You are on page 1of 43

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat global yang berdampak besar pada taraf kesehatan masyarakat,
serta pembangunan sosial dan ekonomi berbagai negara. Hal tersebut
dipengaruhi oleh insiden global, prevalensi, dan jumlah kematian terkait DM
yang terus meningkat setiap tahunnya (X. Lin et al., 2020). Global Burden
of Disease Study tahun 2017, menunjukkan bahwa prevalensi global DM
pada 180 negara adalah 537 juta, dan diperkirakan akan meningkat menjadi
570.9 juta pada tahun 2025. Sementara itu, prevalensi DM di Indonesia yaitu
21 juta dan dilaporkan berada pada peringkat ketiga dengan jumlah
kematian tertinggi akibat DM pada tahun 2017 setelah India dan China (X.
Lin et al., 2020).
Diabetes Melitus sebagian besar disebabkan oleh aspek genetik serta
sikap ataupun gaya hidup seorang yang tidak sehat. Tidak hanya itu, aspek
lingkungan sosial serta pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berkontribusi
terhadap kesehatan diabetes melitus beserta komplikasinya. Diabetes melitus
ialah penyakit kronik yang tidak langsung menyebabkan kematian, namun
dapat berakibat serius jika tidak ditangani dengan baik. penatalaksanaan
diabetes melitus memerlukan penanganan multidisiplin, meliputi pengobatan
terapi non- obat dan terapi obat. International Diabetes Federation (IDF)
menyatakan bahwa terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia
menderita diabetes melitus pada tahun 2019 dengan prevalensi sebesar 9,3%
pada total penduduk pada usia yang sama. IDF memperkirakan prevalensi
diabetes, berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2019 yaitu 9% pada
perempuan dan 9,65% pada laki-laki. Prevalensi diabetes diperkirakan
meningkat seiring bertambahan umur penduduk menjadi 19.9% atau 111.2
juta orang pada umur 65-79 tahun. Angka ini diprediksikan akan terus
meningkat mencapai hingga 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun
2045. IDF menyatakan penderita DM pada pada umur 20-79 tahun, terdapat
10 negara dengan jumlah penderita tertinggi dunia yaitu : Cina 116,4 juta
jiwa, India 77 juta jiwa, Amerika Serikat 31 juta jiwa, ketiga negara ini
menempati urutan 3 teratas pada tahun 2019. Indonesia berada di peringkat
ke 7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita 10,7 juta jiwa (Jais, M.,
Tahlil, T., Susanti, S.S., 2019).
Penyakit DM merupakan penyakit yang menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik.
Salah satu komplikasi kronik pada pasien DM yaitu diabetic foot ulcer.
Sekitar 15%-25% pasien DM mengalami diabetic foot ulcer selama masa
hidupnya (Armstrong et al., 2017). Prevalensi diabetic foot ulcer di seluruh
dunia adalah 6,3%. Berdasarkan data dari penelitian systematic review dan
meta-analysis untuk menghitung prevalensi diabetic foot ulcer oleh Zhang et
al., (2017), didapatkan prevalensi diabetic foot ulcer di 5 benua. Amerika
Utara memiliki prevalensi tertinggi dengan 13,0% dan Oseania memiliki
prevalensi terendah yaitu 3,0%. Prevalensi di Afrika yaitu 7,2%, Asia
(5,5%) dan Eropa (5,1%) (Zhang et al., 2017).
Indonesia menduduki peringkat keempat dari sepuluh besar negara di
dunia. Prevalensi Diabetes Melitus yang terdiagnosis pada tahun 2018,
penderita terbesar berada pada kategori usia 55 sampai 64 tahun yaitu 6,3%
dan 65 sampai 74 tahun yaitu 6,03% (Riskesdas, 2018).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetic foot ulcer yang
menjalani amputasi minor maupun mayor membutuhkan beban biaya yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien diabetic foot ulcer yang tidak
mengalami amputasi. Jangka waktu perawatan di rumah sakit yang lebih
lama merupakan penyebab hal tersebut, karena pada umumnya pasien
membutuhkan waktu untuk pulih dari operasi, pengobatan komplikasi luka,
dan menjalani masa rehabilitasi agar Sebagai salah satu dampak dari diabetic
foot ulcer, amputasi ekstremitas bawah dilaporkan menjadi salah satu
komplikasi yang paling ditakuti dan menjadi bencana tersendiri bagi pasien.
Secara global, 80% dari amputasi ekstremitas bawah disebabkan karena
diabetic foot ulcer (Hingorani et al., 2018), sedangkan kasus amputasi
ekstremitas bawah pada penderita diabetic foot ulcer di Indonesia mencapai
angka 30% dan lebih dari satu juta orang kehilangan salah satu kakinya
akibat amputasi (Oktalia & Khotimah, 2021; Oktorina et al., 2019). pasien
dapat kembali berjalan (Syed et al., 2020).
Amputasi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh atau
sebagian anggota badan. Indeks amputasi adalah amputasi yang didapat
pertama kali atau amputasi primer (Liu et al., 2021). Amputasi ekstremitas
bawah memberikan dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan,
meskipun tindakan ini dianggap sebagai pengobatan yang menyelamatkan
jiwa (Pedras et al., 2020). Hilangnya bagian anggota tubuh akan berdampak
pada kesejahteraan hidup pasien pasca amputasi. Berdasarkan penelitian
oleh Pedras et al., (2020) menunjukkan bahwa pasien yang telah diamputasi
memiliki tingkat kualitas hidup (QoL) yang rendah jika dibandingkan
dengan populasi pada umumya (Pedras et al., 2020).
Pasien pasca amputasi harus menghadapi perasaan kehilangan yang
berat, kehilangan bagian tubuh yang berakibat pada citra tubuh, kehilangan
mobilitas akibat ketergantungan pada alat-alat seperti kursi roda dan
prostesis, serta hilangnya kemampuan untuk mengatur aktivitas kehidupan
sehari-hari (Ghous et al., 2015). Pasien amputasi juga mengalami depresi
dan penderitaan emosional, kehilangan pekerjaan dan stres ekonomi, isolasi
sosial, perubahan peran sosial, serta perubahan dalam mobilitas akibat
kehilangan anggota tubuh (Crocker et al., 2021).
Sejalan dengan penelitian oleh Crocker et al., (2021); Ghous et al.,
(2015); dan MacKay et al., (2020), beberapa penelitian lain juga
menunjukkan bahwa pasien DM dengan amputasi mengalami nyeri phantom
limb pasca amputasi, kecacatan, penggunaan kursi roda dalam jangka waktu
yang lama, kehilangan kemandirian perawatan diri, penurunan aktivitas
fisik, memiliki citra tubuh yang buruk, serta memiliki strategi koping yang
disfungsional (Davie-Smith et al., 2017; Kizilkurt et al., 2020; Sahu et al.,
2016), serta mengalami kesulitan karena terpaksa meninggalkan pekerjaan
yang membutuhkan aktivitas fisik tingkat tinggi, dan berdampak pada aspek
ekonomi pasien yang tidak memiliki gaji tetap (Crocker et al., 2021),
sehingga mempengaruhi QoL pasien pasien secara keseluruhan (Crocker et
al., 2021; Davie-Smith et al., 2017; Kizilkurt et al., 2020; Sahu et al., 2016).
Penelitian oleh Kizilkurt et al., (2020) menunjukkan bahwa kualitas
hidup secara signifikan dapat meningkat oleh dukungan sosial yang diterima
oleh pasien, kepuasan terhadap prostesis yang didapat setelah amputasi, dan
penggunaan mekanisme koping yang baik dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien amputasi (Kizilkurt et al., 2020). Beberapa penelitian diatas
membuktikan bahwa kesehatan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial-
ekonomi dan strategi koping pasien, berpengaruh terhadap kualitas hidup
mereka (Pedras et al., 2020).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Amoah et al., (2018) di Rumah
Sakit Pendidikan Komfo Anokye (KATH), menunjukkan pasien pasca
amputasi mengalami banyak kesulitan yang mempengaruhi kualitas hidup.
Menurut penelitian ini, pasien pasca amputasi mengalami berbagai dampak
fisik, yaitu kesulitan dalam penyesuaian terhadap keadaan fisik pasca
amputasi. Beberapa pasien mengalami kesulitan dalam penyesuaian akibat
dari kehilangan anggota tubuh, serta kesulitan dalam menggunakan alat
bantu berjalan. Amoah et al., (2018) juga mengemukakan strategi koping
yang digunakan oleh pasien yaitu dengan menghibur diri, kepercayaan
terhadap tuhan, dan kebergantungan pada anggota keluarga dekat (Amoah et
al., 2018). Namun pada penelitian ini, tidak meninjau pengalaman nyeri
yang dialami pasien dan bagaimana pasien mengontrol nyeri phantom pasca
amputasi, dan bagaimana pengalaman pasien dalam menggunakan prostesis
sebagai alat untuk melakukan ambulasi (Amoah et al., 2018).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Amoah et al., (2018) diatas
menghasilkan 2 tema yaitu pengalaman fisik yang dialami pasien terkait
dengan penyesuaian terhadap amputasi dan keadaan fisik saat ini, perubahan
dalam gaya hidup, hilangnya fungsi kemandirian sehari-hari, perubahan
tanggung jawab maupun tugas keluarga, pengalaman psikologis/emosional,
dan pengalaman ekonomi. Sedangkan, tema kedua adalah strategi koping
yang digunakan oleh pasien dengan beberapa kategori yaitu penghibur diri,
kepercayaan terhadap Tuhan, dan kebergantungan pada anggota keluarga
dekat. Namun pada penelitian ini, tidak meninjau pengalaman nyeri yang
dialami pasien dan bagaimana pasien mengontrol nyeri phantom pasca
amputasi, dan bagaimana pengalaman pasien dalam menggunakan prostesis
sebagai alat untuk melakukan ambulasi (Amoah et al., 2018).
Penelitian kualitatif lainnya yang dilakukan oleh Crocker et al., (2021)
mengenai perspektif pasien tentang dampak fisik, psikososial, dan finansial
dari diabetic foot ulcer dan amputasi kaki diabetik di Amerika Serikat
didapatkan 4 kategori yang telah dikelompokkan yaitu pengelolaan
perawatan yang kompleks, penurunan kemampuan ambulasi, dampak
ekonomi dan pekerjaan, dan dampak emosional. Pada penelitian Crocker et
al., tahun 2021 menunjukkan bahwa banyak pasien melaporkan merasa
depresi, frustrasi, dan merasa tidak berdaya saat mereka berusaha untuk
sembuh pasca amputasi. Beberapa peserta juga mengalami tekanan ekonomi
yang berkaitan dengan kehilangan pekerjaan, akibat gangguan fisik karena
kehilangan keseimbangan, nyeri, dan kehilangan kekuatan fisik mereka.
Selain itu, beberapa pasien juga mengeluhkan lambatnya proses rehabilitasi
dari luka pasca. amputasi, mereka menjelaskan bahwa mereka kesulitan
dalam proses penyembuhan luka pasca amputasi minor, dan membutuhkan
waktu selama beberapa bulan akibat dari manajemen luka yang kurang baik
(Crocker et al., 2021).
Penelitian oleh Crocker et al., (2021) telah mengeksplorasi pengalaman
fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi pasien pasca amputasi dengan baik,
namun peneliti tidak melakukan ekplorasi terhadap strategi koping yang
digunakan pasien selama pasien menghadapi situasi krisis pasca amputasi
(Bennett, 2016; Crocker et al., 2021). Mekanisme koping dengan
manfaatkan situasi krisis menjadi suatu batu loncatan untuk menggerakkan
seseorang pada perkembangan yang positif, serta dapat sembuh dari penyakit
yang mereka alami, merupakan self-trancendence yang dimiliki masing-
masing individu (Wong et al., 2021). Mekanisme koping oleh masing-
masing individu diperlukan untuk mencapai kesejahteraan, sehingga dapat
menjalani kehidupan yang lebih baik dengan membentuk pertahanan diri
serta memotivasi diri (Wong et al., 2021).
Beberapa masalah yang telah diuraikan diatas membuktikan bahwa
amputasi ekstremitas bawah yang dialami pasien diabetic foot ulcer
merupakan pengalaman traumatis (Day et al., 2019). Namun, amputasi tidak
boleh dilihat hanya sebagai kegagalan dari pengobatan sebelumnya,
melainkan sebagai langkah pertama menuju kembalinya pasien pada
kehidupan yang lebih nyaman dan lebih produktif. Sehingga peran perawat
sangat penting dalam memberikan perawatan kesehatan yang komprehensif
kepada setiap pasien yang diamputasi.
Perawat dalam memberikan perawatan diharapkan dapat menunjukkan
sikap empati terhadap keadaan pasien, dan memahami bahwa seseorang
yang diamputasi tidak mudah beradaptasi dengan keadaan fisik, psikologi,
sosial dan ekonomi mereka yang mengalami perubahan. Sehingga perawat
harus memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi pasien. Toleransi dan
empati yang ditunjukkan oleh perawat, akan meningkatkan kepercayaan
pasien terhadap tenaga profesional kesehatan, sehingga pasien mudah
termotivasi untuk berbagi tentang perasaan dan ketidaknyamanan yang
mereka alami (Shakshi & Ranju, 2019). Ketika pasien menceritakan dengan
bebas perspektifnya mengenai kondisi kesehatan mereka pasca amputasi,
diharapkan hal tersebut dapat memberikan acuan penting untuk tenaga
perawat dalam meningkatkan kualitas perawatan dan pengendalian penyakit
atau komplikasi pasca amputasi (Crocker et al., 2021; Juszczak et al., 2019).
Mendalami pengalaman fisik, psikologi, sosial dan ekonomi, serta
strategi koping pasien DM dengan amputasi, diharapkan dapat
meningkatkan adaptasi pasien terhadap situasi baru dan untuk memberikan
harapan hidup yang panjang dan sehat (Kaya & Bilik, 2020), meningkatkan
kenyamanan pasien, mengurangi gangguan mobilitas pasien, mencapai taraf
kesehatan semaksimal mungkin, dan mengurangi risiko kemungkinan
komplikasi dan deteksi dini pasca amputasi. Sehingga mengarah pada
peningkatan kualitas hidup pasien (Juszczak et al., 2019).
Berbagai penelitian yang ditemukan mengenai pasien diabetic foot ulcer
pasca amputasi, tidak banyak yang mengeksplorasi pengalaman pasien
diabetic foot ulcer pasca amputasi ekstremitas bawah di Indonesia.
Pengalaman hidup pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi yang kompleks,
tidak dapat dilakukan dengan hanya memperhitungkannya secara statistik.
Sehingga diperlukan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi lebih
dalam pengalaman mereka, tentang bagaimana mereka mendeskripsikan dan
mengekspresikan pengalaman fisik, psikologi, sosial dan ekonomi serta
strategi koping yang mereka alami secara langsung dengan berbagai latar
belakang yang berbeda (Afiyanti, Y & Rachmawati, 2014). Penelitian
dengan menggunakan pendekatan kualitatif memberikan peluang pada
pasien untuk menceritakan bagaimana pengalaman pasien diabetic foot ulcer
setelah amputasi sesuai dengan versinya masing-masing (Afiyanti &
Rachmawati, 2014; Nelwati et al., 2021).
Berdasarkan hasil observasi, pasien merupakan pasien amputasi minor
yang telah menjalani amputasi kaki kedua kalinya pada bagian ossa digiti IV
dan V, dimana sebelumnya pasien telah menjalani amputasi kaki pada
bagian ossa digiti III, dan mengalami komplikasi berupa infeksi. Pasien
mengalami respon fisik berupa nyeri skala 8 akibat lukanya yang mengalami
infeksi, kehilangan kemampuan berjalan dan kemandirian dalam melakukan
aktivitas fisik. Hasil wawancara didapatkan pasien mengalami kecemasan,
ketakutan, serta rasa penyesalan atas kondisinya saat ini. Pasien juga
mengatakan dukungan sosial dan ekonomi sangat dibutuhkan, beruba
dukungan berupa finansial dan motivasi selama perawatan. Pasien juga
menggunakan mekanisme koping yang baik, dimana pasien yakin untuk
sembuh dan semangat untuk mengikuti instruksi yang diberikan oleh
perawat dan dokter.
1.2 Keaslian Penelitian

1.3 Rumusan Masalah


Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetic foot ulcer yang
menjalani amputasi minor maupun mayor membutuhkan beban biaya yang
lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien diabetic foot ulcer yang tidak
mengalami amputasi. Jangka waktu perawatan di rumah sakit yang lebih
lama merupakan penyebab hal tersebut, karena pada umumnya pasien
membutuhkan waktu untuk pulih dari operasi, pengobatan komplikasi luka,
dan menjalani masa rehabilitasi agar pasien dapat kembali berjalan,
sedangkan kasus amputasi ekstremitas bawah pada penderita diabetic foot
ulcer di Indonesia mencapai angka 30% dan lebih dari satu juta orang
kehilangan salah satu kakinya akibat amputasi, maka peneliti membuat suatu
rumusan masalah: “Bagaimanakah pengalaman pasien diabetic foot ulcer
pasca amputasi minor di Rs dr Rubini”.?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai
pengalaman pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi minor.
1.4.2 Tujuan khusus
1.4.2.1 Untuk Mengetahui lebih dalam pengetahuan pasiem tentang DM
1.4.2.2 Untuk mengetahui lebih dalam respon pasien
1.4.2.3 Untuk mengexplorasi hambatan pada pasien
1.4.2.4 Untuk menggali lebih dalam harapan pasien
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
1.5.2 Manfaat praktis
a. Bagi pendidikan keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi serta
referensi bagi keperawatan untuk mengetahui pengalaman pasien
diabetic foot ulcer pasca amputasi selama menjalani masa rehabilitasi
b. Bagi pelayanan keperawatan
Hasil peneelitian ini diharapkan dapat meningkatkan informasi dari
temuan sehingga dapat menambah pemahaman pengalaman sakit pada
pasien diabetic foot ulcer pasca amputasi ekstremitas bawah
c. Bagi responden (tambahkan manfaat penelitian untuk responden)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe II

2.1.1 Pengertian
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan terganggunya
proses metabolisme glukosa di dalam tubuh yang disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada
membran basalis dengan karakteristik hiperglikemia (American Diabetes
Association, 2023).
World Health Organization (WHO) merumuskan bahwa Diabetes Melitus
yaitu sekumpulan problema anotomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor dimana didapatkan defisiensi dari insulin yang absolut atau relative
dengan gangguan fungsi insulin. (World Health Organization, 2020).
Menurut Smeltzer & Bare (2019), diabetes melitus merupakan suatu
penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multisistem dan mempunyai
karakteristik hiperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja
insulin yang tidak adekuat.
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa dalam darah (Hiperglikemia) sebagai akibat
adanya kelainan insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Bentuk dari DM
Tipe 2 dapat bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi relative sampai kondisi dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (PERKENI, 2019).
Menurut Decroli (2019), Diabetes Melitus Tipe 2 yaitu suatu keadaan
dimana terjadi gangguan sensitifitas insulin dan /atau gangguan sekresi
insulin, dimana tubuh tidak mampu lagi memproduksi cukup insulin untuk
mengkompensasi peningkatan insulin resisten.
2.2 Etiologi
Diabetes Melitus Tipe 2 menurut ADA (2019), terjadi karena penurunan
frekuensi produksi insulin yang dihasilkan oleh sel β pancreas, yang
melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin. Decroli (2019) menyebutkan
DM tipe 2 disebabkan oleh gangguan produksi insulin, fungsi insulin atau
kedua-duanya. Hormon Insulin berfungsi mengatur kadar gula darah.
Diabetes yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan Gula darah yang tinggi
(Hiperglikemia), dan seiring waktu mengakibatkan kerusakan banyak sistem
dalam tubuh, terutama pembuluh darah dan syaraf (WHO, 2020).
Kadar insulin bisa normal, meningkat atau rendah tetapi fungsi untuk
metabolism glukosa berkurang atau tidak ada sehingga glukosa darah
meningkat, yang disebut hiperglikemia. Kurangnya kadar insulin
menyebabkan pasien membutuhkan insulin dari luar. Secara Klinis,
Diabetes Melitus terjadi saat tubuh tidak mampu lagi menghasilkan insulin
ang cukup untuk mengkompensasi peningkatan insulin yang resisten.
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada penderita DM biasanya tergantung dari tingkat
hiperglikemia yang telah dialami oleh pasien. Manifestasi klinis yang dapat
muncul pada seluruh tipe diabetes adalah poliuria, polidipsia serta
poliphagia. Poliuria dan polidipsia dapat terjadi sebagai akibat dari
kehilangan cairan secara berlebihan. Pasien akan mengalami poliphagia
yang diakibatkan dari kondisi metabolic yang telah diinduksi dengan adanya
defesiensi insulin serta memecahkan lemak serta protein.
Gejala lain yang timbul adalah lemah, lelah adanya perubahan pada
penglihatan, rasa gatal pada tungkai atau kaki, disertai dengan kulit kering,
adanya luka yang dalam penyembuhannya lama serta infeksi secara
berulang (Smeltzer, et al. 2008 dalam Damayanti, 2017).
2.4 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2020 menyatakan
bahwa DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain.
Namun jenis DM yang paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
2.4.1 Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 merupakan proses autoimun atau idiopatik dapat
menyerang orang semua golongan umur, namun lebih sering terjadi
pada anak-anak. Penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin
setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2019). DM tipe
ini sering disebut juga Juvenile Diabetes atau Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), yang berhubungan dengan antibody
berupa Islet Cell Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan
Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak
penderita IDDM mempunyai jenis antibody ini (Bustan, 2007 dalam
Alkhoir, 2020).
2.4.2 Diabetes melitus tipe 2
DM tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis DM yang paling sering
terjadi, mencakup sekitar 90% pasien DM didunia (IDF, 2019).
Keadaan ini ditandai oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif. Menurut Greenstein dan Wood (2010) dalam Alkhoir (2020)
menyebutkan bahwa DM tipe ini lebih sering terjadi pada usia diatas
40 tahun, akan tetapi dapat pula terjadi pada orang dewasa muda dan
anak-anak.
2.4.3 Diabetes melitus gestational
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi
glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal (Alfi et al., 2019). Diabetes yang
didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan dan tidak
mempunyai riwayat diabetes sebelum kehamilan (ADA, 2020).
2.4.4 Diabetes melitus tipe lain
DM tipe ini terjadi akibat penyakit gangguan metabolik yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa darah akibat faktor genetik fungsi sel
beta, kerusakan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun
dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan penyakit DM (Alfi et
al., 2019).
2.5 Patofisiologi

Pada DM terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,


yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, maka akan terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin
disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan oleh jaringan. Ada beberapa
faktor yang diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi insulin. Antara lain yaitu faktor genetik, usia (resistensi insulin
cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga
dan kelompok etnik tertentu seperti golongan Hispanik serta penduduk asli
Amerika (Wulandari, 2018).
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Pada pasien toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
DM (Wulandari, 2018). Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetes jarang terjadi pada DM. Jika
DM tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang
dinamakan sindrom hiperglikemik hyperosmolar nonketotik (HHNK)
(Wulandari, 2018).
2.6 Komplikasi

Komplikasi Diabetes Melitus menurut Sujono (2013) adalah sebagai


berikut:
2.6.1 Komplikasi yang bersifat akut
a. Koma hipoglikemia
Koma hipoglikemia terjadi karean pemakaina obat-obat diabetik
yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan
glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi
untuk masuk ke dalam sel.
b. Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari
sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak
ada glukosa maka benda-benda keton akan dipakai sel. Kondisi ini
akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran
bendabenda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
asidosis.
c. Koma hiperosmolar nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan
ekstrasel karena banyak dieksresi lewat urin.
2.6.2 Komplikasi yang bersifat kronik
a. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh
darah jantung, 24 pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami
atherosklerosis sering terjadi pada NIDDM. Komplikasi
makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri
koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
b. Mikroangopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati
diabetika, nefropati diabetic. Perubahan-perubahn mikrovaskuler
yang ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara
jaringan dan pembuluh darah sekitar. Pada penderita IDDM yang
terjadi neuropati, nefropati dan retinopati. Nefropati terjadi karena
perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal yang
menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal tubulus dan
glomerulus, penyakit ginjal dapat berkembang dari proteinuria
ringan ke ginjal. Retinopati ditandai dengan adanya perubahan
dalam retina kaeran penurunan proein dalam retina.
c. Neuropati diabetika Akumulasi orbital didalam jaringan dan
perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik
saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan penurunan
persepsi sensori nyeri.
d. Rentan infeksi seperti tuberculosis paru dan infeksi saluran kemih.
e. Kaki diabetik adalah perubahan mikroangiopati, makroangiopati
dan neuropati yang menyebabkan perubahan-perubahan pada
ekstermitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan
sirkulasi, terjadi infeksi, ganggren, penurunan sensasi dan
hilangnya fungsi saraf sensorik. Hal tersebut dapat menunjang
terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan ganggren.
2.2 Ulkus Diabetic
2.2.1 Pengertian
Ulkus kaki diabetik adalah lesi non traumatis pada kulit (sebagian atau
seluruh lapisan) pada kaki penderita diabetes melitus (Mariam et al., 2017).
Ulkus kaki diabetik biasanya disebabkan oleh tekanan berulang (geser dan
tekanan) pada kaki dengan adanya komplikasi terkait diabetes dari
neuropati perifer atau penyakit arteri perifer, dan penyembuhannya sering
dipersulit oleh perkembangan infeksi (Jia et al., 2017). Ulkus diabetikum
didefinisikan sebagai ulkus di bawah pergelangan kaki karena berkurangnya
sirkulasi kapiler dan atau arteri, neuropati, dan kelainan bentuk kaki
(Robberstad et al., 2017).
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi lanjutan pada pasien penderita
diabetes melitus, ulkus diabetikum adalah kondisi luka yang terjadi pada
pasien diabetes yang diakibatkan dengan adanya kelainan pada saraf,
pembuluh darah yang kemudian menjadi infeksi apabila kondisi seperti ini
tidak diatasi dengan baik maka akan berlanjut menjadi pembusukan pada
daerah luka bahkan bisa sampai dilakukan amputasi (Surya et al., 2021).
Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus yang
menyebabkan peningkatan morbiditas secara keseluruhan pada pasien,
penderita diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2 memiliki risiko seumur hidup
mengalami komplikasi ulkus diabetikum sebesar 25%. Ulkus diabetikum
dapat juga terbentuk karena kurangnya kontrol glikemik, neuropati,
penyakit pembuluh darah tepi, atau juga perawatan luka kaki yang tidak
maksimal (Alzamani et al., 2022).
2.2.2 Etiologi
Ulkus diabetikum disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: neuropati, trauma,
deformasi kaki, tekanan tinggi pada telapak kaki dan penyakit vaskuler.
Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus diabetik juga menyeluruh dan sistematik
dapat juga memberikan arahan yang adekuat. Ulkus diabetik juga dapat
disebabkan oleh tekanan yang terus menerus atau dengan adanya gesekan
yang mengakibatkan terjadinya absarsi dan merusak permukaan epidermis
kulit (Ose et al., 2018).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala ulkus diabetikum menurut ADA (2019) adalah sering
merasa kesemutan, nyeri kaki saat sedang istirahat, sensasi rasa berkurang,
kerusakan pada jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis
pedis, tibialis, dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin, dan juga kuku
menebal, kulit menjadi kering, dan didapatkan luka yang timbul secara
spontan maupun karena terjadinya trauma sehingga menyebabkan luka yang
terbuka
2.2.4 Klasifikasi
Gambar 2.1 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetikum

Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetikum. Klasifikasi Wagner-Meggit paling


banyak digunakan secara menyeluruh untuk penilaian lesi pada ulkus kaki
diabetikum. Sistem penilaian ini memiliki 6 kategori. Empat kelas pertama
(Kelas 0,1,2 dan 3) berdasarkan kedalaman pada lesi, jaringan lunak pada
kaki. Dua nilai terakhir (Kelas 4 dan 5) berdasarkan pada tingkat gangrene
serta perfusi yang sudah hilang. Kelas 4 lebih mengacu pada gangrene kaki
parsial lalu kelas 5 lebih kepada gangrene yang menyeluruh. Luka
superficial yang mengalami infeksi ataupun disvaskular tidak bisa
diklasifikasikan oleh sistem tersebut. Klasifikasi ini hanya terbatas untuk
mengidentifikasi gambaran penyakit vascular sebagai faktor resiko
independen. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetikum Menurut Wagner-Meggit
dalam Alavi (2014) adalah sebagai berikut : Grade 0 : Tidak ada lesi yang
terbuka, luka masih dalam keadaan utuh 17 Grade 1: Ulkus Superfisial yang
melibatkan seluruh bagian lapisan kulit tanpa menyebar ke bagian jaringan
Grade 2: Ulkus dalam, menyebar sampai ligament, otot, tapi tidak ada
keterlibatan dengan tulang serta pembentukan abses Grade 3: Ulkus dalam
disertai oleh pembentukan abses atau seluitis sering disertai dengan
osteomyelitis Grade 4: Gangren yang terdapat pada jari kaki atau bagian
distal kaki dengan atau tanpa adanya selulitis Grade 5: Gangren yang terjadi
pada seluruh kaki atau sebagian pada tungkai.
2.2.5 Patofisiologi

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyanding


DM yang mengalami kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motoric dan autonomic akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi menjadi merebak menjadi infeksi
yang luas (Supriyadi, 2017).
Aterosklerosis dan neuropati peripheral merupakan dua penyebab utama
yang menyebabkan terjadinya komplikasi diabetes. Aterosklerosis
menyebabkan penurunan pada aliran darah dalam tubuh sehingga terjadi
penebalan pada membrane pembuluh darah kapiler, hilangnya elastisitas,
dan juga terjadi pengendapan lipid di dalam dinding pembuluh darah, jika
tidak ditangani dengan segera akan menyebabkan iskemia pada pembuluh
darah. Neuropati perifer juga mempengaruhi sistem saraf motorik, sensorik,
dan juga sistem saraf otonom, ada juga penyebab multifaktorial seperti vasa
nervorum, disfungsi endotel, hiperosmolaritas kronis, dan juga adanya efek
peningkatan sorbitol dan fruktosa (Alzamani et al., 2022).
2.2.6 Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik
2.2.6.1 Fisiologi
Proses penyembuhan luka merupakan suatu proses restorasi alami luka
yang melibatkan sebuah proses yang sangat kompleks, dinamis, dan juga
terintegritas pada sebuah jaringan karena ditemukannya kerusakan. Ulkus
diabetikum juga disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dengan
adanya gesekan yang mengakibatkan kerusakan pada kulit, gesekan yang
terjadi mengakibatkan absarsi serta merusak permukaan epidermis kulit
(Ose et al., 2018).

2.2.6.2 Proses Penyembuhan Luka


Cara penyembuhan luka diabetikum menjadi tiga tipe atau berdasarkan
cara penyembuhannya yaitu penyembuhan luka secara primer (primary
intention). Jaringan luka yang ditutupi melalui prosedur penjahitan yang
dikatakan sembuh dengan penyatuan primer. Luka ini sembuh dengan
bekas luka yang bersih, rapih, dan juga tipis dan secara sekunder
(secondary intention) ketika terjadi kehilangan pada sel yang lebih luas
atau terjadi kerusakan jaringan sel besar memakan proses penyembuhan
luka akan menjadi rumit. Jaringan pada granulasi tumbuh dari tepi umtuk
menyembuhkan luka, jika luka sembuh maka akan meninggalkan bekas
luka (scar) yang buruk. Penyembuhan luka disebut juga dengan luka
sekunder. Perbedaan dari penyembuhan sekunder dan primer antara lain
fase inflamasi 20 lebih intens dan membentuk jaringan granulasi dalam
jumlah yang lebih banyak dan juga kontraksi luka lebih banyak.
Penyembuhan luka secara tersier (Tertiary Intention atau Delayed Primary
Intention). Penyembuhan luka secara tersier yaitu penyembuhan luka
secara premier yang tertunda hingga 4-6 hari karena akibat dari komplikasi
seperti infeksi. Penyembuhan luka secara sekunder dihentikan dan juga
luka ditutup secara mekanis dengan balutan dan jahitan (Shila et al., 2022).
2.2.6.2 Fase-Fase Penyembuhan Luka
a. Fase inflamasi dan hemostatis
Pada fase ini akan terjadi edema, ekimosis, kemerahan dan juga nyeri,
inflamasi terjadi karena mediasi oleh sitokin, kemokin, faktor
pertumbuhan dan juga efek terhadap reseptor. Hemostatis
Vaskonstriksi sementara dari pembuluh darah yang sudah rusak terjadi
pada saat sumbatan trombosit dibentuk dan di perkuat juga oleh
serabut fibrin untuk membentuk sebuah bekuan fase inflamasi terjadi
mulai dari 0 sampai 3 hari.

Gambar 2.3 Fase Inflamasi dan Hemostatis


Sumber: Rumah Sakit EMC

b. Fase proliferasi
Fase proliferasi terjadi karena simultan dengan fase migrasi dan
proliferasi sel basal yang juga terjadi selama 2 sampai 3 hari, pada
fase ini terdiri dari neoangiogenesis, penbentukan jaringan yang
sudah tergranulasi, dan juga epitelisasi Kembali. Jaringan yang
sudah terganulasi terbentuk oleh pembuluh darah kapiler 21 dan
limfatik kedalam luka dan kolagen yang disintesis kemudian olhe
fibroblast akan memberikan kekuatan pada kulit. Sel epitel akan
mengeras dan memberikan waktu untuk kolagen memperbaiki
jaringan yang luka atau rusak. Proliferasi dari fibroblast dan
sintesis kolagen membutuhkan waktu selama dua minggu.

Gambar 2.4 Fase Proliferasi


Sumber Rumah Sakit EMC
c. Fase maturasi (remodelling)
Pada fase ini berkembang dengan pembentukan jaringan seluler
dan juga penguatan epitel baru yang sudah ditentukan oleh
seberapa besarnya luka. Jaringan granular seluler berubah menjadi
masa asseluler dalam waktu beberpa bulan hingga 2 bulan (Handi
et al., 2017).
Gambar 2.4 Fase Maturasi
Sumber Rumah Sakit EMC

d. Faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka


Faktor yang berperan dalam menghambat atau lamanya proses
penyembuhan luka kaki diabetik yaitu, berasal dari perawatan
luka, pengendalian infeksi, vakularisasi, usia, nutrisi, penyakit
komplikasi, adanya Riwayat merokok, pengobatan, psikologis, dan
juga ada hubungan stress pada pencitraan tubuh pada penderita
diabetes melitus (Mesrida dan Nurhida, 2021)
a. Fenomenologi
Fenomenologi adalah pendekatan yang dimulai oleh Edmund Husserl
dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk memahami atau
mempelajari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini berevolusi sebuah
metode penelitian kualitatif yang matang dan dewasa selama beberapa
dekade pada abad ke dua puluh. Fokus umum penelitian ini untuk
memeriksa/meneliti esensi atau struktur pengalaman ke dalam kesadaran
manusia (Tuffour: 2017).
Definisi fenomenologi juga diutarakan oleh beberapa pakar dan
peneliti dalam studinya. Menurut Alase (2017). Fenomenologi adalah
sebuah metodologi kualitatif yang mengizinkan peneliti menerapkan dan
mengaplikasikan kemampuan subjektivitas dan interpersonalnya dalam
proses penelitian eksploratori.
Sundler et al. (2019) berpendapat pemahaman pengalaman hidup
terkait erat dengan gagasan intensionalitas kesadaran, atau bagaimana
makna diciptakan. Gagasan intensionalitas mencakup bagaimana
kesadaran selalu diarahkan pada sesuatu, yang berarti bahwa ketika dalam
proses pemahaman terhadap suatu obyek, maka obyek tersebut dipahami
sebagai “sesuatu” yang memiliki makna. Selain itu dalam menganalisis
makna, analisis dimulai dari bagaimana melakukan identifikasi dan saling
terkait antar satu dengan yang lain. Analisis ini bertujuan supaya
mendapakan pemahaman kompleksitas makna dalam data yang diperoleh.
b. Amputasi
1. Konsep amputasi pada diabetes melitus
Definisi amputasi Amputasi diartikan sebagai tindakan memisahkan
bagian tubuh sebagian seperti kaki, tanggan, lutut, atau seluruh bagian
ekstremitas (Wright, 2014), Amputasi dilakukan ketika ekstremitas
sudah tidak dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain atau
terdapatnya kondisi yang dapat membahayakan keselamatan tubuh
atau merusak organ tubuh yang lain sehingga menimbulkan
komplikasi infeksi, perdarahan dan pertumbuhan stump yang
abnormal (McArdle et al, 2015; Payne & Pruent, 2015; Mei et al,
2014; Daryadi, 2012; Mark et al, 2016). Amputasi pada pasien DM
yaitu prosedur pembedahan yang dihasilkan dari sebuah kondisi medis
yang serius yang diakibatkan oleh peripheral vascular disease (PVD),
sensory neuropathy, riwayat amputasi sebelumnya, foot deformities,
dan ulcers, yang bertujuan untuk mencegah 19 penyebaran infeksi ke
bagian ektermitas yang sehat (Senra et al, 2011; Yeboah et al , 2016).
2. Jenis Amputasi
Jenis amputasi pada penderita diabetes melitus Tindakan amputasi
bagian anggota gerak atau ektermitas pada pasien DM 70% adalah
amputasi ektermitas bawah dengan angka kejadian 5% amputasi
minor yaitu partial foot dan ankle amputations, dan 95% amputasi
mayor yaitu 50% below knee amputation, 35% above knee amputation
dan 7-10% hip amputation (Dunning, 2009).
a. Amputasi minor.
Amputasi minor yang melibatkan anggota gerak dari jari kaki
sampai dengan pergelangan kaki (Payne & Pruent, 2015).
Amputasi jari kaki Amputasi ibu jari kaki yaitu amputasi tingkat
transfalangeal dapat digunakan jika nekrosis terletak dari distal ke
proksimal sendi interfalangeal (Payne & Pruent, 2015).
b. Amputasi ray
Amputasi ray dapat di lakukan jika terdapat infeksi yang mengenai
bagian falangeal merupakan teknik khusus yang sering di lakukan
20 bila infeksi mengenai salah satu bagian jari kaki dengan
menghilangkan bagian dari salah satu jari (Borkosky et al, 2012;
Sara et al, 2012). Tujuan menghindari penyebaran infeksi ke bagian
tubuh lain. Penyembuhan luka berlangsung selama 1-3 bulan dan
kaki dapat berfungsi penuh dan memungkinkan penderita amputasi
ray dapat berjalan normal (Payne & Pruent, 2015).
c. Amputasi Transmetatarsal
Indikasi tindakan amputasi transmetatarsal adalah ketika infeksi
mengenai semua jari-jari kaki, atau ibu jari dan sebagian besar jari-
jari kaki (metatarsal) yang disebabkan oleh infeksi pada kaki
diabetes, gangren dan ulserasi pada pasien diabetes mellitus yang
mengalami disvaskularisai (Ammendola et al, 2016). Amputasi ini
digunakan jika nekrosis memanjang dari proksimal ke proksimal
sendi interfalangeal, (Payne & Pruent, 2015; Serra et al, 2012).
d. Amputasi Syme Prosedur
Amputasi Syme Produser ini biasanya digunakan jika kaki telah
hancur oleh trauma (Pinzur, 1999). Amputasi ini 21
menyelamatkan panjang ekstremitas, mengangkat kaki antara talus
dan kalkaneus. Amputasi syme (modifikasi amputasi disartikulasi
pergelangan kaki) dilakukan paling sering pada trauma kaki
ekstensif dan menghasilkan ekstremitas yang bebas nyeri dan kuat
(Attinger & Brown, 2012). Tekhnik amputasi syme jarang
digunakan pada pasien DM karena berdampak pada hasil yang
buruk yaitu ketidak stabilan dari flap kalkaneus, terjadinya
devakularisasi, adanya perbedaan panjang tungkai yang membuat
sulit berjalan, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa
amptasi ini memberikan hasil yang baik bagi amputasi akibat
infeksi atau ulkus diabetik (Payne & Pruent, 2015; Senra et al,
2011; Nather et al, 2014).
e. Amputasi mayor
Amputasi mayor dianggap mencakup semua amputasi di atas sendi
pergelangan kaki yaitu transtibial, transfemoral, disartikulasi lutut,
disartikulasi pinggul, dan pelvektomi (Senra et al, 2011; Kralovec
et al, 2015).
1) Amputasi di bawah lutut (BL) Prosedur ini umumnya
dilakukanpada penyakit vaskular perifer stadium akhir
(Maurice & Bewes, 2001). Prosedur ini memberikan
rehabilitasi yang sangat baik karena dapat menyelamatkan
sendi lutut (Senra et al, 2011). Amputasi bawah lutut menjadi
alternatif dibandingkan amputasi atas lutut karena pentingnya
sendi lutut dan energi untuk berjalan (Senraet al, 2011, Saraf &
Gupta, 2015).
2) Amputasi di atas lutut (AL) Amputasi ini memegang angka
penyembuhan tertinggi pada pasien dengan penyakit vaskular
perifer. Amputasi ekstremitas atas dilakukan dengan
mempertahankan panjang fungsional maksimal dengan
mengunakan prostesis segera paska amputasi dapat
mengembalikan fungsinya kaki secara maksimal (Senra et al,
2011).
3) Disartikulasi panggul dan hemipelvektomi Prosedur amputasi
ini biasanya dilakukan untuk tumor ganas di tungkai dan
jarang dilakukan pada penyakit vaskular perifer (Turner et al,
2016). 23 Disartikulasi sendi lutut paling berhasil pada klien
dengan usia muda, karena masih mampu mengembangkan
kontrol yang tepat terhadap prosthesis (Sjamsuhidajat & De
Jong, 2005). Bila dilakukan amputasi disartikulasi sendi
pinggul, kebanyakan orang akan tergantung pada kursi roda
untuk mobilitasnya (Senraet al, 2011).
3. Etiologi
a. Amputasi minor Terdapat 3 faktor yang dapat dipandang sebagai
predisposisi kerusakan jaringan pada kaki diabetes menyebabkan
amputasi, yaitu peripheral vaskular diseaes (PVD), neuropati, dan
infeksi (Dorfman, 2014; Kolossváry, 2015; Lipsky et al, 2011;
Lazzarini et al, 2012; Sadasiva, 2012).
b. Mayor Penderita DM yang telah memiliki riwayat amputasi minor
akan beresiko 30% mengalami reamputasi karena pada amputasi
minor, sebagian semua amputasi minor dilakukanya operasi dengan
teknik open amputasi dan adanya stump sehingga beresiko terjadinya
infeksi maka perlu di lakukannya 24 revakularisasi dan amputasi
mayor yang terdiri dari amputasi bawah lutut dan amputasi atas lutut
(Kolossváry, 2015; Lipsky et al, 2011).

Indikasi dilakukannya amputasi tersebut adalah


1) akibat penyakit vaskular perifer yang tidak dapat direkonstruksi
dengan nyeri iskemik atau infeksi yang tak dapat ditoleransi lagi
akibat stump yang terinfeksi akibat atau terjadinya osteomilitis
direct.
2) nyeri atau infeksi yang tidak dapat ditoleransi lagi pada pasien
yang tak dapat bergerak dengan penyakit vaskular perifer
3) infeksi yang menyebar secara luas dan tidak responsif terhadap
terapi konservatif (Senra et al, 2011). Secara mekanisme
terjadinya ulkus pada pasien yang mengalami amputasi mayor
akibat perubahan gaya berjalan dan perubahan keseimbangan
yang menyebabkan tekanan tumit, tekanan pertengahan kaki, dan
tekanan kaki (Handaya, 2016). Faktor lain yang berperan yaitu
PVD, neuropati, nekrotik fasciitis, deformitas tulang, dan
gangguan patologi kuku berat (Handaya, 2016; Aziz et al, 2011).
4. Komplikasi paska amputasi Komplikasi yang dapat di temukan pada
pasien dengan paska amputasi antara lain:
a. Fisik
Faskulitis nekrotika Necrotizing fasciitis (NF) adalah infeksi
jaringan lunak yang mengalami nekrosis yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan lokal yang cepat dan
mengakibatkan sepsis berat (Chen et al, 2015; Callahan et al,
2016; Ahmedani et al, 2013)
b. Kontraktur sendi pada alat gerak bawah, adanya kontraktur
panggul sangat mengganggu karena membuat pasien kesulitan
untuk mengekstensikan panggulnya dan mempertahankan pusat
gravitasi di lokasi normalnya (Vitriana, 2015). Sementara itu
jika pusat gravitasi mengalami perubahan, maka akan semakin
banyak energi yang diperlukan untuk melakukan ambulasi.
Tendensi kontraktur fleksi lutut pada amputasi bawah lutut
dapat menyebabkan kurangnya keberhasilan fitting sebuah
prostetik (Latlief et al, 2014).
c. Pantom sindrom Phantom limb sensations adalah perasaan klien
yang merasakan bahwa kakinya masih ada, bahkan penderita
mengetahui bahwa kakinya tersebut tidak ada (Myers, 2015)
f. Psikososial
1. Gangguan emosi Penderita paska amputasi sering merasa mudah marah,
cepat tersinggung pasien cenderung berdiam atau perasaan kosong,
depresi, takut, sedih, cemas, putus asa, kelelahan yang luar biasa,
kebingungan, ketidak berdayaan dan dendam. Klien memiliki serangkaian
perubahan suasana hati dari tinggi ke rendah dan seperti berada pada
sebuah roller coaster emosional (Chan, 2016; Abreu et al, 2017).
2. Depresi Amputasi tungkai bawah menyebabkan cacat fisik yang serius
dan sangat intuitif dengan penyesuaian dengan kondisi amputasi yang
impulsif menyebabkan tekanan psikologis. Depresi pada individu karena
amputasi tungkai bawah mencapai 45 % dari antara seluruh penderita
amputasi (Mozumdar & Roy, 2010).
3. Isolasi sosial menemukan bahwa klien yang telah menjalani amputasi
mengalami isolasi sosial akibat hilangnya rasa kemampuan dalam
melakukan kegiatan sehari-hari yang membuat kurangnya interaksi
terhadap keluarga dan kelompok sosial lainnya, di dukung oleh hilangnya
pekerjaan membuat adanya rasa malu dan lemah.
4. Spiritual Terjadinya spiritual health disorder akibat dari keputusasaan dan
krisis psikologis yang dialami penderita amputasi menjadikan suatu
pengalaman hidup yang traumatis. Hal ini menyebabkan individu
mengalami kemarahan terhadap fakta yang terjadi. Kemarahan ini dapat
ditujukan kepada siapa saja, apakah dirinya sendiri, orang-orang sekitar
yang dekat dengannya, dan bahkan dengan Tuhan (Kaban, 2014).
Penelitian Salehi (2012) mengungkapkan pengalaman penderita paska
amputasi terhadap kesehatan rohani dalam proses pengobatan adalah
kekecewaan dan keputusasaan, rasa bersalah, merasa jauh dari Tuhan,
berhenti melakukan ibadah dan memandang Tuhan kejam. Pada
Penelitian Nusawakan (2011) menunjukan responden merasa jauh dari
Tuhan dan dengan berdoa merupakan tindakan sia-sia karena tidak dapat
melaksanakan dengan baik akibat amputasi.
5. Konsep self care behavior pada pasien diabetes mellitus dengan Amputasi

a. Konsep diabetes self care


Diabetes self care adalah program atau tindakan yang harus dijalankan
sepanjang kehidupan dan menjadi tanggung jawab penuh bagi setiap
pasien diabetes melitus (Bai et al., 2009). Diabetes self care akan
meningkatkan derajat kesejahteraan pasien DM dengan melaksanakan
perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri (Kusniyah,
2010). Self care behavior pada penderita amputasi merupakan perilaku
perawatan mandiri yang harus dilaksanakan oleh pasien meliputi
perawatan kaki dengan strategi foot care strategies dan other foot care,
menindak lanjuti rencana diit, aktivitas fisik, monitor gula darah; dan
obat-obatan (Berbrayer, 2015).
b. Self care panderita paska amputasi dengan diabetes melitus
1) Strategi foot care dan other care Angka amputasi ini dapat
diturunkan dengan melakukan pencegahan dan perawatan pada
ulkus baik dengan cara strategi Foot Care dan Other Foot Care.
a) Strategi Foot Care dan Other Foot Care
Amputasi minor Pada penderita amputasi minor dapat di
lakukan foot care berupa :
(1) Pemeriksaan kaki sendiri Pemeriksaan kaki sendiri dapat
dilakukan dengan melihat tanda-tanda gejala kaki bengkak,
memperhatikan adanya perubahan warna pada kuku ibu jari,
atau bagian dari kaki, adanya nyeri pada area kaki, adanya
kulit yang pecah mengeras (corns) atau callus (Waspadji,
2011).
(2) Pemilihan sepatu bagi kaki amputasi dan kaki sehat Sepatu
yang digunakan pada kaki yang sehat adalah sepatu yang rata
dan tampa hak 30 tinggi (low heeled) dan cukup ruang untuk
jari-jari (lace up shoes) (Berbraye,2015).
(3) Perawatan kaki Kaki dibasuh setiap hari dengan sabun mild
dan air hangat (jangan air panas). Setelah itu keringkan secara
benar, terutama sela jari, gunakan handuk yang kering
(Vitriana, 2014). Other Foot Care Strategi pada penderita
amputasi minor dengan mengunakan kaus kaki, melakukan
latihan kaki setelah meminum obat, dan mengikuti edukasi
foot care (Berbrayer, 2015).
b) Foot care amputasi mayor
Pada penderita amputasi mayor juga melakukan foot care yaitu
dengan a) Skin care Skin care dilakukan dengan
membersihkan kulit pada stump yaitu mempergunakan sabun
yang bersifat ringan, cuci kulit hingga berbusa lalu basuh
dengan air hangat. Kulit dikeringkan dengan cara ditekan
dengan lembut, tidak digosok. Pembersihan ini dilakukan
setiap hari terutama pada sore hari (Pierce et al, 2006; Maurice
et al, 2001). 31 b) Centripetal massage Centripetal massage
membantu mengurangi edema, memperbaiki sirkulasi dan
melatih otot kaki yang di amputasi. dan mencegah adhesi serta
mengurangi ketakutan pasien untuk melatih kaki yang telah di
amputasi (Reksoprodjo, 2002; Rasjad, 2003) c) Positioning
Posisi sisa kaki yang telah di amputasi harus diletakkan paralel
terhadap alat gerak bawah yang tidak diamputasi tanpa
bersandar pada bantal jika posisi dalam keadaan duduk atau
berbaring (Reksoprodjo, 2002; Rasjad, 2003). Posisi ini mula-
mula dipertahankan selama 10 menit yang kemudian
ditingkatkan menjadi 30 menit selama 3 kali per hari, dan
pertahankan posisi telentang selama mungkin. Pada pasien
dengan amputasi di bawah lutut yang mempergunakan kursi
roda maka kaki harus disandarkan pada sebuah stump board
saat pasien duduk dan fleksi lutut yang lama harus dihindari
(Vitriana, 2014). 32 d) Stump care Perawatan stump yaitu
dengan membersihkan sehari hari stump dengan sabun dengan
lembut dan bilas dengan air kemudia keringkan dengan baik
(Klute & Ledoux, 2014). Jangan merendam stump terlalu lama
saat mandi karena akan melunakan jaringan kulit sehingga
beresiko infeksi, gunakan talcum powder hal ini membeantu
mengurangi keringat pada daerah sekitar stump (Rush et al,
2012). Sock elastis dan diganti setiap hari hal ini mampu
menyerab keringat dan mengurangi iritasi pada stump. Periksa
stump dengan mengunakan cermin jika sulit untuk melihat
keadaan stump, perhatikan tanda-tanda kemerahan, kulit
disekitar stump hangat, adanya nanah atau cairan, dan adanya
tanda odema (bengkak) pada stump (Klute & Ledoux, 2014).
3) Terapi diet Terapi gizi medis (TGM) menurut ADA (2012)
merupakan bagian integral dalam pelaksanaan DM.
Pencapaian optimal dari terapi ini menentukan keberhasilan
pengelolaan DM (Sari, 2013). Intervensi 33 gizi yang efektif
pada penderita DM dapat meningkatkan kontrol gula darah,
kontrol lipid darah, kontrol tekanan darah, dan kontrol berat
badan (Wu, 2007). Pada penderita amputasi mayor harus
mempertimbangan berat badan pasien karena pengunaan
protesis, pada penderita amputasi tidak boleh mengalami
penurunan berat badan kurang dari 350 ons (Haboubi et al,
2001). 4) Aktivitas fisik Aktivitas fisik pada penderita
amputasi minor berupa olahraga berguna sebagai kendali gula
darah (Ilyas, 2011), latihan fisik secara regular, terstruktur
yang terdiri dari latihan aerobik (Bernes, 2012), latihan daya
tahan tubuh, atau gabungan keduanya dilakukan lebih dari 150
menit (Diabetes Outreach, 2011) dan dikombinasikan dengan
diiet akan sangat bermanfaat menurunkan HbA1c (Umpierreet,
2011; ADA, 2010). Zinker (1997) dalam Wu (2007)
menyatakan bahwa pengaktifan otot tubuh dapat menginisiasi
glikogenolisis dan lipolisis serta menstimulasi pengeluaran
glukosa dari hepar. Manfaat olahraga pada penderita diabetes
yang dilakuakan selama 30 menit 34 dengan 3-4 kali seminggu
dapat meningkatkan penyeraapan glukosa dengan
meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan kontrol gula
darah, menurunkan risiko penyakit jantung dan veskuler,
menurunkan penimbunan lemak tubuh dan menurunkan
tekanan darah darah (ADA, 2012; Ganmini,2013) Olahraga
yang dilakukan secara terstruktur selama kurang lebih delapan
minggu menunjukkan kadar HbA1C yang rendah pada 0,66%
pasien DM tipe 2 (ADA, 2011). Latihan fisik atau olahraga
yang dapat dilakukan klien DFU bertujuan meningkatkan
kualitas hidup dan mengurangi 50%-60% angka kematian
pasien. Selain menurunkan berat badan, olahraga juga
mengurangi insiden sebesar 60% pada pasien dengan
gangguan toleransi glukosa (Jordan & Jordan, 2010). Prinsip
Latihan fisik pada penderita DM adalah Continous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurence (CRIPE) atau latihan fisik
harus dilakukan secara bekesinambungan atau rutin, dengan
memilih orah raga yang berirama seperti berjalan kaki
(Lingga, 2012), dengan gerakan yang dilakukan secara
berselang selang 35 antara gerakan cepat dan lambat, latihan
harus dilakukan secarabertahap sesuai kemampuan hingga
mencapai 30- 60 menit dan dikolaborsikan dengan latihan
daya tahan untuk meningkatkan kemampuan pernafasan dan
jantung (Gandini, 2013; Soegondo, 2011; Waspadji, 2011).
Sedangkan pada amputasi mayor harus melakukan latihan
rentang gerak sendi dilakukan sedini mungkin pada sendi di
bagian proksimal pada alat gerak yang diamputasi
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2005). Latihan isometrik pada
bagian otot quadriceps dapat dilakukan untuk mencegah
deformitas pada amputasi di bawah lutut (Sari, 2015).
Tingkatkan latihan mejadi aktif secara bertahap, dari latihan
tanpa tekanan kemudian menjadi latihan dengan tahanan pada
kaki (Brunelli, 2015). Pada awalnya kaki sangat sensitif dan
pasien didorong untuk berusaha mengurangi sensitifitasnya
(Sari, 2015). Hal ini juga akan membantu pasien untuk mulai
mengatasi keterkejutan menghadapi kenyataan bahwa alat
geraknya sudah tidak ada (Nolan, 2015). Sedangkan latihan
untuk kaki yang masih sehat adalah latihan kekuatan dan
koordinasi otot-otot kaki, 36 lutut dan panggul. Untuk
mengontrol keseimbangan, weightbearing, akselerasi dan
ground clearance selama swing phase, kaki harus mampu
melakukan kontrol saat plantar fleksi, dorsifleksi, eversi dan
inversi. Seluruh pergerakan kaki dan alat gerak bawah harus
diuji dan dilatih secara individual dan harus dipusatkan pada
aktivitas berdiri secepat mungkin, sehingga otot-otot kaki
dapat berkerja secara fungsional (Sari, 2015).
g. Caring
1. Pengertian
Caring menurut Watson dikutip oleh Potter & Perry, merupakan sentral
praktek keperawatan. Caring juga merupakan suatu cara pendekatan
yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan
kepeduliannya terhadap klien. Caring menurut Watson di kutip oleh
Asmadi merupakan intisari keperawatan dan mengandung arti responsif
antara perawat dan klien. Caring dapat membantu seseorang lebih
terkontrol, lebih berpengetahuan, dan dapat meningkatkan kesehatan
(Asmadi, 2017).
Caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki
perawat dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan
nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu Watson juga mengungkapkan caring
sebagai jenis hubungan dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan
penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi klien sebagai
manusia, dengan demikian mempengaruhi kesanggupan klien untuk
sembuh (Dwidiyanti, M. 2017).

2. Perilaku Caring
Caring perawat merupakan sikap peduli yang memudahkan pasien
untuk mencapai peningkatan kesehatan dan pemulihan. Perilaku caring
sebagai bentuk peduli, memberikan perhatian kepada orang lain, berpusat
pada orang, menghormati harga diri, dan kemanusiaan, komitmen untuk
mencegah terjadinya status kesehatan yang memburuk, memberi
perhatian dan menghormati orang lain (Nursalam, 2014 dalam Kusmiran
2015).
Perilaku caring adalah esensi dari keperawatan yang membedakan
perawat dengan profesi lain dan mendominasi serta mempersatukan
tindakan-tindakan keperawatan (Waston, 2009 dalam Kusmiran 2015).
Perilaku caring dapat ditunjukkan dalam kualitas asuhan
keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang diharapkan oleh
pasien/atau klien dalam pelayanan keperawatan. Penampilan sikap
caring merupakan hal yang penting dalam meningkatkan kepuasan
pasien akan pelayanan keperawatan dan menghindari tanggung gugat
pasien (Laschinger, Gilbert & smith, 2011). Perawat memerlukan
kemampuan khusus saat melayani orang atau pasien yang sedang
menderita sakit. Kemampuan khusus tersebut mencakup
keterampilanintelektual, teknikal, dan interpersonal yang tercermin
dalam perilaku caring (Kusmiran, 2015).
h. Pengalaman Pasien dengan Foot Ulcer Pasca Amputasi
Menurut Beberapa Penelitian Pengalaman Pasien dengan Foot Ulcer
Pasca Amputasi adalah:
1. Dalam Jurnal Zulaika Harissya et.al (2022) dengan judul Pengalaman
Psikologis Pasien Diabetes Melitus dengan DFU (Diabetic Foot Ulcer)
Pasca Amputasi, Penelitian ini menunjukkan bahwa amputasi ekstremitas
bawah memberikan dampak psikologis yang berkaitan dengan perubahan
yang terjadi setelah amputasi. Partisipan menggambarkan hal tersebut
dengan mengungkapkan kesedihan, perasaan cemas, takut, marah,
penyesalan, harga diri rendah, gangguan citra tubuh dan kaget dengan
kondisi mereka pasca amputasi, sehingga berdampak pada penurunan
kesejahteraan hidup partisipan.
2.
BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi

bagaimana peneliti membuat rencana untuk memperoleh data yang

diperlukan dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian (Sugiyono, 2011).

Pertanyaan Penelitian ini adalah bagaimana pengalaman pasien DM dengan

Foot Ulcer Pasca Minor Amputasi. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks

sosial secara alamiah untuk memperoleh gambaran dan informasi yang lebih

mendalam. Penelitian kualitatif juga bertujuan untuk menyediakan

penjelasan tersirat mengenai struktur, tatanan, dan pola yang luas yang

terdapat dalam suatu kelompok partisipan (Herdiansyah, 2011).

Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

pendekatan tematik. Menurut Boyatzis (dalam Braun & Clarke, 2006)

pendekatan tematik adalah metode untuk mengidentifikasi, menganalisis dan

melaporkan tema-tema yang terdapat dalam suatu fenomena.Menurut

Arnold (2006) analisis tematik adalah metode untuk mengidentifikasi,

menganalisis dan melaporkan pola-pola atau tema dalam suatu data. Oleh

karena itu metode ini dapat mengatur dan menggambarkan data secara

mendetail agar dapat menafsirkan berbagai aspek tentang topik penelitian.

Menurut Poerwandari (2005) pendekatan tematik merupakan suatu


proses yang digunakan dalam mengolah informasi kualitatif yang secara

umum bertujuan untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih

menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang

dikaji dari pada merinci menjadi variabel-variabel yang saling berkaitan dan

dilaksanakan secara sistematis.

B. Informan Penelitian

Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling. Teknik Purposive Sampling merupakan metode pemilihan

informan yang berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh subjek,

pemilihan subjek karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian

yang akan dilakukan.

Menurut Herdiansyah (2011) dalam teknik purposive sampling, peneliti

memilih subjek penelitian dan lokasi penelitian dengan tujuan untuk

mempelajari atau untuk memahami permasalahan pokok yang akan diteliti.

Subjek penelitian dan lokasi penelitian yang dipilih dengan teknik purposive

sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian.

Adapun penelitian ini dilakukan pada Pasien DM Pasca Amputasi di

Rsud dr Rubinni, adapun yang menjadi kriteria informan dalam penelitian

ini adalah:

1. Pasien Pasca Amputasi Minor

2. Informan berjumlah 10-12 orang

3. Pria & Wanita, Berbagai Suku dan Pendidikan


C. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian, teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara. Wawancara

adalah komunikasi dua arah dimana peneliti menggali informasi dengan

mengajukan pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara secara lebih

bebas dan leluasa serta tidak terikat oleh susunan pertanyaan pada pedoman

wawancara untuk mendapatkan data yang diinginkan (Taylor dan Bogdan,

1984).Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk menggali dan

memperoleh informasi yang berhubungan dengan Pengalaman Pasien Dm

Foot Ulcer Pasca Amputasi Minor.

Dalam penelitian kualitatif, wawancara menjadi metode pengumpulan

data yang utama sehingga peneliti harus memperhatikan bahwa ketika

melakukan wawancara, jangan sampai informan merasa seperti sedang

diinterogasi oleh peneliti. Jika hal ini terjadi, maka kejujuran dan

keterbukaan informan penelitian akan terganggu yang nantinya akan

mempengaruhi validitas data yang diperoleh.

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Langkah awal penelitian ini adalah mengumpulkan dan mempelajari

literatur baik dari buku maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan

topik penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti mencari

individu yang dapat dan tepat dijadikan informan penelitian. Setelah

menemukan informan, peneliti membangun kepercayaan kepada


Informan dan melakukan wawancara. Setelah selesai mewawancarai

semua informan, semua data yang telah didapatkan langsung ditulis

atau disalin dalam bentuk verbatim wawancara. Kemudian data

tersebut seluruhnya digolongkan, dianalisa dan dideskripsikan.

2. Pada tahap akhir penelitian, seluruh hasil penelitian telah selesai

dianalisis. Kemudian peneliti menyajikan hasil penelitian dimana siap

untuk dilaporkan dan dipertanggung jawabkan.

E. Instrument penelitian
(masukkan instrument penelitian dan pedoman wawancara nya kak)
F. Validitas dan Reliabilitas

Validitas diartikan sebagai kesesuaian antara alat ukur dengan sesuatu

yang hendak diukur, sehingga hasil ukuran yang didapat akan mewakili

dimensi ukuran yang sebenarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Akan

tetapi, dalam penelitian kualitatif validitas lebih dikenal dengan istilah

autentisitas keaslian. Autentisitas diartikan sebagai jujur, adil, seimbang, dan

sesuai berdasarkan sudut pandang individu/ subjek yang bersangkutan.

Reliabilitas dalam penelitian kualitatif diartikan pada tingkat kesesuaian

antara data/ uraian yang dikemukakan oleh subjek dengan kondisi yang

sebenarnya. Seberapa jauh kesesuaian antar data yang dikemukakan oleh

subjek dengan situasi konkret yang ditemukan di lapangan. Untuk

melihat tingkat kesesuaian tersebut diperlukan keandalan, ketelitian, dan

kreativitas peneliti dalam mengungkapkannya.


G. Analisa Data

Pada penelitian ini, analisis data dilaksanakan setelah data di

lapangan berhasil dikumpulkan dan diorganisasikan dengan baik. Hal ini

dilakukan setelah peneliti mendapatkan verbatim hasil wawancara dan

pengorganisasian data lebih mudah untuk dilakukan dan dipahami.

Analisis dilakukan dengan mencatat kronologis peristiwa yang penting

dan relevan serta insiden kritis berdasarkan urutan kejadian serta

menjelaskan proses yang terjadi selama wawancara berlangsung dan juga

isu-isu pada wawancara yang penting dan sejalan serta relevan dalam

penelitian.

Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat

menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks,

kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, atau hal-hal di antara

atau gabungan dari yang telah disebutkan. Tema-tema tersebut

memungkinkan interpretasi fenomena. Suatu tema dapat diidentifikasi

pada tingkat termanifestasi (manifest level), yakni yang secara langsung

dapat terlihat. Suatu tema juga dapat ditemukan pada tingkat laten (latent

level), tidak secara eksplisit terlihat tetapi mendasari atau membayangi

(underlying the phenomena). Tema-tema dapat diperoleh secara induktif

dari informasi mentah atau diperoleh secara deduktif dari teori atau

penelitian-penelitian sebelumnya (Poerwandari, 2005).


Menurut Hayes (dalam Indrayanti dkk, 2008) proses analisis tematik

yaitu, informasi diurutkan berdasarkan nomor tema. Tema dalam hal ini

mengacu pada ide-ide dan topik-topik yang diperoleh dalam analisis

material dan menghasilkan lebih dari satu kelompok data. Tema yang

sama digambarkan oleh kata yang berbeda, terdapat dalam konteks

berbeda, atau diekspresikan oleh orang yang berbeda.Tahapan-tahapan

pelaksanaan analisis tematik dari Hayes (dalam Indrayanti dkk, 2008)

adalah sebagai berikut:

a. Menyiapkan data yang akan dianalisis dengan cara dikelompokkan

b. Mengidentifikasi aitem-aitem tertentu yang relevan dengan topik studi

c. Mengurutkan data berdasarkan kesamaan tema

d. Menguji kesamaan tema dan menformulasikan dalam sebuah

kategori tertentu

e. Memperhatikan masing-masing tema secara terpisah dan hati-hati

untuk menguji kembali masing-masing transkrip jawaban yang

memiliki tema yang sama

f. Menggunakan semua material yang berhubungan dengan masing-

masing tema untuk membuat tema akhir yang berisi sebuah nama

kategori dan pengertiannya bersama dengan data pendukung, dan

menyeleksi data yang relevan untuk dibuat menjadi ilustrasi dan

melaporkan masing-masing tema.


H. Setting (ada tempat dan waktu penelitian)
I. Tahapan penelitian (persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan pasca
wawancara)
J. Etika penelitian

You might also like