You are on page 1of 19

ANALISIS YURISPRUDENSI TENTANG IKRAR WAKAF

Mata Kuliah : Analisis Yurisprudensi Hukum Keluarga


Dosen Pengampu : Dr. Drs. Firdaus Muhammad Arwan, S.H., MH
Dr. Hj. Wahidah, MHI

Disusun Oleh:

Muhammad Fathullah (220211050105)


Nasrullah (220211050109)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
BANJARMASIN
2023 M/1443 H
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ikrar wakaf adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang dilakukan
oleh seorang wakif untuk menyerahkan sebagian atau seluruh harta
kekayaannya kepada pihak yang ditunjuk untuk dimanfaatkan selamanya dalam
rangka kepentingan umum atau agama. Dalam konteks hukum Islam, ikrar
wakaf termasuk dalam kategori ibadah dan memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam masyarakat Muslim.

Namun demikian, pelaksanaan ikrar wakaf tidak selalu berjalan dengan


lancar. Terdapat berbagai permasalahan yang seringkali timbul dalam
praktiknya, seperti perselisihan mengenai objek wakaf, syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam ikrar wakaf, serta tata cara pengelolaan harta wakaf tersebut.

Untuk itu, diperlukan analisis yuridis yang mendalam untuk memahami


permasalahan-permasalahan hukum yang terkait dengan ikrar wakaf. Analisis
tersebut dapat dilakukan dengan mengacu pada berbagai sumber hukum yang
berlaku, baik itu hukum positif maupun hukum Islam. Dengan demikian, dapat
ditemukan solusi-solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang timbul
dalam pelaksanaan ikrar wakaf, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan
lebih efektif dan efisien.
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wakaf

Wakaf adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang wakif


dengan maksud untuk menyerahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya
untuk dimanfaatkan selamanya dalam rangka kepentingan umum atau agama.
Wakaf termasuk dalam kategori ibadah dan memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam masyarakat Muslim.1

Dalam prakteknya, wakaf dapat berbentuk uang, properti, tanah, atau


aset lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum atau agama.
Pengelolaan harta wakaf tersebut dapat dilakukan oleh badan wakaf yang
ditunjuk atau lembaga lain yang berwenang. 2

Wakaf diatur dalam hukum Islam dan juga diakui oleh hukum positif di
Indonesia. Di Indonesia, wakaf diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan berbagai peraturan lainnya.3

B. Pengertian Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah kehendak atau pernyataan dari wakif (orang yang
memwakafkan hartanya) yang diucapkan secara lisan maupun tulisan kepada
lembaga penerima wakaf/nazhir untuk mewakafkan harta bendanya guna
dimanfaatkan bagi kesejahteraan umum. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Wakaf
menerangkan bahwa ikrar wakaf merupakan bukti atas kehendak wakif yang

1
Muhammad Tahir Azhary, Waqf dalam Hukum Islam: Teori dan Praktik, ( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), hlm 1.
2
Abdul Wahab Hassan, Wakaf dalam Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hlm 10.
3
A. Yahya Basrun, Hukum Wakaf: Sejarah, Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005, hlm 20.
sudah mewakafkan harta bendanya untuk dikelola oleh nazhir sesuai
peruntukannya yang sudah dituangkan dalam akta.

C. Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam


Ketentuan-ketentuan mengenai perwakafan diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, beberapa pasal yang mengatur mengenai perkawafan antara lain:

Pasal 215

Yang dimaksud dengan:


(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak
uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bemilai
menurut ajaran Islam.
(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW
adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan
yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar dari wakif dan menyerahkannya
kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat 6), diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.

Pasal 216

Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan
wakaf
Pasal 217

(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan
benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas
namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus
merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan
dan sengketa.

Pasal 218

(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan
tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6) yang kemudian
menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf, yang disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan
Menteri Agama.

Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Sudah dewasa;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Tidak berada di bawah pengampuan;
f. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka nadzir harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang
diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis
Ulama kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di
hadapan Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan disaksikan sekurang-
kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya diangkat menjadi Nadzir
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak
memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada
siapapun juga”.
“Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti
dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan
sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan
Agama kecamatan atas saran Majelis Ulama kecamatan dan Camat
setempat.
D. Wakaf menurut Pandangan Fikih
Secara harfiah, wakaf berasal dari bahasa Arab 'waqafa' yang artinya
'menahan' atau berhenti'. Ada beberapa definisi wakaf yang dikemukakan para
ahli fikih. Para ahli menjelaskan istilah wakaf saling berbeda satu sama lain.
Wakaf menurut Mazhab Syafi’i adalah menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang
kepemilikannya dari waqif, serta dimanfaatkannya pada sesuatu yang
dibolehkan. Mazhad Hanafi, misalnya, yang mendeskripsikan wakaf sebagai
tindak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai
hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada pihak lain demi
kebajikan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Sementara Mazhab
Maliki berpendapat bahwa dalam wakaf, seseorang tidak melepaskan hartanya
dari kepemilikan. Namun, wakaf dapat mencegah wakif melakukan tindakan
yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada pihak lain.
Wakif juga berkewajiban menyedekahkan manfaatnya, dan tidak boleh menarik
kembali wakafnya.
wakaf yang dikemukkakan Mazhab Hambali yaitu menahan secara
mutlak kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat
dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap
harta, sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Definisi menurut Mazhab Hambali ini memiliki kesamaan
dengan Mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak dijual, dihibahkan, diwariskan
kepada siapapun.
Dari definisi keempat Mazhab yang telah dikemukakan (Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) terdapat kejelasan bahwa wakaf berarti
menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umat
dan agama. Adapun perbedaannya adalah dalam hal apakah kepemilikan
terhadap harta yang telah diwakafkan itu terputus dengan sahnya wakaf, atau
kepemilikan itu dapat ditarik kembali oleh waqif. Secara umum, wakaf
memiliki ketetapan hukum sunah. Artinya, wakaf dianjurkan dilakukan oleh
orang yang mampu. Hal ini tercantum sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 267. "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu. Dan jangan-lah kamu memilih yang buruk-
buruk, lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahui-lah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."
Syarat wakaf harus dipenuhi oleh orang yang melaksanakannya (wakif),
benda yang diwakafkan, dan penerima wakaf yaitu:
1. Seorang wakif harus memenuhi syarat di antaranya memiliki secara penuh
harta yang akan diwakafkan, berakal, baligh, dan mampu bertindak secara
hukum.
2. Benda yang diwakafkan merupakan barang berharga, diketahui jumlahnya,
dimiliki wakif, dan benda yang berdiri sendiri. Harta benda tersebut juga
harus diketahui sejumlah saksi saat diwakafkan.
3. Penerima wakaf merupakan seorang Muslim, merdeka, dan kafir zimmi
tertentu. Kafir zimmi merupakan orang non-Muslim yang hidup dalam
negara Islam atau memiliki perjanjian damai dengan umat Muslim.

Adapun setelah ikrar wakaf dilakukan oleh wakif kepada nażir, maka
sesungguhnya hak milik atas harta benda wakaf tersebut telah berpindah kepada
Allah, dengan nażir tersebut sebagai pengelolanya. Mengenai status dan
kedudukan harta benda wakaf terdapat perbedaan pendapat di antara para
ahli/fuqaha, seperti halnya Imam Hanafi menyatakan bahwa wakaf tidak
ubahnya sebagaimana transaksi pinjam-meminjam. Sehingga ini menunjukkan
bahwa menurut pendapat Imam Hanafi, kedudukan harta wakaf kepemilikannya
tetap berada di tangan si wakif. Imam Maliki juga memiliki pendirian bahwa
harta wakaf status kepemilikannya masih tetap dalam kekuasaan si wakif.
Namun ada batasannya bahwa wakif dilarang mengalihkan harta
wakaf/mentransaksikan kepada pihak lain, selagi masa berlakunya wakaf masih
berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa menurut Imam Maliki, memungkinkan
adanya wakaf untuk masa durasi tertentu.
Sementara itu Imam Hambali dan Imam Syafi’i memiliki pandangan
yang seirama bahwa dengan terwujudnya wakaf maka status dan kedudukan
harta wakaf itu menjadi berbeda, kepemilikannya bukan lagi berada di tangan
wakif, tetapi menjadi milik Allah, sehingga harta wakaf itu terlepas dari
kegiatan transaksi. Berdasarkan uraian ini, maka harta yang telah diwakafkan
menjadikannya terlembagakan untuk selamanya, atau kekal abadi. Hubungan
antara pemilik harta semula (wakif) dengan harta yg diwakafkan telah terputus,
kecuali hak wakif yang berkaitan perolehan pahala secara terus-menerus selama
harta wakaf tersebut masih dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan umat.
DUDUK PERKARA DAN ANALISIS

A. Duduk Perkara

Penggugat (Muhyiddin Cs) dengan surat gugatannya tanggal 20 Agustus


1984 terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Bireuen Aceh pada tanggal
23 Agustus 1984 Reg no. Af 1/322/1984, di dalam sidang memberi keterangan
bahwa pada sekitar tahun lebih kurang 1922. Alm. Dadeh bin Ben Blang semasa
hidupnya telah mewakafkan sepetak kebun untuk Meunasah Desa Paloh yang
diterima oleh Tgk. Imam Haji Dayah dan kebun tersebut terletak di Desa Paloh
Kemukiman Sp.II. Kecamatan Peusangan Kabupaten Aceh Utara. Bahwa kebun
tersebut sejak diwakafkan oleh Dadeh bin Ben Blang (lebih kurang 1922)
sampai sekarang masih tetap dikuasai oleh nadzir harta wakaf Meunasah Desa
Paloh. Kira-kira dua bulan lamanya setelah terjadi wakaf lalu dibangun bale
tempat sembahyang. Kemudian dibikin Meunasah yang besar hingga sekarang
tetap masih ada. Setelah Meunasah tersebut siap dibangun oleh Tgk. Peutua
Saleh dan masyarakat setempat lantas diangkat imam-imam yang menguasai
Meunasah dan kebun wakaf itu, tetapi akhir-akhir ini oleh tergugat (Ja’far bin
Hasan Ibrahim) telah berani mendakwa bahwa nenek atau kakeknya (Tgk.
Dadeh) tidak pernah mewakafkan hartanya (kebun tersebut) kepada Meunasah
Desa Paloh. Dakwaan atau sanggahan tersebut dengan surat tanggal 31 Juli
1984, yaitu ketika masyarakat Desa Paloh akan membangun Meunasah baru
serta bahan-bahannya pun telah disiapkan. Oleh karena itu, pemohon mohon
kehadapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Bireuen agar mensahkan harta
sengketa tersebut adalah harta (kebun) wakaf Meunasah Paloh yang diwakafkan
oleh Dadeh bin Blang. Atas segala keterangannya penggugat bersedia
bersumpah.

Tergugat di depan sidang menerangkan bahwa kebun yang tersebut


dalam surat gugatan di atas adalah benar kepunyaan Tgk. Nyak Blang. Sesudah
Tgk. Nyak Blang meninggal dunia kebun tersebut jatuh kepada Tgk. Dadeh dan
setelah Tgk. Dadeh meninggal dunia seluruh harta tirkahnya difaraidkan kepada
4 orang anak, yaitu 1) Halirnah, 2) Maimuhah, 3) Khamsiyah dan 4) Hasan bin
Dadeh. Sedangkan harta tersebut dalam surat gugatan di atas adalah jatuh untuk
Hasan bin Dadeh sebagai pusaka dari ayahnya, tetapi surat faraidnya tidak ada.
Tetapi akhir-akhir ini didakwa harta tersebut adalah harta wakaf dari Tgk.
Dadeh, padahal Tgk. Dadeh tidak pernah mewakafkan hartanya sepetakpun.
Lalu tergugat periksa dalam buku pendaftaran wakaf di KUA kecamatan
tersebut tidak terdaftar.

Demikian gambaran singkat sengketa tersebut dan setelah melalui


proses peradilan akhirnya Pengadilan Agama Bireuen memutuskan
memenagkan penggugat sehingga dengan itu tanah perkara tersebut dinyatakan
sah sebagai tanah wakaf. Kemudian setelah melalui proses banding, keputusan
tersebut dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Tk. I Aceh dan selanjutnya
oleh Mahkamah Agung.

B. Analisis Putusan
Berdasarkan duduk perkara di atas dapat disimpulkan bahwa masalah
pokok dari sengketa tersebut adalah bahwa pihak penggugat mendakwa bahwa
ada ikrar wakaf dari pemilik kebun, sedangkan ahli warisnya tidak mengakui
hal tersebut. Demi membuktikan gugatannya maka penggugat telah
menghadirkan beberapa orang saksi dan juga berani mengangkat sumpah,
dengan demikian apabila para saksi telah memenuhi syarat dan memadai
jumlahnya maka pada dasarnya penggugat secara garis besar sudah dapat
membuktikan kebenaran gugatannya. Terlepas dari itu semua terdapat
kerancuan yang kemudian menimbulkan kecurigaan yakni perbedaan umur para
saksi yang diajukan penggugat pada keterangan sidang sebelum tergugat naik
banding dan sesudahnya. Ketika sidang sebelum tergugat naik banding, saksi
yang diajukan penggugat yang pertama yaitu Abdullah A Rahman dinyatakan
berumur 75 tahun dan saksi kedua yaitu Usman Hanafiyah lahir pada tahun
1918 dan saksi ketiga berumur 65 tahun yang mana setelah tergugat naik
banding dan menyatakan keberatan terhadap 3 orang saksi yang diajukan
dengan alasan bahwa para saksi masih di bawah umur pada waktu wakaf
dilaksanakan. karena itu kemudian penggugat merubah keterangannya
mengenai umur para saksi sekiranya memungkinkan diterimanya kesaksian
mereka, yakni saksi pertama berumur 100 tahun, saksi kedua berumur 80 tahun
dan saksi ketiga berumur 67 tahun.
Perbedaan umur yang signifikan pada dua keterangan tersebut,
hendaknya para hakim melakukan penyelidikan lebih dalam akan kebenaran
keterangan tersebut yang mana kejujuran para saksi sangat menentukan kepada
keadilan putusan hakim agar sesuai fungsi peradilan itu sendiri. Maka dari itu
agama mengatur agar kesaksian seseorang dapat diterima diantaranya ialah sifat
adil dari seorang saksi, dalam artian lurusnya tingkah laku sesuai dengan ajaran
Islam. Adapun apabila kriteria tersebut tidak didapati pada pribadi para saksi
dan terdapat kecurigaan maka keterangannya dapat diterima apabila didukung
oleh faktor-faktor lain seperti adanya kesaksian orang ketiga yang dipercaya
dan meyakinkan hakim.
Berkaitan dengan sengketa tanah wakaf yang menjadi bahasan pokok
dalam tulisan ini, bila mana para hakim pada Pengadilan Agama dimana
sengketa itu disidangkan telah sungguh-sungguh meneliti sedalam mungkin
tentang kejujuran para saksi dan kebenaran keterangan mereka, maka perbedaan
umur pada dua keterangan di atas sudah tidak menjadi berarti untuk dicurigai
karena kesaksian mereka telah dikuatkan dengan kesaksian lain. Seperti halnya
keterangan di bawah sumpah yang dikemukakan oleh Safiyah yang merupakan
anak kandung pemilik tanah bahwa sepengetahuannya tanah tersebut telah
diwakafkan oleh ayahnya. Keterangan anak kandung pemilik tanah tersebut
berfungsi menghilangkan kecurigaan terhadap para saksi formal yang diajukan
penggugat.
Dalam keterangannya, saksi yang diajukan tergugat, yaitu yang bernama
Abdullah Syam umur 58 tahun. menjelaskan bahwa ia tidak mengetahui asal-
usul tanah sengketa tersebut apa betul telah diwakafkan atau tidak. Begitu pula
saksi tidak tahu siapa yang mula-mula mendirikan Meunasah/Bale dalam kebun
tersebut. Saksi hanya mengetahui bahwa kira-kira pada tahun 1976 Tgk. Imam
Ahmad ada membawa selernbar surat wakaf kepada Tgk. Hasan bin Tgk.
Dadeh untuk ditanda- tangani. Tapi ternyata surat itu tidak ditandatangani oleh
Tgk Hasan.
Demikian keterangan saksi yang diajukan tergugat. Ada dua hal yang
dapat ditarik dari keterangan saksi tersebut. Pertama, saksi tidak mengetahui
ada atau tidak adanya ikrar wakaf tentang tanah tersebut. Dengan demikian
berarti kesaksiannya bukan menyangkut ada atau tidaknya ikrar wakaf. Kedua,
yang diketahui saksi hanyalah bahwa Tgk. Hasan putra dari Tgk. Dadeh
menolak bahwa tanah itu adalah tanah wakaf, Sekurangnya ada dua
kemungkinan mengapa Tgk. Hasan bersikap demikian. Kemungkinan pertama
bisa jadi ia menganggap tidak ada ikrar wakaf dari ayahnya Tgk. Dadeh.
Kemungkinan kedua, ia mengetahui adanya ikrar wakaf dari ayahnya, tetapi ia
menganggap ikrar wakaf itu tidak mengikat dan berusaha untuk menariknya
kembali. Terhadap kemungkinan yang pertama, telah dapat dikalahkan oleh
keterangan para saksi penggugat, karena para saksi dalam keterangannya
mendengar sendiri ikrar wakaf yang diucapkan oleh pemilik tanah. Yang
menjadi persoalan adalah kemungkinan kedua, yaitu bahwa Tgk. Hasan
mengetahui adanya ikrar wakaf, namun ia bermaksud menariknya kembali.
Kemudian pertanyaan yang muncul adalah apakah harta yang telah diwakafkan
bisa diwarisi atau ditarik kembali.
Para ulama masa silam telah memberikan perhatian untuk memecahkan
masalah tersebut. Oleh karena tidak ada dalil yang tegas dalam masalah ini,
maka sangatlah wajar apabila kita temukan saat ini pendapat-pendapat yang
bervariasi dari para imam mazhab. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
menyimpulkan bahwa benda yang diwakafkan itu tetap sebagai hak milik yang
mewakafkan, berbeda dengan yang difatwakan Imam Syafi’i dan Ahmad bin
Hambal bahwa harta yang diwakafkan itu sudah keluar dari hak milik yang
berwakaf, seperti difatwakan oleh Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal
yang mana hal ini menunjukkkan bahwa wakaf adalah untuk selamanya.
Kesimpulan ini juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik pada Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat ( 1) yang menjelaskan, bahwa Wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-
lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan urnum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dalam duduk perkara, kendatipun tidak dijelaskan apakah tanah wakaf
itu masih tetap sebagai hak milik yang berwakaf atau telah keluar dari hak
miliknya, namun ditegaskan bahwa harta wakaf adalah untuk selamanya,
sehingga dengan alasan itu ia tidak dapat ditarik kembali. Satu hal yang perlu
digarisbawahi yakni bahwa dalam mazhab yang empat, yaitu Hanafiah,
Malikiah, Syafi'iah dan Hanabilah, tanah wakaf yang diperuntukkan bagi
tempat ibadat, seperti mushalla dan masjid, telah dianggap keluar dari hak milik
yang berwakaf dan oleh karenanya tanah wakaf itu tidak dapat ditarik kembali,
baik oleh pemiliknya maupun oleh ahli warisnya.
Adapun jika berpedoman pada kesepakatan ulama seperti yang
disebutkan di atas, maka tanah wakaf ini tidak sah ditarik kembali oleh
siapapun. Oleh karena itu, selama kesaksian para saksi yang diajukan
Penggugat dapat diterima atas adanya ikrar wakaf, maka sikap Tgk. Hasan yang
rnenolak menandatangani surat wakaf yang disodorkan kepadanya seperti
disebutkan terdahulu, bila yang dimaksud adalah untuk menarik kembali harta
wakaf itu, tidak dianggap sah menurut pandangan hukum fikih, dan oleh
karenanya tergugat tidak dapat menjadikannya sebagai alasan untuk
mengatakan bahwa harta itu bukan lagi sebagai harta wakaf.
Pengadilan Agama Bireuen dalam pertimbangan hukumnya bagian
mengingat memuat dalil dari kitab Fiqhus-Sunnah Juz III hal 381 yang
mengandung arti bahwa sahnya wakaf dengan perbuatan yang menunjukkan
untuk itu, seperti dibenarkan mendirikan masjid atau mendirikan shalat pada
tempat itu. Dan apabila mati si wakif tidak boleh diwarisi oleh ahli warisnya,
karena inilah yang dimaksudkan si wakif. Lebih jelasnya adalah, bahwa wakaf
dianggap sah dengan adanya perbuatan bukan ikrar dengan lisan yang
menunjukkan bahwa maksud si wakif adalah untuk berwakaf. Umpamanya
seseorang membangun masjid di atas tanahnya sendiri kemudian mengizinkan
atau mengumandangkan azan untuk memanggil orang lain untuk melakukan
shalat berjama'ah di tempat itu. Perbuatan seperti ini berdasarkan nukilan di atas
sudah dianggap berwakaf yang mana tidak dapat ditarik kembali dan tidak pula
dapat diwarisi.
Dengan berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan hakim Pengadilan
Agama Bireuen menjadi lebih beralasan dan kuat untuk memenangkan
Penggugat dan apabila berpegang kepada pendapat tersebut, tidak lagi perlu
lebih jauh memperdebatkan apakah pemilik tanah pernah mengucapkan ikrar
wakaf dengan lisan atau tidak. Yang penting adalah adanya pengakuan tergugat
bahwa pada sekitar tahun 1926 oleh kakek tergugat Tgk. Dadeh bin Blang
didirikan sebuah Bale tempat sembahyang di atas kebun tersebut, kemudian
Bale itu diperbesar menjadi Meunasah oleh Hasan bin Dadeh (ayahanda
tergugat). Sekalipun tidak dijelaskan dalam pengakuan tersebut apakah Bale
tempat sembahyang itu didirikan khusus untuk pribadi atau untuk umum,
namun berdasarkan kenyataan telah bergantinya Imam pada Meunasah tersebut,
jelas bahwa Bale itu adalah untuk umum. Tergugat rupanya ketika memberikan
keterangan itu tidak rnenyadari bahwa hal itu akan memberatkannya. Ia mengira
bahwa praktek serupa itu bukanlah berarti berwakaf, karena tidak ada ikrar
wakaf secara lisan dari yang mempunyai tanah.
Bila masalah ini dilihat dengan kacamata hukum fikih, maka terdapat
berbagai pendapat. Ulama sepakat bahwa wakaf bisa terwujud dengan
mengucapkan ikrar wakaf, baik secara·sharih (tegas) seperti waqaftu (telah aku
wakafkan) ataupun kinayat yang tergantung kepada niat yang mengucapkan,
seperti Tashaddaqtu (telah aku sedekahkan). Namun para ulama berbeda
pendapat tentang apakah suatu perbuatan seperti membangun masjid kemudian
mengizinkan orang untuk shalat berjamaah didalamnya sudah dianggap
berwakaf, tanpa memerlukan adanya ikrar wakaf secara lisan. Menurut Mazhab
Abu Hanifah dan yang rajih (lebih kuat) dari dua riwayat dari Ahmad bin
Hambal, suatu tindakan yang didukung oleh tanda-tanda yang menunjukkan
maksud berwakaf, sudah cukup untuk menganggapnya sebagai wakaf. Dengan
demikian seseorang yang membangun masjid atau mushalla kemudian
mengizinkan masyarakat shalat berjamaah di dalamnya, maka Mushalla atau
masjid itu telah dianggap wakaf, yang tidak halal ditarik kembali. Menurut
pendapat ini, apa yang dilakukan oleh Tgk. Dadeh dan putranya Hasan
mendirikan Bale tempat sembahyang dan yang kemudian memperbesarnya,
sudah cukup menjadi alasan bahwa tujuannya adalah untuk berwakaf, apalagi
sudah beberapa kali berganti Imam di tempat tersebut.
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Imam Syafi'i berpendapat,
sesuatu tidak dapat dianggap sebagai harta wakaf, kecuali jika yang punya harta
itu telah mengucapkan ikrar wakaf, Perbuatan tanpa ikrar tidak dapat dipegangi
sebagai berwakaf. Alasannya karena berwakaf itu berarti memindahkan milik
dari yang punya harta kepada yang lain yang dalam hal ini kepada Allah SWT.
Pemindahan milik tidak cukup dengan sekadar perbuatan tanpa ikrar dengan
perkataan. Suatu perbuatan tanpa ketegasan dengan lisan, boleh jadi bukan
sengaja untuk berwakaf. Oleh karena itu seseorang yang membangun masjid
atau mushalla dan mengizinkan orang banyak shalat di dalamnya, tanpa adanya
ikrar wakaf, tidak dapat dianggap sudah berwakaf. Dengan demikian si pemilik
bebas untuk meneruskan atau menarik kembali masjidnya. Berdasarkan
pendapat ini bisa saja ada masjid milik pribadi yang masyarakat diizinkan shalat
di dalamnya.
Said Sabiq dalam kitabnya al-Fiqh as-Sunnah menukil pendapat Abu
Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal seperti dikemukakan
terdahulu, yang oleh Pengadilan Agama Bireuen dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan hukum untuk mengalahkan tergugat. Bagaimana jika tergugat
membanding pendapat yang dikemukakan Said Sabiq, dengan mengemukakan
pendapat Imam Syafi'i dengan alasan bahwa yang umum berlaku di Aceh adalah
mazhab Syafi'i. Dapat dimaklumi bahwa selama belum ada ketentuan pendapat
mana yang akan diberlakukan dalam suatu Pengadilan, maka hakim dalam
memutuskan satu perkara bebas memilih pendapat mana yang lebih cocok
untuk itu. Suatu hal yang disepakati adalah bahwa keputusan Hakim
menghilangkan perbedaan pendapat. Pendapat manapun yang dipilih oleh
hakim, maka pihak-pihak yang berperkara harus menerimanya. Namun akan
lebih bijaksana apabila hakim memilih pendapat yang lazim dipakai pada negeri
yang bersangkutan. Hal tersebut sesuai pula dengan ketentuan setelah keluarnya
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
pasal 5 ayat l yang menyatakan bahwa pihak yang mewakafkan tanahnya harus
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir. Peraturan ini
mengharuskan adanya ikrar dari yang berwakaf. Dengan demikian, maka
menurut kami, alasan yang paling tepat untuk memenangkan penggugat dalam
perkara tersebut adalah kesaksian para saksi yang dapat dipercaya atas adanya
ikrar wakaf yang diucapkan oleh pemilik tanah.
PENUTUP

Wakaf adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang wakif dengan
maksud untuk menyerahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya untuk
dimanfaatkan selamanya dalam rangka kepentingan umum atau agama. Wakaf
termasuk dalam kategori ibadah dan memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam masyarakat Muslim.

Ikrar wakaf adalah kehendak atau pernyataan dari wakif (orang yang
memwakafkan hartanya) yang diucapkan secara lisan maupun tulisan kepada
lembaga penerima wakaf/nazhir untuk mewakafkan harta bendanya guna
dimanfaatkan bagi kesejahteraan umum.

Berdasarkan duduk perkara yang termuat diatas dapat ditarik kesimpulan


bahwa masalah pokok dari sengketa tersebut adalah bahwa pihak penggugat
mendakwa bahwa ada ikrar wakaf dari pemilik kebun, sedangkan ahli warisnya
tidak mengakui hal tersebut. setelah melalui proses peradilan akhirnya Pengadilan
Agama Bireuen memutuskan memenagkan penggugat sehingga dengan itu tanah
perkara tersebut dinyatakan sah sebagai tanah wakaf. Kemudian setelah melalui
proses banding, keputusan tersebut dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Tk.
I Aceh dan selanjutnya oleh Mahkamah Agung.
DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Muhammad. 2011 Waqf dalam Hukum Islam: Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basrun, A. Yahya. 2005. Hukum Wakaf: Sejarah, Teori dan Praktek. Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Hassan, Abdul. 2010. Wakaf dalam Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta:


Rajawali Pers.

Putusan Pengadilan Agama Bireuen No.: 319/ 1984.

Satria Effendi M. Zein. 2000. Analisa Yurisprudensi Peradilan Agama. Mahkamah


Agung RI.

You might also like