You are on page 1of 50

MAKALAH TUGAS MANDIRI

ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK 1


CHILD MANAGEMENT IN PEDIATRIC DENTISTRY

Kelompok B2
Hirmadhani Rahma Anindita 021911133009
Laurensia Yuanita Pringgohadi 021911133010
Annisa Zahra Humairoh Siregar 021911133011
Shafa Putri Khansa 021911133012
Indira Moza Azzaria 021911133013
Chaerun Mutmainnah 021911133014
Real Akbar Aucky Sanjaya 021911133015
Muhammad Rizal Nurdin 021911133016

Dosen Pembimbing:
Ardianti Maartrina Dewi, drg., M.Kes., Sp.KGA, K-PKOA

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAY
A 2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
BEHAVIOR MANAGEMENT ......................................................................................................
1. Frankl’s Behavior Rating Scale (1962) ............................................................................
2. Wright’s Clinical Classification (1975)............................................................................
3. Non-pharmacological .......................................................................................................
a. Pre appointment behaviour modification communication Tell-Show-Do (TSD) .........
b. Behavior shaping...........................................................................................................
c. Modeling desensitization...............................................................................................
d. Distraction.....................................................................................................................
e. Positive reinforcement operant conditioning ................................................................
f. Voice control .................................................................................................................
g. HOME (Hand Over Mouth Exercises)..........................................................................
h. Physical restraint ..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................

i
1. Introduction: Pengertian dan Tujuan Child Management
Salah satu aspek terpenting dalam merawat anak pasien adalah manajemen perilaku.
Tanpa kerjasama anak, perawatan gigi menjadi sulit bahkan bisa menjadi mustahil. Sebagian
besar anak-anak masuk ke klinik gigi dengan semacam ketakutan dan kecemasan yang
biasanya ditransfer kepada mereka dari orang tua, kerabat, teman atau imajinasi yang sudah
terbangun sendiri. Proses memodifikasi perilaku anak disebut 'Manajemen Perilaku'. Tujuan
utama dari konsep ini adalah untuk meningkatkan komunikasi dan kemitraan dengan anak
dan orang tua menuju sikap positif dan memberikan kesehatan mulut yang baik. (Rao, A.
2012).
Manajemen perilaku merupakan prosedur yang ditujukan untuk meningkatkan
keterampilan mengatasi anak, mencapai kesediaan dan penerimaan perawatan gigi secara
menyeluruh dan pada akhirnya mengurangi persepsi anak bahwa perawatan gigi sangat
berbahaya. Dengan kata lain, Teknik Manajemen Perilaku adalah teknik yang dilakukan oleh
dokter gigi untuk merawat pasien gigi anak sehingga dapat membangun komunikasi,
mengurangi rasa takut dan cemas, memfasilitasi penyampaian perawatan gigi yang
berkualitas, membangun hubungan saling percaya antara dokter gigi, anak, dan orang tua,
dan mempromosikannya. Sikap positif anak terhadap kesehatan gigi dan mulut serta
perawatan kesehatan mulut sehingga pasien anak bersedia melakukan prosedur perawatan
gigi. (Kawiya,
H. M , Mbawalla, H. S., Kahabuka, F. K., 2015).
Pada beberapa pasien anak, perawatan gigi merupakan hal yang tidak diinginkan
bahkan dihindari, dan umumnya melibatkan rasa sakit, ketakutan, dan kecemasan, teknik
yang bersifat memandu perilaku dan mengurangi kecemasan sangat penting untuk mencapai
hasil perawatan yang aman dan efektif. (Ibraheem, M. 2021).
Penting bagi seorang dokter gigi untuk mengenal pasiennya sebelum perawatan
mengenai pengalaman kekeluargaannya. Setidaknya, seorang dokter gigi harus bertanya
tentang kunjungan gigi sebelumnya dan perilaku anak pada kunjungan ini. Perilaku
penolakan dan kecemasan pada situasi perawatan gigi secara signifikan berkaitan dengan
pengalaman traumatis sebelumnya. (Ibraheem, M. 2021).
Manajemen perilaku bukanlah suatu proses yang hanya melibatkan dokter gigi dan
anak, tetapi teknik sistematis yang keberhasilannya tergantung pada kemampuan dokter gigi
untuk berkomunikasi dengan orang tua, pasien anak, dan staf. (Ibraheem, M. 2021).
Dokter gigi membutuhkan pengalaman dan pelatihan untuk memilih teknik terbaik
dan yang paling tepat untuk setiap anak, sesuai dengan ketakutannya, kepribadiannya dan

1
pengalaman sebelumnya. Menyaksikan tingkah laku pasien anak di ruang tunggu, khususnya
bersama orangtuanya, dapat memberikan informasi yang lebih terhadap dokter gigi dan

2
perawat dalam menerapkan manajemen perilaku dalam perawatan gigi yang tepat. (Ibraheem,
M. 2021).
Beberapa panduan tingkah laku anak telah tertulis dalam panduan AAPD , dan sudah
terklasifikasi mulai dari yang sederhana hingga yang lebih rumit. Sesuai dengan yang tertera
dalam rekomendasi panduan AAPD, teknik komunikasi dengan pasien anak tidak
memerlukan konsen yang spesifik, sedangkan teknik lainnya memerlukan konsep yang legal
dari orangtua maupun wali anak sebelum memulai perawatan. (Ibraheem, M. 2021).

2. Prinsip Pengelolaan Perawatan Gigi pada Anak


Beberapa definisi telah dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain Wright yang
mengatakan bahwa manajemen perilaku merupakan pelaksanaan perawatan secara efektif dan
efisien bagi seorang penderita sekaligus menanamkan sikap positif terhadap perawatan.
Dalam definisi ini tersirat kata-kata kunci yakni:
a. Manajemen perilaku, melibatkan seluruh dental health team
b. Efektif, memberikan perawatan yang berkualitas tinggi
c. Efisien, diperlukan untuk menghemat waktu
d. Pengembangan sikap positif dari penderita untuk mempertahankan kesehatan
mulutnya. (Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Dalam perawatan gigi, dokter gigi harus memahami konsep dan prinsip segitiga
perawatan gigi pada anak. Segitiga tersebut menggambarkan konsep hubungan antar pihak
dalam segitiga dimana setiap pihak berhubungan serat, saling mempengaruhi satu sama lain
dan saling kebergantungan. Dapat dilihat bahwa anak menempati posisi di puncak segitiga,
sedangkan orangtua dan dokter gigi menepati sudut segitiga di bawah anaknya dengan posisi
sejajar. Garis yang menghubungkan satu sama lain menunjukkan komunikasi yang selalu
berjalan dua arah antara masing-masing pihak dan selalu berlaku hubungan timbal balik. Pada
posisi puncak, anak merupakan fokus utama dari dokter gigi yang dibantu oleh orangtuanya
atau bahkan keluarga. (Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Perawatan gigi pada pasien anak dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien dan
orangtuanya sebagai komponen yang membantu. Dokter gigi akan bertindak mengarahkan
orangtua pada perawatan yang diindikasikan kepada anaknya. Saat anak menginjak usia bayi
sampai dengan tahap sebelum dewasa yaitu 18 tahun, maka diperlukan kerjasama dan
komunikasi dari dokter gigi dengan anak dan orangtua dalam perawatan gigi anak. (Wright,
G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

3
(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

Gambar 1. Ilustrasi tiga komponen yang ada pada segitiga perawatan gigi pada anak.
Komponen Anak menempati posisi di puncak segitiga, sedangkan orangtua dan dokter gigi
menepati sudut segitiga di bawah anaknya dengan posisi sejajar. Garis yang menghubungkan
satu sama lain menunjukkan komunikasi yang selalu berjalan dua arah antar komponen.

Parameter yang menjadi tolak ukur bahwa suatu perawatan gigi dan mulut pada anak telah
berhasil dilakukan antara lain:
- Anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan
- Perawatan yang diberikan efektif dan tepat
- Anak memahami cara merawat gigi dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan
pada gigi
- Anak tidak merasa takut pada perawatan gigi
- Menjadi pasien yang kooperatif dan dapat diajak bekerjasama
- Secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat, jaringan lunak
sehat. (Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

3. Macam-macam Perasaan Anak


3.1 Takut dan Cemas
3.1.1 Dental Fear
Menurut Dorland Medical Dictionary, rasa takut merupakan keadaan emosional
yang tidak menyenangkan yang terdiri dari respons psikologis dan psikofisiologis
terhadap ancaman atau bahaya eksternal yang nyata termasuk agitasi, kewaspadaan,

4
ketegangan, dan mobilisasi reaksi waspada. Rasa takut juga merupakan reaksi anak
terhadap kondisi yang telah diketahui, bisa terjadi karena takut akan rasa sakit atau
antisipasinya, takut akan kehilangan kendali, takut akan hal yang akan muncul tanpa
diketahui, takut terusik, dan takut akan pengkhianatan. Lima faktor tersebut merupakan
faktor-faktor yang penting sebagai etiologi dental fear (Marwah, 2014).
Pramila M dan Murthy AK (2010) melaporkan 23,4 persen prevalensi ketakutan
gigi yang tinggi di antara anak-anak sekolah berusia 12 hingga 15 tahun. Rasa takut
yang dirasakan anak juga dapat didapat dari pengalaman orang lain tanpa anak tersebut
merasakannya sendiri, hal ini disebut Subjective Fear. Anak kecil yang belum
berpengalaman, mendengar situasi yang tidak menyenangkan atau menimbulkan rasa
sakit yang dialami oleh orang lain, akan dapat menimbulkan rasa takut terhadap
pengalaman itu. Etiologi dari dental fear juga bisa didapat selain dari faktor dental,
yaitu aspek sosial dan parental (Marwah, 2014).

3.1.2 Dental Anxiety


Dental anxiety merupakan kecemasan akan kondisi yang tidak diketahui.
Meskipun anxiety berkembang dari rasa takut dan khawatir, anxiety dibedakan dari
mereka dalam beberapa hal. Tidak seperti rasa takut, anxiety tidak datang dari situasi
yang ada, tetapi dari yang diantisipasi. Seperti kekhawatiran, anxiety disebabkan oleh
imajiner dan bukan penyebab nyata. Anxiety dapat berupa ketakutan bahwa sesuatu
yang mengerikan akan terjadi sehubungan dengan perawatan gigi dan ditambah dengan
rasa kehilangan kendali (Marwah, 2014).

3.1.3 Dental Phobia


Phobia lebih mungkin berkembang pada anak- anak dengan respons rasa takut
yang bertahan dalam jangka panjang. Dental Phobia merupakan bentuk yang buruk dan
khusus dari dental fear dan ketakutan akan objek atau situasi yang dapat dilihat dengan
jelas. Menurut kriteria DSM-V, Dental Phobia ditandai dengan ketakutan yang nyata
dan terus-menerus terhadap hal-hal yang dapat dilihat dengan jelas, situasi atau objek
yang tidak proporsional dengan situasi gigi, tidak adaptif dan tidak sesuai dengan usia
atau tahap, tidak dapat dijelaskan atau beralasan, berada di luar kendali , dan mengarah
untuk menghindari - perawatan gigi yang diperlukan atau perawatan yang bertahan
lama hanya dengan: ketakutan. Meskipun salah satu kriteria utama mengenai dental
phobia adalah menghindari perawatan gigi, banyak anak tidak diperbolehkan untuk

5
menghindari

6
bahkan jika mereka ingin. Anak-anak yang mengalami dental phobia mengalami
kesulitan yang signifikan dan menunjukkan kepatuhan yang buruk terhadap prosedur
gigi (Aminabadi et al, 2017).

3.1.4 Tipe Rasa Takut


Ketakutan adalah emosi utama terhadap bahaya, yang diperoleh semenjak lahir.
a. Objective
Ketakutan objective dihasilkan oleh stimulasi langsung yang dirasakan oleh
Anak. Mereka adalah respon terhadap rangsangan yang dirasakan, dilihat,
didengar, dicium atau dicicipi dan tidak disukai atau diterima (Rao, A. 2012).
b. Subjective
Sebagian besar anak-anak belum pernah mengunjungi klinik dokter gigi
sebelumnya, tetapi takut dengan prosedur perawatan gigi. Ini didasarkan pada
perasaan dan sikap yang dimiliki telah disarankan kepada anak oleh orang lain
tentang perawatan gigi tanpa anak memiliki pengalaman secara pribadi. Ada 2
jenis ketakutan subjective:
1. Ketakutan sugestif
Hal ini mungkin diperoleh dengan mengamati atau meniru ketakutan dan
kemudian anak mengembangkan rasa takut terhadap objek yang sama
seperti nyata dan asli. Kecemasan anak berkorelasi erat dengan kecemasan
orang tua. Anak-anak sering mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan
orang tua mereka. Jika orang tua sedih anak akan merasa sedih dan jika
orang tua menunjukkan rasa takut anak akan merasakan takut (Rao, A.
2012).
2. Ketakutan imajinatif
Seorang ibu yang takut pergi ke dokter gigi dapat ditiru secara tidak sadar
oleh anaknya yang mengamatinya. Ketakutan semacam itu mungkin
ditunjukkan oleh orang tua dan ditiru anak tanpa menyadarinya (Rao, A.
2012).

3.1.5 Perubahan Rasa Takut pada Masa Anak-anak


Rasa takut pada anak merupakan suatu proses belajar dan berkembang. Ekspresi
dan intensitas ketakutan anak bervariasi berdasarkan emosi, rasa sakit, dan usia (Dean,
2016).

7
a. Emosi
Emosi dapat menentukan apakah anak tersebut takut atau tidak terhadap perawatan
gigi. Emosi dibagi dua, yaitu positif dan negatif. Emosi yang negatif adalah rasa
malu, menangis, bersembunyi, takut dan marah yang ditemukan sekitar 10% dari
populasi anak. Rasa malu sering dikarakteristikan terhadap situasi yang baru.
Perasaan ini terlihat jelas ketika anak bertemu dan berkenalan dengan orang asing.
Beberapa pasien anak yang menjalani prosedur perawatan gigi menunjukkan
perasaan malu dan diam ketika bertemu dengan dokter gigi pada kunjungan pertama
serta bersikap pasif selama menjalankan prosedur perawatan. Sedangkan emosi anak
yang positif ditunjukkan dengan sikap yang kooperatif dan dapat diajak bekerjasama
dalam perawatan gigi (Dean, 2016).
b. Rasa sakit
Rasa sakit dapat memberi toleransi yang rendah terhadap perawatan gigi dan mulut.
Adanya rasa sakit akan meningkatkan persepsi rasa takut. Tindakan sederhana akan
menjadi sulit apabila pasien tidak kooperatif. Pada saat melakukan perawatan pada
anak-anak hal yang paling sulit dilakukan adalah pendekatan dan manajemen pada
pasien, bukan pada prosedur perawatan itu sendiri. Cara yang paling penting adalah
dokter gigi dapat mengurangi atau menghilangkan rasa tidak nyaman selama
perawatan (Dean, 2016).
c. Usia
Hubungan antara rasa takut dengan faktor usia dapat dilihat dari perkembangan
psikologi anak terhadap kemampuannya menerima perawatan gigi yang dilakukan.
Kemampuan dalam berkomunikasi lisan yang baik dapat diperoleh pada anak yang
berusia di atas empat tahun. Pada usia ini anak dapat menjawab dengan baik semua
instruksi yang diberikan. Anak yang memasuki usia enam tahun, memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi rasa takutnya dan dapat memastikan adanya bahaya
dari situasi yang mengancam dirinya (Dean, 2016).

3.1.6 Rasa Takut dan Usia Anak


a. 0-1 tahun
Pada tahap ini merupakan awal dari adaptasi dengan pengasuh dan lingkungan. Jika
terdapat masalah dalam hal ini dapat menyebabkan masalah dalam adaptasi dan
interaksi. Perkembangan kognitif dimulai dengan perubahan sensorimotor (Rao, A.
2012).

8
b. 1-3 tahun
Keterampilan motorik berkembang selama tahap ini. Komunikasi dan bahasa
meningkat. Anak-anak tidak terlalu takut dengan orang asing oleh karena itu
merupakan waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak pada dokter gigi. Pada
tahap ini juga merupakan waktu yang tepat untuk memulai prosedur pencegahan
(Rao, A. 2012).
c. 3-6 tahun
Ketakutan akan perpisahan dan pengabaian berlaku pada tahap ini. Mereka merasa
bahwa kedokteran gigi adalah bentuk hukuman. Anak-anak dari kelompok usia ini
diuntungkan dengan kehadiran orang tua selama perawatan gigi, terutama mereka
yang berusia kurang dari 4 tahun. Anak-anak di atas 4 tahun mulai beradaptasi dan
tidak menunjukkan perbedaan perilaku apakah orang tua hadir atau tidak selama
perawatan. Anak yang cerdas akan menunjukkan lebih banyak rasa takut karena
kesadaran mereka yang lebih besar akan bahaya (Rao, A. 2012).
d. 6-12 tahun
Anak-anak dari kelompok usia ini sangat sosial. Mereka berorientasi pada teman
sebaya dan memiliki kelompok sendiri di sekolah. Prestasi di sekolah mempengaruhi
harga dirinya. Anak dengan prestasi yang rendah akan menunjukkan masalah
perilaku di klinik gigi. Pada tahap ini anak-anak belajar lebih cepat dan mereka
mencoba untuk mengatasi ketakutan yang sebenarnya. Dukungan keluarga sangat
penting dalam memahami dan mengatasi ketakutannya (Rao, A. 2012).
e. >12 tahun
Masa remaja ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, dan sosial yang
tidak merata. Mereka belajar untuk menoleransi situasi yang tidak menyenangkan
dan menunjukkan keinginan untuk patuh. Mereka mengembangkan kontrol
emosional yang cukup besar dan menjadi khawatir terhadap penampilan (Rao, A.
2012).

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak


3.2.1 Faktor Anak
Selama kunjungan ke dokter gigi pertama anak, dokter gigi perlu menilai
perilaku di lingkungan klinik gigi, karena perilaku anak sangat berpengaruh dalam
menentukan teknik perawatan. Beberapa anak kuat dan toleran dalam situasi stress dan
mungkin tidak menunjukkan perilaku tidak kooperatif. Sedangkan anak lain rentan dan

9
mungkin membutuhkan lebih banyak perhatian dan waktu untuk merasa nyaman dan

10
bekerja sama saat perawatan gigi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
anak pada diri mereka sendiri, yaitu pertumbuhan dan perkembangan anak, IQ
(Intelligence quotient), riwayat dental/medis, kecemasan ibu, kondisi sosial anak, posisi
anak dalam keluarga, dan kebutuhan perawatan. (Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Pengalaman kunjungan medis sebelumnya juga berpengaruh pada perilaku anak.
Jika tidak menyenangkan, hal ini dapat mempengaruhi sikap anak terhadap kunjungan
ke dokter gigi di masa mendatang. Rasa sakit dari prosedur sebelumnya sering
dilaporkan oleh orang tua meskipun mungkin kurang akurat, aspek riwayat medis ini
adalah sebab utama kemungkinan sumber perilaku buruk. Kesadaran seorang anak pada
masalah di gigi mereka juga mempengaruhi perilaku anak berupa kemungkinan besar
kecemasan akan meningkat.(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Setelah ada pemahaman tentang faktor-faktor mendasar yang dapat
mempengaruhi perilaku anak, rencana perawatan dapat dikembangkan. Beberapa
pasien anak mungkin memerlukan waktu ekstra untuk mempersiapkan diri untuk
menghadapi perawatan yang akan dilakukan, terutama anak yang memiliki ketakutan
dan kecemasan kronis. Pasien dengan perilaku agresif mungkin memerlukan penjelasan
perawatan yang jelas dan pendekatan yang sangat terstruktur selama kunjungan gigi
mereka. Memahami kebutuhan anak dalam perencanaan perawatan harus meningkatkan
kemungkinan hasil yang sukses.(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

3.2.2 Faktor Orangtua


Keluarga, terutama orang tua, sangat penting untuk pengasuhan dan
perkembangan anak. Rasa harga diri seorang anak berkembang dari perhatian, dicintai,
dan dihargai oleh keluarga. Selain memenuhi kebutuhan fisik dasar, orang tua dan
keluarga memberikan dukungan emosional, sosialisasi, metode koping, dan
kemampuan lain kepada anak. Sudut pandang atau filosofi anak tercermin oleh pola
asuh orang tua. Hal ini menciptakan iklim emosional dan konteks dimana perilaku
sosialisasi orang tua terjadi.(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif membentuk lingkungan rumah
yang demokratis, fleksibel, dan mendukung anak, dengan pedoman yang bertujuan
untuk memungkinkan anak mengurus diri sendiri dan menjadi mandiri. Orang tua
dengan gaya asuh otoritatif mungkin terlihat hangat dan terlibat, namun tetap tegas dan
konsisten dalam menetapkan batasan. Aturan tidak hanya ditetapkan, tetapi didukung
melalui alasan yang sesuai dengan usia anak.(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

11
Orang tua otoriter bersifat mengambil alih, terasa lebih kaku, dan menggunakan
hukuman untuk menegakkan struktur tingkat tinggi, mengharapkan kepatuhan dari
anak. Orang tua membentuk dan mengontrol anak-anak mereka sesuai dengan
seperangkat standar dan aturan. Aturan tidak untuk didiskusikan atau dicapai dengan
argumen dan interaksi antara orang tua dan anak(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif cenderung menuruti keinginan dan
agenda anak, menempatkan anak pada posisi berkuasa dengan pendekatan yang
menenangkan, tidak mengarahkan, dan lunak tanpa aturan atau pedoman yang jelas.
Mereka dianggap lebih responsif daripada menuntut. Gaya pengasuhan permisif
memiliki lebih banyak efek negatif daripada positif pada hasil sosial dan dikaitkan
dengan keagresifan anak, sikap impulsif kurang kemandirian dan rasa tanggung jawab.
(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).
Orang tua yang lalai (neglectful), kurang terlibat dalam kehidupan anak mereka
daripada orang tua dalam salah satu dari tiga kategori lainnya. Sikap pasif,
tersingkirkan secara emosional, lemah, atau neglectful yang ditunjukkan oleh orang tua
yang lalai meninggalkan anak untuk hidup tanpa struktur, bantuan, aturan, atau
pedoman. Orang tua yang neglectful cenderung bersikap dingin dan tidak tertarik pada
kebutuhan anak- anak dan remaja mereka, mencerminkan keinginan untuk menjaga
jarak. Mereka berusaha meminimalkan waktu dan interaksi dengan anak-anak mereka.
Orang tua tipe ini dicirikan sebagai tidak terlibat, artinya mereka memiliki tingkat
komitmen yang rendah terhadap peran mereka sebagai orang tua. Ada resiko seorang
anak atau remaja diabaikan oleh orang tua jenis ini. Baik orang tua yang Permisif
maupun Neglectful memiliki ekspektasi yang rendah terhadap pengendalian diri anak.
(Wright, G. Z., & Kupietzky, A. 2014).

3.2.3 Faktor Dokter Gigi


Pendekatan dokter gigi harus santai, percaya diri dan ramah terhadap anak.
Dokter gigi harus menguasai situasi dan mengubah apapun perilaku yang berpotensi
mengganggu perawatan gigi. Dokter Gigi tidak boleh kehilangan kesabaran karena ini
akan menciptakan rasa memiliki kontrol di benak anak dan dapat mengurangi kualitas
dari kunjungan gigi di masa yang akan datang. Saat mendekati pasien anak baru, selalu
panggil anak dengan nama panggilannya atau setidaknya nama depan. Semua
percakapan harus diarahkan padanya. Jangan bicara dengan suara keras atau berjabat
tangan dengan penuh semangat. Dekati anak dengan percaya diri dalam suara Anda.

12
Percakapan dokter

13
gigi harus diarahkan ke subjek yang menarik bagi anak dan jangan pernah meremehkan
kecerdasan anak.(Rao, A. 2012).
Penampilan dari tempat kerja dokter gigi/Dental office merupakan salah satu
faktor utama dalam mengurangi rasa takut pasien. Hal ini merupakan faktor penting
karena anak mungkin masuk ke klinik gigi dengan rasa takut, tujuan utama dokter gigi
adalah untuk membuat anak merasa nyaman. Untuk mencapai hal ini, ruang resepsi
harus dibuat sebagai senyaman dan sehangat mungkin.(Rao, A. 2012).
Keterampilan dan Kecepatan Dokter Gigi atau ketangkasan dari seorang dokter
gigi juga perlu diperhatikan, Seorang anak dapat menahan ketidaknyamanan jika dia
tahu perawatan akan segera berakhir. (Rao, A. 2012).
Memberi Pujian dan Hadiah merupakan salah satu hal terpenting yang dicari
oleh anak dalam kunjungan ke dokter gigi. Dalam memuji seorang anak, lebih baik
untuk memuji perilaku baik seorang anak daripada individu. Hadiah kecil seperti
seperti penghapus, bintang emas kecil, mainan, atau stiker hadiah merupakan sebuah
pengakuan dari dokter gigi yang yang dapat membuat anak senang.(Rao, A. 2012).
Penilaian pasien/Evaluasi potensi kooperatif juga memiliki peran penting dalam
proses perencanaan pengobatan. Awalnya, informasi dapat dikumpulkan dari orang tua
melalui pertanyaan tentang tingkat kognitif anak, karakteristik
temperamen/kepribadian, kecemasan dan ketakutan, reaksi terhadap orang asing, dan
perilaku pada kunjungan medis/gigi sebelumnya, serta bagaimana orang tua
mengantisipasi bahwa anak akan merespons kemungkinan tindakan perawatan gigi di
masa depan perlakuan. Nantinya, dokter gigi dapat mengevaluasi potensi kooperatif
dengan observasi dan interaksi dengan pasien. (American Academy of Pediatric
Dentistry. 2021).

3.2.4 Behaviour Management


Menurut American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) Behaviour Management
didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang membutuhkan keterampilan dalam
komunikasi, empati, pembinaan, dan mendengarkan. Tujuan dari Behaviour
Management adalah untuk membangun komunikasi, mengurangi rasa takut dan
kecemasan, memberikan kualitas perawatan gigi yang baik, membangun hubungan
saling percaya antara dokter gigi dan anak, dan mempromosikan sikap positif anak
terhadap kesehatan gigi dan mulut dan kesehatan gigi dan mulut.

14
4. Behaviour Management
Behavior management didefinisikan sebagai sarana dimana tim kesehatan gigi secara
efektif dan efisien melakukan perawatan gigi dengan menanamkan perilaku perawatan gigi
yang positif (Wright 1975). Behavior management didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah
dengan implementasi yang tepat dibutuhkan untuk memahami tentang prinsip-prinsip ini.
Selain itu, hal tersebut juga membutuhkan ketenangan dalam komunikasi, empati,
pemberian pemahaman dan proses saling mendengarkan. Pembentukan perilaku ini
merupakan bentuk seni klinis dan masih dibangun di atas dasar ilmu pengetahuan
(Badrinatheswar, G.V., 2010). Adapun tujuan dari behavior management yaitu, untuk
menjalin komunikasi, mengurangi rasa takut dan kecemasan pada anak, memberikan
perawatan gigi yang berkualitas, membangun hubungan saling percaya antara dokter gigi,
orang tua dan anak serta membantu meningkatkan sikap positif anak terhadap kesehatan
gigi dan mulut (Rao Arathi, et al., 2012).
Prinsip - prinsip teknik behavior management adalah sebagai berikut:
a. Anticipation: menjelaskan kepada anak tentang prosedur dan menjawab pertanyaan
tentang kedokteran gigi dan prosedur perawatannya. Hal ini dapat dilakukan melalui
pendekatan tell-show-do, komunikasi yang baik, dll.
b. Diversion: mengalihkan perhatian anak dari situasi yang menimbulkan rasa takut
dapat menenangkan anak dan memungkinkan dokter gigi untuk melakukan perawatan
tanpa gangguan.
c. Substitution: prinsip ini melibatkan penggantian perilaku yang tidak diinginkan
dengan perilaku yang diterima, dapat dilakukan dengan manajemen kontingensi,
pemodelan, dll.
d. Restriction: membatasi seorang anak dari menunjukkan perilaku yang tidak
diinginkan, dapat dicapai melalui pengekangan fisik atau teknik manajemen perilaku
farmakologis. (Rao Arathi, et al., 2012).
Berbagai teknik dapat digunakan untuk mengelola perilaku anak di lingkungan
klinik gigi. Pembentukan komunikasi yang dikombinasikan dengan sikap peduli adalah hal
utama untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan pasien mana pun. Akibatnya,
sebagian besar anak-anak memerlukan upaya manajemen minimal selain memberikan
informasi tentang apa yang akan terjadi (misalnya, tell-show-do). Praktisi harus tanggap
dan fleksibel dengan penggunaan teknik manajemen mereka dan mengoptimalkan
kemungkinan pertemuan yang sukses dengan mencocokkan pilihan teknik mereka dengan
gaya interaksi pasien (Pinkham, et al., 2005).

15
4.1 Frankl’s Behavior Rating Scale (1962)
Pencatatan perilaku kebiasaan anak dapat membantu dalam proses janji temu yang
akan datang. Penilaian perilaku anak yang sering digunakan adalah Frankl Scale. Skala
ini terbagi menjadi 4 kategori dari definitely negative hingga definitely positive
(American Academy of Pediatric Dentistry, 2021).
a. Rating 1 : Definitely Negative (Badrinatheswar, G. V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012)
- Menolak perawatan
- Menangis keras
- Penuh ketakutan
- Perilaku menentang
- Immature dan tidak terkendali
b. Rating 2 : Negative (Badrinatheswar, G. V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012)
- Keengganan untuk menerima perawatan
- Tidak kooperatif
- Menunjukkan sikap negatif tetapi tidak berlebihan
- Immature, malu-malu, dan merengek
c. Rating 3 : Positive (Badrinatheswar, G. V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012)
- Menerima perawatan
- Menunjukkan kepercayaan kepada dokter gigi
- Bersedia mematuhi dokter gigi
- Kooperatif terhadap arahan dokter gigi
- Terkadang butuh peringatan
- Malu-malu dan merengek
d. Rating 4 : Definitely Positive (Badrinatheswar, G. V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012)
- Menunjukkan kepercayaan kepada dokter gigi
- Tertarik dengan perawatan gigi
- Menjalani perawatan dengan tertawa dan menikmati perawatan
- Pasien ideal dan dapat menjadi contoh untuk pasien lain agar dapat mengubah
perilaku

4.2 Wright’s Clinical Classification (1975)


Klasifikasi Wright membagi perilaku anak menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Kooperatif (Rao Arathi, et al., 2012) :
- Santai.

16
- Ketakutan minimal.
- Dapat dilakukan perawatan dengan pendekatan straight forward behavior shaping.
- Hubungan baik dengan dokter gigi dan tertarik dengan prosedur perawatan.
- Dapat menikmati dan tertawa dalam proses perawatan.
- Dokter gigi dapat bekerja dengan efektif dan efisien.
b. Kurang kooperatif (Rao Arathi, et al., 2012) :
- Berbeda dengan anak kooperatif.
- Terjadi pada anak usia kecil atau anak berkebutuhan khusus.
- Dapat menunjukkan major behavioral problem.
c. Berpotensi kooperatif (Rao Arathi, et al., 2012)
:
- Berbeda dengan anak yang kurang kooperatif karena dapat bekerja sama dan sehat
secara fisik dan medis.
- Perilaku dapat dimodifikasi.
- Kelompok anak yang berpotensi kooperatif adalah sebagai berikut :
1. Perilaku tidak terkendali
Perilaku yang disebut juga sebagai incorrigible terjadi pada anak usia 3-6
tahun. Anak mulai tantrum dari area resepsionis atau sebelumnya. Anak mulai
menangis kencang disertai pukulan yang menunjukkan gejala akut dari
ketakutan dan kecemasan. Anak pada usia sekolah mencontoh perilaku orang
dewasa dan apabila kondisi ini terjadi pada anak yang usia lebih tua maka ada
penyebab tertentu.
2. Perilaku menentang
Perilaku ini ditemukan pada segala usia utamanya pada usia sekolah dasar
dapat disebut juga sebagai keras kepala atau manja. Anak biasanya
mengatakan “saya tidak mau”, “saya tidak perlu”, atau “saya tidak akan”.
Perilaku menunjukkan protes saat dibawa ke dokter gigi. Anak dapat bersifat
kooperatif setelah dibujuk.
3. Perilaku malu-malu
Perilaku yang terjadi pada anak dengan lingkungan rumah terlalu protektif
atau jarang kontak dengan orang asing. Perilaku negatif anak lebih ringan
tetapi kecemasan berlebihan. Apabila perilaku tidak dikelola dengan baik
maka akan memburuk dan tidak terkendali. Anak berlindung di belakang
orang tua. Anak tidak memberikan perlawanan fisik. Anak akan meringis

17
tetapi tidak menangis histeris. Butuh untuk mendapat kepercayaan diri anak.

18
4. Perilaku tense cooperative
Perilaku masih dalam batasan. Anak menerima perawatan tetapi sangat
tegang dalam proses perawatan. Anak dapat bergetar dan terdengar ketika
berbicara dan anak dapat berkeringat.
5. Perilaku merengek
Perilaku anak ini terkadang dapat membuat dental team frustasi dan kesal
sehingga dibutuhkan kesabaran dalam menghadapi perilaku anak. Anak tidak
mencegah perawatan tetapi merengek selama perawatan. Tangisan anak
terkontrol, konstan, tidak kencang, dan jarang mengeluarkan air mata.

4.3 Non-pharmacological
Berbagai macam metode non-farmakologis untuk mengurangi atau mengalihkan rasa
sakit saat perawatan kedokteran gigi semakin bervariasi, salah satunya yaitu penggunaan
teknik hipnosis. Metode pengendalian nyeri non-farmakologis menawarkan beberapa
keuntungan yaitu mencegahnya terjadinya toksisitas sistemik, anestesi jaringan lunak
mempercepat penyembuhan pasca prosedur perawatan, serta dapat mengurangi
kemungkinan trauma yang ditimbulkan oleh diri sendiri. Hipnosis juga dapat digunakan
sebagai tambahan untuk anestesi lokal pada anak-anak dengan mengontrol atau
menurunkan denyut nadi dan kejadian menangis melalui komunikasi dan pembentukan
perilaku pada anak (Welbury Richard, et al., 2005).
a. Pre appointment behaviour modification communication Tell-Show-Do (TSD)
Pre appointment behavior modification atau modifikasi perilaku pre
appointment merupakan teknik yang dilakukan untuk memodifikasi perilaku anak
dengan menggunakan prinsip-prinsip teori belajar, yang bertujuan untuk
mempersiapkan anak sebelum melakukan kunjungan ke dokter gigi. Ada berbagai
metode yang dapat digunakan untuk modifikasi perilaku pre appointment pada anak,
yaitu melalui alat bantu audiovisual, surat, film maupun kaset video. Pada proses ini,
anak-anak dijelaskan mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut.
Selain itu, anak- anak juga dapat diperlihatkan contoh video kunjungan ke dokter
gigi yang menyertakan pasien anak-anak lain yang sedang melakukan perawatan
gigi sehingga anak tersebut akan memahami dan merasakan hal yang sama serta
dapat mencontoh perilaku kooperatif yang ditunjukkan oleh model dalam video.
Modifikasi perilaku pre appointment juga dapat dilakukan secara langsung yaitu
dengan menggunakan pasien hidup sebagai model misalnya seperti pada saudara

19
kandung, anak-anak lain

20
atau orang tua. Surat undangan juga dapat dikirim dan ditujukan kepada orang tua
anak untuk memberikan informasi singkat mengenai prosedur perawatan, sebagai
pengingat serta menjalin hubungan baik dengan keluarga pasien. Selain itu, orang
tua juga dapat diberikan saran dalam mempersiapkan anak untuk melakukan
kunjungan ke dokter gigi pertama mereka sehingga dapat memberikan pengalaman
kesan pertama yang baik pada anak dan membantu meningkatkan keberhasilan
dalam proses perawatan (Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 1. Modifikasi perilaku pre appointment yang dapat dilakukan oleh


orang tua kepada anak sebelum melakukan prosedur perawatan ke dokter gigi
(google.com).

Komunikasi merupakan prinsip dasar untuk membangun hubungan dan


kepercayaan dengan anak serta menentukan keberhasilan selama proses perawatan
berlangsung, juga dapat membantu anak dalam mengembangkan sikap positif
terhadap perilaku menjaga kesehatan gigi (Badrinatheswar, G. V., 2010).
Komunikasi dan penggunaan perintah yang tepat dapat diterapkan secara universal
dalam kedokteran gigi anak, baik pada anak yang kooperatif maupun tidak
kooperatif. Pada pertemuan awal atau pre appointment kunjungan gigi, dokter gigi
akan mengajukan pertanyaan dan aktif atau reflektif mendengarkan sehingga dapat
membantu membangun hubungan dan kepercayaan pada anak (American Academy
of Pediatric Dentistry., 2021). Dalam manajemen komunikasi ini, seorang dokter
gigi harus menunjukkan kemampuannya dalam berkomunikasi dan bernegosiasi
yang baik dengan pasien anak, harus bisa menarik perhatian, kepercayaan dan
menangani rasa takut serta cemas pada anak saat proses perawatan berlangsung,
karena pada seusia anak ini mereka memiliki ketakutan dan keingintahuan yang
besar sehingga sangat penting memberikan penjelasan dengan teknik prosedur baru
atau berbeda dari biasanya sehingga dapat mudah dipahami. Salah satu bentuk cara
komunikasi yang dapat dilakukan pada anak yaitu menggunakan teknik tell-show-

21
do. Dalam

22
komunikasi juga sangat penting untuk memperhatikan dialog, nada suara, ekspresi
wajah, dan bahasa tubuh karena akan berpengaruh terhadap pemahaman dan
penyampaian pesan. Selain itu, usia anak juga dapat menentukan tingkat dan jumlah
informasi yang dapat dimasukkan dalam komunikasi sehingga dokter gigi harus
memiliki pemahaman dasar tentang perkembangan kognitif anak. Komunikasi juga
dapat terganggu ketika ekspresi dan bahasa tubuh dokter gigi tidak sesuai dengan
pesan yang dimaksudkan sehingga penting bagi dokter gigi untuk tidak
menunjukkan tanda-tanda ketidakpastian, kecemasan, atau urgensi saat
berkomunikasi dengan anak. Penguatan dan bimbingan perilaku melalui kontak yang
tepat, postur, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh dapat membantu meningkatkan
efektivitas teknik manajemen komunikatif lainnya serta mendapatkan atau
mempertahankan perhatian dan kepatuhan pasien terhadap dokter yang merawatnya
(Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 2. Komunikasi antara dokter dengan pasien untuk membangun sikap


percaya dan positif pada anak terhadap prosedur perawatan gigi
(laxerlongandsavage.com).

Teknik tell-show-do pertama kali diperkenalkan oleh Addleston pada tahun


1959. Teknik ini merupakan teknik pembentukan perilaku seseorang yang sering
digunakan oleh banyak professional pediatrik, utamanya di bidang kedokteran gigi
anak. Tell atau katakan, teknik ini melibatkan penjelasan verbal tentang prosedur
dalam bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman pasien
anak. Show atau tunjukkan, merupakan tindakan demonstrasi untuk pasien dari
aspek visual, auditori, penciuman, dan sentuhan dari prosedur perawatan yang
dilakukan dengan hati-hati dan tidak mengancam atau menimbulkan rasa takut serta
khawatir. Kemudian do atau lakukan, yaitu proses pelaksanaan prosedur yang sesuai
dengan penjelasan dan demonstrasi yang dilakukan di awal. Teknik tell-show-do ini

23
dapat berhasil dan diterapkan dengan dukungan keterampilan komunikasi baik
verbal dan nonverbal

24
serta penguatan positif (Badrinatheswar, G. V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012).
Contoh penerapan teknik ini yaitu misalnya saat proses pengambilan gambar
radiografi, dokter memberikan penjelasan pada anak mengenai mesin sinar-X yang
diperkenalkan sebagai kamera yang akan mengambil foto gigi. Kemudian anak harus
diyakinkan bahwa itu tidak akan menyakitinya dan hanya mendekati pipi agar foto
gigi dapat terlihat jelas. Teknik ini harus dipraktikkan setiap kali instrumen baru atau
objek prosedur baru diperkenalkan kepada anak. Teknik demonstrasi lain seperti
menggunakan stimulasi taktil atau penciuman (Tell-touch-Do atau Tell-Smell-Do)
akan sangat bermanfaat bagi anak dengan tunanetra atau kebutuhan khusus lainnya
(Rao Arathi, et al., 2012). Selain itu, tujuan dari penerapan teknik ini yaitu untuk
mengajarkan pasien anak mengenai aspek penting dari kunjungan gigi dan
membiasakan pasien untuk lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan gigi dan
mulutnya, serta untuk membentuk respon pasien terhadap prosedur perawatan
melalui desensitisasi dan harapan yang dijelaskan dengan baik. Indikasi penggunaan
teknik ini dapat diterapkan pada semua pasien dan tidak ada efek kontraindikasi
yang berbahaya (Badrinatheswar, G.V., 2010; American Academy of Pediatric
Dentistry., 2021).

Gambar 3. Teknik tell-show-do: (A) Handpiece dijelaskan kepada anak; (B)


Anak diperlihatkan cara kerjanya dan bahwa akan ada air yang dapat digunakan
untuk membersihkan; (C) Kemudian handpiece dimasukkan secara intraoral untuk
dilakukan restorasi (Rao Arathi, et al., 2012).

25
b. Behavior shaping
Behavior shaping atau yang sering disebut Stimulus-Response Theory,
merupakan cara mengembangkan dan mengubah perilaku anak secara perlahan
dengan penguatan pendekatan yang berurutan dari perilaku yang diinginkan.
Behavior shaping pada anak dilakukan secara berulang sampai anak menunjukkan
perilaku yang diinginkan dapat terwujud (Badrinatheswar, G.V., 2010; Rao Arathi,
et al., 2012). Behavior shaping didasarkan pada Stimulus-Response Theory dan
prinsip- prinsip pembelajaran sosial. Perilaku anak dibentuk dengan bimbingan
langkah demi langkah satu persatu sampai perilaku anak yang diinginkan dapat
terwujud. Anak akan dijelaskan mengenai prosedur menggunakan eufemisme
(penghalusan kata yang dianggap tabu oleh masyarakat) dan bahasa yang sesuai
dengan usia mereka (Badrinatheswar, G.V., 2010). Salah satu teknik yang dapat
dilakukan dan telah banyak digunakan oleh dokter gigi anak yaitu Tell-Show-Do,
teknik ini dapat digunakan sebagai kunci utama keberhasilan serta harus digunakan
untuk semua prosedur dan semua kelompok usia. Teknik ini meliputi penjelasan
secara verbal prosedur dalam bahasa yang mudah dipahami sesuai usia anak,
mendemonstrasikan pada anak secara visual, pendengaran, penciuman, dan sentuhan
dengan hati-hati dan tidak mengancam serta memulai melakukan perawatan gigi
sesuai dengan penjelasan yang telah diberikan hingga seluruh prosedur selesai
dikerjakan (Badrinatheswar, G.V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012). Anak perlu
diperhatikan agar anak mempelajari perilaku baru yang diinginkan dan tidak kembali
pada perilaku lama. Selain itu, beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
behavior shaping meliputi teknik Tell- Show-Do, desensitization, modelling, dan
contingency management (Badrinatheswar, G.V., 2010).

Gambar 4. Behavior shaping menggunakan exposure technique dengan


memperkenalkan pemoles low speed untuk profilaksis. (a) Setelah memberi tahu
anak apa yang akan terjadi (menggosok gigi), pemoles kecepatan rendah
ditunjukkan kepadanya, (b) Anak merasakan getaran dari pemoles kecepatan rendah,
(c) Pemoles
26
kecepatan rendah didekatkan dengannya, dirasakan dengan memoles kuku jari, (d)
dirasakan dengan memoles ujung hidung, (e) memoles gigi saat anak masih
memegang pemoles untuk mengontrol indra, (f) keadaan anak merasa aman dan
mampu mengendalikan situasi ditunjukkan dengan meletakkan tangannya di
perutnya (Koch, G., et al., 2009).
Latihan berulang diperlukan sebelum memulai teknik lain pada anak yang telah
diberikan pembelajaran sebelumnya dan memiliki orientasi/persepsi yang salah
terhadap perawatan gigi melalui kunjungan dokter gigi sebelumnya atau orang tua.
Anak tersebut akan memiliki ketakutan atau kekhawatiran sehingga latihan berulang
dapat membantu anak dalam mempelajari dan memahami konsep baru serta
memiliki pemikiran bahwa dia tidak akan terluka. Latihan berulang dapat dibantu
dengan penggunaan sedasi nitrous oxide oxygen yang juga efektif dalam
menghilangkan generalisasi stimulus. Secara garis besar behavior management
meliputi penjelasan umum mengenai tugas anak yang harus dilakukan diberikan di
awal, penjelasan perlunya prosedur, penjelasan juga diberikan untuk seluruh
prosedur dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak, serta
perkuat perilaku yang telah sesuai dengan yang diinginkan (Badrinatheswar, G.V.,
2010).

c. Modeling desensitization
Modelling merupakan prinsip pembelajaran sosial yang melibatkan,
memungkinkan pasien untuk mengamati satu atau lebih individu (model) yang
menunjukkan perilaku yang sesuai dalam situasi tertentu selama prosedur perawatan,
agar pasien nantinya akan sering meniru perilaku model ketika ditempatkan dalam
situasi yang sama. Teknik ini dianggap oleh sebagian orang sebagai salah satu teknik
modifikasi perilaku pre appointment. Pemodelan adalah teknik yang menghasilkan
manfaat yang signifikan dengan sedikit usaha daripada menunggu di ruang penerima
tamu, di mana mereka mungkin dipengaruhi secara negatif oleh kecemasan ibu
terkait dengan situasi gigi atau perilaku pasien anak-anak lainnya. Misalkan
menggunakan saudara kandung sebagai model, pastikan saudara kandung yang
dipilih dapat menunjukkan sikap positif dan tidak cemas sehingga dapat membuat
anak atau pasien lain yang sedang melihat menyadari bahwa tidak ada yang perlu
ditakuti (Rao Arathi, et al., 2012).

27
Gambar 5. Penerapan teknik modelling dapat dilakukan dengan menggunakan
model saudara kandung dari pasien (Rao Arathi, et al., 2012; Srivastava, V.K.,
2011).

Desensitisasi diperkenalkan pertama kali oleh Wolpe pada tahun 1952.


Desensitisasi merupakan proses untuk memodifikasi efek fobia atau ketakutan juga
sering disebut penghambatan timbal balik. Teknik ini berupa prosedur pelatihan atau
langkah-langkah yang diambil untuk mengurangi kepekaan pasien terhadap situasi
atau objek tertentu yang dapat menimbulkan kecemasan. Kemudian setiap situasi
atau objek diperkenalkan secara progresif mulai dari yang paling tidak menimbulkan
rasa takut hingga rangsangan yang lebih mengancam. Teknik ini melibatkan tiga
tahap yaitu, melatih pasien untuk rileks, membangun hierarki rasa takut yang
menghasilkan rangsangan yang berhubungan dengan ketakutan utama pasien, serta
memperkenalkan setiap stimulus dalam hierarki secara bergiliran kepada pasien
yang rileks, dimulai dengan stimulus yang paling sedikit menimbulkan rasa takut
dan berlanjut ke stimulus berikutnya hanya jika pasien tidak lagi takut terhadap
stimulus tersebut (Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 6. Proses untuk memodifikasi rasa ketakutan pada anak dengan


memperkenalkan stimulus baru, dalam gambar desensitisasi terhadap ketakutan
jarum suntik tiga arah di alihkan dengan mengarahkan tekanan udara ringan pada

28
kulit tangan anak (Srivastava, V.K., 2011).

29
d. Distraction
Distraction adalah prosedur mengalihkan perhatian pasien terhadap tindakan
yang kurang menyenangkan menurut pasien, seperti tindakan penyuntikan,
pengeburan, dan tindakan lain yang membuat pasien merasa takut atau tidak
nyaman. Prosedur ini membantu pasien agar lebih nyaman dan lebih kooperatif pada
saat melakukan perawatan. Sebagai contoh, yaitu antara lain memutar musik pada
saat melakukan perawatan, memberi waktu istirahat sejenak, mengajak pasien untuk
berbicara santai, dan sebagainya. Tujuan dari prosedur ini adalah pasien merasa
nyaman dan operator dapat melanjutkan perawatan yang lebih lanjut kepada pasien
(Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 7. Prosedur pengalihan perhatian selama prosedur perawatan gigi


berlangsung (BMC Oral Health).

Berikut adalah beberapa metode dari prosedur distraction :


● Voice control, atau kontrol suara merupakan metode mengontrol volume, nada,
atau kecepatan suara operator untuk mempengaruhi dan mengarahkan perilaku
pasien (Rao Arathi, et al., 2012).
● Hypnodontics, merupakan istilah hipnotis di bidang kedokteran gigi, diartikan
sebagai keadaan pikiran tertentu yang diinduksi oleh orang lain ke dalam diri
seseorang atau bisa disebut sebagai memberikan sugesti dalam keadaan sadar.
Terdapat empat komponen utama dari hipnotis, yaitu :
1. Diskontinuitas pengalaman saat terbangun akan tetapi berbeda dengan tidur.
2. Tuntutan untuk mengikuti isyarat yang diberikan oleh penghipnotis selama
dan setelah perlakuan hipnotis.
3. Potensi mempengaruhi secara nyata di setiap distorsi persepsi, ingatan, atau
perasaan yang berdasarkan sugesti.
4. Kemampuan untuk mentolerir inkonsistensi yang biasanya mengganggu
(Rao Arathi, et al., 2012).

30
● Coping, merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengubah perilaku dan
persepsi pasien pada saat di tempat kerja, dimana pada setiap pasien memiliki
persepsi dan respon yang berbeda terhadap rasa nyeri. Mekanisme koping yang
berbeda adalah :
1. Pengalihan perhatian pasien dari suatu sugesti yang dianggap oleh pasien
sebagai ancaman. Hal ini dapat dicapai dengan cara memberikan
pembicaraan dan pertanyaan yang menarik bagi pasien.
2. Membiarkan pasien pasien mengungkapkan ketakutannya ke dokter gigi
untuk membuat pasien merasa aman.
3. Membiarkan orang tua pasien berada di ruang kerja agar pasien merasa
aman dengan adanya orang tua (Rao Arathi, et al., 2012).
● Relaxation, atau relaksasi terkadang melibatkan serangkaian latihan dasar yang
bisa saja memakan waktu yang cukup lama untuk dipelajari dan dibiasakan.
Relaksasi diwajibkan kepada pasien untuk berlatih di rumahnya kurang lebih
selama lima belas menit dalam sehari. Metode ini bekerja dengan mengurangi
ketegangan dan mengurangi potensi rasa nyeri yang pernah dialami oleh pasien
(Rao Arathi, et al., 2012).

e. Positive reinforcement operant conditioning


Dalam proses membangun perilaku pasien yang diinginkan, penting untuk
memberikan umpan balik yang tepat. Positive reinforcement atau penguatan positif
merupakan teknik yang efektif dilakukan untuk menghargai perilaku yang
diinginkan dan dengan demikian memperkuat pengulangan perilaku tersebut.
Penguatan sosial termasuk modulasi suara positif, ekspresi wajah, pujian verbal dan
demonstrasi fisik yang tepat dari kasih sayang oleh semua orang di sekitarnya
(Badrinatheswar, G.V., 2010). Teknik ini paling efektif dilakukan pada anak-anak
misalnya dengan memberikan hadiah kecil, memberikan pujian dengan ekspresi
wajah yang positif, melakukan kedekatan dan kontak fisik yang membangun
kepercayaan. Pasien yang cemas dapat diyakinkan dengan penguat ini, tetapi proses
ini harus dilakukan di setiap kunjungan gigi dengan cara yang tulus, sebagai respon
terhadap perilaku pasien yang sesuai dan juga untuk membentuk perilaku pasien
(Rao Arathi, et al., 2012).

31
Gambar 8. Positive reinforcement dapat dilakukan dengan memberikan pujian
serta menunjukkan ekspresi wajah yang positif (carsoncitypediatricdentistry.com).

f. Voice control
Voice control adalah perubahan terkontrol dari volume, nada, atau kecepatan
suara untuk mempengaruhi dan mengarahkan perilaku pasien. Ketika nada dan
ekspresi komunikasi normal gagal, kontrol suara dapat menjadi elemen mendasar
dalam memperoleh kepatuhan anak dan dapat terbukti menjadi metode yang efektif
untuk mengelola anak-anak yang berperilaku negatif. Dokter gigi harus
menunjukkan sikap percaya diri agar penggunaan kontrol suara ini dapat berhasil.
Kontrol suara dalam bentuk perintah tiba-tiba paling efektif bila digunakan bersama
dengan metode komunikasi lainnya. Terkadang penggunaan kontrol suara yang
muncul mungkin dianggap tidak menyenangkan oleh beberapa orang tua sehingga
perlu juga untuk memberitahu dan memberikan penjelasan kepada orang tua
sebelum digunakan untuk mencegah kesalahpahaman (Rao Arathi, et al., 2012).
Adapun tujuan dari penggunaan voice control atau kontrol suara adalah untuk
mendapatkan perhatian dan kepatuhan pasien, mencegah perilaku negatif atau
perilaku menghindar dan untuk membentuk perilaku dewasa pada anak. Kontrol
suara dikontraindikasikan untuk anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran
(Badrinatheswar, G.V., 2010; Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 9. Penggunaan kontrol suara dalam memberikan penjelasan kepada


anak untuk mempengaruhi dan mengarahkan perilaku pasien (indoredental.com).

32
g. HOME (Hand Over Mouth Exercises)
Hand Over Mouth Exercise adalah teknik yang diterima untuk mengelola
perilaku yang terbukti tidak sesuai dan teknik ini tidak dapat dimodifikasi dengan
teknik dasar manajemen perilaku. Tujuannya adalah membantu anak yang histeris
atau keras kepala untuk mendapatkan kembali kontrol diri agar manajemen
komunikatif dapat efektif. Teknik ini secara khusus digunakan untuk mengarahkan
kembali perilaku yang sesuai dan membangun kembali komunikasi yang efektif
(Badrinatheswar, G.V., 2010).
Cara pengaplikasian teknik ini yaitu dokter gigi dengan lembut tapi tegas
meletakkan tangannya di atas mulut anak. Dengan penyampaian verbal hingga
benar- benar berhenti, anak diberitahu bahwa ketika dia bekerja sama tangan akan
dilepaskan. Ketika pasien menunjukkan kesediaannya untuk bekerja sama, biasanya
dengan anggukan kepala dan penghentian upaya untuk berteriak, tangan diangkat
dan pasien dievaluasi kembali. Jika perilaku mengganggu terus berlanjut, dokter gigi
kembali meletakkan tangannya di atas mulut anak dan mengatakan kepadanya
bahwa dia harus bekerja sama. Begitu anak bekerja sama, dia harus diberikan pujian
(Rao Arathi, et al., 2012). Teknik manajemen komunikatif kemudian harus
digunakan untuk mengurangi ketakutan dan kecemasan yang mendasari anak.
Kebutuhan untuk mendiagnosis, merawat serta menjaga keselamatan pasien,
praktisi, dan staf harus dipertimbangkan dalam penggunaan HOME
(Badrinatheswar, G.V., 2010).

Gambar 10. Penerapan Teknik HOME (Rao Arathi, et al., 2012).

Keputusan untuk menggunakan HOME harus mempertimbangkan beberapa hal


yaitu, modalitas alternatif lain, kebutuhan perawatan gigi pasien, pengaruh terhadap
kualitas perawatan gigi serta perkembangan fisik dan emosional pasien. Persetujuan

33
tertulis dari orang tua/wali yang sah juga harus didokumentasikan dalam catatan

34
pasien sebelum menggunakan HOME, diantaranya berisi informed consent dan
indikasi penggunaan. Adapun tujuan dari penggunaan teknik HOME ini yaitu, untuk
mengarahkan perhatian anak, memungkinkan komunikasi dengan dokter gigi
sehingga harapan perilaku yang tepat dapat dijelaskan. Digunakan untuk
memadamkan perilaku menghindar yang berlebihan dan membantu anak
mendapatkan kembali kontrol dirinya, memastikan keselamatan anak dalam
pemberian perawatan gigi yang berkualitas serta untuk mengurangi kebutuhan sedasi
atau anestesi umum (Badrinatheswar, G.V., 2010).
Indikasi penggunaan teknik HOME dilakukan pada anak normal yang histeris,
suka berkelahi atau membangkang, dapat juga untuk anak-anak dengan kedewasaan
yang cukup untuk memahami perintah verbal sederhana (Rao Arathi, et al., 2012).
Sedangkan untuk kontraindikasi teknik HOME kemungkinan dapat terjadi pada
anak- anak dengan usia yang masih terlalu muda, memiliki disabilitas,
ketidakdewasaan emosional, tidak dapat berkomunikasi, memahami, dan bekerja
sama secara verbal ataupun pada anak dengan gangguan/kelainan obstruksi jalan
napas (Badrinatheswar, G.V., 2010).
h. Physical restraint
Physical restraint atau pengekangan fisik merupakan teknik yang digunakan
pada anak-anak yang tidak dapat bekerja sama selama proses prosedur perawatan,
seperti sentuhan tangan anak selama prosedur penyuntikan oleh asisten gigi,
stabilisasi kaki yang mulai diangkat dari kursi oleh asisten gigi, atau stabilisasi bahu
oleh dokter gigi saat anak mulai berguling, ketika dipasangkan dengan bahasa,
menjadi bagian dari seluruh pengelolaan linguistik anak (Pinkham, et al., 2005).
Istilah lain yang digunakan dari physical restraint yaitu ada protective stabilization
atau pengekangan fisik. Hal ini melibatkan asisten, stabilisasi perangkat atau
kombinasi keduanya. Tujuan dari stabilisasi ini adalah untuk mengurangi gerakan
yang tidak diinginkan, melindungi pasien, staf dan dokter gigi atau orang tua yang
menemani anak dari cedera dan untuk memberikan fasilitas perawatan gigi yang
efektif dan berkualitas. Stabilisasi ini dapat dilakukan kepada pasien yang tidak
dapat bekerja sama karena kurangnya maturitas atau cacat mental atau fisik, pasien
yang dibius mungkin memerlukan stabilisasi terbatas untuk mengurangi gerakan
yang tidak diinginkan. Sedangkan hal ini tidak boleh dilakukan kepada pasien yang
tidak dapat dimobilisasi dengan aman karena kondisi medis atau fisik, pasien pernah
mengalami trauma fisik atau psikologis dari stabilisasi protektif sebelumnya. Selain

35
itu, stabilisasi ini memiliki

36
beberapa kerugian, antara lain kerugian fisik atau psikologis yang menjadi
pelanggaran hak pasien, alat stabilisasi yang ditempatkan di sekitar dada dapat
membatasi pernafasan yang berbahaya bagi pasien. Sebelum melakukan stabilisasi
pelindung ini, orang tua dan pasien harus mempertimbangkan matang-matang dan
harus mengisi informed consent yang akan dimasukkan dalam catatan pasien
sebelum melakukan tindakan ini (Rao Arathi, et al., 2012).

Gambar 11. Proses penggunaan physical restraint kain panjang yang melilit
anak bertujuan untuk menahan tubuh dan pergerakan anak (Rao Arathi, et al., 2012).

5.1 Behaviour management


Behaviour Management dalam kedokteran gigi anak adalah ilmu yang bertujuan
untuk membangun hubungan kepercayaan antara pasien dan praktisi. Beberapa anak mampu
mengatasi dengan baik situasi yang berpotensi menyusahkan, sedangkan yang lain lebih
rentan terhadap ketakutan dan impuls mereka sendiri, sehingga membuat mereka lebih
mungkin untuk bereaksi dengan gejala emosional atau perilaku non-kooperatif. Reaksi anak
terhadap perawatan gigi berhubungan dengan usia, karakteristik temperamen, kedewasaan,
kepribadian, pengalaman sebelumnya, dan ketakutan umum dan terkait dokter gigi (Silva et
al., 2021).

5.1.1 Pharmacological
Spesialisasi kedokteran gigi anak menyediakan kebutuhan kesehatan mulut primer
dan komprehensif pada bayi dan anak, termasuk mereka yang membutuhkan perawatan
kesehatan khusus. Pemberian perawatan gigi diperlukan dalam mencegah dan menghilangkan
penyakit orofasial, memulihkan bentuk dan fungsi gigi-geligi, serta mengoreksi kelainan
bentuk wajah. Namun, dokter gigi anak dihadapkan pada tantangan sulit yang dibawa oleh
pasien yang masih muda, perilaku mereka selama perawatan, atau kebutuhan medis khusus
mereka (Baakdah et al. 2021, p. 186).
Salah satu masalah utama dalam kedokteran gigi anak berkaitan dengan manajemen

37
anak yang tidak kooperatif dan cemas selama perawatan. Ketakutan dan kecemasan gigi

38
(DFA), yang menunjukkan emosi negatif yang kuat terkait dengan perawatan gigi di antara
anak-anak dan remaja, adalah penyebab paling umum dari masalah manajemen perilaku dan
ketidakpatuhan anak-anak selama perawatan. Nyeri adalah salah satu alasan mengapa pasien
mungkin takut dengan prosedur perawatan gigi, terutama pada pasien gigi anak. Sakit gigi
disebabkan oleh kondisi peradangan, kerusakan jaringan, infeksi, atau perawatan invasif
(Baakdah et al. 2021, p. 186).
Baik behaviour management secara farmakologis ataupun non-farmakologis
digunakan untuk melakukan perawatan kesehatan mulut secara aman dan efisien. American
Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) telah menetapkan pedoman tentang bagaimana
melakukan perawatan gigi yang sukses dengan mengurangi rasa sakit, ketakutan, dan
kecemasan, untuk membangun sikap positif terhadap perawatan gigi, dan untuk membangun
hubungan yang dapat dipercaya antara dokter gigi dan pasien. / orang tua. Pilihan teknik oleh
praktisi yang terampil harus disesuaikan setelah sepenuhnya memahami kualitas kognitif,
sosial, dan emosional anak. Intervensi farmakologis termasuk sedasi sadar, yang diberikan
dengan berbagai cara dan kombinasi dan anestesi umum (GA) (Baakdah et al. 2021, p. 186).
5.1.1.1 N2O sedation
Pasien anak dan remaja yang dirawat dalam situasi darurat seringkali memerlukan
tindakan sedasi atau analgesia. Tujuan sedasi adalah memberikan kondisi ideal yang
diperlukan untuk menjalankan sebuah prosedur medis pada seorang pasien, seperti perbaikan
laserasi, pencitraan untuk diagnostik dan perbaikan fraktur. Jalur sedasi dapat diberikan
melalui oral (rute pemberian obat dengan diminum), intranasal (rute pemberian obat
disusupkan melalui hidung), rektal (rute pemberian obat disusupkan ke dalam dubur/
rektum), intramuskuler (rute pemberian obat melalui suntikan ke dalam otot), intravena (rute
pemberian obat melalui suntikan ke pembuluh darah), dan inhalasi (rute pemberian obat
untuk dihirup agar langsung masuk ke paru-paru) (Dewi dan Judith 2020, p. 54)
Sedasi sadar dengan menghirup campuran nitro oksida dan oksigen (CS) adalah
teknik yang digunakan dalam perawatan gigi untuk pasien cemas, cacat atau tidak kooperatif.
Tujuan yang sangat khusus dari studi kohort ini adalah untuk membandingkan perilaku
pasien muda selama perawatan gigi di bawah CS di dua rumah sakit menggunakan sistem
distribusi gas yang berbeda. (Vanhee et al, 2020)

5.1.1.2 General anasthesia


General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu tindakan yang bertujuan
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia yang bersifat

39
reversible

40
dan dapat diprediksi, anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan
pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat peristiwa
pembedahan yang telah dilakukan (Sharma et al. 2016, p. 189).
Tujuan dari pemberian anestesi umum yaitu memberikan perawatan gigi yang aman,
efisien dan efektif, menghilangkan kecemasan, mengurangi gerakan dan reaksi yang tidak
diinginkan saat dilakukan perawatan gigi, memberikan bantuan dalam perawatan pasien yang
terganggu secara mental, fisik, atau medis, serta menghilangkan respon nyeri pasien. Adapun
indikasi anestesi umum dalam kedokteran gigi anak ialah pasien anak yang tidak dapat
bekerja sama baik mereka yang memiliki kecacatan fisik, mental, atau medis tertentu, pasien
dengan kebutuhan restorasi atau pembedahan gigi yang anestesi lokalnya tidak efektif, pasien
yang sangat tidak kooperatif dan menolak secara fisik, pasien dengan trauma orofasial dan
gigi yang luas, pasien yang membutuhkan perawatan gigi dan mulut yang komprehensif
segera, pasien yang membutuhkan perawatan gigi yang penggunaan anestesi umum dapat
melindungi perkembangan jiwa dan/atau mengurangi risiko medis (Sharma et al. 2016, p.
189).
Pemberian anestesi umum mempunyai risiko komplikasi pada pasien. Kematian
merupakan risiko komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca pemberian anestesi umum.
Risiko komplikasi pada anestesi umum dapat diminimalkan bahkan dicegah. Dokter anestesi
dan perawat anestesi berperan penting dalam meminimalkan risiko komplikasi tersebut yaitu
dengan cara mempersiapkan pasien sebelum operasi dengan melakukan kunjungan pre
anestesi. Pemeriksaan yang dilakukan saat kunjungan pre anestesi adalah pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan khusus yang mendalam jika diperlukan, konsultasi
dengan dokter spesialis lain, penentuan status fisik berdasarkan ASA serta anamnesis. Semua
peralatan standar, gadget, monitor dan obat-obatan untuk anestesi dan resusitasi harus
tersedia dan diperiksa sebelum memberikan anestesi. Ini termasuk mesin anestesi, alat
penguap, oksigen, nitrous oxide, sirkuit pernapasan (dewasa dan anak), masker hidung dan
wajah, saluran udara mulut dan hidung, laringoskop yang berbeda dengan semua ukuran
bilah, semua rentang tabung trakea hidung dan mulut, alat penghisap independen (Sharma et
al. 2016, p. 189).

5.2 First dental visit


Akademi Kedokteran Gigi Anak Amerika merekomendasikan bahwa anak-anak
melakukan kunjungan pertama ke dokter gigi dalam waktu 6 bulan setelah erupsi pertama
gigi atau tidak lebih dari 1 tahun. Alasan untuk merekomendasikan kunjungan pertama ke

41
dokter

42
gigi karena pentingnya pendidikan preventif, panduan antisipatif, penyaringan dan penilaian
risiko, dan mendirikan rumah sakit gigi untuk anak (Casamassimo P et al. 2005, p. 158)
Kunjungan pertama pada masa sekolah dasar biasanya hanya melibatkan
pemeriksaan, evaluasi radiografi dan jika mungkin profilaksis dan pengobatan fluoride
topikal kecuali jika anak hadir dengan masalah gigi akut. Harus diingat bahwa rasa takut
ditinggalkan adalah tinggi pada anak-anak yang lebih muda dan dapat menyebabkan
kecemasan selama pengambilan radiografi yang mengarah ke perilaku tidak kooperatif (Rao
2012, p. 110).

5.2.1 Tujuan first dental visit


Biasanya anak-anak berhati-hati selama kunjungan gigi pertama mereka dan orang tua
menangani ini dengan cara yang berbeda. Banyak orang tua mendorong anak mereka untuk
dapat berkenalan dengan situasi baru dengan membiarkan anak menjawab pertanyaan dari
dokter gigi bila memungkinkan, mereka memuji perilaku anak itu, dan memberikan komentar
yang menghibur. Orang tua berfungsi sebagai basis aman dari anak ketika melakukan hal
baru seperti kunjungan pertama ke dokter gigi. (Koch G et al. 2009, p. 118).
Orang tua biasanya menyadari pada saat ini pentingnya program imunisasi dan
menerima nasihat untuk bayi atau anak-anak mereka. Orang tua harus didorong untuk
pemeriksaan orodental dan konsultasi segera setelah gigi anterior anak muncul ke dalam
rongga mulut. Bayi yang memiliki cacat dalam perkembangan atau yang orang tuanya
dianggap memiliki kesehatan mulut yang buruk, dalam kunjungan pertama tidak boleh
terlambat dari 6 bulan setelah erupsi gigi pertama. Kunjungan pertama biasanya
direkomendasikan antara 18-24 bulan untuk anak normal (Srivastava 2011, p. 163). Karena
keterampilan motorik berkembang selama tahap ini. Komunikasi dan bahasa meningkat.
Temper tantrum dimulai dari ini usia. Anak-anak kurang takut pada orang asing dan
demikianlah waktu yang tepat untuk mengenalkan anak pada kedokteran gigi. Pada usia ini
mereka kurang takut dengan orang baru dan sekitarnya. Ini juga waktu yang tepat untuk
memulai prosedur pencegahan apapun (Rao 2012, p. 103).

5.2.2 Persiapan orang tua (sebelum dan saat)


Setiap orang tua pasti menginginkan kesehatan gigi dan mulut anaknya terjaga dengan
baik. Umumnya ketika sebelum melakukan kunjungan ke dokter gigi, orang tua akan
menghubungi terlebih dahulu dokter gigi tersebut. Oleh karena itu, sangat penting bagi dokter
gigi untuk memberikan first impression yang baik kepada orang tua calon pasiennya. Ketika

43
pasien datang, dokter gigi perlu memberikan pendekatan yang ramah dengan cara memberi

44
salam kepada orang tua pasien, mengajak ngobrol, serta menjelaskan dengan bahasa yang
jelas dan mudah dimengerti oleh orang tua pasien untuk mengurangi kekhawatiran orang tua
kepada anaknya yang akan dilakukan perawatan (Srivastava 2011, p. 20).
Selanjutnya ketika perawatan sedang berlangsung, dokter gigi dapat melakukan
pendekatan ulang kepada orang tua seperti menyapa ulang, mengajak ngobrol, serta
mengadakan diskusi untuk menjelaskan mengenai perawatan yang sedang dilakukan, serta
menggali informasi tentang pasien dan melakukan klarifikasi ulang. Tindakan ini dilakukan
agar selama perawatan anak tidak merasakan rasa takut, khawatir, serta cemas tetapi tetap
terkontrol agar tidak terlalu bebas ketika dalam ruang perawatan dokter gigi tersebut
(Srivastava 2011, p. 22).

5.2.3 Persiapan anak


Anak mungkin datang ke klinik gigi dengan rasa takut. Untuk membuat anak merasa
nyaman maka ruangan klinik gigi harus dibuat senyaman dan mungkin seperti tersedia kursi
dan meja anak-anak dengan lampu kecil di mana mereka dapat duduk dan membaca, mainan
kecil untuk menghibur anak yang masih kecil, musik untuk membantu menghibur anak yang
ketakutan, akuarium dengan ikan berwarna-warni ditempatkan di salah satu sudut ruangan,
karakter kartun yang digantung di dinding dan buku cerita ditempatkan di rak yang rapi dan
menarik (Rao 2012, p. 106).
Selain itu, penting agar asisten kantor, resepsionis, dan dokter gigi juga menunjukkan
antusiasme, karena anak-anak sangat sensitif terhadap emosi yang tersembunyi (Rao 2012, p.
106). Dokter gigi dapat membantu anak untuk menunjukkan perilaku yang baik dengan (Rao
2012, p. 107):
1. Mendapatkan kepercayaan anak bahwa kita ada untuk membantu.
2. Mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya dan menjadi pendengar yang
baik bagi dirinya sendiri.
3. Membuat anak-anak merasa bahwa reaksi mereka dipahami.
4. Menghibur anak-anak bila perlu.

5.2.4 Kehadiran orang tua


Kehadiran orang tua dapat mempengaruhi tingkat kooperatif pasien selama
perawatan. Pada situasi tertentu, kehadiran orang tua dapat berdampak positif terhadap
perawatan tetapi dapat juga berdampak negatif seperti menghalangi komunikasi antara
pasien dan dokter gigi.

45
Ketidakhadiran orang tua selama perawatan dibutuhkan dalam kondisi berikut (Rao 2012, p.
108):
1. Orang tua sering mengulang perkataan yang kemudian menimbulkan rasa jengkel
baik dokter gigi maupun pasien anak.
2. Orang tua memberikan perintah yang menjadi penghambat perkembangan hubungan
antara dokter gigi dan anak.
3. Dokter gigi tidak dapat menggunakan kontrol suara di hadapan orang tua karena
orang tua mungkin tersinggung.
4. Perhatian anak terbagi antara orang tua dan dokter gigi.
5. Perhatian dokter gigi terbagi antara orang tua dan anak.
Namun, adakalanya kehadiran orang tua dibutuhkan selama perawatan apabila (Rao 2012, p.
108):
1. Orang tua dapat memiliki peran utama dalam mendukung dan berkomunikasi dengan
anak, seperti anak cacat.
2. Anak-anak di bawah 2-3 tahun sulit untuk mengungkapkan dan mencapai komunikasi
yang tepat dengan dokter gigi dan sebaliknya sehingga dibutuhkan orang tua sebagai
jembatan keduanya.
3. Anak kecil rentan terhadap berbagai jenis ketakutan, termasuk ketakutan akan hal
yang tidak diketahui dan ditinggalkan. Mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan situasi atau lingkungan baru. Kehadiran ibu dapat
berfungsi untuk mengurangi ketakutan anak kecil dan dapat menawarkan dukungan
emosional selama dilakukan perawatan oleh gigi.

5.2.5 Perawatan awal yang dianjurkan


Perawatan yang dilakukan saat pertama kali kunjungan ke dokter gigi biasanya
mencakup pemeriksaan, evaluasi radiografi dan jika memungkinkan perawatan profilaksis
dengan memberikan fluoride topikal, kecuali jika anak memang memiliki masalah gigi yang
bersifat akut (Rao, 2012, p. 125). Selain itu terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan pada
saat kunjungan pertama ke dokter gigi, seperti penyuluhan terhadap orang tua terkait
perannya dalam pencegahan penyakit gigi dan rongga mulut pada anak, termasuk penyuluhan
mengenai diet anak. Feeding practice dan snacking pattern di antara jam makan, prosedur
oral hygiene yang benar, dan aplikasi fluoride topikal merupakan beberapa poin penting yang
harus disampaikan sehingga dapat membentuk suatu program pencegahan yang baik untuk
anak (Srivastava, 2011, p. 20).

46
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatric Dentistry. (2021) Behavior guidance for the pediatric dental
patient. The Reference Manual of Pediatric Dentistry. Chicago, Ill.: American
Academy of Pediatric Dentistry, p. 306-24.
Asl, A. N., Shokravi, M., Jamali, Z., & Shirazi, S. (2017). Barriers and drawbacks of the
assessment of dental fear, dental anxiety and dental phobia in children: A critical
literature review. Journal of Clinical Pediatric Dentistry, 41(6), 399-423.
Baakdah, R. A., Turkistani, J. M., Al-Qarni, A. M., Al-Abdali, A. N., Alharbi, H. A., Bafaqih,
J. A., & Alshehri, Z. S. (2021). Pediatric dental treatments with pharmacological and
non-pharmacological interventions: A crosssectional study. BMC Oral Health, 21(1),
186. https://doi.org/10.1186/s12903-021-01555-7
Casamassimo P. S., Mc Tigue D. J., Fields H. W., & Nowak A. J. 2005. Pediatric Dentistry
Infancy Through Adolescence.
Dean, J. A. (2016). McDonald and Avery’s Dentistry for the Child and Adolescent. 10th
Edition. Elsevier Ltd. p. 291-2.
Dewi, R. and Judith, A. 2020. Laporan kasus berbasis bukti Penggunaan Kloral Hidrat Oral
Dibandingkan Ketamin Intramuskular sebagai Agen Sedasi Pratindakan Invasif pada
Anak.
Ibraheem, M. (2021). Behavior Guidance in Pediatric Dentistry-A Review. Int J Dentistry
Oral Sci, 8(5), p. 2454-7.
Kawiya, H. M , Mbawalla, H. S., Kahabuka, F. K., (2015) Application of Behavior
Management Techniques for Paediatric Dental Patients by Tanzanian Dental
Practitioners, The Open Dentistry Journal. p. 455-61.
Koch, G., Poulsen, S., Espelid, I. dan Haubek, D. 2009. Pediatric Dentistry A Clinical
Approach 3rd Edition. West Sussex: WILEY Blackwell.
Marwah, Nikhil. (2014). Textbook of Pediatric Dentistry. 3rd Ed. Jaypee. P. 205-9.
Rao A. 2012. Principles and practice of pedodontics, 3edn, JP Medical Ltd.
Sharma A, Jayaprakash R, Babu N. A, Masthan K. M. K, General Anaesthesia In Pediatric
Dentistry. Biomed Pharmacol J 2016;8(October Spl Edition)
Silva, M. V. da, Bussadori, S. K., Santos, E. M., & Rezende, K. M. 2021. Behaviour
Management of the Contemporary Child in Paediatric Dentistry: An Overview of the
Research. Pesquisa Brasileira Em Odontopediatria e Clínica Integrada, 21, e0209.
https://doi.org/10.1590/pboci.2021.090
Srivastava, V.K., 2011. Modern pediatric dentistry. JP Medical Ltd.

47
Vanhee, T., Lachiri, F., Van Den Steen, E., Bottenberg, P., & Abbeele, A. V. (2020). Child
behaviour during dental care under nitrous oxide sedation: a cohort study using two
different gas distribution systems. European Archives of Paediatric Dentistry, 1-7.
Welbury Richard, Duggal Monty, Hosey MT., 2005. Paediatric Dentistry. 3rd ed. New York:
Oxford University Press. p. 91.
Wright, G. Z., & Kupietzky, A. (Eds.). (2014). Behavior management in dentistry for children.
John Wiley & Sons.

48

You might also like