You are on page 1of 6

ANALISIS KEPASTIAN HUKUM DALAM MENGATASI KEJAHATAN

PAJAK DI INDONESIA

Oleh
Khana Syahrani
Universitas Islam Negeri K.H Abdurrahman Wahid
khanasyahrani3@gmail.com
imahda.khori.furqon@uingusdur.ac.id

Abstrak, Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum dalam mengatasi
kejahatan pajak di Indonesia. Menggunakan metode sistematic review hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketentuan Plea bargaining dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku di Indonesia belum memberikan kepastian hukum, baik kepada
pelakunya (tersangka/pembela) dan negara sebagai korban. Disarankan untuk memperbarui
ketentuan Plea bargaining di bidang perpajakan dalam kerangka Undang-Undang, mengingat
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan
bahwa segala penanganan pemungutan pajak dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan Pasal
1 ayat (1) KUHP yang menekankan penerapan asas legalitas dalam tindak pidana termasuk
tindak pidana di bidang perpajakan. Asas legalitas harus dimaknai sebagai pemenuhan lex scripta,
lex stricta, dan lex certa.
Kata kunci : kejahatan, pelanggaran, perpajakan.

Abstrak, This research aims to analyze legal certainty in overcoming tax crimes in Indonesia.
Using a systematic review method, the research results show that the plea bargaining provisions
in the tax laws and regulations in force in Indonesia do not provide legal certainty, both to the
perpetrator (suspect/defender) and the state as the victim. It is recommended to update the plea
bargaining provisions in the field of taxation within the framework of the law, considering that
Article 23A of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia mandates that all handling of
tax collection is carried out based on the law. and Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code
which emphasizes the application of the principle of legality in criminal acts, including criminal
acts in the field of taxation. The principle of legality must be interpreted as fulfilling the lex
scripta, lex stricta and lex certa.
Key words: crime, violations, taxation.
PENDAHULUAN
Terjadinya tindak pidana perpajakan yang menimbulkan kerugian terhadap penerimaan
negara dan sebagai akibat minimnya penggunaan Plea bargaining dalam tindak pidana
perpajakan menunjukkan perlunya penanganan yang memberikan kepastian hukum bagi pelaku
yang terlibat dalam tindak pidana perpajakan dan bagi negara sebagai korban yang memerlukan
pemulihan kerugian pendapatan negara (Hermawan, 2022). Padahal, beberapa negara telah
berhasil menerapkan lie bargaining dalam menangani kejahatan perpajakan, seperti Otoritas
Pajak Inggris (HM Revenue & Customs/HMRC) yang telah memperoleh pendapatan pajak
sebesar 120 juta Poundsterling (atau setara dengan Rp 2,3 triliun). selama 2019-2020 (DDTC
News, 2020).
Memang salah satu ketentuan sanksi perpajakan di Indonesia sudah menganut Plea
bargaining, yakni penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 44B ayat (1) dan (2) UU
KUP. Namun ketentuan tersebut masih belum memberikan kepastian hukum bagi
tersangka/terdakwa dan korbanFakta tersebut salah satunya terlihat dari penanganan tindak
pidana perpajakan pada tahun 2016-2020, yang mana banyak berkas perkara yang telah
dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (atau tahap P-21). Laporan Tahunan Direktorat Jenderal
Pajak (2016; 2017; 2018; 2019; 2020) menunjukkan jumlah berkas perkara dan jumlah kerugian
penerimaan negara masih signifikan. Jumlah berkas perkara yang telah P-21 pada masingmasing
tahun sejak 2016 hingga 2020 masing-masing sebanyak 58 kasus, 134 kasus, 127 kasus, 144
kasus, dan 95 kasus. Sedangkan kerugian penerimaan negara masing-masing tahun 2016-2020
sebesar Rp. 1,52 triliun sebesar Rp. 1,7 triliun sebesar Rp. 1,27 triliun sebesar Rp. 2,12 triliun
dan sebesar Rp313,57. Namun, berkas perkara yang melakukan Plea bargaining hanya ada 8
berkas perkara, yakni pada tahun 2019-2020 (Bolifaar, 2022).
Faktanya, penerapan Plea bargaining secara baik dan transparan belum dilakukanhanya
membantu memulihkan kerugian pendapatan negara, namun juga mengatasi beberapa
permasalahan lain yang kerap terjadi, antara lain tunggakan perkara pidana yang membebani
(baik pada tahap penyidikan, penuntutan, pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan
peninjauan kembali), serta memberikan peluang agar wajib pajak menjadi patuh dan memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam memulihkan kerugian penerimaan negara (Sinaga,
2022).
Penanganan tindak pidana perpajakan masih banyak dilakukan meskipun terdapat
ketentuan penghentian penyidikan dalam hal Wajib Pajak melunasi kerugian penerimaan negara
beserta denda pidana. Perlu dilakukan kajian kepastian hukum dalam melaksanakan plea
bargaining yang transparan dan akuntabel sebagai wujudpartisipasi aktif setiap wajib pajak
dalam menjalankan kewajiban negaranya. Permasalahan yang perlu dipecahkan adalah
bagaimana kepastian hukum yang ideal mengenai Plea bargaining terhadap tersangka/terdakwa
dan korban dalam menangani tindak pidana perpajakan di Indonesia.
PEMBAHASAN

Salah satunya terlihat dari penanganan tindak pidana perpajakan pada tahun 2016-
2020,yang mana banyak berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (atau
tahap P-21). Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (2016; 2017; 2018; 2019; 2020)
menunjukkan jumlah berkas perkara dan jumlah kerugian penerimaan negara masih signifikan.
Jumlah berkas perkara yang telah P-21 pada masingmasing tahun sejak 2016 hingga 2020
masing-masing sebanyak 58 kasus, 134 kasus, 127 kasus, 144 kasus, dan 95 kasus. Sedangkan
kerugian penerimaan negara masing-masing tahun 2016-2020 sebesar Rp. 1,52 triliun sebesar
Rp. 1,7 triliun sebesar Rp. 1,27 triliun sebesar Rp. 2,12 triliun dan sebesar Rp313,57. Namun,
berkas perkara yang melakukan Plea bargaining hanya ada 8 berkas perkara, yakni pada tahun
2019-2020 (Bolifaar, 2022).
Dalam Kasus Tindak Pidana Perpajakan di Indonesia, Bolifaar (2022)menyimpulkan
bahwa ple bargaining dalam tindak pidana perpajakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B UU KUP, Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 55/PMK.03/2016 dan
PMK Nomor 18/PMK.03/2021 belum memenuhi ketentuan Konsep akses terhadap keadilan
yaitu Plea bargaining sebagai hak wajib pajak dan hak negara. Hak Wajib Pajak berupa hak untuk
hidup, hak untuk memperbaiki diri, dan hak untuk ikut aktif dalam memulihkan kerugian
pendapatan negara akibat terjadinya tindak pidana perpajakan, sedangkan hak negara berupa hak
untuk membayar pajak. hak untuk mengatur dan menyamakan kepatuhan sukarela wajib
pajaknya.
Sebaliknya,plea bargaining dalam tindak pidana perpajakan cukup diselesaikan
berdasarkan keputusan Jaksa Agung atas permohonan Menteri Keuangan, sepanjang penyidikan
tindak pidana perpajakan tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Wajib Pajak telah melunasi
utang pajaknya yang kurang atau tidak seharusnya dibayar kembali dan ditambah dengan sanksi
administrasi berupa denda. Upaya pengelolaan risiko Plea bargaining yang dapat mengatasi
korupsi korporasi di Indonesia dapat dilakukan melalui partisipasi masyarakat, transparansi, dan
akuntabilitas dengan tetap memperhatikan kesalahan pelaku dan tingkat pemulihan kerugian
yang diderita korban (dalam hal terjadinya tindak pidana korupsi, yang menjadi korban korupsi
adalah negara).
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan program Plea bargaining harus melakukan
prosedurbekerja sama dengan IRS dalam menetapkan dan memenuhi kewajiban administrasi
perpajakan beserta aspek pidananya, termasuk persetujuan pengakuan Wajib Pajak yang harus
melibatkan sumber penghasilan yang sah, kesalahan atas pelanggaran ketentuan pidana
perpajakan yang diatur, dengan mempertimbangkan totalitas penipuan yang dilakukan Wajib
Pajak. dilakukan, dan tidak mengurangi jumlah kerugian pendapatan negara atas tindak pidana
perpajakan yang merupakan pelanggaran administrasi perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan permohonan pembelaan (plea bargaining) secara tertulis kepada
CID IRS, kemudian IRS membuat rujukan dan bukti yang cukup kepada Departemen Kehakiman
dengan menyampaikan usulan tertulis untuk melakukan pembelaan (plea bargaining) atas tindak
pidana perpajakan yang sedang ditangani dan memperkuat unsur pelanggaran atau pengakuan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Penilaian yang disampaikan IRS kepada DoJ harus memuat
pemeriksaan terhadap seluruh pencatatan/pembukuan secara detail untuk memastikan tidak ada
permasalahan penting yang belum tercakup atau memastikan tidak ada kerugian pendapatan
negara yang tidak diperhitungkan. , termasuk harus mengamankan dan menelaah pelaporan pajak
Wajib Pajak untuk semua tahun, baik setelah tahuntahun dilakukannya penyidikan, maupun
tahun-tahun sebelum dilakukannya penyidikan. DoJ mempunyai wewenang untuk menolak
tawar-menawar pembelaan; namun, proses penuntutan bagi wajib pajak yang permohonan
pengakuannya diterima dapat mencakup restitusi dan biaya penuntutan (IRS, 2021). termasuk
harus mengamankan dan menelaah pelaporan pajak Wajib Pajak untuk semua tahun, baik setelah
tahun-tahun dilakukannya penyidikan, maupun tahun-tahun sebelum dilakukannya penyidikan.
DoJ mempunyai wewenang untuk menolak tawar-menawar pembelaan; namun, proses
penuntutan bagi wajib pajak yang permohonan pengakuannya diterima dapat mencakup restitusi
dan biaya penuntutan (IRS, 2021). termasuk harus mengamankan dan menelaah pelaporan pajak
Wajib Pajak untuk semua tahun, baik setelah tahun-tahun dilakukannya penyidikan, maupun
tahun-tahun sebelum dilakukannya penyidikan. DoJ mempunyai wewenang untuk menolak
tawar-menawar pembelaan; namun, proses penuntutan bagi wajib pajak yang permohonan
pengakuannya diterima dapat mencakup restitusi dan biaya penuntutan (IRS, 2021).
Kajian terhadap beberapa literatur menunjukkan bahwa kepastian hukum merupakan
nilai ideal dalam membangun Plea bargaining yang mampu menangani kejahatan perpajakan di
Indonesia. Plea bargaining merupakan langkah awal menuju rehabilitasi yang diharapkan dapat
meminimalkan konflik dan biaya, berorientasi pada nilai efisiensi, dan memberikan pengurangan
hukuman hanya kepada mereka yang berhak karena penyesalan bergantung pada kesalahan
faktual dan tidak boleh dihukum (Liu, 2020). Kemudian, pemahaman umum mengenai Plea
bargaining ini juga harus mencerminkan salah satu fungsi perpajakan, yaitu fungsi anggaran dan
dampak besar dari penegakan pajak. Fungsi anggaran yang dimaksud adalah fungsi untuk
mengisi kas negara, sedangkan dampak penegakan hukum perpajakan adalah meningkatkan
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, bukan sebaliknya; Fungsi efek jera
yang menjadi ciri rezim negara hukum hampir tidak menambah permasalahan lain di bidang
perpajakan, seperti mengurangi tunggakan perkara, mengurangi over kapasitas penjara.
Peraturan Plea bargaining di bidang perpajakan di Indonesia harus
menyediakankepastian hukum bagi pelaku kejahatan perpajakan dan negara sebagai korban.
Kepastian hukum dalam perpajakan hendaknya berpedoman pada Pasal 23A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dan mengacu pada pemikiran
yang dikemukakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD),
Utrecht (1989), Gunadi (2020), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dan Sistem Hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

KESIMPULAN
Ketentuan Plea bargaining dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku di Indonesia belum memberikan kepastian hukum, baik kepada pelakunya
(tersangka/pembela) dan negara sebagai korban. Disarankan untuk memperbarui ketentuan Plea
bargaining di bidang perpajakan dalam kerangka Undang-Undang, mengingat Pasal 23A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa
segala penanganan pemungutan pajak dilakukan berdasarkan Undang-Undang. dan Pasal 1 ayat
(1) KUHP yang menekankan penerapan asas legalitas dalam tindak pidana termasuk tindak
pidana di bidang perpajakan. Asas legalitas harus dimaknai sebagai pemenuhan lex scripta, lex
stricta, dan lex certa.
DAFTAR PUSTAKA
Akademia Baru, P., Fauziati, P., Minovia, A.F., Muslim, R.Y., Nasrah, R., & Solok, Y. (2016).
The Impact of Tax Knowledge on Tax Compliance Case Study in Kota Padang, Indonesia.
Journal of Advance Research in Business and Management Studies ISSN, 2(1),2462-1935.
www.kemenkopmk.go.id
Anggia, P. (2019). The Influence of International Tax Policy on the Indonesian Tax Law.
Yuridika, 35(2), 343, https://doi.org/10.20473/ydk.v35i2.16873
Baroroh, N., Suprapti, E., Agustina, L., Yanto, H., & Susanti, S. (2021). Tax Managemen in
Indonesian Manufacturing Companies Before and After Tax Amnesty. Academy of
Accounting and Financial Studeis Journal,25(3),1-11.
Bimo, I. D., Prasetyo, C, Y., & Susilandari, C, A (2019). The effect of internal control on tax
avoidance: the case of Indonesia. Journal of Economics and Development, 21(2), 131-143.
https://doi.org/10.1108/jed-10-2019-0042
Emirzon,J., Samekto,F. X. A., & Sinaga, H, D, P (2022). Legal Certainty of Plea Bargaining In
Addressing Tax Crimes In Indonesia. V(3), 189-204.
Sayidah,N.,suryaningsum,s.,Murdianingrum,S.L.,Assagaf,A.,& Sugiyanto,H.(2020).The Justice
of Tax Amnesty and Tax Compliance: Empirical Study in Indonesia.International journal of
Financial Research, 11(6), 116. https://doi.org/10.5430/ijfr.v11n6p116
Sinaga, H. D. P., Pramugar,R. N., & Wirawan, A. (2020). Reconstruction of Criminal Provisions
for Non-Tax State Revenue: A Case Study in the Mining Sector in Indonesia. Ayer Journal,
27(3) 141-154.
https://www.ayerjournal.com/index.php/ayer/article/view/130%0Ahttp://ayerjournal.com/i
ndex.php/ayer/article/view/130s

You might also like