You are on page 1of 17

MAKALAH HUKUM PERIKATAN, PERJANJIAN DAN RUANG

LINGKUPNYA DISUSUN DALAM MATA KULIAH HUKUM BISNIS


SYARI’AH
NAMA DOSEN PEMBIMBING SYARIFAH GUSTIAWATI.,MEI.

Disusun oleh :

Atho Fathan Laits


Muhammad Miftah
Muhammad Kholis Qolbi

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin segala puji senantiasa kami panjatkan kehadirat


Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, tidak
lupa pula kepada baginda kita yang telah membawa kita dari zaman gelap gulita
hingga zaman terang benderang yakni Nabi Muhammad SAW yang telah
memberikankan kita petunjuk atas izin Allah dan semoga kita senatiasa
mendapatkan syafa’atnya. Maka dari itu kami bisa menyelesaikan tugas makalah
ini untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah hukum bisnis syari’ah yang
berjudul Hukum Perikatan, Perjanjian dan Ruang Lingkupnya.
Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu
yaitu Ibu Syarifah Gustiawati.,MEI. Selaku dosen mata kuliah hukum bisnis
syari’ah yang telah memberi kami kesempatan dan bimbingan. Sampai pada
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai tuntas. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sekalian yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat
memberikan banyak manfaat, menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karenamasih terbatasnya
ilmu dan penelitian kami. Untuk itu kami , sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 20 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
C. Tujuan .............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3
A. Pengertian Hukum Perikatan Islam ..................................................................................... 3
B. Pengertian Hukum Perjanjian ............................................................................................. 4
C. Dasar Hukum Perjanjian .................................................................................................... 5
D. Unsur-Unsur Perjanjian ...................................................................................................... 6
E. Syarat Sah Perjanjian ......................................................................................................... 8
F. Jenis-Jenis Perjanjian ........................................................................................................ 9
BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 14

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam literatur ilmu hukum, terdapat berbagai istilah yang sering
dipakai sebagai rujukan di samping istilah "hukum perikatan" untuk
menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam
masyarakat. Ada yang menggunakan istilah "hukum perutangan", "hukum
perjanjian" ataupun "hukum kontrak". Masing-masing istilah tersebut
memiliki titik tekan yang berbeda satu dengan lainnya.

Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi


mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa
tuntutmenuntut.' Hukum perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata
dari adanya transaksi. Perjanjian menurut Prof. Subekti, S.H., adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.² Apabila pengaturan
hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis, orang juga
sering menyebutnya sebagai hukum kontrak.³ Adapun digunakan hukum
perikatan untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan
para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul
dari adanya perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan yang
berlaku di luar perjanjian tersebut yang menyebabkan terikatnya para pihak
untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu. Di sini tampak, bahwa
hukum perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar hukum
perjanjian.
Istilah hukum perikatan Islam dipakai dalam buku ini, dimaksudkan
sebagai padanan pengertian dari hukum perikatan dalam hukum perdata
Barat yang dikaji berdasarkan ketentuan Hukum Islam. Tidak berbeda
dengan hukum perdata Barat tersebut, dalam pengertian hukum perikatan
Islam di sini juga dimaksudkan sebagai cakupan yang lebih luas dari sekadar
"hukum perjanjian".5 Walaupun dalam bentuk tradisional, materi bahasan
tentang hukum perikatan Islam ini merupakan bagian dari bidang Hukum
muamalah dalam Kitab-kitab Fiqih yang biasanya bahkan meliputi cakupan
yang lebih luas, termasuk bidang perkawinan (akad nikah), wakaf, kontrak

1
kerja dan sebagainya, namun pada materi hukum perikatan Islam di buku
ini hanya mencakup perikatan yang berhubungan dengan bidang perniagaan
atau kegiatan usaha (bisnis).

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Hukum Perikatan Islam ?
2. Apa pengertian Hukum Perjanjian ?
3. Apa dasar hukum Perjanjian ?
4. Apa saja Unsur-Unsur Perjanjian ?
5. Apa Syarat Sah Perjanjian ?
6. Apa saja Jenis-Jenis Perjanjian ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Perikatan Islam
2. Untuk mengetahui pengertian Hukum Perjanjian
3. Untuk mengetahui dasar Hukum Perjanjian
4. Untuk mengetahui Unsur-Unsur Perjanjian
5. Untuk mengetahui Syarat Sah Perjanjian
6. Untuk mengetahui Jenis-Jenis Perjanjian

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perikatan Islam


Hukum Perikatan Islam yang dimaksud di sini, adalah bagian dari
Hukum Islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia di dalam
menjalankan hubungan ekonominya. Pengertian Hukum Perikatan Islam
menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. adalah merupakan seperangkat
kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur'ân, As-Sunnah (Al-Hadits), dan
Ar-Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau
lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi.
Lebih lanjut beliau menerangkan, bahwa kaidah-kaidah hukum yang
berhubungan langsung dengan konsep Hukum Perikatan Islam ini adalah
yang bersumber dari Al-Qur'ân dan hadits Nabi Muhammad SAW (As-
Sunnah). Sedangkan kaidahkaidah fiqih berfungsi sebagai pemahaman dari
syariah yang dilakukan oleh manusia (para ulama mazhab) yang merupakan
suatu bentuk dari ijtihad. Pada masa sekarang ini, bentuk ijtihad di lapangan
Hukum Perikatan ini dilaksanakan secara kolektif oleh para ulama yang
berkompeten di bidangnya. Dari ketiga sumber tersebut, umat Islam di mana
pun berada dapat mempraktikkan kegiatan usahanya dalam kehidupan
sehari-hari.

Dari pengertian tersebut di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara
Hukum Perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip
kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya
terdapat dalam sumber-sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan
adanya sifat "religius transcendental yang terkandung pada aturan-aturan
yang melingkupi Hukum Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan
pencerminan otoritas Allah SWT. Tuhan Yang Maha Mengetahui segala
tindak tanduk manusia dalam hubungan antarsesamanya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa substansi dari Hukum


Perikatan Islam lebih luas dari materi yang terdapat pada Hukum Perikatan
Perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara Hukum Perikatan
itu sendiri dengan Hukum Islam yang melingkupinya yang tidak semata-

3
mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga
hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta (Allah SWT) dan dengan
alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan HubuVertikal
dan Horizontal.
Sebagai cerminan dari ketentuan yang bersumber dari Tuhan YME.,
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan dalam Hukum
Perikatan Islam ini mengandung proteksi, yaitu dimaksudkan untuk
memberi perlindungan-perlindungan kepada manusia, terhadap kelemahan
sifat-sifat manusia yang berpotensi untuk saling menguasai atau melampaui
batas-batas hak orang lain. Hukum Perikatan Islam sebagai bagian dari
Hukum Islam di bidang muamalah, juga memiliki sifat yang sama dengan
induknya, yaitu bersifat "terbuka" yang berarti segala sesuatu di bidang
muamalah boleh diadakan modifikasi selama tidak bertentangan

B. Pengertian Hukum Perjanjian


Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih
tentang hal-hal tertentu yang telah mereka sepakati. Ketentuan umum
tentang kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia.
Hukum perjanjian meliputi pengertian umum dari asas-asas hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan perjanjian yang sah. Hukum kontrak Indonesia tetap
menggunakan ketentuan pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam
Buku III KUH Perdata.
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya para pihak
bebas mengadakan perjanjian dengan siapa saja, menentukan syarat-syarat,
berlakunya dan bentuk perjanjian itu baik secara tertulis maupun lisan.
Selain itu, ia memiliki hak untuk membuat kontrak sipil dan non-sipil. Ini
juga sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH , yang menyatakan: “Semua
yang secara sah masuk ke dalam kontrak diatur oleh hukum mereka yang
masuk ke dalamnya.”
Mendengar kata kontrak, sekilas kita langsung berpikir bahwa itu adalah
perjanjian tertulis. Dengan kata lain, kesepakatan dianggap dalam arti
sempit kesepakatan. Dalam arti luas, kontrak adalah perjanjian yang

4
mengatur hubungan antara dua pihak atau lebih. Dua orang yang bersumpah
untuk menikah satu sama lain masuk ke dalam kontrak pernikahan;
Seseorang yang memilih makanan di pasar membuat kontrak untuk
membeli sejumlah tertentu dari makanan itu. Kontrak tidak lain adalah
kontrak itu sendiri (kontrak yang mengikat tentunya).
Hukum Perjanjian menurut para ahli :
a) Menurut Sudikno, hukum perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kontraktual antara dua pihak atau lebih yang mempunyai akibat
hukum.
b) Menurut R. Subekti adalah peristiwa di mana satu pihak membuat
perjanjian dengan pihak lain untuk melakukan tindakan
atau hal tertentu.
c) Menurut R. Setiawan, hukum perjanjian adalah suatu perbuatan
membuat suatu perjanjian antara diri sendiri dengan satu orang atau
lebih.

C. Dasar Hukum Perjanjian


Saat ini, dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH Perdata. Adapun
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak yang
berbunyi:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Pasal tersebut menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk
membuat perjanjian, apapun isinya dan bagaimanapun bentuknya. Dengan kata
lain, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang dan
bagi mereka yang membuatnya.
Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih
yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat
sesuatu. Penjelasan lebih lanjut tentang asas-asas utama dalam kontrak perdata
dapat Anda simak dalam Asas-Asas yang Berlaku dalam Hukum Kontrak.
Pasal 1545 KUHPerdata berbunyi :
yang menyatakan bahwa bila barang akan ditukar musnah di luar salah
pemilik maka perjanjian menjadi gugur, dan siapa yang telah memenuhi
perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkannya.

5
Pasal 1234 KUHPerdata berbunyi :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Pasal 1313 KUHperdata berbunyi :
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

D. Unsur-Unsur Perjanjian
Memperhatikan berbagai pendapat mengenai perjanjian seperti yang telah
dikemukakan di atas, tampak bahwa suatu perjanjian di dalamnya mengandung
unsur-unsur yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a) Terdapat dua pihak atau lebih yang berjanji
b) Ada sesuatu yang menjadi objek Perjanjian
c) Ada kata sepakat diantara pihak
d) Kata sepakat untuk melakukan suatu perbuatan yang halal dan
bermanfaat bagi para pihak
e) Ada akibat hukum yang timbul dari kata sepakat tersebut
f) Ada itikad baik dari para pihak yang melakukan Perjanjian
Unsur pertama, kedua, dan keenam disebut unsur subjektif, karena mengenai
orangnya atau pelaku perjanjian, sedangkan unsur yang ketiga, keempat, dan
kelima disebut unsur objektif, yaitu menyangkut objek perjanjian. Di dalam
perkembangan doktrin atau ajaran ilmu hukum perjanjian sekarang ini, dikenal
adanya 3 (tiga) bagian yang menjadi unsur dalam suatu perjanjian, antara
lain sebagai berikut :
1) Unsur Essensialia
Unsur ini merupakan unsur yang harus ada dalam mutlak harus ada
dalam suatu perjanjian. Apabila unsur essensialia ini tidak ada, maka bukan
perjanjian yang dimaksudkan oleh para pihak. Misalnya, adanya kata
sepakat di antara para pihak. Demikian pula, misalnya harga jual merupakan
unsur essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya, tanpa
dijanjikan adanya harga, maka perjanjian tersebut bukan perjanjian jual beli
melainkan perjanjian yang berciri tukar-menukar. Peristiwa hukum tersebut
tidak dapat digolongkan pada fakta hukum semata karena peristiwa hukum

6
tersebut memenuhi unsur perjanjian lain, yaitu memenuhi unsur-unsur
perjanjian tukar menukar.
Apabila mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, dimana sebagai syarat-
syarat yang diperlukan untuk syahnya suatu perjanjian, maka kecakapan
bertindak bukanlah bagian essensialia suatu perjanjian. Memang perjanjian
harus dilakukan oleh orang yang cakap. Namun kedewasaan yang
merupakan pengertian yuridis teknis, sebagaimana menurut C. Asser,
bahwa:
"Tidaklah menyebabkan perjanjian tidak dapat dilakukan oleh orang
yang tidak cakap. Sebab dengan adanya lembaga perwakilan, perbuatan
orang yang tidak Cakap tersebut tetap dapat dilakukan."
Berdasarkan pandangan di atas maka jelas bahwa unsur kecakapan tidak
digolongkan sebagai unsur atau bagian essensialia dalam suatu perjanjian.
Lain halnya dengan tercapainya kata sepakat dan hal tertentu, keduanya
merupakan bagian atau unsur essensialia yang menentukan terbentuknya
suatu perjanjian.
2) Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya
dianggap ada tanpa perlu diperinjikan secara khusus oleh para pihak. Bagian.
dari perjanjian ini yang galibnya bersifat mengatur, yaitu termuat di dalam
ketentuan perundangundangan untuk masing-masing perjanjian bernama.
Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 1476 KUHPerdata, mengatur bahwa:
"Biaya penyerahan dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan
dipikul oleh pembeli, kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya."
Hal ini berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri,
bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk
menyimpanginya. Misalnya, kewajiban penjual untuk dapat menanggung biaya
penyerahan dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kaitan
ini, Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja mengatakan bahwa :
Unsur naturalia merupakan unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian
tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam
perjanjian yang mengandung unsur essensialia jualbeli, pasti akan terdapat
unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan
yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi."

7
Olehnya itu, berdasarkan pernyataan Kartini Muljadi & Gunawan
Widjaja di atas, maka Pasal 1476 KUHPerdata tidak dapat disimpangi oleh para
pihak, karena sifat dari perjanjian jual-beli menghendaki hal yang demikian.
3) Unsur Aksidentila
Unsuraksidentalia merupakan unsur perjanjian berupa ketentuan yang
diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya, termin (jangka
waktu) pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja
menjelaskan bahwa:
"Unsur aksidentalia merupakan unsur pelengkap dalam suatu perjanjian
yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang
oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan
persyaratan khusus yang ditentukan secara bersamasama oleh para pihak."
Dengan demikian, unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu
bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.
Misalnya, dalam hal jual beli, adalah ketentuan mengani tempat dan saat atau
waktu penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli

E. Syarat Sah Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :


a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c) Mengenai suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang halal;
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa
kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau
seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

8
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak
yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik: Si
penjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu
barang dari si penjual.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya,
adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian :
4) Orang-orang yang belum dewasa;
5) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
6) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,
dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat
suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai
cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab
yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban.
F. Jenis-Jenis Perjanjian
a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak Perjanjian timbal balik
adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah
pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain:
1) Perjanjian jual beli (koop en verkoop), yaitu suatu persetujuan antara 2
(dua) pihak, dimana pihak kesatu berjanji akan menyerahkan suatu
barang dan pihak kedua akan membayar harga yang telah disetujui.
Syarat-syarat jual-beli ialah :
a) harus antara mata uang dan barang;dan
b) jual beli bukan antara suami isteri yang masih dalam ikatan
perkawinan.
2) Perjanjian tukar-menukar (ruil) sebagaimana berdasarkan Pasal 1541
KUHPerdata, mengatur bahwa "Tukar menukar ialah suatu persetujuan
dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan
suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain."

9
3) Perjanjian sewa-menyewa (huur en verhuur) berdasarkan Pasal 1548
KUHPerdata, mengatur bahwa "Sewa menyewa adalah suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan
kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu,
dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak."
Dalam perjanjian sewa menyewa ini, maka orang dapat menyewakan
berbagai jenis barang, baik barang yang bergerak maupun barang yang tidak
bergerak. Berbeda dengan jenis perjanjian timbal balik, perjanjian sepihak
adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada 1 (satu) pihak dan hak
kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, wasiat, warisan dan lainnya.
Pihak yang 1 (satu) berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek
perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
b. Perjanjian Publik
Perjanjian publik ialah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, dengan alasan karena salah satu pihak yang
bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Di antara
keduanya terdapat hubungan antara atasan dan bawahan (subordinated), jadi
tidak berada dalam kedudukan yang sama o-ordinated). Contoh mengenai
perjanjian publik ini ialah perjanjian ikatan dinas.
c. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
1 (satu) memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri, Sebagaimana berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata, mengatur
bahwa:
"Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan
memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan,
bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak
yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberakan adalah
suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu."

10
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara
kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi itu
dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu syarat
postetatif (imbalan). Misalnya, X menyanggupi memberikan kepada Y
sejumlah uang, jika Y menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada X.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli. Perjanjian kebendaan ini
merupakan pelaksanaan dari pada perjanjian obligator. Perjanjian obligator
adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya, sejak terjadi
persetujuan timbullah hak dan kewajiban pihakpihak. Pembeli berhak
menuntut penyerahan barang dan penjual berhak atas pembayaran harga.
Pembeli berkewajiban membayar harga, sedangkan penjual berkewajiban
menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui
apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi
perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

11
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian Hukum Perikatan Islam menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary,
SH. adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-
Qur'ân, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang
hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan
menjadi objek suatu transaksi.
Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih
tentang hal-hal tertentu yang telah mereka sepakati. Ketentuan umum tentang
kontrak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Saat ini, dasar hukum perjanjian diatur dalam KUH Perdata. Adapun
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur asas kebebasan berkontrak yang
berbunyi:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Di dalam perkembangan doktrin atau ajaran ilmu hukum perjanjian sekarang
ini, dikenal adanya 3 (tiga) bagian yang menjadi unsur dalam suatu perjanjian,
antara lain sebagai berikut :
1. Unsur Essensialia
2. Unsur Naturalia
3. Unsur Aksidentila
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
c) Mengenai suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang halal;
Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
a) Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak Perjanjian timbal
balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi
kedua belah pihak.

12
b) Perjanjian publik ialah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, dengan alasan karena salah satu pihak
yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta.

B. Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan
makalah di atas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.
Setelah penulis mencoba menguraikan penelitian tentang sumber hukum dari
pandang islam , kami berharap apa yang telah kami uraikan ini dapat dipahami
oleh para pembaca nantinya.
Kami sebagai penulis menyadari jika dalam penulisan makalah ini banyak
sekali memiliki kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami
berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran agar kedepannya kami
bisa menjadikannya lebih baik

13
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, G. (2005). Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Vol. 240hlm). Jakarta: Prenada Media
Group.
Fauzi, A. (2019). Urgensi Hukum Perikatan Islam dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah. Jurnal Ekonomi Islam .
Noor Fatimah, S. B. (2018). Hukum Kontrak dan Perikatan .
Rahim. (2022). Dasar-Dasar Hukum Perjanjian : Perspektif Teori dan Praktik. (I. F. Rahim,
Ed.) Makassar: Humanities Genius.
Yudha, A. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial .
Jakarta : PRENADA MEDIA GROUP .

14

You might also like