You are on page 1of 12

MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20….

, Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487

REKONSILIASI OBAT PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Nur Kholis Majid1, Irma Susanti2, Primanitha Ria Utami3


1)UniversitasMuhammadiyah Lamongan; JL. Raya Plalangan Plosowahyu KM 2
Telp/Fax (0322)322356 Lamongan
2)Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi S1 Farmasi

e-mail: 1) nkholismajid24@gmail.com

ABSTRAK
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Pasien diabetes melitus memerlukan terapi jangka panjang
sehingga diperlukan proses rekonsiliasi agar mendapatkan terapi yang sesuai.
Rekonsiliasi obat yaitu suatu proses membandingkan suatu instruksi pengobatan
dengan obat yang didapat oleh pasien, dilakukanya rekonsiliasi obat yaitu untuk
mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error) seperti obat
tidak diberikan, duplikasi, kesalahan kekuatan obat atau interaksi obat. Tujuan
menganalisis rekonsiliasi obat pada pasien diabetes melitus di Puskesmas
Karanggeneng Kabupaten Lamongan. Penelitian ini menggunakan metode cross
sectional dengan pengambilan data retrospektif yang dilakukan di Puskesmas
Karenggeneng Kabupaten Lamongan pada tahun 2022. Hasil pada hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi obat dari intruksi pengobat yang telah
didapatkan pasien yaitu hasilnya yang sesuai 105 (55,6%) dan yang tidak sesuai
dengan instruksi 84 (44,4%) kekuatan obat 16,9%, obat dihentikan 2,6%,
pergantian obat 10,1%, riwayat elergi dan efek samping obat 4,8%, pemberian obat
kombinasi 6,3% dan kepatuhan pengambilan obat 3,7%. Tujuan dilakukannya
rekonsiliasi obat adalah; memastikan informasi yang akurat tentang obat yang
digunakan pasien; mengidentfikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terdokumentasinya instruksi dokter dan mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat
tidak terbacanya instruksi dokter.

Kata kunci: Diabetes Melitus, Puskesmas, Rekonsiliasi Obat

ABSTRACT
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases characterized by hyperglycemia that
occurs due to abnormalities in insulin secretion, insulin action or both. Diabetes mellitus
patients require long-term therapy so a reconciliation process is needed to get appropriate
therapy. Medication reconciliation is a process of comparing a medication instruction with
the medication received by the patient. Drug reconciliation is carried out to prevent
medication errors such as medication not being administered, duplication, medication
strength errors or drug interactions. The aim is to analyze medication reconciliation in
diabetes mellitus patients at the Karanggeneng Community Health Center, Lamongan
Regency. This study used a cross sectional method with retrospective data collection
carried out at the Karenggeneng Public Health Center, Lamongan Regency in 2022. The
results of this study showed that the reconciliation of drugs from treatment instructions
that patients had received was 105 (55.6%) and the results were in accordance with the
results. not according to instructions 84 (44.4%) drug strength 16.9%, drug discontinued
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
2.6%, drug change 10.1%, history of allergies and drug side effects 4.8%, combination
drug administration 6.3% and drug taking compliance 3.7%. The purpose of medication
reconciliation is; ensure accurate information about the medications the patient is taking;
identify discrepancies due to undocumented doctor's instructions and identify
discrepancies due to unreadable doctor's instructions.

Keywords: Community Healt Centers, Diabetes Mellitus, Drug Reconciliation

PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan suatu keadaan hiperglikemi kronik yang
timbul pada seorang yang di sertai dengan berbagai kelainan metabolik akibat
terjadinya gangguan hormonal seperti kegagalan sekresi insulin, kerja insulin,
ataupun keduanya (IDF, 2021).
Seseorang yang menderita diabetes melitus dapat memiliki gejala antara
lain poliuria (sering kencing), polidipsia (sering merasa haus), dan polifagia
(sering merasa lapar), serta penurunan berat badan yang tidak diketahui
penyebabnya. Selain hal-hal tersebut, gejala penderita diabetes melitus lainya
adalah keluhkan lemah badan dan kurangnya energi, kesemutan di tangan atau
kaki, gatal, mudah terkena infeksi bakteri atau jamur, penyembuhan luka yang
lama, dan mata kabur. Namun, pada beberapa kasus, penderita diabetes melitus
tidak menunjukkan adanya gejala (Cao et al., 2017).
Parameter yang dapat digunakan dalam menilai pengendalian diabetes
melitus yaitu HbA1c, gula darah puasa (GDP), glukosa darah 2 jam, profil lipid,
indeks massa tubuh (IMT) dan tekanan darah. Diagnosis diabetes melitus
ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadarglukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan glucometer (PERKENI, 2019)
Pada tahun 2021 penderita diabetes melitus di seluruh dunia mencapai
537 juta orang, dengan angka kematian lebih dari 6,7 juta jiwa. Penderita
diabetes melitus yang ada di Indonesia mencapai 19.465.100 orang, dengan
angka kematian sebesar 236,711 jiwa (IDF, 2021). Penderita diabetes melitus yang
ada di Jawa Timur sudah mencapai 867.257 (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2021),
Penderita diabetes melitus di Kabupaten Lamongan mencapai 22.580 (Dinas
kesehatan Kabupaten Lamongan, 2021).
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan (Manuel et al., 2021).
Pada pasien diabetes melitus hasil yang diperoleh dan diidentifikasi
ketidaksesuaian pengobatan berdasarkan hasil rekonsiliasi obat didapati yaitu
Incomplete prescription (resep yang tidak lengkap) sebesar (10,2 %), Omission
medication (ketidak patuhan pengobatan) sebesar (10,2 %), dan Ketidaksesuaian
yang disengaja (100%). Untuk itu disarankan untuk menambah personil tenaga
kesehatan yang bertugas mengambil dan memvalidasi data riwayat pengobatan
dan memberikan edukasi mengenai proses terjadinya rekonsiliasi obat. Proses
rekonsiliasi obat yaitu suatu proses membandingkan suatu instruksi pengobatan
dengan obat yang telah didapat oleh pasien, dilakukanya rekonsiliasi obat yaitu
untuk mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error) seperti
obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan
pemberian obat (medication error) sangat rentan terjadi pada pemindahan pasien
dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, juga antar ruang perawatan lainya,
dan pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer
seperti puskesmas dan sebaliknya (Khairuzzaman, 2016). Berdasarkan latar
belakang masalah dengan tujuan untuk menganalisis rekonsiliasi obat pada
pasien diabetes melitus dipuskesmas karanggeneng kabupaten lamongan.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan
cross sectional. Penelitian ini melakukan Teknik pengambilan data secara
retrospektif yaitu pengambilan data di Februari 2022 hingga bulan Mei 2022.
Dengan pengambilan data di rekam medis dan resep untuk mengetahui jumlah
pasien rawat jalan yang mengalami rekonsiliasi obat diabetes melitus di salah
satu sarana kesehatan di Kabupaten Lamongan. Waktu penelitian pada bulan
Maret – Juni 2023.
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
1. Karakteristis Pasien
Table 1 Karakteristik Pasien

Jenis Kelamin
Jenis
No Frekuensi (F) Persentase (%)
Kelamin
1 Perempuan 134 70,9
2 Laki-laki 55 29,1
Total 189 100

Usia
No Usia Frekuensi (F) Persentase (%)
1 26-35 Tahun 13 6,9
2 36-45 Tahun 27 14,3
3 46-55 Tahun 79 41,8
4 56-65 Tahun 56 29,6
5 ≥65 Tahun 14 7,4
Total 189 100
Berdasarkan hasil dari tabel 1 dapat dilihat dari jumlah total pasien
diabetes melitus paling banyak terjadi pada perempuan yaitu 134 pasien
dengan persentase (70,9%). Dan paling banyak terjadi pada usia 46-55 tahun
yaitu sebanyak 79 pasien dengan persentase (41,8%) dikarenakan lansia
disebabkan penurunan semua fungsi sistem tubuh.
2. Jenis Obat Dan Dosis Yang Di Dapatkan
Table 2 Obat Diabetes Melitus Tunggal Dan Kombinasi

No Nama & dosis obat Frekuensi (F) Persentase (%)


Obat Tunggal
1 Metformin 500mg 48 45,5
2 Acarbose 50mg 14 12,3
3 Glimepiride 2mg 13 11,3
4 Glimepiride 4mg 11 10,4
5 Piaglitazone 30mg 11 10,4
6 Glibenclamid 4mg 5 4,6
7 Glibenclamid 10mg 5 4,6
8 Gliclazid 80mg 1 0,9
Total 105 100
Obat Kombinasi
1 Metformin 500mg + acarbose 100mg 3 3,6
2 Metformin 500mg + acarbose 50mg 2 2,4
3 Metformin 500mg + pioglitazone 30mg 4 4,8
4 Metformin500mg + glibenclamid 5mg 1 1,2
5 Metformin 500mg + glibenclamid 100mg 1 1,2
6 Glimepirid 2mg + acarbose 50mg 11 7,1
7 Glimepirid 4mg + acarbose 50mg 5 5,8
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
8 Glimepirid 2mg + metformin 500mg 14 16,7
9 Glimepirid 4mg + metformin 500mg 6 13,0
10 Glibenclamid 5mg + acarbose 50mg 4 4,8
11 Giclazid 80mg + glimepirid 2mg 2 2,4
12 Giclazid 80mg + acarbose 3 3,6
13 Giclazid 80mg + pioglitazone 30mg 2 2,4
14 Giclazid 80mg + metformin 500mg 4 4,8
15 Giclazid 80mg + mrtformin 500mg + 3 3,6
acarbose 50mg
16 Giclazid 80mg + metformin 500mg + 2 2,4
acarbose 100mg
17 Giclazid 80mg + metformin 500mg + 3 3,6
pioglitazone 30mg
18 Giclazid 80mg + glimepirid 2mg + acarbose 1 1,2
100mg
19 Glimepirid 2mg + metformin 500mg + 5 5,8
acarbose 50mg
20 Glimepirid 2mg + metformin 500mg + 1 1,2
pioglitazone 30mg
21 Glimepirid 4mg + metformin 500mg + 1 1,2
pioglitazone 30mg
22 Glimepirid 4mg + metformin 500mg + 4 4,8
acarbose 50mg
23 Glimepirid 2mg + metformin 500mg + 1 1,2
acarbose 50mg + pioglitazone 30mg
24 Giclazid 80mg + metformin 500mg + 1 1,2
acarbose 50mg + pioglitazone 30mg
Total 84
100
Total seluruh 189
Pada tabel 2 pada penggunaan obat tunggal paling banyak obat yang
diterima pasien yaitu penggunaan obat tunggal metformin 500mg dengan
frekuensi 48 yaitu (45,5%) dikarenakan metformin dapat menurunkan produksi
glukosa hepatik, dengan meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan glukosa
perifer. Metformin monoterapi dapat memperbaiki tekanan darah diastolik dan
mengurangi angka mortalitas pada pasien diabetes melitus.
3. Kesesuaian Obat Yang Diresepkan Dengan Obat Yang Diterima Pasien
Table 3 Kesesuaian Obat Yang Di Resepkan Dan Yang Di Terima

No Kesesuaian obat Frekuensi (F) Persentase (%)


1 Sesuai
2 Tidak sesuai 105 55,6
a) Kekuatan obat 32 16,9
b) Obat mulai di 5 2,6
hentikan
c) Pergantian obat 19 10,1
d) Riwayat alergi dan 9 4,8
efek samping obat
e) Pemberian obat 12 6,3
kombinasi
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
f) Kepatuhan 7 3,7
pengambilan obat
Total 189 100
Pada tabel 3 karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin dari seluruh
pasien diabetes melitus, paling banyak terjadi pada pasien perempuan yaitu 134
pasien dengan persentase (70,9%). Terjadinya diabetes melitus pada pasien
perempuan karena perubahan pola hidup perempuan lebih berisiko terkena
diabetes ketimbang pria. Perempuan cenderung tidak banyak beraktivitas, oleh
karena itu tidak terlalu menghabiskan karbohidrat atau glukosa (Detty et al.,
2020).
B. PEMBAHASAN
Pada tabel 1 Karakteristik pasien berdasarkan usia, dari hasil penelitian
yang telah dilakukan pasien diabetes melitus paling banyak terjadi pada usia 46-
55 tahun dengan frekuensi pasien 79 dengan (41,8%). Terjadinya diabetes melitus
pada lansia disebabkan penurunan semua fungsi sistem tubuh, antara lain sistem
imun, metabolisme, endokrin, seksual dan reproduksi, kardiovaskuler,
gastrointestinal, otot dan saraf. Penyakit degeneratif mulai terdiagnosis, aktivitas
dan kualitas hidup berkurang akibat ketidakmampuan baik fisik maupun psikis
yang sangat terganggu (Resti et al., 2021).
Pada tabel 2 pada penggunaan obat tunggal paling banyak obat yang
diterima pasien pasien yaitu obat metformin 500mg dengan frekuensi 48 yaitu
(45,5%) dan yang paling sedikit yaitu obat giclazid 80mg dengan frekuensi 1
yaitu (0,9%). Pada metformin paling banyak digunakan oleh pasien diabetes
melitus yang ada di salah satu sarana kesehatan di Kabupaten Lamongan, karena
penggunaan monoterapi atau pun kombinasi pada obat metformin dapat
mencegah terjadinya komplikasi, Obat metformin dapat menurunkan produksi
glukosa hepatik, dengan meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan glukosa
perifer. Metformin monoterapi dapat memperbaiki tekanan darah diastolik dan
mengurangi angka mortalitas pada pasien diabetes melitus. Pada kombinasi
metformin dan sulfonilurea dapat mencegah efek samping hipoglikemia yang
disebabkan penggunaan sulfonilurea secara monoterapi. Terdapat juga
kekurangan pada metformin yaitu sering terjadinya efek samping gangguan
gastrointestinal seperti mual/muntah yang dipengaruhi oleh cara minum obat
yang tidak benar dengan dosis yang kurang tepat, terkadang juga menyebabkan
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
diare, ketidak nyaman abdomen dan juga dapat menyebabkan asidosis laktat.
Oleh karena itu diperlukan pengetahuan pasien dalam menggunakan obat
metformin seperti indikasi, efek samping, cara penggunaan, dosis, frekuensi
pemberian, dan penyimpanannya. Teori menyatakan bahwa Initial dose 500 mg
secara oral dua kali sehari setelah makan atau dosis 850 mg secara oral satu kali
sehari setelah makan. Dosis awal untuk pasien yang mendapatkan metformin
adalah 500 mg digunakan sehari dua kali (Rismawati et al., 2023).
Pada penggunaan obat kombinasi yang diterima pasien paling banyak
yaitu pada obat kombinasi glimepirid 2mg + metformin 500mg dengan frekuensi
14 yaitu (16,7%). Kesesuaian pemilihan obat antidiabetik yang mampu
diimbangi dari ketepatan kelas klinik terapi, jenis atau golongan obat, dan
kombinasi obat yang terbukti aman dan bermanfaat bagi pasien diabetes.
Ketidak tepatan obat dalam kasus ini terjadi dalam kasus penggunaan obat
antidiabetik oral golongan sulfonilurea dan golongan tiazolidinedion menjadi
monoterapi pasien diabetes, yang mana berdasarkan first line pengobatan
diabetes yang dilihat dari tingkat keamanan, efektivitas, dan harga yaitu
golongan biguanid (metformin) golongan sulfonilurea juga dapat dijadikan
first line terapi apabila terdapat permasalahan pada biaya, kondisi pasien
yang tidak memiliki risiko hipoglikemia ataupun karena keterbatasan
persediaan di instalasi farmasi. Kasus ketidaktepatan lain yaitu penggunaan
kombinasi 3 obat yaitu glimepiride/gliclazide, pioglitazone, dan metformin
ataupun kombinasi 2 obat dengan gula darah puasa ≤126 mg/dL atau gula
darah sewaktu ≤200 mg/dL yang mana menurut terapi kombinasi bisa diberikan
pada pasien dengan nilai HbA1c ≥ 7,5% saat diperiksa (PERKENI, 2021).
Pada tabel 3 menjelaskan bahwa instruksi pengobatan dengan obat yang
telah didapat oleh pasien adalah yang sesuai dengan intruksi yaitu 105 pasien
dengan persentase (55,6%) dan yang tidak sesuai dengan intruksi yaitu 84
dengan persentase (44,4%), hal ini dikarenakan rekonsiliasi obat yang terjadi
yaitu seperti duplikasi terapi, dosis obat, kesalahan peresepan, kesalahan
penyiapan obat, interaksi obat dan obat tidak diberikan. Rekonsiliasi adalah
suatu proses untuk mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat (medication
error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat
(Studer et al., 2023).
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
Faktor yang berpengaruh mengapa beda antara resep dengan obat yang diterima
pertama ada dosis yang diberikan tidak sesuai Pengobatan dikatakan tepat dosis
apabila dosis pemberian antidiabetik sesuai dengan standar (PERKENI, 2019).
Dosis yang sesuai juga dilihat dari keadaan fungsi organ tubuh pasien, misalnya
dalam keadaan fungsi ginjal yang menurun pemberian dosis terapi akan
terpengaruh, bahkan jika fungsi ginjal telah memburuk pemberian antidiabetik
dapat diberikan secara parenteral untuk menghindari keparahan penyakit
pasien. Penyebab dari ketidak sesuaian obat yang diterima pasien dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Ketepatan dosis pada penelitian ini terdapat 32 kasus dengan persentase
(16,9), Dosis metformin yang digunakan untuk pasien diabetes melitus sebesar
500 mg, glibenklamid sebesar 5 mg dan glimepirid sebesar 2 mg. Pengobatan
dikatakan tepat dosis apabila dosis pemberian antidiabetik sesuai dengan
standar (PERKENI, 2019). Pemberian glibenclamid atau glimepirid 1 kali sehari
dan metformin 2-3 kali sehari. Diberikannya obat golongan biguanid atau
metformin karena obat tersebut bekerja mengurangi produksi gula pada hati
sedangkan untuk golongan sulfonilurea berfungsi meningkatkan sekresi insulin.
Metformin bisa digunakan bersama atau sesudah makan, Sedangkan untuk
glibenklamid dapat digunakan 15-30 menit sebelum makan untuk menghindari
efek hipoglikemi (Dwi aulia, 2020).
Terapi obat yang dihentikan pada penelitian ini terdapat 5 kasus dengan
persentase (2,6%) contohnya seperti terapi kombinasi insulin dan GLP-1
(metformin, glibenclamid, glimepiride, giclazid dan glipizide) pemberian obat ini
dimulai dengan dosis rendah untuk selanjutnya dinaikkan secara bertahap.
Apabila target glukosa tidak tercapai dengan terapi kombinasi, dapat diberikan
obat diabetes melitus dengan insulin. Jika target tetap tidak tercapai maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial kemudian dihentikan
dengan hati-hati obat diabetes melitus oral (Andrajati & Trisna, 2021).
Obat mulai dihentikan pada pasien Diabetes Melitus, bila adanya terapi
kombinasi OHO (Obat Hipoglikemik) dan insulin, baik secara tunggal maupun
kombinasi. Obat Hipoglikemik yang digunakan adalah Metformin, Glikazid, dan
Akarbose kadar gula darah tidak terkendali, maka dari itu pada penggunaan
obat Obat hipoglikemik, Pemilihan obat untuk pasien diabetes melitus
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien. Penggunaan
obat hipoglikemik oral dapat dilakukan secara tunggal atau kombinasi dari dua
atau tiga jenis obat. Pemilihan obat yang tepat sangat menentukan keberhasilan
terapi. Penentuan obat yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (Almasdy et al., 2016).
Ketepatan pemilihan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu obat
diantara beberapa jenis obat yang mempunyai efek terapi yang sesuai untuk
penyakit diabetes melitus. Obat yang diberikan harus terbukti manfaat dan
keamanannya, baik penggunaan obat tunggal maupun kombinasi dua obat
antidiabetik yang digunakan secara bersamaan dapat memberikan manfaat yang
lebih dalam mengontrol kadar gula darah (Fatiha et al., 2021).
Ketepatan cara pemberian obat dikatakan tepat cara pemberian obat.
Pemberian obat antidiabetik oral dapat diberiakan sebelum makan, bersama
makanan, atau sesudah makan. Pemberian obat ini akan mempengaruhi
efektivitas kerja dari obat tersebut sehingga dapat mempengaruhi jumlah obat
yang masuk kedalam tubuh. Berdasarkan penelitian hasil ketepatan interval
waktu dikatakan 100% tepat karena sesuai dengan standar. Penggunaan
glibenklamid 1-2 kali sehari maksimal 10 mg per hari karena waktu paruhnya
sekitar 3-5 jam, tetapi efek hipoglikemiknya dapat berlangsung selama 12-24 jam.
Sementara itu, penggunaan metformin 2-3 kali sehari maksimal 500 mg per hari
(PERKENI, 2019).
Pada pemberian terapi kombinasi pada penelitian ini terdapat 12 kasus
dengan persentase 6,3%. Contoh Obat kombinasi antidiabetik oral yaitu
glimepirid 2mg + metformin 500mg paling banyak digunakan karena golongan
sulfonilurea bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin di sel beta pancreas.
Sehingga lebih efektif di gunakan pada pasien dengan fungsi sel beta pankreas
yang masih baik, sedangkan golongan biguanida bekerja langsung pada hati
(hepar), menurunkan produksi glukosa hati dan meningkatkan glukosa di
jaringan perifer (Nazhipah et al., 2021).
Pada pemberian terapi kombinasi metformin dan sulfonilurea didapatkan
penurunan kadar glukosa darah yang jauh lebih banyak ketimbang dengan
monoterapi, sedangkan terjadi penurunan nilai HbA1c yang cukup signifikan.
Pemberian terapi kombinasi lebih efektif dalam mengontrol hiperglikemia
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
dibandingkan dengan monoterapi pada pasien dengan glukosa darah tidak
terkontrol. Terapi kombinasi metformin-sulfonilurea memang memiliki efikasi
baik dalam pengontrolan kadar glukosa darah puasa, namun dalam pemberian
obat jangka panjang tanpa memerhatikan asupan makanan pasien. Sedangkan
pada pemberian obat metformin dalam dosis besar dapat menimbulkan efek
samping berupa gangguan gastrointestinal, namun tidak ada laporan kematian
pasien akibat kombinasi terapi metformin-sulfonilurea (Gumantara & Oktarlina,
2017).
Kepatuhan pengambilan obat terdapat 7 kasus dengan persentase (3,7%).
Menurut penelitian obat dikatakan 100% tepat karena, dari data rekam medik
menunjukan bahwa pasien diabetes melitus diberikan peresepan dalam jangka
waktu 1 bulan. Pemberian obat OAD (Obat Anti Diabetes) harus diminum secara
rutin dan tidak boleh putus karena pemberian obat yang terlalu singkat atau
terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
Dapat dilihat bahwa salah satu sarana kesehatan di Kabupaten Lamongan ini
terjadinya rekonsiliasi obat hanya sedikit dan yang tidak terjadinya rekonsiliasi
ini banyak berarti puskesmas ini bagus dalam melakukan pelayanan dalam
pemberian obat, penjelasan atau aturan cara pakai obat sudah benar, namun ada
beberapa pasien yang masih belum paham dalam pengunaan obat (Gustianto et
al., 2020).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di salah satu sarana
kesehatan di Kabupaten Lamongan tentang rekonsiliasi obat pada pasien
diabetes melitus, yang membandingkan suatu instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat oleh pasien yaitu hasilnya adalah yang sesuai dengan intruksi
yaitu 105 pasien dengan persentase (55,6%) dan yang tidak sesuai dengan
intruksi yaitu 84 dengan persentase (44,4%).

DAFTAR PUSTAKA

Almasdy, D., Sari, D. P., Darwin, D., & Kurniasih, N. (2016). Evaluasi Penggunaan
Obat Antidiabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Suatu Rumah Sakit
Pemerintah Kota Padang - Sumatera Barat. 02(01), 104–110.

Andrajati, R., & Trisna, Y. (2021). Analisis Efektivitas-Biaya Terapi Kombinasi


MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
Metformin-Insulin dan Metformin-Sulfonilurea pada Pasien Rawat Jalan dengan
Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUPN Dr . Cipto Mangunkusumo Cost-Effectiveness
Analysis of Metformin-Insulin and Metformin- Sulfonylurea Combination Therapy
in Outpatients with Type 2 Diabetes Mellitus at Dr . Cipto Mangunkusumo
Hospital. 10(1). https://doi.org/10.15416/ijcp.2021.10.1.10

Cao, X., Wang, D., Zhou, J., Yuan, H., & Chen, Z. (2017). Relationship between
dental caries and metabolic syndrome among 13 998 middle-aged urban
Chinese. Journal of Diabetes, 9(4), 378–385. https://doi.org/10.1111/1753-
0407.12424

Detty, A. utia, Fitriyani, N., Prasetya, T., & Florentina, B. (2020). Karakteristik
Ulkus Diabetikum Pada Penderita Diabetes Melitus. 11(1), 258–264.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v10i2.261

Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2021. (2021). Dinas Kesehatan Jawa Timur 2021. In
Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2021 (Vol. 3, Issue 1).
https://doi.org/10.21831/dinamika.v3i1.19144

Dinas kesehatan Kabupaten Lamongan. (2021). Profil Kesehatan Kabupaten


Lamongan. In Dinas kesehatan Kabupaten lamongan. Dinas Kesehatan
Kabupaten lamongan.

Dwi aulia. (2020). evaluasi rasionalitas penggunaan obat diabetes melitus. 1, 69–77.
Fatiha, C. N., Apoteker, K., Darah, K. G., & Questionnaire, M. A. (2021).
Peningkatan Kepatuhan Minum Obat Melalui Konseling Apoteker pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Halmahera Kota Semarang. 41–48.
https://doi.org/10.20961/jpscr.v6i1.39297

Gumantara, M. P. B., & Oktarlina, R. Z. (2017). Perbandingan Monoterapi dan


Kombinasi Terapi Sulfonilurea-Metformin terhadap Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2. Majority, 6(1), 55–59.

Gustianto, V., Sadik, D., & Gusti, Y. T. (2020). Hubungan Dukungan Keluarga
Dalam Program Prolanis Dengan Kepatuhan Minum Obat Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Rawat Inap Banjarsari Kota Metro Tahun 2019. 1(1),
1–11.

IDF. (2021). International Diabetes Federation. In Diabetes Research and Clinical


Practice (10th ed.). https://doi.org/10.1016/j.diabres.2013.10.013
Khairuzzaman, M. Q. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2016. 4(1), 64–75.

Manuel, J. T., Wiyono, W. I., & Jayanti, M. (2021). Identifikasi Ketidaksesuaian


Pengobatan pada Proses Rekonsiliasi Obat di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit.JurnalBiomedik:JBM,13(3),241.
https://doi.org/10.35790/jbm.13.3.2021.31769

Nazhipah, I., Mulyani, Muhammad, Z., & Riyadi, muhammad arif. (2021).
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol…, No…., 20…., Hal,……
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
Analisis Efektivitas Biaya (Cost-Effectiveness) Penggunaan Antidiabetes Oral
Kombinasi Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe Ii Rawat Jalan Di Rsud Dr. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. 4(April), 103–110.
https://doi.org/10.36387/jifi.v4i1.683

PERKENI. (2019). Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Dewasa Di Indonesia.

PERKENI. (2019). Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. In Angewandte


Chemie International Edition, 6(11), 951–952. (Issue 465).

PERKENI. (2021). Pedoman Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Dewasa Di Indonesia-2021 Perkeni I Penerbit Pb.

Resti, A., Tusy, T., Firhat, E., & Nugraha, fidel rama. (2021). Hubungan Antara
Usia, Jenis Kelamin, Dan Tingkat Pendidikan Dengan Kejadian Diabetes Mellitus
Di Klinik Mardi Waluyo Lampung Tengah. 5(September), 146–153.

Rismawati, A., Fathurrohmah, A., & Yunita, D. (2023). Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Yang Diterapi Rawat Jalan Dengan Anti Diabetik Oral. 3,
13005–13009.

Studer, H., Imfeld, T. L., Patrick, I., Marco, E. B., Rosen, C., Bodmer, M., Boeni, F.,
Hersberger, K. E., & Lampert, M. L. (2023). The impact of pharmacist ‑ led
medication reconciliation and interprofessional ward rounds on drug ‑
related problems at hospital discharge. International Journal of Clinical
Pharmacy, 45(1), 117–125. https://doi.org/10.1007/s11096-022-01496-3

You might also like