You are on page 1of 23

NASIKH DAN MANSUKH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Ulumul Qur’an
dan Hadits

Dosen Pengampu: Dr. Muh. Ubaidillah Al-Ghifary Slamet, Lc, M.P.I.

Disusun Oleh:
Kelompok 3

Arini Saila Haq 223430372

Fitri Nabilah 223430389

Wati 223430385

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


PASCASARJANA MAGISTER (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
TA. 1445 H/2023 M
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat yang telah Allah limpahkan kepada para hamba-Nya. Shalawat serta salam
senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat dan orang-orang yang senantiasa berjalan di jalan Allah dan Sunnah Nabi
SAW.

Atas hidayah serta rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang


merupakan tugas pada mata kuliah Studi Ulumul Qur’an dan Hadits. Kami
sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Muh. Ubaidillah Al-Ghifary Slamet, Lc,
M.P.I. selaku dosen mata kuliah Studi Ulumul Qur’an dan Hadits yang sudah
memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan


kesalahan, baik segi isi maupun penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
berharap kritik dan saran yang positif untuk perbaikan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan wawasan kita.

Jakarta, 05 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

A. Latar Belakang ..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................3

A. Definisi Nasikh Mansukh .................................................................................3

B. Pembagian dan Macam-Macam Nasakh ...........................................................5

C. Bentuk-Bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an .........................................................8

D. Syarat-Syarat Nasikh Mansukh....................................................................... 11

E. Surat-Surat dalam Al-Qur’an yang Terkena Nasikh Mansukh .......................12

F. Urgensi dan Hikmah Nasikh Mansukh ...........................................................15

BAB III PENUTUP .......................................................................................17

A. Kesimpulan ...............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar dalam sejarah ke-Rasul-an Nabi


Muhammad Saw. Selain eksistensi Al-Qur’an yang tidak pernah rapuh oleh
tantangan zaman, salah satu sisi kemukjizatan lainnya ialah kandungan ayat Al-
Qur’an yang senantiasa absah dan relevan dalam menjawab problematika
perkembangan zaman.

Al-Qur’an merefleksikan firman Allah dalam pesan-pesan ilahiyah yang


dimuat di tiap ayatnya. Ijtihad untuk memahami kandungan ayat Al-Qur’an dalam
menemukan pesan ideal Allah merupakan keniscayaan dan keharusan. Upaya
menemukan makna ideal tersebut tentu membutuhkan kerja-kerja penafsiran yang
total, karena kehadiran Al-Qur’an yang tersurat sangat membutuhkan
penginterpretasian dalam rangka kemaslahatan umat manusia.

Allah memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk


menginterpretasikan isi Al-Qur’an dengan tetap berpijak pada penguasaan
komprehensif mengenai teori-teori Ulumul Qur’an dan berbagai teori keilmuan
lain. Salah satu bagian penting dari teori atau bahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an ialah
nasikh dan mansukh.

Tuntutan kebutuhan setiap umat yang berbeda di tiap zamannya menjadi


landasan mengapa teori ini perlu dikaji secara mendalam. Dengan mempelajari
nasikh mansukh, pengetahuan tentang Al-Qur’an tidak menjadi kacau dan kabur.
Hal ini selaras dengan yang telah dikutip Imam Jalal al-Din al-Suyuti dari pendapat
para ulama, beliau mengatakan bahwa “tidak dibenarkan bagi seseorang untuk
menafsirkan kitab Allah kecuali setelah ia mengetahui nasikh mansukh.”1

1
Imam Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), h.
20-21.

1
Dengan mengulas nasikh mansukh pula, sejarah pensyariatan hukum-hukum
Islam dan rahasia-rahasianya dapat terungkap. Tujuan akhirnya adalah dapat
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan syariat Islam serta mengetahui
hikmah di balik nasikh mansukh. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
mengenai nasakh, khususnya dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah
yang akan dibahas, yaitu:
1. Apa definisi nasikh mansukh?
2. Bagaimana pembagian dan macam-macam nasakh?
3. Bagaimana bentuk-bentuk nasakh dalam Al-Qur’an?
4. Apa syarat-syarat nasikh mansukh?
5. Apa saja surat-surat dalam Al-Qur’an yang terkena nasikh mansukh?
6. Bagaimana urgensi dan hikmah adanya nasikh mansukh?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan dalam
penulisan makalah ini ialah:
1. Untuk mengetahui definisi nasikh mansukh
2. Untuk mengetahui pembagian dan macam-macam nasakh
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk nasakh dalam Al-Qur’an
4. Untuk mengetahui syarat-syarat nasikh mansukh
5. Untuk mengetahui surat-surat dalam Al-Qur’an yang terkena nasikh mansukh
6. Untuk mengetahui urgensi dan hikmah nasikh mansukh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Nasikh Mansukh

Kata nasikh dan mansukh merupakan bentuk ubahan dari kata nasakh. Nasikh
adalah isim fâ'il dan mansukh adalah isim maf'ulnya. Kata nasakh adalah bentuk
masdar dari kata kerja masa lampau (fi’il madli) nasakha. Ditinjau dari sisi bahasa,
kata nasakh sendiri mengarah kepada dua arti2, yaitu:

1. Memiliki arti “Izaalatu syai’in wa i’daamuhu,” yaitu menghilangkan


sesuatu dan meniadakannya atas dasar Allah SWT, sebagaimana dalam firman-
Nya:

‫َّللاُ َما يُ ْلقِي ال ا‬


َ ‫ش ْي‬
‫طا ُن‬ َ ‫طا ُن فِي أ ُ ْمنِياتِ ِه فَيَ ْن‬
‫س ُخ ا‬ ‫س ْلنَا ِم ْن قَ ْبلِكَ م ِْن َرسُو ٍل َو ََل نَبِي ٍ إِ اَل إِذَا ت َ َمنا ٰى أ َ ْلقَى ال ا‬
َ ‫ش ْي‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬
‫علِي ٌم َحكِي ٌم‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ث ُ ام يُحْ ِك ُم ا‬
‫َّللاُ آيَاتِ ِه ۗ َو ا‬

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak
(pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-
ayatnya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Hajj: 52)

2. Memiliki arti “Naqlu al syay’i wa tahwiluhu ma’a baqaaihi fi nafsihi” yaitu


menyalin dan memindahkan sesuatu dengan tetap menjaga perkara yang disalin
tersebut. Makna ini diambil dari penuturan ayat Al-Qur’an:

َ‫ِإناا كُناا نَ ْست َ ْن ِس ُخ َما كُ ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُون‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (Q.S Al-Jaasiyah: 29)

Musthofa Dib Al-Bugha, Al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Daar al-Ulum al-
2

Insaniyah, 1996), h. 140.

3
Yaitu bermakna memindahkan amal-amal ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran).

Adapun Imam Al-Zarkasyi berpendapat, an-naskh bisa diartikan ke dalam


empat makna, yatu bermakna al-Izalah (menghilangkan/menghapus) sesuai Q.S Al
Hajj: 52, at-Tabdiil (mengganti) seperti dalam firman Allah SWT; “wa idza
baddalnaa aayatan makaana aayatin” dalam Q.S An-Nahl: 101, bisa berarti at-
Tahwil (mengubah), dan juga berarti an-Naql (memindah).3

Dari definisi tentang nasakh di atas, dapat diketahui bahwa nasakh memiliki
makna yang berbeda-beda, yaitu membatalkan, menghilangkan, menghapus,
mengalihkan dan sebagainya. Namun dari sekian banyak definisi itu, menurut tarjih
ahli bahasa, pengertian nasakh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam
pengertian al-Izalah (mengangkat sesuatu dan menempatkan yang lain pada
tempatnya).4

Sedangkan secara istilah, Ushuliyyun dan Fuqoha mendefinisikan nasakh


dengan arti “rof’u as syaari’ hukman syar’iyyan bi dalilin syar’iyyin mutaraakhin
‘anhu” yaitu pengangkatan (penghapusan) oleh as-Syaari’ (Allah SWT) terhadap
hukum syara’ (yang lampau) dengan dalil syara’ yang terbaru. Yang dimaksud
dengan pengangkatan hukum syara’ adalah penghapusan kontinuitas pengamalan
hukum tersebut dengan mengamalkan hukum yang ditetapkan terakhir.5

Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa nasakh secara terminologi


adalah ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut
atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang berlaku adalah yang ditetapkan belakangan. Di antara kedua hukum
tersebut ada pesan-pesan yang sekilas nampak bertentangan dan tidak bisa
dikompromikan. Teori nasakh ini diberlakukan sebagai metodologi alternatif untuk
mengakhiri problem kontradiktif di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap

3
Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,
2009), h. 34.
4
Musthafa Zaid, Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 67.
5
Musthofa Dib Al-Bugha, Al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Daar al-Ulum al-
Insaniyah, 1996), h. 140.

4
bertentangan (ta’arudh), yang tidak bisa diselesaikan dengan metodologi yang ada,
seperti, takhsih al-‘amm, taqyid al-muthlaq, dan lainnya.

Adapun hukum yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan hukum yang


membatalkan disebut nasikh. Nasikh dapat bermakna pembatalan terhadap sesuatu
yang telah terjadi sebelumnya, sementara mansukh bermakna sesuatu yang telah
terjadi dibatalkan karena adanya yang membatalkan (nasikh).

Ilmu nasikh mansukh memegang peranan penting dalam penafsiran Al-Qur'an.


Kajian seputar nasakh tidak hanya terdapat dalam diskursus Ulumul Qur'an, namun
juga dalam Ushul al-Fiqh karena sangat terkait dengan penetapan syariat.

Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada hukum syariat saja, seperti amr
(perintah) dan nahyi (larangan), baik secara shorih (jelas) dalam perintah ataupun
dengan lafadz khabar (berita) yang mengandung makna perintah dan larangan,
dengan syarat tidak berhubungan dengan urusan akidah yang merujuk kepada dzat
dan sifat Allah Swt, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, atau kepada etika berakhlak
dan prinsip-prinsip dasar ibadah dan muamalah.

Menurut az-Zarqani, nasakh hanya terjadi pada hukum-hukum yang


berhubungan dengan furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang
mengakui nasakh. Adapun yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan
etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat, dan berita-berita mahdhah, maka
menurut jumhur ulama tidak terjadi nasakh padanya.6

B. Pembagian dan Macam-Macam Nasakh

Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh Sunnah
dengan Sunnah dan nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an. Berikut penjelasannya:

6
Al-Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah, Daar al Kitab al ‘Araby),
h. 211.

5
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Nasakh yang pertama ini telah disepakati oleh seluruh orang yang menyetujui
nasakh mengenai kebolehannya. Mansukh di bagian ini berupa hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an, kemudian dinasakh dengan nasikh
yang berupa dalil ayat Al-Qur’an pula.

Salah satu contohnya adalah ayat ‘iddah satu tahun, dinasakh dengan ayat
‘iddah empat bulan sepuluh hari. Ayat yang menjadi mansukh ialah Q.S Al-Baqarah
ayat 240 berikut:

َ ‫اج ِه ْم َمت َاعًا ِإلَى ا ْل َح ْو ِل‬


ٍ ‫غي َْر ِإ ْخ َر‬
‫اج‬ ِ ‫َوالاذِينَ يُت ََوفا ْونَ ِم ْنكُ ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا َو‬
ِ ‫صياةً ِِل َ ْز َو‬

Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”

Lalu nasikh ayat di atas ialah Q.S Al-Baqarah ayat 234:

َ ‫َوالاذِينَ يُت ََوفا ْونَ ِم ْنكُ ْم َويَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََرباصْنَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه ان أ َ ْربَعَةَ أ َ ْش ُه ٍر َو‬
‫ع ْش ًرا‬

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan


istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari.”

2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah

Nasakh pada bagian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah ahadiyah (hadits ahad)

Jumhur ulama berpendapat hadis ahad tidak bisa menasakhkan Al-Qur’an,


karena Al-Qur’an adalah nash yang mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada
praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadits ahad adalah nash yang bersifat
zhanni. Maka tidak sah menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang
bersifat dugaan/diduga.

6
b. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah mutawatirah

Para ulama berbeda pendapat; Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad dalam satu riwayat membolehkannya sebab masing-masing keduanya
dianggap wahyu. Dasar argumentasi mereka adalah firman Allah dalam Q.S An-
Najm ayat 3-4:

ٌ ْ‫ع ِن ا ْل َه َو ٰى إِ ْن ه َُو إِ اَل َوح‬


‫ي يُو َح ٰى‬ َ ُ‫َو َما يَ ْنطِ ق‬

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Sementara itu Imam Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak nasakh seperti ini karena nasakh Al-Qur'an hanya boleh dengan Al-Qur'an
juga, berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 106:

ٌ ‫يءٍ قَد‬
‫ِير‬ َ ‫علَ ٰى كُ ِل‬
ْ ‫ش‬ َ ‫َّللا‬ ِ ْ ‫مِن آيَ ٍة أ َ ْو نُ ْن ِس َها نَأ‬
َ ‫ت بِ َخي ٍْر ِم ْن َها أ َ ْو مِ ثْ ِل َها ۗ أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ ان ا‬ َ ‫َما نَ ْن‬
ْ ‫س ْخ‬

Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya (Q.S
Al-Baqarah: 106)

Sedang hadits menurut ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan
Al-Qur’an. Dengan begitu, jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al-Qur’an
dengan sunnah, karena Al-Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil
yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al-Baqarah ayat
106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik, dalam arti lebih
kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.

3. Nasakh Sunnah dengan Sunnah

Pada bagian ini, suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah dinasakh dengan
dalil syara’ yang merupakan sunnah juga. Contohnya ialah larangan ziarah kubur
yang dinasakh menjadi boleh. Haditsnya seperti yang diriwayatkan At-Tirmidzi
berikut:

7
ِ ‫ارةِ القُب‬
ُ ‫ فَ ُز‬،‫ُور‬
‫ور ْوهَا‬ َ ‫إِنِي كُ ْنتُ نَ َه ْيتُكُ ْم‬
َ َ‫ع ْن ِزي‬

Artinya: “Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah.”


(Riwayat At-Tirmidzi)

Nasakh sunnah dengan sunnah terbagi pada empat macam, yaitu:

1) Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir

2) Nasakh sunnah ahad dengan sunnah ahad

3) Nasakh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir

4) Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.

Tiga macam nasakh yang pertama dihukumi boleh. Adapun macam yang
keempat para ulama berbeda pendapat, seperti dalam permasalahan nasakh Al-
Qur’an dengan sunnah ahad di mana Jumhur Ulama tidak memperbolehkannya.

4. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an

Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh
dengan dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis
kemudian menjadi menghadap Kakbah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al-
Qur’an surah Al-Baqarah/2 ayat 144:

ْ ‫فَ َو ِل َو ْج َهكَ ش‬
‫َط َر ا ْل َمس ِْج ِد ا ْل َح َر ِام‬

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu menuju Masjid al-Haram.”

C. Bentuk-Bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an

Nasakh yang terjadi dalam Al-Qur’an mempunyai tiga macam bentuk, yakni
naskh al-hukmi duna at-tilawah, naskh at-tilawah duna al-hukmi, dan naskh at-
tilawah wa al-hukmi ma’an, dan berikut penjabarannya:

8
1. Nasakh Hukum Sedangkan Tilawahnya Tetap (Naskh al-hukmi duna at-
tilawah)

Yaitu penghapusan hukum sedangkan tilawahnya masih tetap. Contohnya


menasakh ayat ‘iddah satu tahun dalam Q.S Al-Baqarah ayat 240 dengan ayat
‘iddah empat bulan sepuluh hari dalam Q.S Al-Baqarah ayat 234. Hukum ‘iddah
dengan satu tahun sudah dinasakh akan tetapi tilawah atau bacaannya masih ada di
dalam Al-Qur’an.

Contoh lainnya yaitu terdapat dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 12 berikut:

ْ َ ‫صدَقَةً ۚ ٰذَلِكَ َخي ٌْر لَكُ ْم َوأ‬


‫ط َه ُر ۚ فَإِ ْن لَ ْم ت َِجدُوا فَإِ ان‬ َ ‫ي نَج َْواكُ ْم‬ ‫يَا أَيُّ َها الاذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نَا َج ْيت ُ ُم ا‬
ْ َ‫الرسُو َل فَقَ ِد ُموا بَيْنَ يَد‬
ٌ ‫غ ُف‬
‫ور َرحِ ي ٌم‬ َ ‫َّللا‬َ‫ا‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu (ingin) melakukan


pembicaraan rahasia dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Hal itu lebih baik
bagimu dan lebih bersih. Akan tetapi, jika kamu tidak mendapatkan (apa yang akan
disedekahkan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini kemudian dinasakh hukumnya dengan Q.S Al-Mujadilah ayat 13


berikut:

َ ‫الزكَاة‬ ‫علَ ْيكُ ْم فَأَقِي ُموا ال ا‬


‫ص ََلة َ َوآتُوا ا‬ ‫َاب ا‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ت ۚ فَإِذْ لَ ْم ت َ ْفعَلُوا َوت‬ ْ َ‫أَأ َ ْشفَ ْقت ُ ْم أ َ ْن تُقَ ِد ُموا بَيْنَ يَد‬
َ ‫ي نَ ْج َواكُ ْم‬
ٍ ‫صدَقَا‬
َ‫ير بِ َما ت َ ْع َملُون‬ َ ‫َوأَطِ يعُوا ا‬
‫َّللا َو َرسُولَهُ ۚ َو ا‬
ٌ ِ‫َّللاُ َخب‬

Artinya: “Apakah kamu takut (menjadi miskin) jika mengeluarkan sedekah


sebelum (melakukan) pembicaraan rahasia dengan Rasul? Jika kamu tidak
melakukannya dan Allah mengampunimu, tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat,
serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.”

9
Manna Al-Qaththan mengatakan bahwa ada hikmah di balik penghapusan
hukumnya saja namun tulisan dan bacaannnya tetap7, yaitu:

a. Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya dan untuk
diamalkan. Tilawahnya tetap ada sebab Al-Qur’an merupakan firman Allah
Swt. dan membacanya bernilai pahala.
b. Nasakh pada umumnya berguna untuk memberikan keringanan. Karena itu,
bacaan ayat tidak dinasakh untuk mengingatkan kembali mengenai ringan atau
beratnya suatu hukum sebagai nikmat dari Allah Swt.

2. Nasakh Tilawah Sedangkan Hukumnya Tetap (Naskh at-tilawah duna al-


hukmi)

Yaitu penghapusan tilawahnya sedangkan hukumnya tetap berlaku. Salah satu


contoh nasakh macam ini seperti ayat rajam yang mula-mulanya terbilang ayat Al-
Qur’an. Kemudian ayat ini dinyatakan telah dinasakhkan bacaannya, sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidina Umar
bin Al-Khattab mengenai bunyi ayat tersebut:

‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم‬ ِ َ‫ار ُج ُموهُ َما ا ْل َبتاةَ نَكَاَلً مِن‬


َ ُ‫هللا َو هللا‬ ْ َ‫ش ْي َخةُ ِإذَا زَ نَ َيا ف‬
‫ش ْي ُخ َوال ا‬
‫ال ا‬

Artinya: “Laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah
apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.”

3. Nasakh Hukum dan Tilawah (Naskh at-tilawah wa al-hukmi ma’an)

Yaitu penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Contohnya


seperti yang dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Yahya ibn Yahya, ia

7
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
231.

10
membacakan kepada Malik, dari ‘Abdullah ibn Abi Bakr, dari ‘Amrah, dari ‘Aisyah
RA berkata:

ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬
َ‫ ث ُ ام نُ ِس ْخن‬، َ‫ت يُ َح ِر ْمن‬ ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫ع ْش ُر َر‬ ِ ‫ َكانَ فِي َما أ ُ ْن ِز ُل فِي ا َ ْلقُ ْر‬:‫ع ْن َها قالت‬
َ :‫آن‬ َ ُ‫َّللا‬‫ي َا‬َ ‫ض‬ ِ ‫شةَ َر‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِ‫عائ‬ َ
ِ ‫ِي فِي َما يُ ْق َرأ ُ مِ نَ ا َ ْلقُ ْر‬
‫آن‬ َ ‫ َوه‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل َ ا‬ َ ‫ فَت ُ ُوف‬،‫ت‬
ُ ‫ِي َر‬ ٍ ‫ ِب َخ ْم ٍس َم ْعلُو َما‬-

Artinya: “Dahulu yang dibaca dalam Al-Quran ialah 10 kali susuan itu
menyebabkan ke-mahram-an, kemudian itu dihapus (naskh) dengan 5 kali susuan
yang, kemudian Nabi Saw wafat dan itu (5 kali susuan) bagian yang dibaca di dalam
Al-Quran.” (HR Muslim)

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa pada awalnya penyusuan yang
menyebabkan adanya hubungan mahram ialah sepuluh kali penyusuan
sebagaimana yang diturunkan dalam Al-Qur’an, lalu lafal dan hukumnya dinasakh
menjadi lima kali penyusuan. Ketika Rasulullah Saw. meninggal dunia, ayat ini
masih dibaca oleh sebagian Sahabat lantaran turunnya wahyu tentang penasakhan
ayat ini sangat terlambat (menjelang Nabi wafat), sehingga hal itu samar bagi
sebagian sahabat lalu tetap membaca ayat yang dinasakh ini karena menyangkanya
masih bagian dari Al-Qur’an, maka dari itu ayat tersebut sudah tidak lagi ditemukan
dalam mushaf utsmani.

D. Syarat-Syarat Nasikh dan Mansukh

Terjadinya nasakh harus memenuhi beberapa syarat:

1. Hukum yang dinasakh harus bersifat hukum syar’i.


2. Dalil yang berfungsi menghapus hukum berupa khitab syar’i (wahyu ilahi) yang
muncul lebih akhir dari pada khitab yang dinasakh hukumnya.
3. Khitab yang dihapus hukumnya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apabila
dibatasi waktu maka hukum tersebut terhapus dengan habis masa waktunya dan
tidak dianggap sebagai nasakh.

11
Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya nasakh menjadi
beberapa poin, yaitu:

1. Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada


mansukh.
2. Yang mansukh harus lebih awal dari nasikh.
3. Hukum yang dinasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah,
larangan, dan hukuman.
4. Hukum yang dinasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang
waktu.
5. Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya
nasikh.
6. Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang zhanni
tidak bisa menasakhkan yang qath’i. Tentu tidak sah pula dalil yang besifat ahad
untuk menasakhkan dalil yang mutawatir.8

E. Surat-Surat dalam Al-Qur’an yang Terkena Nasikh Mansukh

Menurut Syekh Imam Abu Al-Hasan Ali Bin Ahmad Al-Wahidiy Al-Naisaburiy
dalam Acep Hermawan, menirukan ucapannya Abu Al-Qasim, bahwa surat-surat
Al-Quran dibagi menjadi empat kelompok:9

Pertama, surat yang bebas dari nasikh mansukh, ada 43 surat, yaitu:

1. Al-Fatihah 25. Ad-Duha


2. Yusuf 26. Al-Insyirah
3. Yaasin 27. Al-Alaq
4. Al-Hujurat 28. Al-Qadr
5. Ar-Rahman 29. Al-Infithar

8
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
231.
9
Asep Hermawan, ‘Ulumul Quran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), h. 169-
173.

12
6. Al-Hadid 30. Al-Zalzalah
7. As-Shaf 31. Al-Adiyat
8. Al-Jumuah 32. Al-Qariah
9. At-Tahrim 33. At-Takatsur
10. Al-Mulk 34. Al-Humazah
11. Al-Haqqah 35. Al-Fiil
12. Nuh 36. Al-Quraisy
13. Al-Jin 37. Al-Ma’un
14. Al-Mursalat 38. Al-Kautsar
15. An-Naba’ 39. An-Nashr
16. An-Naziat 40. Al-Lahab
17. Al-Infithar 41. Al-Ikhlas
18. Al-Muthaffifin 42. Al-Falaq
19. Al-Insyiqaq 43. An-Nas
20. Al-Buruj
21. Al-Fajr
22. Al-Balad
23. Asy-Syams
24. Al-Lail

Kedua, surat yang di dalamnya terdapat nasikh tapi tidak terdapat mansukh,
ada 6 surat, yaitu:
1. Al-Fath 4. At-Thagabun
2. Al-Hasyr 5. At-Talaq
3. Al-Munafiqun 6. Al-A’la

Ketiga, surat yang di dalamya terdapat ayat-ayat mansukh tetapi tidak terdapat
ayat nasikh:

1. Al-An’am 21. Az-Zumar


2. Al-A’raf 22. Az-Zukhruf
3. Yunus 23. Ad-Dukhan

13
4. Hud 24. Al-Jatsiyah
5. Ar-Ra’d 25. Al-Ahqaf
6. Al-Hijr 26. Muhammad
7. An-Nahl 27. Qaf
8. Al-Isra 28. An-Najm
9. Al-Kahfi 29. At-Thariq
10. Thaha 30. Al-Ghasyiyah
11. Al-Mu’min 31. At-Tin
12. An-Naml 32. Al-Kafirun
13. Al-Qashas
14. Al-Ankabut
15. Ar-Rum
16. Luqman
17. Fussilat
18. Fatir
19. As-Shaffat
20. Shad

Keempat, surat yang mengandung nasikh dan mansukh, berjumlah 25 surat,


yaitu:

1. Al-Baqarah 16. Saba’


2. Ali-Imran 17. Al-Mu’minun
3. An-Nisa 18. Asy-Syu’ara
4. Al-Maidah 19. Adz-Dzariyat
5. Al-Anfal 20. At-Thur
6. At-Taubah 21. Al-Waqiah
7. Ibrahim 22. Al-Mujaadilah
8. Al-Kahfi 23. Al-Muzammil
9. Maryam 24. Al-Kautsar
10. Al-Anbiya

14
11. Al-Hajj 25. Al-Ashr
12. An-Nur
13. Al-Furqan
14. Asy-Syuara
15. Al-Ahzab

Ada 114 surat di dalam Al-Qur’an dan hanya 43 surat yang bebas nasakh. Hal
itu berarti ada 71 surat yang terkena nasakh (62,3% surat dari seluruh surat). Ini
menunjukkan bahwa sebagian surat di dalam Al-Qur’an menjadi nasakh, yakni
menduduki posisi hukum yang termuat pada ayat yang dinasakh.

Untuk mengetahui nasikh dan Mansukh sendiri, para ulama memberi pedoman
dengan mengidentifikasi beberapa cara berikut:

1. Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi Saw atau
sahabat, seperti dalam redaksi hadits diperbolehkannya ziarah kubur.
2. Konsensus (ijma’) umat, bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan
histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad
sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan: “Ayat ini turun pada
tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan
atau tahun sekian, jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu.”10

F. Urgensi dan Hikmah Nasikh Mansukh

Dalam mengetahui nasikh mansukh di dalam Al-Qur’an terdapat urgensitas


yang sangat besar, terutama bagi fuqaha, ushuliyyin dan mufassirin, sehingga dalam
proses menentukan hukum tidak keliru. Karena itu, banyak atsar tentang anjuran

10
Rosihon Anwar, Pengantar ‘Ulum al Qur’an, 168-169. Bandingkan dengan al-
Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an,h. 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al Irfan fi
‘Ulum al Qur’an, 209. Abu Anwar, Ulum Al Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru, tp., 2002), h.
53.

15
untuk mengetahui nasakh. Di antaranya riwayat tentang Sayyidina ‘Ali ibn Abi
Thalib yang pernah bertanya kepada seorang qadhi (hakim): “Apakah anda
mengetahui tentang nasikh dan mansukh?” Hakim menjawab: “Tidak”, Sayyidina
‘Ali-pun berkata: “Kamu bisa celaka dan kamu-pun akan mencelakai orang lain.”11

Riwayat lain ialah penafsiran Ibnu Abbas pada Q.S Al-Baqarah ayat 269:

َ ‫َو َم ْن يُؤْ تَ ا ْلحِ ْك َمةَ فَقَدْ أُوت‬


ً ‫ِي َخي ًْرا َكث‬
‫ِيرا‬

Artinya: “Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah


dianugerahi karunia yang banyak.”

Yang dimaksud al-hikmah pada ayat di atas yaitu nasikh, mansukh, muhkam,
mutasyabih, (ayat) terdahulu, (ayat) terakhir, halal dan haram.

Selain itu, sebagai bukti pentingnya mengetahui nasikh dan mansukh dan
keaguangannya, banyak ulama yang memiliki konsen dan perhatian dalam kajian
ini termasuk tersebar luasnya kitab-kitab dengan tema nasikh mansukh.

Adapun hikmah nasikh mansukh secara umum adalah sebagai berikut:12

1. Untuk menunjukan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling
sempurna. Syariat Islam mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia
dari segala periodenya mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad
SAW.

2. Selalu menjaga kemasalahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa


terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman

3. Untuk menjaga perkembangan hukum Islam yang selalu relevan dengan semua
situasi dan kondisi umat dari sederhana sampai tingkat sempurna

4. Untuk menguji muallaf, apakah mereka setia atau tidak dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasikh mansukh

11
Manna Al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tt.), h.
225-226.
12
Abdul Djalal, ‘Ulumul Quran, Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), H. 148-149.

16
5. Kehendak Allah untuk kebaikan dan kemudahan umat, karena apabila nasakh
itu diganti dengan lebih berat maka akan terdapat tambahan pahala, dan apabila
nasakh diganti dengan lebih ringan maka itu merupakan kemudahan

6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat


disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, pengertian nasikh mansukh sangat beragam dari berbagai kalangan,


secara ringkasnya, nasikh adalah yang menghapus, yang menggantikan, atau yang
memindahkan. Sedangkan mansukh adalah yang digantikan, yang dihapus, atau
yang dipindahkan.

Kedua, pembagian nasakh ada empat, yaitu:

1. Nasakh Al-Qur’an dengan al-Qur’an.


2. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Sunnah.
3. Nasakh Al-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4. Nasakh Al-Sunnah dengan Al-Sunnah.

Ketiga, nasakh di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi tiga macam bentuk, yakni
naskh al-hukmi duna at-tilawah, naskh at-tilawah duna al-hukmi, dan naskh at-
tilawah wa al-hukmi ma’an.

Keempat, terdapat sejumlah poin syarat-syarat nasikh mansukh, hal pentingnya


ialah bahwa ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada hukum syariat saja, seperti
amr (perintah) dan nahyi (larangan), baik secara shorih (jelas) dalam perintah
ataupun dengan lafadz khabar (berita).

Kelima, ada 114 surat di dalam Al-Qur’an dan hanya 43 surat yang bebas
nasakh. Hal itu berarti ada 71 surat yang terkena nasakh (62,3% surat dari seluruh
surat). Surat-surat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat kelompok, yaitu surat-
surat yang di dalamnya terbebas dari nasikh mansukh, surat yang di dalamnya
terdapat ayat nasikh tanpa mansukh, lalu surat yang di dalamnya terdapat ayat

18
mansukh tanpa nasikh, dan yang terakhir ialah surat yang di dalamnya terdapat
ayat-ayat nasikh beserta mansukhnya.

Keenam, nasikh mansukh memiliki urgensitas yang sangat besar, terutama bagi
fuqaha, ushuliyyin dan mufassirin. Atas dasar tersebut, nasikh mansukh memiliki
hikmah agung, di antaranya:

1. Menjaga kemaslahatan para hamba


2. Perkembangan tasyri’ (pensyariatan) menuju tingkat yang sempurna sesuai
dinamika dakwah dan kondisi masyarakat Islam
3. Sebagai ujian kepada mukallaf untuk taat atau tidak taat terhadap syariat
4. Kehendak Allah untuk kebaikan dan kemudahan umat, karena apabila
nasakh itu diganti dengan lebih berat maka akan terdapat tambahan pahala,
dan apabila nasakh diganti dengan lebih ringan maka itu merupakan
kemudahan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuti, Jalal al-Din. 1990. Al-Itqān fī Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār Al-Fikr.

Al-Bugha, Musthofa Dib. 1996. Al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Qur’an. Damaskus: Daar


al-Ulum al-Insaniyah.

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 1983. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah


Wahbah.

Az-Zarkasyi, Imam Badruddin. 2009. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar


al-Fikr.

Zaid, Musthafa. 1991. Al-Naskh Fi Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Zarqani, Muhammad. Manahili al ‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Kairo: Daar al-


Kitab al-‘Araby.

Hermawan, Acep. 2013. ‘Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar ‘Ulum al Qur’an. Pustaka Setia.

Djalal, Abdul. 2000. ‘Ulumul Quran, Cet. II Surabaya: Dunia Ilmu.

20

You might also like