You are on page 1of 19

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ide Bunuh Diri

1. Pengertian Ide Bunuh Diri

Bunuh diri didefinisikan sebagai tindakan yang dengan sengaja mengakhiri

hidup. Beberapa ahli menyebut dengan istilah "bunuh diri" sementara yang lain

menyebutnya sebagai "perilaku yang berhubungan dengan bunuh diri" atau

"perilaku bunuh diri" (Kathrick & Barwa, 2017). Bunuh diri merupakan tindakan

yang bertujuan untuk mengakhiri hidup dalam waktu singkat (Maramis, 2004).

Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan secara sadar oleh individu untuk

mengakhiri hidupnya. Individu menjadi rawan bunuh diri ketika mengalami

kehilangan kemampuan untuk mentolerir keadaan dan merasakan kekecewaan yang

sangat mengganggu. Jika individu kehilangan acuan dan mengalami kekecewaan

selama berbagai tahap perkembangan, maka individu tersebut berada dalam kondisi

rawan bunuh diri (Townsend, 2011). Bunuh diri terdiri dari tiga hal yaitu ide bunuh

diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Ide bunuh diri, ancaman bunuh

diri, dan percobaan bunuh diri menjadi prediktor penting dari meningkatnya jumlah

kematian akibat bunuh diri (Keliat, 2010). Memahami pola ide bunuh diri dapat

menjadi upaya penting dalam merancang intervensi guna mengurangi tindakan

bunuh diri (Kessler et al., 2005)

Menurut Beck (1979) ide bunuh diri adalah keinginan dan rencana untuk

bunuh diri yang belum disertai tindakan eksplisit. Ide bunuh diri dapat meliputi

10
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

pemikiran bahwa hidup tidak layak untuk dijalani, pemikiran konkret untuk bunuh

diri, pemikiran matang untuk membunuh diri sendiri, dan pemikiran untuk

menyakiti diri sendiri. Menurut Evans (2003) Ide bunuh diri adalah pemikiran

untuk melakukan bunuh diri. Ide bunuh diri dapat muncul pada suatu waktu atau

bertahan selama masa hidup. Ide bunuh diri mengarahkan diri untuk terlibat dalam

perilaku yang dimaksudkan untuk mengakhiri hidup seseorang.

Reynolds (1988) mengungkapkan bahwa ide bunuh diri terdiri dari beberapa

konstruk yang meliputi pemikiran dan gagasan tentang kematian, gagasan tentang

bunuh diri, perilaku menyakiti diri sendiri, dan pemikiran yang terkait dengan

perencanaan, perilaku, dan dampak dari perilaku bunuh diri. Kemudian Reynolds

(1991) mendefinisikan ide bunuh diri sebagai pikiran yang dimiliki oleh seseorang

tentang niat dan perilaku bunuh diri, serta sebagai penanda utama untuk munculnya

perilaku bunuh diri. Ide bunuh diri adalah pikiran untuk bunuh diri, baik yang

disimpan bagi diri sendiri maupun yang diungkapkan kepada orang lain. Ide bunuh

diri dapat meliputi pemikiran atau fantasi untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri

yang diekspresikan secara verbal, disalurkan melalui tulisan maupun seni dengan

maksud untuk memperlihatkan pemikiran bunuh diri (Fortinash & Worret, 2012).

Ide bunuh diri merupakan proses kontemplasi dari bunuh diri yang sering tidak

diungkapkan secara eksplisit (Muhith, 2015). Ide bunuh diri juga didefinisikan

sebagai kegiatan memikirkan, mempertimbangkan, atau merencanakan bunuh diri

(Klonsky et al., 2016). Menurut Joiner (2005) rendahnya rasa saling memiliki dan

tingginya beban hidup yang dirasakan dapat menjadi penyebab munculnya ide

bunuh diri. Ide bunuh diri berpotensi untuk mendorong individu melakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

tindakan bunuh diri jika individu tersebut memiliki kemampuan dan gambaran

terkait tindakan bunuh diri dari lingkungan (Klonsky & Saffer, 2017).

Berdasarakan pengertian dari ide bunuh diri yang telah dijelaskan, maka

peneliti memutuskan untuk menggunakan teori yang dikemukakan oleh Beck

(1979) yang mendefinisikan bahwa ide bunuh diri adalah keinginan dan rencana

untuk bunuh diri yang belum disertai tindakan eksplisit. Ide bunuh diri dapat

meliputi pemikiran bahwa hidup tidak layak untuk dijalani, pemikiran konkret

untuk bunuh diri, pemikiran matang untuk membunuh diri sendiri, dan pemikiran

untuk menyakiti diri sendiri.

2. Aspek-Aspek Ide Bunuh Diri

Menurut Beck (1979) tiga aspek ide bunuh diri yang diukur dalam skala ide

bunuh diri yaitu:

a. Keinginan aktif untuk bunuh diri, komponen ini mencakup adanya

keinginan untuk mati, adanya keinginan untuk melakukan tindakan bunuh

diri, dan memiliki alasan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

b. Rencana spesifik bunuh diri, komponen ini mencakup adanya keinginan

untuk melakukan upaya bunuh diri dan memiliki pemikiran tentang rencana

bunuh diri.

c. Keinginan pasif untuk bunuh diri, komponen ini mencakup perasaan mampu

untuk melakukan upaya bunuh diri, adanya keberanian untuk melakukan

upaya bunuh diri, dan adanya upaya menyembunyikan ide atau rencana

bunuh diri.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

Ide bunuh diri juga dapat diukur menggunakan alat ukur yang disebut

Suicidal Ideation Questionnaire (SIQ). SIQ disusun oleh ahli yang bernama

Reynolds pada tahun 1991. Menurut Reynolds (1991) terdapat tiga aspek ide bunuh

diri yaitu:

a. Spesific Wishes of Suicide

Spesific wishes dalam hal ini berarti memiliki harapan spesifik untuk mati.

b. Specific Plans of Suicide

Sedangkan spesific plans dalam hal ini mencakup pemikiran yang umum

tentang kematian yang relatif ringan hingga relatif berat mencakup

perencanaan spesifik mengenai cara apa saja yang dapat dilakukan untuk

bunuh diri.

c. Response of Others

Aspek ini mencakup pemikiran tentang persepsi dan respon orang lain

ketika seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Aspek ini juga mencakup

perkiraan dampak yang akan dirasakan oleh orang lain setelah seseorang

melakukan bunuh diri. Dalam hal tertentu adanya niat bunuh diri yang

berkaitan dengan keinginan balas dendam juga termasuk dalam aspek ini.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori ide bunuh diri menurut Beck

(1979). Sehingga komponen ide bunuh diri yang digunakan adalah keinginan aktif

untuk bunuh diri, rencana spesifik bunuh diri, dan keinginan pasif untuk bunuh diri.

Menurut Beck (1979) komponen tersebut dapat mengungkap tingkat ide bunuh diri

pada individu secara kuantitatif.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

3. Faktor-Faktor Ide Bunuh Diri

Menurut Joiner (2005) ide bunuh diri dipengaruhi oleh empat faktor yaitu:

a. Keterhubungan

Keterhubungan menunjukkan adanya koneksi dengan orang lain.

Keterhubungan juga dapat merujuk pada keterikatan seseorang pada suatu

pekerjaan, peran, minat, tujuan, atau makna yang membuat seseorang

mengembangkan diri dalam kehidupan. Masalah dalam hal keterhubungan

akan menghambat individu untuk mengembangkan diri dalam kehidupan.

Individu yang tidak dapat mengembangkan diri akan berisiko memiliki ide

bunuh diri yang kuat dan melakukan upaya aktif untuk mengakhiri

hidupnya.

b. Rasa Sakit

Rasa sakit dalam hal ini dapat berupa rasa sakit secara fisik maupun secara

psikologis. Sumber rasa sakit tidak bisa disebutkan secara spesifik karena

rasa sakit tersebut dapat berasal dari berbagai bentuk peristiwa seperti

menderita penyakit kronis, adanya tindakan kekerasan, konflik

intrapersonal, konflik interpersonal, perasaan kehilangan, dan berbagai hal

lain. Joiner (2005) menyatakan bahwa ketika hidup terasa menyakitkan,

seseorang pada dasarnya akan merasa dihukum karena terlibat dengan

kehidupan, yang pada tahap selanjutnya memunculkan keinginan untuk

menghindari kehidupan. Namun, jika seseorang memiliki harapan bahwa

rasa sakit dapat berkurang seiring usaha yang dilakukan, individu tersebut

akan memilih untuk meraih masa depan daripada bunuh diri.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

c. Keputusasaan

Selain rasa sakit, keputusasaan juga menjadi hal yang mengarahkan individu

untuk memiliki ide bunuh diri. Ketika pengalaman sehari-hari seseorang

ditandai oleh rasa sakit dan individu itu merasa putus asa bahwa rasa sakit

akan membaik, individu akan mulai mempertimbangkan untuk bunuh diri

(Joiner, 2005). Hal tersebut dibenarkan oleh hasil penelitian yang

menemukan bahwa rasa sakit dan keputusasaan adalah dua motivasi paling

umum dalam upaya bunuh diri (May & Klonsky, 2013). Penelitian

selanjutnya juga menemukan hasil bahwa rasa sakit dan keputusasaan

secara bersama-sama dapat mempertahankan bahkan mengembangkan ide

bunuh diri (Klonsky & Saffer, 2017). Singkatnya, kombinasi rasa sakit dan

keputusasaan dapat menyebabkan berkembangnya ide bunuh diri.

d. Kapasitas

Kapasitas yang diperoleh mengacu pada banyaknya pengalaman seseorang

terhadap rasa sakit, ketakutan, dan kematian melalui paparan pengalaman

hidup seperti pelecehan fisik, perilaku menyakiti diri sendiri, adanya

anggota keluarga atau teman yang melakukan bunuh diri, atau pengalaman

lain yang membuat seseorang menderita.

Menurut Handriani (dalam Cristiani, 2011) faktor penyebab munculnya ide

bunuh diri dibagi menjadi dua yaitu faktor ekternal dan faktor internal. Faktor

eksternal yang menjadi penyebab munculnya ide bunuh diri adalah kurangnya

dukungan sosial. Kemudian faktor internal dari bunuh diri dapat meliputi depresi

dan putus asa. Sedangkan menurut Hurlock (2013) faktor yang dapat menimbulkan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

ide bunuh diri adalah permasalahan percintaan dan tekanan psikologis yang berasal

dari kegagalan dalam meraih harapan.

Pada penelitian ini faktor keterhubungan dan rasa sakit menjadi fokus utama

untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat ide bunuh diri. Sensitivitas

interpersonal yang tinggi dapat mengganggu keterhubungan individu dengan orang

lain. Begitu pula ketidakpuasan bentuk tubuh dapat menimbulkan rasa sakit

psikologis dan masalah intrapersonal.

B. Sensitivitas Interpersonal

1. Pengertian Sensitivitas Interpersonal

Sensitivitas interpersonal didefinisikan sebagai kesadaran dan sensitivitas

yang berlebihan terhadap perilaku dan perasaan orang lain (Boyce & Parker, 1989).

Sensitivitas interpersonal juga didefinisikan sebagai kemampun menilai keadaan,

sifat, dan respon orang lain melalui isyarat nonverbal secara akurat. Sensitivitas

interpersonal merujuk pada isyarat emosional dan sosial. Sensitivitas interpersonal

juga dapat dijelaskan sebagai sifat kepribadian di mana ada kesadaran yang

berlebihan terhadap perilaku dan emosi orang lain (Carney & Harrigan, 2003)

Menurut Half & Bernieri (2013) Sensitivitas interpersonal merupakan

kemampuan untuk merasakan, memahami secara akurat, dan merespon dengan

tepat terhadap lingkungan pribadi, antarpribadi, dan sosial seseorang. Seseorang

dianggap sensitif jika dirinya dapat merasakan atau merespon dengan tepat terhadap

keadaan internal, motivasi orang lain, mampu memahami anteseden dari perilaku

orang lain, dan memprediksi peristiwa afektif, kognitif, dan perilaku berikutnya

yang mungkin akan muncul sebagai hasil dari suatu interaksi. Kemampuan ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

sebenarnya dapat memungkinkan seseorang berfungsi lebih efektif dalam

kehidupan sehari-hari dengan memfasilitasi interaksi dengan orang lain.

Sensitivitas interpersonal dimulai dengan sensasi dan persepsi. Sensitivitas

interpersonal dapat berfungsi sebagai peluang seseorang untuk berinteraksi dengan

lingkungan dan bentuk perhatian terhadap respon dari orang lain. Setiap proses

yang terjadi dalam pembentukan persepsi dan sensasi antarpribadi akan

memengaruhi sensitivitas interpersonal (Half & Bernieri, 2013).

Penelitian lanjutan menemukan bahwa individu dengan sensitivitas

interpersonal yang tinggi cenderung memiliki konsep diri yang negatif dan harga

diri yang rendah. Biasanya mereka juga memiliki rasa bersalah, ketidakberdayaan

diri, perasaan inferior, hingga berakibat pada munculnya perilaku menghindar dari

interaksi interpersonal (Hicdurmaz & Fatma, 2016). Sensitivitas interpersonal juga

berhubungan dengan kecemasan dan depresi. Individu dengan Sensitivitas

interpersonal yang tinggi disertai adanya kecemasan akan berpisah cenderung

memiliki angka depresi yang tinggi. Sensitivitas interpersonal dan kecemasan akan

berpisah dapat muncul akibat adanya pengalaman penolakan atau masalah

kelekatan dalam hubungan pada masa lalu (Wilhelm et al., 2004). Sensitivitas

interpersonal yang tinggi juga dapat memprediksi rendahnya kualitas hidup pada

individu dewasa. Hal ini karena sensitivitas interpersonal yang tinggi menyebabkan

individu memiliki persepsi negatif tentang dirinya sehingga mengganggu hubungan

dengan lingkungan sosialnya (Wedgeworth et al., 2017).

Berdasarakan pengertian sensitivitas interpersonal yang telah dijabarkan

maka pada penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan teori yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

dikemukakan oleh Boyce & Parker (1989) yang mendefinisikan bahwa sensitivitas

interpersonal merupakan kesadaran dan sensitivitas yang berlebihan terhadap

perilaku dan perasaan orang lain.

2. Komponen Sensitivitas Interpersonal

Sensitivitas interpersonal terdiri dari lima komponen yaitu kesadaran

interpersonal, kebutuhan terhadap persetujuan, kecemasan akan berpisah, sifat

takut-takut, dan kerapuhan batin (Boyce & Parker, 1989). Kelima komponen

dijelaskan sebagai berikut:

a. Kesadaran interpersonal (Intepersonal awareness)

Kesadaran interpersonal pada prinsipnya menentukan sensitivitas terhadap

interaksi antarpribadi. Hal ini termasuk mempertimbangkan dampak yang

dirasakan, respon yang dimiliki seseorang terhadap orang lain, serta

konsekuensi dari respon negatif dan respon kritis. Tingginya skor pada

komponen ini menunjukkan kewaspadaan terhadap perilaku orang lain

dalam upaya mengukur tanggapan dari orang lain serta kekhawatiran

tentang interaksi interpersonal.

b. Kebutuhan terhadap persetujuan (Need for approval)

Kebutuhan terhadap persetujuan ditandai dengan adanya kebutuhan untuk

memastikan bahwa orang lain akan menyukai mereka dan tidak menolak

mereka.

c. Kecemasan akan berpisah (Separation Anxiety)

Komponen kedua yaitu kecemasan akan berpisah, yang didefinisikan

sebagai kegagalan untuk mencapai hubungan kelekatan yang aman.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

Kecemasan akan berpisah tersebut merupakan ciri dari individu yang

cenderung mengalami depresi. Namun kecemasan akan berpisah pada orang

dewasa juga dapat dipengaruhi karena kelekatan dengan orang tua pada

masa kecil. Pada intinya individu akan menghindari kecemasan ini dengan

cara sensitif terhadap ancaman yang akan mengganggu hubungan

interpersonal mereka.

d. Sifat takut-takut (Timidity)

Komponen yang ketiga adalah sifat takut-takut, komponen perilaku ini

ditunjukkan dengan ketidakmampuan untuk berperilaku asertif dalam

interaksi antarpribadi.

e. Kerapuhan batin (Fragile Inner-self)

Komponen terakhir yaitu adanya kerapuhan batin. Hal ini ditandai dengan

adanya diri yang tidak disukai dan merasa harus disembunyikan dari orang

lain. Komponen ini juga dapat ditandai dengan adanya kebutuhan yang

tinggi untuk mendapat afirmasi secara terus menerus dari orang lain.

C. Ketidakpuasan Bentuk Tubuh

1. Pengertian Ketidakpuasan Bentuk Tubuh

Cooper et al., (1987) menyebutkan bahwa ketidakpuasan bentuh tubuh

terjadi saat individu membandingan kondisi tubuhnya dengan orang lain, terdapat

orientasi berlebihan terhadap citra tubuh, dan persepsi diri sendiri tentang adanya

perubahan drastis pada tubuh. Kemudian Rosen dan Reiter (1996) melengkapi

definisi ketidakpuasan bentuk tubuh dengan menyatakan bahwa ketidakpuasan

bentuk tubuh adalah keterpakuan dengan evaluasi negatif terhadap penampilan fisik
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

serta adanya perasaan malu dengan kondisi fisiknya saat berada di lingkungan

sosial.

Menurut Forbes et al., (2001) ketidakpuasan bentuk tubuh terjadi karena

adanya perbedaan persepsi tentang bentuk tubuh ideal seseorang dengan bentuk

tubuh ideal yang dikembangkan oleh masyarakat. Menurut Cash & Pruzinsky

(2002) ketidakpuasan bentuk tubuh merupakan penilaian negatif individu terhadap

kondisi tubuhnya dan perasaan bahwa tubuhnya tidak ideal dan perlu ditutupi.

Penilaian negatif tersebut juga disertai adanya ketidaksesuaian persepsi mengenai

bentuk tubuh yang dimiliki dengan bentuk tubuh idealnya.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Grogan

(2008), dimana ia mendefinisikan ketidakpuasan bentuk tubuh sebagai perasaan

dan pikiran negatif individu terhadap tubuhnya. Kemudian ketidakpuasan bentuk

tubuh menurut Hall (2009), adalah evaluasi negatif individu terhadap tubuhnya.

Individu menilai bahwa tubuh yang dimilikinya tidak bagus. Sumali (dalam Prima

& Sari, 2013) mengartikan ketidakpuasan bentuk tubuh sebagai suatu bentuk

ketidakpuasan terhadap tubuh yang merupakan hasil dari pengalaman individu dan

juga merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan.

Berdasarkan uraian definisi ketidakpuasan bentuk tubuh yang telah

dijelaskan maka pada penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan definisi

ketidakpuasan bentuk tubuh yang dikemukakan oleh Rosen dan Reiter (1996).

Ketidakpuasan bentuk tubuh adalah keterpakuan dengan evaluasi negatif terhadap

penampilan fisik serta adanya perasaan malu dengan kondisi fisiknya saat berada

di lingkungan sosial. Definisi tersebut dipilih karena sesuai dengan konteks


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

penelitian ini yang melibatkan aspek sosial dalam kaitannya dengan hubungan

interpersonal.

2. Aspek Ketidakpuasan Bentuk Tubuh

Menurut Thompson (dalam Prima & Sari, 2013) ketidakpuasan bentuk

tubuh memiliki tiga komponen yaitu komponen afektif, komponen kognitif, dan

komponen perilaku. Komponen afektif seseorang ditandai dengan adanya perasaan

negatif terhadap tubuhnya. Komponen kognitif melibatkan pengetahuan dan

informasi yang berkaitan dengan citra tubuh. Pengetahuan dari lingkungan tersebut

kemudian disimpan dan diproses. Informasi-informasi tersebut berupa pengetahuan

mengenai bentuk dan ukuran tubuh yang dianggap positif dan negatif oleh

lingkungan sosial. Sedangkan komponen perilaku berkaitan dengan tindakan atau

usaha untuk sebagai respon dari ketidakpuasan terhadap tubuh.

Teori lain yang dikemukakan oleh Rosen et al., (1996) secara spesifik telah

lebih dulu mengungkapkan bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh terdiri dari lima

aspek berikut:

a. Evaluasi negatif terhadap bentuk tubuh.

Individu yang merasa tidak puas terhadap tubuhnya akan memberikan

evaluasi negatif kepada tubuhnya baik sebagian maupun secara

keseluruhan. Individu tersebut juga tidak menyukai bentuk tubuhnya dan

merasa bahwa tubuhnya jauh dari sempurna.


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

b. Body checking

Individu yang mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh akan lebih sering

memeriksa keadaan fisik mereka, seperti bercermin dan menimbang berat

badan.

c. Merasa malu dengan bentuk tubuh di lingkungan sosial

Individu yang mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh merasa malu dengan

bentuk tubuh yang dimilikinya ketika berada di lingkungan sosial. Hal

tersebut terjadi karena individu merasa bahwa orang lain akan

memperhatikan penampilan mereka.

d. Kamuflase tubuh

Individu yang mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh akan menutupi dan

menyamarkan bentuk tubuh mereka dari keadaan yang sebenarnya. Hal ini

dilakukan agar individu tersebut tidak merasa cemas saat berada di

lingkungan sosial.

e. Menghindari aktivitas sosial dan kontak fisik dengan orang lain.

Individu yang mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh sering memilih untuk

menghindari aktivitas sosial bahkan tidak suka mengikuti aktivitas yang

berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut terjadi karena individu merasa

tidak percaya diri dengan kondisi fisik mereka.

Pada penelitian ini peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh Rosen et

al., (1996) yang menyatakan bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh terdiri dari lima

aspek yang meliputi evaluasi negatif terhadap bentuk tubuh, body checking, merasa

malu dengan bentuk tubuh di lingkungan sosial, kamuflase tubuh, dan menghindari
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

aktivitas sosial dan kontak fisik dengan orang lain. Kelima aspek ini dipilih karena

dapat secara khusus mengukur bagaimana tingkat ketidakpuasan bentuk tubuh pada

individu.

D. Hubungan Antar Variabel

1. Hubungan Sensitivitas Interpersonal dan Ketidakpuasan Bentuk

Tubuh dengan Ide Bunuh Diri

Sensitivitas interpersonal dapat bermakna sebagai kemampuan seseorang

untuk menampilkan perilaku yang tepat sebagai hasil dari kemampuan

mempersepsi bagaimana respon orang lain terhadap seseorang (Aydin &

Hicdurmaz, 2016). Namun pada level tertentu sensitivitas interpersonal dapat

menganggu berjalannya hubungan interpersonal karena individu dengan

sensitivitas interpersonal memiliki kesadaran yang berlebihan terhadap respon

maupun tindakan orang lain, kebutuhan terhadap persetujuan, kecemasan akan

berpisah, sifat takut-takut, dan kerapuhan batin (Boyce & Parker, 1989).

Sensitivitas interpersonal mencerminkan adanya perasaan dan reaktivitas yang kuat

dalam menjalin hubungan interpersonal. Adanya sensitivitas interpersonal dalam

sebuah hubungan dapat menjadi faktor kunci yang meningkatkan risiko munculnya

ide bunuh diri (Harrison et al., 2010). Individu dengan sensitivitas interpersonal

akan merasa bahwa dirinya tidak berharga dan takut akan penolakan dari orang lain

(Dogan & Sapmaz, 2012). Sama halnya dengan sensitivitas interpersonal, individu

dengan ketidakpuasan bentuk tubuh memiliki evaluasi negatif pada penampilan

tubuhnya. Sehingga mereka merasa cemas terhadap respon orang lain dan tidak

percaya diri untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial (Rosen & Reiter, 1996).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sensitivitas interpersonal

dan ketidakpuasan bentuk tubuh menyebabkan dua hal utama yaitu terganggunya

hubungan antara individu dengan lingkungan sosial serta evaluasi negatif terhadap

diri yang berlebihan dan mengacu pada rendahnya harga diri. Interpersonal Theory

of Suicide menyatakan bahwa ide bunuh diri muncul akibat kurangnya rasa

kepemilikan terhadap lingkungan sosial dan adanya perasaan bahwa diri tidak

berharga serta menjadi beban bagi orang lain (Klonsky & Saffer, 2017). Maka dari

itu level sensitivitas interpersonal yang tinggi dan ketidakpuasan bentuk tubuh

dapat dihipotesiskan secara bersama sama berhubungan dengan tingginya skor ide

bunuh diri.

2. Hubungan Sensitivitas Interpersonal dengan Ide Bunuh Diri

Menurut Beck (1979) ide bunuh diri adalah keinginan dan rencana untuk

bunuh diri yang belum disertai tindakan eksplisit. Interpersonal theory of suicide

menyebutkan bahwa ide bunuh diri terjadi pada individu karena adanya masalah

dalam rasa kepemilikan dan perasaan sebagai beban bagi orang lain. Sedangkan

pada Three Steps Theory disebutkan bahwa ide bunuh diri dapat terjadi akibat

adanya rasa sakit yang umumnya terjadi secara psikologis, keputusasaan,

kurangnya keterhubungan dengan lingkungan sosial, dan adanya kapasitas untuk

melakukan tindakan bunuh diri (May & Klonsky, 2013). Sehingga berdasarkan hal

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ide bunuh diri berkaitan dengan hubungan

interpersonal maupun hubungan antara individu dengan lingkungan sosialnya.

Sensitivitas interpersonal merupakan salah satu komponen yang sebenarnya

diperlukan dalam menjadi interaksi antar pribadi (Half & Bernieri, 2013). Namun
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

di penelitian lain juga mengemukakan bahwa sensitivitas interpersonal berkorelasi

positif dengan ide bunuh diri. Individu dengan sensitivitas interpersonal yang tinggi

mengalami perasaan terisolasi dari lingkungan sosial dan merasa terpisah dari

lingkungan sosialnya yang kemudian berkaitan dengan meningkatnya resiko bunuh

diri (Gupta & Gupta, 2013). Selain itu adanya kerapuhan diri sebagai komponen

dari sensitivitas interpersonal juga dapat menyebabkan individu memiliki

keyakinan negatif akan dirinya. Hal tersebut kemudian menimbulkan perilaku

disfungsional yang mengganggu hubungannya dengan orang lain (Otani et al.,

2018). Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sensitivitas interpersonal

yang tinggi akan mengakibatkan munculnya ide bunuh diri.

3. Hubungan Ketidakpuasan Bentuk Tubuh dengan Ide Bunuh Diri

Selain sensitivitas interpersonal, ide bunuh diri juga memiliki korelasi

dengan rendahnya kepuasan terhadap tubuh atau yang disebut sebagai

ketidakpuasan bentuk tubuh. Individu dengan kepuasan bentuk tubuh yang rendah

lebih sering melaporkan adanya pemikiran atau upaya bunuh diri. Meskipun ada

kontradiksi mengenai hal ini karena beberapa peneliti tidak menemukan hubungan

antara kepuasan bentuk tubuh dan bunuh diri namun banyak pula peneliti yang telah

melaporkan hubungan dekat antara keduanya (Tiwari & Kumar, 2015).

Ketidakpuasan bentuk tubuh akan meningkat hingga masa dewasa awal. Setelah

mengendalikan masalah psikologis dan variabel-variabel lain yang mungkin

berpengaruh, ketidakpuasan bentuk tubuh secara prospektif dapat memperkirakan

risiko ide bunuh diri pada remaja perempuan dan laki-laki (Kim & Kim, 2009).

Penelitian lain menyebutkan bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh adalah prediktor


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

prospektif yang signifikan dari tingkat keparahan ide bunuh diri selama penelitian

belangsung dari 6 hingga 12 bulan (Perkins & Brausch, 2019).

Menurut Lee dan Seo (2013) individu yang menganggap dirinya memiliki

berat badan berlebih ternyata juga memiliki tingkat ide bunuh diri yang tinggi.

Sedangkan individu yang merasa puas terhadap tubuhnya memiliki nilai yang lebih

rendah. Individu dewasa yang tidak puas dengan tubuhnya memiliki lebih banyak

pikiran dan sikap negatif mengenai tubuhnya. Hal itulah yang meningkatkan

keinginan mereka untuk melakukan tindakan melukai diri hingga memiliki

pemikiran untuk bunuh diri (Rufino et al., 2018). Ketidakpuasan bentuk tubuh

dapat disebabkan karena adanya gangguan makan. Gangguan makan tersebut

terjadi karena adanya keinginan memenuhi bentuk tubuh ideal menurut masyarakat

sekitarnya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ketidakpuasan bentuk tubuh

merupakan salah satu mekanisme potensial karena gangguan makan pada orang

dewasa berkaitan dengan peningkatan risiko ide bunuh diri dan upaya bunuh diri

(Rufino et al., 2018). Sehingga dapat disimpulkan tingginya ketidakpuasan bentuk

tubuh berhubungan dengan munculnya ide bunuh diri


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

E. Kerangka Pemikiran

Hubungan antara sensitivitas interpersonal dan ketidakpuasan bentuk tubuh

dengan ide bunuh diri pada mahasiswa S1 Universitas Sebelas Maret yang akan

diteliti memiliki gambaran kerangka pemikiran sebagai berikut:

H2
Sensitivitas
Interpersonal

H1
Ide bunuh diri

Ketidakpuasan bentuk H3
tubuh

Bagan 1.
Kerangka Berpikir “Hubungan antara Sensitivitas interpersonal dan
Ketidakpuasan Bentuk Tubuh dengan Ide Bunuh Diri pada Mahasiswa S1
Universitas Sebelas Maret”

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai


berikut:
1. Terdapat hubungan antara sensitivitas interpersonal dan
ketidakpuasan bentuk tubuh dengan ide bunuh diri pada mahasiswa
S1 Universitas Sebelas Maret.
2. Terdapat hubungan antara sensitivitas interpersonal dengan ide bunuh
diri pada mahasiswa S1 Universitas Sebelas Maret.
3. Terdapat hubungan antara ketidakpuasan bentuk tubuh dengan ide
bunuh diri pada mahasiswa S1 Universitas Sebelas Maret.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

You might also like