You are on page 1of 10

MAKALAH

KORUPSI DI TINJAU DARI ASPEK KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

OLEH:

TIARA RENATA

22092004132010.10

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN (FIIK)

S1 KESEHATAN MASYARAKAT

KENDARI

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji baji Allah swt yang telah memberikan saya kemudahan sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu saya tidak bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Solawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Saw
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Saya mengucapkan syukur pada Allah SWT atas
limpahan nikmat sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal fikiran, sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KORUPSI DI TINJAU DARI ASPEK KERUGIAN
KEUANGAN NEGARA”

Tentu makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan didalamnya.
Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca dari makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat kesalahan-kesalahan pada makalah ini saya
memohon maaf yang sebesar-esarnya.

Dan saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak, demikian semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B.RumusaNMasalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Korupsi dari aspek kerugian negara
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perilaku korupsi telah berlangsung ribuan tahun silam, dan korupsi merupakan
perbuatan yang dibenci dan dikutuk oleh banyak orang setiap generasi tanpa
memandang bangsa, ras, dan kepercayaan, bahkan Seorang Niccolo Machciavelli,
menyamakan para pemegang tampuk kekuasaan dan jabatan publik yang selalu
menyalah gunakan kekuasaannya untuk melakukan tindak korupsi sebagai orang-
orang kriminal yang suka merampok dan kejahatan-kejahatan yang merusak tatanan
kenegaraan. Korupsi adalah salah satu dari sekian bannyak masalah besar yang
sedang kita hadapi sekarang ini. korupsi telah menjadi salah satu faktor penghambat
kemajuan disegala bidang. Berbagai negara disegala penjuru dinai telah menjadikan
korupri sebagai msuh bersama, di Eropa, Afrika, Asia, Amerika. Tidak ada cara
mudah dan jalan pintas untuk memberantas korupsi. Korupsi, sampai tingkat tertentu
akan selalu hadir ditengah-tengah kita korupsi saat ini telah mewabah dan sistemik
menjangkau segala pemerintahan. Korupsi bukan hannya soaal pejabat publik yang
menyalahgunakan jabatannya, tetapi juga soal orang, setiap orang, yang
menyalahgunakan kedudukannya bila dengan demikian dapat memperoleh uang yang
melimpah dengan cara mudah dalam waktu singkat.
Walau ada banyak kemajuan di sektor lain dinengeri ini, namun tetap saja
korupsi menjadi masalah terbesar bangsa saat ini, telah banyak keuangan negara yang
bocor akibat dari korupsi baik atas motif kesengajaan atau kelalaian dengan
menguntungkan diri sendiri atau juga orang lain dan coorporasi. Gagalnya
pemberantasan korupsi selama ini sebabnya tidak saja kurangnya komitmen stack
holder, politik dan birokrat, termasuk juga lembaga pemberantas kosupsi utamanya
lembaga konvensional, namun juga minimnya moralitas yang dimiliki, keserakahan
melanda banyak kalangan. Dari pusat hingga daerah telah terjadi korupsi, para
penegak hukum. Korupsi di negeri ini bagai kangker dan benalu, ia melekat dan
menyebar hampir di segala lini kekuasaan, dari pusat hingga daerah, eksekutif,
legislative, yudikatif, pebisnis lokal, nasional hingga internasional. Kangker korupsi
juga melibatkan banyak kalangan dari berbagai latar belakang pendidkan, dari
tamatan SLTA, hingga yang berpangkat guru besar. Sehingga tidak heran secara
normatif bangsa ini telah menjadikan korupsi sebagai musuh bersama, dengan
menempatkannya sebagai kejahatan luar bisa (extraordinary crime).
Kian hari memuculkan istilah-istilah yang relative baru seperti ada korupsi
berjamaah, mafia hukum, mafia peradilan, mafia politik. Korupsi terjadi disebabkan
oleh banyak faktor, mulai dari desain konstitusi atau ketatanegaraan yang membuka
peluang melahirkan regulasi yang korup,komitmen pemimpin kekuasaan, rekruitmen
politik yang buruk, keserakahan, moral para penegak hukum, benturan antara
lembaga. Masalah korupsi juga berkaitan erat dengan kompleksitas masalah lainnya,
antara lain masalah sikap, mental/moral, pola/sikap hidup dan budaya sosial,
kebutuhan/tuntutan ekonomi, struktur/budaya politik, peluang yang ada di dalam
memkanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi di bidang pelayanan umum.
Busro Muqoddas menyatakan Korupsi di negeri ini melibatkan bianyak aktor mulai
dari birokrat pusat dan darah, pebisnis nasional-internasional, politisi pusat-daerah,
calo kasus, calo anggaran, penegak hukum, cukong proyek dan cukong politik.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi dari aspek kerugian keuangan negara?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa itu korupsi dari aspek kerugian keuangan negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Korupsi Dari Aspek Kerugian Negara


Korupsi di Indonesia telah menjadi wabah yang berkembang dengan sangat
subur dan tentunya berdampak pada kerugian keuangan Negara. Maraknya korupsi
telah mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia, misalnya dengan dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut di antaranya tindakan korupsi yang
menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Tindakan korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan Negara merupakan
salah satu tindak pidana yang memiliki hukuman yang paling berat di antara jenis
tindakan korupsi yang lain, hal ini tentunya sejalan dengan fungsi dari keuangan
Negara adalah untuk membiayai kegiatan Negara yang tujuannya adalah untuk
mensejahterahkan rakyat, selain itu salah satu sumber keuangan Negara adalah dari
kontribusi pajak dari rakyat. Untuk menjerat para pelaku korupsi dengan Undang-
Undang di atas maka harus terdapat unsur kerugian keuangan atau perekonomian
Negara yang harus dibuktikan seperti dijelaskan pada Pasal 2 UU Pemberantasan
Tipikor:
“ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Atau pada Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjarapaling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Oleh karena itu penghitungan dan pembuktian adanya kerugian keuangan
Negara sangatlah penting, selain untuk menjerat pelaku korupsi juga untuk
mengembalikan kerugian yang telah disebabkan oleh tindakan korupsi tersebut ke kas
Negara. Penghitungan kerugian keuangan Negara menjadi dasar bagi jaksa dalam
dakwaanya untuk menghitung seberapa besar Kerugian Keuangan Negara yang di
rugikan akibat perbuatan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi. Begitu pula
bagi hakim dalam menentukan besarnya kerugian Negara yang harus dikembalikan
oleh terdakwa. Penghitungan dan penentuan kerugian keuangan Negara menjadi salah
satu masalah yang sering muncul dan diperdebatkan dalam penyelesaian kasus tindak
pidana korupsi. Masing-masing aparat penegak hukum sering memberikan
interpretasi yang berbeda-beda, khususnya yang berkaitan dengan instansi mana yang
berwenang melakukan penghitungan dan penentuan jumlah kerugian keuangan
Negara dalam putusan pengadilan.
Tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan mengenai lembaga mana
yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan Negara, menjadi persoalan
dalam menentukan besarnya kerugian keuangan Negara akibat perbuatan terdakwa
dalam perkara tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan lembaga mana yang
berwenang dalam menghitung kerugian keuangan Negara terkait dengan tindak
pidana korupsi, UUPTPK sendiri tidak secara eksplisit mengaturnya, namun secara
implisit dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) UUPTPK, yang
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan
Negara adalah kerugian keuangan Negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Penjelasan ini untuk memperjelas rumusan yang ada dalam Pasal 32 ayat (1)
UUPTPK terkait dengan frasa “secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara.
Ketidakjelasan lembaga mana yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan
Negara, seringkali menjadi perdebatan oleh aparat penegak hukum, hal ini dapat
dilihat dalam kasus dugaan korupsi bimbingan teknis (bimtek) DPRD Surabaya
dengan tersangka Ketua DPRD Wisnu Wardhana. Dalam Kasus ini, terdakwa Wisnu
Wardhana keberatan dengan dakwaan jaksa mengenai besarnya kerugian keuangan
Negara, sebab jaksa menggunakan hasil hitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan selanjutnya disebut BPKP.
Terdakwa Wisnu Wardhana melalui pengacaranya merujuk pada Pasal 6 ayat
1 Undang-Undang Nomor 4 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan
yang selanjutnya disebut BPK yang menyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha
Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain. Hal serupa juga dialami dalam sidang kasus korupsi Solar Home System
(SHS) di Kementerian ESDM dengan terdakwa Jacob Poernomo. Terdakwa seringkali
mempersoalkan kewenangan BPKP dalam menghitung besarnya kerugian keuangan
Negara, hal ini dikarenakan hasil penghitungan BPKP terkadang tidak sesuai dengan
jumlah uang yang di korupsi.
Fenomena ini tentunya sangat merugikan para terdakwa. Hasil penghitungan
jumlah kerugian keuangan Negara, baik dari BPK maupun PBKP dalam dakwaan
jaksa, menjadi dilematis bagi hakim dalam menentukan lembaga mana yang
berwenang menghitung kerugian Negara yang kemudian menjadi acuan bagi hakim
melalui pertimbangan “nilai kerugian keuangan Negara” dan “pidana tambahan
pengembalian kerugian keuangan Negara”.
Dalam beberapa putusan hakim, ditemukan bahwa selain BPK, hakim juga
seringkali memakai hasil penghitungan kerugian keuangan Negara dari BPKP, hal ini
misalnya putusan Pengadilan Tinggi Pontianak tahun 2010 5 yang berjumlah 2 (dua)
perkara yang masing-masing diputus berdasarkan penghitungan dari BPK dan BPKP.
Implementasi penghitungan kerugian keuangan Negara oleh hakim yang
menggunakan baik lembaga BPK maupun BPKP dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum karena hasil penghitungan dari lembaga BPK belum tentu sama dengan hasil
penghitungan dari lembaga BPKP, sehingga dapat terjadi perbedaan penafsiran dalam
penghitungan kerugian keuangan Negara, akibatnya jika penghitungan kerugian
keuangan Negara melebihi hasil yang dikorupsi oleh terdakwa tindak pidana korupsi
maka dapat merugikan terdakwa, sebaliknya jika hasil penghitungan kerugian
keuangan Negara kurang dari hasil yang dikorupsi maka Negara yang akan dirugikan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Merugikan keuangan negara merupakan satu dari 7 jenis korupsi yang umum
terjadi. Jenis perbuatan yang merugikan negara ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu
mencari keuntungan dengan cara melawan hukum dan merugikan negara serta
menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan
negara.Syaratnya harus ada keuangan negara yang masih diberikan. Biasanya dalam
bentuk tender, pemberian barang, atau pembayaran pajak sekian yang dibayar sekian.
Kalau ada yang bergerak di sektor industri alam kehutanan atau pertambangan, itu
mereka ada policy tax juga agar mereka menyetorkan sekali pajak, semua itu kalau
terjadi curang nanti bisa masuk ke konteks ini (kerugian negara).

B. Saran
memberantas tindak pidana korupsi bisa melalui upaya koordinasi, supervisi,
monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-
undangan juga.
DAFTAR PUSTAKA

https://eprints.ums.ac.id/51967/3/BAB%201.pdf

http://e-journal.uajy.ac.id/8096/2/HK110598.pdf

https://www.liputan6.com/hot/read/5300289/mengenal-7-jenis-korupsi-dan-contohnya-yang-
sering-dilakukan?page=5

You might also like