You are on page 1of 37

HADIST MAUDHU’

MAKALAH

DISUSUN OLEH:

PUTRA MINDAR ILHAM PRATAMA / 10120220079

DOSEN PENGAMPUH:

H. YUNUS ANWAR Lc.,M.Ag.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan pembagian hadis menurut kualitasnya, hadis terbagi
menjadi tiga, yaitu hadis shahih, hasan dan dha'if. Demikian
pembahasannya mengenai hadis maudhu' termasuk pada kelompok hadis
dha'if, yakni hadis yang lemah karena terdapat kecacatan dalam rawi atau
matannya sehingga memungkinkan hadis tersebut ditolak atau tidak dapat
diterima.
Perpecahan politik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib juga ikut serta dalam kemunculan hadis maudhu ' ini. Pada saat itu
terbentuknya aliran baru dalam Islam. Golongan-golongan tersebut, selain
berusaha saling mengalahkan lawannya, juga mempengaruhi orang-orang
yang tidak berada dalam perpecahan. Salah satu caranya adalah dengan
memalsukan hadis.
hadis maudhu' disebut juga hadis palsu, karena hadis ini dibuat
dengan tujuan-tujuan tertentu dan menyandarkan hadis tersebut kepada
rasul padahal rasul sendiri tidak pernah mengatakan apapun itu. Hadis ini
dibuat karena beberapa alasan, misalnya karena kepentingan poltik,
memperkuat perbedaan pendapat dalam masalah fiqih atau ilmu kalam
ataupun beberapa alasan lain yang digunakan untuk kepentingan mereka
sendiri ataupun alirannya sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Hadist Maudhu
2. Macam-macam Hadist Dari Berbagai Tinjauan
3. Hadist Ditinjau Dari Persambungan Sanad
4. Hadist Dilihat Dari Sifat Sanad Dan Cara Penyampain Periwayatan
C. Tujuan Penulisan
1. Agar Mengetahui Hadist Maudhu
2. Agar Mengetahui Macam-macam Hadist Dari Berbagai Tinjauan
3. Agar Mengetahui Hadist Ditinjau Dari Persambungan Sanad
4. Agar Mengetahui Hadist Dilihat Dari Sifat Sanad Dan Cara
Penyampain Periwayatan.
PEMBAHASAN

A. Hadist Maudhu’
Apabila ditinjau dari segi bahasa, hadits maudhu’ merupakan
bentuk isim maf’ul dari ‫وضع‬-‫يضع‬-‫ وضعا‬yang berarti ‫( االثقاط‬meletakkan atau
menyimpan); ‫( والفتراع و اختالق‬mengada-ada atau membuat-buat); dan ‫الترك‬
(ditinggal)1. Sedangkan pengertian hadits madhu’ menurut istilah adalah:

‫َم ا ُنِس َب ِإَلى َر ُسْو ِل هّللا َص َّلى هّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم إْخ ِتَالًقا َو ِكْذ ًبا ِمَّم ا َلْم َيُقْلُه َأْو َيْفَع ْلُه َأْو ُيَقَّر ُه‬
Artinya:
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat
dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan
mengerjakan”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits
maudhu’ adalah:
‫اْلُم ْخ َتَلُع اْلَم ْص ُنْو ُع اْلَم ْنُسْو ُب ِاَلى َر ُسْو ُل هَّللا َص َّلى هّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم زْو ًرا َو ُبْهَتاًنا َس َو اٌء َك اَن َذ ِلَك َع ْم ًدا‬
‫َاْو َخ َطأ‬
Artinya:
“Hadits yang diciptakan dan dibuat oleh seorang (pendusta) yang
ciptaan ini dinisbahkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik
disengaja maupun tidak”.
Dari pengertian di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits
maudhu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik perbuatan, perkataan maupun taqrirnya, secara rekaan atau
dusta semata-mata. Dalam penggunaan masyarakat Islam, hadits maudhu’
disebut juga dengan ”hadits palsu”.2 Dengan kata lain, hadits maudhu’ itu
dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak,
dengan tujuan buruk maupun baik sekalipun.3

1
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2011)
2
M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008)
3
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010) hal. 247
B. Sejarah Dan Perkembangan Hadist Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya
pemalsuan hadis, apakah telah terjadi pada masa Nabi masih hidup, atau
sesudah masa beliau. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:

1) Sebagai para ahli berpendapat bahwa pemalsuan hadis sudah terjadi


sejak masa Rasulullah SAW masih hidup. Pendapat ini, di antaranya,
dikemukakann oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 m). Argumen yang
dikemukan oleh Ahmad Amin adalah hadis Nabi Rasulullah SAW, bahwa
barang siapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan
mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menepati
tempat duduknya di neraka.
‫ ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬،‫إن كذبا علي ليس ككذب عل أحد‬
Hadis tersebut, menurut Ahmad Amin, memberikan gambaran
bahwa kemungkinan besar telat terjadi pemalsuan hadis pada zaman Nabi
SAW.4 Akan tetapi, Ahmad Amin tidak memberikan bukti-bukti, seperti
contoh hadis palsu yang ada pada masa Nabi SAW, untuk mendukung
dugaannya tentang telah terjadinya pemalsuan hadis ketika itu. Dan,
sekalipun hadis yang dikemukakannya sebagai argumennya tersebut
adalah merupakan hadis Mutawatir, namun karena sandaran pendapatnya
hanya kepada pemahaman (yang tersirat) pada hadis tersebut, hal itu
tidaklah kuat untuk dijadikan dalil bahwa pada zaman nabi telah terjadi
pemalsuan hadis.

2) Shalah Al-Dhin Al-Adabi berpendapat bahwa pemalsuan hadis


yang sifatnya semata-mata melakukan kebohongan terhadap Nabi SAW,
atau dalam pengertiannya yang pertama mengenai Al-Wadh’ sebagai mana
4
Lihat Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-
Mishriyyah, tt.) juz II, hh. 210-211; sebagai yang dikutib oleh Syuhudi
Ismail dalam kaedah keshahihan sanad hadis (Jakarta: bulan bintang
1988), h.92
telah di uraikan di buka, dan berhubungan dengan masa lah keduniawian
telah terjadi pada zaman Nabi, dan hal itu dilakukan oleh orang munafiq.
Sedangkan pemalsuan hadis yang berhubungan masalah agama atau dalam
pengertiannya kedua mengenai Al-Wadh’, belum pernah terjadi pada masa
Nabi SAW.
Al-Adabi menjadikan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Thahawi
(w. 321 H/933 m) dan Al-Thabrani (w. 360 H/971 m) sebagai argumen
untuk mendukung pendapatnya. Kedua riwayat tersebut menyatakan
bahwa pada masa Nabi SAW ada seseorang yang telah membuat berita
bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang tersebut mengaku telah di
beri kuasa oleh Nabi SAW untuk menyelesaikan suatu masalah pada
kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah. Orang tersebut telah
melamar seorang gadis dari masyarakat itu, namun lamaran tersebut
tenyata ditolat. Karena merasa curiga masyarakat tersebut mengutus
seseorang kepada Nabi untuk mendapat konfirmasi tentang kebenaran
utusan yang datang kepada mereka. Orang yang mengatas namakan Nabi
tersebut ternyata bukanlah utusan Nabi, dan karenannya Nabi SAW
memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang yang telah
berbohong tersebut, dan apabila ternyata yang bersangkutan telah
meninggal dunia, maka Nabi SAW memerintahkan agar jasad orang
tersebut di bakar.5 Hadis yang dipergunakan sebvagai dalil oleh Al-Adabi,
berdasarkan penelitian para ahli hadis ternyata sanadnya lemah dan oleh
karenannya tidak bisa di jadikan dalil.6

3) Kebanyakan ulama hadis berpendapat, bahwa pemalsuan hadis


baru terjadi untuk pertama kalinya adalah setelah tahun 40 H, 7 Pada masa
kekhalifahan ‘Ali Ibnu Abi Thalib, yaitu setelah terjadinnya perpecahan
politik antara kelompok ‘Ali di satu pihak dan Mu’awiyah dengan
pendukungnnya di pihak lain, serata kelompok ke tiga yaitu kelompok
5
Ibid
6
Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.418
7
Ibid. h. 419
Khawarij yang pada awalnya adalah pengikut ‘Ali, namun
ketika‘Alimenerimatahkim, mereka keluar dari, bahkan terbalik
menentang, kelompok ‘Ali di samping juga menentang Mu’awiyah. 8
Masing-masing kelompok berusaha untuk mendukung kelompok mereka
dengan berbagai argumen yang di cari mereka dari Al-Qur’an dan Hadist,
dan ketika mereka tidak mendapatkannya, maka merekapun membuat
hadis-hadis palsu.9
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa belum terdapat bukti
yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan hadis pada masa Nabi SAW,
demikian juga pada masa-masa sahabat sebelum pemerintahan ‘Ali Ibnu
Abi Thalib. Hal demikian adalah karena begitu kerasnya peringatan yang
di berikan Nabi SAW terhadap mereka yang mencoba-coba untuk
melakukan dusta atas nama beliau.

C. Faktor Faktor Munculnya hadis maudhu


Bertitik tolak dari hadis-hadis maudhu yang tersebar, nampaknya
motivasi dan tujuan pembuatan hadis maudhu bervariasi, diantaranya:

1. Faktor Politik
Pertentangan di antara umat Islam timbul setelah terjadinya
pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak
dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib menyebabkan Umat
Islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti
golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman
dan golongan yang mendukung kekhalifahan Ali (Syi’ah). Setelah perang
Siffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan
golongan pendukung Muawiyyah, masingmasing mereka mengklaim
bahwa kelompoknya yang paling benar sesuai dengan ijtihad mereka,
masing- masing ingin mempertahankan kelompoknya, dan mencari

8
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 422-3
9
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadi, h. 375.
simpati massa yang paling besar dengan cara mengambil dalil AlQur’an
dan Hadist. Jika tidak ada dalil yang mendukung kelompoknya, mereka
mencoba mentakwilkan dan memberikan interpretasi (penafsiran) yang
terkadang tidak layak. Sehingga mereka membuat suatu hadist palsu
seperti Hadist - Hadist tentang keutamaan para khalifah, pimpinan
kelompok, dan aliranaliran dalam agama. Yang pertama dan yang paling
banyak membuat hadist maudhu’ adalah dari golongan Syi’ah dan
Rafidhah. Kelompok syi’ah membuat hadis tentang wasiat nabi bahwa Ali
adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah setelah beliau dan
mereka menjatuhkan orang-orang yang dianggap lawan-lawan politiknya,
yaitu Abu Bakar, Umar, dan lain-lain. Diantara hadis maudlu tersebut:10

‫وصيي و موقع ي سر و خليفيت يف أهلي خري من أخلف بعدي علي‬


Artinya: “Yang menerima wasiatku, dan yang menjadi tempat rahasiaku
dan penggantiku dari keluargaku adalah Ali.
Di pihak Mu’awiyah ada pula yang membuat hadis maudhu
sebagai berikut:

‫االمناء عند اللة ثال ثه انا وجربيل ومعا ويه‬


Artinya: “Orang yang dapat dipercaya disisi Allah ada tiga yaitu: Aku,
Jibril dan Mu’awiyah”.

2. Faktor Kebencian dan permusuhan


Keberhasilan dakwah Islam myebabkan masuknya pemeluk agama
lain kedalam Islam, namun ada diantara mereka ada yang masih
menyimpan dendam dan sakit hati melihat kemajuan Islam. Mereka inilah
yang kemudian membuat hadis-hadis maudhu. Golongan ini terdiri dari
golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang senantiasa menyimpan
dendam dan benci terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk
melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan
yang buruk ini, yaitu menciptakan sejumlah hadist maudhu’ dengan tujuan

10
Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016
merusak ajaran Islam dan menghilangkan kemurnian dan ketinggiannya
dalam pandangan ahli fikir dan ahli ilmu. Diantara hadis yang dibuat
kelompok ini yaitu:
Artinya: “Melihat (memandang) kepada muka yang indah, adalah ibadat”.
Dan Artinya: “Buah terong itu, penawar bagi segala penyakit”
Ada yang berpendapat bahwa faktor ini merupakan faktor awal
munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin
Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku
kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bukti bahwa ia adalah
seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu,
ia berani menciptakan hadist maudhu’ pada saat masih banyak sahabat
ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan
orang zindiq ini, adalah
a. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist
maudhu’tentang hukum halalharam, ia membuat hadis untuk
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman,
Walikota Bashrah.
b. Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu
Ja’far AlMashur.
c. Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh
Khalid bin Abdillah.

3. Faktor Kebodohan.
Ada golongan dari ummat Islam yang suka beramal ibadah namun
kurang memahami agama, mereka membuat at hadist-hadis maudlu
(palsu) dengan tujuan menarik orang untuk berbuat lebih baik dengan cara
membuat hadis yang berisi dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal
dengan menyebutkan kelebihan dan keutamaan dari amalan tertentu tanpa
dasar yang benar melalui hadist targhib yang mereka buat sendiri.
Biasanya hadis palsu semacam ini menjanjikan pahala yang sangat besar
kepada perbuatan kecil. Mereka juga membuat hadis maudhu (palsu) yang
berisi dorongan untuk meninggalkan perbuatan yang dipandangnya tidak
baik dengan cara membuat hadis maudhu yang memberikan ancaman
besar terhadap perbutan salah yang sepele. Diantaranya hadis palsu itu:
‫افضل االيام يوم عرفة اذا وافق يوم اجلمعة وهو افضل من سبعني حجة يف غري مجعة‬
Artinya: “Seutama-utama hari adalah hari wukuf di Arafah, apabila
(hari wukuf di arafah) bertepatan dengan hari jum’at, maka hari itu lebih
utama daripada tujuh puluh haji yang tidak bertepatan dengan hari
jum’at.”
Menurut al Qur’an yang dimaksud haji akbar adalah ibadah haji itu
sendiri ( Al Qur’an Surah Attaubah : 3) dengan pengertian bahwa ibadah
umrah disebut dengan haji kecil.
Hadis maudhu itu dibuat oleh muballig /guru agama yang ingin
memberi nilai lebih kepada ibadah haji yang wukufnya bertepatan dengan
hari jum’at.

4. Fanatisme yang keliru


Sikap sebagian penguasa Bani Umayah yang cenderung fanatisme
dan rasialis, telah ikut mendorong kalangan Mawali untuk membuat
hadits-hadits palsu sebagai upaya untuk mempersamakan mereka dengan
orang-orang Arab Misalnya:

‫ وكالم أهل اجلنة العربية‬...‫بغض الكالم إىل اهلل الفارسية‬


Artinya: “Percakapan yang paling dimurkai Allah adalah bahasa
Persia dan bahasa penghuni surga adalah bahasa Arab”
Selain itu, Fanatisme Madzhab dan Teologi juga menjadi factor
munculnya hadis palsu, seperti yang dilakukan oleh para pengikut
Madzhab Fiqh dan Teologi, diantaraya:
‫من رفع يده يف الركوع فال صالة له‬
Artinya: “Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku’,
maka tiadalah shalat baginya”
Hadis ini diduga dibuat oleh pengikut mazhab yang tidak
mengangkat tangan ketika ruku’.11

5. Faktor Popularitas dan Ekonomi


Sebagian tukang cerita yang ingin agar apa yang disampaikan nya
menarik perhatian orang, dia berusaha mengumpulkan orang dengan cara
membuat hadits-hadits palsu yang membuat masyarakat suka dan tertarik
kepada mreka, menggerakkan keinginan, juga memberikan harapan bagi
mereka. Misalnya:
‫ منقاره من ذهب و ريشه من مرجان‬,‫ خلق اهلل من كل كلمة طا ئرا‬,‫من قال آإلله إال اهلل‬
Artinya: “Barang siapa membaca la ilaha illallah, niscaya Allah
menjadikan dari tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas
dan buahnya dari marjan”.
Demikian juga para pegawai dan tokoh masyarakat yang ingin
mencari muka (menjilat) kepada penguasa membuat hadsi-hadis maudhu
untuk tujuan supaya lebih dekat dengan penguasa agar mendapatkan
fasilitas tertentu atau popularitas saja. Misalnya Ghiyadh Ibn Ibrahim
ketika datang kepada khalifah Al Mahdi yang pada saat itu sedang
mengadu burung merpati, Ghiyadh memalsukan hadis berikut:12
Kata “Janah” adalah tambahan yang dibuat oleh Ghiyadh untuk
menarik simpati dari Khalifah al Mahdi.
Para pedagang barang-barang tertentu juga membuat hadis- hadis
palsu tentang keutamaan barang dagangannya misalnya.

‫الديك االبيض حبييب وحبيب حبييب جربيل‬


" Artinya: Ayam putih adalah kekasihku dan kekasih oleh
kekasihku Jibril”

11
Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016
12
Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016
Hasbi Assiddiqy menjelaskan bahwa golongan yang membuat
hadis maudhu itu ada sembilan golongan yaitu:
a. Zanadiqah (orang orang zindiq)
b. Penganut-penganut bid’ah.
c. Orang-orang dipengaruhi fanatik kepartaian
d. Orang-orang yang ta’ashshub kepada kebangsaan, kenegerian dan
kkeimanan.
e. Orang-orang yang dipengaruhi ta’ashshub mazhab.
f. Para Qushshas ( ahli riwayat dongeng).
g. Para ahli Tasawuf zuhhad yang keliru.
h. Orang-orang yang mencarai pengahrgaan pembesar negeri.
i. Orang –orang yang ingin memegahkan dirinya dengandapat
meriwayatkan hadis yang diperoleh orang lain.

D. Penyelamatan Hadist Nabi Dari Hadist Maudhu’


Pemalsuan hadis dalam pentas sejarah perkembangan Islam
merupakan kenyataan yang tak dapat terelakkan. Hal ini memiliki
implikasi yang sangat besar bagi pemahaman umat Islam. Oleh karena itu,
upaya pemberantasan pemalsuan hadis dipandang merupakan suatu
keniscayaan, di samping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam
rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan hadis yang
muncul, ulama telah menawarkan konsep-konsep dasar yang bersifat
metodologis yang memungkinkan secara akurat mampu mendeteksi
pemalsuan hadis tersebut. Artinya, prosedur yang ditempuh dalam
menerima hadis adalah berupa pengujian dan penelitian hadis sebagai
upaya mengatasi pemalsuan hadis,13 sebagai berikut:

1. Meneliti sanad hadis


Penelitian sanad hadis merupakan salah satu upaya selektif
terhadap penerima hadis. Dalam kaitannya dengan upaya mengatasi

13
Lihat Mustafa al-Siba’i, op.cit., h. 143-154
pemalsuan hadis, penelitian sanad mempunyai arti penting dalam
mendeteksi kepalsuan sebuah hadis. Oleh karena itu penelitian sanad
tersebut mendapatkan prioritas utama jika dibandingkan dengan penelitian
matan. Hal ini bukan berarti mengabaikan peran penelitian matan hadis.
Ada beberapa hal yag menjadi perhatian dalam penelitian sanad
hadis, yakni tentang kualifikasi keabsahan periwayatan seorang yang
termasuk mata rantai kelangsungan hadis ke tangan seorang perawi,
sebagai seorang peneliti atau kritikus hadis.

2. Mengukuhkan hadis-hadis
Pengukuhan hadis ini dilakukan dengan jalan meneliti dan
mencocokkan kembali kepada para sahabat, tabi’un dan ulama ahli hadis. 14
Pengukuhan hadis sebagai salah satu aktifitas mengatasi persoalan
pemalsuan hadis menggambarkan adanya upaya melestarikan tradisi
intelektual. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung keutuhan ajaran Islam
dari segala bentuk pencemaran melalui pemalsuan hadis. Dengan tetap
melestarikan tradisi ini, maka kemungkinan besar segala bentuk
pemalsuan hadis dapat dideteksi.
Apabila kita menelusuri kehidupan ulama terdahulu, maka akan
kita dapati bahwa mereka memiliki semangat yang tinggi dalam mencari
hadis. Sa’id al-Musayyab, misalnya, karena hanya untuk mendapatkan
satu hadis saja ia berjalan terus siang dan malam. 15 Hal ini ia lakukan
semata-mata untuk mengukuhkan hadis.

3. Meneliti rawi hadis dalam menetapkan status kejujurannya


Disamping penelitian terhadap sanad hadis, penelitian terhadap
perawi hadis dipandang juga sebagai salah satu upaya selektif dalam
mencari kesehatan hadis dan membedakan dengan hadis palsu. Ibnu Daqiq
al-‘Id memandang, bahwa keberadaan perawi sangat menentukan

14
Ibid., h. 145
15
Ibid., h. 146
kepalsuan sebuah hadis karena dalam hal ini perawi, sebagai peneliti
terhadap sanad dan matan hadis, dianggap yang mentakhrijnya dan bahkan
dianggap yang melembagakannya dalam karya monumentalnya.
Validitas hasil penelitian sanad dan matan hadis yang dilakukan
seorang perawi mungkin dipandang sebagai persoalan tersendiri dalam
upaya mengatasi kemungkinan munculnya hadis palsu. Persoalan ini perlu
dipertanyakan kembali karena dalam kenyataannya hasil penelitian itu
sangat dipengaruhi oleh corak pandang perawi, sebagai peneliti hadis
Nabi. Namun ada satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa para peneliti
atau kritikus hadis berwewenang meneliti atau mengkritik hadis, apabila
telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan ulama
pakar hadis. Disamping itu dalam meneliti sanad hadis, para pakar hadis
telah merumuskan ketentuyan tentang karakteristik hadis palsu ditinjau
dari segi sanad dan matannya, serta ketentuan lain untuk dijadikan sebagai
acuan dalam meriwayatkan hadis.
Dalam kaitannya dengan adanya pemalsuan hadis, sebagai langkah
konkrit, para pakar hadis membahas para perawi yang tidak memiliki
kredibilitas dan diklaim sebagai pendusta ulung dalam kitab-kitab jarh wa
ta’dil. Dengan demikian, seorang perawi akan mendpat pengakuan hadis
yang diriwayatkan, jika ia telah lolos dari seleksi yang mengacu pada
ketentuan-ketentuan dimaksud.
Ulama hadis, sebagaimana dikemukakan M. Syuhudi Ismail,
berpendapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi
periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang
dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak.
Kedua hal itu adalah keadilan dan kedabitannya. Keadilan berhubungan
dengan kualitas pribadi. Sedangkan kedabitannya berhubungan dengan
kapasitas intelektual.16 Apabila kedua hal itu dimiliki periwayat hadis,
maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat siqah,17 dan hadis
16
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Ibid., h. 66.
17
Istilah siqah merupakan gabugan dari sifat adil dan dubit. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, loc.cit.
yang diriwayatkannya dapat diterima. Sebaliknya, apabila seorang
priwayat hadis tidak memiliki kedua sifat tersebut, maka hadisnya perlu
dipertanyakan.
Mustafa al-Saba’i, secara tegas menjelaskan tentang perawi hadis
yang harus disingkirkan periwayatannya, diantaranya:
a. orang yang berdusta dan mengaku telah menerima hadis Nabi
b. orang yang suka berdusta, kendatipun tidak tidak pernah membuat
hadis palsu
c. ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu
d. kaum zindiq, orang fasiq dan orangorang lalai yang tidak
menyadari apa yang mereka katakan, serta orang yang tidak
memiliki sifat teliti cekatan adil dan cerdas.18

4. Menetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis


Pengklsifikasian hadis, dipandang sebagai salah satu bentuk upaya
mengatasi adanya pemalsuan hadis, merupakan tindakan yang teliti dan
cermat dalam melihat sebuah hadis. Ketelitian dalam menentukan kategori
hadis mempunyai implikasi dalam fungsinya sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum atau keyakinan keagamaan. Pijakan para pakar hadis
dalam mengklasifikan hadis adalah kaidah-kaidah yang dibangun atas
dasar pengkajian dan penelitian ilmiah, sehingga hadishadis yang diterima
adalah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kehujjahannya.
Dengan menggunakan berbagai kaidah dalam ilmu hadis, para
pakar hadis telah berhasil menghimpun berbagai hadis palsu dalam kitab-
kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab yang dimaksud adalah:
a. Al-Abatil, karya al-Hafiz Husain ibn Ibrahim al-Jauzaqani19
b. al-Maudu at al-Kubra, karya Abu al-Farj Abd. al-Rahman ibn ‘Ali
ibn al-Jauzi

18
Mustafa al-Siba’i, op.cit., h. 147-150
19
Al-Hafiz Husain ibn Ibrahim al-Jauzaqani adalah ulama pertama yang menelusi kitab hadis
maudhu. Lihat Sayid Muhammad ibn Alawi alMaliki al-Hasani, op.cit., h. 97
c. Tansih al-Syari’ah al-Marfu ahmin al-Akhbaral-Sani’ah al-
Maudu’ah, karya Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Kannani
d. al-Fawaid alMajmu’ah fi al-Ahadis al-Maudu’ah, karya
Muhammad ibn ‘Ali alSaukani20
e. 5) al-Mughni’ah al-Hifzi wa al-Kitabi, karya Abu Umar ibn Badri
al-Mausili
f. 6) Tazkirah al-Maudhu’at, karya Ibnu Tahir alMuqaddasi, dan lain-
lain21

E. Ciri-Ciri Hadist Maudhu’


Indikasi ke-maudhu’ an hadist adakalanya berkaitan dengan rawi/
sanad dan mungkin pula berkaitan dengan matan.
1. Ciri yang berkaitan dengan rawi / sanad:
a. Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain
yang periwayatnya tsiqoh meriwayatkan hadist itu. Misalnya,
Ketika saad ibn Dharif mendapati anaknya pulang sekolah sedang
menangis dan mengatakan bahwa dia dipukul gurunya, maka Saad
ibn Dharif berkata : Bahwa Nabi saw bersabda:

‫معلموا صبيانكم شراركم اقلهم رمحة لليتيم واغلظهم على املسكن‬


Artinya: "Guru anak kecil itu adalah yang paling jahat diantara
kamu, merekka paling sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim
dan paling kasar terhadap orang miskin."
Al Hafdz Ibnu Hibban mengatakan bakwa Saad ibn Dharif adalah
seorang pendusta/ pemalsu hadits.22
b. Periwayatnya mengakui sendiri membuat hadist tersebut. Maisarah
ibn Abdirrabih al Farisi mengaku bahwa dia telah membuat hadis
maudhu tentang keutamaan Al-Qur’an, dan ia juga mengaku

20
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jkarta: Gaya Media Pratama, 1996), h
21
Lihat Mustafa al-Siba’i, op.cit., h. 189-190
22
Mustahafa Zahri, Kunci memahami Musthalahul Hadits : 101
membuat hadis maudhu tentang keutamman Ali ibn Abi Tahalib
sebanyak 70 buah hadis.23
c. Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan orang yang
memalsukan hadist, seperti seorang periwayat yang mengaku
meriwayatkan hadist dari seorang guru yang tidak pernah bertemu
dengannya. Karena menurut kenyataan sejarah guru tersebut
dinyatakannya wafat sebelum ia sendiri lahir. Misanlnya, Ma’mun
ibn Ahmad al Harawi mengaku mendengar hadis dari Hisyam ibn
Hammar. Al hafiz ibn Hibban menanyakan kapan Ma’mun datang
ke Syam? Ma’mun menjawab: tahun 250. Maka ibnu Hibban
mengatakan banwa Hisyam ibn Ammar wafat tahun 254. Ma’mun
menjawab bahwa itu Hisyam ibn Ammar yang lain.24

2. Ciri-ciri yang berkaitan dengan Matan


Kepalsuan suatu hadis dapat dilihat juga pada matan, berikut ciri-
cirinya:
a. Kerancuan redaksi atau Kerusakan maknanya.
b. Berkaitan dengan kerusakan ma.na tersebut, Ibnu Jauzi berkata:
Saya sungguh malu dengan adanya pemalsuan hadis. Dari
sejumlah hadis palsu, ada yang mengatakan: “ Siapa yang salat, ia
mendapatkan 70 buah gedung, pada setiap gedung ada 70.000
kamar, pada setiap kamar ada 70 000 tempat tidur, pada setiap
tempat tidur ada 70 000 bidadari. Perkataaan ini adalah rekayasa
yang tak terpuji.25
c. Setelah diadakan penelitian terhadap suatu hadis ternyata menurut
ahli hadis tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat
dalam kitab-kitab hadis.
Misalnya perkataan yang berbunyi:

23
Musthafa Zahri, : 100
24
Musthafa Zahri, : 100
25
Nuruddin : 323
‫هلل اخذ امليثاق علي كل مؤمن ان يبغض على منا فق وعلي كل منا فق ان ان يبغض كل‬
‫مؤمن‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mengambil Janji kepada setiap
orang mukmin untuk membenci kepada setiap munafik, dan kepada
setiap munafik untuk membenci kepada setiap mukmin”
d. Perkataan diatas tidak diketahui sumbernya. Hadisnya menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti ketentuan akal,
tidak dapat ditakwil, ditolak oleh perasaan, kejadian empiris dan
fakta sejarah.
Misalnya perkataan yang berbunyi:
‫اذا عطشس الرجل عند احلديث فهودليل صدقه‬
Artinya “Jika seseorang bersin ketika membacakan suatu hadis,
maka itu menandakan bahwa pembicaraanya benar”

Musthafa Assiba’i memuat tujuh macam ciri Hadis palsu yaitu:


a. Susunan Gramatikanya sangat jelek.
b. Maknanya sangat bertentangan dengan akal sehat.
c. Menyalahi Al qur’an yang telah jelas maksudnya.
d. Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi
saw.
e. Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya,
sedang orang tersebut terkenal sangat fanatic terhadap mazhabnya.
f. Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara tersebut
diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata diberitakan oleh
seorang saja.
g. Mengandung berita tentang perberian pahala yang besat untuk
perbuatan kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu
perbuatan yang tidak berarti.26

26
Syuhudi Ismail : 178
Menurut Hasbi Ashshddiqy, ciri Hadis palsu apabila:
1) Maknanya berlawanan dngan hal-hal yang mudah dipahami.
2) Berlawanan dengan ketentuan umum dan akhlak atau menyalahi
kenyataan.
3) Berlawanan denga ilmu kedokteran.
4) Menyalahi peraturan- peaturan akal terhadap Allah.
5) Menyalahi ketentuan Allah dalam menjadikan alam.
6) Mengandung dongengan- dongengan yang tidak dibenarkan akal.
7) Menyalahi keterangan Al Qur’an yang terang tegas.
8) Menyalahi kaedah umum.
9) Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal dimasa Nabi saw.
10) Sesuai dengan mazhab yang dianut perawi, sedang perawi itu
orang sangat fanatic mazhabnya.
11) Menerangkan urusan yang seharusnya kalau ada dinukilkan oleh
orang banyak.
12) Menerangkan pahala yang sangat besar terhadap suatu perbuatan
kecil atau siksaan yang amat besar terhadap suatu amal yang tak
berarti.27

F. Kitab-kitab Yang Memuat Hadist Maudhu’


Para ulama muhaditsin dengan menggunakan berbagai pedoman
studi kritik hadith, berhasil mengumpulkan hadith-hadith maudhu’ dalam
sejumlah karya yang cukup banyak, diantaranya:28
1. Al-Maudhu’ al-Kubra, karya Ibn al-Jauzi (Ulama yang paling awal
menulis ilmu ini).
2. Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-hadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti
(Ringkasan Ibnu al-Jauzi dengan beberapa tambahan).

27
Hasbi Ashshiddiqy, pokok-pokok ilmu Dirayah Hadis: .369-374
28
Ibid.
3. Tanzihu Asy-Syariah al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah
alMaudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani (ringkasan kedua kitab
tersebut).
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya al-Albani.

G. MACAM MACAM HADIS DARI BERBAGAI TINJAUAN


1. Hadist Ditinjau Dari Sumber Berita
Tidak semua perkataan, ketetapan, atau perbuatan yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan hadis shahih.
Lebih dalam lagi, perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad belum tentu disebut hadis. Dalam situasi inilah,
perlu kiranya mengenal pembagian hadis berdasarkan kualitasnya.
Pengetahuan akan hal ini sangat penting agar umat Islam bisa mengetahui
kualitas hadis sehingga bijak dalam mengambil atau menolaknya.
Harus diakui pula bahwa setiap informasi yang mengatasnamakan
Nabi Muhammad SAW benar-benar hadis. Sebab, ada banyak berita atau
informasi yang sengaja dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah
SAW. Oleh sebab itu, sekali lagi, bahwa mengetahui informasi tentang
hadis yang valid dan yang tidak sangatlah penting. Terkait hal ini, para
ulama hadis meneliti dengan seksama sehingga muncul pembagian hadis
berdasarkan kualitasnya

a. Hadist Qudsi
Hadits Qudsi secara etimologi berarti Hadits yang di nisbatkan
kepada Dzat yang Maha Suci yaitu Allah Subhanahu wa Ta`ala. Secara
istilah, Hadits Qudsi dipahami sebagai Hadits yang yang di sabdakan
Rasulullah, berdasarkan firman Allah SWT. Dengan kata lain, matan
Hadits tersebut adalah mengandung firman Allah SWT.29
Hadits Qudsi sama dengan Hadits-Hadits lain tentang keadaan
sanad dan rawi-rawinya, yaitu ada yang shahih, hasan, juga dlaif.

29
HR. Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, juz I, hal. 7
Perbedaan umum antara Al Qur`anul Karim, Hadits Nabi, dan Hadits
Qudsi diantaranya:
1) Al Qur`anul Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT
dan diturunkan secara berkala.
2) Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi
SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak
secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW.
3) Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad
tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan
kepada Allah SWT.30
Perbedaan dalam bentuk penyampaianya adalah:
1) Al Qur`an selalu memakai kata “‫”قال هللا تعالى‬
2) Hadits Nabawi memakai kalimat” ‫”قال رسول هللا \ قال النبي‬
3) Hadits Qudsi dengan “‫”قال رسول هللا فيما يرويه عن ربه‬
Hadits Qudsi juga bisa disebut sebagai Hadits Ilahi, atau Hadits Rabbani.
Jumlah total Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah
berjumlah 833 buah, termasuk yang shahih, hasan dan dlaif.
Contoh Hadits Qudsi yang sahih:
Artinya: Dari Rasulullah SAW: telah berfirman Allah Azza wa Jalla.
“berderma lah kalian, niscaya aku akan membalas derma atasmu” (Shahih
Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Hadits
Qudsi ialah Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan
maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an
karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT.31

b. Hadist Marfu’

30
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal. 73
31
Agus, Ulumul..., hal.187
Secara etimologi Marfu berasal berarti “yang diangkat, yang
dimajukan, yang diambil, yang dirangkaikan, yang disampaikan”, yaitu
ditujukan kepada Rasulullah SAW. Secara istilah, Hadits Marfu dapat
dipahami sebagai Hadits yang sandarkan terhadap Nabi Muhammad SAW
dari ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat Beliau.
Pembagian Marfu:
Keterangan:
1. Qauli Tasrihan : ucapan yang jelas atau terang-terangan
menunjukan kepada Marfu.
2. Qauli Hukman: ucapan tidak terang-terangan menunjukan kepada
Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.
3. Fi`Li Tasrihan: perbuatan yang jelas atau terang-terangan
menunjukan kepada Marfu.
4. Fi`Li Hukman: perbuatan tidak terang-terangan menunjukan
kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.
5. Taqriri Tasrihan: ketetapan yang jelas atau terang-terangan
menunjukan kepada Marfu.
6. Taqriri Hukman: ketetepan tidak terang-terangan menunjukan
kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu.32
Contoh Hadits Marfu Qauli Tasrihan:
‫ ابن عسكر‬.‫ حسن الملكة يمن وسوء الخلق شؤم‬.‫عن جابر قال رسول هللا ص‬
Artinya: dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah
pelajaran dan buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).
Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu Qauli Tasrihan
karena dengan terang-terangan “‫”قال رسول هللا‬.

Contoh Hadits Marfu Qauli Hukman:


‫ رواه الترمذي‬.‫ الدعاء موقوف بين السماء واالرض ال يصعد شيء حتى يصلى على النبي‬:‫)عن عمر قال‬

32
Ibid
Artinya: dari umar ia berkata: “do`a itu terhenti antara langit dan
bumi, tidak bias naik sedikit pun daripadanya sebelum dishalawatkan atas
Nabi” (HR. Turmudzi).
Dikatakan Hadits Qauli Hukman karena tidak terang-terangan
menyebutkan “‫ ”قال رسول هللا‬tetapi mengandung hukum atau pengertian
bahwa Umar menerima Hadits tersebut dari Rasulullah SAW.33
Contoh Hadits Marfu Fi`Li Tasrihan:
‫ رواه النساءى‬.‫ صفية وجعل عتقها مهرها‬.‫ اعتق رسول هللا ص‬:‫)عن انس‬.
Artinya: dari Anas: Rasulullah SAW telah memerdekakan shafiyah
dan beliau jadikan memerdekakanya itu sebagai mahar.
Dengan tegas Hadits ini menerangkan tentang perbuatan Nabi
yakni memerdekakan shafiyah.
Contoh Hadits Marfu Fi`Li Hukman:
‫ المحلى‬.‫)ن علي بن ابى طالب صلى فى كسوف عشر ركعات فى اربع سجدات‬
Artinya: bahwa Ali Bin Abi Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku`
dengan 4 sujud.
Hadits diatas menerangkan tentang Ali yang shalat kusuf dengan
10 ruku` dengan 4 sujud. Ali tidak akan melakukan ini kecuali melihat
atau mendapi Rasulullah melakukannya juga. Maka Hadits ini dianggap
Marfu fi`li hukman, karena dzahirnya bukan Nabi yang mengerjakan.
Contoh Hadits Marfu taqriri tasrihan:
Artinya: dari Ibnu Abbas ia berkata: kami pernah shalat dua rakaat
sesudah terbenam matahari, sedang Nabi melihat kami, tetapi beliau tidak
memerintah kami dan tidak melarang kami. (HR. Muslim).
Hadits diatas dianggap Marfu Taqriri Tasrihan karena secara
terang-terangan Nabi malihat, namun tidak menyuruh ataupun melarang
dengan kata lain Nabi membenarkan.
Contoh Hadits Marfu taqriri hukman:
‫ رواه البخرى‬.‫ كانت تقرع باالظافير‬.‫)عن انس ابن مالك ان ابواب النبي ص‬

33
Ibid., lihat juga Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), hal.
177
Artinya: dari Anas Bin Malik: sesungguhnya pintu-pintu (rumah)
Nabi SAW diketuk dengan jari-jari (HR. Bukhari).34
Hadits diatas dinyatakan sebagai Hadits Marfu taqriri hukman
karena perbuatan sahabat yang mengetuk rumah Rasulullah, dan
Rasulullah tidak melarang maupun menyuruh, dengan kata lain
membenarkan perbuatan para sahabat.

c. Hadist Mawquf
Secara etimologi Mauquf adalah ‘yang terhenti’. Dalam istilah,
Hadits Mauquf berarti Hadits yang disandarkan kepada Sahabat, berupa
ucapan, perbuatan atau Taqrir.
Contoh-contoh:
1. Ucapan:
136:1 ‫ ال يقلدن احدكم دينه رجال فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم‬: ‫عن عبد هللا بن مسعود قال‬
Artinya: dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah
hendaknya salah seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang,
karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang
itu kufur, ia pun ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan
diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.35
2. Perbuatan:
‫ خ·ير عمر غالما بين ابيه و امه فاخت··ار امه ف··انطلقت به‬: ‫عن عبد هللا بن عمير قال‬
‫(المحلى‬
Artinya: “dari Abdillah Bin Ubaid Bin Umair ia berkata: umar
menyuruh kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya.
Maka anak itu memilih ibunya, lalu ia membawa ibunya. (Al Muhalla
10:328).36
Umar adalah sahabat Nabi SAW, riwayat diatas menunjukan
kepada perbuatan Umar untuk memilih antara ibu dan ayahnya.
34
M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal.176
35
Ibid., lihat juga Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), hal. 211
36
Ibid
3. Taqrir:
‫عن الزهري ان عاتكة بنت زيد بن عمرو بن نفيل كانت تحت عمر ابن الخطاب وكانت‬
‫ و هللا انك لتعلمين ما احب هاذا‬: ‫تشهد الصالة فى المسجد فكان عمر يقول لها‬
)202:4 ‫ (المحلى‬.‫ فاني ال انهاك‬: ‫ فقال عمر‬.‫ و هللا ال انتهي حتى تنهان‬: ‫فقالت‬
Artinya: dari Zuhri, bahwa Atikah Binti Zaid Bin Amr Bin Nufail
jadi hamba Umar Bin Al khattab adalah Atikah pernah turut shalat dalam
mesjid. Maka umar berkata kepadanya: demi Allah engkau sudah tahu,
bahwa aku tidak suk perbuatan ini. Atikah berkata: demi Allah aku tidak
mau berhenti sebelum engkau melarang aku. Akhirnya Umar berkata: aku
tidak mau melarang dikau. (Al Muhalla 4:202).37
Umar adalah sahabat Nabi SAW. Dalam riwayat tersebut diunjukan
bahwa ia membenarkan perbutan atikah yaitu shalat di mesjid.
Keterangan :
1. Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dlaif.
2. Hadits Mauquf tidak menjadi hujjah. Terutama jika bersangkutan
dengan ibadah.
3. Dalam Hadits Mauquf dikenal istilah “Mauquf pada lafadz, tetapi
Marfu pada hukum” artinya. Hadits Mauquf ini lafadznya berasal
dari sahabat sedangkan hukumnya dari Rasulullah SAW. 38

d. Hadits Maqthu
Maqthu artinya: yang diputuskan atau yang terputus; yang
dipotong atau yang terpotong. Menurut ilmu Hadits, Maqthu adalah
“perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada tabi`in atau
orang yang berada pada tingakat dibawahnya”.
Hadits Maqthu tidak bisa dipergunakan sebagai landasan hukum,
karena Hadits Maqthu hanyalah ucapan dan perbuatan seorang muslim.
Tetapi jika didalamnya terdapat qarinah yang baik, maka bisa diterima.
Contoh-contoh:

37
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang: Rasail Media, 2007), hal.154
38
Umi, Kajian…, hal. 134
1. Ucapan:
.‫ ان فالنا اعطس واالمام يخطب فشمته فالن‬: ‫ قلت لسعيد بن المسيب‬: ‫عن عبد هللا بن سعيد بن ابي هند قال‬
‫ مره فال يعودن‬: ‫قال‬
Artinya: dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku
pernah bertanya kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin,
padahal imam sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan
“yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib
“perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33)
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas
adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.39
2. Perbuatan:

3:6 ‫ المحلى‬.‫ كان سعيد بن المسيب يصلي العصر ركعتين‬: ‫)عن قتادة قال‬.
Artinya: dari Qatadah, ia berkata: adalah Sa`Id Bin Musaiyib
pernah shalat dua rakaat sesudah ashar. (Al Muhalla 3:6).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas
adalah Hadits Maqthu berupa cerita tentang perbuatan-nya. Tidak
mengandung hukum.
3. Taqrir:
‫ كان يؤمنا فى مسجدنا هذا عبد فكان شريح يصلي فيه‬: ‫عن الحكم بن عتيبة قال‬
Artinya: dari hakam bin utaibah, ia berkata: adalah seorang hamba
mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga shalat disitu). (Al
Muhalla 4:212). Syuraih ialah seorang tabi`in. riwayat Hadits ini
menunjukan bahwa syuraih membenarkan seorang hamba jadi imam.40

2. Hadits Ditinjau dari Persambungan Sanad


Hadits ditinjau dari persambungan sanad terbagi menjadi dua
macam, yaitu:

39
Ibid., lihat juga Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr), hal. 44

40
Muhammad Musthafa Azami, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hal.
111
a. Hadits Muttashil /Mawshul
Dari segi bahasa Muttashil isim fa’il dari kata ‫اَّتَص َل َيَّتِص ُل اَّتَص ااًل َفُهَو‬
‫ ُم َّتِص ٌل‬artinya yang bersambungan antonim dari munqathi’ yaitu yang
terputus. Sebagian ulama menyebut hadis mawshul isim maf’ul dari kata
‫ وصل يصل وصال وموصوال‬artinya bersambung. Dalam istilah hadis muttashil
atau mawshul adalah:
‫َم ا اّتصل َس َنُد ُه إَلى َغاَيِتِه َس َو اٌء أكاَن َم ْو ُفْو ًعا إَلى الَّرُسْو ِل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم أَّم َم ْو ُقْو ًفا‬
Sesuatu yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’
disandarkan kepada Nabi Saw maupun mawquf (disandarrkan kepasa
seorang sahabat).
Hadits muttashil/mawshil adalah hadis yang bersambung
sanadnya , baik periwanyatan itu datang dari nabi ataupun dari seorang
sahabat bukan dari tabi’in. Jika disandarkan kepada tabi’in sekalipun
bersambung sanadnya tidak dinamakan muttashil atau mawshul. Menurut
Al-Iraqi , perkataan tabi’in sekalipun bersambung sanadnya tidak disebut
muttashil secara mutlak, kecuali disertai batasan (taqyid) , misalnya : “ini
muttashil kepada Sa’id bin Al-Musayyab atau kepada Az-Zuhri dan atau
kepada Malik dan seterusnya. 41
Contoh: al-Muttashil al-Marfu’
‫َك ذَا‬: ‫َم اِلٌك َع ْن اْبِن ِش َهاب َع ْن َس اِلِم ْبِن َع ْبِد ِهَّللا َع ْن َأِبيِه َع ْن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
”(Imam) Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdillah dari
bapaknya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda:”Seperti ini…”.

b. Hadits Musnad
Dari segi bahasa kata musnad dari kata‫ أسند‬dengan makna ‫أضاف أو‬
‫ نسب‬artinya menyandarkan, menggabungkan, atau menisabkan ‫ مسند‬artinya
disandarkan, digabungkan atau dinisabkan. Menurut istilah Hadis Musnad
adalah:
‫َم ا اّتَصَل َس َنُد ُه َم ْر َفْو ًعا إَلى الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
41
Tutalafiiah,10,2016
Sesuatu yang bersambung sanadnya dan marfu’ disandarkan
kepada Nabi Saw. Dari definisi di atas jelas, bahwa hadits musnad adalah
hadits yang bersambung sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi
snadaranya hanya kepada nabi tidak pada sahabat dan tidak pula pada
tabi’in . Perbedaannya terletak pada sandarannya, jika muttashil/mawshul
sandarannya bisa kepada nabi dan bisa kepada seorang sahabat, sedang
musnad sandaranya hanya kepada nabi ( marfu). Misalnya hadits
periwayatan al-bukhori, dia berkata: memberitakan kepada kami Abdullah
bin Yusuf dari Malik dari Abu Az-Zanad dari Al-A’araj dari Abu Hurairah
berkata:
Sesungguhnya rasululloh bersabda:
‫ِإَذ ا َش ِر َب الَك ْلُب ِفْي إَناِء أَحِد ُك ْم َفْلَيْغ ِس ْلُه َس ْبًعا‬
Jika anjing minum pada bejana slah satu kamu, maka basuhlah sebanyak
tiga kali. (HR.Al-Bukhari)

3. Hadist Ditimjau Dari Sifat Sanad Dan Cara Penyampain


Periwayatan
Kata musnad berarti menyandarkan atau membangsakan. Adapun
Hadits musnad dalam terminologi ialah hadits yang sanad dan rawinya
muttashil hingga kepada nabi Muhammad saw.
a. Menurut Al Hakim mengatakan bahwa hadits musnad adalah hadits
yang bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah
b. Menurut Al Khatib mengatakan bahwa hadits musnad adalah hadits
yang bersambung sanadnya hingga akhir sanad
Dari definisi di atas bahwa hadits musnad mempunyai dua syarat yakni :
a. Haditsnya harus sampai (marfu’) kepada nabi.
b. Sanad hadits muttashil/bersambung

a. Hadis Mu’an’an
Pengertian dari muanan adalah hadits yang sanadnya terdapat
redaksi ‘an (dari) seseorang. Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat,
terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian
besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama
dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka
sanad itu perlu ditinjau ulang. Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah
ini terdapat dua fersi:
1. Bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an
(dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil.
Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits
muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini
terdapat dua pendapat:42
1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani
dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
a) Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
b) Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus
pernah bertemu.
c) Perawi bukan termasuk mudallis.
2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
a) Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
b) Perawi bukan termasuk mudallis.
c) Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup
dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu.
d) Bahwa hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal.
Oleh karena itu hadits mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah.
Contoh Hadis Mu’an’an
Memberikan kepada kami Al-Hasan bin Arafah, memberikan
kepada kami Ismail bin Iyas dari yahya bin abu amru Asy-Syahbani dari
Abdullah bin Ad-Daylami berkata: Aku mendengar Abdullah bin Amr,
aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Sesunggunya Allah Swt

42
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan gelap (kebodohan) kemudia
Dia sampaikan kepada mereka di antara cahaya-Nya (HR. At-Tirmizi)43

b. Hadis Musalsal
Menurut bahasa musalsal berasal dari yang berarti berantai dan
bertali menali. Hadis ini dinamakan musalsal karena ada kesamaan dengan
rantai (silsilah) dalam segi pertemuan pada masing-masing perawi atau ada
kesamaan dalam bagian-bagiannya.
Menurut istilah hadis musalsal adalah hadis yang sambung
penyandarannya dalam satu bentuk/ keaadaan atau satu sifat, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, yang terulang-ulang pada para periwayatan
atau pada periwayatan atau berkaitan dengan waktu atau tempat
periwayatan.
Lebih luas Al-Iraqi memberikan definisi musalsal adalah hadis
yang para perawinya dalam sanad berdatangan satu persatu dalam satu
bentuk keadaan atau dalam satu sifat, baik sifat para perawi maupun sifat
penyandaran (isnâd) baik terjadi pada isnâd dalam bentuk penyampaian
periwayatan (adâ’ ar-riwâyah) maupun berkaitan dengan waktu dan
tempatnya, baik keadaan para perawi maupun sifat-sifat mereka, dan baik
perkataan maupun perbuatan.
Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara
berturut-turut sanad-nya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan
dan atau dalam satu periwayatan.
Menurut Al Hafidz Al Iraqi berkata: sedikit sekali hadis musalsal
yang selamat dari kedhaifan, dimaksudkan di sini sifst musalsal bukan
pada asal matan karena sebagian matan shahih. Ibnu Hajar berkata:
Musalsal yang paling shahih di dunia adalah musalsal hadis membaca
Surah Ash-Shaff.
Macam-macam Hadis Musalsal

43
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
a. Musalsal bi ahwâl ar-ruwât (musalsal keadaan perawi).
Musalsal keadaan perawi terkadang dalam perkataan (qawlî),
perbuatan (fi’lî), atau keduanya (perkataan dan perbuatan atau qawlî dan
fi’lî.
Contoh Musalsal qawlî (perkataan):
Hadis Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Nabi SAW bersabda
kepadanya: Hai Mu’adz sesungghnya aku mencintaimu, maka katakanlah
pada setelah shalat: Ya Allah Tolonglah aku untuk dzikir kepada-Mu,
syukur kepada-Mu, dan baik dalam ibadah kepada-Mu. (HR. Abu Dawud)
Hadis di atas musalsal pada perkataan setiap perawi ketika
menyampaikan periwayatannya dengan ungkapan: Sesungguhnya aku
mencintaimu, maka katakan di setiap selesai shalat. Setiap perawi yang
menyampaikan perawi hadis ini selalu memulai dengan kata-kata tersebut
sebagaimana yang dilakukan Rasulallah terhadap Mu’adz. 44
Contoh musalsal fi’lî (perbuatan):
Hadis Abu Hurairah dia berkata: Abu Al-Qasim (Nabi SAW)
memasukkan jari-jari tangannya kepada jari-jari tanganku (jari jemari)
bersabda: “Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu.” (HR. Al-Hakim)
Setiap perawi yang menyampaikan periwayatan selalu jari jemari
terhadap orang yang menerima hadis tersebut sebagaimana yang dilakukan
Rasulallah SAW.
Contoh musalsal qawlî dan fi’lî (perkataan dan perbuatan):
Hadis Anas bin Malik RA Berkata: Rasulallah SAW bersabda:
Seorang hamba tidak mendapatkan manisnya iman sehingga beriman
kepada ketentusn Allah (Qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya.”
Rasulallah sambil memegang jenggot bersabda: “ Aku beriman pada
ketentuan Allah (qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya.” (HR. Al-
Hakim secara musalsal)

44
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
Hadis di atas musalsal qawlî dan fi’lî ( musalsal perkataan dan
sekaligus perbuatan) yaitu perkataan: “Aku beriman pada ketentuan Allah
(qadar) baik dan buruk, manis dan pahitnya” dan perbuatan memegang
jenggot. Semua perawi ketika menyampaikan periwayatan juga melakukan
hal itu sebagaimana Rasulallah SAW.

b. Musalsal bi shifât ar-ruwâh (Musalsal sifat Periwayat).


Musalsal ini dibagi menjadi perkataan (qawlî) dan perbuatan (fi’lî).
Contoh musalsal sifat perawi dalam bentuk perkataan:
Bahwasannya sahabat bertanya kepada Rasulallah SAW tentang
amal yang disukai Allah SWT agar diamalkan, maka Nabi membacakan
mereka Surah Shaff.
Hadis ini musalsal pada membaca Surah Shaff. Setiap periwayat
membacakan Surah Shaff ketika menyampaikan periwayatan kepada
muridnya atau yang menerima hadisnya.
Contoh musalsal sifat perawi dalam bentuk perbuatan (fi’lî).
Hadis Ibnu Umar secara marfû’: Penjual dan pembeli boleh
mengadakan khiyâr (memilih jadi atau tidak).
Hadis di atas musalsal diriwayatkan oleh fuqahâ kepada para
fuqahâ secara terus menerus. Atau termasuk musalsal ini seperti
kesepakatan nama-nama para perawi, seperti musalsal dalam nama Al-
Muhammadin kesepakatan dalam menyebut bangsa/nisbat mereka seperti
musalsal dalam menyebut Ad-Dimasyqiyin dan Al-Mishriyin.45

c. Musalsal bi shifât ar-riwâyah (Musalsal dalam sifat periwayatan)


Dalam musalsal ini terbagi menjadi 3 macam,yaitu musalsal dalam
bentuk ungkapan penyampaian periwayatan (adâ’), musalsal pada waktu
periwayatan, dan musalsal pada tempat periwayatan.
Contoh musalsal dalam bentuk ungkapan periwayatan seperti hadis
musalsal pada perkataan setiap perawi dengan menggunakan ungkapan

45
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
aku mendengar si Fulan atau memberitakan kepada kami si Fulan dan
seterusnya.46
Contoh musalsal pada waktu periwayatan:
Hadis Ibnu Abbas berkata: “Aku menyasikan Rasulallah SAW pada
hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, setelah beliau selesai shalat menghadap
kita dengan wajahnya kemudian bersabda: “Wahai manusia kalian telah
memperoleh kebaikan…,”
Hadis di atas musalsal waktu periwayatan yaitu pada hari raya Idul
Fitri atau Idul Adha. Setiap perawi mengungkapkan kalimat tersebut dalam
menyampaikan periwayatan kepada muridnya.
Contoh musalsal pada tempat periwayatannya, seperti kata Ibnu Abbas
tentang terijabah doa di Multazam:
Aku mendengar Rasulallah SAW bersabda: “Multazam adalah
suatu tempat yang diperkenankan doa padanya. Tidak seorang hamba yang
berdoa padanya melainkan dikabulkannya.”
Ibnu Abbas berkata: Demi Allah, aku tidak berdoa pada Allah
padanya sama sekali sejak mendengar hadis ini melainkan Allah
memperkenan doaku. Hadis musalsal pada tempat periwayatannya,
masing-masing periwayat mengungkapkan sebagaimana perkataan Ibnu
Abbas tersebut setelah menyampikan periwayatn hadis kepada orang lain.

c. Hadist ‘Ali
Dari segi bahasa ‘Ali ialah bentuk isim fa’il dari kata sesuatu yang
tinggi. Dalam pengertian istilah ahli hadis ialah suatu hadis yang sedikit
jumlah para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW. Dibandingkan
dengan sanad lain.
2. Macam-Macam Hadis ‘Ali
a. Ali mutlak, yaitu hadis yang lebih dekat para perawinya dalam sanad
dengan Rasulullah karena lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan

46
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
sanad lain pada hadis yang sama. ‘Ali mutlak ini yang paling tinggi
diantara macam-macam ‘Ali apabila memiliki sanad yang shahih.
b. ‘Ali Nisbi, yaitu hadis yang dekat atau sedikit jumlah perawinya dalam
sanad dengan sesuatu tertentu:
1) Dekat dengna salah seorang Imam Hadis.
2) Dekat dengan salah seorang pengarang kitab induk hadis yang dapat
dipedomani.

d. Hadist Nazil
An-Nazil berasal dari kata An-Nuzul yang berarti rendah dan turun.
Dalam pengertian istilah ahli hadis ialah suatu hadis yang banyak jumlah
para perawinya sampai kepada Rasulallah SAW dibandingkan dengan
sanad lain.
2. Macam-macam Hadis Naazil
a. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada Nabi.
b. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada salah seorang
Imam Hadis
c. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada satu kitab
hadis yang teranggap
d. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang menerima dari seorang
Syaikh yang kemudian meninggal, juga dari rawi lain yang
menerima dari Syaikh itu.
e. Sanad yang di dalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang
Syaikh, kemudian (belakangan) rawi itu menerima dari rawi lain
yang juga mendengar dari Syaikh itu.47

47
IPNU & IPPNU PAC RETDJOETANGAN
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Hadith Maudhu’ bukanlah termasuk dalam kategori sebuah hadith
akan tetapi hanyalah ungkapan seseorang secara dusta yang kemudian
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Penggunaan istilah “hadith”
melihat dari motifnya, pemalsu hadith bermaksud membuat suatu
ungkapan dengan tujuan agar orang yang mendengar mau mengikuti
kehendaknya.
Dalam kategori hadith menurut ulama muhaditsin “hadith
maudhu’” termasuk hadith yang paling buruk kualitasnya, karena
merupakan hadith palsu yang sama sekali tidak pernah dikatakan,
diperbuat maupun ditetapkan oleh Nabi Muhammad Saw. Hadith maudhu’
ini juga haram diriwayatkan oleh siapapun kecuali dengan menjelaskan
kepalsuannya. Demikian pula hadith ini tidak bisa dijadikan sebagai
sumber dalam hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2011.

M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis,Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010.


Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyyah, tt.

Syuhudi Ismail dalam kaedah keshahihan sanad hadis, Jakarta: bulan bintang
1988.

Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni 2016

https://media.neliti.com/media/publications/30627-ID-pemalsuan-hadis-dan-
upaya-mengatasinya.pdf

https://www.harakatuna.com/mengenal-macam-macam-hadis-dari-tinjauan-
kualitasnya.html

You might also like