You are on page 1of 10

MAKALAH SINTAKSIS

( Pengertian dan Ruang Lingkup Sintaksis )

Disusun Oleh :

Kelompok

1. Vina Bidiarti 2210723015

2. Atika Duri 2210722017


3. Anisya Maha Dewi 2210722037

Dosen Pengampu: Sri Wahyuni.Dra..M.Ed.

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ANDALAS

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta'ala. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Deret Morfologis dan Kontruksi Morfologis” dapat kami
selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Begitu pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami
sehingga makalah ini dapat kami susun.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah
memberikan banyak kontribusi bagi kami, dosen pembimbing kami dan juga kepada teman-teman
seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal.Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang membangun bagi perbaikan
makalah kami selanjutnya.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun adanya
ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf.Tim penulis menerima kritik
dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan
berikutnya.

Padang, 28 Februari 2024

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris
digunakan istilah syntax. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan
seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase, berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk-
beluk kata dan morfem. Untuk penjabaran lebih lengkap akan dibahas dalam makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SINTAKSIS

1.Pengertian sintaksis

Beberapa pakar bahasa Indonesia telah memberi batasan tentang pengertian sintaksis, di
antaranya adalah Kridalaksana, Chaer,Ahmad, Ramlan, dan Syamsuddin.

Menurut Kridalaksana (1985: 6), sintaksis adalah subsistem tata bahasa mencakup kata dan
satuan-satuan yang lebih besar dari kata serta hubungan antara satuan itu. Menurut Chaer (2009:3),
sintaksis adalah subsistem kebahasaan yang membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata itu ke
dalam satuan-satuan yang lebih besar, yang disebut satuan sintaksis, yakni kata, frasa,klausa, kalimat,
dan wacana.

Adapun menurut Ahmad (2002: 1), sintaksis mempersoalkan hubungan antara kata dan satuan-
satuan yang lebih besar, mem-bentuk suatu konstruksi yang disebut kalimat. Senada dengan
itu,Syamsuddin (2007:364 〕 mengungkapkan bahwa sintaksis atau di-sebut juga ilmu tata kalimat
menguraikan hubungan antarunsur bahasa untuk membentuk sebuah kalimat. Materi sintaksis perlu
dipelajari karena ilmu ini mempelajari tata bentuk kalimat yang merupakan kesatuan bahasa terkecil
yang lengkap. Dikatakan lengkap sebab kalimat dapat berdiri sendiri dan dipahami karena
mengandung makna yang lengkap.
Ramlan (1987: 21) memberi batasan sintaksis sebagai cabang ilmu bahasa yang membicarakan
seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa. Pengertian sintaksis yang dikemukakan oleh para
tokoh tersebut menunjukkan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik yang bidang kajiannya meliputi
satuan lingual berwu-jud kata, frasa, klausa, kalimat hingga wacana.

Sintaksis (Yunani: Sun + tattein = mengatur bersama sama) adalah bagian dari kata bahasa yang
mempelajari dasar-dasar sama) adalah bagian pembentukan kalimat dalam suatu bahasa. Penelitian
bidang fonetis morfologis dan struktur frasa dari suatu bahasa merupakan bagian dari ilmu Bahasa
yang masih bersifat statis. Dalam sintaksis bidang-bidang statis seolah-olah digerakkan dan
dihidupkan ke dalam kesatuan gerak yang dinamis, diikat dan dijalin ke dalam berbagai macam
konstruksi.

Istilah sintaksis berasal dari bahasa Yunani, syntaxis yang berarti ‘susunan’ atau ‘tersusun secara
bersama’ (Valin, 1997:1).Dalam hal ini, sintaksis berusaha menjelaskan hubungan fung-sional antara
unsur-unsur dalam satuan sintaksis yang tersusun bersama dalam wujud frasa, klausa, kalimat, dan
wacana.Hu-bungan fungsional di sini berarti hubungan saling ketergantung-an antara unsur yang satu
dengan unsur yang lain. Setiap unsur dalam sintaksis dipahami berdasarkan fungsinya dalam
sistem.Fungsi suatu satuan sintaksis akan tampak apabila satuan itu muncul dalam suatu susunan.
Misalnya, susunan kata dalam frasa,susunan frasa dalam klausa, susunan klausa dalam kalimat, dan
susunan kalimat dalam wacana. Oleh karena itu, satuan bahasa yang dikaji dalam sintaksis adalah
kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Satuan bahasa ini disebut satuan sintaksis.

Secara hierarki, kata merupakan satuan terkecil yang dikaji dalam sintaksis, sedangkan wacana
merupakan satuan terbesar.Artinya, dalam sebuah konstruksi, terdapat hubungan fungsi antarkaa
dalam frasa, hubungan fungsi antarkata/frasa dalam klausa, hubungan fungsi antarkata/frasa dalam
kalimat, hubungan fungsi antarklausa dalam kalimat, dan hubungan fungsi antar-kalimat dalam
wacana.

B. RUANG LINGKUP SINTAKSIS

Secara hierarkial dibedakan adanya lima ruang lingkup sintaksis, yaitu kata, frase, klausa, kalimat,
dan wacana. Secara hierarkial, maksudnya, kata merupakan satuan terkecil yang membentuk frase.
Lalu, frase membentuk klausa; klausa membentuk kalimat; kalimat membentuk wacana. Jadi, kalau
kata merupakan satuan terkecil, maka wacana merupakan satuan terbesar.Hal ini berbeda dengan
paham tata bahasa tradisional yang mengatakan bahwa kalimat adalah satuan terbesar dalam kajian
sintaksis.
1. KATA

Secara gramatikal kata mempunyai dua status. Sebagai satuan terbesar dalam tataran morfologi,
dan sebagai satuan terkecil dalam tataran sintaksis.

Sebagai satuan terbesar dalam tataran morfologi, kata dibentuk dari bentuk dasar (yang dapat
berupa morfem dasar terikat maupun sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses) bebas, atau
gabungan morfem) melalui proses morfologi afiksasi,reduplikasi, atau komposisi. Bagaimana kata itu
dibentuk, sudah dibicarakan dalam buku Morfologi Bahasa Indonesia (Chaer, 2008),sehingga dalam
subbab ini tidak akan dibicarakan lagi. Sebagai satuan terkecil dalam sintaksis kata, khususnya yang
termasuk kelas terbuka (nomina, verba, dan ajektifa) dapat mengisi fungsi-fungsi sintaksis. Simak
bagan berikut:

Seekor anjing dan seekorkucing berkelahi di dapur Ket.

Yang agak berbeda adalah kata dari kelas tertutup yang termasuk adverbia. Ada adverbia yang
bisa menduduki fungsi Ket.;ada juga yang menjadi bagian dari frase lain. Selain kata dari kategori
verba, nomina, dan ajektifa,kata dari kategori numeralia, pronomina, persona, dan adverbia juga dapat
berdiri sendiri dalam kalimat minor; tetapi kata dari kategori preposisi dan konjungsi tidak dapat.

2. FRASA

Frasa adalah suatu konstruksi yang terdiri dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan.
Kesatuan itu dapat menimbulkan suatu makna baru yang sebelumnya tidak ada. Misalnya dalam frasa
rumah ayah muncul makna baru yang menyatakan milik, dalam frasa rumah sakit terdapat pengertian
baru untuk’, sedangkan frasa obat nyamuk terdap makna baru untuk memberantas’.

3. KLAUSA

Sebaliknya klausa adalah suatu konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa kata yang
mengandung hubungan fungsional, yang dalam bahasa lama dikenal dengan pengertian subyek,
predikat, obyek, dan keterangan-keterangan. Sebuah klausa sekurangnya harus mengandung satu
subyek, satu predikat, dan secara fakultatif satu objek dalam hal-hal tertentu klausa terdiri dari
satu predikat dan boleh dengan keterangan (bentuk impersunal) misalnya:

1. saya menyanyikan sebuah lagu


2. adik membaca buku

3 anak itu menangis

4. Ia sudah bangun
5. Diberitahukan kepada seluruh umum
6. Demikian diceritakan

7. sementara adina nanyikan sebuah lagu, saya membaca buku

8. ja makan, karena (ia) lapar.

Konstruksi no. I sampai dengan 6 membentuk satu klausa, dan sekaligus sebuah kalimat.
Sebaliknya konstruksi kalimat yang terdiri dari dua klausa no. 7 dan 8 merupakan sebuah kalimat
yang terdiri dari dua klausa Sementara itu, kalau kita mendengar orang mengucapkan:

9. “Maling!” “Pergi!” “Keluar!”

10. “Rumah ayah!” sebagai jawaban atas pertanyaan, “Rumah siapa itu?”

11. “Karena lapar!” sebagai jawaban atas pertanyaan, “Mengapa kamu malas bekerja?” Semua
konstruksi di

Semua konstruksi di atas diterima juga sebagai kalimat, walaupun contoh-contoh dalam nomor 9
hanya terdiri dari satu kata, sedangkan nomor 10 dan 11 terdiri dari frasa. Bila demikian: sebuah
kata, sebuah frasa, atau sebuah klausa dapat nenjadi sebuah kalimat! Tetapi di mana letak
perbedaannya? Kita menyebutnya sebagai kata, frasa, atau klausa, semata-mata berdasarkan unsur
segmentalnya. Sebaliknya unsur kata, frasa, dan klausa dapat dijadikan kalimat kalau diberikan
kepadanya unsur suprasegmental – dalam hal ini intonasi.

4. KALIMAT

Satuan bahasa yang menjadi inti dalam pembicaraan sintaksis adalah kalimat yang merupakan
satuan di atas klausa dan di bawah wacana. Persoalan kita, apakah kalimat itu? Banyak definisi
tentang kalimat telah dibuat orang, tapi dalam buku ini diikuti definisi bahwa kalimat adalah satuan
sintaksis yang disusun dari konstituen dasar,yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan
konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.

Intonasi final yang merupakan syarat penting dalam pembentukan sebuah kalimat dapat berupa
intonasi deklaratif (yang dalam bahasa ragam tulis diberi tanda titik), intonasi interogatif (yang dalam
bahasa ragam tulis diberi tanda tanya), intonasi imperatif (yang dalam bahasa ragam tulis diberi tanda
seru), dan intonasi interjektif (yang dalam bahasa ragam tulis diberi tanda seru). Tanpa intonasi final
ini sebuah klausa tidak akan menjadi sebuah kalimat.

a. Jenis kalimat
Banyak nama diberikan orang terhadap adanya jenis atau macam kalimat. Dalam buku ini diikuti
penamaan itu berdasarkan kriteria:
a. Berdasarkan kategori klausanya dibedakan adanya
(1) Kalimat verbal, yakni kalimat yang predikatnya berupa verba atau frase verbal.
(2) Kalimat ajektifal, yakni kalimat yang predikatnya berupa ajektifa atau frase ajektifal.
(3) Kalimat nominal, yakni kalimat yang predikatnya berupa nomina atau frase nominal.
(4) Kalimat preposisional, yakni kalimat yang predikatnya berupa frase preposisional. Perlu
dicatat kalimat jenis ini hanya digunakan dalam bahasa ragam nonformal.
(5) Kalimat numeral, yakni kalimat yang predikatnya berupa numeralia atau frase numeral. Perlu
dicatat kalimat jenis ini hanya digunakan dalam bahasa ragam nonformal.
(6) Kalimat adverbial, yakni kalimat yang predikatnya berupa adverbia atau frase adverbial.
b. Berdasarkan jumlah klausanya dibedakan adanya
(1) Kalimat sederhana, yakni kalimat yang dibangun oleh sebuah klausa.
(2) Kalimat “bersisipan”, yakni kalimat yang pada salah satu fungsinya “disisipkan” sebuah
klausa sebagai penjelas atau keterangan.
(3) Kalimat majemuk rapatan, yakni sebuah kalimat majemuk yang terdiri dari dua klausa atau
lebih di mana ada fungsi-fungsi klausanya yang dirapatkan karena merupakan substansi yang
sama.
(4) Kalimat majemuk setara, yakin kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih dan memiliki
kedudukan yang setara.
(5) Kalimat majemuk bertingkat, yakni kalimat yang terdiri dari dua buah klausa yang
kedudukannya tidak setara.
(6) Kalimat majemuk kompleks, yakni kalimat yang terdiri dari tiga klausa atau lebih yang di
dalamnya terdapat hubungan koordinatif (setara) dan juga hubungan subordinatif (bertingkat).

c. Berdasarkan modusnya dibedakan adanya


(1) Kalimat berita (deklaratif), yakni kalimat yang berisi pernyataan belaka.
(2) Kalimat tanya (interogatif), yakni kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban.
(3) Kalimat perintah (imperatif), yaitu kalimat yang berisi perintah,dan perlu diberi reaksi berupa
tindakan.
(4) Kalimat seruan (interjektif), yakni kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan.
(5) Kalimat harapan (optatif), yakni kalimat yang menyatakan harapan atau keinginan.
5. WACANA

Sebagai satuan tertinggi dalam hierarki sintaksis wacana mempunyai “pengertian” yang lengkap
atau utuh, dibangun oleh kalimat atau kalimat-kalimat. Artinya, sebuah wacana mungkin hanya terdiri
dari sebuah kalimat, mungkin juga terdiri dari sejumlah kalimat. Dalam pembentukan sebuah wacana
yang utuh, kalimat-kalimat itu dipadukan oleh alat-alat pemaduan, yang dapat berupa unsur leksikal,
unsur gramatikal, ataupun unsur semantik.Umpamanya, teks berikut merupakan sebuah wacana yang
utuh.

(190) Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan ikannya,telurnya pun sulit
diperoleh (2). Kalaupun bisa diperoleh, harganya melambung selangit (3). Makanya, ada kecemasan
masyarakat nelayan di sana bahwa terubuk itu akan punah (4).

Kepaduan kalimat (1) dan kalimat (2) dilakukan dengan penggunaan pronomina nya pada
kalimat (2) yang mengacu pada kata terubuk pada kalimat (1). Kepaduan kalimat(2) dan kalimat (3)
dilakukan de-ngan penggunaan konjungsi kalaupun dan pronomina nya pada kalimat (3). Lalu,
kepaduan kalimat (4) dengan kalimat-kalimat sebelumnya dilakukan dengan penggunaan konjungsi
makanya yang menyatakan “kesimpulan” untuk kalimat-kalimat sebelumnya.Keempat kalimat itu
hanya mengacu pada satu pokok gagasan yaitu mengenai terubuk. Bandingkan dengan teks berikut
yang setiap kalimatnya memiliki pokok masing-masing yang berbeda sehingga teks tersebut bukan
merupakan satu wacana atau bisa disebut juga paragraf yang tidak apik.

C. KEDUDUKAN SINTAKSIS

Berdasarkan hierarki kebahasaan, kajian antara morfologi dan sintaksis dapat dibedakan melalui
bagan berikut ini.

Pada gambar di atas, seolah-olah batas kajian antara morfologi dan sintaksis itu tampak tegas.
Kenyataannya, ada sejumlah fenomena kebahasaan yang membuat batas kedua kajian itu menjadi
samar-samar. Adanya kata-kata yang unsur utamanya berupa “frasa” merupakan bukti adanya
tumpang-tindih kepentingan seperti itu. Kata kebelumtuntasan memiliki unsur dasar yang berupa
frasa, yaitu belum tuntas. Frasa seperti itu pada umumnya merupakan bidang atau objek kajian
sintaksis, padahal bentuk kebelumtuntasan sebagai kata merupakan objek kajian morfologi. Demikian
pula

Keberadaan kata majemuk. Kata majemuk memiliki unsur dua kata atau kata dan pokok kata.
Berdasarkan ciri bentuknya, kajian tentang kata majemuk termasuk bidang sintaksis, tetapi karena arti
dan sifat kata majemuk sama atau mirip dengan arti dan sifat kata pada umumnya, kajian tentang kata
majemuk termasuk dalam bidang morfologi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
sintaksis, morfologi, fonologi, dan semantik merupakan cabang ilmu bahasa yang sama-sama
menangani bahasa, tetapi memiliki objek kajian yang berbeda.

Dengan demikian, kedudukan sintaksis di antara cabang ilmu bahasa yang lain bersifat komplementer
atau saling melengkapi. Fenomena bahasa yang tidak dapat diselesaikan atau dijelaskan melalui
prinsip-prinsip morfologis, misalnya, dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip fonologis dansintaktis.
Demikian pula sebaliknya, hal-hal yang tidak dapat diselesaikan secara sintaktis dapat dijelaskan
secara morfologis.
DAFTAR PUSTAKA

Ramlan, M. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakrta: CV Karyono.

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.

Chaer , Abdul ,2003, linguistik umum, Rineka cipta.

Khairah,miftahul & Ridwan, sakura. Sintaksis. Bumi aksara.

Joko Santoso Kedudukan dan Ruang Lingkup Sintaksis

You might also like