You are on page 1of 16

HUKUM PIDANA LINGKUNGAN DAN

PENEGAKAN HUKUM MELALUI

INSTRUMEN HUKUM PIDANA

NAMA : DEVARA ANDRE SUMAR

NIM : 18513036

KELAS :C
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang dilakukan seseorang ataupun

badan hukum korporasi sering terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal kita

tanpa kita sadari, terutama di lingkungan yang penuh dengan perusahaan-

perusahaan yang dapat memcemarkan lingkungan di sekitarnya. Hal tersebut

sangat merugikan masyarakat sekitar, karena akan membawa dampak yang

negatif, seperti akan menimbulkan banyak penyakit, bukan hanya itu, air dan

udara pun juga tercemar akibat dari perusahaan yang melakukan pelanggaran dan

membuang limbah tanpa adanya pengolahan. Namun apakah seseorang dan/atau

perusahaan korporasi yang melakukan pelanggaran tersebut akan mendapatkan

hukuman, itu semua tergantung pada permasalahan yang dihadapi apakah terdapat

pelanggaran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau tidak.

Pelanggaran dan/atau ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

disebutkan pada Pasal 98 sampai Pasal 120. Dari Undang-Undang tersebut

terdapat Pelanggaran khususnya untuk pembuangan limbah yaitu pada Pasal 98

sampai Pasal 100 UUPPLH. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu

ternyata mempunyai kesalahan atau melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya

1
disingkat (UUPPLH), maka orang atau perusahaan korporasi tersebut harus

dipidana. Tetapi jika perbuatan tersebut tidak mempunyai kesalahan, walaupun

telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, pelakunya tentu tidak

dipidana. Hal tersebut sesuai dengan asas yang mengatakan, “Tidak dipidana jika

tidak ada kesalahan”, merupakan dasar dari pada dipidananya pembuat.

Asas dalam hukum pidana disebutkan bahwa tidak pidana jika tidak ada

kesalahan. Hal ini merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu

dalam hal pidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang

telah diancamkan, ini tergantung dari persoalan apakah dalam melakukan

perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau tidak.

Selain itu lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dengan kehidupan generasi manusia. Jika lingkungan tercemar oleh perbuatan

seseorang atau perusahaan korporasi, maka sangat jelas akan merusak bahkan

menimbulkan pengaruh buruk terhadap kehidupan manusia di sekitarnya, maka

tidak perlu harus ada unsur kesalahan terhadap pelaku untuk membuktikannya

karena berdasarkan pada Pasal 88 UUPPLH. Pertanggungjawaban semacam itu

disebut strict liability tanpa kesalahan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana

lingkungan hidup?

2
2. Apakah faktor penghambat upaya penegakan hukum terhadap pelaku

tindak pidana lingkungan hidup?

1.3. Tujuan

Tujuan penulisan dan pembahasan dalam makalah ini agar kita dapat

mengetahui lebih dalam tentang upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak

pidana lingkungan hidup dan faktor penghambat upaya penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana

lingkungan

Berdasarkan undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi dalam dalam delik materil maupun

delik formil. Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi

dalam delik formil dan delik materil.

1.Delik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang

menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu

memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti

izin. Kejahatan di bidang lingkungan hidup tersebut saat ini dikategotikan sebagai

kejahatan yang luar biasa (extraoridnary crime) sehingga penanganannya harus

dilakukan luar biasa termasuk dalam hal pengaturannya ada hal-hal yang

dikecualikan dari asas-asas yang berlaku umum. Tindak pidana lingkungan hidup,

mencakup perbuatan disengaja maupun yang tidak disengaja.

2. Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum

terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya

delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti

delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

4
Penerapan asas hukum pada undang-undang ini juga tetap mengedepankan

bentuk-bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR) melalui jalur pengadilan

maupun melalui jalur di luar pengadilan,.Jalur pengadilan juga dapatdibedakan

lagi menjadi penerapan hukum pidana ataupun penerapan hukum perdata.

Penerapan hukum perdata dilakukan melalui ganti kerugian dan pemulihan

lingkungan, tanggung jawab mutlak, hak gugat pemerintah dan pemerintah

daerah, hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan.

Pada umumnya sanksi pidana merupakan aspek tindakan hukum yang

terakhir. Sanksi pidana diberikan terhadap perusahaan yang melakukan

pencemaran dan perusakan lingkungan, mempunyai fungsi untuk mendidik

perusahaan sehubungan dengan perbuatan yang dilakukan, terutama ditujukan

terhadap perlindungan kepentingan umum yang dijaga oleh ketentuan hukum

yang dilanggar tersebut. Selain itu fungsinya juga untuk mencegah atau

menghalangi pelaku pontensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak

bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

Dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni pengaturan pasalnya memuat

lebih banya pasal yang dengan sanksi pidana bila dibandingkan dengan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1997. Suatu tindak pidana di bidang pelindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dapat diketahui dari (1) Adanya laporan dari

masyarakat/pengaduan atau petugas secara tertulis atau lisan, (2) tertangkap

tangan oleh masyarakat atau petugas dan (3) diketahui langsung oleh Penyidik

PPNSLH.

5
Adapun jenis jenis tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan

ketentuan undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 98 s/d 116):

Pasal 105

Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua

republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana

dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan

denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.

Pasal 106

Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara

kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d

dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas

tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp.

15.000.000.000.

Pasal 107

Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan

perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara

paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling

sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.

Pasal 108

6
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu

tahun dan paling lama tiga belas tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000

dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.

Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang

harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu

bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga

dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti:

Pasal 98

Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan

dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau

kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp.

3.000.000.000 dan paling banyak Rp.10.000.000.000.

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

orang luka dan / atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara

palingsingkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda

paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.

7
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah).

Pasal 102

Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin

sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp.

1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000.

Pada dasarnya hukum selalu mengalami perkembangan yang bekaitan pula

dengan asas Lex posterior derogat legi priori adalah asas penafsiran hukum yang

menyatakan bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum

yang lama (lex prior). Perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ke

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 juga membawa perkembangan terhadap

sanksi pidana yang dapat menjerat pelaku selain dengan pertambahan banyak

terhadap pasal yang memuat sanksi pidana yakni dalam UU No.32 Tahun 2009

sanksi pidana dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi

dinaikkan menjadi standar miliaran rupiah.

Perubahan lain dalam hal pertanggung jawaban pidana Dalam undang-

undang yang baru tersebut, juga diatur masalah pertanggujawaban pidana bagi

korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang memerintah sehingga

terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya

tindak pidana itu secara bersama-sama (vide: Pasal 116 ayat 2). Pengaturan yang

berbeda juga dapat diamati pada peran kejaksaan yang dapat berkoordinasi

dengan instansi yang bertanggung jawab dibidang perlindungan hidup untuk

8
melaksanakan eksekusi dalam melaksanakan pidana tambahan atau tindakan tata

tertib.

Mengenai Ketentuan Pidana dalam UUPPLH, Tindak pidana dalam

undang-undang ini merupakan kejahatan. Ketentuan Pasal 97 UUPPLH,

menyatakantindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH,

merupakan kejahatan. Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-

tindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya

memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum, walaupun

tindakan tersebut oleh pembentukundang-undang telah tidak dinyatakan sebagai

tindakan yang terlarang di dalam undang-undang.

2.2 Faktor Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan

Permasalahan kebijakan pengelolaan lingkungan, pemerintah menerbitkan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang disempurnakan melalui penerbitan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Terbitnya Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut

tampaknya memang ditujukan untuk lebih memperkuat aspek perencanaan dan

penegakan hukum lingkungan hidup, yang mana terlihat dari struktur undang-

undang yang lebih dominan dalam mengatur aspek perencanaan dan penegakan

hukum. Meskipun demikian terdapat celah yang cukup mencolok dalam Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu ketiadaan pasal dan ayat yang menyinggung

tentang komitmen para pemangku kepentingan untuk memperlambat,

menghentikan dan membalikkan arah laju perusakan lingkungan (Adnan, 2009 :

36).

9
Dalam penegakan hukum lingkungan hidup terdapat berbagai hambatan

yang mengakibatkan tidak efektivitasnya faktor pendukung dalam penegakan

hukum lingkungan. Banyak peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh

pemerintah, namun pelaksanaanya dilapangan masih hambatan yang ditemui yaitu

sebagai berikut :

a. Sarana Hukum

Sarana hukum merupakan faktor kendala dan hambatan dalam

penegakan hukum lingkungan. Berbagai kebijakan operasional yang

dikeluarkan seringkali tidak konsisten dengan prinsip-prinsip perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup didalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 maupun UndangUndang yang berkaitan dengan pengelolaan

lingkungan hidup lainnya. Bahwa dalam upaya penegakan hukum

lingkungan, faktor manusia sebagai pelaksanannya akan lebih banyak

membentuk keberhasilan penegakan hukum dibandingkan dengan faktor

hukum itu sendiri.

b. Aparat Penegak Hukum

Banyak kasus-kasus lingkungan terkendala dikarenakan jumlah

aparat penegak hukum profesional yang mampu menangani kasus-kasus

lingkungan masih sangat terbatas. Disamping itu adalah mustahil kiranya

kita mengharapkan para penegak hukum itu dapat menguasai berbagai

aspek lingkungan. Karena lingkungan hidup mencakup aspek yang sangat

luas dan kompleks yang berkenaan dengan berbagai disiplin ilmu.

Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman aspek-aspek lingkungan oleh

10
penegak hukum menjadi faktor kendala yang sangat dominan dalam upaya

untuk menciptakan kesamaan presepsi penanganan perkara lingkungan.

c. Fasilitas dan Sarana

Fasilitas dan sarana adalah alat untuk mencapai tujuan penegakan

hukum lingkungan. Ketiadaan atau keterbatasan fasilitas dan sarana

penunjang (termasuk dana), akan sangat mempengaruhi keberhasilan

penegakan hukum lingkungan. Bahwa kenyataan menunjukan dalam

penanganan kasus-kasus lingkungan akan melibatkan berbagai perangkat

berteknologi canggih (peralatan laboratorium), yang untuk kepentingan

operasionalisasinya memerlukan tenaga ahli dan biaya cukup mahal.

d. Perizinan

Perizinan mememang menjadi salah satu masalah yang lebih

banyak memberi peluang bagi berkembangnya masalah lingkungan

ketimbang membatasinya. Sebab Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 masih bisa dilewati begitu saja oleh pengusaha, apalagi jika

izin yang dimaksud adalah izin yang diberikan oleh Departemen

Perindustrian, setelah sebuah perusahaan siap berproduksi.

e. Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Dalam prakteknya, AMDAL lebih mengarah pada penonjolan

pemenuhan ketentuan administratif daripada subtantifnya. Artinya

pesatnya permintaan akan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban

dalam urusan perizinan dalam suatu usaha atau dipandang sebagai

performa untuk mendapatkan akad kredit atau izin investasi. Proses

transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen AMDAL bagi

11
masyarakat tidak berjalan sesuai harapan,bahkan masyarakat (yang terkena

dampak) tidak mengetahui secara pasti adanya suatu aktifitas kegiatan.

f. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Lingkungan

Kepatutan dan ketaatan kepada ketentuan hukum (lingkungan),

merupakan indikator kesadaran hukum masyarakat. Peranserta

masyarakat, menurut undang-undang pengelolaan lingkungan hidup

merupakan komponen utama, disamping keberadaan penegak hukum,

untuk tercapainya tujuan hukum melalui sarana penegakan hukum, dengan

cara melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. Masih terbatasnya

kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan disebabkan keawaman

masyarakat terhadap aspek lingkungan dan tidak mengetahui akibat yang

akan timbul bila melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk

itu diperlukan usaha-usaha seperti penyuluhan, bimbingan, teladan dan

keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan masalah lingkungan.

Untuk itu, peningkatan kegiatan penegakan hukum yang berdimensi

edukatif-persuasif dan preventif perlu ditingkatkan dan digalakan lagi.

12
BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi dalam dalam delik materil maupun

delik formil. Pada umumnya sanksi pidana merupakan aspek tindakan hukum

yang terakhir. Sanksi pidana diberikan terhadap perusahaan yang melakukan

pencemaran dan perusakan lingkungan, mempunyai fungsi untuk mendidik

perusahaan sehubungan dengan perbuatan yang dilakukan, terutama ditujukan

terhadap perlindungan kepentingan umum yang dijaga oleh ketentuan hukum

yang dilanggar tersebut. Selain itu fungsinya juga untuk mencegah atau

menghalangi pelaku pontensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak

bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.

Dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia berdasarkan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni pengaturan pasalnya memuat

lebih banya pasal yang dengan sanksi pidana bila dibandingkan dengan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1997. Adapun jenis jenis tindak pidana lingkungan

hidup sesuai dengan ketentuan undang undang nomor 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur dalam pasal 98 s/d 116.

Mengenai beberapa faktor yang menghambat dalam penegakan hukum

yaitu sarana hukum, aparat penegak hukum, fasilitas dan sarana, perizinan, sistem

Amdal, kesadaran hukum masyarakat terhadap lingkungan. Apabila semua faktor

13
tersebut dapat berjalan dengan baik maka lingkungan hidup akan benar-benar

memberikan 15 kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA

<https://www.academia.edu/10732568/Makalah_Hukum_Lingkungan> [diakses

pada 7 April 2020]

<http://digilib.unila.ac.id/9079/11/Bab%201.pdf> [diakses pada 7 April 2020]

Hardjasoemantri, Kusnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Kelima, Cetakan

Kesepuluh, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993 ;

Herlina, N. (2017). Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum

Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 3(2), 162-176;

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

15

You might also like