Resume Book chapter: Modern Muslim Intellectual and The Quran.
Abdullah Saeed - “Fazlur Rahman: a framework for interpreting the ethico-legal
content of the Quran.”
Muhammad Dzilfikri Al Baihaqi
18105030037
Tentang Fazlur Rahman
Rahman merupakan salah satu pemikir modern yang terkemuka. Pemikir keturunan pakistan-amerika ini memiliki riwayat studi yang cukup kompleks. Ia memulai kesarjanaannya di negara tempat ia lahir, atau tepatnya di universitas Punjab di Lahore, Pakistan. Sarjana dan magister sama-sama ia ambil di universitas tersebut pada kajian Arab. Setelah mendapat gelar master, Rahman melanjutkan studinya di Oxford. Di sana adalah tempat Rahman menulis disertasinya. Ia menkaji tentang filsafat Ibnu sina dalam tulisannya tersebut yang kemudian menjadi ketertarikan utamanya dalam kajian filsafat Islam. Pasca studinya di Oxford selesai, ia memperdalam keilmuan filsafatnya di Universitas Durham, UK, selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu, ia menjadi salah satu professor di Universitas McGill, Canada dalam bidang studi Islam. Pada tahun 1961-1968, Rahman menjadi professor sekaligus pemimpin dari salah satu institut yang ada di Pakistan. Institut tersebut adalah bentukan dari Ayyub Khan, Presiden Pakistan pada waktu. Ayyub Khan memiliki misi untuk membangun intellectual support demi tercapainya program modernisasinya, dan orang yang dianggapnya tepat untuk memimpin adalah Rahman. Seorang yang luas intelektualitas dan pengetahuannya (dan juga reformis yang cenderung liberal). Hal ini kemudian dijadikan Rahman sebagai suatu peluang untuk melakukan perubahan pada pemikiran dan pendidikan di Pakistan. Ia kemudian mengajar sarjana muda tentang pendekatan persepktif kritis terhadap tradisi Islam dan menawarkan pendekatannya dalam beberapa hukum. Kaum tradisionalis setempat yang melihat gerakan Rahman tersebut memberi respon negatif. Respon tersebut membuat Rahman kemudian meninggalkan Pakistan dan kembali ke US (lingkungan akademiknya) dan kemudian menjadi Professor di Universitas Chicago. Di Chicago, Rahman berperan penting dalam perkembangan studi Islam di sana. Nurcholish Majid adalah salah satu murid Rahman yang berasal dari Indonesia. Kritik Rahman atas tradisi Islam Rahman berargumen bahwa alasan utama dari penurunan komunitas Muslim terpusat pada tiga hal, yakni: (1) Pengerasan intelektual dan penggantian kesarjanaan berdasarkan pemikiran asli oleh seseorang berdasarkan komentar dan komentar super. (The intellectual ossification and replacement of scholarship based on original thought by one based on commentaries and super-commentaries.) (2) Tertutupnya pintu/gerbang ijtihad. (The closing of the gate of ijtihad.) (3) Mendasarkan metode islam hanya pada taqlid. (The basing of islamic method solely on taqlid.) Dari sudut pandang ini kemudian harapan untuk sebuah kebangkitan sudah sepatutnya didasarkan pada penanganan masalah intelektual dan memposisikannya sebagai prioritas utama. Langkah pertama, menurut Rahman, adalah dengan melakukan kritik historis atas hukum, teologi, dan perkembangan mistik dalam Islam. Ini kemudian yang menjadi faktor penting dalam misinya mengungkap dislokasi antara pandangan al-Quran (the worldview of the Quran) dan bidang-bidang seperti teologi, penafsiran, dan hukum. *** Rahman tentang aliran-aliran dalam Islam. Sunni, sebagaimana klaim yang ditunjukkan, adalah aliran yang mempresentasikan Islam yang asli. Begitu kiranya klaimnya. Namun berbeda dengan Rahman. Alih-alih menyetujui klaim tersebut, ia malah berargumen bahwa Sunni telah menyimpang dari keyakinan asli Islam. Cukup problematis, namun memang seperti itu. Ia mengatakan bahwa dalam Sunni telah terjadi sebuah metamorfosis, perubahan yang radikal, dan berlawanan dengan keadaan asli dan pengajaran dalam al-Quran. Rahman menamakan penyimpangan dari al-Quran ke periode pembentukan Sunni ortodok dengan “The advent of Umayyad rule”. Hal yang sama juga dilakukan Rahman terhadap aliran Ash’aria. Hanya saja dalam kritik yang berbeda. Ketertarikan Rahman atas sebuah aliran dalam Islam malah tertuju pada Mu’tazilah. Ia tertarik dengan teori-teori mereka tentang kenabian dan pewahyuan. Ini kemudian menjadi komponen penting dari hermeneutika al-Quran miliknya. Namun hal tersebut tidak mencegah Rahman untuk melakukan kritik atas Mu’tazilah. Di sini, menurut penulis ada sedikit ketidak konsistenan Rahman atas keberpihakannya.
Kerangka kerja interpretasi Rahman
Kritiknya atas tradisi Islam, sebagaimana dijelaskan di atas, mendorong Rahman membuat kerangka metodologi Islam yang baru yang dapat berbicara banyak di era modern. Tujuannya tak lebih adalah untuk membangun tradisi intelektualitas Islam yang baru dan memberikan jalan baru bagi umat Islam. Menurutnya, metodologi dalam kajian al-Quran adalah syarat untuk membangun kembali pemikirin Islam. Rahman tidak sejalan dengan pendekatan dekontekstualisasi dalam proses kajian al-Quran. Ia berpendapat bahwa dekontekstualisasi hanya akan menjadikan al- Quran terisolasi dari pandangan yang selaras dengan alam dan kehidupan. Demikian karena, sesuai dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Quran adalah guidance bagi umat Islam di waktu, tempat, dan keadaan yang berbeda. Tentang yang terakhir, selanjutnya, Rahman membuat kerangka kerja tentang interpretasi ayat-ayat ethico-legal dalam al-Quran. Kajian tentang ethico-legal sendiri meskipun bukan ketertarikan utama dari Rahman, namun banyak tulisannya yang membahas tentang kajian ini. Setidaknya ada enam aspek yang membangun kerangka kerja Rahman tentang interpretasi ethico-legal content miliknya. Aspek-aspek tersebut antara lain: 1. Pewahyuan dan konteks sosio-historisnya (revelation and its socio-historical context) 2. Ideal dan kontingen (the ideal and the contingent) 3. Keadilan sosial sebagai objek utama (social justice as the primary objective) 4. Identifikasi atas prinsip moral (identification of moral principles) 5. Hati-hati dalam menggunakan Hadis (cautious use of the Hadits) 6. Menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang: teori ‘double movement’ (linking past and present: the ‘double movement’ theory). Pewahyuan dan konteks sosio-historisnya (revelation and its socio-historical context) Konsep pewahyuan yang diyakini oleh Rahman adalah pewahyuan yang di mana Nabi memiliki kontribusi besar di dalamnya. Rahman tidak sejalan bahkan menkritik konsep pewahyuan yang memposisikan Nabi hanya sebagai penerima pesan yang pasif, tidak memiliki peran yang lebih. Menurutnya pewahyuan merupakan sebuah proses yang kompleks. Adanya keterkaitan antara wahyu dengan konteks yang melingkupinya, membuat proses pewahyuan menjadi sebuah proses yang kompleks. Rahman mengatakan bahwa wahyu bukanlah sekedar buku yang diberikan dalam satu waktu, melainkan proses yang berkelanjutan seiring dengan misi kenabian Nabi. Kemudian dari proses itu, konteks sosial yang terjadi seiring dengannya sangat bersumbangsih atas apa yang ada dalam sebuah wahyu. Ideal dan kontingen (the ideal and the contingent) Ideal dan kontingen merupakan dua terma yang digunakan Rahman dalam me…. level dalam fungsi instruksi ethico-legal Quran. Ideal adalah tujuan yang ingin dicapai dari seorang mukmin, sedangkan kontingen berarti apa yang mungkin terjadi pada saat proses pewahyuan, melihat struktur sahabat dan kondisi pada saat itu. Untuk mengetahui dan memahami baik ideal maupun kontingen, Rahman berargumen bahwa cara yang tepat adalah kritik historis. Menurutnya dengan cara ini, konteks dan pedoman yang seharusnya dapat diketahui serta membantu membedakan ideal dari kontingen. Keadilan sosial sebagai objek utama (social justice as the primary objective) Rahman percaya bahwa ethico-legal al-Quran harus dibaca atau ditindaklanjuti ketika tujuan keadilan sosial (social justice objectives) dalam al-Quran sudah jelas. Segala bentuk kebebasan seperti pada hak asasi dan level sosial harus terlepas dari eksploitasi. Sebagaimana misi Nabi yang merubah dan menkonstruksi ulang kehidupan sosial pada masa itu agar tercapai sebuah keadilan. Identifikasi atas prinsip moral (identification of moral principles) Rahman lagi-lagi mengatakan bahwa al-Quran bukanlha kitab hukum melaikan kitab panduan berkehidupan yang mengandung etika dan pesan moral. Untuk itu dalam proses menginterpretasi al-Quran, seyogyanya mengembangkan prinsip-prinsip dasar (dalam bahasa Saeed ‘hirarki nilai’) di dalamnya. Rahman tidak memaparkan dengan jelas kerangka untuk mengembangkannya yang kemudian oleh Saeed diteruskan sehingga terciptalah konsep ‘hirarki nilai’ miliknya. Hati-hati dalam menggunakan Hadis (cautious use of the Hadits) Menekankan pentingnya sunah bagi al-Quran, Rahman menegaskan bahwa Sunnah Nabi adalah konsep berperilaku yang sah sejak awal Islam, dan bahwa al- Quran secara organis berhubungan dengan Sunnah. Rahman mengkritik seseorang yang menginterpretasi al-Quran tanpa menggunakan referensi Hadis. Baik al-Quran dan Sunna saling berkaitan. Menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang: teori ‘double movement’ (linking past and present: the ‘double movement’ theory) Enam elemen yang membangun kerangka kerja Rahman dalam menginterpretasi konten ethico-legal dalam al-Quran mengarah kepada teorinya yakni teori ‘double movement’. Maksud dari teori ini adalah adanya dua langkah yang dilakukan dalam mengambil hukum. Langkah pertama berangkat dari kasus yang konkret menuju prinsip-prinsip dasar, kemudian langkah kedua sebaliknya, dari level dasar menuju ke aturan yang spesifik. Pada langkah pertama, konteks sosio-historis al-Quran dipertimbangkan dalam mengeksplorasi kasus-kasus khusus al-Quran untuk sampai pada prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan dan kebebasan. Prinsip-prinsip dasar yang dihasilkan dari situ kemudian diteruskan ke langkah kedua. Prinsip-prinsip tersebut digunakan sebagai dasar untuk merumuskan hukum yang relevan di masa modern. Pentingnya pendekatannya adalah bahwa ia mempertimbangkan baik kondisi zaman pewahyuan maupun kondisi zaman modern dalam menghubungkan teks dengan komunitas. Rahman mengakui bahwa pendekatannya dalam usaha interpretasi al-Quran bukanlah satu-satunya pendekatan yang otoritatif. Ia juga melihat bahwa teks al- Qurab butuh untuk didekati dengan beragam pendekatan. Teori ‘double movement’ miliknya bukanlah formulasi aturan yang digunakan secara langsung untuk menginterpretasi teks. Teorinya lebih kepada panduan bagi penafsir yang mana diharapkan, ketika proses penafsiran, terhindar dari pendekatan yang cenderung dekontekstualis dan reduksionis. Teorinya tentang pewahyuan juga menenkan bahwa Nabi memiliki peran yang aktif dalam proses pewahyuan. Sebagai aktor dibalik adanyaa sebuah wahyu tersebut.