gedung-gedung besar bernuansa
(bertampang) “tua” menyediakan banyak objek foto yang, kata
orang di zaman ini, instagramable.
Warna merah bangunan-bangunan besar seperti
Stadthuys dan Christ Church Malaka terlihat mencolok. Selain
itu, ada juga banyak bangunan museum (muzium) seperti
Muzium Islam Malaka, Muzium Senibina Malaysia, Muzium Umno
Malaka, dan beberapa muzium lainnya yang tersebar di Malaka.
Sayangnya, karena waktu yang singkat, hanya semalam di Malaka
plus setengah hari, saya tidak berkesempatan menjelajah masuk
ke satu pun bangunan tersebut. Sedih ya…
Padahal, katanya, banyak hal menarik yang bisa diserap

44 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


jika kita mencermati isi museum-museum tersebut. Contohnya,
Muzium Islam Malaka. Museum ini membuka wawasan orang
yang mengunjunginya tentang bagaimana islam masuk ke Malaka
dan menyebar ke seluruh Malaysia secara urutan waktu
(kronologis). Di dalamnya juga terdapat berbagai koleksi artefak
islam. Kalau mau tahu seperti apa pedang Rasulullah SAW,
replikanya juga ada di sana. Katanya ya... saya sendiri kan tidak
melihat, hiks...)
Tapi… Yah, setidaknya saya sempat berfoto dengan latar
belakang beberapa bangunan tadi, termasuk foto di depan
bangunan bertuliskan Stadthuys (tempat kediaman resmi
Gubernur Belanda), dinaungi sinar rembulan di ambang purnama
malam itu. Kapan-kapan mungkin berkesempatan ke sana lagi
untuk eksplorasi lebih jauh ke dalam bangunan-bangunan
tersebut. Mau ikut?
Oh ya, kembali sedikit ke belakang. Jembatan yang
dilewati dari Jonker Walk ke arah bangunan merah juga menjadi
spot yang banyak digunakan orang untuk mengabadikan
kehadirannya di Malaka. Malam bagus, pagi pun bagus.
Ngomong-ngomong, ini jembatan yang benar-benar ada sungai
mengalir di bawahnya ya. Bukan seperti di Jakarta, banyak
jembatan di mana aliran di bawahnya bukan arus sungai,
melainkan arus kendaraan yang kadang tersendat.
Sabtu menjelang siang, setelah sarapan dan mandi
(sarapan dulu, baru mandi hehe..), kami lanjutkan eksplorasi
keliling Malaka. Sarapan roti cane di Restoran Ehsania Tiga, yang
terletak di seberang Explorer Hotel tempat kami menginap,
cukup memberi energi buat saya dan istri. Karena kami juga
sarapan di dalam kamar dengan menu khusus yang kami bawa
dari rumah. Mungkin bagi teman-teman yang lain, sepertinya
nasi tetap menjadi pilihan sarapan yang utama. “Gak makan nasi
gak nendang”, biasanya orang Indonesia begitu.
Satu catatan yang cukup penting. Bagi Anda yang pernah
membaca beberapa tulisan para traveler tentang perjalanan ke
Malaka, banyak yang bilang “kaki gempor” (coba saja search di
google dengan keyword “Malaka kaki gempor” pasti banyak
ketemu hehe..). Kenapa? Karena mereka menjelajah Malaka
dengan berjalan kaki selama berjam-jam. Termasuk naik-turun

Bekas Jejak | 45
tangga. Jelas saja langsung gempor.
Nah… bagaimana dengan kami?
Ya sama lah. Gempor juga. Bayangkan, di hari jum’at itu,
sejak dari rumah, take off di Soekarno-Hatta, landing di KLIA,
naik train nyasar ke Salak Tinggi, balik arah sampai ke KLIA2,
lanjut ke Malaka, lalu eksplorasi Malaka sampai malam, google
fit saya mencatat angka lebih dari 13.500 langkah. Belum
ditambah sabtunya masih lanjut keliling, baik di Malaka maupun
setelah keluar dari Malaka. Belum lagi hari minggunya.
That’s the definition of “GEMPOR”. Kalau masih belum
kebayang, coba deh lakukan sendiri. Dijamin “Gempor tapi

46 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


menyenangkan”.
Kenapa saya cerita gempor? Karena, di bawah terik
mentari yang panas menyengat itu, ternyata keliling di tempat-
tempat tertentu di Malaka bisa dilakukan juga tanpa jalan kaki.
Salah satunya dengan Malaka Cruise River.
Dengan menaiki bot (begitu orang Malaysia menyebut
boat) ini, kami menyusuri Sungai Malaka dan menikmati
keindahan sepanjang kiri kanan sungai yang penuh bangunan
unik. Ada bangunan yang berwarna-warni. Ada yang dilukis
gambar besar-besar. Melalui kolong banyak jembatan. Ada
Jembatan Tan Kim Seng, Jembatan Chan Koon Cheng, Jembatan
Kampung Jawa, Jembatan Pasar, Jembatan Hang Tuah, Jembatan
Old Bus Station, Jembatan Datuk Mohd Zin, Jembatan Kampung
Morten (Bukan saya hafal, tapi saya foto satu persatu). Oh iya,
maaf, namanya di sana bukan Jembatan, tapi Jambatan.
Rombongan kami tidak menyeberangi jambatan
tersebut satu persatu, tetapi hanya lewat kolongnya saja.
Sebenarnya, tujuan saya cerita nama-nama jambatan tadi karena
cuma mau menunjukkan bahwa masih banyak tempat di Malaka
untuk dikunjungi. Jadi, saat Anda pergi ke Malaka nanti, pastikan
Anda menjadwalkan waktu yang cukup untuk berkeliling.
Dengan Malaka Cruise River, kaki bisa istirahat lumayan
panjang. Tetapi, ini hanya mengatasi gempor di jalur air.
Bagaimana kalau di darat? Nah, ada kendaraan unik di Malaka,
yang namaya Beca.
Ini seperti becak di Indonesia, tapi yang mengemudi di
samping, bukan di belakang. Uniknya bukan hanya itu. Beca-beca
ini dihias dengan beragam gambar/bentuk seperti tokoh kartun,
dll. Kalau malam, beca ini bercahaya. Lampunya banyak. Dan…
satu lagi... mereka berbunyi. Iya, ada musik/lagu yang diputar.
Lucunya, banyak lagu yang diputar itu malah lagu Indonesia.
Sayang, tulisan ini tidak bisa menyampaikan suaranya ke telinga
Anda. Coba dengarkan langsung deh di sana, pasti Anda senyam-
senyum sendiri.
Seru memang perjalanan ke Malaka. Masih banyak lokasi
dan pengalaman yang belum tersampaikan dalam cerita di atas,
terutama yang terkait dengan bangunan saksi sejarah, termasuk
sisa-sisa keberadaan Portugus di sana.

Bekas Jejak | 47
Buat yang suka jalan kaki.. banyak yang bisa dilihat
sepanjang perjalanan. Buat yang suka sejarah, banyak yang bisa
didalami. Buat yang suka foto-foto, dijamin gak akan puas deh
kalau cuma seharian mengambil foto atau berfoto bersama
object di sekeliling Malaka. Buat yang suka menulis, bisa
menimbulkan inspirasi untuk banyak judul tulisan.
Pokoknya,Malaka top banget deh buat tempat wisata bagi
macam-macam jenis manusia. Dan mungkin Anda adalah salah
satunya.
Tulisan ini memang tidak akan mampu membawa detil
apa yang kami saksikan di Malaka. Padahal rombongan trip kami
hanya berada di Malaka kurang dari 24 jam. Bayangkan, kalau
lebih lama lagi, dan semua lokasi dikunjungi. Satu buku tebal
pun tidak akan habis menceritakan isi kota Malaka. Nah.. Setelah
membaca ini, bisa jadi Anda penasaran, dan ingin merasakan
sendiri pengalaman ke sana.
Tapi... yang sebenarnya saya mau ceritakan bukan itu.
Karena yang terus melekat dalam pikiran saya hingga pulang ke
tanah air adalah momen yang saya ceritakan di awal tulisan saya
tadi.
Sabtu pagi itu, kami melintasi Jonker Walk bukan untuk
mencari souvenir atau jajanan. Tempat yang kami tuju adalah
salah satu bangunan tua yang, menurut sejarah, dibangun tahun
1700-an.
Masjid Kampung Kling, begitu tulisan yang tertera pada
plang di luar masjid. Konon, ini merupakan salah satu masjid
tertua di Malaysia. Jalan dari hotel lumayan jauh. Dan kami keluar
dari hotel setelah selesai adzan subuh. Jadi, agak terlambat.
Alhamdulillah, masih dapat masbuk.
Menurut Wikipedia, masjid ini dibangun saat Belanda
menjajah Malaka. Belanda membebaskan untuk mendirikan
masjid karena ingin menarik hati orang melayu dan kaum
muslimin Malaka, setelah sebelumnya masjid di Malaka bukan
hanya dilarang didirikan, bahkan dihancurkan oleh Portugis.
Masjid ini juga merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia
Alhamdulillah.. baru pertama kali ini sholat subuh berjamaah di
negeri orang. Biasanya saat travelling seringnya sholat di kamar
hotel. Kali ini bersama semua lelaki dalam rombongan trip (yang

48 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


belum 24 jam kami saling kenal) pula
Usai sholat subuh berjamaah, ada kultum. Ini juga satu-
satunya travelling yang pernah saya ikuti di mana selepas subuh
berjamaah di masjid, ada salah satu anggota rombongan yang
memberikan kultum.
Kultum, kata orang artinya KUliah TUjuh Menit. Tapi
sepertinya yang ini bukan tujuh menit. Tak terasa juga mungkin
sampai tujuh belas menit. Padahal yang dibahas adalah surat
dalam Al Qur’an yang saya yakin sebagian besar dari Anda yang
sedang baca tulisan ini, juga hapal.
Hanya saja, pagi itu sudut pandang pembahasannya
(menurut saya), berbeda. Iya, beda dari apa yang pernah saya
ketahui.
Saya jadi ingat pernah dengar ceramah, bahwa Al Qur’an
itu seperti lautan. Ketika kita menyelam, kita akan dapat
pengalaman yang indah. Di lain waktu, saat kita menyelam lagi
di tempat yang sama, kita akan mendapatkan lagi pengalaman
yang juga indah, namun berbeda dengan sebelumnya.
Saat kita mendengar pelajaran dari suatu surat, atau
bahkan ayat, kita mungkin merasa paham. Tetapi, di saat lain

Bekas Jejak | 49
kita mempelajarinya lagi, kita akan mendapatkan makna yang
berbeda.
Begitu juga dengan Surat Al Ashr dalam tausiyah yang
disampaikan oleh kawan dalam rombongan kami, Ustad
Mahyuddin. Saya pernah mendengar beberapa ceramah
mengenai surat ini, tetapi pagi itu saya mendengar hal baru,
seakan-akan baru pernah mendengar makna surat tersebut.
Kebanyakan dari kita mungkin tahu bahwa ada 4 syarat
yang harus kita lakukan supaya terlepas dari “default condition”
manusia yang selalu dalam keadaan merugi. Namun, saya baru
dengar bahwa 2 syarat yang terakhir (saling menasehati dalam
kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran) itu
sebenarnya sudah tercakup dalam syarat ke-2 (beramal soleh).
Lalu, kenapa disebutkan lagi secara lebih detil?
Jawabannya, karena kedua hal ini penting, jadi
disebutkan kembali untuk penekanan.
Yang menarik lagi, dan membuat saya berpikir
menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari, adalah ilustrasi
yang disampaikan tentang kedua syarat terakhir tersebut.
Ilustrasinya begini. Dalam satu kapal, ada banyak orang.
Ada yang di bagian atas, ada yang di bagian bawah. Sebagian
orang yang di bawah, ada yang butuh menangkap ikan untuk
makan. Tapi karena merasa terlalu “ribet” untuk naik dulu ke
atas melalui banyak orang, maka mereka berpikir cara mudah
dan cepat saja.
Apa yang mereka lakukan? Mereka melubangi dasar
kapal agar mudah dan cepat menangkap ikan, tanpa
mempedulikan akibatnya. Bayangkan, kalau orang yang di atas
tidak mencegah mereka berbuat kerusakan terhadap kapal, atau
paling tidak “menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”, siapa
yang akan tenggelam kalau kapal tersebut bocor? Orang yang
melubangi kapal saja kah? Tentu tidak. Resiko ditanggung semua
penumpang.
Nah, bagaimana kalau di lingkungan kita (rumah tangga,
tetangga, warga negara, dll) ada yang “melubangi kapal”? Kita
memilih diam saja dan ikut tenggelam bersama orang yang
berbuat kerusakan kah? Atau…?
Eh… Sebentar... sepertinya saya terbawa suasana… Cerita

50 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


di atas sudah agak jauh dari berbagi pengalaman tentang pesona
Malaka. Meskipun buat saya itu oleh-oleh yang sangat berharga
dari trip kali ini, tapi ada baiknya kita kembali ke cerita terkait
Malaka itu sendiri (lagian, kenapa juga Anda ikut-ikutan baca
sampai segini jauh.. Jangan-jangan Anda juga memikirkan apa
yang saya pikirkan saat mencerna isi kultum tadi).
Nah... Ayo kita kembali ke Malaka. Setelah kultum, kami
masih berkeliling di dalam lingkungan masjid. Ada beberapa hal
unik di tempat tersebut. Salah satunya adalah kolam untuk
wudhu. Namun, saya sendiri tidak mengambil wudhu di kolam
itu, karena sudah berwudhu dari hotel.
Hal unik lainnya adalah, di tanah samping masjid ada
banyak batu yang berwujud mirip bentuk-bentuk buah catur. Saya
jadi teringat pada makam di beberapa masjid yang pernah saya
lihat di tanah air. Tapi, yang ada di Masjid Kampung Kling ini
berbeda. Selain jumlahnya banyak, susunannya cenderung tidak
teratur. Jika batu-batu tadi adalah batu nisan, tidak jelas adanya
batas antara makam yang satu dengan yang lain, karena jarak
antar batu ada yang renggang, tapi banyak juga yang sangat
berdekatan satu sama lain.

Bekas Jejak | 51
Bagi yang pernah, sedang, ataupun sering travelling, ada
satu hal yang menjadi oleh-oleh yang patut kita pikirkan saat
menyaksikan batu-batu tadi. Kemanapun kita bepergian,
perhentian perjalanan kita di muka bumi adalah di tempat
semacam ini, sebelum melanjutkan “long travelling” di alam
berikutnya. Pertanyaannya, bekal macam apa yang sudah kita
siapkan untuk travelling yang ini?

52 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Else Hilviana
(Pontianak)

Bekas Jejak | 53
Perjalanan ke Sungai Pawan
Eh Salah, yang Benar Sungai Malaka

Aku sangat antusias ketika mendapat WA dari bang Pay.


Ini promo paket perjalanan. Diberi judul Islamic Trip dan Travel
Book Project. Tujuannya Kuala Lumpur dan Malaka. Hasrat
traveling muncul. Ini seperti kerinduan pasca kecelakaan yang
kualami beberapa bulan sebelumnya. Alhamdulillah, ternyata
harga paket perjalanannya murah. Langsung saja kukontak bang
Pay, menyatakan diri ikut serta. Bude Yustisi aku ajak.
Alhamdulillah berkenan.
Yang mengejutkan, ternyata peserta trip kali ini bukan
hanya dari Pontianak. Tapi juga dari daerah-daerah lain. Ini tentu
saja pengalaman membahagiakan bagiku. Bisa bertemu banyak
orang, berbagi cerita dan ilmu pengetahuan.
Kami dari Pontianak berangkat sehari lebih awal. Di
Kuala Lumpur, kami bertemu peserta lain dari Jakarta. Sepasang
suami istri. Karena ini program di luar paket trip, jadi kami bebas
mau kemana. Tentu saja setelah mendengar arahan dari bang
Pay.
Jum’at, hampir seluruh peserta berkumpul di KLIA 2. Dari
bandara yang sibuk ini, kami meluncur menuju Malaka dengan
menggunakan bis. Kesan pertama, aku langsung jatuh cinta.
Setelah makan malam bersama, kami jalan bersama menyusuri
kota. Sungguh, malam hari kota ini begitu cantik. Sepeda
berlampu dengan dentuman musik keras, menjadi salah satu
ciri khas. Bangunan-bangunan tua, kokoh berdiri. Mohon maaf
kepada para peserta lain, jika dalam perjalanan kemarin aku
paling sering berhenti minta difoto. Maklum, narsis.
Di jalan Jonker, ribuan manusia tumpah ruah. Kayak-
kayaknya semua turis yang datang ke Malaka mengunjungi jalan
Jonker yang kalau malam hari berubah menjadi pasar malam.
Pedagang penuh di sepanjang jalan. Pejalan kaki penuh di
sepanjang jalan. Aku menikmati kermaian ini. Merasakan

54 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


suasana traveling yang luar biasa. Mohon maaf kalau agak lebay
mendiskripsikan rasa senangku. Yang pasti aku bersyukur kepada
Allah SWT masih bisa merasakan nikmatnya perjalanan bersama
teman-teman luar biasa.
Yang paling berkesan malam itu, adalah sungai Malaka.
Ini bukan sungai istimewa sebenarnya. Di daerah asalku,
Ketapang, juga terdapat sungai yang lebih lebar dan panjang.
Sungai Pawan. Tapi sungai Malaka tak bisa disandingkan dengan
sungai Pawan. Pemerintah Malaka serius mengemas kota ini
menjadi kota yang menarik dikunjungi wisatawan. Termasuk
kondisi sungainya. Dari atas jembatan Sungai Malaka, pikiranku
melayang ke Ketapang. Semoga pariwisata di Ketapang juga bisa
terkelola dengan baik.
Esok paginya, kami menyusuri sungai Malaka dengan
kapal wisata. Melacca River Cruise judulnya. Inilah sungai yang
tadi malam kunikamati dari atas jembatan. Kali ini kami susuri
kurang lebih selama 45 menit. MasyaAllah, untuk orang yang
sudah berkali-kali ke kota ini mungkin merasakan hal yang biasa-
biasa saja. Tapi tidak biasa bagiku, sebab ini kunjungan perdana.
Sungai yang tidak terlalu lebar dan panjang ini menjadi salah
satu destinasi favorit. Di kiri kanan sungai kami disuguhi berbagai
pemandangan. Cafe, rumah adat, dan yang terpenting adalah
lukisan dinding (mural).
Terkesan sederhana memang. Sesungguhnya model-
model begini bisa ditiru di Pontianak. Di Malaka, sungai ini sangat
memikat wisatawan. Sangat memikatku. Aku merasa perlu
menceritakan ini ke banyak orang. Jika ke Malaka, sempatkanlah
menyusuri sungai ini. Kalian akan merasakan sesuatu yang
berharga.

Sedikit Tentang Bang Pay


Aku dengar nama bang Pay dari kakakku. Waktu itu ia
meminjamiku sebuah buku perjalanan. Ditulis anak Pontianak,
Bang Pay. Buku itu kubaca. Isinya begitu menarik. Aku jadi
penasaran dengan perjalanan yang telah dilakukannya. By the
way, aku salah satu emak-emak yang suka baca. Khususnya buku
traveling. Buku karya Agustinus Wibowo sudah kubaca, Trinity
juga sudah. Mereka punya kisah-kisah luar biasa.

Bekas Jejak | 55
Sekarang aku punya pengalaman langsung mengembara
bersama bang Pay. Meskipun ini perjalanan komersil (paket
perjalanan) tapi sungguh, bang Pay mampu mengemasnya
menjadi perjalanan yang seolah-olah dilakukan oleh orang yang
sudah lama kenal. Kami begitu akrab. Kami belajar Islam. Kami
diajari banyak hal. Tentang fikih perjalanan, tentang bagaimana
bergaul dengan sesama teman perjalanan. Tentang menjaga
interaksi dengan yang bukan mahrom. MasyaAllah.
Bang Pay, kalau ada paket trip lagi, jangan lupa kabari.

56 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Eva FFarida
Eva arida
(Bogor)

Bekas Jejak | 57
Malaka, dan Pesonanya yang
Tak Lekang oleh Zaman

Ada yang bilang, belum ke Malaysia jika belum ke


Menara Kembar Petronas. Tapi saya rasa akan berbeda jika sudah
berkunjung ke Malaka, belum Ke Malaysia jika belum ke Malaka.
Perjalanan traveling sehari semalam di Malaka, masih dirasa
kurang untuk mengexplore keindahan kota bersejarah ini.
Perpaduan kota metropolitan tua berusia hampir 3 abad dan
metropolitan kekinian siap menyapa kita. Bangunan
Metropolitan Kekinian mungkin tidak perlu saya gambarkan,
namun di Malaka bukan pemandangan aneh jika disebelah
Gedung Pencakar Langit masih berdiri Kokoh Kampung Morten.
Sebuah Kampung yang merupakan Musium Hidup yang masih
mempertahankan model bangunan lamanya , berupa bangunan
rumah panggung khas Melayu, yang sudah ada sejak tahun 1900-
an. Meski dari beberapa referensi sejarah dari Prof. Mat Rofa
bahwa Rumah Komplek Kerajaan Malaka juga dibangun sebagian
menggunakan teknologi yang maju yaitu berupa beton, jadi tidak
hanya terbuat dari Kayu.
Perjalanan menikmati pemandangan kota kecil Malaka
ala ala Venesia , juga bisa kita rasakan langsung dengan
berkeliling menaiki kapal dengan tiket seharga 30 Ringgit.
Berkeliling sambil menikmati uniknya bangunan warna warni,
bangunan tua peninggalan Belanda dan juga benteng yang sudah
ratusan tahun usianya, entah peninggalan dari penjajah yang
mana. Kecuali Benteng Famosa yang tertulis di dindingnya
tentang kedatangan Alfonso al burqueque. Sungguh Malaka
adalah sebuah peradaban yang tidak biasa, namun peradaban
yang telah tertata rapi sejak dahulu, peradaban Islam yang telah
ada pada abad 14-an. Tetapi kemudian Istana utamanya lenyap
entah di bagian mana kota ini, diporak porandakan oleh Portugis
di tahun 1509, dan kemudian menancapkan kekuasaan dan
menyisakan sisa peradabannya.

58 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Pesona Malaka sebagai sebuah wilayah paling strategis
didunia, mungkin bisa mewakili penjelasan kenapa replika Kapal
Portugis sampai dibuat. Dan sedikit banyak salah satu adegan
film tentang Penaklukan Malaka berikut ini bisa mewakili, untuk
sejenak flashback untuk merasakan apa yang terjadi dimasa lalu.
“Berbondong-bondong armada kapal portugis menuju Malaka,
memecah buih ombak di Selat Malaka. Meski sang Kapten tau
ada perlawanan dari masyarakatnya namun kehilangan banyak
pasukan tak mengapa karena akan setara dengan hasilnya. Yakni
limpahan bahan mentah rempah rempah yang senantiasa
singgah dan melewati pelabuhan paling ramai didunia dimasa
abad 14 an lalu ini.
Dengan wajah cemas serta keringat yang mengucur,
namun semangat membara tetap ada pada guratan wajah
penguasa dan penduduk di Malaka. Sambil memandang besarnya
armada kapal yang memang tak setara dengan pasukan yang ada.
Siapa yang tak bergidik melihat Pasukan Tentara Portugis dan
Armada besarnya. Namun pantang menyerah, mati syahid atau
hidup mulia. Jelas satu jengkal tanah tak akan dibiarkan bagi
mereka untuk menguasainya. Akhirnya pecahlah perang
Malaka,dan Malaka pun kalah.
Prof. Mat Rofa menjelaskan, bahwa kekalahan Malaka
bukanlah karena kelemahan Malaka namun karena
Pengkhianatan. Bahkan saat itu Kerajaan Malaka memiliki
Armada dan persenjataan yang sudah maju, seperti pistol laras
panjang, dan meriam yang lebih canggih dari Portugis. Penelitian
lain juga mengungkap, bahwa Malaka pada abad ke 14, adalah
salah satu kerajaan terbesar dan terkuat didunia dibawah
Kekhilafahan Utsmani. Tidak hanya wilayah Malaka hari ini,
Malaka juga mencakup sebagian Sumatra, seluruh daratan
Malaysia sekarang kecuali wilayah yang ada di Borneo. Informasi
ini didapat dari dokumen catatan yang dimiliki oleh Portugis
sendiri. Dari filmnya sendiri juga berbeda, digambarkan
penduduk lokal masih menggunakan senjata tradisional.
Memang tidak mengherankan, beginilah ketika informasi
sejarah dan informasi apa saja dikuasai Barat. Coba fikirkan situs
bersejarah para penjajah dilindungi sedangkan hari ini banyak
situs bersejarah Peninggalan Rasulullah SAW dan para sahabar

Bekas Jejak | 59
dibongkar demi hotel mewah. Entah mau sampai kapan Islam
dijauhkan dari Umatnya sendiri. Dulu dengan perang fisik dan
sekarang berganti perang pemikiran yang memaksa kita
mengambil cara hidup penjajah.
Hari ini, sebuah peperangan bagi kita adalah sebuah
cerita namun itu adalah fakta bagi pendahulu kita, khususnya
bagi Leluhur Penduduk Malaka. Meski berfoto disana dengan
penuh keceriaan, dengan hanya memikirkan angle yang tepat,
dan kemudian menghasilkan foto yang amazing, maka itu sah

sah saja. Namun cobalah memikirkan sejenak sekali lagi, kita


mencoba flashback pada peristiwa yang lain, membayangkan
bagaimana jika kita berada disekitar bangunan tua berupa
benteng, gereja, meriam tua dan lain sebagainya. Dan posisi
kita adalah orang pribumi yang sedang dipaksa untuk
mengerjakan pembangunan benteng, atau penduduk sipil tanpa
senjata menghadapi hujanan bom. Tentu tak mungkin rasa
senang dan ceria ada didalam diri kita.
Tapi terus terang sempat juga berkali-kali mengazamkan
dalam hati agar perjalanan ini tidak hanya sekedar menjadi
perjalanan biasa, namun berupaya mencari fakta bagaimana
sebenarnya yang terjadi atau dengan kata lain mencari benang
merah masa lalu dengan yang sekarang.
Sebagaimana juga dulu yang terjadi di tanah air kita, tidak
sedikit para pahlawan muslim yang membela negeri tercinta ini

60 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


dari cengkraman penjajah. Namun entah bagaimana prosesnya,
saya merasa belum sreg jika belum melihat literaturnya secara
langsung, para penjajah itu yang vis a vis dengan penjajah yang
lain meninggalkan bancakan mereka, Malaka dan termasuk
negeri ini. Dan lihatlah faktanya hari ini, pada dasarnya para
penjajah ini belum benar benar pergi terutama mindset mereka
tentang hidup ini. Yang masih diambil dan tertanam kuat dlm
diri, sebagaimana kokohnya bangunan mereka yang masih
berdiri.
Termasuk apa yang ada dalam diri, penulis mencoba
mengenyahkan bahwa kebahagiaan perjalanan ini bukanlah dari
apa-apa yang tidak kita lihat dan dapati dinegeri kita sendiri,
baik kuliner, pemandangan alamnya maupun hal yang lainnya.
Yang semuanya itu bisa jadi adalah sesuatu yang biasa saja bagi
penduduk setempat. Namun kebahagiaan sejati adalah ketika
mendapati bahwa Malaka dan Negeri Negeri Muslim seperti
Aceh, Demak, Cirebon, Maluku dahulunya adalah pernah
menjadi satu kesatuan dalam Naungan Khilafah Islam di Turkey.
Inilah juga yang di Ungkap oleh Para Cendekiawan Muslim
Malaysia bahwa inilah yang menjadi motif utama Penguasa
Portugis ingin menaklukan Malaka, bahwa ternyata ada
Kekuasaan Islam lain selain di Timur Tengah. Jadi tidak semata
mata Keuntungan hasil bumi dan posisi strategisnya. Demikian
juga munculnya perasaan bahagia ketika melihat langsung
bagaimana kekuasaan Allah dalam setiap tempat yang dikunjungi

Bekas Jejak | 61
seperti sungai, laut dan perbukitan yang indah disekitar Malaka
ini. Bahkan ketika berwisata Kuliner di Pinggiran Sungai Malaka
mencicipi Daging Kelapa Muda dalam bentuk yang utuh, bulat
dengan ragam cita rasa yang berbeda, asli original, yang ternyata
memang berbeda rasa karena speciesnya atau jenis tanaman
kelapanya yang salah satunya Kelapa Rasa Pandan, Subhanallah.
Rasa bahagiapun masih memenuhi jiwa mengetahui
penduduk setempat masih kuat memegang Aqidah mereka.
Meskipun silih berganti Penjajah menghampiri membawa misi
Gold, Glory dan Gospel. Kalaupun ada pelajaran yang bisa
diambil, maka lihatlah bagaimana mereka meraih kemenangan
semu, tidak hanya duduk dan membicarakan tentang
kemenangan. Tapi disertai adanya upaya bersungguh sungguh
untuk mencapainya dengan menjelajah dunia membawa misi
mereka. Kemudian menguburkan kegemilangan peradaban
Islam di Malaka ini, nyaris menyisakan sedikit saja dan sedikit
cerita sejarah yang telah diputarbalikan faktanya agar kaum
Muslimin tak pernah mengetahui jati diri kemajuan peradaban
Islam dan lihatlah bahkan mereka membawa serta sanak
keluarganya dalam kemenangan semu mereka, sehingga mereka
dikuburkan ditanah jajahan mereka.
Lalu bagaimana dengan kita, cukupkah hanya dengan
berpangku tangan dengan Kebangkitan Islam yang sudah Allah
janjikan. Ini adalah Allah yang berjanji, masihkah kita sanggup
meragukannya. Maka dengan semua nikmat tak terhitung yang
telah allah berikan kepada kita, serta amanah sehat, harta,dan
berbagai potensi yang kita miliki, marilah amanah sebagai hamba
Allah untuk membebaskan kaum muslimin dari penjajahan
pemikiran warisan penjajah dari penghambaan kepada materi,
beralih kepada penghambaan kepada dzat yang tertinggi kepada
Allah SWT. Sebagaimana yang pernah diperjuangkan Kerajaan
Malaka. Inilah yang membuat Malaka dulu pernah Berjaya dan
mempesona dan meninggalkan sebagian pesonanya hingga
sekarang. Pesona yang tetap lekat tanpa menyandarkan semata-
mata dari Label Warisan Dunia, yang disematkan oleh Unicef,
Lembaga Dunia Milik Kaum Penjajah.
Akhirnya selesailah tulisan ini yang membuat saya dan
suami sampai harus membuka 10 referensi tentang Malaka.

62 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Bahkan sampai harus mendatangi perpustakaan nasional yang
seumur umur selama 10 tahun kami di Jakarta, belum pernah
kami datangi. Masya Allah perjalanan Ke Malaka ini sungguh luar
biasa, menyedot fikiran kami selama sebulan ini, tentang apa
yang sebenarnya terjadi di Kota Metroplitan abad 14-an ini.
Akhirnya kami tau alasan terkuat kenapa Bapak Pay Jarot
membawa kami ke Malaka.
Wallahu ‘alam bisowab

Bekas Jejak | 63
Fahrur azi
ahrurazi
(Bogor)

64 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Malaka,
Cerita Tentang Perjalanan
Before Leaving
Bergegas kami meninggalkan basement mall CITOS sore
itu, setelah istriku tidak menjumpai satupun toilet yang ada
selang panjang yang diujung-nya dilengkapi dengan spray gun
disekitar mushola itu.
“Bang, kita langsung ke bandara saja!” katanya kepadaku.
Keputusan tersebut diambil sambil memperlihatkan
raut muka kecewa, karena tidak dapat menemukan toilet yang
dicari.
Akhirnya kembali kami naik ke lobby Cilandak Town
Square yang ada di lantai dasar Mall itu untuk mencari taksi agar
dapat segera membawa kami ke Bandara. Alhamdulillah, tidak
sampai berselang lima menit kami menunggu, taksi datang
menghampiri.
“Pak, tolong antar kami ke terminal 2F bandara Soekarno-
Hatta” kataku kepada bapak supir taksi, sambil membuka dan
melihat aplikasi Waze yang ada di seluler.
“Insya Allah waktu sholat ashar masih ada setibanya
kita di bandara nanti,” kataku kepada istri. Ia terlihat gusar.
Sampai di Soetta, langsung menunaikan sholat Ashar.
Masih tersisa banyak waktu sebelum boarding. Di Soetta,
alhamdulillah toilet yang dicari istri tersedia. Sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama, saat ini hampir semua mall di
Jakarta, khususnya mall dengan desain modern, akan sulit bagi
kita untuk menemukan toilet yang dilengkapi dengan selang
panjang beserta spray gun. Biasanya toilet yang tersedia
hanyalah toilet jenis kering yang hanya dilengkapi dengan eco
washer. Kalau sudah begini berarti sudah dapat kita pastikan
bahwa di toilet tersebut tidak akan kita jumpai yang namanya

Bekas Jejak | 65
selang panjang berikut dengan spray gun. Ini akan jadi masalah
untuk kami sebagai umat Islam, disaat kita hendak benar-benar
menjaga kebersihan diri, khususnya saat hendak melaksanakan
sholat jika kita sedang berada di mall.
Berselang tidak beberapa lama, kulihat istri sudah keluar
dari mushola wanita. Selanjutnya istri mengajak mencari makan.
Tepat pukul 21.00 wib kami boarding. Pesawat akan
membawa kami terbang dari Jakarta menuju ke Singapura. Ini
adalah budget airline bernama Jetstar. Hampir 2 (dua) jam kami
mengudara sejak take off dari bandara Soekarno-Hatta pada hari
Rabu 9 Oktober 2019 pukul 21.40 wib, tak terasa kini pesawat
Jetstar dengan nomor penerbangan 3K-206 yang membawa kami
dari Jakarta itu sudah landing dengan mulus di Changi Airport
Terminal 1.
“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin…” lisanku berucap pelan.
Kami telah sampai di Singapura. Hari telah berganti,
Kamis 10 Oktober 2019 pukul 00.35 waktu Singapura. Segala

66 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


kelelahan selepas pulang dari tempat kerja kemaren, kecemasan
dengan ukuran backpack yang kubawa, apakah bisa dibawa
masuk ke dalam cabin atau tidak akhirnya lunas terbayar. Kini
tinggal memikirkan bagaimana caranya untuk menghabiskan
waktu di Changi hingga pukul 10.00 pagi nanti sebelum kami
lanjut bertolak ke Johor Bahru dengan bis, karena saat ini jam
baru menunjukkan pukul 01.00 malam.
Welcome To Singapore
Sebagai penyandang gelar The World’s Best Airport tujuh
kali berturut-turut versi SkyTrax, termasuk untuk tahun 2019 ini,
bandara Changi adalah tempat yang sangat nyaman untuk para
pelancong dan backpackers dari seluruh dunia. Selama 24 jam
setiap harinya bandara ini selalu penuh dan ramai dengan
pengunjung. Banyak fasilitas di dalam airport ini, mulai dari
tempat istirahat berupa sofa hingga shopping mall yang megah.
Juga ada food court, cinema, butterfly garden, sun flower garden,
air terjun indoor tertinggi di dunia, tempat ibadah untuk semua
agama serta masih banyak lagi spot-spot menarik lainnya di
dalam bandara ini.
Dengan kondisi seperti ini akhirnya kami juga yang
bingung, karena dengan waktu yang ada, rasanya malah tidak
cukup untuk digunakan meng-explore semua hal menarik yang
ada di bandara Changi ini, hadeuh…. L.

Perjalanan Johor - Malaka


Ba’da sholat Jum’at di masjid yang berada di lantai dua
terminal bis Larkin Sentral-Johor Bahru, aku masih harus
menunggu istri yang sedang melihat-lihat kerudung di salah satu
toko ada di terminal. Ini sepertinya salah satu toko yang sudah
liriknya. Kubiarkan istri menikmati barang dagangan.
Kurang lebih setengah jam istri keluar dari toko. Ada
senyum manis yang melengkung di bibirnya. Kerudung yang
diincar telah pindah ke tangannya.
Selepas dari toko bergegas kami turun ke lantai dasar
menuju counter ticket di terminal bis JB Larkin. Orang-orang
berbaris rapi untuk membeli tiket bis sesuai dengan tujuannya
masing-masing. Yang menarik disini adalah, counter ticket di
terminal JB Larkin ini dibagi menjadi tiga

Bekas Jejak | 67
Pertama counter yang paling kiri. Khusus untuk Warga
Emas saja. Warga Emas adalah sebutan khusus untuk orang-orang
yang telah berusia lanjut di Malaysia, kalau di Indonesia warga
emas ini sama dengan jompo. Selain disediakan counter khusus
mereka juga diberi potongan harga saat membeli tiket bis
tersebut. Inilah bentuk penghargaan negara kepada warganya
yang telah berusia lanjut. Warga Emas, betapa mulia warganegara
lanjut usia di Malaysia ini.
Kedua adalah counter yang ada di tengah. Counter ini
khusus untuk para warga pada umumnya, baik warga lokal (selain
warga emas) maupun para wisatawan. Di counter ini mereka
bisa membeli tiket dan bertransaksi langsung dengan petugas
yang sedang berjaga.
Ketiga adalah counter untuk pembelian tiket bis secara
swalayan (self-service) melalui mesin-mesin khusus, dimana
untuk pembelian tiket bis melalui mesin ini, calon penumpang
bisa melakukan transaksi langsung tanpa harus dilayani oleh
petugas.
Selepas keluar dari exit toll menjelang memasuki kota
Malaka saat bis masih dalam perjalanan menuju terminal akhir
Malaka Sentral, suasana tenang dan nyaman kota Malaka dapat
kurasakan. Kulihat dikiri-kanan jalan banyak bangunan rumah
dengan halaman yang cukup luas dan jejeran pertokoan model
lama. Tidak terlalu kelihatan apa saja aktivitas yang dilakukan
oleh penduduk setempat saat itu.
Sekitar pukul 17.40 kami tiba di terminal bis Malaka
Sentral, setelah turun dari bis berbegas kami keluar dari terminal
untuk mencari taksi yang bisa membawa kami ke hotel. Mobil
Proton Ertiga yang kupesan secara online melalui aplikasi GRAB
datang menghampiri, dengan biaya hanya 10 Ringgit saja,
kemudian kamipun langsung diantar menuju “THE EXPLORER
HOTEL” tempat dimana semua peserta Open Trip kali ini akan
berkumpul dan menginap.
Bersama dengan George Town yang ada di negara bagian
Penang, Malaka telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai World
Heritage Cities pada tahun 2008 lalu. Karena itu, sangatlah wajar
jika Malaka saat ini terus bersolek dan berbenah diri untuk
menyambut datang-nya para wisatawan, baik yang berasal dari

68 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


daerah sekitar Malaka sendiri maupun yang berasal dari
mancanegara.
Ba’da maghrib selepas sholat, sebagian peserta open trip
sudah ada yang menunggu di lobby hotel.
“Assalamu’alaikum, bang Pay ya?” Sapaku kepada
seseorang. Dia adalah pimpinan rombongan kami. Pay Jarot
Sujarwo. Inilah alasan yang membuat aku dan istri sampai ke
Malaka. Mengikuti program Islamic Trip yang diselenggarakan
bang Pay.
“Wa’alaikumsalam, Pak Aji ya? Jawabnya sambil bertanya
balik. Kami berjabatan, saling rangkul layaknya teman yang
begitu akrab.
Setelah ngobrol sebentar terkait dengan rencana
kegiatan malam itu, kami langsung keluar dari hotel dan
menemui anggota grup open trip lainnya. Diputuskan sebelum
melakukan perjalanan ke spot-spot yang menarik, kami makan
malam dulu. Pilihan jatuh ke restoran yang berada tak jauh di
sisi kiri hotel.
Kebetulan hotel yang dipilih oleh bang Pay ini, posisinya
sangat strategis karena tepat berada dipusat keramaian Kota
Malaka.

Menjelajahi Malaka di Malam Hari


Its time to explore Malacca. Kami semua berkeliling
selepas makan malam. Kota ini indah di malam hari. Tidak jauh
dari hotel dimana kami menginap, mungkin hanya berjarak
sekitar 150-200 meter, di seberang hotel sudah dapat kita temui
beberapa museum yang layak untuk dikunjungi karena banyak
menyimpan sejarah terkait dengan kota Malaka. Di antaranya
adalah “Muzium Dunia Islam”, “Muzium Rakyat”, “Muzium
UMNO” dan “Muzium Islam Malaka” serta “Muzium Senibina
Malaysia”.
Di sepanjang perjalanan tadi, banyak becak hias yang
berseliweran seolah mengkonfirmasi bahwa kami benar-benar
berada di Malaka. Jika kita terus berjalan lurus menyusuri dan
melewati beberapa muzium tadi, maka kita akan sampai pada
salah satu landmark kota Malaka, yaitu Bundaran “Malaka 0
Mile”, dimana disekitar bundaran tersebut dapat kita temui

Bekas Jejak | 69
beberapa bangunan bersejarah seperti “Stad Thuys”, “Red Christ
Church Malaka”, “Malaka Clock Tower”, “Windmill Dutch Square
Malaka”, “The Queen Victoria Fountain”.
Rasanya belum afhdol jika kita pergi ke Malaka, namun
belum berphoto disekitar bundaran ini J. Warna bangunan yang
didominasi dengan warna merah bata tentu saja membuat siapa
saja terkagum-kagum. Menawan.
Tak jauh dari bundaran “Malaka 0 Mile”, ada jembatan
yang di bawahnya mengalir Sungai Malaka. Ini adalah tujuan yang
begitu populer, Jonker Street. Di malam hari jalanan ini akan
berubah fungsi menjadi pusat keramaian. Ratusan atau mungkin
ribuan orang tumpah ruah di jalan ini. Selain berbagai macam
jenis kuliner, di Jonker street sini juga dapat kita temui pedagang
yang menjajakan pernak-pernik kecil souvenir khas Malaka
sampai barang-barang antik. Namun saat siang hari, kembali jalan
ini jadi sepi dari para pedagang kaki lima dan beralih fungsi
menjadi layaknya jalanan biasa. Bagi wisatawan muslim, saat
hendak berbelanja makanan di area Jonker street ini sebaiknya
harus ekstra hati-hati, karena tidak semua makanan yang dijual
disini statusnya halal.
Malam itu perjalanan kami berakhir diujung jalan Jonker

Street, tidak ada lagi tenaga tersisa untuk menyusuri kembali


jalan yang tadi telah kami lalui hingga akhirnya kami harus
terduduk di depan Kafe Lin’s sambil menunggu taksi online yang
kupesan melalui aplikasi Grab datang. Menyusuri jalan raya di

70 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Malaka pada malam hari merupakan keasyikan tersendiri, hanya
kurang dari 15 menit, kami telah tiba di depan gerbang hotel
The explorer. Dari supir taksi online itulah kami baru tahu jika di
Malaysia, kata “Pontianak” itu artinya adalah sama dengan
“Kuntilanak” jika di Indonesia.

Masjid dan juga Bekas Jejak Penjajah di Malaka


Lelap tertidur karena lelah tak mampu kuteruskan,

karena alarm yang ada di hape terus berbunyi hingga membuatku


terjaga. Waktu menunjukkan sekitar 20 menit sebelum masuk
waktu sholat subuh di Malaka, kami para pria anggota trip ini
sebelumnya sudah bersepakat akan melak-sanakan sholat subuh
berjamaah di “Masjid Kampung Kling” yang berjarak hanya
sekitar 900 meter dari hotel kami menginap. Dengan berjalan
kaki sembari menghirup segarnya udara pagi, setelah semua
berkumpul, kamipun langsung menuju masjid, 2 (dua) orang dari
peserta ibu-ibu yang turut serta menemani suaminya ikut sholat
subuh berjamaah di masjid bersejarah itu.
Terus terang jarang bisa kita temui ada perjalanan wisata
seperti ini. Seluruh peserta pria diwajibkan agar bisa sholat
subuh berjamaah di Masjid. Di sinilah kelebihan dari bang Pay
sebagai penyelenggara, yang juga merangkap sebagai amir safar
dan tour guide kami, dimana dia bisa mengkondisikan perjalanan
ini sehingga kami semua, para pria peserta open trip ini tetap

Bekas Jejak | 71
bisa mengingat Allah dirumah-NYA walaupun sedang dalam
keadaan berwisata.
Selepas sholat subuh, kami menyempatkan diri untuk
berphoto dengan ustadz yang menjadi Imam sholat saat itu. Kami
minta izin agar bisa menggunakan selasar masjid untuk kajian
singkat. Alhamdulillah diizinkan. Salah satu peserta trip, Ustadz
Mahyudin dari Sulawesi yang memberikan siraman rohani
kepada kami semua. MasyaAllah, materi yang istimewa.
Dalam kajian tersebut beliau memberikan inspirasi
kepada kami dengan mengutip ayat tiga dari surat Al-‘Asr (103)
yang yang terdapat di dalam alqur’an, yaitu mengenai orang-
orang yang Allah SWT jauhkan dari kerugian, yang khusus hanya
Allah berikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal
sholeh serta yang saling nasehat menasehati dalam kebenaran
dan kesabaran. Dari kajian yang beliau sampaikan, kami semua
para peserta insya Allah dapat mengambil ibrohnya. Senang
rasanya bisa berkumpul dalam ketaatan seperti ini.
Cukup lama kami berada di Masjid Kampung Kling ini,
hingga tidak terasa hari sudah terlihat semakin terang karena
matahari sudah semakin meninggi. Masjid yang sudah berumur
ratusan tahun ini adalah salah satu masjid tradisional yang ada
di Malaka. Desain dan bentuk bangunannya merupakan
perpaduan antara arsitektur ala Sumatra, China dan Malaka-
Malaysia.
Pada awal didirikan tahun 1748 bangunannya masih
terbuat dari kayu, namun pada tahun 1872, bangunan ini diubah

72 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


menjadi bangunan yang menggunakan batu hingga saat ini.
Kemudian pada tahun 1999 pekerjaan konservasi dilakukan oleh
“The Department of Musium and Antiqiuties Malaysia” guna
untuk menjaga dan melindungi asset mereka yang sangat
berharga ini agar tetap lestari, karena walau bagaimanapun
masjid ini merupakan salah satu bukti sejarah kota Malaka yang
masih tersisa hingga saat ini.
Sejak berdirinya, diperkirakan pada tahun 1396, negara
bagian Malaka ini sudah pernah dijajah oleh beberapa negara
besar saat itu, yaitu: Portugis, berkuasa selama 130 tahun, mulai
dari tahun 1511 hingga 1640. Diikuti oleh Belanda yang berhasil
merebut Malaka dari tangan Portugis dan berkuasa selama 161
tahun terbagi dalam 2 (dua) periode, yaitu dari tahun 1641-1796

dan 1818-1824. Kemudian dilanjutkan lagi dengan kekuasaan


inggris selama 118 tahun mulai dari tahun 1824 sampai dengan
tahun 1942 dan terakhir adalah Jepang dari tahun 1942 hingga
tahun 1945, untuk selanjutnya Malaka diserahkan kembali
kepada Inggris setelah Jepang menyerah kepada Inggris di
Singapore. Masing-masing negara penjajah tersebut
meninggalkan bekas jejak yang tapaknya masih dapat kita lihat
hingga saat ini.
Di Malaka Portugis membangun dan meninggalkan
bangunan terkenal St. Paul’s Church (dibangun pada tahun 1521)
dan A Famosa Fortress (dibangun oleh Alfonso de Albuquerque

Bekas Jejak | 73
pada tahun 1511). Belanda membangun dan meninggalkan
bangunan terkenal Stad Thuys (dibangun tahun 1650) dan Red
Christ Church (selesai dibangun pada tahun 1753, proses
pembangunannya sendiri memakan waktu hingga 12 tahun).
Sedangkan Inggris, meninggalkan The Queen Victoria Fountain
yang dibangun pada tahun 1901 dan Malaka Clock Tower yang
selesai dibangun pada tahun 1926. Setiap jalan, setiap dinding,
setiap monumen menceritakan satu kisah tersendiri tentang
penaklukan dan ketamakan dari para penjajah yang sombong,
angkuh dan durjana serta keberanian dan perlawanan dari warga
Malaka dan sekitarnya.
Sekembalinya kami dari sholat subuh di Masjid Kampung
Kling, acaranya langsung dilanjut dengan sarapan pagi bersama
di Restoran Ehsania Tiga yang ada di depan hotel. Selama di
Johor Bahru dan Malaka, roti canai menjadi makanan favorit

baruku dan ini terus terbawa hingga hari ini.


Kurang lebih pukul 09.00 kami check out. Masih ada
waktu hingga pukul 14.00 untuk kami melanjtkan eksplorasi di
Kota Malaka. Tujuan pertama adalah Malacca River Cruise. Tidak
banyak antrian terlihat di counter ticket Malaka River Cruise saat
kami dating. Mungkin karena masih pagi, hingga ini
mempermudah kami saat membeli ticket untuk menikmati
wisata mengelilingi sungai Malaka dengan menggunakan kapal.
2 dua lembar ticket seharga @ 30 ringgit Malaysia sudah ada di

74 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


tangan, satu untukku dan satu lagi untuk istriku. Kurang lebih
selama 45 menit kami berada di atas kapal itu, menikmati
pemandangan kota Malaka dari sudut yang berbeda. Sungguh
menarik khususnya saat melewati kampung Morten, walaupun
kami tidak turun dan langsung mampir ke kampung itu. Kampung
Morten merupakan satu-satunya perkampungan asli Melayu
yang masih tersisa di kota Malaka sana.
Turun dari kapal, sesaat kami mampir ke penjual kelapa
muda ala Jonker Street yang ternyata penjualnya adalah anak
muda yang berasal dari Medan. Horas bah! Sembari menikmati
kelapa muda berbentuk unik, karena dijual dalam bentuk
dagingnya sudah dikeluarkan tapi bentuknya masih bulat utuh,
kami juga mencoba menikmati kue Keria khas Malaka, lagi-lagi
kue ini sangat cocok dengan lidah kami, enak!
Lanjut dari sini, kami menyempatkan diri untuk
mengambil beberapa photo di dekat replica kapal milik Portugis
yang bernama “Flor De La Mar” atau Flower Of The Sea, kebetulan
posisinya berdekatan dengan wisata Malaka River Cruise dan
penjual kelapa ala Jonker street tadi. Semakin siang hari semakin
panas, sementara waktu yang tersisa hanya tinggal beberapa
jam saja, untuk itu kami putuskan, sebelum perjalanan kami
berakhir di Malaka, kami harus melihat yang namanya 2 (dua)
peninggalan Portugis yang sangat terkenal itu, yaitu St. Paul’s
Church dan Benteng A Famosa.
Diperlukan usaha lebih untuk dapat melihat sisa-sisa
bangunan gereja St. Paul’s Church yang sudah tidak terpakai ini,
karena lokasinya ada atas bukit yang cukup tinggi, hingga kami
perlu meniti satu persatu anak tangga yang ada agar dapat naik
ke lokasi dimana sisa-sisa gereja tersebut berada. Pemandangan
Kota Malaka yang indah nampak dari atas serta hembusan angin
semilir yang kami rasakan, sangat pantas untuk menggantikan
lelah yang kami dapat saat menaiki anak tangga tadi. Ternyata di
bagian luar maupun dalam sisa-sisa bangunan gereja tua ini sudah
banyak wisatawan lain yang datang, kulihat juga ada sepasang
calon pengantin bersama dengan photographer yang mereka
bawa yang sedang mengambil beberapa photo pre-wed untuk
pernikahan mereka nanti. Juga ada beberapa pedagang yang
menjual souvenir khas kota Malaka serta pelukis yang menjual

Bekas Jejak | 75
hasil lukisannya.
Entah yang kulihat itu prasasti dengan ukuran besar
berbentuk kotak persegi panjangkah? Atau batu nisankah? Aku
tidak tahu. Ada beberapa benda seperti itu yang disandarkan
pada dinding tembok dibagian dalam sisa-sisa bangunan gereja
tua itu. Di dalamnya terdapat tulisan, ada yang aku mengerti
karena ditulis dengan menggunakan bahasa Inggris namun ada
juga yang tidak aku mengerti karena bahasa yang digunakan
bukan Bahasa Inggris. Tidak banyak yang dapat dilihat di sini,
selain hanya bekas bangunan dan isinya serta pemandangan kota
Malaka dilihat dari atas bukit yang tinggi.
Keluar dari pintu samping dan kemudian turun melalui
anak tangga yang ada di belakang sisa gerja St. Paul’s ini maka
akan dapat kita temui sisa-sisa bangunan benteng A Famosa yang
dibangun oleh sang penakluk kota Malaka, Alfonso de
Albuquerque. Pemerintahan Sultan Mahmud Syah berakhir
seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tanggal
24 Agustus 1511, hingga beliau dan para pengikutnya melarikan
diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat
pemerintahannya yang baru.
Jam di tangan menunjuk-kan waktu pukul 12.35, artinya
waktu sholat dzuhur dan makan siang telah tiba, saatnya bagi
kami untuk berpisah dan meninggalkan kota Malaka. Setelah
selesai mengisi perut di restoran Wong Solo di dekat hotel the
explorer, kemudian dilanjutkan dengan sholat dzuhur dan ashar
jamak qoshor, kini saatnya kami meninggalkan Malaka. Kota
bersejarah yang penuh dengan kenangan.
Sebenarnya satu hari satu malam adalah waktu yang
singkat, tidak cukup digunakan untuk meng-explore lebih jauh
semua bekas jejak sejarah yang ada. Alhamdulillah dengan ijin
Allah kami bisa langsung datang ke sana, untuk melihat fakta
sejarah yang ada. Ini bukan perjalanan biasa, tapi bagi kami
perjalanan ini sangat berharga dan luar biasa. Lambat tapi pasti
bis yang membawa kami mulai meninggalkan jalan utama kota
Malaka, menuju jalan toll arah ke Kuala Lumpur di Malaysia. Insya
Allah suatu saat nanti kami akan kembali ke Malaka.

76 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Info Tambahan

Malaka adalah salah satu dari 13 negara bagian


yang ada di Malaysia, di Utara berbatasan langsung dengan
Negeri Sembilan dan dengan Johor di Selatannya. Hanya
butuh waktu sekitar 2 – 2.5 jam dari Johor bahru jika
ditempuh dengan bis dari terminal JB-Larkin menuju –
terminal Malaka Sentral dengan biaya sekitar RM 20, 90

Tips: Irit biaya dengan naik Bus dari Singapore


Menuju Malaka
Dari bandara Changi terminal

• Turun ke lantai dasar (basement) Changi Airport


Terminal 2 menuju Passenger Terminal Building
(PTB 2)
• Dari situ naik Bis no. 858 tujuan Woodland

• Temporary Interchange Bus Terminal dengan

• biaya perorang = 2,6 dollar Singapore.

• Dari Woodland Temporary Interchange Bus

• Terminal naik lagi bis no. 950 dengan tujuan

• Woodland Checkpoint, dimana kantor imigrasi

• perbatasan Singapore – Malaysia berada. Harga


ticket bus perorang = 1,70 dollar Singapore.

• Dari Woodland Checkpoint seusai dari pemeriksaan


imigrasi Singapore, turun ke bawah dan cari

Bekas Jejak | 77
bis dengan tujuan JB Sentral, biaya perorang
= RM 2,-

• Dari JB Sentral bisa langsung naik GRAB car


menuju JB Larkin Bus Terminal.

• Dari JB Larkin, dengan biaya sekitar 20,90 ringgit


Malaysia kita sudah bisa naik bisa menuju ke
kota Malaka, turun di terminal Malaka Sentral.

Pesan penting untuk para Traveller Muslim:


· Jalan-jalan boleh, kemanapun tujuannya, tapi dari
semua itu yang paling penting adalah: Sholat
yang merupakan kewajiban dari Allah SWT
jangan sampai pernah kita tinggalkan.
· Jaga dan perhatikan makanan dan minuman yang
akan kita konsumsi, jangan sampai makanan dan
minuman yang tidak jelas apalagi haram sampai
masuk ke dalam tubuh kita.
· Sebisa mungkin untuk traveler wanita, hendaknya
saat sedang bepergian ditemani dengan mahrom-
nya.… apalagi jika waktu bepergian-nya sampai
lebih dari 1 (satu) hari

78 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Johan Jauhari
(Banjarbaru)

Bekas Jejak | 79
Hajar, Bleh!
Pria berjaket abu-abu itu asyik menikmati hidangan,
sambil bersenda gurau dengan beberapa orang di sebuah meja
panjang. Dia tampak tidak menyadari kehadiranku yang
mengendap-endap di balik punggungnya. Aku melesat, cepat.
kudekap lehernya dari belakang. Sesaat dia terperanjat, tertawa
lantang, dan kami pun berangkulan dengan hangat. Dialah Dwi
Rizki, biasa dipanggil Iki. Aku mengenalnya sudah cukup lama,
hampir tiga dasawarsa. Kala itu kami duduk berdekatan, di hari
pertama masuk kelas 1 sebuah SMA di Jakarta Selatan. Dan kali
ini, Allah pertemukan kami kembali di Malaka, Malaysia.
Tujuh belas wajah lain menyambutku. Wajah-wajah yang
asing, namun penuh keramahan. Inilah pertemuan pertama
kami, setelah beberapa waktu sebelumnya hanya saling sapa di
grup WhatsApp. Cukup kewalahan juga aku mencoba
menghafalkan nama mereka sekaligus. Mereka, seperti aku,
adalah peserta Islamic Trip & Travel Book Project 2019. Pelaksana
sekaligus pemimpin perjalanan ini, Bang Pay Jarot Sujarwo,
seorang pria jangkung dari Pontianak, menjabat tanganku sambil
tersenyum lebar.
Tidak seperti peserta lain yang masuk ke Malaka melalui
Kuala Lumpur, aku memilih naik bus dari Singapura. Karena itulah,
aku bisa sampai di sana beberapa jam sebelum mereka, dan
punya cukup waktu menjelajahi kota ini sendirian.
Hingga beberapa saat sebelum pertemuan kami, aku
masih berkeliaran di Jonker Walk Night Market, titik paling ramai
kota Malaka di malam hari. Aku juga masih sempat duduk santai
sambil menyesap segelas pearl milk tea. Kuperhatikan keriuhan
para turis di seputaran Stadthuys, atau yang kini biasa disebut
Bangunan Merah. Aku merasa seperti setetes air dalam pusaran
arus manusia yang tak habis-habisnya. Semua tampak gembira,
menikmati suasana kota yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai
salah satu warisan dunia.
Sampai tiba-tiba datang sebuah SMS, "Pak, kami sedang

80 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Sket Kota Malaka
oleh: Johan Jauhari

makan di restoran Asam Pedas JR, di dekat hotel." Alhamdulillah,


teman-teman seperjalananku sudah tiba. Kutinggalkan tempat
dudukku di sudut dekat air mancur Ratu Victoria, setengah berlari
menuju tempat yang disebutkan Bang Pay.
"Silakan duduk pak. Atau mungkin mau langsung pesan
makan malam?" Penat di kaki melebihi rasa laparku.
Mengingatkanku pada rasa letih yang mendera di tepi danau
Ranu Kumbolo, Gunung Semeru, hampir setahun lalu. Aku
memesan sepiring nasi goreng kampung. Banyak penulis buku
tentang perjalanan yang menyarankan kita menyantap hidangan
khas negara setempat. Makin aneh, makin menarik. Besok
sajalah. Untuk saat ini, mungkin menu yang lebih familiar bisa
membantu bangkitnya selera.
Perbincangan pun berlanjut. Bang Pay menjelaskan
tentang rancangan acara, serta rencana untuk menerbitkan buku
mengenai perjalanan ini. Semua peserta diharapkan mampu
berkontribusi, menerapkan ilmu yang telah diberikan secara

Bekas Jejak | 81
online di writing class sebelumnya. Soal kualitas, tak perlu
dipusingkan benar. Toh kami bukan penulis profesional. Masih
taraf belajar. Bahkan ada yang mengaku sungguh awam. Aku
teringat kata-kata Pak Ogah di film Si Unyil, pada dekade 80an.
Film seri yang rutin kami tonton tiap Ahad pagi, "Hajar, Bleh!"
Ya, tak apa. Tulis saja dulu. Biarkan pembaca yang menilainya
nanti.
Hmmm... terus terang, aku sudah lama tidak menulis.
Telah lama kukubur impian menjadi seorang penulis. Telah
kulupakan pula cita-cita menjadi editor, selepas kuliah di
program studi Penerbitan, Politeknik Universitas Indonesia, 22
tahun lalu. Semua berganti dengan rutinitas kerja kantoran,
mencari nafkah bagi kami sekeluarga.
Bahkan setelah resmi pensiun dini delapan tahun lalu,
kegiatan menulisku hanya terbatas pada sedikit tulisan pendek
di media sosial. Tak ada yang istimewa, tak ada yang diseriusi.
Tapi mungkin Allahu Rabbi punya rencana lain. Pertemuan
dengan teman-teman baru ini membawaku pada kesadaran baru.
Selama ini aku banyak melakukan perjalanan dan menyimpan
segala kisahnya sendiri. Mungkin sudah tiba waktunya,
membagikan aneka cerita dari beragam sisi dunia itu kepada
siapa saja yang berkenan membacanya. Lebih utama lagi, kepada
ketiga anak kami. Kepada merekalah harapan itu kini bertumpu.
Harapan agar mereka mau belajar dari perjalanan hidup orang
tuanya. Semoga suatu saat mereka mampu menjelajah dunia
lebih jauh, mendulang pengalaman hidup lebih kaya, dan
menebarkan kebaikan lebih luas. Aamiin, ya Rabb.

Penjelajah dan Penjajah


Hotel The Explorer. Itulah kata-kata yang tertera di
dinding lobby hotel, tempat saya akan menginap selama berada
di Malaka. Saya menarik nafas panjang. Lega, akhirnya sampai
juga. Penat setelah berpindah-pindah bus, menempuh
perjalanan darat selama 6 jam dari Singapura, termasuk berdiri
antre satu setengah jam di pos imigrasi memasuki perbatasan
Malaysia, segera berganti dengan rasa syukur.

82 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Terselip pula sekelumit rasa haru. The explorer, sang
penjelajah. Ah, sungguh pas rasanya kata tersebut bila
dihubungkan dengan Malaka. Inilah kota yang telah menjadi
saksi atas berbagai penjelajahan umat manusia di muka bumi.
Penjelajahan atas nama kemakmuran, kejayaan, dan firman
Tuhan.
Malaka atau Malacca, sudah cukup tua. Sejarah kota ini
bisa ditelusuri paling tidak hingga abad ke-14. Sekilas terbayang
eksotisme kisah pelayaran para penjelajah masa lalu. Tak
terhitung banyaknya, mulai dari berbagai bangsa Asia, hingga
Eropa. Malaka yang menempati sudut strategis di tepi selat yang
berhadapan dengan Pulau Sumatera pun memperoleh
kesejahteraan dan kejayaan, berkat perdagangan dengan bangsa
Cina, Arab, India, dan Nusantara. Bersamaan dengan arus
kemakmuran dan perdamaian, Islam pun masuk, menjadi rahmat
bagi seluruh alam.
Tiba-tiba, lamunan romantisme itu musnah, tergantikan
oleh bayangan kelam perang dan penghancuran. Ya, Malaka

Sket Malaka River Cruise


oleh: Johan Jauhari

Bekas Jejak | 83
hingga kini masih menyimpan parut luka penaklukan
antarbangsa masa lalu. Bandar yang makmur ini pernah silih
berganti diperebutkan, ditaklukkan, dan diluluhlantakkan. Para
pelaut Portugis yang awalnya menawarkan misi perdagangan,
akhirnya menampakkan wajah bengisnya yang asli. Malaka
ditaklukkan, bangunan peradabannya yang agung dihancurkan.
Warga muslim dibinasakan tanpa ampun. Rakyatnya yang tersisa
dipaksa memunguti puing-puing bebatuan istana, benteng, dan
rumah mereka, lalu membangun kota serta benteng baru milik
para penakluk. Para penjelajah itu bersalin rupa menjadi
penjajah.
Waktu berganti, kuasa pun beralih. Malaka terlalu
memikat bagi hawa nafsu bangsa-bangsa Eropa. Melalui
pertempuran yang sengit, Portugis pun menyerah kepada
Belanda. Malaka berganti pemilik, namun rakyatnya tetap
bernasib sebagai bangsa jajahan.
Kuasa atas kota pelabuhan ini kembali beralih, setelah
pada tahun 1824 Belanda dan Inggris bersepakat untuk menukar
Malaka dengan Bencoolen (Bengkulu) di Pulau Sumatera.
Demikianlah, para tuan kulit putih memperlakukan kepingan-
kepingan bumi itu seperti barang dagangan belaka. Seakan tanah
dan manusia di dalamnya adalah warisan nenek moyang mereka
yang bisa diperlakukan semaunya saja. Jejak penindasan di
semenanjung Malaya masih harus berlanjut, melalui masa
perang dunia, hingga kemerdekaannya pada tahun 1957.
"Your key card, sir." Suara resepsionis berkerudung itu
membuyarkan lamunanku. Malaka tak lagi berduka, tak lagi
menuai nestapa. Malaka kini adalah kota yang terus bersolek,
bangga dan berwibawa. Tak ada lagi penjajah. Yang ada adalah
para penjelajah, ribuan wisatawan yang hadir untuk menikmati
kecantikannya. Sudah pukul setengah enam. Matahari masih
menyisakan sinarnya. Masih ada sedikit waktu untuk menyapa
aneka bangunan bersejarah dan warganya yang ramah.
Sebaiknya aku segera naik ke kamar, shalat jamak qashar, dan
bergegas kembali ke tengah kota yang sudah tak sabar. Melake,
saye nak jumpe!

84 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Liavi Viana De
Liavi wi
Dewi
(Jakarta)

Bekas Jejak | 85
Sepuluh Ribu Langkah
di Malaka
Bismillahirrohmaanirrohim.
Ini adalah perjalanan pertama Ke Malaysia.
Menginjakkan kaki di Negara penghasil sawit terbesar setelah
Indonesia. Feel so excited. Aku pergi berdua dengan suami.
Sebelum ini suami sudah pernah ke Malaysia, tapi tetap saja
kami nyasar saat berada di KLIA.
Tujuan pertama kami adalah Ke Malaka. Perjalanan 2 jam
ditempuh dengan bus dari Bandara KLIA 2. Betapa aneh ku lihat
motor melaju kencang di jalan tol Negri Jiran. Di Jakarta jalan tol
hanya boleh di lalui oleh kendaran roda empat saja. Dan di sini
kendaraan roda dua boleh masuk melewati tol. Dan kata orang
Malaysia : “percuma motorsical“. Yang artinya dalam Bahasa
Indonesia “Gratis untuk motor“.
Saat tiba di sana, ku lihat langit malam tanpa bintang.
Tetapi bulan bersinar dengan terang menyinari malam yang
mendung. Bersama dengan angin yang kencang. Menanti sang
hujan datang dikala Malam datang. Tiba-tiba berubah jadi puitis.
hehe
Suasana yang menyejukkan membuatku ingin terus
berjalan mengelilingi Kota ini. Malaka begitu benderang. Lampu
jalan begitu berwarna. Bahkan becak pun berhias dengan lampu
yang menyilaukan mata. Jembatan panjang melintasi sungai,
tempat orang antri selfie. Terdengar burung malam bernyanyi
di atas pohon. Seakan memuji kebesaran Ilahi yang telah
menciptakan kemegahan alam ini yang wajib kita syukuri.
Pasar malam Jonker Walk ramai dengan manusia yang
lalu-lalang. Di samping kanan-kiri orang jualan. Ada begitu
banyak makanan, minuman unik yang belum pernah ku jumpai.
Eeizzt hati-hati. Jangan asal terlena ingin mencoba membeli.
Pastikan dahulu tidak mengandung babi. Agar tidak menyesal
dikemudian hari. Tidak mudah mencari makanan halal di jalan

86 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


ini. Lebih mudah mencari cendera mata untuk family di tanah
air. Mulai dari kerajinan tangan, gantungan kunci, magnet kulkas
dan baju.
Perjalanan malam ini harus ku sudahi. Selain malam yang
sudah menunjukan pukul 23.00 waktu Malaysia. Kaki ini telah
bekerja dengan keras hari ini. Perjalanan dari Rumah ke Bandara,
antri 2 kali untuk imgrasi yang begitu panjang ( keluar Indonesia
dan masuk Malaysia ), sampai akhirnya masuk pesawat, pindah
bandara, mencari surau (mushola ) dan tempat makan. Keliling
Kota Malaka. Google Fit telah mencetak rekor 8.305 langkah hari
itu dan sudah mencapai 10 Km. Yang sebelumnya hanya mencatat
1.000 – 2.000 langkah keliling Mall.
Semua keindahan malam yang ku rasakan. Bolehlah
kamu juga ikut rasakan, datang kemari dengan dia agar tidak
kesepian. Eizztt dia juga harus sudah sah dulu ya hehe
Waktu sholat Subuh tiba. Pengalaman pertama sholat
subuh di Masjid saat di luar Negeri, di Negara orang. Masjid
Kampung Kling namanya. Lokasinya lumayan jauh dari hotel.
Mungkin ini adalah gambaran yang nyata untuk arti dari Pejuang

Bekas Jejak | 87
Subuh. Alhamdulillah masih sempat mendengarkan ceramah.
Saat bepergian, biasanya sholat subuh di Hotel. Tak pernah
terbayang sebelumnya sholat subuh di Masjid luar Negeri.
Sungguh Allah penggerak hati manusia.
Berbeda dengan malam hari, pagi ini begitu sepi. Jalan
yang kita lewati begitu sunyi tak tampak keramaian semalam.
Matahari terbit perlahan, cahayanya menghangatkan bumi.
Memberi semangat untuk memulai hari. Perut sudah di isi.
Dengan roti cane cheese. Kami siap menjelajah Malaka lagi.
Tahun 2008, Malaka diakui UNESCO sebagai World
Heritage City. Hal itu cukup terlihat jelas dengan banyaknya
bangunan tua yang unik. Bangunan bergaya Eropa berwarna
merah menjadi khas kota ini. Kota tua nan cantik ini seakan
bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
Sepanjang jalan mata memandang banyak sekali
museum bersejarah. Bangunan tua yang begitu mencolok adalah
sebuah kapal karam di tengah kota. Yang sebenarnya Museum
Kapal Maritim / Museum Maritim Flora de la Mar. Bangunan Kapal
ini merupakan replika kapal Portugis yang terdampar di Pantai
Malaka. Museum ini berisi masa kejayaan Sultan Malaka. Antrian
masuk musim begitu panjang dan waktu tidak memadai, kami
hanya berfoto di depan bangunan tersebut.
Matahari mulai terik, angin berhembus kencang di sungai
Malaka. Waktunya menggunakan sun glass. Kami menaiki

88 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Malacca River Cruise menyusuri sungai sepanjang 9 Km. Pinggiran
sungai terlihat bersih. Tidak sedikit orang berjalan menyusuri
pinggir sungai atau sekadar bercengkrama di kafe. Perjalanan
selama 45 menit pengunjung akan mendengarkan dokumenter
berbentuk audio tentang sejarah Kota Malaka.
Tak hanya sampai disitu kami pun segera menaiki bukit
St. Paul’s Hill. Gereja tertua di Malaysia ini pun hanya tinggal
reruntuhan. Setibanya di atas bukit tampak sosok patung pria
menjulang tinggi. Dia adalah Fransiscus Xaverius. Bagian samping
banyak orang jualan souvenir. Selfie direruntuhan bangunan
sangat cocok bagi yang suka berbagi di InstaStory.
Rasanya belum puas Explore Malaka. Kami sudah harus

melanjutkan perjalanan ke Kuala Lumpur. Banyak tempat


berkesan di Malaka dan suasananya akan bertahan lama di benak
saya.
Sepanjang perjalanan saya gunakan untuk istirahat, tidur
dalam bus memulihkan tenaga. Siap menuju lokasi berikutnya.
Dan sampailah kami di KL. Tujuan ke tempat-tempat Instragram-
able. Foto sana-sini jepret- jepret cekrek-cekrek. Negri Jiran
terkenal dengan menara Petronas dengan tinggi 452 m. Tak
ketinggalan dari kamera saya dengan efek-efeknya hasil gambar

Bekas Jejak | 89
yang kece dan langsung update instastory. Berbeda dengan
Jakarta udara di KL cukup bersih, meskipun sama-sama Ibukota
Negara yang aktifitas penduduknya banyak menimbukan polusi.
Terlalu asyik berselfie, menikmati keindahan dunia,
jangan sampai lupa waktu untuk sholat. Kami sempat mampir
ke Masjid Negara untuk sholat Isya. Subhanallah bangunan

Masjid tampak megah, luas serta nyaman. Yang paling saya ingat
dari Masjid ini adalah kubah berbentuk lekukan-lekukan seperti
payung. Desain megah kubah utama Masjid ini dirancang
berbentuk seperti bintang dengan 18 sudut yang melambangkan
bagian Negara Malaysia.
Selanjutnya kami menuju Dataran merdeka, Gedung
Sultan Abdul Samad ( Big Ben nya Malaysia ).
Tanpa terasa sudah menginjak hari terakhir dari
perjalanan ini. Agenda free time yang awalnya berencana jalan-
jalan sendiri. Berubah menjadi kunjungan sillaturrohim bertemu
dengan kawan sambil makan nasi lemak khas Malaysia.
Dengan banyaknya tempat yang kami kunjungi. Saya
merasa perjalanan kali ini seperti memberi makna pada mata

90 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


dan hati, bukan hanya memuaskan pandangan mata saja, tapi
juga memuaskan hati. Ketika berkunjung ke dunia yang baru
kita datangi, kita akan sadar betapa luasnya bumi ini, betapa
banyak ragam manusia, betapa besar keagunganNya. Sudah
semestinya rasa syukur kita kepadaNya kian bertambah.
Terimakasih pada tour leader beserta seluruh kawan-
kawan baru dalam kelompok perjalanan. Banyak wawasan yang

Bekas Jejak | 91
telah saya ambil. Semoga kelak kita bisa bertemu kembali.

Hati gembira bergandeng tangan


Bergembira ria dibawah jembatan
Seandainya kita di izinkan Tuhan
Tentu berjumpa di lain perjalanan.

92 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Mahyuddin
Mahyuddin
(K endari)
(Kendari)

Bekas Jejak | 93
Di Masjid Tua
Di masjid tua ini
Kami duduk merenungi diri
Sembari bertekad kuat di hati
Menjadi pejuang subuh sejati
Jika berjalan kaki
Gunung mampu didaki
Lembah kuasa dilewati
Padahal jaraknya tak dekat di sisi,
Alangkah ironi
Masjid tidak bisa didatangi
Padahal hanya butuh sedikit energi
Kadang kita sedikit bertanya itu-ini
Untuk kesenangan duniawi
Namun terkait urusan ukhrawi
Masih terlalu banyak tapi & nanti
Berbagai alasan dicari
Segala dalih dipakai
Di masjid tua ini
Kami juga berjanji
Untuk saling mencintai
—berkenan menasihati
juga bersedia dinasihati—
Agar berpegang pada kebenaran hakiki
Agar terus menyulam sabar dalam diri
Memeluk din dengan teguh hati
Kendati bak menggenggam bara api
Saudaraku, aku mencintaimu sepenuh hati
Karena Allah Ilahi Rabbi

94 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Bekas Jejak | 95
Bahasanya Eksotis dan Sentimental

Oktober lalu, alhamdulillah, untuk pertama kalinya saya


berkesempatan berkunjung ke negeri jiran, Malaysia. Ada banyak
yang unik di negeri ini. Beberapa rekan seperjalanan agaknya
sudah menuliskan banyak hal tentang itu. Di sini, saya akan
menyoroti aspek budaya berbahasa mereka yang menurut saya
eksotis dan sentimental.
Sebetulnya, bahasa Malaysia mempunyai banyak
kemiripan dengan bahasa kita. Hanya saja, terkadang diksi yang
dipilih berbeda dengan yang biasa kita pergunakan dalam bahasa
Indonesia.
“Balai Ketibaan” yang tertera di bandara KLIA sama sekali
bukan kosakata asing, tetapi kita di Indonesia lebih suka
mengucapkannya dengan “Terminal Kedatangan”.
“Tandas awam” untuk menyebut toilet umum mungkin
awalnya terasa janggal. Sebetulnya biasa saja. Bukalah kamus
bahasa Indonesia, temukan lema “tandas” dan “awam”.
Indonesia banget, bukan?

96 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Bagaimana dengan pengumuman “dilarang berkelakuan
sumbang” no indecent behaviour? Percayalah, ”sumbang” tidak
selalu berkaitan dengan aktivitas memberi atau berderma. Kata
“sumbang” dalam perbendaharaan bahasa kita sebenarnya
memiliki banyak arti, misalnya bersalah, berbuat kurang sopan,

Bekas Jejak | 97
tidak senonoh, dsb; ada juga yang bermakna “janggal, tidak
selaras, tidak seimbang”. Terkait dengan makna terakhir ini,
beberapa teman pernah mengajukan protes keras, saat saya
“menyumbangkan” sebuah lagu terkenal yang biasanya
dinyanyikan dengan merdu ^,^.
***
Di sebuah dinding Kota Malaka, saya menemukan
pengumuman yang sangat berkesan.
Semuanya tertulis dalam huruf kapital. Dengan pilihan

font sangat standar: Arial. Formatnya bold. Formal. Kaku. Tertulis


kontras dengan warna putih berlatar merah. Seolah menegaskan,
tanpa kompromi, bahwa perbuatan-perbuatan yang disebutkan
sungguh amat terlarang, pake banget.
Selain “notis”, “muzium”, dan “kastam”—yang
merupakan serapan dari bahasa Inggris notice, museum, dan
custom—semua kata dalam pengumuman tersebut benar-benar
ada dalam bahasa Indonesia. Tidak percaya? Cermati baik-baik.
“Amaran” adalah turunan dari kata “amar” dengan
tambahan akhiran -an, kita adopsi dari bahasa Arab yang artinya
“tugas yang harus dilaksanakan; perintah”.
Bagaimana dengan kata “menampal”? Anda tidak salah

98 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


baca—tulisan itu juga tidak salah ketik—kata tersebut diakhiri
dengan huruf l, bukan r. Dalam kamus bahasa kita, kata ini sangat
dekat artinya dengan kata “menempel”.
Penggunaan kata “sebarang” ternyata juga berterima
dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa, ada dualisme dalam
penggunaan bahasa kita: Anda boleh memilih kata “sembarang”
atau “sebarang” sesuka hati, kendati kata “sembarang” dan juga
“sembarangan” kemudian menjadi lebih populer.
Namun, yang paling mantap dari isi amaran di atas tentu
saja diksi “tanpa kebenaran”. Pilihan kata penutup ini, bagi orang
Indonesia seperti saya, somehow terasa amat heroik, dramatis,
dan sentimental!
***
Bahasa Malaysia, sebagaimana terlihat pada sebagian
contoh di atas, juga banyak menyerap bahasa asing, terutama
Arab dan Inggris. Bahasa Arab terutama berasal dari pengaruh
Islam sebagai agama mayoritas, sementara bahasa Inggris lebih
karena pengaruh penjajahan. Serapan mereka dari bahasa Arab
cenderung lebih kuat daripada yang kita lakukan. Adapun bahasa
Inggris bahkan menjadi bahasa kedua mereka.
“Perkhidmatan Bas Percuma” Go-KL yang kami naiki
adalah contoh yang unik. Kata “khidmah” di situ diserap dari

Bekas Jejak | 99
bahasa Arab dgn makna yang tepat: pelayanan; sementara kita
mengadopsi khidmat dengan makna “hormat”atau “takzim” yang
berbeda dengan makna kata asalnya.
Adapun “bas” tentu saja berasal dari bahasa Inggris bus.
(Btw, saat pertama kali melihat, saya tersilap membaca Go-KL
sebagai gokil hi..hi..).
Bingung dengan kata “percuma” yang sering dijadikan
sebagai bahasa promosi? Kata itu juga sebetulnya ada dalam
bahasa resmi kita. Hanya saja, kita lebih condong menggunakan
“cuma-cuma”atau “gratis”; agaknya karena “percuma” juga
memiliki arti yang sangat berbeda (yakni tidak ada gunanya) yang
dapat menimbulkan mispersepsi. Percayalah, naik bis Go-KL ini
bisa mengantarkan Anda berkeliling Kota Kuala Lumpur secara
percuma. Ini sangatlah bermanfaat, sama sekali tidak percuma,
kan?
***
Kendati memiliki banyak kesamaan dengan bahasa kita,
tetap perlu kiranya berhati-hati menggunakan beberapa
kosakata tertentu. Sebab, maknanya bisa sangat “berbedza”.
Jangan bilang “pusing” saat kepala Anda sakit. Gunakan
saja sinonimnya “pening” agar orang lokal di sana tidak keliru
mengira bahwa Anda sedang berkeliling.
Berhati-hati pula memesan jeruk. Sebab, “jeruk” di sana
berarti makanan yang diasamkan atau diasinkan, bisa berupa
buah, sayur, ikan, telur, dll. Sebagai gantinya, pakailah kata “oren”
yang mereka adopsi dari bahasa Inggris.
Di negeri kita, air minum dalam kemasan kerap disebut
akua, terlepas apapun mereknya. Namun, jangan bawa-bawa
gejala metonimia ini ke negeri jiran Malaysia. Bisa gawat. Bilang
saja air sejuk kosong atau air putih. Akua dalam bahasa pergaulan
sana artinya waria. Kebayang kan bakal seheboh apa jika lelaki-
macho-beranak-tiga macam saya menghubungi resepsionis
hotel meminta akua karena stok air minum di kamar sudah habis?
***
Menjelang pulang, saya mampir di salah satu tandas
bandara Kuala Lumpur International Airport. Ada fasilitasnya
yang rusak, tidak berfungsi. Petugasnya memasang keterangan:
Kok dia tahu amat kalau masuk toilet dengan hajat yang

100 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


sudah di ujung terus ternyata toiletnya rusak lalu terpaksa
mencari toilet lain yang tidak dekat itu merupakan pengalaman
yang berkesan dan berkesal? Sentimental banget, kan?
***
Alâ kulli hâl, sebagai bahasa yang serumpun Melayu
dengan kita, bahasa Malaysia cukup mudah dimengerti. Memang
dibutuhkan adaptasi untuk terbiasa menggunakannya. Tapi tidak
lama, kok. Pesan dalam poster berikut ini cukup mudah dipahami,
bukan?

Bekas Jejak | 101


M. Herma
Hermayyani Puter
Putera
era
(Pontianak)

102 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Berselancar di Sejarah Malaka
Nama ‘Malaka’ sudah lama melekat di dalam pikiran saya.
Saat SMP, salah satu pelajaran yang sangat saya senangi adalah
sejarah. Materinya sangat menarik. Cara Bu Nelce Apunasa dan
Bu Sri Mulyati, dua guru sejarah di SMP dulu, juga sangat berkesan
bagi saya. Hafalan mereka luar biasa. Cerita demi cerita sejarah
mengalir lancar dari mulut keduanya. Kita seolah diajak
mengembara, masuk ke lorong waktu, serasa terlibat di
dalamnya.
Tentang sosok petualang penakluk dunia baru, misalnya,
seperti ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang dikisahkan pernah
ke Nusantara selama tujuh kali. Ada pula kisah bagaimana
perkembangan dan peradaban satu kawasan, seperti Mesir dan
Sungai Nil. Atau tentang Sungai Mekong yang mengalir dari
Dataran Tibet di utara, terus mengalir melalui Yunnan di
Tiongkok, terus ke Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, dan
V ietnam. Memberi pelajaran, betapa pentingnya merawat
sungai, tempat tumbuhnya peradaban-peradaban besar.
Salah satu yang masih melekat di ingatan adalah materi
tentang sejarah Kesultanan Malaka. Walaupun umur kesultanan
ini hanya satu abad lebih, tapi dengan empat periode
kepemimpinan sultan, Malaka tumbuh menjadi pusat
perdagangan serta pelayaran internasional, bahkan berkembang
menjadi pusat penyebaran agama Islam terbesar di Asia
Tenggara.
Cerita kedua tentang Malaka saya dapatkan dari seorang
teman lama di dunia gerakan LSM. Penyakit yang dideritanya
mengharuskan ia mesti intensif berobat. Dan Malaka dipilih
karena akses ke sana yang relatif dekat, murah, dan peralatan
medis di rumah sakit yang canggih dengan harga terjangkau.
Layanan dokter juga sangat ramah dan enak diajak diskusi
tentang penyakitnya. Bahkan, mereka pun bisa konsultasi via
email.
Dan ini yang ketiga. Pertengahan Juli 2019. Notifikasi
chat WA masuk di hape saya. Ada flyer dari sahabat rasa saudara,

Bekas Jejak | 103


Pay Jarot Sujarwo. Tentang Islamic Trip and Travel Book Project,
Kuala Lumpur-Malaka, Syarat: Muslim, lelaki, peserta
perempuan wajib bersama mahrom/suami, tidak manja saat
travelling, penyuka sejarah Islam, rindu kejayaan Islam. Kita akan
ngetrip sekaligus menulis Islamic Travel Book. Don’t miss it!
Demikian isinya.
“Siapa tau Bang Herma bisa bantu forward,” sambung
Pay.
“Siap. Saya share ya ke beberapa grup ya Pay. Tertarik
juga ikutan nih,” balas saya, antusias.
“Yok Bang yok,” dibalas cepat oleh Pay. “Ajak Bang Nur Is
juga ya Bang,” sambungnya. Nur Iskandar nama lengkapnya,
adalah jurnalis dan penulis ternama di Kalbar, sahabat kami juga.
Dari Pay dan Nur Iskandar ini saya cukup banyak belajar tentang
dunia kepenulisan. Saya penikmat karya-karya mereka berdua.
“Bisa jadi proyek buku bersama nih ya?”
“Betul Bang. Ini akan jadi target trip ini.”
Agustus 2019. Transfer uang pendaftaran sudah. Tiket
pesawat Pontianak-Kuala Lumpur dengan jadwal dan
penerbangan yang sama dengan Pay juga sudah dibooking.
Berarti sudah positif saya ikut dalam trip ini kan ya? Rupanya
tidak juga. Jadwal kerja sebagai konsultan, dunia kerja yang saya
geluti setelah tidak lagi bekerja di WWF, ternyata cukup padat.
Bahkan ada jadwal laporan akhir yang harus saya selesaikan dan
dikirimkan ke lembaga yang mengontrak saya persis bersamaan
dengan trip ini, nyaris membatalkan keberangkatan saya.
Bahkan sampai Kamis pagi, 10 Oktober 2019 di hari jadwal
keberangkatan pesawat ke Kuala Lumpur, saya masih ragu ikut
berangkat atau tidak. Untunglah pagi itu saya sempat ngopi
dengan teman-teman pengurus Federasi Arung Jeram Indonesia
(FAJI) Kalbar di salah satu warung kopi di Jl. Sumatera Pontianak.
“Katanya Abang ikut trip dengan Pay ya? Bukannya
berangkat hari ini?” tanya Hendy, salah satu anggota FAJI. Ia
heran, kenapa jam segini saya belum menyiapkan diri untuk
berangkat. Justru masih berada di warung kopi.
“Iya, saya bingung nih, ada deadline laporan yang harus
saya tuntaskan. Review dan perbaikan terus berjalan sampai
beberapa hari ke depan, dan ada laporan dari dua rekan lain di

104 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


lapangan yang belum masuk. Sementara saya tidak ingin repot
harus membawa laptop dalam trip nanti. Ingin benar-benar
menikmati trip ini,” jawab saya.
“Bismillah saja Bang. Tetap berangkat, laptop dibawa,
minta sama Allah untuk memudahkan dan melancarkan semua
urusan Abang,” saran Hendy, menguatkan saya untuk jangan
mundur dari trip ini.
Kata ‘bismillah’ ini seolah menghipnotis, saya merasakan
ada kekuatan baru, menepis keraguan yang beberapa hari ini
terus mengganjal. Lima menit kemudian, sambil menyelesaikan
segelas kopi saring pahit di meja, saya putuskan tetap berangkat.
“Makasih ya Bro,” kata saya kepada Hendy, sambil
menjabat tangannya. Kami berpelukan erat. “Saya berangkat ya.
Mohon doanya semoga lancar.” Kemudian saya pamit.
“Hati-hati Bang. Ditunggu tulisannya,” Hendy
mengingatkan tentang tugas dari Pay setelah trip nanti.
Di luar keraguan tadi, sebenarnya semangat saya ikut
trip ini sangat tinggi. Selain terobsesi dengan Malaka yang sudah
melekat di benak sejak SMP itu, bisa menulis buku bersama Pay
dan rekan lain juga jadi magnet lain. Tambah semangat setelah
melihat daftar yang ikut dalam trip ini.
Ada Wahyudin Ciptadi, tetangga sebelah rumah waktu
saya tinggal dulu di Komplek Pertanian, Jl Alianyang Pontianak.
Bapak saya dan ayah Wahyu, panggilan akrabnya, dulu sekantor
di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat.
Juga ada Bang Yopie, sahabat abang istri saya. Karena
sering bertemu di rumah mertua saya, kami pun jadi akrab. Istri
Yopie, Aulia Marti juga ikut dalam trip ini. Saya dulu mengenalnya
sebagai wartawan di salah satu koran di Pontianak. Rombongan
dari Pontianak bertambah ramai karena ada Bude dan Bu Else.
Mereka berdua tinggal satu komplek, tak jauh dari rumah saya di
Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo Pontianak. Jadi total kami bertujuh
dari Pontianak, separuh dari jumlah total peserta trip ini.
Kami berlima dari Pontianak berangkat ke Kuala Lumpur
Kamis 10 Oktober, sehari lebih awal dari jadwal trip, 11-13
Oktober 2019. Harapannya agar lebih bisa menikmati Kuala
Lumpur, sambil menunggu peserta lain tiba keesokan harinya.
Adapun Yopi dan Aulia menyusul keesokan harinya.

Bekas Jejak | 105


Islamic Trip ini sungguh sehat secara fisik dan spiritual.
Ke beberapa destinasi kita hindari pemakaian kendaraan umum,
kalau itu bisa dijangkau dengan berjalan kaki santai. Eksplorasi
kawasannya bisa lebih dalam. Demikian pula ketika masuk waktu
shalat, peserta trip yang pria berjalan kaki menuju masjid
terdekat. Sesuai yang disunnahkan, kami menempuh jalan yang

(Masjid Jameek, Kuala Lumpur)

106 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


berbeda saat berangkat dari hotel ke masjid dan arah pulang
dari masjid ke hotel.
Pada hari pertama di Kuala Lumpur, kami shalat di Masjid
Jami’ Kuala Lumpur, masjid tertua di kota ini. Dari panel infor-
masi yang disedia-kan di dekat pintu masuk, kita jadi tahu sejarah
masjid ini. Mulai dibangun pada tahun 1897, Masjid Jami’ mulai
diresmi-kan penggunaannya oleh Sultan Selangor pada tahun
1909, saat Malaysia masih di bawah pemerintah jajahan Inggris.
Sentuhan seni Islam dari beragam ornamen di bagian
luar menjadi-kan masjid ini sarat nilai sejarah dan arsitektur,
sesuatu yang sudah sangat jarang kita temui pada masjid sekarang.
Termasuk masjid-masjid di tanah air yang belakangan banyak
direhab atau dibangun baru, yang lebih banyak menampilkan
corak arsitektur yang nyaris seragam, yakni minimalis, sehingga
kehilangan cita rasa arsitektur tropis atau lokal ataupun ciri
peradaban Islam lainnya.
Dari seberang sungai, lepas shalat magrib dan isya yang
kami gabung secara jamak dan qashar, kami bisa menikmati
Masjid Jami’ bermandikan cahaya di malam hari. Tiga kubah
bawang berukuran besar di atas bangunannya, diselingi deretan
menara kecil pada atapnya, semakin menambah indah tampilan

Bekas Jejak | 107


masjid ini. Tak heran jika Masjid Jami’ menjadi contoh terbaik
dari aristektur resmi pemerintah jajahan Inggris di Malaysia.

Bertemu Dr. Zakir Naik


Jumat pagi, kami siap-siap check out dari hotel di Kuala
Lumpur, lanjut perjalanan ke Malaka. Bang Pay ke KLIA,
menjemput peserta lain yang datang dari berbagai kota.
Sementara Ustadz Mahyudin dari Kendari, Bang Wahyu, dan saya
ke Masjid Putra, menunaikan shalat Jumat.
“Bang Herma, Dr. Zakir Naik biasanya shalat Jumat di Masjid
Putra ini. Semoga beruntung kete-mu beliau ya,” kata Bang Pay di
lobby, sambil me-nunggu taxi online yang sudah dipesan via layanan
aplikasi Grab.
Dr. Zakir Naik su-dah beberapa waktu ter-akhir menetap di
Malaysia, setelah negara asalnya, India melarang ia masuk ke India.
Ceramahnya yang keras, bisa jadi penye-babnya.
Masya Allah. Doa dan harapan saya terkabul. Ketika saya
sedang memasang sepatu setelah selesai shalat Jumat, Wahyu
tiba-tiba teriak, “Ayo Bang Herma, cepat sedikit. Ada Dr. Zakir
Naik di depan kita!”
Setengah tak percaya. Tapi sosok yang sering saya simak
ceramahnya di kanal Youtube ini persis berjalan sekitar 20 meter
di depan kami. Ia tidak sendiri. Ada sekitar 6 orang pria berbadan
tegap, berpakaian serba hitam, sambil berjalan terus memagari
Dr. Zakir Naik. Di depan, belakang, samping kiri dan kanan.
Beberapa jamaah yang mencoba menyalami Dr. Zakir, tetap
diberikan kesempatan, tapi sangat cepat.
Sret!!! Tiba-tiba seorang pria berkebangsaan Meksiko
menyalami dan langsung memeluk Dr. Zakir. Pengawalnya
sempat mencoba melepaskan pelukan pria tersebut, namun Dr.
Zakir dengan lembut memberikan isyarat kepada pengawalnya,
pertanda beliau membiarkan pria amerika latin itu terus
memeluk dirinya. Sambil memeluk, pria itu berterima kasih
kepada Dr. Zakir. Dulunya ia seorang non-muslim, bekerja di salah
satu perusahaan di Kuala Lumpur. Setelah menyimak dan
mempelajari beberapa ceramah Dr. Zakir di Peace TV di kanal

108 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Youtube, pria ini berketetapan hati, akhirnya memeluk Islam.
Bagi yang belum tahu siapa Dr. Zakir Naik dan mengapa
saat jumpa di Masjid Putra Jaya ia didampingi beberapa
pengawalnya, berikut sedikit ceritanya ya. Ia adalah seorang
dokter, penulis yang produktif dan pendakwah yang paham
tentang perbandingan agama. Pada tahun 1991, ia memutuskan
tidak lagi melanjutkan karir profesionalnya sebagai dokter, dan
total berdakwah. Ia banyak menulis buku tentang Islam dan
perbandingan agama. Dakwahnya sangat diminati bukan hanya
oleh umat Islam, tapi juga oleh kalangan non-muslim yang
sedang mendalami Islam, karena ia senang berdiskusi tentang
perbandingan agama. Pemahamannya sangat luas, karena ia juga
fasih membedah kitab suci agama lain. Ceramahnya di banyak

Bekas Jejak | 109


tempat dan banyak negara selalu membludak, penuh peserta.
Ingin menyimak materi dakwahnya.

Sekilas tentang Masjid Putra


Nama masjid ini diambil dari nama Perdana Menteri
Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman Putra Al Haj. Karena
posisi fondasinya yang menjorok ke sungai, Masjid Putra kadang
disebut juga sebagai masjid apung.
Berlokasi tak jauh dari Perdana Putra, bangunan utama
Istana Perdana Menteri Malaysia, Masjid Putra mudah dikenali
dari jauh karena kubah yang terbuat dari granit berwarna merah
dengan ketinggian 80 meter berdiri tegak mencolok.
Dengan bangunan tiga lantai yang dimilikinya, kapasitas
Masjid Putra sangatlah besar, karena bisa menampung hingga
15 ribu jamaah. Dua lantai di bagian atas sebagai ruang sholat
dan berbagai aktivitas ibadah muamalah lainnya, dan satu lantai
di bagian bawah tanah (basement) sebagai tempat wudhu.
Pembangunan masjid ini memakan waktu dua tahun
(1997-1999). Karena lokasinya di sekitar Komplek Istana Perdana
Menteri dan pemerintahan Malaysia, masjid ini juga sering
dipakai oleh Perdana Menteri Malaysia untuk shalat Jumat
berjamaah dengan tamu negara dan pejabat dari negara lain.

Putrajaya: Pusat Pemerintahan


Malaysia Sejak Sembilan Lima
Keputusan pemerintah Malaysia memindahkan pusat
pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya menjadi model
yang sukses dan banyak dipelajari oleh berbagai negara.
Saya tidak tahu, apakah pemerintah Indonesia juga
belajar dari Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi
memutuskan pusat pemerintahan RI pindah dari Jakarta ke
Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Apa yang dihadapi

110 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Malaysia dan Indonesia kurang lebih sama, yakni kemacetan lalu
lintas yang kian parah. Kantor-kantor kementerian yang terpencar
membuat kebutuhan untuk melakukan pertemuan koordinasi
terkendala kemacetan. Seperti halnya Jakarta, Kuala Lumpur juga
menjadi ikon dan pusat pertumbuhan Malaysia.
Pemerintah Malaysia kemudian memutuskan menyedia-
kan pusat pemerintahan baru, yaitu di Putrajaya. Kawasan Putrajaya
seluas 46 km2 adalah bekas lahan perkebunan kelapa sawit. Jaraknya
dari Kuala Lumpur sekitar 25 Km, dengan jarak tempuh sekitar 40-45
menit dengan kendaraan roda empat.
Seperti halnya Masjid Putra, nama Putrajaya juga
terinspirasi dari nama Perdana Menteri Malaysia yang pertama, yakni
Tengku Abdul Rahman Putra.
Proses pembangunan seluruh infrastruktur pendukung dan
gedung-gedung kementerian seluruhnya menggunakan anggaran
negara, sehingga praktis tidak banyak investasi swasta di sini. Tidak
juga perlu berutang ke luar negeri seperti yang direncanakan oleh
Pemerintah RI dalam proses pemindahan ibukota dari Jakarta ke
Kalimantan Timur nanti.
Seluruh kementerian yang semula berkantor di Kuala
Lumpur dipindahkan ke sini. Hanya Kementerian Perdagangan dan
Investasi yang masih berpusat di Kuala Lumpur, mengingat area
pusat perdagangan dan kawasan komersial lainnya masih
terkonsentrasi di Kuala Lumpur dan sekitarnya.
Boleh dibilang Malaysia sukses memindahkan pusat
pemerintahannya. Seorang rekan media yang pernah diundang
meliput ke Putrajaya bercerita kepada saya, ada cukup banyak
efisiensi dan efektifitas pasca pemindahan ini, termasuk
produktivitas pegawai di sana.
Cerita dari salah seorang pegawai di salah satu kementerian
yang juga ikut shalat Jumat di Masjid Putra menambah lengkap
informasi tentang Putrajaya. “Jarak dari kementerian satu ke
kementerian lain hanya berkisar 5 hingga 15 menit dengan jalan
kaki. Sangat simpel dan efisien jika perlu ada koordinasi antar
kementerian, dan bahkan dengan kantor Perdana Menteri. Bisa
sambil sarapan atau makan siang atau makan malam,” katanya, saat
kami sama-sama mengantre mengambil air mineral yang disediakan
gratis oleh Masjid Putra kepada para jamaah setelah shalat Jumat.

Bekas Jejak | 111


Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia
Pekerja asal Indonesia menempati peringkat tertinggi
dibandingkan tenaga kerja asing dari negara lainnya yang bekerja
di Malaysia. Menurut catatan resmi Kementerian Sumber
Manusia, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang resmi terdaftar pada
tahun 2017 berjumlah 707.181 orang.
Resmi dan terdaftar? Ya, karena sesungguhnya secara
faktual jumlah TKI/TKW jauh lebih besar dari data resmi tersebut,
dan bekerja di sektor perkebunan terutama sawit, konstruksi,
asisten rumah tangga, pemeliharaan otomotif, layanan
kebersihan, pelayan kedai kopi dan restoran, dan pekerjaan

112 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


kejuruan serupa lainnya adalah formasi tenaga kerja yang sering
dikategorikan 3D (dirty, dangerous, demeaning) alias kotor,
berbahaya, dan rendahan.
Karena mereka dibayar lebih rendah dibandingkan
profesi lainnya di Malaysia, tidak banyak warga negara Malaysia
yang bekerja di sektor ini. Peluang ini yang kemudian banyak
diisi oleh migran dari negara lain, terutama yang berasa dari
India, Myanmar, Bangladesh, Nepal dan Indonesia.
Di Kuala Lumpur, kami bertemu dengan beberapa orang
asal Indonesia yang bekerja di negeri jiran ini. Bu Zubaidah,
misalnya. Sosok perempuan berumur tujuh puluh tahun yang
berasal dari Bukit Tinggi ini bercerita bahwa ia sudah dua puluh
tahun berjualan nasi lemak dan berbagai jenis lauk. Dengan sewa
sekitar 250 ringgit tiap bulannya, ia berjualan di trotoar dekat
stasiun kereta, tidak jauh dari Masjid Jamik Kuala Lumpur.
Jualannya selalu habis.
“Kecuali kalau hujan, jualan saya jarang sekali habis,
masih tersisa sedikit,” tuturnya. “Biasanya saya berikan kepada
saudara-saudara kita yang di sana,” sambungnya, sambil
menunjuk ke beberapa orang tunawisma yang masih terbaring
pulas di pelataran pembatas tanaman hias dan jalur pedestrian
untuk pejalan kaki.
Mereka adalah para pekerja yang sulit mendapatkan
fasilitas rumah karena tarif sewa yang cukup mahal di sini. Dua
keping keramik ukuran sedang cukup sebagai alas tidur
beratapkan langit bagi para tunawisma ini.
Mungkin karena senang berbagi ini yang menyebabkan
Bu Zubaidah jarang menderita sakit. Beliau tampak segar.
Hidupnya penuh barakah. Murah rezeki. Padahal tiap hari ia
selalu bangun awal, jam satu dinihari, guna menyiapkan segenap
jualannya tersebut. Meracik bumbu, memasak nasi serta aneka
ragam lauk dan sayur, dikemas di panci-panci besar, lalu
memasukkannya ke bagian belakang mobilnya, dan meluncur
sekitar 15-20 menit menuju trotoar tempat berjualan ini.
Hidup Bu Zubaidah mengalir saja. Setelah suaminya
wafat beberapa tahun lalu, praktis ia sendiri yang membesarkan
kelima anaknya. Tiga anaknya sudah memberikan cucu, hiburan
tak ternilai baginya.

Bekas Jejak | 113


Di Malaka, kami juga jumpa dengan warga Indonesia
lainnya. Syukri namanya. Pria 24 tahun yang masih bujangan ini
sudah tiga tahun merantau ke Malaka. Mengandalkan
ketrampilan mengupas kelapa muda hingga ke bagian dalam
batoknya yang masih lembut hingga hanya tersisa daging kelapa
bulat utuh. Menghadirkan sensasi baru menikmati kelapa muda.
Airnya diminum dengan sedotan, saat diseruput segarnya terasa
masuk ke tenggorokan. Selanjutnya, giliran daging lembut yang
disantap.
Alhamdulillah, dengan tariff 5 RM, kami bisa menikmati
keseluruhan air dan daging kelapa muda, plus atraksi bagaimana
mengupas kelapa muda ini. Juga cerita mimpi dan masa
depannya setelah tabungannya cukup banyak bekerja di Malaka
ini. “Saya targetkan tiga atau empat tahun lagi saya di sini. Setelah
tabungan cukup, pengalaman kerja di beberapa bisnis kuliner di
sini cukup banyak, rencananya saya akan balik kampung ke
Tanjungpinang (Kepulauan Riau). Merintis usaha kuliner di sana,
sambil mengembangkan potensi wisata di kampung,” ujarnya,
penuh optimisme.

Wisata Jelajah Sungai Malaka

114 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Kami singgah di lapak Syukri selepas menyusuri Sungai
Malaka dengan river cruise yang beroperasi tiap hari, dari jam
09.00 pagi hingga 23.30 malam. Sebagai orang yang lama kerja di
lapangan, perhatian saya langsung tertuju pada fasilitas
keselamatan yang ada di dalamnya. Life jacket ada, dalam jumlah
yang cukup sesuai kursi yang tersedia. ‘Ok aman,’ batin saya.
Jarak kursi antar penumpang juga diatur cukup lega. Kita
masih bisa menikmati pemandangan kiri-kanan sepanjang rute
sambil mengambil foto, sepuasnya. Panduan keselamatan
kepada penumpang juga terus disampaikan oleh pemandu,
menyelingi ceritanya yang fasih tentang sejarah pengelolaan
Sungai Malaka ini, bagaimana kondisi masyarakat yang tinggal di
sepanjang sungai yang kami lalui, dan beberapa cerita menarik
lainnya.
Sungainya bersih, penataan kawasannya oke. Masjid,
hotel, café, tempat penyewaan sepeda tersedia di sepanjang
kiri-kanan sungai. Ada banyak mural dengan beragam gaya,
memanjakan mata kita. Ada juga kincir air yang masih terawat
dengan baik, menyembul menampakkan diri, masih bisa terlihat
dari kapal yang membawa kami.
Harga tiket dengan jarak tempuh 45 menit cukup
terjangkau. 30 RM bagi turis asing seperti kami, dan 25 RM bagi
warga negara Malaysia. Perbedaan tarif layanan ini jamak terjadi
di banyak destinasi wisata. Kami melewati 7 jembatan yang
melintasi Sungai Malaka, dipoles cat penuh warna menggoda.
Waktu terbaik untuk menikmati River Cruise ini adalah pada
malam hari. Suasana ini yang malam sebelumnya saya nikmati
bersama Bang Wahyu, tetangga sebelah rumah saat orang tua
kami dulu tinggal sekomplek.
Wahyu dengan latar belakang seorang arsitek sangat
memperkaya diskusi kami. Ia menjelaskan menariknya penataan
Sungai Malaka ini dari perspektif arsitektur lansekap. Pikiran
saya lalu meloncat ke Kota Pontianak, tempat kami tinggal.
Walikota sekarang, Pak Edi Kamtono, juga seorang arsitek.
Semoga di era kepemimpinan beliau, ada cukup banyak
sentuhan arsitektur dalam kebijakan penataan kawasan dan
lingkungan perkotaan. Membuat kota nyaman ditinggali, dan
pantas untuk dikunjungi dan dinikmati para pelancong dari luar.

Bekas Jejak | 115


Jonker Walk
Penataan kawasan dan semangat berbagi space juga
kami nikmati di Jonker Walk. Banyak orang bilang, belum ke
Malaka kalau tidak mampir ke kawasan ini. Terletak di Jonker
Street, kawasan ini merupakan pecinan (Chinatown), karena
banyak didiami warga dari etnis Cina. Toko-toko di sini berjualan
baju dan souvenir khas Malaka. Beberapa kedai dan restoran
juga menjual makanan dan jajanan khas Malaka.
Kami beruntung ke sini pas saat jadwal pasar malam.
Tiap hari Jumat dan Sabtu, mulai pukul 18.00 akses jalan ditutup
bagi pengguna kendaraan. Banyak lapak dibuka di pinggir dan di
tengah jalan. Di tengah jalan? Iya, bebas hambatan kan? Sambil
berjalan, rombongan besar kami memecah, menikmati semalam
di Malaka di jalan kesohor ini. Full badan jalan dan trotoar
dipenuhi penjual dan pembeli. Kita bisa menikmati suasana
malam di sini.
Waktu di Malaka yang sangat singkat membuat kami
harus memanfaatkan waktu dengan maksimal. Masih banyak
yang belum sempat digali dan dinikmati dari dekat, walaupun
beberapa referensi sudah sempat dibaca sebelum berangkat ke
sini. Salah satunya tentang replika kapal Flor de la Mar. Dalam
perjalanan pulang dari Jonker Walk menuju hotel, saya
sempatkan menikmati dari jauh dan mengambil foto replika
kapal Flor de la Mar dari beberapa sudut gambar.
Kesan megah kapal ini terasa di malam hari, ketika
disiram lampu dari berbagai sudut. Malaka sungguh pandai
memoles semuanya menjadi lansekap cerita sejarah yang
membuat orang ingin datang lagi, termasuk beberapa dari kami
peserta trip.
Kapal asal Portugis itu sangat dikenal, karena
mengangkut emas dan batu berharga. Namun nasib tak berpihak,
selepas berlayar dari Selat Malaka dan memasuki perairan
Indonesia, kapal tersebut karam. Dari beberapa sumber
informasi yang saya dapat di internet, kapal Flor De La Mar
dikabarkan menjadi incaran para pemburu harta karun. Kapal
itu disebut-sebut mengangkut banyak emas dan perhiasan lain

116 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


yang tak ternilai harganya. Kapal ini juga dilaporkan menampung
sekitar 200 tong dipenuhi batu permata dan berlian berbagai
macam ukuran. Biaya untuk mengangkat kapal tersebut
diperkirakan hingga puluhan juta dolar.
Karena semua sudah tahu arah jalan pulang ke hotel,
kami satu rombongan sepakat kalaupun nanti tidak saling jumpa,
akan kumpul lagi Sabtu pagi, sambil sarapan bersama. Bagi
peserta pria, seperti hari-hari sebelumnya, kita sepakat akan
shalat subuh di Masjid Kampung Kling, masih di sekitar kawasan
Jonker Street.

Malaka, I Shall Return


Setelah makan siang, kami kembali ke hotel tempat
menginap, dan bersiap-siap kembali ke Kuala Lumpur. Walaupun
masih ada agenda di malam terakhir di ibukota Malaysia ini dan
dilanjutkan keesokan harinya, saya merasa trip ini sudah selesai
begitu meninggalkan Malaka. Tak banyak hal istimewa yang bisa
dijelajahi di Kuala Lumpur setelah sehari semalam di Malaka.
Ada beberapa cerita yang tak sempat banyak dijelajahi,

Bekas Jejak | 117


seperti benteng a Famosa, beberapa museum yang layak
dikunjungi karena bisa bercerita banyak tentang Malaka dan
dunia pada masanya.
Jika ada kesempatan lagi, ingin rasanya kembali ke
Malaka, menuntaskan berselancar ke titik-titik sejarah yang
belum selesai dijamah. Seperti kata Jenderal Douglas MacArthur
yang terkenal saat Perang Dunia II, I came through and I shall
return. Saya datang dan saya akan kembali.

118 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Sof fy Balgies
Soffy
(Surabaya)

Bekas Jejak | 119


Di Malaka;;Kita Ini Sama
Terbang mengangkasa di atas bentangan samudera
Indonesia. Langit biru cerah kadang terlihat bergumpal awan
tebal kadang tipis. Sejak dari rumah aku sudah diliputi oleh rasa
senang. Sampai di bandara, imajinasiku sudah melayang ke
Malaka, daerah yang akan kukunjungi. Negeri Jiran sudah pernah
kukunjungi sebelum ini, tapi Malaka belum. Konon, ini adalah
negeri yang indah. Kita lihat saja nanti. Jujur, aku begitu
penasaran.
Bagaimanapun juga, keberangkatan ini berkat kehendak
Allah. Saat pertama kali melihat poster promo tentang trip ini,
aku sempat ragu. Seorang kawan memembujuk agar aku bisa
ikut. Agar ia juga punya teman perjalanan. Tapi bagaimana dengan
rumah? Bagaimana dengan pekerjaan? Setelah ditimang-
timang, bismillah, dua minggu sebelum jadwal yang telah
ditentukan, kuputuskan untuk berangkat. Malacca, I am coming.
Sebelum berangkat, para peserta yang sudah mendaftar
dimasukkan dalam satu WhatsApp Group (WAG). Perkenalan
antar peserta terjadi. Tak diduga, ada salah satu peserta yang
juga ternyata agen tiket pesawat. Ini sangat membantu. Urusan
menjadi lebih mudah.
Sampai juga di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA).
Kukabarkan perjalananku ini kepada dunia via Facebook. Seorang
teman merespon, “Acara apa ini?”
“Islamic Trip Malaka – Kuala Lumpur, kujawab
pertanyaannya.
“Amazing,” lanjutnya.
Batinku juga sama, amazing. Pasalnya ini adalah
perjalanan tanpa rencana. Ya, kalaupun dibilang sebagai
perjalanan berencana, sebut saja ini adalah perjalanan dengan
rencana yang begitu singkat. Padahal sebelum ini di tahun yang
sama aku sudah berangkat ke Malaysia.
Pertama kali ke Malaysia ketika itu mengikuti agenda
konferensi internasional di Universitas Teknologi Malaysia (UTM).
Tentu saja, setelah konferensi saya sempatkan melancong ke

120 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


beberapa kawasan yang picnic-able. Dan perjalanan kali ini,
adalah perjalanan yang berbeda. Tak sekadar piknik, tapi kita
juga akan menuliskannya.
Pertemuan antar peserta trip terjadi di bandara KLIA.
Mas Pay Jarot Sujarwo, coach sekaligus trip leader, akhirnya kami
jumpai. Momen ini lumayan menyenangkan. Bisa bertemu
dengan orang-orang dari berbagai daerah, dan masyaAllah tak
membutuhkan waktu lama bagi kami untuk bisa akrab satu sama
lain.
Yang menarik, tour leader kami ini adalah juga seorang
penulis. Sejak awal, sesuai dengan brosur, beliau sudah
menceritakan bahwa agenda traveling ini akan dibarengi dengan
proyek menulis bersama. Mungkin ini bukan pertama kali di
dunia, tapi jarang sekali saya menjumpai agenda seperti ini. Kalau
paket wisata ke berbagai belahan bumi, banyak kita jumpai, tapi
jalan-jalan sambil menuliskannya, nah ini langka. Praktiknya
nanti mungkin akan susah, meski materi dasar sudah diberikan
sebelum kami berangkat. Tapi sudah nyemplung, ya otomatis
basah sekalian.
Setelah perkenalan, kami semua diarahkan untuk naik
bus menuju Malaka. Hari masih sore saat bus melewati highway.
Sepanjang perjalanan kita akan disuguhkan dengan
pemandangan kebun sawit. Sesekali pohon-pohon sawit itu
abadi dalam kamera HP ku. Dalam perjalanan hujan sempat
turun. Tapi tidak lama. Di luar jendela, sore berubah menjadi
gelap. Aku manfaatkan waktu untuk istirahat, tidur di dalam bus.
Sesampainya di Malaka, mata langsuug dimanjakan
dengan banyaknya becak hias. Malam baru saja turun. Becak-
becak itu begitu gemerlap dengan lampu yang berwarna warni.
Mereka menawarkan tumpangan kepada para wisatawan yang
berkunjung ke Malaka. Tapi belum, ini belum waktunya
menikmati wisata becak di Malaka. Sebab kami harus ke hotel
lebih dahulu.
Tour leader berurusan dengan resepsionis sebentar,
kemudian kami mendapat kunci kamar. Sambil menunggu di
Lobby Hotel, aku sempatkan untuk melihat-lihat brosur wisata
di Malaka. Menarik juga, batinku. Tapi waktunya singkat. Ini
bukan saatnya untuk bersantai, kami bergegas ke kamar, ganti

Bekas Jejak | 121


baju sebentar, simpan barang-barang, lalu kembali turun untuk
makan malam bersama.
Aku pikir ini lumrah saat menemukan sesuatu di luar
negeri, kemudian dibanding-bandingkan dengan apa yang ada
di dalam negeri. Setidaknya itu yang terjadi pada diriku. Ketika
masih berada di bandara KLIA, aku sempat bertanya kepada
salah satu petugas dimana lokasi toilet. Petugas tersebut
meunjukkan arah toilet dengan jari jempolnya. Khas seperti
orang-orang di Jawa. Pemandangan lain yang kutemukan, orang-
orang bersamalaman saat bertemu dan berpisah, kemudian yang
muda mencium tangan yang lebih tua. Bukankah ini juga
merupakan budaya di Indonesia?
Saat melihat becak warna-warni ketika turun dari bis,
aku membayangkan suasana di Pakuwon. Lalu saat kami makan
malam, di sebuah rumah makan asam pedas, aku juga teringat
kampung halaman. Ada kecipir, ada seafood yang sama saja
dengan yang ada di Indonesia. Bahkan salah seorang peserta
dari Pontianak bilang, kalau masakan asam pedas di Malaka kalah
jauh rasanya dibanding asam pedas di Pontianak.
Kami makan bersama. Sebelumnya tour leader meminta
para peserta lelaki duduk bersama peserta lelaki, begitu juga
dengan para peserta perempuan. Yang suami istri, ya harus pisah

122 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


sebentar. Hehe. Tapi tetap boleh saling berbagi makanan.
Suasana di tempat makan malam itu benar-benar bersahabat.
Apalagi kalau sudah ibu-ibu jumpa dengan ibu-ibu, banyak sekali
yang diceritakan.
Seusai makan, apalagi aktivitasnya kalau bukan jalan-
jalan. Tapi aku ingin skip sebentar tentang jalan-jalan. Lagipula
barangkali para peserta lain sudah banyak yang mencatatkannya.
Kesempatan ini aku ingin menyampaikan tentang sebuah kesan,
saat mengunjungi sebuah tempat bernama ‘luar negeri’.
Siapapun sebenarnya sudah tahu bahwa orang-orang
yang bermukim di Indonesia dan Malaysia sebenarnya berasal
dari satu rumpun. Bahkan tidak hanya Malaysia, tetapi
menjangkau daerah yang lebih luas sampai ke Thailand – Laos –
Kamboja juga Filipina. Karena alasan politik, orang-orang ini pun
kemudian terpisah atas nama negara. Ada batas yang
memisahkan. Ada paspor yang harus dicap di imigrasi masing-
masing negara.
Balik lagi ke soal orang-orang di Malaysia. Sejak awal
mendarat, tak henti aku memperhatikan suasana sekeliling. Dari
bandara – sekitar hotel – rumah makan – bahkan saat berjalan

140 | Pay Jarot Sujarwo dkk Bekas Jejak | 123


kaki mengelilingi kota Malaka. Ya, mereka sama dengan kita.
Melayu.
Mereka ramah. Mereka sopan. Mereka punya akhlak
yang baik. Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Akhlak seorang Melayu, akhlak seorang muslim. Beberapa kali
aku menjumpai kejadian yang membuatku menyimpulkan
demikian. Misalnya saat tidak sengaja bertubrukan di jalan yang
ramai, permintaan maaf yang disampaikan bukan basa-basi. Tapi
aku bisa merasakan ketulusannya. Begitu juga pelayan di
restoran yang begitu ramah. Oke, mungkin bisa saja kita
mengatakan bahwa itu sudah menjadi SOP seorang yang bekerja
di restoran. Tapi aku merasakan kehangatan yang berbeda.
Orang-orang ini adalah orang-orang yang sopan. Kesopanan yang
banyak juga kita jumpai di negara sendiri.
Ya, pada dasarnya kita ini sama. Tapi kenapa hari ini,
dengan mengatasnamakan negara bangsa, kerap kita jumpai
statemen atau perilaku yang saling meremehkan satu sama lain.
Ada sebagian orang Indonesia yang begitu membenci orang
Malaysia. Begitu juga sebaliknya. Sebagian orang Malaysia tak
terlalu suka dengan orang Malaysia. Apakah ini disebabkan
karena pemisahan negara bangsa itu? Aku tak tahu. Yang aku
tahu adalah kita berasal dari rumpun yang sama. Bahkan memiliki
akidah yang sama. Sudah sepantasnya kita menjadi saudara.
Perjalanan ke Malaka memang singkat. Tapi
meninggalkan cerita yang tentu saja menjadi pelajaran berharga
bagi kita semua. Terima kasih kepada tour leader. Terima kasih
kepada teman-teman dari Surabaya. Terima kasih kepada
seluruh peserta. Semoga kelak kita bisa ngetrip bersama
kembali.

124 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Wahyudin Ciptadi
ahyudin
(Pontianak)

Bekas Jejak | 125


Mempelajari Arsitektur
Masjid Kling, Malaka

Di dunia yang bergerak cepat,


Kita tak lebih dari musafir yang menumpang lewat,
Di antara manusia yang bergegas, entah menuju ke mana.
Tempat tak lebih dari titik koordinat,
yang tergelar di seantero muka bumi,
Ada sejarah yang ditinggalkan,
Ada makna yang menghinggapi,
Ada masyarakat yang meneruskan.
Di situ kita singgah sesaat,

126 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


sambil menghayati waktu yang telah terlewat.
Ajari kami untuk hidup dan berbangsa,
Mengenal satu sama lain
di tengah dunia yang hiruk pikuk tapi senyap ini,
menjalin makna kekeluargaan
di tengah centang perenangnya dunia

Islamic Trip. Ini tema perjalanan yang saya ikuti. Ini


pengalaman kedua setelah sebelumnya saya juga pernah
mengikuti agenda serupa pada tahun 2017 lalu. Rute yang
ditempuh waktu itu adalah Malaysia – Vietnam – Kamboja. Kali
ini Rute dan waktu lebih singkat yakni Kuala Lumpur – Malaka
selama dua malam tiga hari. Saya belum pernah menginjakkan
kaki di Malaka, tapi sejarah tentangnya pernah saya baca. Untuk
itulah perjalanan kali ini akan sangat menarik.
Malaka, sejak didirikan pertama kali banyak sekali
mendapat pengaruh dari para pedagang Arab, India, Indonesia,
dan Cina sekitar abad ke 15. Ini merupakan kota pelabuhan yang
strategis sehingga banyak sekali pedagang yang singgah ke
tempat ini. Demikian kira-kira menurut literatur yang saya baca
kala itu.
Islam tak hanya berkembang di Malaka, tapi juga
menyebar ke daerah Trengganu, Pahang, Johor. Peninggalan
berupa artefak arsitektur Islam berupa masjid Tua yang berdiri
di daerah pemukiman, akan mudah ditemukan. Salah satunya
pemukiman orang India peranakan yang bernama Arsaily atau
Kling atau Chetti yang datang pada zaman kesultanan Melayu
Malaka.
Mereka berasal dari pedagang-pedagang Gujarat dari
Pantai Koromondel India yang telah menikah dengan penduduk
setempat dan menetap. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai
saudagar, tukang emas, dan petani.
Sholat subuh di Masjid Kling merupakan bagian dari
itenerary Islamic Trip Kali ini. Jaraknya bisa dibilang tidak dekat
dengan hotel. Hampir satu kilometer kami berjalan kaki hingga
akhirnya bertemu dengan masjid tua ini.
Masjid ini dibangun dengan menggunakan material kayu.

Bekas Jejak | 127


Bangunan abad ke-18 ini masih bertahan sampai hari ini dan
menjadi daerah wajib bagi muslimin yang datang ke Malaka.
Pada tahun 1782 M, masjid Kling ini mengalami renovasi dari
bahan kayu digantikan dengan menggunakan bahan batu bata.
Masjid ini juga dikenali sebagai masjid Kampung Pali atau Balik
Pali atau Kampung Kapur.
Menurut Google map keberadaan Masjid Kling ini
terletak di persimpangan Jalan Tukang Emas dan Jalan Lekiu yang
bersebelahan dengan jalan menuju Kuil Sri Payyatha Vinayagar
Morthi. Masjid ini juga berdekatan dengan Tokong Cheng Hoon
menjadikan masjid ini sangat popular di kalangan wisatawan

128 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


dari luar.
Udara pagi yang sejuk tidak menyurutkan langkah
menuju masjid. Melewati puluhan bangunan lama dan gang yang
terpola teratur menghiasi perjalanan saya menuju panggilan ilahi
yang sayup-sayup berkumandang. Kami me percepat langkah
mencari asal suara. Alhamdulillah, tak lama kemudian kami
sampai di Masjid tua ini.
MasyaAllah. Ini masjid yang unik. Ukurannya tak terlalu
besar. Di sisi kiri ada tempat wudhu. Ini menyerupai sebuah
kolam yang airnya terus mengalir. Jamaah menggunakan gayung,
bukan keran. Belum pernah kutemukan tempat wudhu seperti
ini di Masjid-masjid di Indonesia yang sudah berbentuk modern.
Suara Iqomah terdengar. Ramai lelaki muslim
berdatangan. Paras mereka beraneka rupa. Ada wajah Melayu,
Wajah India, Wajah Arab, bahkan ada yang berwajah China. Saya
menempati shaf kedua.
“Allahu Akbar,” Suara Imam memimpin, makmum
mengikuti.
Seusai sholat, Imam sepertinya mengetahui bahwa kami
bukan jamaah yang biasanya datang. Kami bersalaman. Imam
bertanya dengan ramah tentang asal kami. Indonesia, tapi dari
berbagai daerah. Begitu Mas Pay, pimpinan rombongan kami
menjawab. Ada yang dari kota Pontianak, kota Banjarbaru, Kota
Surabaya, Kota Bogor, Kota Jakarta dan yang paling jauh dari Pulau
Sulawesi Tengah yaitu Kota Kendari sambil menunjuk Ustads
Mahyudin.
Setelah bercakap sebentar dengan Imam dan beberapa
jamaah, Mas Pay meminta izin untuk tetap tinggal di Masjid
beberapa saat, sebab kami akan adakan kajian singkat. Imam
mempersilakan kami menggunakan serambi Masjid.
Di serambi kajian keislaman diselenggarakan. Ustadz
Mahyudin, salah satu peserta dari Sulawesi yang mengisi.
Sungguh, kajian yang menggugah kesadaran. Kami merasa begitu
akrab bahkan seperti saudara. Seperti itulah muslim
sesungguhnya. Ibarat satu tubuh.
Selesai Tausyiah, kami masih merasa betah berada di
Masjid ini. Beberapa teman, termasuk saya tidak ingin menyia-
nyiakan waktu untuk mengabadikan gambar. Kapan lagi? Terus

Bekas Jejak | 129


terang saya yang pertama kali melihat Masjid ini merasa kagum
akan keunikan serta keindahan bangunan ibadah umat Islam ini.
Begitu padu dalam komposisi bentuknya, terlihat cantik pada
detil bangunannya. Terpikir oleh saya bahwa tampilan bagian-
bagian bangunan Mesjid Kling ini diduga mendapat pengaruh
dari beberapa tempat yang ada disekitar kota Malaka. Fungsi
bangunannya sebagai tempat ibadah umat Islam masih tetap
dipertahankan dan menjadi bukti artefak dari perkembangan
sejarah Islam di kota Malaka kala itu.
Sebelum memasuki halaman Mesjid Kling, jamaah harus
melewati sebuah pintu gerbang yang berbentuk segi empat dan
mempunyai dua daun pintu. Terdapat ukiran pada pintu gerbang
dapat diduga dipengaruhi dari Cina yang memiliki ornament
bermotif bunga. Di sisi atas gerbang terdapat plang dari bahan
kayu berisi catatan penting yang ditulis dengan menggunakan
tulisan Jawi berhubungan dengan sejarah pendirian masjid ini.
Catatan yang terdapat pada pintu tersebut memiliki arti bahwa
masjid Kling ini dibangun di hari Ahad, 23 Rajab 1288 Hijrah.
Saya memperhatikan Masjid Kling ini memiliki denah
bangunan yang berbentuk persegi empat dengan disokong
empat batang tiang seri utama yang dibuat dari bahan kayu Belian
(besi) berada di tengah ruang sholat utama. Memiliki bentuk
atap menyerupai bentuk pyramid atau Meru (gunung) bertingkat
dan diperkirakan dipengaruhi dari agama Hindu dari Indonesia
atau dari India.
Atap masjid Kling terbagi menjadi tiga bagian yaitu atap
di bagian serambi, atap di bagian tengah dan di bagian utama.
Menurut pengurus masjid Kling bagian penutup atap di bagian
tengah dan di bagian utama sudah pernah diganti bahannya yaitu
dari bahan kayu menjadi bahan genting. Ujung atas atap atau
ujung dari bawah dari atap terdapat ornament yang dipengaruhi
dari Cina. Di samping kanan terdapat sebuah menara terletak
tiga meter daripada bangunan masjid yang terletak pada sudut
tembok pagar pembatas yang berwarna putih. Menara ini
berbentuk persegi empat dan mempunyai anak tangga yang
mengelilingi secara vertical ke arah puncak Menara yang
bermahkota.
Tempat wudhu terbuat dari bahan material marmer dan

130 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


terdapat sculpture air mancur di tengah kolam dengan dikelilingi
empat tiang yang diukir dengan ukiran bermotif bunga. Di bagian
tiang lampu, area tempat wudhunya yang berbentuk persegi
mendapat pengaruh dari Arab, pola ubin yang terpasang di lantai
masjid terlihat seperti pola ubin yang berasal dari Portugis dan
Inggris.
Ruang Serambi ini juga terletak diantara tiga tangga
utama yaitu tangga di bagian utama pintu, pintu kanan dan pintu
kiri masjid. Untuk Lantai ruang serambi menggunakan bahan
material batu marmer. Untuk bukaan Mesjid Kling meliputi
bukaan pintu utama yang terdiri dari tiga buah daun pintu yang
berbahan material kayu keras dan di permukaan pintu memiliki
ragam hias berupa ukiran bunga dan daun.
Sedangkan bukaan Mesjid Kling lainnya yaitu terdapat
enam area jendela yang masing-masing area mempunyai dua
daun jendela. Posisi area perletakkan daun jendela ini terletak
di kanan dan kiri ruang sholat utama. Dua daun jendela yang
berhadapan dengan mihrab mempunyai berbentuk berlian.
Mihrab berbentuk melengkung. Dinding mihrab dihiasi
dengan ukiran batu marmer. Tiang dan pelengkung pada dinding

Bekas Jejak | 131


utama ruang solat berunsur ragam hias berorder Corinthian. Di
depan mihrab terdapat Mimbar yang terlihat indah. Ukiran
mimbar berornamen motif mahkota atau seperti putik bunga

teratai. Motif pucuk rebung menghiasi di bagian cucur atap


mimbar. Pada bagian tiangnya diukir dengan motif tumbuhan
menjalar. Pada tampak sisinya, di bagian tengahnya di hiasi oleh

132 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


motif geometri dan motif flora di tengah-tengahnya. Mimbar
ini juga mempunyai motif awan. Selain itu di bagian tapaknya
terdapat motif Jawa-Hindu.
Rasanya sangat sebentar menikmati arsitektur masjid
yang indah ini. Tapi bagaimanapun juga kami harus kembali ke
hotel. Masih ada agenda lain. Kami akan menjelajahi kota
Malaka. Yang pasti, pengalaman sholat subuh di Masjid Kling
adalah sesuatu yang tak dilupa. Izinkan saya mengabadikan
kekaguman terhadap Masjid Kling Malaka dalam tulisan ini.
Semoga saja dari tulisan sederhana ini bisa mengajak kaum
muslimin yang datang ke Malaka untuk bisa mengunjungi dan
beribadah di dalamnya.
Dari Masjid Kling ini saya bisa berguru tentang jati diri
yang inklusif, tak singkirkan yang berbeda; tapi berupaya
mengintegrasikannya. Dalam zaman berubah dan relasi sosial
berkembang, strategi ini perlu dipelajari.
Terima kasih saya bisa berada dalam rombonan Islamic
Trip ini. Semoga lain waktu kita bisa kembali menjelajahi tempat-
tempat yang penuh makna.

Bekas Jejak | 133


Yopie Indra Pribadi
Indra
(Pontianak)

134 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Jonker dan Jebat Antara Simbiosis
Kultural dan Literasi Epik

Kota Malaka kental dengan nuansa sejarah. Portugis,


Belanda dan Inggris bergantian menduduki Kota pelabuhan
tersebut. Jika Portugis menguasai selama 130 tahun sejak 1511-
1641, Belanda selama 145 tahun sejak 1641-1786, maka sisanya
adalah Inggris sejak tahun 1786-1957. Dan dari sejarah kita telah
tahu setelahnya bahwa Pemerintah Inggris melakukan
perundingan dengan tokoh-tokoh Melayu agar bangsa tersebut
dapat merdeka. Tunku Abdul Rahman, pimpinan Utusan
Persekutuan Tanah Melayu berunding dengan Pemerintah Inggris
yang diwakili oleh Sir Alan Lenox Boyd, Menteri Urusan Jajahan
Inggris. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa
pada 31 Agustus 1957 Persekutuan Tanah Melayu akan merdeka.
Malaka yang merupakan bagian dari Semenanjung Melayu selain
dari Selangor, Negeri Sembilan, Johor, Pahang, Perak, Kedah,
Perlis, Trengganu, Kelantan, dan Pulau Pinang mendapat
kemerdekaannya dari Inggris.
Malam itu setelah rehat sejenak di kamar hotel The
Explorer, makan malam di Asam Pedas Junior, kami ke Jonker
Walk, the center street of china town. Mencapai Jonker Walk dari
Asam Pedas Junior, tinggal berjalan kaki saja melewati wisata
sejarah Malaka seperti Benteng A Famosa, Gereja St. Paul, UMNO
Museum, Muzium Islam Malaka, Stadthuys atau Bangunan
Merah, kemudian menyeberang jembatan Tan Kim Seng.
Patokannya jika sudah bertemu dengan Hard Rock Café, terus
berjalan sedikit dan akan bertemu San Shu Gong yang berada
tepat di dekat tulisan pintu kedatangan Jonker Walk. Untung
bagi kami pada malam itu dapat menyaksikan keramaian Pasar
Malam, Jonker Walk Night Market. Karena Pasar Malam ini ramai
pada akhir pekan (Jumat, Sabtu, Minggu) oleh para pedagang
yang menjajakan berbagai purwarupa pernik ataupun kuliner.
Suasana akrab begitu terasa ketika berjalan di Jonker

Bekas Jejak | 135


Walk. Jalannya, keramaiannya. Banyak orang yang tumpah di situ.
Entah dari orang Malaysia sendiri yang multi etnis terutama
China, orang bule alias orang barat, dan kulihat juga wajah
Indonesia. Menurutku seperti Jalan Malioboro Jogja. Bedanya
lebih sempit. Menurut sejarahnya, jalan ini pernah dihuni oleh
kelompok masyarakat yang lebih makmur. Rumah yang berjejer
di kedua sisi jalan yang ramai dan terkenal dengan toko-toko
antiknya, tekstil, makanan, dan kerajinan tangan. Salah satu
outlet barang antik tertua di jalan ini adalah milik Keluarga Kuthy,
yang merupakan salah satu keluarga India terkemuka di Malaka.
Jumat malam itu sangat ramai. Jam sudah menunjukkan
pukul 22.54 waktu Malaysia. Momen yang kuperhatikan selain
banyaknya orang yang bertransaksi jual beli purwarupa pernik
dan kuliner, juga ada semacam panggung tempat berkumpulnya
orang Chinese bernyanyi, Sepertinya mereka melakukan itu
untuk kumpul-kumpul dan melepas kepenatan. Di bagian lain,
ada juga seorang bapak tua Chinese yang mencari rejeki
menyanyi di samping motor yang ia letakkan di samping dirinya.
Sambil memegang microphone di tangannya, dan speaker yang
tersambung ke listrik, ia menyanyi lagu Chinese. Kaleng kue
kosong yang ia letakkan di depan dirinya menyanyi ia sediakan
untuk tempat kemurahan hati orang-orang yang berbelanja di
Jonker Walk.
Ah apa itu, gumamku. Aku baca tulisan Restoran
Peranakan Place yang menjual asam laksa, nasi pandan, baba
cendol, sago gula Malaka. Sedikit tersenyum aku membacanya.
Awalnya aku sedikit bingung apa yang dimaksud dengan
Peranakan, sebab kalau bahasa Melayu Pontianak, Peranakan
itu artinya adalah rahim perempuan. Ternyata di beberapa
literatur, Peranakan adalah kelompok etnis yang berasal dari
pemukim Cina dari provinsi selatan yang datang ke kepulauan
Melayu. Singkatnya, budaya Peranakan adalah campuran dari
budaya Cina dan Melayu. Sepertinya budaya Peranakan telah
berkembang pesat menjadi daya tarik wisata bagi para
wisatawan.
Aku sedikit cerita tentang akan proses ini dari sudut
pandang demografi yang sedikit kupahami. Peningkatan arus
wisatawan yang termasuk dalam pergerakan penduduk dalam

136 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


suatu wilayah dapat memberikan pengaruh positif dan negatif,
dan itu jelas. Entah itu secara politik, ekonomi, sosial, dan
kebudayaan. Dalam hal positif, meningkatnya arus wisatawan
pasti menyediakan lapangan kerja khususnya industri pariwisata,
dapat meningkatkan volume dari investasi asing, promosi
pelestarian dan promosi warisan alam dan budaya, dan
merangsang kreatifitas dan menyebabkan mobilitas penduduk.
Jonker Walk Night Market adalah destinasi tempat wisata belanja
dan kuliner paling mantap di Malaka. Antara wisatawan dan
tempat tersebut muncul simbiosis mutualisme antar kultur yang
saling menguntungkan.
Sedang konsekuensi negatif seperti pertumbuhan arus
wisatawan dalam beberapa kasus mengarah ke kerusakan
lingkungan maupun konflik sosial. Mudah-mudahan tempat ini
tidak menjadi rusak atau menimbulkan konflik sosial. Aku tidak
sedang bicara politik praktis. Tetapi yang kulihat secara kasat
mata, hal ini sejalan dengan slogan Malaysia – Truly Asia yang
menggambarkan bahwa di Malaysia adalah tempatnya budaya
Asia bertemu. Walaupun mungkin harus kuteliti lagi kembali
tentang bagaimana lapisan sosial di sana terbentuk. Yang jelas
Kota Malaka telah menyaksikan lekuk-lekuk sejarah penjajahan
kolonial kekuatan Eropa, dan mewujudnya jalinan budaya Islam,

Bekas Jejak | 137


Hindu, Budha dan Cina, yang warisannya terjalin sedemikian
rupa hingga kini.
Jonker Walk atau Jonker Street dikenal juga dengan
nama Jalan Hang Jebat. Ada pula sebutan lainnya yaitu Young
Noblemen’s Street. Dalam ingatanku, aku pernah mendengar
nama-nama orang yang menyejarah dan berawalan Hang, seperti
Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Nadim. Hang Jebat ini
merupakan salah seorang dari sahabat legenda Melayu, Hang
Tuah. Quote Hang Jebat yang sangat terkenal itu adalah “Raja
Adil Raja disembah, Raja zalim raja disanggah”. “A fair king is a
king saluted, a tyrant king is a king disputed.” Silakan dimaknai
dengan konteks kekinian quote Hang Jebat itu.
Sedikit cerita tentang epik Hang Jebat. Bahwa dikisahkan
Hang Jebat meninggal dunia di tangan Hang Tuah (sahabat
karibnya sendiri) dalam sebuah pertempuran sengit.
Pertempuran itu terjadi sebagai akibat adanya intrik hebat di
istana Malaka. Hang Tuah difitnah dan dituduh telah berzina,
dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Malaka. Datuk Bendahara,
orang yang dipercaya oleh Sultan untuk mengeksekusi Hang
Tuah, justru menyembunyikannya di suatu tempat.
Hang Jebat tidak tahu bahwa Hang Tuah disembunyikan,
seketika murka ketika mendengar Hang Tuah dihukum mati. Lalu
ia memberontak ke kerajaan dan Datuk Bendahara memanggil
kembali Hang Tuah dan untuk dibebaskan, serta diminta
menumpas pemberontakan Hang Jebat. Siapa yang menjadi
pahlawan dari cerita tersebut sampai sekarang saja masih
beragam. Apakah Hang Tuah yang mengharumkan nama kerajaan
atas dasar mengamankan kesultanan atau Hang Jebat yang
bertindak untuk membela kebenaran karena adanya
ketidakadilan. Yang pasti penyebab itu terjadi karena intrik
politik yang menyilang dan menyengkarut di istana dan
memusarakan persahabatan karib keduanya. Sungguh tragis.
Hang Jebat dan Hang Tuah versi zaman sekarang tetap
akan bisa hidup. Meniti Jonker Walk alias Jalan Hang Jebat
mengingatkan kepada kita untuk sadar bahwa banyak hal yang
bisa digali dari perkembangan sejarahnya dan tetap sadar bahwa
setiap perkembangan itu tetap ada sudut pandang positif dan
negatifnya. Ada literasi tentang epik di sana. Semoga muatan

138 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


sejarah yang sekarang telah elok ini tidak tenggelam di masa
depan oleh intrik politik yang ada.
Malam semakin larut. “Mi, balek yok”. Aku mengajak
istriku untuk pulang ke hotel, setelah puas ber-wifie ria di Jonker.
Mungkin yang lain sudah pulang kembali ke hotel. Besok sejak
subuh sampai dengan malamnya masih banyak agenda yang
dilakukan. Nah, daripada pulang jalan kaki dari Jonker Walk, kami
lebih memilih tumpangan becak hias seperti layaknya di Yogya.
Untung kami masih mendapatkan seorang pak cik yang masih
berkeliling mencari tumpangan. Sedikit berjalan ke arah luar
Jonker Walk, dan mengarah ke depan Surau Warisan.
Berapa pak cik, ke Hotel Explorer? 15 Ringgit, katanya,
Tak bise kurang ke pak cik? Pak cik cuma tersenyum. Iye, 15
Ringgit. Okelah pak cik, antar kami ke Hotel ya. Dari depan Surau
Warisan, pak cik mengantar kami kembali ke hotel sambil
mendengar ceritenye kalau barang-barang Indonesia yang dia
gunakan untuk becaknya, baik-baik. Baguslah, barang Indonesia
diakui di negeri jiran dan tidak jelek-jelek juga. Dan lebih sukanya
aku, salah satu pengendara sepeda hias temannya pak cik yang
berpapasan dengan kami pada saat kembali ke hotel, di becak
hiasnya terdengar lagu tik tok Indonesia yang paling terkenal
saat ini. “Entah apa yang merasukimu hingga kau tega
mengkhianatiku yang tulus mencintaimu”.
Aku belajar malam ini, tak hanya tentang keriuhan
budaya di Jonker Walk. Tetapi juga raut Indonesia di jiran. Ruarr
biase.

Sungai Malaka: Kreativitas Nirbatas


Air adalah sumber kehidupan. Daerah perkotaan yang
berkembang, arus modernisasi yang terjadi, pasti berpengaruh
terhadap sumber air. Filosofinya, jika tekanan manusia melebihi
kapasitas lingkungan, maka kemampuan pulih lingkungan tidak
lagi selaras dan merusak sistem lingkungan yang ada. Jika
lingkungan fisik yaitu kualitas air pada suatu wilayah rusak,
penanggung jawab utama adalah pemerintah di daerah dimana
sumber air tersebut berada.

Bekas Jejak | 139


Sungai Malaka adalah saksi sejarah perkembangan Kota.
Sungai yang mengalir sepanjang 40 kilo meter ini melintasi kota
dari hulunya di Kampung Gedek ke hilirnya di Selat Malaka. Pantai
Selat Malaka dulunya adalah pelabuhan yang menghubungkan
jalur pelayaran utama dunia. Kapal dari berbagai negeri, seperti
Arab, Eropa, China banyak singgah di Malaka.
Apa yang kusaksikan pada saat melihat Sungai Malaka
adalah sungai yang tertata apik. Padahal jika melihat ke belakang,
kualitas air di sungai ini sempat mengalami pencemaran yang
luar biasa. Menurut sejarahnya, beberapa dekade yang lalu
sungai itu merupakan jalur air yang bau, rumah-rumah lapuk
yang berjajar di atas panggung dan sisi belakang ruko-ruko yang
berantakan.
Pemerintah pun melakukan revitalisasi terhadap sungai
ini. Ada kreativitas di sana. Kreativitas untuk membongkar
sesuatu yang tidak baik menjadi baik. Mereka mampu
membuktikan dan membangun lokasi wisata perairan yang rapi.
Baik ditinjau dari kekuatan infrastrukturnya, estetika bangunan
yang ada di tepinya, pengerukan sungai yang membuatnya
tampil apik, penataan jalan setapak di tepi sungai, dan yang
penting pengolahan paket wisata kapalnya.
Sabtu siang, aku, istriku dan rombongan trip lainnya

140 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


bersepakat untuk menyeberangi Sungai Malaka dengan kapal
boat Malaka River Cruise (MRC). Tapi sebelum kami naik, seperti
biasa aku dan istriku mengambil foto masing-masing. Tentu
dengan latar belakang sungai. Boat-boat yang kosong sudah
banyak menunggu penumpang. Buat rombongan kami, posisi
boat yang akan dinaiki, letaknya hampir di tengah. Jadi kami
harus menaiki boat lain sebelum ke boat tersebut. And it’s show
time. Bismillah. Hampir jam setengah 11 siang. Si pengemudi
telah menghidupkan mesin boat.
Masing-masing mencari tempat duduk yang berwarna
biru itu. Aku dan istri, mencari duduk di posisi kanan. Awalnya
terpisah. Karena ingin menikmati sendiri-sendiri dulu. Aku cari
posisi dekat si pengemudi yang berada di bagian belakang boat.
Sejak saat itu masing-masing kami dalam rombongan sudah
seperti menonton film di bioskop. Gambar demi gambar
berganti. Bangunan Casa del Rio Malaka, Museum Belia Malaysia,

Malacca Coklat House, dan ada bangunan yang penuh corak motif
warna warni, mural pada dindingnya. Kata si pengemudi boat,
bangunan itu adalah hotel atau hostel. Pintu-pintunya dibuat
menghadap ke sungai. Mungkin kalau di Indonesia corak

Bekas Jejak | 141


bangunan penuh warna warni itu seperti di Kampung Pelangi di
Semarang, atau juga banyak contoh lainlah. Kalau di belahan
dunia lain, bangunan warna warni seperti Kota atau desa pelangi
itu ada di Cinque Terre di Italia, Havana di Kuba, Bo-Kaap,
Capetown di Afrika Selatan, Willemstad, Curacao di Karibia dan
Newfoundland, di Kanada.
Boat terus berjalan. Melewati jembatan pasar, jembatan
Hang Tuah, jembatan Old Bus Station, dan bangunan-bangunan
lain yang tersusun rapi dengan gaya arsitekturnya. Lalu beberapa
saat kemudian, lewat Kampung Morten. Menurut keterangan
Pay, di Kampung Morten ini, banyak tinggal kaum muslim.
Mestinya kalau ada waktu senggang, ingin juga singgah ke
Kampung Morten ini. Tetapi tak sempatlah kayaknya. Di lain
waktu, mungkin bisa dan setelah beberapa waktu, boat berbalik

arah untuk kembali ke tempat berangkatnya tadi. Tentu dengan


rute yang sama. Kesempatan yang ada terus kami lakukan untuk
mengambil foto dan menikmati pemandangan sekitar.
Sekitar empat puluh menitan perjalanan melintas Sungai
Malaka kami lakukan. Selesai sudah berlayar menikmati Malaka

142 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


dari sungai yang berair hijau. Seni mural bunga tropis dan
Malaysia dalam ragam kostum etnis serta bauran estetik
bangunan masih terekam dalam ingatan. Akhirnya boat
melambat dan berhenti. Cuaca panas dan rasa haus mulai terasa.
Rombongan trip segera turun dari boat. Kini saatnya beralih ke
perjalanan selanjutnya. Tentu setelah melegakan tenggorokan
yang mulai kering. Haaauuusssssss…
Sungai Malaka, sejarah yang tak hanya bicara politis tetapi
juga membuka ruang kreativitas baru.

Sensasi bukit st. Paul dan suasananya itu...


Setelah menjelajahi Sungai Malaka, dan beberapa saat
rehat sebentar untuk istirahat dan minum, sasaran berikutnya
adalah melihat sejarah di Jalan Kota. Tujuannya adalah Bukit St.
Paul, Jalan Bandar Hilir. Nah, naik ke Bukit St. Paul maka kita juga
dapat melihat Gereja St. Paul di atas sana.
Bukit St. Paul dikenal sebagai Bukit Malaka selama era
Kesultanan Melayu dan Portugis menyebut daerah itu Oiteiro
atau Hill. Mereka membangun benteng di sekitar bukit ini, yang
selesai pada 1548 dan tinggal di dalam tembok. Di atasnya,
mereka juga membangun gereja Katolik. Namun oleh Belanda,
yang kemudian mengambil alih gereja, mengubahnya menjadi
Gereja Protestan.
Bukit itu tinggi dan perlu tenaga untuk mendakinya.
Cuaca yang panas karena siang hari, mengharuskan energi yang
tersimpan dikeluarkan secara seksama namun jangan sesingkat-
singkatnya. Anak tangga menuju ke atas bukit memang banyak.
Kulihat istriku mulai terengah. Sementara yang lain sepertinya
punya tenaga ekstra dan tiba-tiba sudah sampai di atas bukit.
Bayangkan jam pada saat itu menunjukkan 11.50. Tuiwwww…
Langit Malaka sedang membara.
Nah, terkadang ketika kita perlu mengambil nafas juga.
Atas bukit belum digapai, sedikit lagi. Sementara Ami minta
diambil gambarnya dengan latar Gereja St. Paul di atas bukit.
Justru pada momen ambil nafas ini, aku lihat ada seorang
perempuan yang sibuk sekali mengatur dua orang lelaki dan

Bekas Jejak | 143


perempuan yang memakai kostum pengantin. Aku ambil
kesempatan itu mengambil gambar mereka. Sepertinya mereka
sedang Pre Wedding atau sudah Wedding. Tidak sempat kutanya.
Keduanya berparas Peranakan. Yang pria bersetelan baju hitam
dan yang perempuannya bergaun putih. Si perempuan pengatur
gaya ini justru berpenampilan nyentrik. Rambut oren, celana
merah, tas berat yang terpanggul di punggung. Aku belum
berpikir akan menjumpai mereka kembali pada saat di atas bukit
nanti. Ternyata, tujuan mereka sama. Yaitu naik ke atas bukit.
Akhirnya sampailah ke atas bukit. Cakrawala semakin
meluas dalam memandang Malaka dari atas sana. Ini dia. Gereja
St. Paul yang telah mengalami keruntuhan. Gereja Katolik ini
adalah yang tertua di Asia Tenggara. Di halaman gereja, terdapat
patung St Francis Xavier, seorang misionaris yang pernah singgah
hingga ke Malaka. Di tulisan yang ada di halaman gereja, berisi
informasi menjelaskan bahwa pada asalnya gereja itu hanyalah
sebuah kapel yang dibangun pada tahun 1521 oleh kapten
Portugis bernama Duarte Coelho sebagai tanda syukur karena
terselamatkan dari serangan sewaktu berada di Laut China. Kapel
ini didedikasi kepada Virgin Mary dan diberi nama “Nossa
Senhorado Monte’ atau Our Lady of The Hill. Gereja ini juga
menjadi tanah perkuburan bagi pembesar-pembesar Portugis
dan Belanda. Batu-batu peringatan yang tersandar di dindingnya
diambil dari lantai gereja.
FYI, sekarang bangunan ini tak lagi berfungsi sebagai
gereja. Ini hanya reruntuhan bangunan yang sudah berubah
fungsi menjadi tempat wisata. Jika ini masih gereja aktif, tak
mungkin Pay membawa kami ke sini.
Tak terasa Malaka semakin masuk tengah hari. Sudah
12.10. Beberapa dari kami sudah memutuskan untuk turun dari
Bukit. Dengan tenaga tersisa aku dan istri menuruni anak tangga.
Alhamdulillah sampai juga ke bawah. Oh rupanya di bawah itu
ada bangunan lain yang mesti dilihat. Belum jelas bangunan apa.
Aku rasa, aku sudah hapal betul apa yang harus dilakukan ketika
melihat objek. Baru saja terpikir, eh sudah terdengar suara.
“Yooook foto lagi yokk”, kata Ami.
Itulah titik ketika aku melihat tulisan itu. A Famosa.

144 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


A Famosa: Narasi Geografis dan Filosofi
Benteng Pertahanan
Nenek moyangku orang pelaut. gemar mengarung luas
samudra. menerjang ombak tiada takut. menempuh badai
sudah biasa. Familiar dengan lagu itu kan?
Itulah gambaran kehidupan nenek moyang kita dulu di
nusantara. Kehidupan maritim yang menunjang kehidupan
kerajaan-kerajaan dan membuatnya berkembang pesat seperti
kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Mataram.
Jejak sejarah maritim khususnya di Asia Tenggara,
tampak pula di Malaka, yang kotanya dialiri oleh Sungai Malaka.
Malaka memiliki pelabuhan yang bisa dilayari dan dekat dengan
Pulau Sumatra. Malaka adalah tempat istirahat dan mengisi ulang
makanan atau air untuk para pelaut yang tak mengenal kata lelah
itu. Malaka menjadi pusat perdagangan yang makmur.
Mengapa lokasi sungai dan lembah lebih disukai untuk
membangun sebuah kota daripada membangunnya di puncak
bukit? Logika sederhananya begini. Jika sebuah kota dalam
sebuah kerajaan dibangun di lokasi dekat sungai, maka jika
daerah itu diserang oleh pihak luar yang rata-rata dari laut dan
penyerang sudah mulai kehabisan makanan dan akhirnya
kembali berlayar, kota itu dapat dibangun kembali. Walaupun
kota tersebut telah hancur dan penduduknya sudah melarikan
diri.
Sebagai sebuah kota sungai bergaya Melayu yang khas,
kerajaan Malaka punya tarikan magnet yang kuat bagi Portugis.
Awal abad 16, ketika aroma rempah di Asia tercium sampai
Portugis yang berada di Eropa, Selat Malaka adalah pintu
gerbangnya. Sebelumnya, Portugis membaca situasi rute antara
Cina dan Portugal dengan membangun pos-pos seperti di Macau,
Cina dan India. Sumber lain mengatakan Malaka berasal dari kata
Arab yaitu Malakat, yang berarti pasar. Orang-orang Arab
menggunakan Malaka berdagang dengan Cina untuk sutra dan
rempah-rempah.
Tahun 1511, Malaka berhasil diekspansi oleh Portugis.

Bekas Jejak | 145


Bagi Alfonso de Alboquerque, yang memimpin ekspansi itu
adalah bagaimana membuat strategi agar Portugis dapat
bertahan lama di Malaka. Ia paham geografis Malaka. Agar dapat
bertahan lama, setelah Malaka takluk, hal yang dibangun olehnya
adalah benteng pertahanan. Ibarat pelatih bola, ketika timnya
sudah unggul jumlah gol, dia mengganti strategi penyerangan
menjadi bertahan agar fokus untuk tak kebobolan. Ingatanku
melayang kepada Jose Mourinho, si tactician jenius dalam
memainkan strategi bertahan dalam permainan sepak bola. Mou
juga sebangsa dengan Alfonso. A Portuguese. Istilah parkir bus,
selalu dipakai Mou jika timnya sudah menang. Menumpuk
pemain di area penalti sendiri. Jangan-jangan Mou terinspirasi
dari Alfonso. Sorry ya Mou.
Nah, benteng pertahanan itu diberi nama A Famosa.
Malaka dibentuk menjadi kota pantai yang dikelilingi tembok.
Benteng dibangun dari lokasi kaki bukit St. Paul hingga ke sungai
bahkan tepi laut. Benteng A Famosa menjadi simbol kolonialis
tentara Portugis. Benteng dibuat dari batu yang dipecah dari
masjid dan makam keluarga kerajaan dan bangsawan. Sejarawan
menilai bahwa niat Portugis dalam menghancurkan masjid
adalah untuk melemahkan umat Islam dan memperlemah
pengaruh Islam di Malaka. Dalam catatan sejarah, dengan
menggunakan ribuan budak, A Famosa dibangun dari 1511-1512.
Waktu yang cukup singkat untuk pembangunan benteng yang
menutupi sebuah kota. Semboyan 3 G mewujud.
Cukup lama Portugis menyingkirkan kesultanan Melayu
dari Malaka. Hampir 130 tahun A Famosa berdiri dengan segala
ceritanya sebelum diduduki oleh Belanda, negara kolonial lain.
Belanda dapat mengalahkan Portugis karena didukung oleh
Melayu Johor. Pendekatan Belanda dengan penguasa lokal
adalah cara khas yang memang dimiliki oleh negara itu. Tujuan
Belanda yang terpenting adalah mendapatkan rempah-rempah
dan tanpa persaingan dengan bangsa Eropa lainnya. Portugis
takluk pada 1641 setelah dikepung selama lima bulan. Kali ini
Portugis tak mampu mempertahankan bentengnya. Belanda
menduduki benteng nan kokoh itu. A Famosa takluk. Setelah
direbut, simbol kolonialis Portugis itu diganti namanya menjadi
Porta de Santiago. Belanda sendiri kemudian membangun

146 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


benteng di Bukit St John yang dipersenjatai delapan meriam.
A Famosa yang berarti “terkenal” dalam bahasa Portugis
saat sekarang ini hanyalah tersisa sebagai bangunan kecil yang
ada di Jalan Parameswara. Tinggal sedikit saja yang tersisa seiring
berjalannya waktu dan perubahan zaman. Aku dan istriku
menyempatkan diri mengambil foto di keterangan yang tertulis
di situ. Sambil memperhatikan tulisan yang terdapat di dinding
benteng.
“The Only Remaining Part Of The Ancient Fortress of
Malacca Build by Alfonso D Alboquerque and By Him Named
Famosa 1511 Near This Stood The Bastion of Santiago“yang
kurang lebih punya arti seperti ini “Kepingan Tersisa dari Benteng

Bekas Jejak | 147


Kuno Malaka yang dibangun oleh Alfonso D Alboquerque dan
diberi nama Famosa pada 1511 yang berada dekat benteng
pertahanan Santiago”
A Famosa, benteng terkenal masa lalu yang telah layu.

148 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


J.K.
J.K. ini bukan singkatan dari Jusuf Kalla, atau Jalan Keluar,
salah satu acara yang pernah digawanginya pada sebuah stasiun
televisi. Tetapi J.K. yang dimaksud adalah Jalan Kembali. Orang
Pontianak bilang, balek kampong.
Alhamdulillah pesawat Air Asia yang hendak kami
tumpangi berangkat dan mendarat sesuai jadwal. Berangkat dari
KL jam 10 waktu Malaysia dan tiba di Pontianak jam 10.50 WIB.
Rindu bertemu anak-anakku membuncah. Ingin bertemu mereka
segera.
Kulihat pesan di Grup WhatsApp pada Minggu siang hari.

Posting Pay “Pontianak gimana kabar? Udah sampai?”


Pesan yang baru bisa kujawab magrib. 18.47.
“Alhamdulillah sudah mendarat. Walau masih belum sampai di
rumah. Masih di rumah mertua. Ambil anak-anak”.
Islamic Trip and Book Project KL-Malacca telah usai dan
tugas selanjutnya adalah mencurahkan ide dan pikiran ke dalam
tulisan. Bagi seorang striker bola, berapa banyak gol adalah
sesuatu yang penting. Tetapi bermain elok untuk kepentingan
tim ketika dibutuhkan dan bisa bermain pada posisi lebih dari

Bekas Jejak | 149


satu adalah sesuatu yang menjadi nilai tambah.
Aku bukan pemain bola, tetapi penikmat bola yang
mengapresiasi filsuf sekaligus inventor dan inovator taktik
sepakbola bernama Johan Cruyff. Taktik yang memanfaatkan
space lapangan untuk dieksplotasi, dijelajahi oleh para pemain.
Walaupun space itu kelihatan kecil, tapi dapat mengubah alur
jalannya pertandingan dan menentukan hasil akhir. Anggap saja
tulisanku ini adalah space kecil itu.
Buatku, perjalanan ini menuai nilai tambah. Banyak value
yang didapat. Menambah khasanah pengetahuan, memperluas
ukhuwah Islamiyah, menghabiskan we time berdua bersama istri,
dan selain itu belajar memperkaya gaya penulisan dalam
menulis. Siapa tau bisa buat buku dan menjadi penulis best seller.
Wassalam.

150 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Yus tisi
ustisi
(Pontianak)

Bekas Jejak | 151


Berguru di Tanah Seberang

N
ama saya Yustisi. Tapi Evi (Else Hilviana, teman
perjalanan) memanggil saya Bude. Karena itu,
teman-teman perjalanan yang jumlahnya 18
orang, juga memanggil saya Bude. Ke luar negeri
adalah pengalaman pertama saya. Makanya, ketika Evi
mengajak ikut trip ke Kuala Lumpur dan Malaka ini, saya
bersedia. Sebelum berangkat, sempat bertemu dengan bang
Pay. Beliau menjelaskan beberapa hal. Sebagian saya
mengerti, sebagian tidak terlalu mengerti. Tapi saya
percayakan kepada Evi. Maklum, dia jauh lebih muda dan
sering melanglang buana. Saya sih hanya ikut saja.
Kami berangkat sehari lebih awal dari yang sudah
dijadwalkan. Dari Kota Pontianak, Saya, Evi juga ada dua
orang Bapak, setelah berkenalan ternyata mereka tinggal
tidak terlalu jauh dari rumah saya. Namanya Pak Hermayani
dan Pak Wahyudin. Bang Pay ikut menyertai kami. Berlima
dari Bandara Supadio menuju Kuala Lumpur.
Tak terlalu pandai saya bercerita. Maklum sudah tua.
Kesempatan kali ini saya hanya ingin mengucapkan terima
kasih kepada Bang Pay yang telah membawa kami.
Orangnya ramah. Anak-anak muda zaman sekarang bilang,
easy going. Dia tidak memposisikan sebagai tour guide,
tapi lebih kepada teman perjalanan.
Karena sehari lebih awal, kami rombongan dari
Pontianak dapat bonus jalan-jalan di luar program paket
trip. Saya kagum dengan tata kelola ruang publik di Kuala
Lumpur. Mulai dari bandara, ini bukan sekadar bandara yang
megah. Tapi juga rapi dan tersistem dengan baik .

152 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Transportasi dalam kota juga mudah, meskipun lokasinya
agak jauh di pintu keluar, tapi informasi keberadaannya
mudah didapatkan. Jika pun tidak tahu, petugas bandara
yang berada di tiap pojok bandara siap membantu.
Tanyakan saja ke mereka. Tak bisa bahasa Inggris, bahasa
Melayu pun bolehlah.

Bekas Jejak | 153


Mungkin teman-teman yang lain sudah banyak cerita
tentang tempat wisata. Kesempatan kali ini saya ingin cerita
tentang betapa betahnya saya berada di Malaysia. Kota ini
bersih, nyaman, aman.
Keesokan harinya adalah hari dimana rombongan
berkumpul. Kata bang Pay, kami semua berjumlah 18 orang.
Tersebar dari berbagai daerah. Dalam grup WA, kita berjanji
untuk berjumpa di Bandara Kuala Lumpur Internasional
Airport 2. Satu per satu teman-teman baru dalam perjalanan
datang. Ada yang dari Jakarta, dari Bogor, dari Surabaya,
juga ada menyusul teman dari Pontianak, tak ketinggalan
dari Kendari, juga Kalimantan Selatan.
Setelah kami kumpul, Bang Pay memberi pengarahan
sebentar, sekaligus kami kenalan. Selanjutnya kami naik bis
menuju kota Malaka. Jalanan rapi, halus, mulus. Saat keluar
dari kota, kami melewati highway. Tak kelihatan kendaraan
yang serobot sana-sini. Sepertinya kecepatan maksimal
sudah diatur dan itu tidak terlalu kencang.
Sesekali jalan membelah belantara yang beralih fungsi
menjadi kebun sawit. Bahu jalan terlihat kokoh, parit saluran
air, sungai, betapa bagus tata kelolanya. Perjalanan kurang
lebih 2,5 jam tak terasa. Sampai di Terminal Malaka, kami
menjemput satu orang peserta. Beliau orang Indonesia yang
saat ini sedang kuliah di Malaysia. Karena hari sudah malam,
bus mengantarkan kami masuk ke kota Malaka, tak jauh dari
penginapan.
Penginapan yang dipilih Bang Pay cukup bagus. Saya
tidak tau berapa harganya, tapi ini penginapan yang keren.
Tepat berada di kota Malaka, tak jauh dari tempat makan.
Saya satu kamar dengan Evi. Sampai di kamar, kami
langsung mandi dan sholat. Kemudian kita semua berkumpul
di Lobby. Di hotel sudah ada peserta lain dari Bogor yang
langsung ke Malaka melewati Johor. Mereka habis jalan-
jalan dari Singapura. Juga ada seorang Bapak dari
Kalimantan Selatan.

154 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Kumpul di tempat makan, kami serasa makin akrab. Soal
menu, mohon maaf, rasa-rasanya makanan di Pontianak
lebih enak. Tapi pertemuan saya dengan teman-teman baru
merupakan kesan tersendiri. Kelezatan kuliner dalam
perjalanan tak sebanding dengan kelezatan berbagi cerita
dengan teman perjalanan.

Bekas Jejak | 155


Selanjutnya, kami berjalan menikmati kota tua Malaka.
MasyaAllah, ini kota sangat ramai. Semakin malam semakin
ramai. Beberapa penjaja pinggir jalan mencoba
menawarkan barang-barang jualannya. Ada yang
menggunakan bahasa Inggris, ada juga yang menawarkan
dengan bahasa Melayu. Ini pengalaman pertama saya ke
luar negeri, dan pengalaman pertama ini adalah
pengalaman yang mengasikkan.
Karena umur, saya orang yang lebih dulu merasa lelah.
Jam 11 malam waktu Malaysia, atau jam 10 malam waktu
Indonesia, saya kembali ke penginapan. Sebagian teman
masih menikmati kota. Saya mempersiapkan fisik untuk
eksplorasi kota Esok hari.

Pagi hari setelah urusan pribadi, saya bersiap-siap akan


mengelilingi objek wisata di Malaka. Objek yang dikunjungi

156 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


pasar, pertokoan, museum, wisata air River Cruise dan
banyak lagi.
Penjual menawarkan produknya sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, tanpa harus menaikkan harga begitu
diketahui calon pembelinya orang asing. Di ruang ruang
publik dan tempat wisata tidak banyak ditemui imbauan
dan slogan, namun tercipta keramahan, saling
menghormati, ketertiban dan keamanan.
Pada wisata air saya beli tiket kemudian naik kapal
motor untuk menyusuri sungai yang bersih. Konon sebelum
dikembangkan sungai tersebut sangat kotor penuh dengan
sampah dan lumpur.
Sekarang dapat digunakan untuk rekreasi naik kapal
motor sambil menikmati panorama dan pertokoan, kafe di
sekelilingnya.
Kebersihan, kenyamanan, keamanan selalu tercipta di
setiap sudut tempat yang saya kunjungi.
Saya bukan ingin membanding-bandingkan dengan
negara Indonesia. Tapi sungguh, perjalanan kali ini
meninggalkan beberapa pertanyaan. Bisakah kita bikin
tempat kita bersih, ramah, aman? Di Malaka tak banyak saya
temukan slogan atau himbauan jangan buang sampah, tapi
tak saya lihat orang buang sampah sembarangan. Di
Indonesia cukup mudah menjumpai slogan jangan buang
sampah, tapi sampah merata-rata dimana-mana. Begitu
juga soal kemanan, keramahan, lingkungan yang sehat.
Terima kasih bang Pay. Perjalanan kali ini saya mendapat
banyak pelajaran baru. Kapan-kapan kalau ada trip
selanjutnya mohon saya diberitahu, siapa tahu saya bisa ikut
lagi.
Salam dari saya,
Bude Yustisi.

Bekas Jejak | 157


Zaki Baihaqi
(Surabaya)

158 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Pertama Kali
ke Luar Negeri

Ini adalah pengalaman pertama ke luar negeri. Ada


beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum berangkat.
Paspor tentu saja, informasi tentang lokasi tujuan dan bekal yang
dibawa. Tentang lokasi tujuan, tak perlu dengan detil saya
pelajari, sebab perjalanan kali ini akan ditemani seorang
pemandu berpengalaman. Tenang. Tak perlu terlalu gugup.
Pertama kali tiba di Malaysia, satu hal yang membuat
takjub adalah bandaranya yang besar dan rapi. Apalagi jalanan
di Malaysia juga terlihat rapi dengan jumlah motor yang hanya
sedikit, hal ini diketahui saat saya naik bis dari bandara KLIA 2
Malaysia ke kota Malaka.
Ya, kota Malaka adalah tujuan saya di negeri Malaysia
ini. Kota Malaka ini adalah salah satu kota di dunia yang
dinobatkan menjadi kota warisan dunia (World Heritage) oleh
UNESCO pada tahun 2008.

Bekas Jejak | 159


Dalam sejarahnya, kota Malaka merupakan ibu kota dari
kesultanan Malaka dan pusat peradaban Melayu di abad ke 15.
Sebelum dikuasai oleh Portugis di abad 15, Malaka merupakan
salah satu pusat perkembangan agama Islam di Asia Tenggara
dengan puncak kejayaan saat dipimpin oleh Sultan Mansyur Syah
(1459-1477).
Perjalanan ke Malaka ini bertujuan untuk menikmati
peninggalan-peninggalan sejarah yang ada khusunya sejarah
Islam.
Penduduk kota Malaka seperti halnya di kota-kota lain
di Malaysia didominasi oleh orang Melayu, China dan India/

Bangladesh. Mereka hidup secara berdampingan dengan rukun


di sana.
Dari hotel tempat saya menginap, banyak lokasi wisata
bersejarah di kota Malaka yang bisa dijangkau hanya dengan
berjalan kaki. Saat keluar pertama kali dari hotel setelah Isya, di

160 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


seberang jalan terlihat keramaian dengan banyaknya
pengunjung yang berkeliling di taman dan menikmati keindahan
gedung-gedung bersejarah di malam hari.
Di sekeliling taman, banyak becak yang dihiasi dengan
lampu berwarna-warni menambah keindahan malam di kota
Malaka. Selain itu setiap becak juga memutar musik yang cukup
keras yang menambah ramai suasana malam.
Banyak terlihat orang tua yang mengajak anaknya naik
becak hias keliling kota Malaka. Selain itu ada beberapa pasangan
muda yang juga naik becak hias lainnya. Walaupun sebagian besar
gedung bersejarah di Malaka tutup di malam hari, tidak
mengurangi keindahan gedung tersebut dengan paduan lampu
yang berwarna warni.
Selain menggunakan becak wisata, jalan kaki adalah cara
yang nyaman untuk menikmati keindahan kota. Dengan berjalan
kaki, bisa berhenti di mana saja untuk menikmati keindahan
dan bisa untuk sekadar berfoto untuk dimasukkan ke Instagram.
Mengingat banyak sekali lokasi yang instagramable.

Jonker Street
Saat melewati beberapa gedung bersejarah seperti
Museum UMNO dan Museum Islam Malaka, jalanan tidak terlalu
ramai dengan pejalan kaki. Akan tetapi saat menuju ke area

Bekas Jejak | 161


sekitar Jonker Street baru terlihat banyak pengunjung.
Jonker Street adalah salah satu lokasi di Malaka yang
dijadikan tujuan utama wisatawan. Ini adalah sebuah pasar
malam. Di Jonker Street berderet dari ujung ke ujung penjual
yang menjual berbagai macam makanan dan oleh-oleh yang bisa
diperoleh dengan harga yang cukup terjangkau.
Area Jonker Street ini merupakan Chinatown yang cukup
tua. Di kanan kiri sepanjang Jonker Street berdiri berbagai macam
bangunan. Di siang hari ini adalah jalan umum, namun ketika
malam jalan ditutup untuk kendaraan. Hanya pejalan kaki yang
boleh lewat. Di kiri kanan, berbagai macam jajanan tersedia.
Bagi yang muslim perlu berhati-hati, sebab tidak semua
makanan di tempat ini halal.
Karena Jonker Street adalah salah satu Chinatown di
Malaysia, tentu saja pedagang yang berjualan di sini adalah
mayoritas etnis China dan sebagian kecil etnis India /
Bangladesh. Oleh karena itu untuk pengunjung Muslim yang
ingin berbelanja di Jonker Street harus lebih berhati-hati,
pastikan dulu kehalalan barang yang dibeli, terutama
makanannya.
Jika mencari makanan sebaiknya tidak mencari di Jonker
Street, cari di tempat lain yang menyediakan makanan halal. Jika
mencari oleh-oleh bisa belanja di Jonker Street. Misal ingin
membeli gantungan kunci atau kerajinan yang khas Malaysia.
Jika traveler muslim ingin menikmati makanan halal bisa
mencari rumah makan yang di dalamnya ada tulisan arab (Al-
Qur’an) atau ada keterangan halal. Biasanya rumah makan yang
ada tulisan kaligrafi arab di dalamnya sudah menandakan kalau
rumah makan tersebut menjual makanan halal.
Di sekitar Jonker Street juga ada yang menjual makanan
halal. Jika kita sudah berjalan sampai agak ke tengah, nanti akan
ada pertigaan yang menunjukkan tanda penunjuk arah lokasi
rumah makan halal untuk pengunjung muslim.
Di pertengahan Jonker Street yang agak luas juga ada
panggung yang menyediakan musik China. Disediakan juga
beberapa kursi plastik untuk menikmati pertunjukan musik
tersebut, dan juga bisa digunakan untuk istirahat oleh
pengunjung.

162 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Berjalan menyusuri Jonker Street tak terasa membuat
waktu berjalan sangat cepat. Salain rasa lelah di kaki sudah mulai
muncul, waktu juga sudah menunjukkan hampir tengah malam.
Waktunya untuk kembali ke hotel untuk beristirahat karena esok
harinya akan melanjutkan perjalanan mengunjungi berbagai
macam objek wisata di Malaka.
Besok pagi tujuan pertama adalah Sholat Shubuh
berjamaah di salah satu Masjid tua di Malaka. Nama Masjidnya
adalah Masjid Kampung Kling. Masjid ini berlokasi di samping
Jonker Street, tepatnya di jalan Tokong atau Jalan Hang Lekiu.
Masjid ini merupakan masjid bersejarah yang ada di kota Malaka.

Masjid Kampung Kling


Masjid Kampung Kling, itu adalah nama salah satu masjid
tua yang ada di Malaka. Lokasinya ada di ujung jalan Hang Lekiu
dan Jalan Tokong atau Lorong Harmoni atau Temple Street.
Masjid ini mempunyai bentuk bangunan yang mirip dengan
bangunan masjid-masjid di Nusantara. Selain itu bangunan
masjid juga memadukan antara bangunan nusantara dengan
budaya China. Masjid ini tidak mempunyai kubah di atas nya,
akan tetapi berbentuk limasan bersusun tiga.
Lokasi masjid ini berada di lokasi yang mayoritas
penduduknya adalah non muslim. Kebanyakan dari etnis china
dan India. Di sekitar masjid juga banyak bangunan Kelenteng.
Tapi kerukunan antar agama di daerah ini terjaga dengan baik.
Menurut salah satu jamaah masjid Kampung Kling, dulu
penduduk di sekitar masjid mayoritas adalah warga India
Muslim. Akan tetapi karena kebutuhan ekonomi, sebagian besar
dari mereka menjual tanah mereka ke pendatang yang mayoritas
orang China sampai akhirnya hampir sebagian besar penduduk
di sekitar masjid adalah orang non muslim. Hanya sebagaian kecil
saja yang beragama Islam.
Meski sebagian besar masyarakat muslim yang pindah
sudah menjual propertinya namun ada juga sebagian yang lain
sempat mewaqafkan properti miliknya untuk keperluan Masjid.
Sehingga saat ini Masjid Kampung Kling punya beberapa property
(Toko) yang difungsikan sebagai wakaf untuk kemakmuran
masjid.

Bekas Jejak | 163


Salah satu keunikan masjid ini, terdapat kolam di sisi
masjid yang digunakan sebagai tempat berwudhu. Terlihat indah
dengan air mancur di tengah. Gemericik air yang terus mengalir
dari air mancur membuat hati menjadi lebih tenang. Dikarenakan
tinggi kolam yang hampir sejajar dengan lantai tempat berdiri,
maka jika ingin wudlu harus jongkok terlebih dahulu. Di tepian

164 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


kolam juga sudah disediakan banyak gayung untuk mengambil
air.
Ada satu lagi kesamaan masjid ini dengan masjid-masjid
di Nusantara lama. Di samping masjid ini ada komplek makam
lama, bahkan ada satu makam yang diyakini adalah makam salah
satu Wali Allah. Sayangnya data untuk makam tersebut belum
terdokumentasi dengan baik sehingga tidak diketahui nama wali
tersebut dan apa kontribusinya untuk perkembangan Islam di
daerah tersebut.
Masjid ini selesai dibangun di tahun 1748 dengan
bangunan utama berupa kayu. Kemudian tahun 1872 masjid ini
direnovasi dengan mengganti bangunan utama yang berupa kayu
dengan batu.
Pengalaman sholat Shubuh di Masjid Kling ini seperti
terasa Sholat di Masjid-masjid Indonesia, terutama masjid-
masjid lama. Suasana di dalamnya juga nyaman untuk beribadah.
Tata cara ibadah juga tidak jauh beda dengan mayoritas masjid
di Indonesia, sama-sama bermahdzab Syafi’i.
Jamaah masjid juga cukup ramah dengan pengunjung.
Apalagi sesama muslim yang datang dari jauh untuk sholat di
masjid ini. Mereka juga tidak canggung untuk menjelaskan
tentang sejarah masjid ini kepada para pengunjung.
Menara Masjid yang menjulang tinggi dengan arsitektur
Khasnya juga menjadi daya tarik tersendiri. Dengan warna putih
yang keabu-abuan menunjukkan kalau masjid ini sudah cukup
tua. Walaupun semua bangunan terawat dengan baik tapi tetap
mengeluarkan rasa tuanya.
Untuk traveler yang suka foto-foto dengan spot yang unik
bisa juga mengunjungi masjid ini untuk foto-foto. Agar banyak
yang tahu ada masjid yang bagus di Malaka.

Bekas Jejak | 165


Sket Masjid Trankera
Oleh: Rangga Firmansyah

166 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


~Suplemen~
Tuntunan Qashr dan Jamak
Kala Safar
Oleh: Ustadz Mahyuddin
Islam datang membawa kemudahan, tidak menyulitkan.
Ada ketentuan syariah yang memberikan keringanan saat ada
kesukaran karena adanya sebab-sebab tertentu dan diakui oleh
syariah. Di antara sebab-sebab tersebut adalah safar.
Safar menjadi sebab dibolehkannya beberapa
keringanan (rukhshah) syariah, seperti berbuka di siang hari
Ramadan, mengusap kedua khuff selama tiga hari tiga malam,
gugurnya kewajiban salat Jumat, meringkas (qashr) salat fardu
empat rakaat menjadi dua rakaat, dan menggabungkan (jam’)
dua salat. Dua rukhshah terakhir ini yang akan dibahas lebih
detail pada tulisan ini. Sebagai tambahan, menjamak salat bukan
hanya terkhusus dalam kondisi safar; ada juga kebolehan jamak
bagi orang yang bermukim (tidak safar) karena hujan lebat dan
sebab lainnya.
Pandangan fiqh dalam tulisan di bawah ini merujuk
kepada pandangan Mazhab Syafi’i1, selaku mazhab yang diikuti
oleh mayoritas masyarakat di Asia Tenggara (seperti Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dll), Asia bagian tengah,
Afrika bagian timur, serta sebagian Jazirah Arab.

1
Rujukan utama dalam tulisan ini adalah Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syâfi’i,
Juz I halaman 457-483, karya Muhammad Az-Zuhayli, terbitan Dâr Al-Qalam
Damaskus, cetakan ketiga tahun 2011.

Bekas Jejak | 167


A. Qashr Ash-Shalâh Ar-Rubâ’iyyah (Meringkas Salat
Empat Rakaat)
1. Dalil-dalil
Qahsr ash-shalâh adalah meringkas rakaat salat fardu
empat rakaat menjadi dua rakaat (Zuhur, Asar, dan Isya). Adapun
salat fardu Subuh dan Magrib tidak boleh di-qashr, juga salat
yang dinazarkan2, serta salat yang terlewatkan saat tidak safar3.
Demikian pula, salat sunnah tidak di-qashr. Dasar qashr ash-
shalâh adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah


mengapa kamu men-qashr salat...” (QS. An Nisâ’: 101).

Terkait keringanan ini, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa salam


bersabda:

“Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian,


maka terimalah sedekah-Nya.” HR Muslim, Abû Dâwud, At-
Tirmidzi, An-Nasâ`i, Ibn Mâjah, Ad-Dârimi, dan Ahmad.

2
Misalnya seseorang yang menazarkan salat empat rakaat, dia tidak boleh
melakukan qashr atas salat tersebut kendati dia menunaikan nazarnya itu
saat safar.
3
Misalnya seseorang melewatkan Salat Zuhur, Asar, dan atau Isya saat dia
bermukim, lalu dia hendak melakukan qadhâ‘ saat safar: dia tidak boleh
meringkasnya menjadi dua rakaat, tetap dikerjakan empat rakaat.
Bagaimana jika salat yang terlewatkan, yakni Zuhur, Asar, dan atau Isya itu
terjadi saat yang bersangkutan tengah safar, lalu dia hendak melakukan
qadhâ‘? Dia boleh melakukan qashr atas salat tersebut jika dia melaksanakan
qadhâ‘ saat safar (baik pada safar yang sama dengan safar di mana salat itu
dia lewatkan, ataupun pada safar yang lain); adapun jika dia melakukan
qadhâ‘ di luar safar—yakni saat bermukim—maka dia tidak boleh meng-
qashr-nya.

168 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Qashr ash-shalâh karena safar juga merupakan perkara
yang disepakati pensyariatannya oleh umat (mujma’ ‘alayh).
Safar dapat berupa perjalanan di darat, laut, maupun udara.

2. Beberapa ketentuan Safar dan Qashr


a) Permulaan Qashr dan berakhirnya Safar-Qashr
Qashr tidak boleh dilakukan kecuali safar telah
berlangsung di mana seseorang telah meninggalkan
daerah mukimnya 4 ; tidak disebut musafir jika dia
masih berada di rumahnya atau di wilayah
mukimnya. Demikian pula, safar selesai dan
keringanan berupa qashr berakhir ketika dia kembali
memasuki wilayah mukimnya5.
Ketika seseorang bermaksud tinggal di tempat
tujuan selama setidaknya empat hari empat malam
(tidak termasuk hari kedatangan dan kepergian)
maka safar-qashr berakhir tatkala dia tiba di daerah
tujuan (sekali lagi, tidak termasuk hari kedatangan
dan kepergian). Bahkan safar dan rukhshah qashr juga
dianggap selesai ketika dia berhenti di tengah
perjalanan dan berdiam selama setidaknya empat
hari empat malam di tempat itu6.

4
Meninggalkan batas wilayahnya misalnya dia telah melewati bangunan-
bangunan wilayah tempat tinggalnya, rumah-rumah, dsb; atau mudahnya
untuk masa saat ini: telah melewati batas kota atau kabupaten tempat dia
bermukim.
5
Apabila safar dilakukan dengan kapal laut atau pesawat terbang dan
pelabuhan atau bandara tempat dia bertolak berada di wilayah mukimnya,
maka keringanan berupa qashr baru diperoleh ketika kapal atau pesawat
telah berangkat. Adapun jika pelabuhan atau bandara itu sudah di luar
wilayah mukimnya (di luar kota atau kabupaten tempat dia tinggal) maka
rukhshah qashr sudah dapat dilakukan sejak yang bersangkutan melewati
batas kota atau kabupaten tempat dia tinggal.
6
Sebagai contoh, iterinary perjalanan umrah yang membuat seseorang
berada di Makkah 7 hari, di Madinah 7 hari, maka keringanan melakukan
qashr masih dia dapatkan saat hari kedatangannya di kedua kota suci
tersebut (hari pertama); selanjutnya, pada hari kedua hingga sehari sebelum

Bekas Jejak | 169


Adapun bagi musafir yang tidak mengetahui
berapa lama dia akan berada di suatu tempat—misal
dia menangani suatu urusan atau keperluan dan dia
bermaksud bertolak kembali setelah urusan atau
keperluan itu selesai—maka dia tetap mendapatkan
rukhshah qashr hingga 18 hari (tidak termasuk hari
kedatangan dan kepergian), kecuali sejak awal dia
sudah bisa memperkirakan bahwa urusan atau
keperluan tersebut tidak akan selesai dalam empat
hari empat malam. Apabila dia sudah dapat
memperkirakan sejak awal bahwa urusan atau
keperluan itu memang membutuhkan waktu melebihi
empat hari empat malam, dia tidak lagi memperoleh
rukhshah qashr pada hari kedua dia berada di tempat
tersebut.
b) Syarat-syarat qashr
1) Memenuhi kriteria safar jauh (melewati 81 km) 7,
tidak kurang dari itu atau yang diragukan
jaraknya sebagai perjalanan yang jauh.
2) Musafir mempunyai maksud tertentu yang sudah
diketahui, bukan sekadar pergi tidak tentu arah
dan tujuan8.
3) Qashr dilakukan setelah meninggalkan daerah
bermukim9.

meninggalkan kedua kota tersebut (hari keenam), dia melakukan salat


layaknya orang yang bermukim di sana; pada hari dia meninggalkan kota
tersebut (hari ketujuh), dia terhitung melakukan safar lagi dan memperoleh
rukhshah qashr setelah melewati batas wilayah kedua kota suci tersebut.
7
Kitab-kitab fiqh klasik menggunakan beberapa istilah, di antaranya 48 mil
hasyimiyyah, empat burud, atau 16 farsakh. Jika dikonversi ke ukuran jarak
yang kita kenal saat ini, jarak minimal itu sekitar 81 km.
8
Misalnya orang yang pergi berburu atau mencari hewan yang terlepas di
mana dia tidak mengetahui ke mana mencari hewan tersebut. Orang
semacam ini tidak mendapatkan rukhshah qashr.
9
Sebagai contoh, si A yang bermukim di Surabaya. Dia bertolak menuju
Sulawesi dari pelabuhan yang masih berada dalam wilayah mukimnya, yakni

170 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


4) Salat yang di-qashar terlaksana hingga tuntas
dalam safar10.
5) Musafir tidak berniat bermukim di tempat tujuan
lebih dari empat hari empat malam (tidak
termasuk hari kedatangan dan kepergian) 11 .
6) Safarnya untuk hal yang dibolehkan (bisa berupa
perkara wajib semisal safar haji, perkara sunnah
contohnya safar guna menuntut ilmu, perkara
mubah umpamanya safar untuk berdagang,
ataupun makruh seperti safar seorang diri), bukan
untuk kemaksiatan. Qashr tidak dibenarkan untuk
safar maksiat, misalnya untuk membegal, berzina,
dll 12 .

Pelabuhan Tanjung Perak. Dia belum boleh melakukan qashr di atas kapal
yang belum berangkat; dia baru boleh melakukan qashr saat kapal sudah
berangkat.
10
Seandainya si A pada catatan kaki sebelumnya, pulang melalui pelabuhan
yang sama, lalu dia Salat Zuhur, Asar, atau Isya sebelum kapal merapat di
pelabuhan, dia boleh meng-qashr salat tersebut sepanjang kapal belum
sampai di pelabuhan. Adapun jika kapal telah merapat di pelabuhan wilayah
mukimnya itu, maka dia tidak mendapatkan rukhshah qashr lagi; apabila
bagian awal salatnya dilakukan saat kapal belum merapat di pelabuhan,
lalu sebelum sempat salam kapal sudah merapat, maka dia wajib
mengerjakan salat itu menjadi empat rakaat meski awalnya dia sudah berniat
qashr.
Jika telah masuk waktu salat saat dia masih safar, tetapi dia tidak
melaksanakannya, maka ketika telah tiba di daerah bermukimnya, dia tidak
lagi mendapatkan rukhshah qashr.
11
Lihat kembali uraian pada subjudul “Permulaan Qashr dan berakhirnya
Safar-Qashr” di atas.
12
Adapula safar yang awalnya dibolehkan lalu diubah menjadi safar maksiat,
misalnya semula safar untuk berwisata yang hukumnya mubah, diubah
menjadi safar untuk berjudi yang hukumnya haram. Keringanan untuk qashr
hilang sejak yang bersangkutan bermaksud melakukan safar maksiat
tersebut. Bagaimana jika dia bertobat dan berniat melakukan safar yang
dibolehkan setelahnya? Safarnya dihitung kembali sejak dia bertobat: jika
jarak perjalanannya masih memenuhi kriteria safar 81 km maka dia
memperoleh rukhshah qashr. Hanya saja, perlu dibedakan antara “safar
maksiat” dengan “safar yang dibolehkan tetapi ada maksiat yang dilakukan
di dalamnya”. Safar semacam ini (yakni yang dibolehkan tetapi ada maksiat
di dalamnya) tetap mendapatkan rukhshah meski tentu saja kemaksiatan

Bekas Jejak | 171


7) Berniat qashr saat takbîratul-ihrâm13.
8) Orang yang melakukan qashr tidak bermakmum
kepada orang yang melakukan salat itmâm 14 .
9) Mempertahankan niat qashr hingga salat
selesai 15 .
3. Qashr lebih utama
Melakukan qashr salat (Zuhur, Asar, Isya) saat safar lebih
utama daripada melakukannya dengan secara itmâm empat
rakaat meski tentu saja tetap boleh jika seseorang tidak
mengambil rukhshah, atau sesekali melakukannya sesekali
tidak. Keutamaan melakukan qashr ini bahkan lebih ditekankan
lagi bagi orang yang merasa enggan menjalankan rukhshah.
Bahkan, bagi orang semacam ini, makruh baginya melakukan
itmâm, yakni Salat Zuhur, Asar, dan Isya empat rakaat saat safar;
kemakruhan ini berlaku hingga hilang keengganan dalam dirinya

yang ada merupakan perbuatan dosa yang tidak boleh dikerjakan.


13
Tidak boleh melakukan qashr salat kecuali memang meniatkannya, sebab,
pada dasarnya (al-ashl), salat dilakukan secara itmâm (yakni dilakukan
sempurna jumlah rakaatnya, bukan diringkas).
14
Itmâm artinya melakukan salat secara sempurna jumlah rakaatnya tanpa
meringkasnya menjadi dua rakaat, misalnya Zuhur, Asar, atau Isya
dilaksanakan empat rakaat. Dengan kata lain, itmâm merupakan kebalikan
dari qashr.
Jika ada musafir yang bermakmum kepada orang yang salat secara itmâm
(baik imam itu mukim atau juga musafir), maka makmum tersebut wajib
menunaikan salat secara itmâm tanpa qashr. Bahkan, andai musafir tersebut
hanya mendapati bagian akhir salat itmâm dari imam yang diikutinya,
misalnya hanya mendapati tahiyyât akhir, maka usai salam imam, musafir itu
tetap wajib menunaikan salatnya secara itmâm (menyempurnakan salatnya
empat rakaat), tidak boleh dia hanya menambah salatnya menjadi dua rakaat.
Seseorang yang melakukan qashr Salat Zuhur boleh bermakmum kepada
orang yang melakukan qashr Salat Asar, demikian pula sebaliknya.
Sebagai tambahan, seorang yang melakukan salat itmâm boleh bermakmum
pada orang yang melakukan qashr; namun, tidak berlaku sebaliknya.
15
Seseorang yang awalnya berniat qashr lalu dalam salatnya dia bimbang
dan ragu apakah qashr atau itmâm maka dia wajib menunaikannya secara
itmâm.

172 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


terhadap rukhshah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala16.

B. Al-Jam’ Bayn Ash-Shalâtayn (Menjamak Antara Dua Salat)


1. Dalil-Dalil
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi dalil
disyariatkannya menjamak salat.

Adalah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa salam menjamak


antara Salat Zuhur dengan Asar ketika beliau di dalam
perjalanan, dan juga menjamak antara Salat Magrib dan Isya.
HR Al-Bukhâri.

16
Masih ada sebagian orang yang lebih menyukai melaksanakan Salat
Zuhur, Asar, dan Isya empat rakaat, seraya merasa kurang nyaman melakukan
qashr kendati dia sedang safar (terlebih jika yang bersangkutan tidak
merasakan kesulitan dalam safarnya). Mesti dipahami, tidak menjamak dan
meng-qashr salat tidak lebih utama daripada menjamak dan meng-qashr
meskipun jumlah rakaatnya lebih banyak. Itmâm tidak lebih baik dibanding
qashr. Bahkan, menjalankan rukhshah qashr lebih berpahala. Itu adalah
sedekah dari Allah untuk kita. Itu juga merupakan bagian dari sunnah
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa salam kepada
kita dalam berbagai kesempatan: ibadah haji, peperangan, penaklukan
Makkah, dll.

Bekas Jejak | 173


Dari Muâdz bin Jabal: “Sesungguhnya Rasulullah saat
perang Tabuk, jika matahari telah condong sebelum bertolak
maka beliau menjamak salat antara Zuhur dan Asar; jika
sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka
beliau mengakhirkan salat Zuhur sampai berhenti untuk salat
Asar; dan pada waktu Salat Magrib sama juga: jika matahari
telah tenggelam sebelum berangkat maka beliau menjamak
antara Magrib dan Isya; tetapi jika sudah berangkat sebelum
matahari matahari tenggelam maka beliau mengakhirkan
waktu Salat Magrib sampai berhenti untuk Salat Isya kemudian
menjamak keduanya. (HR Abû Dâwud dan At-Tirmidzi).

2. Salat yang Boleh Dijamak


- Zuhur dengan Asar, dapat dilakukan di waktu Zuhur
(jam’ al-taqdîm) atau di waktu Asar (jam’ at-ta‘khîr);
Salat Jumat sama dengan Zuhur (yakni boleh dijamak
dengan Asar) tetapi hanya boleh dilakukan secara
taqdîm (yakni Salat Asar dilakukan usai menunaikan
Salat Jumat), tidak boleh dilakukan secara ta‘khîr (yakni
menunda Salat Jumat lalu mengerjakannya di waktu
Asar)17.
- Magrib dengan Isya (boleh dilakukan secara taqdîm
maupun ta‘khîr).
3. Syarat Menjamak Salat saat Safar‘
- Syarat umumnya sama dengan syarat safar pada

17
Perlu ditambahkan, Salat Jumat tidak diwajibkan atas musafir (dengan
catatan, safarnya telah berlangsung sebelum Jumat subuh); yang diwajibkan
adalah Salat Zuhur. Hanya saja, ketika musaf ir melakukan Salat Jumat,
kewajiban Salat Zuhur menjadi gugur.

174 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


ketentuan qashr: safar jauh (melebihi 81 km), untuk
aktivitas yang dibolehkan, serta dengan maksud dan
tujuan yang tertentu.
- Syarat khusus jam’ at-taqdîm
o Tertib sesuai urutan (Zuhur dahulu sebelum Asar,
Magrib dahulu sebelum Isya)18.
o Niat jamak sudah harus dipancangkan sebelum
berakhirnya salat yang pertama (Zuhur atau
Magrib) 19 , lebih baik lagi bila dilakukan saat
takbîratul ihrâm salat yang pertama.
o Tanpa jeda lama di antara dua salat yang dijamak20.
o Kedua salat yang dijamak taqdîm terlaksana dalam
safar, setidaknya hingga sebagian salat yang
kedua21 (bila dia ingin menjamak sekaligus meng
qashr kedua salat maka kedua salat tersebut harus
sudah terlaksana sebelum safarnya berakhir).

18
Syarat ini tidak wajib (hanya sunnah) untuk jam’ at-ta‘khîr. Oleh karena
itu, seseorang yang melakukan jam’ at-ta‘khîr di waktu Asar boleh
menunaikan Salat Asar dulu sebelum Zuhur dan di waktu Isya boleh
mendahulukan Salat Isya sebelum Magrib. Hanya saja, lebih baik lagi jika
salat-salat tersebut dilakukan secara tertib.
19
Ketentuan ini tidak berlaku untuk jam’ at-ta‘khîr. Ada syarat tersendiri
untuk niat jam’ at-ta‘khîr.
20
Syarat ini hanya sunnah untuk jam’ at-ta‘khîr.
21
Ingat kembali contoh si A pada catatan kaki no. 9 (berdomisili di Surabaya,
pulang dari safar melalui kapal laut yang nantinya tiba di Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya). Dalam perjalanan pulang menjelang tiba di pelabuhan,
dia menjamak Salat Zuhur-Asar di waktu Zuhur (jam’ at-taqdîm). Apabila
kapal tiba sebelum dia melakukan salat yang kedua (yakni Salat Asar) maka
dia tidak lagi diberikan keringanan menjamak sebab safarnya dianggap
telah berakhir; dia melakukan Salat Asar pada waktunya nanti. Adapun jika
kapal bersandar saat dia tengah melaksanakan salat yang kedua maka
tidak mengapa baginya menuntaskan salat jamak yang dilakukannya (hanya
saja dalam kondisi ini, dia telah kehilangan rukhsah qashr untuk Salat Asar
tersebut sehingga wajib menunaikan Salat Asar itu secara itmâm kendati
tadi dia menunaikan Salat Zuhur dengan qashr). Jika dia bermaksud
melakukan jamak dan qashr sekaligus untuk kedua salat tersebut, dia harus
menyelesaikan kedua salat itu sebelum kapal tiba di daerah mukimnya.

Bekas Jejak | 175


- Syarat jam’ at-ta‘khîr
o Telah berniat untuk melakukan jam’ at-ta‘khîr
sebelum habisnya waktu salat yang pertama 22 .
o Kedua salat yang dijamak ta‘khîr terlaksana dalam
safar setidaknya hingga sebagian salat yang kedua23.
(bila dia ingin menjamak sekaligus meng-qashr
kedua salat maka kedua salat tersebut harus sudah
terlaksana sebelum safarnya berakhir).

Wallâhu a’lam bish-shawâb.

22
Seseorang yang ingin menjamak Zuhur dengan Isya secara ta‘khîr sudah
harus meniatkannya sebelum waktu Zuhur berakhir. Demikian pula,
seseorang yang ingin menjamak Magrib dan Isya sudah harus meniatkannya
sebelum waktu Magrib berakhir.
23
Jika hanya satu salat yang terlaksana sebelum safar berakhir, maka salat
yang diakhirkan dari waktunya dianggap qadhâ‘. Misal si A (pada catatan
kaki no. 9 dan 20) menunaikan salat jam’ at-ta‘khîr Zuhur-Asar di waktu Asar.
Dia melakukan salat pertama (terlepas dia mendahulukan Salat Zuhur
ataukah Asar, mengingat jam’ at-ta‘khîr tidak harus tertib sesuai urutan)
lalu salam. Belum lagi melakukan salat yang kedua, ternyata kapal telah
bersandar di pelabuhan wilayah mukimnya. Dalam kondisi ini, Salat Zuhur
yang telah atau akan dilakukannya dianggap qadhâ‘. Selanjutnya, salat
kedua yang dilakukannya—terlepas apakah itu Salat Zuhur atau Asar—
harus dia kerjakan itmâm empat rakaat.
Adapun jika kapal merapat di pelabuhan saat dia tengah melaksanakan
salat yang kedua, maka dia wajib mengerjakan salat tersebut itmâm empat
rakaat meski awalnya dia sudah berniat qashr (bandingkan dengan catatan
kaki no. 10); dalam hal ini, Salat Zuhur yang telah atau akan dilakukannya
tetap dianggap adâ‘, bukan qadhâ‘.

176 | Pay Jarot Sujarwo, dkk


Bekas Jejak | 177

You might also like