You are on page 1of 14

MAKALAH

Asal usul disiplin estetika: pemikiran


A.Baumgarten, estetika emirisime teori selera

Mata Kuliah Estetika

Di Susun Oleh :

Kelompok 2

1. Jusratul Aulia (22020016)


2. Melsi Safitri (22020021)

Dosen Pengampu :

Dr. Ramalis Hakim, M.Pd

Ferdian Ondira Asa, S.Pd.,M, Sn.

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERITAS NEGERI PADANG
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Asal usul disiplin estetika
pemikiran A.Baumgarten etetika empirisisme teori selera" Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan dalam penulisan makalah ini.

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang Asal usul disiplin estetika pemikiran
A.Baumgarten etetika empirisisme teori selera. Dalam bab-bab berikutnya, kami akan menguraikan
berbagai aspek penting terkait Estetika.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua maaf jika ada kesalahan kata kata atau kurang
dari makalah kami mohon maaf sebesar besarnya.

Padang, 20 Februari 2024


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. I


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. II
BAB I ........................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................................................... 2
BAB II.......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 3
A. Asal Usul Disiplin Estetika................................................................................................ 3
B. Pemikiran A.Baumgarten .................................................................................................. 4
C. Estetika Empirisisme Teori Selera… ................................................................................ 6
BAB III ......................................................................................................................................13
PENUTUP .................................................................................................................................13
A. KESIMPULAN……………………………………………………………………………13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………...14
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Istilah etetika baru mucul pada tahun 1750 oleh sesorang filsuf minor yang bernama
Alexzmder gottlieb Baumgarten (1714-1762) istilah itu dipungut dari Bahasa Yunani kuno.
“aisthentika”, yang berate kemampuan melihat lewat pengindraan. Baumgarten menamakan seni
itu sebagai pengetauan sesoris,yang dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan
intelektual. Tujuan etetika adalah keindahan, sedangkan tujuan logika adalah kebenaran.

Estetika menurut arti etimologis, adalah teori tentang ilmu penginderaan pencerapan panca
indra sebagai titik tolak dari pembahasan. Istilah estetika sebagai “ilmu tentang seni dan
keindahan” pertamakali diperkenalkan oleh alexander gottlieb Baumgarten,seorang filsuf jerman
yang hidup pada tahun 1714-1762. Sejak zaman Yunani kuno yang disebut dengan istilah
“beauty” yang diterjemahkan dengan istilah filsafat “keindahan”.

Dalam kenyataanya pencerapan indra penggelihatan hanya bersifat terbatas yang


menyangkut cahaya, warna, dan bentuk. Keindahan dalam arti pengertian indrawisebenarya lebih
luas dari yang dapat di tangkap oleh indra penglihatan, sebab beberapa karya seni dapat pula
dicerap oleh indra pendengaran misalnya seni suara.

Persoalan tentang nilai estetis (nilai keindahan) dalam rangka teori umum tentang nilai,
pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti halnya nilai moral,nilai
ekonomis dan nilai yang lain. Nilai yang berhubungan dengan segala suatu yang tercakup dalam
pemngertian keindahan disebut nilai estetis.

Estetika merupakan cabang yang sangat dekat filosofi seni.meskipun awalnya sesuatu
indah yang di nilai dari aspek teknis dalam membentuk sesuatu karya, namun perubahan pola
piker dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilai terhadap keindahan. Misalnya pada
masa romantisme di peracis, keindahan berate kemampuan menyajikan sebuah ke anggunan.

B. RUMUS MASALAH
1. Asal usul disiplin estetika
2. Menurut pemikiran A.Baumgarten
3. Estetika empirisisme menurut teori selera

C. TUJUAN
1. Mengetahui asal usul disiplin estetika
2. Mengetahui pemikiran oleh A.Baumgarten
3. Mengetahui tentang estetika empirisisme menurut teori selera
BAB II
PEMBAHASAN

A. ASAL USUL DISIPLIN ETETIKA

estetika adalah displin ilmu tentang seni. Walaupun memikiran perihal seni sudah
berlangsung lebih dari dua millennium, istilah “estetika” pertama kali digunakan dan
tulisan Baumgarten tahun 1735 (pada usia 21 tahun) dengan judul “meditationes
Philosophice de nonnullis ad poema pertinentibus (meditasi filosofis yang berkaitan
dengan beberpa hal mengenai puisi”). Perlu di ketahui bahwa Baumgarten adalah
seseorang rasionalis emoirls yang banyak terpengaru pemikiran Descartes. Jasa besar
baumarten dalam dunia seni adalah menyejajarkan estetika dengan cabang filsafat
metafisika. Walaupun awalnya banyak ditentang dantidak disebut positif dari kalngan
cendikiawan, kini kedudukan estetika dalamdunia ilmu pengaruhan tak tergoyangkan dan
mengalami perluasan.

Istilah “estetika” sebagai “filsafat seni” baru muncul pada abad ke-18 dan diperkenalkan
oleh Alexander Gottlieb Baumgarten dalam karyanya yang berjudul Meditasi Filosofis
tentang Beberapa Hal Berkaitan dengan Puisi. Ia mengenalkan estetika sebagai kajian
keindahaan perseptual (Goldman dalam Suryajaya, 2016). Baumgarten meneruskan
distingsi dua istilah Yunani yaitu noesis dan aesthesis, dan memilah dua jenis
pengetahuan: cognitio intellectiva dan cognitio aesthetica. Dua jenis pengetahuan ini yang
nantinya akan dikenal dalam bentuk ringkasnya sebagai aesthetica (estetika).

Demikian pula dengan estetika, terdapat juga hal yang sama dalam ketiga cabang tersebut:

• Ontologi seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hakikat karya seni serta
manusia sebagai bagian dari keberadaan kesenian.
• Epistemologi seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai proses pengetahuan,
terutama yang melatarbelakangi penciptaan karya seni dan pemahaman atas karya seni
(dalam hal ini misalnya pencercap karya dan artis).
• Filsafat sosial seni yang mengkaji pendalaman filosofis mengenai hubungan antara
kesenian dan masyarakat (termasuk etika dan politik yang bergerak karena kesenian).

Keindahan menurut luasnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
1. Keindahan dalam arti yang terluas Keindahan merupakan pengertian yang berasal dari Yunani
dahulu yang didalamnya tercakup ide kebaikan. Menurut bangsa Yunani keindahan merupakan
arti estetis yang disebutnya symmetria untuk keindahan berdasarkan penglihatan, harmonia untuk
keindahan berdasarkan pendengaran. Sehingga, pengertian keindahan yang seluas-luasnya adalah
meliputi keindahan seni, moral, dan intelektual.
2. Keindahan dalam arti estetis murni. Menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Jadi disini lebih
disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan berupa
keindahan dari bentuk dan warna. Semuanya belum jelas apa sesungguhnya keindahan itu. Hal ini
memang merupakan suatu persoalan filsafat yang jawabannya beraneka ragam. Salah satu ciriciri
umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan kemudia menyamakan ciri-ciri hakiki
dengan keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang
terdapat pada sesuatu. Menurut Surajiyo (2005:103) kualitas yang sering disebut adalah kesatuan
(unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan
(contrast).

• Teori Keindahan:
1. Teori objektif berpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan estetis ialah sifat
(kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang
mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat
indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk
merubahnya.
2. teori subjektif adalah menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada suatu
benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalm diri seseorang
sendiri yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada
pencerapan dari se pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu benda mempunya nilai
estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagai
tanggapan terhadap benda itu.

Dismping mempermasalahkan asal-usulnya, para filsuf juga tertarik pada aspek lain, yaitu,
keindahan. Lahirlah filsafat estetika. Maslah-masalah kefilsafatan lebih banyak melibatkan
intelektualitas, sebaliknya,masalah-masalah keindahan lebih banyak melibatkan emosionaltas.
Banyak klasifikasi dalam kaitanya dengan kedudukan estetika dalam filsafat.salah satu diantaranya
sebagaimana dikemukakan oleh lewis yaitu: metafisika, epistemology, logika, etika dan estetika.
A. Metafisika mempermasalahkan keberadaan eksistensi Tuhan, manusia, alam semesta,
realitas, dan sebagainya. Misalnya, apakah alam semesta tersebut merupakan relitas atau
semata-mata ide.
B. Epistemology mempertanyakan sumber dan batas-batas pengetahuan manusia, misalnya
apakah sumber pengetahuan manusia tersebut berupa akal ataukah indera.
C. Logika mempermasalahkan mengenai daya nalar, asas untuk mencapai kesimpulan yang
paling tepat.
D. Etika berhubungan dengan perilaku yang paling tepat. Etika berhubungan dengan perilaku
manusia, dengan moral, misalnya, ukuran bagi perbuatan yang dikategorikan baik.

Melalui penjelasan di atas, maka estetika dikatakan sebagai memiliki dua wilayah pemahaman,
yaitu:
a) estetika tradisional, estetika itu sendiri yang disebut sebagai estetika filsafat, dan
b) estetika modern, estetika ilmiah yang meliputi pemahaman intelektual yang melibatkan ilmu
bantu yang relevan.
Secara historis, seperti di atas, baru pertengahan abad ke-18, melalui tulisan baumgarten filsafat
keindahan menjadi estetika ilmiah sebagai ilmu yang mandiri.
Estetika sebagai Disiplin Mandiri
Karya seni dalam hubungan ini dianggap bermutu rendah sebab merupakan mimesis, tiruan
dari tiruan. Karya seni sebagai subordinasi kenyataan. Dalam hubungan inilah tampil Aristoteles
khususnya dalam bukunya yang berjudul poetica, yang kemudian menjadi nama cabang ilmu
sastra, sebagai mediator sekaligus mengembalikan fungsi karya seni dalam kehidupan manusia.
Menurut Aristoteles karya seni tidak bermutu rendah sebab berfungsi sebagai
khatarsis(penyucian) lebih dari itu karya seni memiliki misi yang jauh lebih tinggi, membentuk
dunianya sendiri sehingga mengatasi kenyataan tersebut. sebagai perdebabatan yang diilhami oleh
konsep imitation dan creatio Aristoteles lebih jauh menjelaskan bahwa seniman memiliki
kedudukan yang sangat mulia sebab dapat mengantarkan pembaca pada suatu pemahaman yang
berbeda-beda. Dalam karya seni penafsiranlah yang domina sebab hanya karya seni yang memiliki
cara-cara yang khas untuk memahami objek-objek, yang tidak dimiliki oleh ilmu yang lain. Periode
yang terpenting adalah bagaimana masa prasejarah umat manusia berakhir dengan ditemukan
aksara di lemba Sungai Mesotopomia sekitar 3.500 tahun SM, dilanjutkan dengan teknologi
pertama mesin cetak oleh Cuttenberg abad ke-15 yang kemudian di akhiri dengan berbagai
penemuan teknologi modern, khususnya computer pada abadke-20.

B. PEMIKIRAN ALEXAN

Alexander Gottlieb Baumgarten, filsuf dan ahli estetika Wolffian Jerman, lahir di Berlin. Dia
adalah putra seorang asisten teolog dan pengajar Pietist August Hermann Francke; saudaranya
adalah sejarawan gereja dan ilahi yang terkenal Sigmund Jakob. Baumgarten belajar filsafat dan
teologi di Halle.

Setelah menerima gelar master pada tahun 1735, ia diangkat sebagai guru di Halle dan pada tahun
1738 menjadi profesor luar biasa. Saat mengajar di sana, Baumgarten, sebagai reaksi terhadap
Pietisme yang dominan di Halle setelah pengusiran Christian Wolff pada tahun 1723,
memperkenalkan kembali filosofi Wolffian.

Pada tahun 1740 ia diangkat sebagai profesor penuh di Frankfurt an der Oder, di mana ia tinggal
sampai kematiannya. Buku pegangan Latin Baumgarten tentang metafisika, etika, dan filsafat
praktis banyak digunakan di universitas-universitas Jerman baik pada masanya maupun setelah
kematiannya, dan pengaruhnya luar biasa. Kant menganggapnya sebagai salah satu ahli metafisika
terbesar pada masanya dan mengadopsi Metafisika dan Filsafat Praktisnya sebagai buku teks untuk
kuliahnya sendiri di Königsberg.

Kecuali karya-karyanya tentang estetika, Baumgarten pada umumnya sangat dekat dengan
ajaran Wolff, meskipun ia berbeda pendapat dengan Wolff dalam beberapa hal khusus. Misalnya,
memilih posisi tengah dalam kontroversi masalah interaksi zat dengan merekonsiliasi teori Wolf
tentang “keharmonisan yang telah ditetapkan sebelumnya” antara jiwa dan tubuh dengan teori
pengaruh fisik yang didukung oleh kaum Pietis.Baumgarten, sebagai pendukung panpsikisme
Leibnizian, menerapkan solusinya pada hubungan di antara semua zat. Wolff, sebaliknya,
membedakan dengan sangat tajam antara substansi spiritual dan material. Baumgarten dengan
demikian kurang Leibnizian daripada Wolff dalam menerima pengaruh fisik dan lebih Leibnizian
dalam panpsikismenya.

Menurut Baumgarten, dasar-dasar puisi dan seni rupa adalah “sensitif (sensitivae). )
representasi,” yang tidak hanya “sensual” (sensual), tetapi berhubungan dengan perasaan (dan oleh
karena itu berkaitan baik dengan fakultas pengetahuan dan keinginan). Puisi yang indah adalah
“wacana sensitif yang sempurna”, yaitu wacana yang membangkitkan perasaan yang hidup. Ini
membutuhkan “kejelasan ekstensif” tingkat tinggi, yang berbeda dari “kejelasan intensif (atau
intelektual).” Ini berarti bahwa representasi anestesi harus memiliki banyak “karakteristik”, yaitu,
harus dicirikan oleh banyak sifat atau elemen tertentu yang berbeda, bukan oleh beberapa karakter
yang terdiferensiasi dengan baik.

Estetika adalah disiplin ilmu tentang seni. Walaupun pemikiran perihal seni sudah berlangsung
lebih dari dua milenium, istilah "estetika" pertama kali digunakan dalam tulisan Baumgarten tahun
1735 (pada usia 21 tahun) dengan judul "Meditationes philosophicae de nonnullis ad poema
pertinentibus ("Meditasi filosofis yang berkaitan dengan beberapa hal mengenai puisi"). Perlu
diketahui bahwa Baumgarten adalah seorang rasionalis empiris yang banyak terpengaruh
pemikiran Descartes. Jasa besar Baumgarten dalam dunia seni adalah menyejajarkan Estetka
dengan cabang filsafat metafisika. Walau awalnya banyak ditentang dan tidak disambut positif
dari kalangan cendikiawan, kini kedudukan estetika dalam dunia ilmu pengetahuan tak
tergoyahkan dan mengalami perluasan.

Secara garis besar. Baumgarten membagi pengetahuan manusia menjadi dua jenis antara lain:
1. Pengetahuan Intelektual (Intellectual knowledge), tujuannya adalah kebenaran

2. Pengetahuan inderawi (Sensuous knowledge) atau estetika (Aesthetics), tujuannya adalah


Keindahan

Keindahan dan kebenaran keduanya merupakan perwujudan nilai dari pengetahuan


sebagaimana dipahami oleh Baumgarten (Gie, 2004:54). Bagi Alexander Baumgarten,
membahas tentang Estetika tentu saja membahas tentang pengetahuan inderawi, yang
secara defenisi adalah kegiatan merasakan, menanggapi, mengindra, atau mengamati
objek, baik itu objek alam maupun seni

C. ETETIKA EMPIRISISME TEORI SELERA

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa
fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.

Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-
kata ini berakar dari kata bahasa Yunani (empeiria) dan dari kata experieti yang berarti
“berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Empirisme adalah aliran dalam
filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera. Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari
pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang
dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat
namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem
pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan
pernah dapat dijamin.Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat
diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa
sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta
maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri.

Istilah empirisme diambil dari bahasa Yunani empiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman.Sebagai doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme (Ihsan, 2010). Kata empirisme
menurut Amsal Bakhtiar berasal dari kataYunani empereikos yang berarti pengalaman.Menurut
aliran ini manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman inderawi. Hal ini dapat dilihat bila
memperhatikan pertanyaan seperti: “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” Seorang empiris
akan mengatakan, “Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang ilmuan telah merasakan
seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek),
yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa esitu dingin. Bagaimana dia mengetahui
es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba.dengan kata lain, seorang empiris
akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang
sesuai (Bakhtiar, 2012).
TOKOH-TOKOH ALIRAN EMPIRISME

Tokoh-tokoh pakar filsafat yang mengembangkan paham empirisme diantaranya Francis


Bacon, Thomas Hobbes

1. Francis Bacon (1561-1626 M)

Menurut Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan indrawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan
sumber pengetahuan sejati. Kata Bacon selanjutnya, kita sudah terlalu lama dpengaruhi oleh
metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan, itu tidak benar, haruslah kita
sekarang memperhatikan yang konkret mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.

2. Thomas Hobbes(1588-1679 M)

Ia seorang ahli pikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford untuk
belajar logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab gurunya
beraliran Aristotelien. Sumbangan yang besar sebagai ahli pikir adalah suatu sistem materialistis
yang besar, termasuk juga kehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia
mengemukakan teori teori. Pendapat tentang ilmu filsafat yaitu, suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat umum. Karana filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang akibat atau genjala yang
diperoleh. Bahwa pengalaman indrawi sebagai pemula segala pengetahuan. Hanya sesuatu yang
dapat disentuh dengan indra yang melupakan kebenaran.

3. Jhon Locke(1632-1704 M)

John Locke lahir tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington/Somersetshire dan meninggal di


Oates/Essex tanggal 28 Oktober 1704. Ia dilahirkan dari keluarga yang memihak parlemen. Sikap
puritan ayahnya sedikit banyak menularkan kepada anaknya sebuah sikap tidak suka pada
aristokrasi (Hardiman, 2007).Menurutnya segala pengetahuan datang dari pengalaman, sedangkan
akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan
jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan
refleksi. Fokus filsafat Locke adalah antitesis pemikiran Descrates. Ia menyarankan bahwa akal
budi dan spekulasi abstrak agar kita harus menaruh perhatian dan kepercayaan pada pengalaman
dalam menangkap fenomena alam melalui pancaindera. Pengenalan manusia terhadap seluruh
pengalaman yang dilaluinya seperti mencium, merasa, mengecap dan mendengar menjadi dasar
bagi hadirnya gagasan-gagasan dan pikiran sederhana.

4. George Berkeley (1685-1753)


George Berkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysert Castle Irlandia dan meninggal
tanggal 14 Januari 1753 di Oxford. Sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang
dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan
pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali
tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia
material sama dengan ide-ide. Berkeley mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam
layar putih sebagai benda yang riil dan hidup.

5. David Hume (1711-1776)

Hume lahir pada tanggal 7 Mei 1711 di Edinburgh Inggris dan meninggal pada tanggal 25
Agustus 1776. Empirisme mendasarkan pengetahuan bersumber pada pengalaman, bukan rasio.
Hume memilih pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pengalaman itu bersifat lahiriyah (yang
menyangkut dunia) dan dapat pula bersifat batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Hume
mengkritik tentang pengertian subtansi dan kausalitas (hubungan sebab akibat). Ia tidak menerima
subtansi, sebab yang dialami manusia hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu
ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung atas
realitas lahiriah, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan..

menyampaikan bahwa kehidupan dunia modern seperti sekarang ini begitu kompleks,
untuk itu kita harus bisa mengahdapi kehidupan yang sangat komplek dengan enam sistem
nilai kehidupan, yaitu:

1. Nilai Teologi. Nilai Teologis mempunyai arti Nilai Ketuhanan. Nilai Teologis sudah ada
pada diri kita sebelum fisik kita diciptakan artinya pada waktu di alam ruh. Jika nilai
teologis, membuahkan ketenangan dan ketentraman pada jiwa dan raga pemeluknya, maka
melalui kaitan organis antara nilai-nilai pendidikan Islam dengan dampak tersebut,
memungkinkan nilai ini untuk dapat meninggalkan jejak yang jelas pada intelektual
seorang muslim, sehingga terciptalah jalinan yang kokoh antara kebenaran, hukum, dan
pola-pola perilaku yang membina diri seorang Muslim

2. Nilai logik. Nilai Logik berkaitan dengan berpikir, memahami, dan mengingat adalah
pekerjaannya. Pikiran, pemahaman, pengertian, peringatan (ingat) adalah buahnya. Nilai
ini menjadi dasar untuk berbuat, bertindak. Allah dalam alquran banyak berfirman agar
kita berfikir dengan sebutan lubb atau aqal dalam memahami alam ini.

3. Nilai Fisik/Fisiologi. Nilai fisilologi berarti fisik maksudnya memaksimalkan fungsi fisik
dalam menjalani kehidupan ini. Dalam fisik kita sebagai ciptaan Allah disadari atau tidak
sangat berguna, namun ternyata kita telah lupa akan fungsinya akibatnya kita tertinggal
jauh oleh orang di luar Islam terutama dalam sains dan teknologi, kita hanya bisa mengekor
kepada dunia barat. Alamaududi seorang pembaharu Islam mengeritik kepada umat Islam
bahwa umat Islam mundur karena tidak mengoptimalkan potensi dari Allah yaitu As-Sama
(pendengaran), Al Basar (penglihatan), dan Fuad (hati).
4. Nilai Etik. Nilai etik mempunyai arti hormat, dapat dipercaya, adil semua berkaitan dengan
ahlak kita, nilai etik pada saat ini banyak tidak digunakan baik oleh orang yang bodoh
ataupun orang yang katanya berpendidikan. Allah sangat memperhatikan akhlak dengan
menyebutnya uswatun hasanah (suri tauladan yang baik)

5. Nilai Estetika. Nilai estetika meliputi keserasian, menarik, manis, keindahan, cinta kasih.
Allah menciptakan Alam bukan hanya bermanfaat tetapi ada keserasian serta keindahan,
keteraturan. Dalam menjalani hidup kita jangan terlepas dari nilai estetika karena
keserasian kita dengan orang lain dan alam sekitar sangat mendukung kita dalam
kehidupan seperti kasih sayang di antara kita, keharmonisan. Kasih sayang serta keindahan
adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah.

6. Nilai Teleologi. Nilai teleologi berkaitan dengan manfaat, efektif, efesien prod uktif dan
akuntabel dalam setiap sisi kehidupan. Islam sangat memperhatikan maslahat dan manfaat
dalam syariatnya untuk kepentingan manusia dengan lingkungannya.
BAB III

PENUTUPAN

A. KESIMPULAN

Paham empirisme ini memiliki kekurangan, sehingga selain harus dipadukan antara
keduanya juga harus ditinjau dari kemungkinan sumber lain,agar menghasilkan
pengetahuan yang benar dan tidak meragukan. Seperti contoh yang ditambahkan oleh
paham positivisme menambahkan selain logis, empiris, juga harus terukur. Selain itu juga
diperlukan alat-alat lain agar tidak menimbulkan pertanyaan cara melakukan penelitian.
Alat-alat yang dimaksud adalah Metode Ilmiah.Istilah estetika sebagai disiplin filsafat
seni bisa dikatakan baru. Sebelum Baumgarten, para pemikir mengkaji kesenian tanpa
terpisah secara konseptual dari cabang-cabang kehidupan lain. Para pemikir abad
pertengahan memiliki kecenderungan membahas keindahan dalam kerangka teologis
mengenai semesta. Mereka tidak menggunakan estetika sebagai pendekatan otonom
tentang kesenian. Bahkan, otonomi tersebut justru merupakan hal yang janggal bagi
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Sony Kartika. Dharsono dan Nanang Ganda Perwira, 2004. Pengantar Estetika. Bandung:Rekayasa
Sains.
Sahman, Umar. 1993. Estetika: Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Achmadi, Asmoro. 2003. Filsafat Umum. Rajawali Press, Jakarta.

You might also like