Professional Documents
Culture Documents
Kelompok 3 - Nasikh Mansukh
Kelompok 3 - Nasikh Mansukh
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Ulumul Qur’an
dan Hadits
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Wati 223430385
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat yang telah Allah limpahkan kepada para hamba-Nya. Shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat dan orang-orang yang senantiasa berjalan di jalan Allah dan Sunnah Nabi
SAW.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
A. Kesimpulan ...............................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), h.
20-21.
1
Dengan mengulas nasikh mansukh pula, sejarah pensyariatan hukum-hukum
Islam dan rahasia-rahasianya dapat terungkap. Tujuan akhirnya adalah dapat
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan syariat Islam serta mengetahui
hikmah di balik nasikh mansukh. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
mengenai nasakh, khususnya dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
yang akan dibahas, yaitu:
1. Apa definisi nasikh mansukh?
2. Bagaimana pembagian dan macam-macam nasakh?
3. Bagaimana bentuk-bentuk nasakh dalam Al-Qur’an?
4. Apa syarat-syarat nasikh mansukh?
5. Apa saja surat-surat dalam Al-Qur’an yang terkena nasikh mansukh?
6. Bagaimana urgensi dan hikmah adanya nasikh mansukh?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dalam
penulisan makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui definisi nasikh mansukh
2. Untuk mengetahui pembagian dan macam-macam nasakh
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk nasakh dalam Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui syarat-syarat nasikh mansukh
5. Untuk mengetahui surat-surat dalam Al-Qur’an yang terkena nasikh mansukh
6. Untuk mengetahui urgensi dan hikmah nasikh mansukh.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasakh. Nasikh
adalah isim fâ'il dan mansukh adalah isim maf'ulnya. Kata nasakh adalah bentuk
masdar dari kata kerja masa lampau (fi’il madli) nasakha. Ditinjau dari sisi bahasa,
kata nasakh sendiri mengarah kepada dua arti2, yaitu:
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak
(pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-
ayatnya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Hajj: 52)
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (Q.S Al-Jaasiyah: 29)
Musthofa Dib Al-Bugha, Al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Daar al-Ulum al-
2
3
Yaitu bermakna memindahkan amal-amal ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran).
Dari definisi tentang nasakh di atas, dapat diketahui bahwa nasakh memiliki
makna yang berbeda-beda, yaitu membatalkan, menghilangkan, menghapus,
mengalihkan dan sebagainya. Namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih
ahli bahasa, pengertian nasakh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam
pengertian al-Izalah (mengangkat sesuatu dan menempatkan yang lain pada
tempatnya).4
3
Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), h. 34.
4
Musthafa Zaid, Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 67.
5
Musthofa Dib Al-Bugha, Al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Daar al-Ulum al-
Insaniyah, 1996), h. 140.
4
bertentangan (ta’arudh), yang tidak bisa diselesaikan dengan metodologi yang ada,
seperti, takhsih al-‘amm, taqyid al-muthlaq, dan lainnya.
Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada hukum syariat saja, seperti amr
(perintah) dan nahyi (larangan), baik secara shorih (jelas) dalam perintah ataupun
dengan lafadz khabar (berita) yang mengandung makna perintah dan larangan,
dengan syarat tidak berhubungan dengan urusan akidah yang merujuk kepada dzat
dan sifat Allah Swt, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, atau kepada etika berakhlak
dan prinsip-prinsip dasar ibadah dan muamalah.
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh Sunnah
dengan Sunnah dan nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an. Berikut penjelasannya:
6
Al-Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah, Daar al Kitab al ‘Araby),
h. 211.
5
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nasakh yang pertama ini telah disepakati oleh seluruh orang yang menyetujui
nasakh mengenai kebolehannya. Mansukh di bagian ini berupa hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an, kemudian dinasakh dengan nasikh
yang berupa dalil ayat Al-Qur’an pula.
Salah satu contohnya adalah ayat ‘iddah satu tahun, dinasakh dengan ayat
‘iddah empat bulan sepuluh hari. Ayat yang menjadi mansukh ialah Q.S Al-Baqarah
ayat 240 berikut:
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”
َ َوالاذِينَ يُت ََوفا ْونَ ِم ْنكُ ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََرباصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه ان أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو
ع ْش ًرا
6
b. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah mutawatirah
Para ulama berbeda pendapat; Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad dalam satu riwayat membolehkannya sebab masing-masing keduanya
dianggap wahyu. Dasar argumentasi mereka adalah firman Allah dalam Q.S An-
Najm ayat 3-4:
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Sementara itu Imam Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak nasakh seperti ini karena nasakh Al-Qur'an hanya boleh dengan Al-Qur'an
juga, berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 106:
ٌ يءٍ قَد
ِير َ علَ ٰى كُ ِل
ْ ش َ َّللا ِ ْ مِن آيَ ٍة أ َ ْو نُ ْن ِس َها نَأ
َ ت بِ َخي ٍْر ِم ْن َها أ َ ْو مِ ثْ ِل َها ۗ أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ ان ا َ َما نَ ْن
ْ س ْخ
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya (Q.S
Al-Baqarah: 106)
Sedang hadits menurut ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan
Al-Qur’an. Dengan begitu, jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al-Qur’an
dengan sunnah, karena Al-Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil
yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al-Baqarah ayat
106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik, dalam arti lebih
kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
Pada bagian ini, suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah dinasakh dengan
dalil syara’ yang merupakan sunnah juga. Contohnya ialah larangan ziarah kubur
yang dinasakh menjadi boleh. Haditsnya seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi
berikut:
7
ِ ارةِ القُب
ُ فَ ُز،ُور
ور ْوهَا َ إِنِي كُ ْنتُ نَ َه ْيتُكُ ْم
َ َع ْن ِزي
Tiga macam nasakh yang pertama dihukumi boleh. Adapun macam yang
keempat para ulama berbeda pendapat, seperti dalam permasalahan nasakh Al-
Qur’an dengan sunnah ahad di mana Jumhur Ulama tidak memperbolehkannya.
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh
dengan dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis
kemudian menjadi menghadap Kakbah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al-
Qur’an surah Al-Baqarah/2 ayat 144:
ْ فَ َو ِل َو ْج َهكَ ش
َط َر ا ْل َمس ِْج ِد ا ْل َح َر ِام
Nasakh yang terjadi dalam Al-Qur’an mempunyai tiga macam bentuk, yakni
naskh al-hukmi duna at-tilawah, naskh at-tilawah duna al-hukmi, dan naskh at-
tilawah wa al-hukmi ma’an, dan berikut penjabarannya:
8
1. Nasakh Hukum Sedangkan Tilawahnya Tetap (Naskh al-hukmi duna at-
tilawah)
9
Manna Al-Qaththan mengatakan bahwa ada hikmah di balik penghapusan
hukumnya saja namun tulisan dan bacaannnya tetap7, yaitu:
a. Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya dan untuk
diamalkan. Tilawahnya tetap ada sebab Al-Qur’an merupakan firman Allah
Swt. dan membacanya bernilai pahala.
b. Nasakh pada umumnya berguna untuk memberikan keringanan. Karena itu,
bacaan ayat tidak dinasakh untuk mengingatkan kembali mengenai ringan atau
beratnya suatu hukum sebagai nikmat dari Allah Swt.
Artinya: “Laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah
apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.”
7
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
231.
10
membacakan kepada Malik, dari ‘Abdullah ibn Abi Bakr, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah
RA berkata:
ٍ ت َم ْعلُو َما
َ ث ُ ام نُ ِس ْخن، َت يُ َح ِر ْمن ٍ ض َعا َ ع ْش ُر َر ِ َكانَ فِي َما أ ُ ْن ِز ُل فِي ا َ ْلقُ ْر:ع ْن َها قالت
َ :آن َ َُّللاي َاَ ض ِ شةَ َر َ ع ْن
َ ِعائ َ
ِ ِي فِي َما يُ ْق َرأ ُ مِ نَ ا َ ْلقُ ْر
آن َ َوه- صلى هللا عليه وسلم- َّللا ِ سو ُل َ ا َ فَت ُ ُوف،ت
ُ ِي َر ٍ ِب َخ ْم ٍس َم ْعلُو َما-
Artinya: “Dahulu yang dibaca dalam Al-Quran ialah 10 kali susuan itu
menyebabkan ke-mahram-an, kemudian itu dihapus (naskh) dengan 5 kali susuan
yang, kemudian Nabi Saw wafat dan itu (5 kali susuan) bagian yang dibaca di dalam
Al-Quran.” (HR Muslim)
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa pada awalnya penyusuan yang
menyebabkan adanya hubungan mahram ialah sepuluh kali penyusuan
sebagaimana yang diturunkan dalam Al-Qur’an, lalu lafal dan hukumnya dinasakh
menjadi lima kali penyusuan. Ketika Rasulullah Saw. meninggal dunia, ayat ini
masih dibaca oleh sebagian Sahabat lantaran turunnya wahyu tentang penasakhan
ayat ini sangat terlambat (menjelang Nabi wafat), sehingga hal itu samar bagi
sebagian sahabat lalu tetap membaca ayat yang dinasakh ini karena menyangkanya
masih bagian dari Al-Qur’an, maka dari itu ayat tersebut sudah tidak lagi ditemukan
dalam mushaf utsmani.
11
Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya nasakh menjadi
beberapa poin, yaitu:
Menurut Syekh Imam Abu Al-Hasan Ali Bin Ahmad Al-Wahidiy Al-Naisaburiy
dalam Acep Hermawan, menirukan ucapannya Abu Al-Qasim, bahwa surat-surat
Al-Quran dibagi menjadi empat kelompok:9
Pertama, surat yang bebas dari nasikh mansukh, ada 43 surat, yaitu:
8
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
231.
9
Asep Hermawan, ‘Ulumul Quran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 169-
173.
12
6. Al-Hadid 30. Al-Zalzalah
7. As-Shaf 31. Al-Adiyat
8. Al-Jumuah 32. Al-Qariah
9. At-Tahrim 33. At-Takatsur
10. Al-Mulk 34. Al-Humazah
11. Al-Haqqah 35. Al-Fiil
12. Nuh 36. Al-Quraisy
13. Al-Jin 37. Al-Ma’un
14. Al-Mursalat 38. Al-Kautsar
15. An-Naba’ 39. An-Nashr
16. An-Naziat 40. Al-Lahab
17. Al-Infithar 41. Al-Ikhlas
18. Al-Muthaffifin 42. Al-Falaq
19. Al-Insyiqaq 43. An-Nas
20. Al-Buruj
21. Al-Fajr
22. Al-Balad
23. Asy-Syams
24. Al-Lail
Kedua, surat yang di dalamnya terdapat nasikh tapi tidak terdapat mansukh,
ada 6 surat, yaitu:
1. Al-Fath 4. At-Thagabun
2. Al-Hasyr 5. At-Talaq
3. Al-Munafiqun 6. Al-A’la
Ketiga, surat yang di dalamya terdapat ayat-ayat mansukh tetapi tidak terdapat
ayat nasikh:
13
4. Hud 24. Al-Jatsiyah
5. Ar-Ra’d 25. Al-Ahqaf
6. Al-Hijr 26. Muhammad
7. An-Nahl 27. Qaf
8. Al-Isra 28. An-Najm
9. Al-Kahfi 29. At-Thariq
10. Thaha 30. Al-Ghasyiyah
11. Al-Mu’min 31. At-Tin
12. An-Naml 32. Al-Kafirun
13. Al-Qashas
14. Al-Ankabut
15. Ar-Rum
16. Luqman
17. Fussilat
18. Fatir
19. As-Shaffat
20. Shad
14
11. Al-Hajj 25. Al-Ashr
12. An-Nur
13. Al-Furqan
14. Asy-Syuara
15. Al-Ahzab
Ada 114 surat di dalam Al-Qur’an dan hanya 43 surat yang bebas nasakh. Hal
itu berarti ada 71 surat yang terkena nasakh (62,3% surat dari seluruh surat). Ini
menunjukkan bahwa sebagian surat di dalam Al-Qur’an menjadi nasakh, yakni
menduduki posisi hukum yang termuat pada ayat yang dinasakh.
Untuk mengetahui nasikh dan Mansukh sendiri, para ulama memberi pedoman
dengan mengidentifikasi beberapa cara berikut:
1. Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi Saw atau
sahabat, seperti dalam redaksi hadits diperbolehkannya ziarah kubur.
2. Konsensus (ijma’) umat, bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan
histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad
sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan: “Ayat ini turun pada
tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan
atau tahun sekian, jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu.”10
10
Rosihon Anwar, Pengantar ‘Ulum al Qur’an, 168-169. Bandingkan dengan al-
Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an,h. 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al Irfan fi
‘Ulum al Qur’an, 209. Abu Anwar, Ulum Al Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru, tp., 2002), h.
53.
15
untuk mengetahui nasakh. Di antaranya riwayat tentang Sayyidina ‘Ali ibn Abi
Thalib yang pernah bertanya kepada seorang qadhi (hakim): “Apakah anda
mengetahui tentang nasikh dan mansukh?” Hakim menjawab: “Tidak”, Sayyidina
‘Ali-pun berkata: “Kamu bisa celaka dan kamu-pun akan mencelakai orang lain.”11
Riwayat lain ialah penafsiran Ibnu Abbas pada Q.S Al-Baqarah ayat 269:
Yang dimaksud al-hikmah pada ayat di atas yaitu nasikh, mansukh, muhkam,
mutasyabih, (ayat) terdahulu, (ayat) terakhir, halal dan haram.
Selain itu, sebagai bukti pentingnya mengetahui nasikh dan mansukh dan
keaguangannya, banyak ulama yang memiliki konsen dan perhatian dalam kajian
ini termasuk tersebar luasnya kitab-kitab dengan tema nasikh mansukh.
1. Untuk menunjukan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling
sempurna. Syariat Islam mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia
dari segala periodenya mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad
SAW.
3. Untuk menjaga perkembangan hukum Islam yang selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat dari sederhana sampai tingkat sempurna
4. Untuk menguji muallaf, apakah mereka setia atau tidak dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasikh mansukh
11
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
225-226.
12
Abdul Djalal, ‘Ulumul Quran, Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), H. 148-149.
16
5. Kehendak Allah untuk kebaikan dan kemudahan umat, karena apabila nasakh
itu diganti dengan lebih berat maka akan terdapat tambahan pahala, dan apabila
nasakh diganti dengan lebih ringan maka itu merupakan kemudahan
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketiga, nasakh di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam bentuk, yakni
naskh al-hukmi duna at-tilawah, naskh at-tilawah duna al-hukmi, dan naskh at-
tilawah wa al-hukmi ma’an.
Kelima, ada 114 surat di dalam Al-Qur’an dan hanya 43 surat yang bebas
nasakh. Hal itu berarti ada 71 surat yang terkena nasakh (62,3% surat dari seluruh
surat). Surat-surat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat kelompok, yaitu surat-
surat yang di dalamnya terbebas dari nasikh mansukh, surat yang di dalamnya
terdapat ayat nasikh tanpa mansukh, lalu surat yang di dalamnya terdapat ayat
18
mansukh tanpa nasikh, dan yang terakhir ialah surat yang di dalamnya terdapat
ayat-ayat nasikh beserta mansukhnya.
Keenam, nasikh mansukh memiliki urgensitas yang sangat besar, terutama bagi
fuqaha, ushuliyyin dan mufassirin. Atas dasar tersebut, nasikh mansukh memiliki
hikmah agung, di antaranya:
19
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Jalal al-Din. 1990. Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār Al-Fikr.
Hermawan, Acep. 2013. ‘Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
20